Nur Azizah
0
Prakata
Alhamdulillahirabbil'aalamin, segala puja dan puji syukur penulis panjatkan kepada Allah
Yang Maha Penyayang. Hanya dengan ijin dan karunia-Nya, naskah buku ini dapat diselesaikan.
Penulis benar-benar merasa tertantang untuk mewujudkan naskah buku ini karena sangat
terbatasnya buku tentang Gender dan Politik yang beredar di Indonesia, sehingga masih banyak
orang yang berpandangan bahwa gender tidak berhubungan dengan politik.. Akibatnya, integrasi
gender dalam politik dan kebijakan pembangunan berjalan sangat lambat.
Karena pembagian peran melalui ideologi gender cenderung merugikan perempuan maka
para ilmuwan dan aktivis perempuanlah yang banyak menggugat ketidakadilan ini. Sebaliknya,
banyak ilmuwan maupun praktisi politik laki-laki yang kurang peka terhadap isu gender, atau
menganggap bahwa hal-hal yang terkait dengan gender adalah urusan perempuan.
Kekurangpekaan ini meluas baik dikalangan ilmuwan maupun praktisi. Terbukti “Male
Centric dan Male Bias” ini sulit dihindari karena politik telah identik dengan laki-laki, dan laki-laki
memang menjadi “founding father” dari ilmu politik. Filosuf-filosuf politik mulai dari Thucydides (500
BC), Machiavelli (abad 15), Thomas Hobbes (abad 18) berjenis kelamin laki-laki. Harus diakui
bahwa kehadiran ilmuwan politik yang berjenis kelamin perempuan memang jauh lebih belakangan
dibanding laki-laki. (Gerard, 2012)
Meski saat ini telah banyak perempuan yang berprofesi sebagai ilmuwan politik dan
diantara mereka juga banyak yang beraliran feminis (peduli terhadap masalah ketimpangan
gender), namun integrasi isu gender kedalam kurikulum ilmu politik masih sangat sulit.
Kehadiran buku ini diharapkan dapat mengisi kelangkaan buku gender dan politik di
Indonesia. Buku ini dilengkapi dengan pemaparan tentang berbagai teori tentang faktor-faktor yang
menyebabkan sub ordinasi perempuan, teori tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat
keterwakilan perempuan di parlemen dan beberapa model tentang efektifitas implementasi kuota
gender, sehingga buku ini dapat digunakan sebagai rujukan dalam penelitian masalah-masalah
tersebut.. Buku ini juga dilengkapi dengan rangkuman-rangkuman yang disajikan dalam bentuk
tabel sehingga mempermudah pemahaman tentanng isu (permasalahan) maupun konsep yang
terkait dengan gender dan politik.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih mempunyai kelemahan. Karena itu, penulis
berharap agar pembaca berkenan menyampaikan kritik dan saran agar menjadi lebih sempurna.
Semoga buku ini dapat dimanfaatkan oleh masyarakat, terutama mahasiswa yang tengah
mengambil mata kuliah Gender dan Politik.
1
Kata Pengantar
1
Sapiro, Virginia, 1998. ‘When are Interest Interesting? The Problem of Political Representation of
Women’ dalam Phillip, Anne (ed), 1998. Feminism and Politics, Oxford University Press, Oxford, New
York, p 178.
2
Bab I : Pegertian Politik, Sex dan Gender
Pemikiran tentang perempuan dan politik menjadi menarik ketika orang mulai
menyadari adanya perbedaan antara sex yang bersifat kodrati dan gender yang
dikonstruksi oleh kesepakatan masyarakat. Hubungan gender bersifat sangat politis
karena didalamnya terkandung makna pembagian kekuasaan antara laki-laki dan
perempuan. Permasalahan muncul ketika pembagian kekuasaan tersebut dirasakan
tidak adil karena memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada laki-laki tetapi
sebaliknya hanya memberikan kekuasaan yang amat kecil kepada perempuan.
Karena pembagian peran melalui ideologi gender cenderung merugikan perempuan maka
para ilmuwan dan aktivis perempuanlah yang banyak menggugat ketidakadilan ini. Sebaliknya,
banyak ilmuwan maupun praktisi politik laki-laki yang kurang peka terhadap isu gender, atau
menganggap bahwa hal-hal yang terkait dengan gender adalah urusan perempuan.
Kekurangpekaan ini meluas baik dikalangan ilmuwan maupun praktisi. Terbukti “Male
Centric dan Male Bias” ini sulit dihindari karena politik telah identik dengan laki-laki, dan laki-laki
memang menjadi “founding father” dari ilmu politik. Filosuf-filosuf politik mulai dari Thucydides (500
BC), Machiavelli (abad 15), Thomas Hobbes (abad 18) berjenis kelamin laki-laki. Harus diakui
bahwa kehadiran ilmuwan politik yang berjenis kelamin perempuan memang jauh lebih belakangan
dibanding laki-laki. (Gerard, 2012)
3
juga pada tataran pada masyarakat biasa, bukan hanya pada tataran negara
tetapi juga pada tataran keluarga. (Gerard, 2012)
Persoalan utama dalam studi ilmu politik justru terletak pada hal yang amat
mendasar yaitu adanya perdebatan dan kontoversi tentang definisi politik. Meluasnya
ilmu politik diikuti dengan tuntutan untuk memperluas ruang lingkup (scope) ilmu
politik. Mula-mula studi institutional tradisional mengarahkan perhatian pada parlemen
dan pegawai negeri sipil. Pada tahun 1950an para ilmuwan dari kelompok behavioralist
menuntut perluasan ruang lingkup (scope) sehingga mencakup analisa tentang pemilu,
partai politik dan kelompok penekan. Selanjutnya pada tahun 1970an dan 1980an muncul
kembali tuntutan untuk memperluas definisi politik sehingga memberikan perhatian pada
aspek-aspek non demokratik dan meletakkan ilmu politik dalam konteks sosial ekonomi.
Analisa ilmu politik memperoleh masukan dari ilmu ekonomi dan sosiologi.
Perkembangan paling akhir, pada tahun 1990an kaum feminis menuntut agar ruang
lingkup ilmu politik diperluas lagi. Ilmu politik tidak hanya mencakup diartikan secara
sempit sebagai hal-hal yang terkait dengan urusan publik saja. Politik adalah hal yang
terkait dengan semua keputusan-keputusan yang membentuk hidup kita. Urusan yang
bersifat pribadi juga dapat menjadi urusan publik . Misalnya pengalaman buruk seorang
isteri yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami, bukan
lagi dianggap sebagai issue privat. Definisi politik telah diperluas untuk mencakup area-
area lain dalam kehidupan sosial seperti gender, ras dan class. Politik telah dipahami
mencakup berbagai semua hubungan sosial, bukan lagi dipahami sebagai aktifitas yang
terkait dengan institusi pemerintahan. 2 Politik tidak dapat dipisahkan dari realitas
aktifitas dan kehidupan publik. Politik terjadi pada semua level masyarakat mulai dari
keluarga hingga negara. Mulai dari level lembaga swadaya masyarakat hingga multi
national corporation. Dalam politik dapat terjadi konflik tetapi juga dapat terjadi
kerjasama (conflict and cooperation). Menurut Anderson politik adalah aktifitas kolektif.
Intinya, tindakan kita bersifat politik jika kita membuat keputusan atas nama rakyat dan
bukan untuk diri kita sendiri. Politik berarti perencanaan dan pengorganisasian proyek-
proyek bersama, mengatur standart dan aturan serta pengalokasian resources diantara
2
Gamble, 1990. “Theories of British Politics”, Political Studies, XXXVIII, p. 412.
4
berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat. 3 Jadi aktifitas politik dapat terjadi
pada level keluarga, lembaga swadaya masyarakat, multi national corporation, partai
politik maupun pemerintah. Definisi politik harus senantiasa disesuaikan untuk menjaga
agar studi politik tetap relevan dengan perkembangan masyarakat.
Kita perlu mengkombinasikan pengertian politik sebagai sebuah arena dan
sebuah process. Politik dimulai dari proses kemuncan issue, dibicarakan di arena
pemerintahan, diperdebatkan dan akhirnya dibuat keputusan yang mengikat. Politik
menyangkut semua aspek hubungan-hubungan sosial tetapi perlu diakui bahwa dalam
prakteknya politik jadi lebih relevan dan lebih menantang dibidang-bidang tertentu
seperti kebijakan publik dan pemerintahan karena terkait dengan kemampuannya untuk
mengalokasikan kebijakan secara otoritatif.4
3
Anderson C., 1977. Statecraft: An Introduction to Political Choice and Judgement, New York, John Wiley,
p.vii.
4
Marsh, David, Theory and Method in Political Science.
5
http://www.med.monash.edu.au/gendermed/sexandgender.html ; http://www.who.int/entity/gender/en/
6
Scott, Gender and the Politics of History, p.42.
5
Secara tidak sadar, kita sebagai bagian dari masyarkat juga ikut
mengkonstruksikan gender. Misalnya, ketika ingin membelikan hadiah pada bayi yang
baru lahir. Jika bayinya laki-laki, dibelikan baju biru. Jika perempuan, dibelikan baju
merah muda. Para ahli feminis yakin bahwa pembedaan gender telah mendorong
terjadinya ketimpangan kekuasaan antara pria dan wanita.
Relasi gender, pembagian kerja antara perempuan dan laki-laki, juga ditentukan
oleh sistem produksi. Pada mulanya, baik laki-laki maupun perempuan melakukan semua
aktifitas produksi didalam rumah. Namun dalam perkembangannya, unit produksi yang
berfungsi untuk mencari uang kemudian dipisah dari unit produksi rumah tangga. Hal ini
kemudian mendorong laki-laki untuk keluar rumah, sedang perempuan tetap didalam
rumah.
Tabel 1.1 Perbedaan Sex dan Gender
Keterangan Contoh
Sex Male and female o Perempuan dapat menstruasi, laki-laki
Sex refer to biological tidak.
differences, chromosomes, o Laki-laki mempunyai testicles,
hormonal profiles, internal and perempuan tidak .
external organs o Perempuan mempunyai payudara yang
pada umumnya membesar dan dapat
digunakan untuk menyusui
Gender Masculine and feminine o Di Arab Saudi, perempuan tidak diijinkan
Gender describes the menjadi sopir.
characteristics that a society or o Laki-laki bertugas untuk mencari nafkah,
culture delineates as masculine sementara perempuan bertugas mengurus
or feminine. rumah tangga.
--o0o--
6
Bab II : Femisme dan Gerakan Perempuan dalam Politik
A. Pengertian Feminisme
Feminisme adalah serangkaian pemikiran yang mengakui secara eksplisit bahwa
perempuan tersubordinasi oleh laki-laki dan berusaha mencari jalan keluar untuk
mengatasi masalah tersebut. Asumsi utama feminisme ialah bahwa kondisi perempuan,
pembagian peran laki-laki perempuan dalam masyarakat, adalah bentukan masyarakat,
bukan sesuatu yang alami sehingga pada prinsipnya dapat diubah. Suara perempuan harus
didengarkan sehingga harus diwakili oleh perempuan itu sendiri. Perempuan harus
mempunyai otonomi untuk menyampaikan pandangannya dan menentukan hidupnya
sendiri. Feminisme adalah gerakan budaya dan gerakan politik yang ingin mengubah cara
berfikir perempuan serta mengubah hubungan antara perempuan dan laki-laki didalam
keluarga dan masyarakat.7
7
Hannam, June 2007. Feminism, Pearson Educated Limited, Great Britain, p
7
manusia dapat membentuk kembali tatanan sosial baru yang lebih baik. 8 Issue gender
merupakan salah satu masalah yang diperdebatkan secara sengit selama abad pencerahan
sehingga akhirnya situasi sosial, politik dan ekonomi serta berkembangnya pemikiran-
pemikiran baru, ikut mendorong kemunculan feminisme pada akhir abad 18.
8
Hannam, June 2007. Feminism, Pearson Educated Limited, Great Britain, p.18.
8
Pada tahun 1792 di Inggris terbit sebuah buku yang berjudul A Vindication of the
Right of Women (Mempertahankan Hak-hak Perempuan) yang ditulis oleh Mary
Wollstonecraft yang berpendapat bahwa kemampuan perempuan dalam berfikir
sebenarnya setara dengan laki-laki, tetapi perempuan diarahkan agar dikuasai oleh
perasaan sehingga dapat menjadi alat untuk menyenangkan laki-laki. Karenanya
perempuan memerlukan pendidikan yang mampu mengembangkan karakter sehingga
perempuan juga dapat berpartisipasi dalam membangun tatanan sosial yang baru. Selain
di Inggris, tulisan Mary Wollstonecraft ini juga berpengaruh besar terhadap gerakan
feminis Perancis. Undang-undang baru yang membedakan secara tegas antara
warganegara aktif dan warganegera pasif menjadikan perempuan terpinggirkan secara
formal. Hal ini mendorong munculnya identitas perempuan sehingga mereka menuntut
hak politik atas nama perempuan dan membentuk organisasi untuk sarana perjuangan.
Di Inggris dan Amerika perempuan aktif terlibat dalam kampanye anti
perbudakan sehingga aktifitas ini menjadikan perempuan mempunyai pengalaman dalam
berpolitik dan menginspirasinya untuk mempertanyakan posisi perempuan dalam
keluarga dan masyarakat. Perbudakan yang terjadi ditanah-tanah pertanian tidak berbeda
jauh dengan posisi perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Perasaan semacam ini
mendorong kemunculan identitas perempuan.
Perlu digaris bawahi bahwa memunculkan identitas perempuan bukanlah suatu
yang mudah. Keterlibatan perempuan dalam gerakan-gerakan reformasi sosial, politik
dan moral tidak otomatis akan meningkatkan kepedulian terhadap hak perempuan.
Banyak perempuan yang lebih peduli terhadap masalah moral dan keagamaan daripada
masalah ketimpangan gender. Misalnya, tokoh Unitarian Inggris Mary Carpenter. Meski
ia seorang tokoh reformasi sosial yang aktif menuntut hak pilih perempuan, tetapi waktu
dan energinya lebih banyak dihabiskan untuk mengurus anak-anak terlantar.
Pada tahun 1793 pemerintah Perancis memberangus gerakan perempuan..
Perempuan dilarang menghadiri pertemuan-pertemuan maupun parade-parade politik.
Aktifitas politik perempuan semakin sulit ketika tahun 1804 Napoleon membuat undang-
undang baru yang mengembalikan posisi perempuan dalam ranah domestik. Undang-
undang baru ini memberikan kekuasaan sepenuhnya pada laki-laki atas istri, anak dan
harta kekayaan serta mem berikan hukuman yang berat bagi perempuan yang
9
berselingkuh. Seiring dengan meluasnya kekuasaan Napoleon di Eropa maka undang-
undang semacam ini juga diadopsi di Italy, Belgia, Belanda, Jerman dan Inggris.
Pertumbuhan industrialisasi dan urbanisasi yang berkembang pesat juga
cenderung menekankan perempuan untuk kembali ke peran domestik. Keluarga,yang
didalamnya terdapat perempuan, laki-laki dan anak-anak tidak lagi menjadi tempat
produksi. Tempat produksi berpindah ke pabrik-pabrik dan para laki-laki lah yang
menjadi buruh pabrik yang memperoleh upah. Pekerjaan yang diupah menjadi identik
dengan laki-laki. Dampaknya, perempuan lalu dinilai rendah dan terpinggirkan. Jika ada
pabrik yang mempekerjakan perempuan sebagai buruh maka upah mereka juga rendah,
sehingga mereka kemudian berfikir lebih baik bekerja di rumah saja. Pekerjaan domestik
adalah pekerjaan alami perempuan. Pada pertengahan abad 19 ideologi domestifikasi
perempuan sangat dominan.
10
Gerakan perempuan sosialis semakin kuat dan radikal dengan terbentuknya
Women’s Social and Political Union yang dipimpin oleh Emmeline Pankhurst (1858-
1928) dan anak-naknya Christabel (1880-1958), Adela (1885-1961) dan Sylvia (1882-
1960). Gerakan yang terbentuk tahun 1903 menempuh cara-cara radikal dengan
melakukan demonstrasi, membakar api ditempat-tempat terbuka, mogok makan,
menginterupsi sidang, melempari jendela dan lain-lain guna menuntut pemberian hak
pilih terhadap perempuan . Akibatnya, ribuan perempuan dipenjara sehubungan dengan
protes-protes tersebut.
Di Perancis, feminis sosialis Jeanne Deroin menghimbau agar perempuan aktif
berpartisipasi dibidang politik. Melalui jurnal politiknya La vois des Femmes ia
mengkampanyekan konsepnya tentang perempuan sebagai ’humanitarian mother’ yang
bertanggungjawab sebagai ibu dari para anak bangsa. Perempuan perlu diberi hak suara
agar dapat menunjukkan pada para laki-laki, bagaimana mencapai harmoni. Suara
perempuan perlu didengarkan demi untuk keselamatan anak bangsa. Masyarakat baru
yang diidamkan hanya akan tercapai dengan mengakhiri hak-hak istimewa laki-laki.9
Setelah itu ia mengkampanyekan diri untuk menjadi anggota parlemen dan kemudian
ditahan dengan tuduhan ingin menggerakkan demonstrasi buruh.
Pada tahun 1879 August Bebel, pemimpin Partai Sosial Demokrat Jerman,
menulis Women and Socialism. Menurut Bebel, perempuan di negara kapitalis sangat
tidak diuntungkan karena didalam lingkungan keluarga perempuan dibuat bergantung
secara sosial dan ekonomi kepada laki-laki (suami/ayahnya), sedang ditempat kerja
perempuan diekploitasi tenaganya. Dominasi laki-laki terhadap perempuan bukan
disebabkan oleh fisiknya, tetapi karena sejarah. Oleh sebab itu masalah ini harus
dicarikan jalan keluar. Posisi perempuan dalam keluarga dapat dianalogkan sebagai kelas
bawah, sehingga jika perempuan ingin memperoleh emansipasi maka mereka harus bahu
membahu dengan laki-laki untuk mewujudkan masyarakat sosialis. 10 Meski demikian
tulisan Bebel tidak menjelaskan hubungan antara patriarkhi dengan kapitalisme. Dengan
mengutamakan peran kelas maka terdapat kemungkinan kaum sosialis meminggirkan
9
Hannam, June 2007. Feminism, Pearson Educated Limited, Great Britain, p.21.
10
Sowerwine, S., 1987. The Socialist Women’s Movement from 1850-1940, in Breidenthal, R Koons
11
kepentingan perempuan. Namun karena perempuan mempunyai pengalaman khusus
maka permasalahan perempuan pasti akan diperdebatkan secara sengit dalam sosialisme.
Gagasan Bebel untuk mengkaitkan antara perempuan dengan kelas kemudian
dipopulerkan oleh Clara Zetin, pemimpin Divisi Perempuan Partai Sosial Demokrat
Jerman melalui surat kabarnya Die Gleichheit (Kesetaraan) yang diterbitkan tahun 1891.
Tahun 1896 ia berpidato didepan Konggres Internasional Partai Sosialis dan menyatakan
simpatinya terhadap gerakan perempuan bo0rjuis (bourgeois women’s movement) namun
ia menentang kerjasama dengan mereka karena kepentingan buruh perempuan terkait
dengan kelasnya. Meski demikian dalam prakteknya, kadang kala gerakan buruh
perempuan juga bergabung dengan gerakan perempuan borjuis untuk mengkampanyekan
issue-issue tertentu. Gerakan buruh perempuan juga gigih dakam menentang dominasi
laki-laki dalam Partai Sosial Demokrat Jerman.
12
Mujer (Suara Perempuan), Di Italy terbit La Donna sedang di Norwegia terbit Nylaende
(Cakrawala Baru - 1887). Pada tahun 1888 di Washington dibentuk International Council
of Women (ICW) yang menjadi payung kerjasama antar organisasi perempuan di berbagai
negara. Organisasi ini dimaksudkan untuk memperkuat gerakan perempuan di berbagai
negara
Sebagian besar gerakan perempuan bersifat moderat, baik dari sisi tujuan,
gagasan serta strateginya. Meski demikian sebagian ada yang bersifat ‘radikal’. Pada
pertengahan abad 19, issue untuk menuntut pemberian hak pilih bagi perempuan
termasuk issue yang ‘radikal’ dan kontroversial, termasuk di kalangan gerakan
perempuan sendiri. Misalnya, ICW juga memilih untuk bersikap moderat dan tidak
mengusung isue hak pilih bagi perempuan, meski organisasi ini dibentuk atas inisiatif
Elizabeth Cady Stanton dan Susan B. Anthony, pemimpin gerakan untuk menuntut hak
pilih di Amerika Serikat.
Salah satu tokoh gerakan perempuan ’radikal’ di Perancis adalah Hubertine
Auclert yang pada tahun 1870 mengkritik gerakan perempuan di Perancis yang memilih
bersikap moderat dan tidak berani menuntut pemberian hak pilih bagi perempuan.
Auclert kemudian membentuk organisasi perempuan sendiri dan berusaha mencari
dukungan perempuan dari berbagai kelas sosial. Ia juga membuat majalah sendiri, La
Citoyenne, yang terbit antara tahun 1881-1891. Meski demikian ia hanya berhasil
menarik beberapa ratus perempuan saja. Auclert juga berusaha memaksakan untuk
memasukkan namanya dalam daftar pemilih, tetapi ditolak. Tokoh ’radikal’ lainnya ialah
Anita Augspurg dan Lida Gustava Heymann dari Jerrman yang menuntut pemberian hak
suara bagi perempuan Jerman dan memboikot pembayaran pajak jika tuntutannya tidak
dipenuhi. ’No Vote, No Tax’ . Para feminis berbeda dalam pemahaman tentang makna
emansipasi perempuan, berbeda pemikiran, berbeda cara untuk mencapai emansipasi
tersebut, berbeda strategi dan berbeda prioritas.
Salah satu buku yang menstimulasi perdebatan tentang masalah perempuan ialah
buku yang ditulis oleh John Stuart Mill, The Subjection of Women (1869). Mill menolak
pandangan bahwa perempuan secara biologis inferior dibanding laki-laki. Bahwa
penampilan mereka berbeda itu lebih disebabkan karena dorongan lingkungan
masyarakat. Perempuan hanya dapat berkembang jika ia dibebaskan dari hambatan-
13
hambatan Agar dapat berpartisipasi dalam politik perempuan perlu mengembangkan
kemampuannya. Mill juga mengkritik perkawinan sebagai bentuk perbudakan terhadap
perempuan. Pengkotakan peren perempuan dibidang domestik menjadikan perempuan
tidak cocok dengan peran politik. Jika perempuan ingin berpartisipasi dalam politik maka
ia perlu untuk membiasakan tampil di publik. Meski demikian pandangan Mill tidak
selalu sejalan dengan kaum feminis. Mill tidak pernah menolak pembagian kerja
berdasarkan sex yang terus-menerus terjadi.11 Buku ini dibaca luas di Inggris, USA, New
Zealand, dan diterjemahkan dalam bahasa Perancis, Jerman, Austria, Swedia, Denmark
dan Italy. Di Denmark buku ini banyak didiskusikan dikalangan feminis dan menstimulus
mereka untuk menuntut kesetaraan perempuan dibidang pendidikan, pekerjaan dan
diakhirinya penilaian double standard untuk perempuan dan laki-laki.
Meski feminis mempunyai berbagai perspektif dalam politik namum tetap
mempunyai kesamaan asumsi, bahwa mereka sama-sama menentang pendapat bahwa
perempuan hanya cocok untuk pekerjaan yang bersifat domestik dan menentang asumsi
liberal bahwa dunia privat (rumah) terpisah dengan dunia publik (tempat kerja), sama-
sama menentang patriarkhi atau dominasi laki-laki serta menentang standar ganda yang
diterapkan terhadap perempuan dan laki-laki.. Tahun 1900an sebagian besar perempuan
Eropa telah mempunyai akses untuk bersekolah dan mulai dapat bekerja dibidang-bidang
profesional.
11
Rendall, J. 2001. ‘John Stuart Mill: Liberal Politics and the Movement for Women’s Suffrage 1865-
1973’ in Vickery A, ed, Women, Previledge and Power, British Politics 1750 to the Present , Stanford
University Press, Stanford CA.
14
perempuan menganggap bahwa perempuan identik dengan urusan domestik sehingga
tidak cocok untuk diserahi tugas yang terkait dengan pembuatan kebijakan maupun
urusan luar negeri.
Pada abad ke 19, sex merupakan variabel yang menentukan seseorang dapat
memperoleh hak suara atau tidak. Diskriminasi ini menggerakkan perempuan untuk
berjuang menuntut hak pilih, menumbuhkan kesadaran gender, solidaritas dan kesadaran
akan kepentingan perempuan. Hak politik adalah bagian dari hak asasi manusia yang
harus dimiliki oleh semua manusia. Tanpa mempunyai hak politik, hak-hak dasar sebagai
warga negara, perempuan tidak akan menjadi manusia seutuhnya. Mereka juga
menentang ideologi yang memisahkan urusan domestik – publik yang menjadi inti
pendapat kaum liberal.
Gerakan untuk menuntut hak pilih muncul di Amerika Serikat tahun 1860 dengan
dibentuknya the National Women Suffrage Associaton yang dipimpin oleh Elizabeth
Cady Stanton dan Susan B. Anthony, serta American Women Suffrage Association yang
dipimpin oleh Lucy Stone. Gerakan tersebut terbelah dalam dua kubu seiring dengan
pecahnya perang sipil di Amerika Serikat. Pada dekade yang sama gerakan semacam ini
juga muncul di Inggris seiring dengan tuntutan para buruh laki-laki (kelas bawah) yang
juga tidak diberi hak pilih karena dasar pemberian hak pilih terkait dengan kepemilikan
tanah (property based franchise). Pada tahun 1880-1890an gerakan semacam ini juga
muncul di Australia, New Zealand, Perancis, Canada dan Scandinavia.
Tahun 1885 Gina Krog membentuk Female Suffrage Union di Norwegia.
Gerakan ini juga dimaksudkan untuk memberikan dukungan terhadap gerakan
kemerdekaan Norwegia dari p enjajahan Swedia. Setelah Norwegia dan Finlandia
berhasil meraih kemerdekaan maka sebagai imbalan, perempuan di kedua negara tersebut
kemudian memperoleh hak pilihnya tahun 1906 dan 1913. Di Denmark, dukungan
terhadap gerakan pro hak pilih perempuan cukup besar. Gerakan ini dapat menarik
anggota hingga 23.000 orang. Sebuah jumlah yang cukup signifikan bagi Denmark yang
pada saat itu hanya berpenduduk sekitar 1,5 juta jiwa. Gerakan ini juga berkoalisi dengan
gerakan buruh dan Partai Sosial Demokrat Denmark.
Di New Zealand gerakan ini dipimpin oleh Kate Sheppard dan berhasil
memperoleh hak pilih pada tahun 1893 sedang di Australia gerakan semacam ini
15
dipimpin oleh Rose Scott dan berhasil memperoleh hak pilih pada tahun 1902. Di Inggris
gerakan perempuan untuk menuntut hak pilih mulai terbentuk tahun 1890an dipimpin
oleh Millicent Garrett Fawcett. Namun gerakan ini memperoleh tentangan yang keras
dengan dibentuknya Liga Perempuan Anti Hak Pilih (the Women’s Anti Suffrage League)
yang terbentuk tahun 1908. Mereka yang tidak menyetujui pemberian hak pilih terhadap
perempuan ini berpendapat bahwa perempuan sebagai ibu memainkan peran penting
dalam menentukan nasib imperium Inggris karena seluruh masa depan anak bangsa
bergantung pada para ibu yang akan merawat keluarganya.12
Di Jerman yang pada abad ke 19 dipimpin oleh Bismark yang otoritarian gerakan
perempuan lebih sulit berkembang. Meski demikian perempuan Jerman tetap berusaha
membentuk gerakan. Tahun 1902 Anita Auspurg dan Lida Heymann membentuk The
German Union for Women’s Suffrage dengan jumlah anggota yang relatif kecil, sekitar
2500 orang.
12
Bush J., 2002. ‘British Women’s Anti Suffragism and the Forward Policy 1908-1914’, Women’s History
Review, 11,3, p. 431-53.
16
Di Bolivia, Peru, Nicaragua dan Argentina perempuan baru memperoleh hak
pilihnya setelah Perang Dunia II. Di Argentuna perempuan baru memperoleh hak
pilihnya pada tahun 1947 ketika Peron berkuasa.
13
Hannam, June 2007. Feminism, Pearson Educated Limited, Great Britain, p 89
17
maka akan cenderung konflik dengan partai yang didominasi oleh laki-laki serta cara
pandang yang konservatif. Misalnya, pada tahun 1920an para anggota parlemen Jerman
yang perempuan ikut menentang usulan untuk memberikan perlindungan terhadap para
ibu yang mempunyai anak diluar nikah. Pada tahun 1935 atas desakan gereja, pemerintah
Irlandia mengeluarkan larangan bagi perempuan untuk bekerja diluar rumah karena peran
perempuan sebagai ibu, pengasuh dan pendidik anak dirumah dianggap jauh lebih
penting dibanding dengan bekerja diluar rumah. Di Spanyol, perempuan memperolehhak
pilih tahun 1931, tetapi ketika Jenderal Franco berkuasa tahun 1936 dikeluarkan aturan
untuk melarang hak pilih perempuan, menekankan pentingnya peran perempuan sebagai
ibu rumah tangga dan perempuan tidak boleh meminta cerai. Demikianlah, meski secara
formal perempuan telah memeperoleh kesetaraan hak dengan laki-laki namun berbagai
ajaran maupun aturan dikeluarkan untuk memperkokoh peran domestik perempuan.
Ketika pecah Perang Dunia I perempuan aktif bergabung dalam Women’s
International League untuk mengkampanyekan negosiasi dan perdamaian. Aktifitas
mereka menumbuhkan harapan bahwa perempuan akan benar-nenar menjadi
warganegara yang aktif sebagaimana para laki-laki. Namun setelah perang berakhir
masyarakat menginginkan agar segera kembali pada situasi ‘normal’. Peran perempuan
sebagai ibu rumah tangga adalah yang terbaik bagi keluarga dan bagi bangsa. Perang
telah membuktikan bahwa perempuan dan laki-laki dapat mempunyai peran yang saling
melengkapi, Sebagian generasi muda mulai tidak menyukai istilah feminis yang
diasosiasikannya sebagai gerakan yang menimbulkan konflik didalam keluarga, konflik
antara perempuan dengan laki-laki, dan dianggapnya sebagai ‘old fashioned’. Dukungan
terhadap feminisme mengalami penurunan.14
Solidaritas feminis juga terpecah-pecah sehubungan dengan munculnya gerakan
nasionalisme di negara-negara berkembang maupun di Eropa, serta perbedaan agama, ras
dan etnik. Keadaan ini sangat tidak menguntungkan bagi gerakan perempuan jika ingin
berpolitik dengan menonjolkan identitas perempuan
14
Hannam, June 2007. Feminism, Pearson Educated Limited, Great Britain, p 110.
18
8. Perjuangan Feminis Melalui Partai-partai Sosial Demokrat.
.Gerakan feminis sebagai ‘single sex movement’ berhasil meningkatkan kesadaran
gender perempuan, tetapi juga mengalami banyak masalah. Hal ini mendorong sebagian
feminis Eropa untuk mengubah strategi dengan memasuki arena ‘mix sex politics’
terutama dengan memasuki partai-partai sosial demokrat yang pada saat itu sedang
bermunculan. Mereka berharap akan dapat mewujudkan cita-cita kesetaraan melalui
partai-partai tersebut. Pada tahun 1929, lebih dari separo anggota Partai Buruh adalah
perempuan. Di Belanda jumlah perempuan yang menjadi anggota Partai Buruh Sosial
Demokrat meningkat dari 20 persen pada tahun 1920 menjadi 33 persen pada tahun 1938.
Di Austria lebih dari sepertiga anggota Partai Sosial Demokrat adalah perempuan. Meski
demikian di Perancis dan Belgia pada saat itu, banyak pula kelompok-kelompok sosialis
yang tidak menyukai issue gender.
Dengan prinsip untuk menjunjung tinggi equality, partai-partai sosial demokrat
tampak bersemangat dalam membela emansipasi perempuan. Di Swedia, sejak tahun
1920an para aktifis perempuan di Partai Sosial Demokrat berhasil memperjuangkan
pemberian hak-hak sipil dan politik bagi perempuan dan menjadikan issue tentang akses
keluarga berencana bagi perempuan, perlunya perumahan bagi buruh perempuan dan
kesejahteraan sosial sebagai agenda utama partai. Pada tahun 1938 Swedia menjadi
negara pertama yang melegalkan aborsi.15
15
Hannam, June 2007. Feminism, Pearson Educated Limited, Great Britain, p 116.
19
ekonomi istri terhadap suami maka harus diadakan reformasi sosial untuk memberikan
tunjangan keluarga dan peningkatan penghargaan terhadap perempuan yang menjadi ibu
rumah tangga di rumah. Gagasan ini kemudian diberi label sebagai ‘New Feminist’.
Perbedaan utama antara New Feminists dengan Equality Feminist yang sudah
ada terlebih dahulu ialah bahwa New Feminist lebih menekankan bahwa peren terpenting
bagi perempuan adalah sebagai ibu (maternity), sedangkan Equality Feminist
berpendapat bahwa penekanan peran perempuan sebagai ibu akan menjadikan perempuan
lebih sulit melepaskan diri dari peran tradisional sehingga agenda perjuangan harus
diarahkan untuk menuntut kesetaraan hak dan kewajiban antara perempuan dengan laki-
laki. 16 Perdebatan semacam ini bukan hanya terjadi di Inggris tetapi juga di negera-
negara lain. Prinsip perdebatan terletak pada prioritas perjuangan gerakan perempuan.
Apakah harus mendahulukan tuntutan untuk meningkatkan kesejahteraan perempuan baik
di tempat kerja maupun yang berperan sebagai ibu rumah tangga, atau harus
memprioritaskan tuntutan akan kesetaraan hak antara perempuan dengan laki-laki
terlebih dahulu. Kesetaraan hak merupakan kunci dari perbaikan kesejahteraan
perempuan. Tapi penekanan tuntutan pada masalah kesejahteraan ibu tidak dapat
mengubah hubungan antara perempuan dengan laki-laki. Oleh sebagian feminis, cara
berfikir ‘new feminist’ ini dianggap membingungkan dan justru mirip dengan cara
berfikir anti feminis.
16
Smith, H.L., ed., 1990. British Feminism in the Twentieth Century, Edward Edgar, Aldershot.
20
10. Feminisme Kesejahteraan (Welfare Feminism)
Di Inggris, Jerman dan negara-negara Scandinavia kaum perempuan menuntut
agar pemerintah memberikan tunjangan keluarga. Meski demikian muncul perbedaan
pendapat. ”Atas dasar apa tunjangan tersebut diberikan?” Perempuan Liberal dan
Konservatif di Norwegia menyarankan agar tunjangan diberikan untuk membiayai anak-
anak dalam sebuah keluarga. Dengan memperoleh tunjangan, para ibu dapat membayar
biaya penitipan anak (childcare) dan meneruskan bekerja diluar rumah untuk mencari
uang. Tetapi perempuan sosialis menuntut agar pemerintah memberikan gaji untuk para
ibu (mother wage) melalui perombakan sistem perpajakan. Jika pemerintah memberikan
gaji kepada ibu-ibu, maka ibu-ibu tersebut tidak harus terpaksa bekerja dilur rumah.
Mereka dapat mencurahkan waktunya untuk merawat anak dan keluarga dirumah. Gaji
untuk para ibu juga merupakan bentuk penghargaan negara terhadap peran ibu.
Kampanye feminis untuk memberikan tunjangan bagi para ibu ini memperoleh dukungan
luas dari kaum ibu, namun tuntutan ini tidak mudah direalisir. Munculnya ancaman akan
peledakan penduduk membuat saran ini semakin sulit terealisir.
Namun di negara-negara Scandinavia tuntutan perempuan dibidang kesejahteraan
keluarga ini menunjukkan hasil yang significant. Sejak tahun 1930an perempuan
mempunyai peran yang besar dalam mempengaruhi kebijakan tentang kesejahteraan
sosial. Di Swedia perempuan berjuang agar buruh perempuan yang hamil tetap boleh
bekerja, agar perempuan memperoleh kontrasepsi secara murah dan perempuan
mempunyai hak untuk aborsi dengan alasan-alasan tertentu. Tokoh feminis Alva Myrdal
memperjuangkan adanya fasilitas penitipan anak ditempat kerja, keikutsertaan suami
untuk mengasuh anak dan bantuan untuk meningkatkan upah buruh perempuan.
Prinsipnya untuk meringankan ’beban ganda’ perempuan. Pada waktu itu tuntutan
semacam ini termasuk sangat berani. Akhirnya pada tahun 1960an tuntutan semacam ini
dapat direalisir di Swedia. Partai Sosial Demokrat membuat berbagai kebijakan yang
menguntungkan perempuan dan mengubah sistem perpajakan yang mendorong agar
perempuan bekerja. Ketika perempuan mempunyai akses terhadap kekuasaan maka
gagasan tentang perbaikan kesejahteraan sosial lebih mudah terealisir. Pada tahun 1930an
Eleanor Roosevelt banyak membuat kebijakan-kebijakan kesejahteraan sosial.17
17
Hannam, June 2007. Feminism, Pearson Educated Limited, Great Britain, p 125.
21
11. Perempuan dan Perdamaian.
Terdapat keterkaitan sejarah yang panjang antara gerakan perempuan dengan
gerakan perdamaian. Setidaknya sejak Perang Dunia I, banyak perempuan yang
memprotes perang tersebut dan mengupayakan agar jangan sampai terjadi perang lagi
dikemudian hari. Perang dianggap sebagai buah dari karakter laki-laki yang penuh
ambisi dan menyukai agresi. Bahkan laki-laki dapat menikmati pertempuran dan
penyerangan. Semua perang adalah perangnya laki-laki karena jarang perempuan menjadi
serdadu. Hal ini bertolak belakang dengan karakter perempuan yang menonjolkan kasih
sayang dan kepedulian. Tugas seorang ibu adalah melahirkan kehidupan dan merawat
kehidupan, sedangkan perang adalah menghancurkan kehidupan.18
18
Rupp, L., 1997. The Worlds of Women: The Making of an International Women’s Movement. Princeton
University Press, Princeton, p. 84.
22
Sayang, dampak dari perang adalah resesi ekonomi dunia. Kondisi sosial ekonomi
serba tidak menentu. Pemerintah cenderung mendorong agar perempuan kembali pada
‘peran tradisional’ sebagai ibu rumah tangga. Impian akan kehidupan yang bahagia, ayah
bekerja – ibu merawat anak-anak dirumah, menyebar luas diberbagai media massa.
Tahun 1950an dapat dikatakan sebagai ‘decade of the housewife’. Hanya di beberapa
negara komunis, gerakan perempuan masih dapat bertahan karena didukung pemerintah.
Di Eropa, perempuan dalam posisi yang sangat sulit.
Pada akhir 1960an situasi mulai berubah. Di Eropa dan Amerika perempuan
terlibat aktif dalam protes-protes menentang keterlibatan Amerika dalam Perang
Vietnam, mengkritik sistem kapitalis. Tahun 1968 perempuan memprotes pemilihan Miss
America karena kontes kecantikan berarti sebuah standardisasi kecantikan sesuai dengan
keinginan laki-laki. Perempuan tidak ingin tubuhnya dan perilakunya diatur oleh laki-
laki. Harus disesuaikan dengan keinginan laki-laki. Perempuan menginginkan kebebasan
– women’s liberation movement, termasuk kebebasan untuk menentukan sendiri orientasi
sex yang diinginkan. Mereka tidak sungkan menyebut diri sebagai feminis, yang
kemudian dikenal dengan ‘second wave feminism’ Slogan gerakan ini adalah ‘personal is
political’- kehidupan personal sangat dipengaruhi oleh negara dan sistem patriarchy..
Bagi second wave feminism, area-area yang mungkin dianggap privat seperti bagaimana
sebaiknya bentuk tubuh perempuan, sexualitas, masalah tentang peran perempuan dan
laki-laki, dianggap sebagai issue politik. Keluarga adalah lokasi pertama penindasan
terhadap perempuan. Isuue politik yang dikedepankan oleh women’s lib adalah hal-hal
yang semula dianggap personal, seperti penghapusan diskriminasi sex, tuntutan akan
keberadaan penitipan anak, ketersediaan kontrasepsi yang murah, hak perempuan untuk
melakukan aborsi dan sebagainya.
Kesetaraan formal yang telah dicapai perempuan tidak otomatis akan mengubah
posisi sosial ekonomi perempuan. Perempuan menginginkan unruk memperoleh
kesetaraan de facto. Berbeda dengan feminis gelombang pertama, gerakan women’s lib
lebih menekankan pada gerakan organisasi akar rumput diluar partai politik, tanpa
hierarkhi dan kepemimpinan nasional. Dalam pertemuan-pertemuan kelompok, para
perempuan diminta untuk menceriterakan pengalaman pribadinya. Masing-masing
menceriterakan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya. Mereka kemudian saling
23
menyadari bahwa kesulitan yang dihadapinya tidak bersifat pribadi, perempuan yang lain
juga menemui kesulitan yang serupa. Muncul kesadaran bahwa kesulitan-kesulitan
tersebut muncul karena mereka perempuan. Tumbuhlah solidaritas sex. Perempuan
menyadari bahwa mereka harus bergerak untuk memperbaiki kondisi mereka sendiri.
Ciri utama dari ‘second wave feminism’ adalah sikapnya yang radikal sehingga
mereka dikenal juga sebagai gerakan feminis radikal yang meyakini bahwa subordinasi
terhadap perempuan terjadi karena keinginan laki-laki untuk mengontrol perempuan
melalui meknnisme patriarkhi.19
Pada tahun 1980an sangat dirasakan bahwa slogan ‘sisterhood is universal’ sangat
sulit dipertahankan karena terpecahbelahnya gerakan perempuan atas dasar ras, agama,
etnik, orientasi sex, partai politik dan lain-lain. Menurut teori post modernist yang
dikemukakan oleh Denise Riley dalam bukunya Am I That Name ? , perempuan secara
historis selalu dikonstruksikan untuk dikaitkan dengan kategori-kategori lain. Perempuan
selalu mempunyai identitas ganda yang selalu berubah dari waktu ke waktu sehingga sulit
mengkaitkan secara langsung antara pengalaman dan aktifitas politik maupun
membentuk kepentingan kolektif berdasar sex.20
19
Maynard, M., 1998. ‘Women’s Studies’ in Jakson S and Jones J., Contemporaries Feminist Theories
20
Riley, 1988, Am I That Name ? Feminism and the Category of Women in History, Macmillan, London.
24
Prof. Anita Hill (seorang keturunan Afrika Amerika yang pernah menjadi bawahan
Clarence Thomas di Oklahoma) pada tahun 1991. Pada saat itu President George H. W.
Bush menominasikan Clarence Thomas untuk menjadi hakim agung dan pengungkapan
skandal sex terjadi pada saat dengar pendapat di Senat.
Menanggapi proses dengar pendapat tersebut pada tahun 1992 Rebecca Walker
menerbitkan artikel yang berjudul “Becoming the Third Wave” dan ia menyatakan lared,
“I am not a postfeminism feminist. I am the Third Wave.” Kejadian ini menandai awal
penggunaan istilah “third wave” terhadap gerakan feminism. Konsep The Third Wave
juga menagcu pada buku futurist Alvin Toffler (1980) yang berjudul The Third Wave.
Feminis Gelombang III ini banyak mempopulerkan queer theory, post-colonial theory,
critical theory dan ecofeminism 21
21
http://en.wikipedia.org
25
F. Gerakan Perempuan di Amerika Serikat
Pada tahun 1960an terdapat tiga kelompok gerakan di Amerika Serikat yaitu
gerakan feminis liberal, gerakan feminis radikal dan gerakan feminis Sosialis-Marxist
yang akan dijabarkan dalam uraian berikut.
1. Feminis Liberal
Pada awal tahun 1960an muncul gerakan untuk mengevaluasi kembali hak politik
perempuan. Meski Amerika dalam Amandemen ke 19 Konstitusinya telah memberikan
hak pilih kepada perempuan tapi perkembangannya sangat lambat. Kemunculan gerakan
ini dipicu oleh beberapa kejadian. Pertama, pada tahun 1961 Presiden Kennedy
membentuk Presidential Commission on the Status of Women. Salah satu aktifitasnya
ialah mendidkusikan status perempuan di bidang hukum. Kedua, pada tahun 1963
muncul buku Betty Friedan, The Feminine Mystique yang mendorong perempuan untuk
mempertanyakan kembali ‘Mengapa perempuan tersingkir dari berbagai aktifitas
politik?’ Mengapa politik menjadi domain laki-laki? Ketiga, pada tahun 1966 lahir
organisasi NOW, the National Organization for Women yang dipimpin oleh Betty
Friedan. Tujuan organisasi ini adalah “To take action to bring women into full
participation in the mainstream of American society now” sehingga tercapai kemitraan
yang setara dengan laki-laki. Tahun 1967 partai Demokrat dan partai Republik
menyepakati Women’s Bill of Right yang diantaranya berisi tuntutan :
1. Amandemen konstitusi untuk kesetaraan hak antata perempuan-laki laki
2. Mendorong adanya undang-undang yang menjamin tidak adanya diskriminasi sex
dibidang pekerjaan.
3. Tuntutan penyediaan fasilitas perawatan anak (child care centers)
4. Pemberian hak kepada perempuan untuk mengontrol reproduksinya.
Prinsipnya feminis liberal menginginkan adanya keteraan hak antara peremouan
dengan laki-laki agar perempuan dapat beraktifitas diluar rumah. Feminis liberal
cenderung beranggapan bahwa masalah ketimpangan gender antara perempuan dan laki-
laki didalam rumah (dalam kehidupsn privat) akan dapat terselesaikan jika perempuan
dapat bekerja diluar rumah.
26
2. Feminis Radikal
Pada tahun 1967 kelompok “Ti Grace Atkinson” memisahkan diri dari NOW
yang dianggapnya terlalu konservatif. Gerakan feminis radikal ini juga memperoleh
dukungan dari perempuan kiri (New Left) seperti Shulamith Firestone dan Jo Freeman
yang aktif dalam gerakan New Left tetapi juga merupakan pendiri dari Radical Women di
New York.
Feminis radikal menganggap femins liberal kurang memperhatikan akan
pentingnya gender dan hubungan sosial yang terjadi dalam kehidupan domestik /rumah
tangga (lack of insight into the fundamentality of the sex role system). Penindasan
terhadap perempuan adalah bentuk penindasan politik yang sangat mendasar dimana
perempuan dikategorikan sebagai kelas sex yang inferior. Laki-laki adalah agen
penindasan terhadap perempuan. Feminis radikal bertujuan untuk menghilangkan sistem
klas berdasar sex ini. Penindasan terhadap perempuan termanifestasikan dalam lembaga-
lembaga sosial seperti perkawinan dan hubungan sex antara perempuan dengan laki-laki..
Inferioritas perempuan dalam politik dan ekonomi hanya merupakan simtom dari
problem yang lebih mendasar yaitu status inferior dan tidak adanya kekuasaan yang
melekat pada sifat feminitas.
Menurut feminis radikal, sistem yang mengatur tentang peran sex dibangun oleh
masyarakat dan sangat tidak merugikan perempuan, Norma-norma yang melekat pada
feminitas tidak mendorong perempuan untuk mengembangkan intelektualitas dan
kemampuan fisiknya. Sebaliknya dalam maskulinitas melekat nilai-nilai kekuatan,
rasionalitas, keharusan untuk mengontrol emosi. Masyarakat membentuk nilai-nilai
feminitas agar sesuai dengan peran seorang isteri atau seorang ibu. Norma-norma ini
diajarkan di keluarga kemudian ditransfer ke masyarakat sehingga menjadi jender.
Feminis radikal menempuh cara-cara inkonvensional dalam berpartisipasi politik.
Misalnya dengan melakukan protes terhadap pemilihan Miss Amerika dengan cara
membakar asesori yang terkait dengan feminitas seperti BH, wig, roll rambut dan
sebagainya. Mereka juga memainkan teater di jalanan untuk menumbuhkan kesadaran
jender dikalangan masyarakat. Gerakan ini juga sering disebut sebagai gerakan ‘women
lib’ atau ‘bra burner’22
22
Nicholson, Linda, 1986. Gender and History, Chapter I : The Contemporary Women’s Movement.
27
Tampak jelas bahwa feminis radikal memberikan perhatian yang sangat besar
terhadap masalah ‘pengalaman personal’ perempuan. Mereka melontarkan slogan
‘personal is political’ untuk menggambarkan bahwa kehidupan personal perempuan
seperti pengalaman, perasaan, kehidupan seksual perempuan, hak reproduksi perempuan,
pada hakekatnya dibentuk oleh lingkungan sosial dan politik. Atau dengan kata lain
bahwa kehidupan personal perempuan merupakan bagian dari politik
3. Feminis Sosialis-Marxist
Di Amerika Serikat, gerakan feminis sosialis-Marxist muncul pada awal tahun
1970an sebagai kritik terhadap analisa feminis radikal yang dianggapnya ahistorik dan
cenderung meletakkan keluarga dan praktek feminitas dan maskulinitas diluar konteks
sejarah dan klas. Menurut feminis sosialis-Marxist, analisa tentang ketertindasan
perempuan harus dikaitkan dengan sejarah evolusi dan sejarah pembentukan klas.
Feminis marxist berpendapat bahwa cara untuk membebaskan ketertindasan perempuan
adalah dengan menghilangkan sisten kelas kapitalisme.
Analisa Friedrich Engels dalam The Origin of the Family, Privat Property and the
State menjelaskan bahwa pada awalnya organisasi sosial itu bersifat egalitarian dan
penuh kedamaian. Dalam masyarakat kuno yang egalitarian tersebut, unit sosialnya
adalah keluarga besar yang bersifat kolektif. Semua aktifitas politik dan ekonomi bersifat
komunal (umum) dan subsistensi.Dalam masyarakat seperti itu, ststus perempuan dan
laki-laki sama. Namun dalam perkembangannya, terjadi evolusi. Laki-laki dan
perempuan membentuk pasangan tetap ‘pairing family’, keluarga besar digantikan oleh
keluarga kecil (suami, istri, anak). Ekonomi bukan ditujukan untuk subsistensi tetapi
ditujukan untuk memupuk kapital melalui surplus yang diperolehnya dalam bekerja.
Masyarakat mulai membentuk sistem pertanian, peternakan, pandai besi, pertenuan yang
hasil produksinya dimaksudkan untuk dijual sehingga memperoleh keuntungan. Untuk itu
semua diperlukan sistem pembagian kerja. Laki-laki berperan sebagai pengumpul kapital
(uang), sedang perempuan bertanggung jawab terhadap urusan domestik rumah
tangganya. Ketika kapital yang dikumpulkan semakin banyak maka posisi laki-laki dalam
28
keluarga juga semakin tinggi.Posisi lalaki-laki menjadi jauh lebih penting dibanding
dengan perempuan.23
Sistem keturunan diubah. Jika semula berdasar garis ibu (matrilinial) kini perlu
untuk didasarkan pada garis ayah (patrilinial) Status seorang anak adalah anak dari
ayahnya. Kekalahan perempuan dimulai dengan dihilangkannya garis ibu dan hak ibu.
Laki-laki memegang komando dalam keluarga, sedang perempuan lebih berperan sebagai
pelayan Terbentuklah keluarga patriarchal. Hak milik pribadi, terkait dengan dominasi
klas dan dominasi jender. Dengan demikian dominasi jender akan hilang jika sistem kelas
sudah tidak ada lagi.
Uraian Engels ini menuai banyak kritik, terutama dari feminis radikal yang
mengatakan bahwa dominasi laki-laki (patriarchy) sudah ada jauh lebih dulu daripada
sistem klas dalam masyarakat.
23
Engels, Friedrich Engels, 1884. The Origin of the Family, Privat Property and the State. Disarikan dari
Nicholson, Linda, 1986. Gender and History, Chapter I : The Contemporary Women’s Movement
29
Monogamous Family : Tahap IV dari bentuk keluarga. Keluarga berdasarkan
supremasi laki-laki. Keluarga dimaksudkan untuk memproduk anak dari sang ayah yang
jelas. Hal ini penting agar ayah akan mewariskan harta kekayaan kepada anak-anaknya.
Istri diposisikan sebagai pelayan. Perceraian hanya dapat diusulkan oleh suami24.
24
Engels, Friedrich Engels, 1884. The Origin of the Family, Privat Property and the State. Disarikan dari
Nicholson, Linda, 1986. Gender and History, Chapter I : The Contemporary Women’s Movement
30
division” dan menerima ”gendered notion of power”. Pengertian power berkonotasi pada
atribut-atribut maskulinitas seperti agresi, ambisi, kekuaran (strength) dan rasionalitas..
Bagimana peran negara ? Feminis liberal berasumsi bahwa negara akan
mencerminkan pluralitas kelompok politik. Semua kelompok, termasuk perempuan,
secara potensial mempunyai akses yang sama terhadap kekuasaan. Jika faktanya
perempuan cenderung tidak memperoleh hak politik yang sama dengan laki-laki, hal ini
menunjukkan bahwa negara lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan laki-laki.. Hal ini
dapat dikoreksi dengan melakukan reformasi agar negara melakukan intervensi untuk
meningkatkan peran perempuan dan memperbaiki ketimpangan jender. Feminis liberal
menyarankan agar negara menfasilitasi pengembangan diri perempuan melalui
pendidikan, pemberian upah yang sama antara buruh perempuan dengan laki-laki,
memberikan fasilitas penitipan anak bagi ibu yang bekerja sehingga mereka tetap dapat
malakukan fungsi maternity (pengasuhan anak) sambil bekerja.
31
cenderung mengontrol perempuan (public dependency). Misalnya, diberbagai
institusi pemerintah dibentuk organisasi Dharma Wanita, tetapi tidak pernah
membentuk organisasi Dharma Pria. Bahkan feminis radikal strukturalis
menganggap konsep negara kesejahteraan (welfare state) juga hanya merupakan
wujud baru dari sistem patriarkhi.
32
Tabel 2.4 Mengapa Perempuan Tersubordinasi ?
FEMINIS LIBERAL FEMINIS RADIKAL FEMINIS SOSIALIS
Asumsi Distribusi hak dan Ada sistem patriarchy : Sistem kapitalis yang
peluang antara laki-laki menmggunakan memisahkan privat-
perempuan – laki laki sistem sosial,hukum dan publik
tidak sama politik untuk
mengontrol dan
mendominasi
perempuan
Saran o Perempuan harus Bentuk institusi-institusi o Penghapusan hak
diberi hak politik khusus untuk milik privat
(status hukum), perempuan o Penghapusan mode
pendidikan dan produksi kapitalis
pekerjaan (peluang
ekonomi) yang
sama dengan laki-
laki
Siapa yang Negara Keluarga /lingkungan Lingkungan produksi
menstruktur reproduksi (ekonomi)
kehidupan sosial
1792 Inggris Mary Wollstonecraft Kemampuan perempuan dalam berfikir sebenarnya setara
menulis buku yang dengan laki-laki, tetapi perempuan diarahkan agar dikuasai
berjudul A Vindication oleh perasaan sehingga dapat menjadi alat untuk
of the Right of Women menyenangkan laki-laki. Karenanya perempuan memerlukan
(Mempertahankan Hak- pendidikan yang mampu mengembangkan karakter sehingga
hak Perempuan) yang perempuan juga dapat berpartisipasi dalam membangun tatanan
ditulis oleh sosial yang baru.
Pada tahun Charles Fourier dan Memperkenalkan gagasan sosialis utopian yang menginginkan
1820 -1830an Saint Simon, ahli terwujudnya sebuah masyarakat baru yang bebas dari segala
- Perancis politik Perancis ketimpangan, termasuk diantaranya ketimpangan jender.
Mereka berkomitmen untuk mewujudkan ’human liberation’,
termasuk keinginan untuk mengubah ketimpangan yang
dialami perempuan. Tingkat emansipasi perempuan dapat
dijadikan sebagai ukuran kemajuan. Kaum sosialis utopian
bukan hanya sekedar ingin mengubah bentuk-bentuk produksi,
tetapi juga meningkatkan emansipasi perempuan. Emansipasi
buruh dan emansipasi perempuan saling terkait Sosialis utopian
mempunyai pengaruh yang cukup besar di Perancis, Inggris
dan Amerika. Mereka membentuk komunitas sosialis dan ingin
agar pemikirannya benar-benar menjadi kenyataan dengan cara
33
melakukan transformasi pada semua aspek kehidupan termasuk
perkawinan dan kerumahtanggaan.
1848 -Inggris Robert Owen Di Inggris gagasan ini dipopulerkan oleh pengusaha
manufaktur benang kapas Robert Owen yang banyak
memperoleh dukungan dari para buruh perempuan. Kelompok
ini juga berperan aktif dalam revolusi Eropa 1848 yang
bertujuan untuk menentang rejim konservatif,
memperjuangkan kebebasan sipil dan adanya lembaga
perwakilan rakyat.
1858-1928 Emmeline Pankhurst Membentuk Women’s Social and Political Union - Gerakan
- Inggris dan anak-naknya perempuan sosialis semakin kuat dan radikal dengan
Christabel , Sylvia dan
Adela (1885-1961)
1879 - Jerman August Bebel, Menurut Bebel, perempuan di negara kapitalis sangat tidak
pemimpin Partai Sosial diuntungkan karena didalam lingkungan keluarga perempuan
Demokrat , menulis dibuat bergantung secara sosial dan ekonomi kepada laki-laki
Women and Socialism (suami/ayahnya), sedang ditempat kerja perempuan diekploitasi
tenaganya. Dominasi laki-laki terhadap perempuan bukan
disebabkan oleh fisiknya, tetapi karena sejarah. Posisi
perempuan dalam keluarga dapat dianalogkan sebagai kelas
bawah, sehingga jika perempuan ingin memperoleh emansipasi
maka mereka harus bah membahu dengan laki-laki untuk
mewujudkan masyarakat sosialis.25
1869 John Stuart Mill, The Mill menolak pandangan bahwa perempuan secara biologis
Subjection of Women inferior dibanding laki-laki. Bahwa penampilan mereka
berbeda itu lebih disebabkan karena dorongan lingkungan
masyarakat. Perempuan hanya dapat berkembang jika ia
dibebaskan dari hambatan-hambatan Agar dapat berpartisipasi
dalam politik perempuan perlu mengembangkan
kemampuannya. Mill juga mengkritik perkawinan sebagai
bentuk perbudakan terhadap perempuan. Pengkotakan peren
perempuan dibidang domestik menjadikan perempuan tidak
cocok dengan peran politik. Jika perempuan ingin
berpartisipasi dalam politik maka ia perlu untuk membiasakan
tampil di publik.
1860 – Elizabeth Cady Stanton Gerakan untuk menuntut hak pilih. Membentuk the National
Amerika dan Susan B. Anthony Women Suffrage Associaton
Serikat
Lucy Stone. Mendirikan American Women Suffrage Association
1885 - Gina Krog Membentuk Female Suffrage Union di Norwegia. Gerakan ini
Norwegia juga dimaksudkan untuk memberikan dukungan terhadap
gerakan kemerdekaan Norwegia dari penjajahan Swedia.
Setelah Norwegia dan Finlandia berhasil meraih kemerdekaan
maka sebagai imbalan, perempuan di kedua negara tersebut
kemudian memperoleh hak pilihnya tahun 1906 dan 1913.
1893 – New Kate Sheppard Memimpin gerakan untuk menuntut hak pilih dan berhasil
Zealand memperoleh hak pilih pada tahun 1893
1902 - Rose Scott Memimpin gerakan untuk menuntut hak pilih dan berhasil
Australia memperoleh hak pilih pada tahun 1902.
1920-1930an Bertha Lutz. Gerakan perempuan untuk menuntut hak pilih, dipimpin oleh
– Brazil sekelompok kecil perempuan terpelajar dari kalangan kelas
menengah
25
Sowerwine, S., 1987. The Socialist Women’s Movement from 1850-1940, in Breidenthal, R Koons
34
1920-1930an Dr. Paulina Luisi Gerakan perempuan untuk menuntut hak pilih
- Uruguay
1917 – India Sarojini Naidu Menuntut agar pemerintah kolonial Inggris memberikan hak
pilih kepada perempuan India..
1920an – Huda Sha’rawi Mendirikan Persatuan Feminis Mesir. Semasa penjajahan Huda
Mesir aktif dalam gerakan nasionalis, tetapi ketika Mesir memperoleh
kemerdekaan tahun 1922 ternyata hak pilih hanya diberikan
kepada laki-laki saja.
1920an – Eleanor Rathbone Muncul The National Union of Women’s Suffrage Societies
Inggris menjadi The National Union of Societies for Equal Citizenship
(NUSEC). Agenda perjuangan yang semula menfokuskan diri
pada politik, kemudian merambah pada tuntutan untuk
mereformasi sosial dan ekonomi. Perempuan tidak akan dapat
mencapai kesetaraan kecuali jika kebutuhan-kebutuhan khusus
mereka sebagai ibu telah dihargai. Sehubungan dengan
ketergantungan ekonomi istri terhadap suami maka harus
diadakan reformasi sosial untuk memberikan tunjangan
keluarga dan peningkatan penghargaan terhadap perempuan
yang menjadi ibu rumah tangga di rumah. Gagasan ini
kemudian diberi label sebagai ‘New Feminist’.
1930an Eleanor Roosevelt Feminis Kesejahteraan. Fokus gerakan pada bidang kebijakan
Amerika kesejahteraan sosial
Serikat
1930an – Alva Myrdal Memperjuangkan adanya fasilitas penitipan anak ditempat
Swedia kerja, keikutsertaan suami untuk mengasuh anak dan bantuan
untuk meningkatkan upah buruh perempuan. Prinsipnya untuk
meringankan ’beban ganda’ perempuan. Pada waktu itu
tuntutan semacam ini termasuk sangat berani. Akhirnya pada
tahun 1960an tuntutan semacam ini dapat direalisir di Swedia.
Partai Sosial Demokrat membuat berbagai kebijakan yang
menguntungkan perempuan dan mengubah sistem perpajakan
yang mendorong agar perempuan bekerja.
1970an women’s lib Tahun 1968 perempuan memprotes pemilihan Miss America
(‘second wave karena kontes kecantikan berarti sebuah standardisasi
35
feminism’ – kecantikan sesuai dengan keinginan laki-laki. Perempuan tidak
feminis radikal - ingin tubuhnya dan perilakunya diatur oleh laki-laki
‘personal is political’) Perempuan menginginkan kebebasan – women’s liberation
movement, termasuk kebebasan untuk menentukan sendiri
Menekankan pada orientasi sex yang diinginkan. Mereka tidak sungkan
gerakan organisasi akar menyebut diri sebagai feminis, yang kemudian dikenal dengan
rumput diluar partai ‘second wave feminism’ Slogan gerakan ini adalah ‘personal is
politik, tanpa hierarkhi political’- kehidupan personal sangatdipengaruhi oleh negara
dan kepemimpinan dan sistem patriarchy.
nasional. Mereka melontarkan slogan ‘personal is political’ untuk
menggambarkan bahwa kehidupan personal perempuan seperti
pengalaman, perasaan, kehidupan seksual perempuan, hak
reproduksi perempuan, pada hakekatnya dibentuk oleh
lingkungan sosial dan politik. Atau dengan kata lain bahwa
kehidupan personal perempuan merupakan bagian dari politik
Keluarga adalah lokasi pertama penindasan terhadap
perempuan. Isuue politik yang dikedepankan oleh women’s lib
adalah hal-hal yang semula dianggap personal, seperti
penghapusan diskriminasi sex, tuntutan akan keberadaan
penitipan anak, ketersediaan kontrasepsi yang murah, hak
perempuan untuk melakukan aborsi dan sebagainya.
1970an Feminis sosialis- Muncul sebagai kritik terhadap analisa feminis radikal yang
Amerika Marxist dianggapnya ahistorik dan cenderung meletakkan keluarga dan
Serikat praktek feminitas dan maskulinitas diluar konteks sejarah dan
klas. Menurut feminis sosialis-Marxist, analisa tentang
ketertindasan perempuan harus dikaitkan dengan sejarah
evolusi dan sejarah pembentukan klas. Feminis marxist
berpendapat bahwa cara untuk membebaskan ketertindasan
perempuan adalah dengan menghilangkan sisten kelas
kapitalisme.
Pekerjaan rumah tangga, seperti memasak dan mengasuh anak,
adalah hal yang sangat penting sehingga harus lebih dihargai
dan harus dapat dikerjakan oleh baik oleh perempuan maupun
laki-laki. Negara sebagai penjamin sosial harus mengupayakan
pemberian upah kepada perempuan yang belerja dirumah.
Evolusi sistem keluarga dan sistem produksi mendorong
munculnya patriarkhi
36
membentuk keyakinan akan apa yang salah dan apa yang benar serta menentukan sikap
dan perilaku seseorang. Ideologi menjadi sangat efektif ketika masyarakat menganggap
bahwa (perempuan) memang seharusnya begitu (menjadi ibu rumah tangga, merawat
anak, rumah, suami). Sebagian besar masyarakat menjadi pro status quo, hal yang biasa
terjadi dianggap sebagai sesuatu yang alamiah (kodrati) sehingga ketika ada yang
mengkritik masyarakat menjadi resisten. Ideologi dan stereotype direproduksi oleh
realitas sehari-hari, iklan, media massa, pendidikan, mitos dan agama.
Secara tidak sengaja berbagai tingkah laku kita cenderung mereproduksi dan
memperkuat status quo dan melanggengkan ketimpangan. Karena pembagian peran ini
didukung dan dilanggengkan oleh sebagian besar masyarakat maka gender kemudian
menjadi keyakinan dan ideologi.
--o0o—
37
Bab III : Feminisme dan Gerakan Perempuan di Indonesia
A. Pengantar
Di Indonesia, sebagaimana di negara-negara lain yang pernah mengalami penjajahan,
semangat nasionalisme modern yang menekankan pentingnya homogenitas identitas nasional,
menjadikan gerakan perempuan tumbuh sebagai bagian dari gerakan nasionalis. Akibatnya,
gerakan perempuan tidak mampu menumbuhkan identitasnya sendiri yang khas perempuan
(identitas feminis). Fakta ini sejalan dengan pernyataan Krook bahwa setidaknya terdapat dua hal
yang menentukan muncul tidaknya kelompok sebagai identitas politik, yaitu praktek kesejarahan
dan pengaruh transnasional.26
Adanya kesadaran dikalangan perempuan ini sangat penting katrna jika perempuan dapat
merasakan adanya kesamaan pengalaman akibat diskriminasi sosial yang terstruktur, maka
kepentingan bersama dapat terbentuk dan identitas sosial sebagai perempuan juga terbentuk,
gerakan perempuan semakin kuat dan feminisme akan memperoleh legitimasi masyarakat.
Idealnya, sisterhood dan feminism menjadi ideology gerakan perempuan. Namun faktanya
meski organisasi perempuan telah bermunculan jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia
namun gagasan dan aktifitasnya banyak yang secara tidak langsung justru ikut melanggengkan
patriarkhi. Demikian juga dengan pemerintah. Pemerintah berperan langsung dalam
melanggengkan patriarkhi dengan mengembangkan ideology ibuisme dan gender politics.
Akibatnya, peran pemerintah menjadi kontradiktif. Disatu sisi mendukung kebijakan kuota
perempuan tetapi disisi lain mendomestikan perempuan melalui state ibuism dan gender politics.
Pemerintah melembagakan kuota dalam UU Pemilu dan UU Partai Politik, namun juga
melembagakan state ibuism melalui pembentukan Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK yang
mengakar dari pemerintah pusat hingga ke level desa.
Pertentangan pada level ideologis (normative) dan institusional tersebut pada gilirannya
mempengaruhi aktifitas gerakan perempuan di level praktis. Aktifitas gerakan perempuan juga
terbelah. Disatu sisi muncul organisasi-organisasi perempuan yang memperjuangkan strategic
gender needs seperti Kalyanamitra, Solidaritas Perempuan, Yayasan Jurnal Perempuan, GPSP,
Suara Ibu Peduli, KPI, CETRO (Divisi Perempuan), KPPI, Kapal Perempuan, WRI, LBH APIK,
Komnas Perempuan . Disisi lain juga muncul organisasi-organisasi perempuan yang lebih
26 Mona Lena Krook, Mona Lena and Diana Z. O’Brien, 2010, The Politics of Group Representation : Kuotas for
38
memperjuangkan practical gender needs, seperti Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK,
Dharma Pertiwi, Perempuan PKS – Shalimah dan Perempuan Hizbut Tahrir.
Fenomena umum yang terjadi di negara-negara demokrasi baru yang sedang aktif
melakukan pembangunan seperti di Indonesia ialah, organisasi perempuan banyak yang berperan
sebagai partner pembangunan dari pemerintah. Organisasi-organisasi perempuan juga sangat
bergantung pada donor untuk melakukan proyek-proyeknya. Akibatnya organisasi perempuan
lebih berperan sebagai NGO dan bukan berperan sebagai gerakan perempuan yang menjadikan
kesetaraan gender sebagai tujuan utama. Organisasi perempuan banyak yang tidak bersikap kritis
dan menjadi konservatif demi mempertahankan hubungan baiknya dengan pemerintah dan donor.
Tuntutan kesetaraan gender yang radikal jarang disuarakan. Dengan pola seperti ini organisasi
perempuan yang tradisional lebih mudah diterima di masyarakat daripada gerakan feminis yang
radikal.
27
Murdijana, Sesti, 2006. ‘Refleksi Gerakan Perempuan Indonesia: Dari Layanan ke Gerakan Sosial’,
Selasa 28 Februari 2006
28
Alvarez, S.E., 1990. Engendering Democracy in Brazil : Women’s Movement in Transitions Politics, Princeton
University Press, New Jersey.
29
Molyneux, Maxine, 1985.’Mobilization without Emancipation? Women’s Interest, State and Revolution
in Nicaragua’, Feminist Studies , Vol 11, No. 2, 1985.
39
tercapainya kebutuhan gender yang strategis (strategic gender needs) sangat bergantung pada
perjuangan gerakan-gerakan perempuan untuk menuntut emansipasi dan menghilangkan
ketimpangan gender. Sedangkan kebutuhan gender yang praktis (practical gender needs)
seringkali sama dengan prioritas-prioritas pembangunan sosial ekonomi sehingga sulit dibedakan
antara kebutuhan perempuan dengan kebutuhan masyarakat (miskin) secara umum.
Menurut Darmiyanti Muchtar, organisasi perempuan semacam ini mulai tumbuh pada
tahun 1980an sebagai akibat dari pengaruh program Women in Development, feminisme
internasional dan mulai munculnya demokratisasi. 30 Saskia Wieringa menuliskan bahwa pada
tahun 1950an Gerwani telah menjadi sebuah organisasi perempuan yang beranggotakan lebih dari
1 juta perempuan dan aktif mendiskusikan masalah feminisme serta memperjuangkan buruh
perempuan.31 Tahun 1928 Kongres Perempuan Indonesia telah berhasil membangun organisasi
modern sebagai basis pergerakan, menuntut pendidikan bagi perempuan, perbaikan aturan
perkawinan yang tidak merugikan perempuan dan sebainya.
Meski demikian pemerintahan Orde Baru yang sangat dipengaruhi oleh cara pandang
militer terhadap perempuan, melalui berbagai organisasi seperti Dharma Wanita, Dharma Pertiwi,
PKK, KOWANI dan BKOW telah mensubordinasikan perempuan secara sangat sistematis agar
berperan sesuai ’kodrat’ sebagai istri dan ibu yang baik. Iklim seperti ini tidak memberikan peluang
tumbuhnya kesadaran gender bahwa selama ini perempuan telah terdiskriminasikan oleh sistem
sosial dan politik serta dominasi laki-lalki dalam politik dan bidang-bidang lainya adalah sesuatu
yang tidak demokratis.Perempuan tidak berkuasa untuk mendefinisikan kepentingannya sendiri
dan pemerintah mengarahkan pendefinisian kepentingan perempuan sekedar practical gender
need atau bahkan family based need.
Proses demokratisasi pada tahun 1980an dan reformasi politik yang masih berlangsung
hingga saat ini memberikan peluang tumbuhnya organisasi non pemerintah (NGO), diantaranya
yang bergerak dalam issue perempuan dan gender serta aktif terlibat dalam advokasi
pengadopsian sistem kuota dalam UU Pemilu dan UU Parpol. Tumbuhnya berbagai organisasi
baru menjadikan defersifikasi sifat gerakan perempuan. Meski demikian tidak terjadi perubahan
yang substansial. Hingga pemerintahan Yudhoyono, Dharma Wanita, Dharma Pertiwi, PKK,
30 Muchtar, Darmiyanti, 1999. The Rise of the Indonesian Women’s Movement in the New Order State, Thesis
presenred for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University, Western Australia, unpublished.
31 Wieringa, Saskia ,1999. KUNTILANAK WANGI: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950,
Kalyanamitra, Jakarta. Diterjemahkan dari judul asli: The Perfumed Nightmare (The Hague: Institute of Social Studies,
1988), Penerjemah: Hersri Setiawan
40
KOWANI dan BKOW tetap menjadi organisasi perempuan yang sangat dominan, bahkan sebagian
besar Menteri Urusan Peranan Wanita atau Menteri Pemberdayaan Perempuan berasal dari
pimpinan KOWANI.
Pada dasarnya, sejarah perjuangan wanita Indonesia sangat terkait dengan perjuangan
bangsa Indonesia umumnya. Agar diperoleh gambaran yang tertata secara sistematis, pemaparan
tentang gerakan perempuan ini akan dibagi dalam beberapa periode, yaitu : Periode Penjajahan
Belanda (Periode Perlawanan Bersenjata, Periode Perlawanan Melalui Pendidikan dan Periode
Kebangkitan Nasional), Periode Penjajahan Jepang, Periode Orde Lama, Periode Orde Baru dan
Periode Reformasi.
1. Periode Penjajahan Belanda
41
Nyak Dien terus melawan, namun karena penghianatan bekas pengikutnya, Cut Nyak Dien
akhirnya tertangkap oleh Belanda. Mula-mula ia meringkuk dalam penjara di Aceh, tapi kemudian
dibuang Sumedang (jawa Barat) hingga meninggal disana.
Cut Meutia (1870-1910) bersama dengan suaminya, Cik Tunong, berjuang melawan
Belanda di Aceh dengan membentuk pasukan gerilya untuk menghadang patroli patroli Belanda
dan mengadakan sabotase-sabotase antara lain membongkar rel-rel kereta api. Pasukannya
banyak merugikan Belanda, diantaranya menewaskan komandan patroli Belanda beserta 28
Orang anak buahnya dan menyita 42 pucuk senapan ketika berpatroli di Sungai Piada. Cik Tunong
tertangkap dan di hukum mati. Bujukan Belanda supaya Cut Meutia menyerah tidak berhasil,
bahkan Cut Meutia masuk makin jauh ke pedalaman hutan rimba Pasai untuk meneruskan
bergerilya dan bergabung dengan pasukan Pang Nangru. Akhirnya Meutia menikah dengan Pang
Nangru dan bersama-sama melanjutkan bergerilya menghadang patroli-patroli Belanda. Dalam
kontak senjata dengan Belanda Pang Nangru tewas, tetapi Meutia dapat meloloskan diri. Selang
beberapa lama kemudian ketika menghadapi penyergapan Belanda dengan perlawanan yang
gigih, Cut Meutia gugur pada usia 40 tahun.
42
dari keterbelakangannya khususnya dalam hal pendidikan, dan membebaskan kaumnya dari
kungkungan tradisi yang menindas terutama yang menyangkut masalah perkawinan dan
perceraian. Pada periode ini muncul RA.Kartini, Maria Walanda Maramis, Dewi Sartika dan Nyai
Achmad Dahlan.32
Surat-surat Kartini yang dibukukan dengan judul “Van Duisternis tot Licht” (Habis Gelap
terbitlah Terang) menggambarkan cita-cita Kartini untuk memajukan kaumnya melalui pendidikan.
Pendidikan yang diberikan kepada kaum wanita hanyalah pengetahuan dasar berhitung, baca-tulis,
ketrampilan kerumahtanggaan dan pendidikan guru. Dari pendidikan inilah akan tumbuh
kesadaran perempuan akan adanya ketimpangan-ketimpangan keterbelakangan, ketidak adilan
dalam masyarakatnya.
32
Rusiyati, 1990. SEPINTAS Gerakan Wanita Indonesia Dalam Perkembangan Sejarah (5 - selesai), Paper di
presentasikan pada pertemuan peringatan Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember
1990 di Amsterdam. http://osdir.com/ml
43
tanpa berafiliasi dengan organisasi induk. Hampir semua organisasi perempuan tersebut bertujuan
untuk meningkatkan pendidikan dan pengajaran bagi perempuan, perbaikan kedudukan sosial
perempuan dalam perkawinan dan keluarga, serta meningkatkan kecakapan perempuan dalam
mengelola rumahtangga.
Hingga tahun 1920 jumlah organisasi perempuan ini masih terbatas. Gerak kemajuan
juga lambat. Hal ini disebabkan karena sangat sedikitnya sekolah yang dapat dimasuki oleh
perempuan pribumi dan hanya perempuan dari kalangan bangsawan saja yang dapat bersekolah.
Selain itu, para orang tua dari kalangan bangsawan juga masih banyak yang tidak mengijinkan
anak perempuannya bersekolah. Adat dan tradisi yang berkembang saat itu belum kondusif bagi
kemunculan gerakan perempuan.
Sesudah tahun 1920 jumlah organisasi perempuan bertambah banyak. Kesediaan
wanita untuk terlibat dalam kegiatan organisasi makin meningkat dan kecakapan berorganisasipun
bertambah maju. Hal ini terjadi karena kesempatan belajar makin meluas, bahkan hingga sebagian
kalangan menengah. Dengan demikian jumlah wanita yang mampu beraksi juga bertambah
banyak, tidak hanya terbatas pada kalangan bangsawan tinggi saja.
Pola pembentukan organisasi massa dan partai politik mulai memunculkan aliran priyayi,
santri dan abangan. Aliran priyayi melahirkan Taman Siswo, PNI. Aliran santri melahirkan
Muhammadiyah, Sarekat Islam, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI-1928). Organisasi-
organisasi ini tumbuh menjadi organisasi massa yang mempunyai keanggotaan luas, termasuk
anggota perempuan, dan kemudian membentuk bagian perempuan (bagian wanita). Bagian wanita
Taman Siswo adalah Wanita Taman Siswo (1922). Bagian wanita dari Muhammadiyah adalah
Aisyiah (1917). Bagian wanita dari Sarekat Islam adalah Wanudiyo utomo,yang kemudian
namanya diubah menjadi Sarekat Perempuan Islam Indonesia(S.P.I.I.). Bagian wanita dari PERTI
adalah Wanita Perti (1928).
Pada tahun 1926 Partai Komunis Indonesia telah melakukan perlawanan bersenjata
terhadap Belanda. Akibatnya 4.500 orang yang terlibat diasingkan ke Boven Digul, 15 diantaranya
perempuan dan salah satu diantara perempuan tersebut adalah Soekaesih. Bagian Wanita
Sarekat Ambon, Ina Tuni membantu aksi Sarekat Ambon dikalangan militer Ambon. Bagian Wanita
ini berhaluan politik seperti Sarekat Ambon juga. Hal ini menunjukkan bahwa mulai ada
perempuan yang terlibat dalam aktifitas politik. Meski demikian sebagian besar organisasi
perempuan pada saat itu beraktifitas di bidang sosial. Tujuan utama organisasi perempuan masih
44
dibidang pendidikan dan pendidikan pengetahuan kerumahtanggaan. Jenis perhimpunan Wanita
lainnya ialah organisasi-organisasi pemudi terpelajar, seperti Puteri Indonesia (disamping Pemuda
Indonesia) , Jong Islamieten Bond Dames Afdeling (J.I.B.D.A.) disamping J.I.B.D.A., Jong Java
Meisjeskring.33
Pada bulan Desember 1928, dua bulan setelah Kongres Pemuda Indonesia, sekitar 500
perempuan yang mewakili berbagai organisasi perempuan, menggelar Kongres Perempuan
Indonesia. Kongres ini dapat dimaknai sebagai salah satu puncak kesadaran berorganisasi dari
kaum perempuan Indonesia. Progresifitas pergerakan perempuan tercermin dari kesadaran untuk
membangun organisasi modern sebagai basis peregarakan. Kaum perempuan Indonesia
menunjukkan bahwa mereka mampu membongkar sekat-sekat etnis, agama dan perbedaan
lainnya melebur menjadi satu pergerakan kebangsaan yang demokratis dan pluralistik.
Kongres perempuan tersebut dilaksanakan pada tanggal 22-25 Desember 1928 dan
tanggal tersebut dapat dianggap sebagai tonggak kebangkitan perempuan Indonesia. Pada tahun
1959,tepatnya pada saat dilangsungkannya Kongres Perempuan yang ke tiga, pemerintah
Republik Indonesia menetapkan tanggal 22 Desember, tanggal pembukaan Kongres Perempuan
yang pertama, sebagai hari Kebangkitan Perempuan dan ditetapkan sebagai hari besar nasional
(SK Presiden RI No. 316/1959). Sayang, dalam perkembangannya terjadi pengubahan makna
terhadap peringatan hari tersebut karena tanggal 22 Desember kemudian diperingati sebagai “Hari
Ibu” yang pengertiannya cenderung diasosiasikan dengan "Mother' s Day" di negara- negara Barat
yang jelas berbeda dengan arti peristiwa pada tanggal tersebut, yang memang merupakan
pertanda kebangkitan kaum perempuan Indonesia untuk bersatu dan memperjuangkan nasib
kaum dan bangsanya. Disini yang terjadi adalah distorsi sejarah yang kemungkinan besar
mencerminkan berubahnya pandangan dan aspirasi tentang gerakan perempuan, dan berkaitan
dengan usaha penjinakan kaum perempuan. Besar kemungkinan nama hari ini dengan sengaja
diganti dan dikacaukan pengertiannya menjadi hari untuk pengabdian ibu.34
Hasil kongres memuat materi yang sangat progresif (bahkan untuk ukuran saat ini) antara
lain, merumuskan rekomendasi, sikap politik dan tuntutan terhadap pemerintah Nederlands Indie,
yaitu:
33 Rusiyati, 1990. SEPINTAS Gerakan Wanita Indonesia Dalam Perkembangan Sejarah (5 - selesai), Paper di
presentasikan pada pertemuan peringatan Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1990 di
Amsterdam. http://osdir.com/ml
34 Wardah Hafid dan Tati Krisnawaty, 1989. "Perempuan dan Pembangunan", Laporan Penelitian.
45
- Menambah sekolah-sekolah untuk anak-anak perempuan
- Pada waktu nikah supaya pemberian keterangan mengenai taklik (janji dan syarat-syarat
perceraian). Tuntutan ini meninginkan syarat-syarat perceraian yang menguntungkan
pihak perempuan
- Menentang perkawinan anak-anak dan kawin paksa.
- Agar pemerintah membuat aturan untuk memberi sokongan kepada janda-janda dan
anak-anak piatu pegawai pemerintah.
Kongres juga memutuskan membentuk badan permufakatan bernama Perikatan
Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI) yang bertujuan menjadi media berhimpun bagi
segenap organisasi perempuan Indonesia dengan tujuan untuk memperbaiki nasib dan derajat
perempuan Indonesia. Salah satu rekomendasi yang progresif adalah tuntutan penerbitan surat
kabar sebagai media untuk menyuarakan hak-hak kaum perempuan. Hal ini menjadi bukti bahwa
kaum perempuan telah memiliki visi yang luar biasa pada masa itu.
Hasil-hasil kongres serta aktifitas lebih lanjut pasca kongres memperlihatkan bahwa
pergerakan perempuan mulai keluar dari ranah domestik bahkan menyentuh kesadaran politik.
PPPI dapat melakukan kerja politik secara konkrit dan mengelar kongres setiap tahun. Beragam
isu sosial dan politik mulai disentuh seperti perdagangan perempuan dan anak, propaganda
tentang dampak buruk perkawinan dini bagi perempuan, mendirikan kantor penyuluh perburuhan,
hak-hak perempuan dalam perkawinan serta mempelajari hak pilih bagi kaum perempuan.35
Pada kongresnya yang ke dua, tiga dan empat (1935, 1938 dan 1941), PPPI
membicarakan sekitar kewajiban kebangsaan (walaupun tetap dengan tekanan pada kewajiban
menjadi Ibu Bangsa), masalah hak memilih dalam badan-badan perwakilan dan dewan kota, serta
beberapa masalah politik lainnya.
Pada tahun 1930 berdiri organisasi Istri Sedar di Bandung. Istri Sedar berjuang untuk
mensejajarkan kedudukan wanita dan laki-laki serta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Organisasi ini berani bersikap anti imperialisme dan kolonialisme. Selain itu organisasi ini juga
bersikap kritis terhadap norma-norma adat, tradisi dan agama yang pada prakteknya merugikan
kaum wanita. Pada bulan Juni 1932 beberapa organisasi yang tidak beazaskan agama bergabung
menjadi satu dengan nama Istri Indonesia yang memperjuangkan Indonesia merdeka dengan
35 Rusiyati, 1990. SEPINTAS Gerakan Wanita Indonesia Dalam Perkembangan Sejarah (5 - selesai), Paper di
presentasikan pada pertemuan peringatan Hari Kebangkitan Perempuan Indonesia tanggal 22 Desember 1990 di
Amsterdam. http://osdir.com/ml.
46
dasar demokrasi. Organisasi baru ini giat berusaha agar wanita bisa duduk dalam dewan-dewan
kota, selain juga memperhatikan masalah perkawinan dan perceraian yang pada waktu itu
pengaturannya banyak merugikan kaum wanita.
Pada tahun 1940 di Jakarta berdiri Perkumpulan Pekerja Perempuan Indonesia yang
beranggautakan para wanita yang bekerja di kantor baik pemerintah ataupun swasta sebagai guru,
perawat, pegawai kantor, dsb. Namun, dilihat dari kegiatannya, organisasi organisasi tersebut
belum dapat dikatakan sebagai organisasi profesi, karena pada umumnya kegiatan mereka
ditekankan pada pendidikan ketrampilan kewanitaan dan pemupukan kesadaran kebangsaan,
tidak beda dengan kegiatan yang dilakukan oleh organisasi-organisasi wanita lainnya.
47
Disamping itu juga dibentuk organisasi wanita untuk para isteri yang bernama Fujinkai.
Fujinkai juga dibentuk di daerah-daerah dengan ketuanya istri masing-masing kepala daerah.
Putera kemudian dilebur dalam organisasi baru Jawa HOKOKAI (Himpunan Kebaktian Rakyat
Jawa) dan Fujinkai dijadikan bagian wanitanya dengan cabang-cabang didaerah-daerah.
Kegiatan Fujinkai dibatasi hanya pada urusan-urusan kewanitaan dan peningkatan
ketrampilan domestik selain kegiatan menghibur tentara yang sakit dan kursus butahuruf. Bagi
para wanita yang mempunnyai wawasan luas, pembatasan ini merisaukan dan mereka tidak ikut
masuk Fujinkai. Kenyataan ini menjadikan adanya dua jenis orientasi di kalangan aktivis wanita
yaitu mereka yang berkoöperasi dengan pemerintah Balatentara Dai Nippon dan yang non-
koöperatif serta memilih bergerak diam-diam dibawah tanah.
Tentara pendudukan Jepang juga membentuk pasukan tempur wanita yang disebut
Barisan Srikandi yang anggautanya terdiri atas anak-anak gadis berumur antara 15-20 tahun dan
belum menikah. Mereka dilatih pelatihan kemiliteran untuk dapat maju ke medan perang membela
Jepang, sewaktu-waktu bilamana dibutuhkan. Juga ada latihan-latihan militer bagi para gadis
indonesia bernama Sementai. Untuk pemudanya bernama Seizendang.36
36 Rusiyati, 1990. SEPINTAS Gerakan Wanita Indonesia Dalam Perkembangan Sejarah (3), Amsterdam.
http://osdir.com/ml.
37
Wieringa, Saskia ,1999. KUNTILANAK WANGI: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950,
Kalyanamitra, Jakarta. Diterjemahkan dari judul asli: The Perfumed Nightmare (The Hague: Institute of Social Studies,
1988), Penerjemah: Hersri Setiawan
48
’keberpihakan’ ini tidak berlanjut. Pada tahun 1954 Soekarno menikah lagi. Tindakan Soekarno ini
memukul sebagian gerakan perempuan yang selama itu telah aktif menentang poligami. Persatuan
Wanita Republik Indonesia (PERWARI), menentang keras sikap Soekarno, namun organisasi-
organisasi lainnya mengabaikan masalah tersebut.
Sesudah tahun 1950 persatuan gerakan perempuan Indonesia, yang telah dibangun pada
hari-hari perjuangan nasional dahulu, berangsur-angsur hancur. Dalam menghadapi pemilihan
umum 1955 berbagai partai politik membentuk bagian perempuan masing-masing sehingga
muncul beberapa kubu yang kerapkali saling berseberangan. Kubu Agama dengan Aisyiah
sebagai ormas besar didalamnya, kubu nasionalis dengan Wanita Marhaen, dan kubu sosialis
dengan Gerwani didalamnya. Selain itu masih ada Perwari yang merupakan organisasi istri
pegawai negeri dan Gabungan Organisasi Wanita. Dalam bidang politik, salah satu organisasi
perempuan yang paling radikal menyuarakan aspirasi politik perempuan adalah Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani).
4) Gerwani
Gerwani adalah pergantian nama organisasi wanita yang semula bernama Gerwis. Gerwis
sendiri merupakan peleburan dari enam organisasi wanita yaitu Rukun Putri Indonesia (Rupindo)
dari Semarang, Persatuan Wanita Sedardari Surabaya, Isteri Sedar dari Bandung, Gerakan
Wanita Indonesia (Gerwindo) dari Kediri, Wanita Madura dari Madura, dan Perjuangan Putri
Republik Indonesia dari Pasuruhan. Organisasi ini merupakan payung tempat berkumpulnya
semua kaum perempuan tak pandang ideologi atau pun agama.
Gerakan Wanita Sedar (GERWIS) yang didirikan tahun 1950 dengan anggota hanya
sekitar 500 orang perempuan. Para anggota ini pada umumnya berpendidikan tinggi dan
berkesadaran politik. Kaum perempuan dalam GERWIS umumnya dari generasi yang lebih muda,
tetapi mereka punya hubungan dengan perempuan yang bergabung dalam Isteri Sedar.
Pada awalnya, Gerwis merupakan gerakan perempuan idependent yang berideologi
feminis. Hal ini terlihat dari prinsip dan aktifitas GERWIS yang mengangkat isu-isu feminis seperti
poligini dan ketidakadilan gender. Sejumlah kader telah berjuang menentang ketidak adilan gender
dengan berupaya mendidik anak-anak laki-laki agar mau mengerjakan tugas-tugas rumah-tangga
bersama-sama, dan suami juga diharapkan mengerjakan pekerjaan rumah-tangga yang umumnya
dipandang nyaris sebagai tugas perempuan saja.
49
Dalam perekembangannya pengaruh sosialis sangat kuat dalam GERIS. Pada awal dasa-
warsa 1950-an terjadi perdebatan sengit antara kelompok ‘feminis’ dengan kelompok ‘sosialis’
didalam GERWIS. Kelompok ‘feminis’ menginginkan GERWIS menjadi organisasi dari orang-
orang yang berkesadaran tinggi terhadap isu "feminis". Kelompok ‘sosialis’ dan anggota-anggota
yang tidak begitu memahami isu feminis menginginkan GERWIS dikembangkan sebagai
organisasi massa yang beranggota luas. Kelompok sosialis ini berpendapat bahwa organisasi
akan lebih efektif kalau memperluas keanggotaannya di kalangan massa, yang berangsur-angsur
dan dengan kerja keras akan ditingkatkan kesadarannya.
Dalam pertarungan tersebut kelompok ‘feminis’ atau kelompok ‘murni’ kalah. Ketika
ketegangan politik meningkat dan masyarakat Indonesia semakin mengalami politisasi dan
polarisasi, GERWANI bergeser semakin dekat dengan PKI. Meskipun demikian secara resmi
GERWANI tidak pernah berafiliasi dengan PKI. Rencanamya Gerwani akan menyelenggarakan
kongres pada bulan Desember 1965 yang akan membahas masalah afiliasi ini. Mungkin sekali
gagasan afiliasi dengan PKI akan diterima kongres, tetapi peristiwa bulan Oktober 1965
menjadikan kongres tersebut tidak pernah terlaksana.
Pada tahun 1954 sejalan dengan politik PKI saat itu, GERWIS memutuskan untuk lebih
berencana menarik kaum perempuan dari kalangan massa. Sebagai simbol untuk keputusannya
ini, nama organisasi diubah menjadi Gerakan Wanita Indonesia (GERWANI). Pengubahan nama
ini dilakukan pada Konggres I Gerwis (Gerakan Wanita Sedar) pada bulan Maret 1954. Konggres
juga memilih Umi Sarjono sebagai Ketua Umum Gerwani. Organisasi ini juga bekerja sama
dengan organisasi perempuan lain yang ada di Indonesia dan ikut bergabung dalam Gabungan
Organisasi Wanita (GOW).
Gerwani berhasil menjadi organisasi massa dengan keanggotaan yang luas hingga ke
pelosok-pelosok desa. Pada awal pendiriannya sekitar tahun 1954 beranggotakan 80.000 orang,
tahun 1956 keanggotaannya mencapai lebih dari setengah juta, tahun 1960 dikatakan telah
mencapai sekitar 700.000, hingga akhirnya mencapai sekitar 1, 7 juta anggota pada tahun 1965an.
Jumlah cabang juga berkembang pesat. Tahun 1957 tercatat ada 183 cabang.
Kader-kader dari Jawa dikirim ke berbagai penjuru Nusantara untuk mendirikan cabang-
cabang organisasi. Sebagian besar kader benar-benar menyerahkan hidup mereka untuk
organisasi, bekerja keras sejauh kemampuan mereka dari pagi buta sampai larut malam, sering-
kali dalam keadaan yang penuh kesulitan. Pertumbuhan organisasi yang pesat mengakibatkan
50
kebutuhan akan kader terlatih juga sangat besar. Sekalipun GERWANI terus-menerus berusaha
mendidik kader-kadernya, tetapi persoalan kurangnya kader yang terlatih tetap tidak terjawab.
Akibatnya para anggota dan kader yang aktif sering tertimbun pekerjaan. Walaupun tingkat
pendidikan kader daerahnya umumnya agak rendah, tetapi kader-kader tersebut sanggup berjalan
kaki berhari-hari tanpa memakai sandal atau sepatu, naik-turun gunung, mendatangi kaum miskin
di desa-desa terpencil dan bekerja bersama-sama kaum perempuan di sana, mendidik mereka,
serta berusaha membantu memecahkan persoalan-persoalan mereka.
Program organisasi ini adalah menggalang massa luas dan berjuang demi hak-hak wanita
dan anak-anak. Dalam perjalanan Gerwani telah membuktikan bekerja untuk wanita dan anak-
anak melalui program pendidikan seperti mendirikan Taman Kanak-kanak yang diberi nama TK
Melati sampai di tingkat desa/kelurahan, pemberantasan buta huruf (PBH) di kalangan perempuan,
mendirikan Poliklinik Melati untuk memberikan pelayanan kesehatan bagi ibu dan anak. Gerwani
juga mendirikan Yayasan Penitipan Anak. Misalnya, mendirikan yayasan penitipan anak di Pasar
Gede, Solo.
Bersama dengan kaum perempun dari organisasi-organisasi lain, mereka saling
membantu menyelenggarakan berbagai macam kegiatan, baik di tingkat kampung, kota, maupun
provinsi, mengenai soal-soal seperti kesejahteraan keluarga, kesehatan, kebersihan, dan juga
soal-soal yang lebih bersifat "feminis" seperti pelacuran, perkawinan anak-anak, dan perdagangan
perempuan. Disediakan bantuan hukum, juga bantuan untuk korban banjir dan bencana alam
lainnya.
GERWANI juga giat dalam membantu peningkatan kesadaran perempuan tani, bekerja-
sama dengan bagian perempuan BTI. Pada tahun 1961Gerwani menyelenggarakan seminar
khusus untuk membahas bersama persoalan perempuan tani. Belakangan GERWANI juga
membantu aksi-aksi sepihak pendudukan tanah yang dilancarkan oleh BTI, dan menuntut agar hak
atas tanah juga diberikan kepada kaum perempuan.
Menjelang pemilu GERWANI berperan aktif dalam kampanye-kampanye untuk pemilihan
umum parlementer, dan berhasil menempatkan empat anggotanya dalam pemilihan umum 1955.
Gerwani juga melakukan aksi politik, ekonomi, dan sosial budaya. Pada bidang politik, Gerwani
selalu ikut dalam aksi menyikapi kondisi yang ada, contohnya adalah aksi pengembalian Irian
Barat. Pada bidang ekonomi, Gerwani aktif dalam aksi penurunan harga. Pada bidang budaya,
Gerwani aktif dalam aksi menentang film Amerika Serikat. Pembelaan terhadap perempuan
51
diantaranya dilakukan dengan memperjuangkan Undang-undang Perkawinan dan menentang
Peraturan Pemerintah no 19. Gerwani juga memperjuangkan feminisme, yaitu suatu
gerakan yang membela kaum perempuan dari penindasan.38
GERWANI menerbitkan dua majalah, Api Kartini dan Berita Gerwani. Api Kartini
terutama ditujukan bagi pernbaca lapisan tengah yang sedang tumbuh dan memuat tulisan-tulisan
tentang masak-memasak, pengasuhan anak, mode, dan lain-lain, tetapi juga soal-soal yang lebih
"feminis" dan "kiri" seperti kebutuhan akan taman kanak- kanak, kejahatan imperialisme. Api
Kartini adalah majalah pertama di Indonesia yang menunjukkan pengaruh buruk film-film Amerika
yang bermutu rendah yang saat itu banyak beredar, poligini, dan pentingnya pendidikan bagi kaum
perempuan, serta masalah-masalah sekitar kaum perempuan yang bekerja. Berita Gerwani adalah
majalah intern organisasi, dengan berita-berita tentang konferensi-konferensi yang akan datang,
laporan kunjungan ke organisasi-organisasi perempuan di negeri-negeri sosialis, dan lain-lain.
Apabila Api Kartini terutama terbit untuk menarik perempuan golongan tengah, dan meyakinkan
mereka bahwa GERWANI pun memberikan perhatian pada masalah-masalah "tradisional"
perempuan, Berita Gerwani yang lebih radikal bermaksud memberikan dukungan kepada kader-
kader daerah dan membantu mereka dalam menghadapi tugas-tugas mereka.
Saskia Eleonora Wieringa dalam tesisnya berjudul Politisasi Hubungan Kelamin di
Indonesia; Sejarah Gerakan Wanita Indonesia dan Gerwani Sampai Orde Baru, mengemukakan
Gerwani menyerang dominasi laki-laki dengan menggempur dua benteng sistem patriarkhi, yaitu
menolak poligami dan menuntut tempat di tengah gelanggang politik bagi kaum perempuan.
Langkah ini membawa sejumlah konsekuensi. Pertama-tama, mereka memancing amarah
organisasi-organisasi perempuan lainnya, yang berpendirian bahwa kedudukan perempuan di
masyarakat tidak di bidang politik tetapi di bidang sosial. Langkah Gerwani memasuki bidang yang
sampai sekarang dipandang daerah kawasan laki-laki, telah memicu ketakutan di kalangan
kelompok-kelompok tradisional di Indonesia.39
38 Purwanti, Eni, ‘Aksi gerakan wanita indonesia (GERWANI) cabang Surakarta pada tahun 1954-1965’.
39 Rusiyati, 1990. SEPINTAS Gerakan Wanita Indonesia Dalam Perkembangan Sejarah (5 - selesai), Amsterdam.
http://osdir.com/ml.
52
4. Periode Orde Baru (1965-1998)
Pemerintah Orde Baru yang dipimpin oleh Suharto berlangsung sejak Oktober 1965
hingga Mei 1998. Pemerintahan Orde Baru ditandai dengan sifat otoritarian yang didominasi oleh
militer dan peminggiran partai politik dari arena pembuatan keputusan. Dalam tahun-tahun
pertama pemerintahannya, Suharto membersihkan organisasi-organisasi perempuan dari "unsur-
unsur kiri." Misalnya pada tahun 1966 “unsur-unsur kiri” yang berada di organisasi wanita
PERWARI dipaksa keluar atau mengundurkan diri dari organisasi. Selain itu PERWARI harus
meninggalkan kegiatannya yang berhubungan dengan kepentingan kaum perempuan miskin.
Pada tahun 1978 PERWARI pun dipaksa untuk bergabung secara resmi pada partai pemerintah
GOLKAR. Semua organisasi perempuan yang menyimpangdari garis-garis yang telah dijabarkan
oleh Kantor Menteri Urusan Peranan Wanita,Departemen Sosial atau Departemen Dalam Negeri,
menghadapi risiko besar. Organisasi-organisasiperempuan yang "independen" telah kehilangan
kekuatannya. Mereka boleh menyelenggarakan pertemuan-pertemuan pengajian, boleh
menjalankan "kegiatan amal", tetapi tidak boleh mengungkapkan ketidakadilan terhadap
perempuan. Pemerintah membentuk dan mendukung tiga organisasi utama: PKK, Dharma Wanita
dan Dharma Pertiwi.
PKK didirikan 1957, sebagai program pendidikan untuk kesejahteraan keluarga. Dalam
pertengahan dasa-warsa 1960-an istri Gubernur Jawa Tengah saat itu, Ibu Munadi,mempelopori
pelaksanaan PKK sebagai bagian dari usaha pembangunan daerah. Sekarang ini PKK terbentuk
di seluruh Indonesia. Kegiatannya diperluas sehingga mencakup semua program pemerintah yang
ditetapkan untuk kaum perempuan. Tanggung-jawab mengenai program-program PKK ada di
tangan Menteri Dalam Negeri. Istri Menteri Dalam Negeri secara resmi menjadi Ketua PKK,
sedang suaminya menjadi "penasehat." Program ini dikoordinasikan melalui, Kantor Menteri
Urusan Peranan Wanita. Struktur organisasinya bersifat hirarkis. Di tingkat desa istri lurah menjadi
Ketua PKK. PKK juga digunakan sebagai salah satu alat penting untuk mengumpulkan suara bagi
GOLKAR dalam pemilihan umum. Para Camat sangat memperhatikan hal ini, karena sedikit-
banyak jabatannya tergantung pada jumlah suara GOLKAR yang terkumpul di wilayah
kecamatannya.
Dalam prakteknya berarti bahwa kegiatan anggota PKK adalah membuat karangan bunga,
jahit-menjahit, masak-memasak, mengikuti penataran-penataran Pancasila, dan siap mernbantu
pemerintah setiap saat pemerintah memerlukannya. Anggota PKK tidak berjuang untuk hak-hak
53
kaum perempuan, karena resminya kaum perempuan sudah beremansipasi. Berbicara tentang
penindasan terhadap perempuan berarti mempertanyakan politik pemerintah, dan ini adalah
perbuatan tabu yang menyebabkan orang bisa dituduh berbuat subversi.40
Dengan demikian urusan pokok PKK ialah soal-soal yang langsung menyangkut
rumahtangga, kesehatan, dan pakaian yang patut bagi para anggota keluarga, pendidikan anak,
dan keserasian dalam hidup bertetangga. Perempuan bertanggung-jawab atas ketenteraman
keluarga, ketenangan dan ketertiban hidup para anggotanya. PKK tidak hanya digunakan untuk
mengajar kaum perempuan menyadari kedudukan mereka yang selayaknya, tetapi juga
merupakan salah satu alat yang wajib menjaga agar tidak ada golongan masyarakat yang
menentang rezim yang berkuasa.
Dibawah Orde Baru, KOWANI (Kongres Wanita Indonesia) yang cikal bakalnya telah
terbentuk pada tahun 1928, menjadi payung (federasi) bagi sebagian besar organisasi wanita yang
berorientasi ”konservatif kewanitaan” (menekankan peran wanita sebagai istri dan ibu).
Keanggotaan KOWANI terdiri atas dua jenis yaitu organisasi-organisasi perempuan "independen"
seperti PERWARI, Aisyah, Wanita Tamansiswa, Persatuan Wanita Universitas Gadjah Mada,
Muslimat NU, Wanita Katolik dan lain-lain, serta organisasi-organisasi perempuan istri pegawai
yang ada di berbagai departemen. 41 Karena tiap-tiap departemen pemerintah punya organisasi
perempuan sendiri sehingga jumlahnya puluhan, maka Dharma Wanita dan Dharma Pertiwi sangat
mendominasi KOWANI. Ditingkat provinsi organisasi-organisasi wanita diikat dalam Badan
Koordinasi Organisasi Wanita (BKOW).
40
Wieringa, Saskia ,1999. KUNTILANAK WANGI: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950,
Kalyanamitra, Jakarta. Diterjemahkan dari judul asli: The Perfumed Nightmare (The Hague: Institute of Social Studies,
1988), Penerjemah: Hersri Setiawan
41 Daftar anggota KOWANI dapat didownload dari http://www.kowani.or.id
42 Muchtar, Darmiyanti, 1999. The Rise of the Indonesian Women’s Movement in the New Order State, Thesis
presenred for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University, Western Australia, unplublished. Lihat juga
54
dipengaruhi oleh permintaan lembaga-lembaga internasional (PBB-United Nations Comission on
the Status of Women) dan donor internasional yang meminta agar pemerintah, terutama di negara-
negara berkembang, benar-benar memperhatikan pentingnya pelibatan perempuan dalam proses
pembangunan. Permintaan semacam ini berpengaruh besar terhadap Indonesia yang sangat
membutuhkan dana asing untuk mensukseskan pembangunan. Permintaan ini juga tidak
bertentangan dengan ideologi gender yang dikembangkan Orde Baru (ibuism) karena WID
cenderung menafsirkan permasalahan utama yang dihadapi perempuan adalah yang terkait
dengan kebutuhan-kebutuhan dasar keluarga (practical gender need).
Konsepsi Indonesia tentang pelibatan perempuan dalam pembangunan ini terlihat
dalam dokumen pemerintah tentang peran perempuan. Pertama, perempuan sebagai sumberdaya
dalam pembangunan. Kedua, perempuan sebagai pengarah tata laksana rumah tangga. Ketin
kedua menggarisbawahi perempuan sebagai ibu rumah tangga. Peran ketiga menggarisbawahi
perempuan sebagai penjaga nilai-nilai luhur Pancasila. 43 Namun, meski ada upaya untuk
mendorong perempuan sebagai penunjang ekonomi keluarga, pemerintah tetap menekankan
peran terpenting perempuan sebagai ibu. Peran perempuan dalam mencari nafkah tidak boleh
meninggalkan peran sebagai ibu.
Menurut Sen (1998), pelibatan perempuan dalam proses pembangunan (WID) –
kemudian diteruskan dalam Gender and Development (GAD), merupakan bentuk partisipasi
Indonesia dalam agenda global, ”as part of Indonesia’s participation in a global event, the
International Women Decade”. Pencanangan GAD direspon oleh Indonesia dengan program
Kemitra Sejajaran (equal partnership) antara pria dan wanita, meski demikian tidak ada perubahan
yang mendasar dalam politik gender di Indonesia karena pemaknaannya disesuaikan dengan
konsep ibuism sehingga menjadi ”equal but not same”. Sebagaimana komentar seorang aktivis
perempuan :
Sulivan, N., 1991.’Gender and Politics in Indonesia’ in M. Stivens (Ed.,), Why Gender Matters in Southeast Asian
Politics, Monash University, Centre of Southeast Asian Studies, Clayton, NSW.
43
Caraway, T.L., 19998. ‘Perempuan dan Pembangunan : Sejarahnya sebagai Lapangan Studi dan Ideologi
Pemerintah Indonesia’, Jurnal Perempuan, No.5, Nov-Jan 1998, hal. 4-14; Muchtar, Darmiyanti, 1999. The Rise of the
Indonesian Women’s Movement in the New Order State, Thesis presenred for the degree of Master of Philosophy of
Murdoch University, Western Australia. Lihat juga Sulivan, N., 1991.’Gender and Politics in Indonesia’ in M. Stivens
(Ed.,), Why Gender Matters in Southeast Asian Politics, Monash University, Centre of Southeast Asian Studies,
Clayton, NSW, hal. 22.
55
It can clearly be seen from international context, the Indonesia government adopted the
WID because there was pressure from the creditor countries to include women’s issues in
its agendas.44
Pada saat yang sama, kebutuhan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi
mensyaratkan adanya stabilitas politik, sehingga peran perempuan harus dikontrol sebatas
mensukseskan program pemerintah dan tidak mengungkit relasi gender yang sensitif. Pelibatan
perempuan dalam pembangunan tidak berarti bahwa perempuan mempunyai peran dalam
pembuatan keputusan. Misalnya, hampir semua Menteri Urusan Peranan Wanita pada masa
pemerintahan Suharto, berlatar belakang KOWANI (Konggres Wanita Indonesia) yang didalamnya
sangat didominasi oleh Dharma Wanita.45
Tahun 1980an Indonesia mulai mengalami proses demokratisasi yang ditandai dengan
kemunculan organisasi-organisasi yang mandiri dan otonom dilingkungan civil society (NGO/CSO).
Sebagian diantara CSO’s tersebut bergerak dibidang issue-issue perempuan dan
memperjuangkan kepentingan-kepentingan gender. Tahun 1980an juga merupakan awal
kemunculan gerakan perempuan yang lebih agresif. Menurut Darmiyanti Muchtar, pada periode
1982-1998 terdapat sekitar 71 organisasi perempuan yang bersifat mandiri, otonom dan
memperjuangkan kepentingan-kepentingan gender yang tersebar di Jawa, Sumatera, Nusa
Tenggara Barat (NTB), Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Irian Jaya. Kemunculannya dimungkinkan
karena interaksi antara wacana WID, feminism dan proses demokratisasi yang mulai tumbuh di
tahun 1980an yang telah memberikan peluang bagi perempuan kelas menengah untuk
membentuk organisasi yang lebih mandiri.46
Sebagian diantara gerakan perempuan tersebut muncul sebagai bagian dari gerakan
mahasiswa yang sejak tahun 1970an mulai muncul gerakan mahasiswa yang mulai berani
mengkritik pemerintahan Orde Baru. Beberapa kelompok mahasiswa yang merasa tidak dapat
berekspresi di kampus karena kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) kemudian
44
Dikutip dari Muchtar, Darmiyanti, 1999. The Rise of the Indonesian Women’s Movement in the New Order State,
Thesis presenred for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University, Western Australia, unpublished. Lihat
juga Sulivan, N., 1991.’Gender and Politics in Indonesia’ in M. Stivens (Ed.,), Why Gender Matters in Southeast Asian
Politics, Monash University, Centre of Southeast Asian Studies, Clayton, NSW, hal. 24.
45 Kecuali Tuty Allawiah yang berlatar belakang sebagai tokoh Nahdatul Ulama (NU), meski ia juga dikenal sangat
56
membentuk aktifitas diluar kampus. 47 Aktifitas mereka pada awalnya bersifat a politik, seperti
menangani proyek-proyek pendidikan dan pembangunan masyarakat di desa-desa. Dari aktifitas
ini mereka kemudian membentuk NGO (Non Governmental Organizations). Prioritas aktifitas
mereka adalah pada peningkatan taraf hidup perempuan. Fakih (1996), memberinya label dengan
“developmentalist NGO”.48
Kemunculan developmentalist NGO yang bergerak dalam issue perempuan ini tidak
terlepas dari tekanan regime internasional yang gencar mengkampanyekan WID. Donor
Internasional bersedia masuk ke Indonesia asal dana tersebut digunakan untuk proyek-proyek
WID. Sebagian dana mengalir ke lembaga-lembaga bentukan pemerintah dan sebagian lagi
langsung mengalir ke NGO-NGO.
Beberapa NGO bergerak dibidang issue perempuan dan aktif menjalin kerjasama dengan
donor internasional. Salah satu jaringan advokasi transnasional yang beroperasi di Indonesia ialah
International NGO Forum on Indonesia (INGI, kemudian berganti nama INFID) yang terbentuk
tahun 1985, yang menghubungkan NGO-NGO di Indonesia dengan NGOs dari negara-negara
yang memberikan bantuan terhadap Indonesia. Selain itu juga terdapat YAPIKA (Yayasan
Persahabatan Indonesia Kanada) atau Forum Indonesia-Kanada (the Indonesia-Canada
Forum/ICF) dibentuk pada tahun 1991 dan berperan sebagai lembaga yang menyalurkan dana
untuk LSM-LSM di Indonesia, dengan kepengurusan kolektif antara organisasi-organisasi non-
profit Indonesia dan Kanada. Sejak tahun 1997, YAPIKA berubah menjadi sebuah ORNOP
Indonesia yang berkonsentrasi untuk melakukan peningkatan kapasitas lembaga-lembaga non-
profit dan advokasi nasional untuk isu-isu tertentu yang menjadi fokus perhatiannya. Nama
organisasi ini menjadi YAPPIKA (Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif dan Kemitraan
Masyarakat Indonesia).
Merespon sikap lembaga-lembaga donor internasional tersebut maka berbagai
developmentalist NGO merancang program-program yang terkait dengan issue perempuan,
membentuk divisi perempuan dalam NGOnya, mempekerjakan staf perempuan di level akar
rumput, dan membentuk komunitas-komunitas perempuan di level akar rumput. Namun demikian
prioritas program mereka tetap pada peningkatan taraf hidup perempuan, bukan menggalang
57
aktifitas politik perempuan maupun menghilangkan diskriminasi yang dihadapi perempuan.
Sebagaimana dikatakan oleh Berninghausen dan Kerstan (1992) :
Existing NGOs that implement women’s programmes are not motivated by the idea of
women’s solidarity in political sense. Rather, they view their work as help for the
economically and socially underprivileged. As such, a confrontation with discriminatory
norm and repressive role requirement takes a back seat to a commitment to improve
material living conditions.49
49 Berninghausen J., & Kerstan B., 1992. Forging New Paths: Feminist Social Methodology and Rural Women in Java,
Zed Book, London, p. 253-254. Dikutip dari Muchtar, Darmiyanti, 1999. The Rise of the Indonesian Women’s
Movement in the New Order State, Thesis presenred for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University,
Western Australia. Lihat juga Sulivan, N., 1991.’Gender and Politics in Indonesia’ in M. Stivens (Ed.,), Why Gender
Matters in Southeast Asian Politics, Monash University, Centre of Southeast Asian Studies, Clayton, NSW, hal.69.
58
Jika dilihat dari orientasi ideologisnya, organisasi-organisasi perempuan Indonesia pada
masa reformasi dapat dikelompokkan menjadi tiga yaitu kelompok sekuler, kelompok Islam
modernis dan kelompok Islam syariah, seperti tampak dalam tabel berikut ini. Kelompok Sekuler
cenderung dipengaruhi oleh gagasan feminis Barata atau setidaknya tidak menjadikan agama
sebagai basis ideologi dan gerakan. Kelompok Islam Reformis berada di organisasi-organisasi
Islam yang berpandangan bahwa Islam menjanjikan keadilan dan kesetaraan. Kelompok ketiga
adalah kelopok Islam Syariah. Kelompok ini berpandangan bahwa tidak ada masalah gender.
Gender identik dengan kepentingan imperialis Barat untuk menghancurkan sendi-sendi
kekeluargaan dalam Islam.
Pengelompokan ketiganya dapat tergambar dalam tabel berikut ini.
Tabel 3. 1 : Pengaruh Lingkungan Internasional terhadap Gerakan Perempuan di
Indonesia
Pengaruh Orientasi Ideologis Cara pandang terhadap Organisasi Perempuan /
Internasional Gender LSM Perempuan
Feminist (GGER) SEKULER Perempuan terdiskriminasi Kalyanamitra
Status inferior perempuan Solidaritas Perempuan
Pro gender –pro kuota harus diubah Yayasan Jurnal Perempuan
GPSP
Suara Ibu Peduli
KPI
CETRO (Divisi Perempuan)
KPPI
Kapal Perempuan
WRI
LBH APIK
Komnas Perempuan
Campuran ISLAM Islam menjanjikan keadilan dan Rahima
REFORMIS/FEMINIS kesetaraan Fatayat
Islam sebagai kekuatan untuk NA
menentang patriarkhi Aisyiah
Ada kesalahan interpretasi,
perlu reformasi Islam
Konservatisme ISLAM SYARIAH Gender identik dg kepentingan Perempuan PKS – Shalimah
Islam imperialis Barat. Perempuan PBB
Anti gender – anti kuota Tidak ada masalah gender Perempuan Hizbut Tahrir
Kurang tertarik terhadap isu
hak-hak perempuan
Penerapan shariah sebagai
solusi semua permasalahan di
Ind
59
gender karena peran laki-laki dan perempuan telah diatur dalam agama. Hizbut Tahrir dan Partai
Keadilan Sejahtera mempunyai anggota wanita (sayap kewanitaan) dengan jumlah besar yang
aktif dalam kegiatan sosial, ekonomi, keagamaan maupun politik.
Gambaran tentang organisasi-organisasi yang merupakan bagian dari gerakan
perempuan serta aktifitas-aktifitas mereka yang terkait dengan advokasi gender maupun
keterwakilan perempuan dalam politik tampak dalam pemaparan berikut ini.
1) Kalyanamitra (1985)
Setelah World Conference on Women di Nairobi, Kenya tahun 1985, sebagian besar
negara-negara anggota PBB, termasuk Indonesia, mengakui akan pentingnya keterlibatan
perempuan dalam program-program pembangunan. Didorong akan kebutuhan tersebut serta fakta
akan tingginya ketidakadilan yang dihadapi wanita Indonesia, beberapa aktifis perempuan seperti
Debra Helen Yatim, Myra Diarsi, Syarifah Sabaroeddin, Sita Aripurnami dan Ratna Saptari
mendirikan Kalyanamitra tahun 1985. Kalyanamitra kemudian menjadi pusat informasi dan
komunikasi perempuan yang beralamat di Jl.Kaca Jendela II No.9 Rawajati-Kalibata, Jakarta
Selatan 12750.
Kalyanamitra mempunyai visi untuk mewujudkan kondisi perempuan yang terbebas dari
segala bentuk kekerasan, dan mempunyai tujuan strategis untuk memfasilitasi informasi kritis dan
layanan terkait isu-isu perempuan untuk mendorong kemajuan gerakan sosial di Indonesia serta
memberi perspektif perempuan dalam advokasi kebijakan yang berpihak pada perempuan.
Lembaga ini mempunyai empat misi utama yaitu : Pertama, memantapkan pengetahuan dan
pemahaman tentang peta kondisi dan posisi perempuan dalam masyarakat; Kedua, membangun
peran dalam advokasi kebijakan-kebijakan yang berpihak dan melindungi perempuan dari segala
bentuk kekerasan; Ketiga, membangun gerakan untuk menegakkan hak-hak perempuan di
masyarakat bersama-sama kelompok lainnya melalui pendidikan dan diseminasi informasi, dan :
Keempat, membangun kapasitas kelompok-kelompok perempuan untuk mengorganisir diri
menghilangkan ketidakadilan gender guna menuju masyarakat yang lebih demokratis dan
berkeadilan sosial. Untuk mendukung aktifitasnya, Kalyanamitra memperoleh dana dari Global
Fund for Women, Mamacash, American Jewish World Service, Misereor, EED Germany.
Kalyanamedia merupakan media yang memuat pandangan-pandangan yang membangun
kesadaran kritis kaum perempuan di seluruh Indonesia sehingga memberdayakan dan
menguatkan mereka. Kekuatan bersama kaum perempuan yang terbangunkan itu merupakan
60
sendi-sendi penting terdorongnya gerakan perempuan dan sosial umumnya untuk menuju
masyarakat yang demokratis, setara, tidak diskriminatif dan tidak subordinatif.50
61
negara miskin bermigrasi ke negara-negara lain dan dipekerjakan dibawah sistem kerja yang
eksploitatif dan penuh kekerasan.
Ekspansi ekonomi global yang mengandalkan pasar bebas dan lembaga pembiayaan
internasional telah memunculkan pengambil-alihan dan eksploitasi sumberdaya alam, pencemaran
dan penghancuran lingkungan atau sumber-sumber kehidupan seperti air, udara dan tanah.
Kepentingan ekonomi yang didukung oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam
bentuk “revolusi hijau” pada sektor pertanian dan “revolusi biru” pada sektor kelautan misalnya,
telah menyingkirkan banyak perempuan dari pengelolaan pangan. Perempuan tidak lagi memiliki
kedaulatan atas pangan, bahkan banyak perempuan dan keluarganya menjadi sangat tergantung
pada produk industri pangan yang dikendalikan oleh berbagai perusahaan multi-nasional. Proses
ini telah memunculkan kemiskinan dan hilangnya kesempatan dan kemampuan perempuan dan
keluarganya untuk mempertahankan keberlanjutan kehidupan.
Pada sisi yang lain otoriterianisme politik dan militerisme juga masih tetap menjadi
ancaman terhadap upaya perempuan dalam memperkuat akses dan kontrolnya terhadap
keputusan politik, termasuk keputusan tentang pekerjaan dan pengelolaan sumberdaya alam dan
sumber-sumber kehidupan. Lebih dari itu, watak otoriterianisme dan militerisme yang mendasari
sistem pengelolaan negara tidak hanya memunculkan sistem yang sentralistik, represif, tertutup,
korup dan menghambat kebebasan atau ekspresi politik perempuan dan masyarakat secara
keseluruhan. Tetapi juga telah berkembang jauh menjadi sistem pendukung yang efektif bagi
keberlanjutan kepentingan ekonomi negara-negara industri di Indonesia.
Dalam konteks seperti ini, negara tidak lagi memberikan perlindungan yang layak terhadap
hak azasi manusia atau hak azasi perempuan baik itu hak sipil politik maupun hak-hak sosial
ekonomi dan budaya. Malah sebaliknya negara telah melakukan berbagai penyesuaian struktural
untuk mendukung kehendak negara-negara industri, antara lain dengan menetapkan berbagai
perangkat hukum dan perundangan untuk memberikan legitimasi bagi kegiatan industri yang
menyingkirkan perempuan dari sumber-sumber kehidupan bersama. Juga telah melakukan
restrukturisasi industri dan perdagangan yang berdampak tersingkirnya perempuan dari berbagai
lapangan kerja, tersingkirnya petani, nelayan dan kaum miskin dari sektor sektor pertanian,
kelautan dan sektor informal. Hal ini pada gilirannya telah berkembang menjadi pemiskinan yang
sistematis dan feminisasi kemiskinan, yang tidak memberikan banyak pilihan bagi perempuan dan
62
kaum muda pada umumnya. Mereka terpaksa menjadi buruh migran di berbagai negara atau
menjadi kaum urban di perkotaan yang hidup dibawah standar kehidupan yang layak.
Suburnya fundamentalisme di berbagai tempat juga telah memperpanjang deretan
masalah yang dihadapi perempuan. Fundamentalisme yang mengandalkan sikap radikal dan
intepretasi agama yang sempit dan sepihak masih digunakan sebagai alat untuk mendominasi dan
membatasi ruang gerak atau ekspresi politik perempuan. Atas nama tafsir agama, perempuan
dipinggirkan bahkan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan otensitas nilai-nila agama.
Pada tataran tertentu fundamentalisme yang muncul sebagai reaksi atas ketidakberdayaan dalam
menghadapi perubahan sistemik yang bersumber pada tekanan dan hegemoni kekuatan ekonomi
global yang imperialistik, telah memunculkan radikalisasi perlawanan dan berbagai bentuk
kekerasan. Kondisi seperti ini pada gilirannya telah memberikan peluang bagi kekuatan ekonomi
global untuk menyokong militerisme yang pada akhirnya memunculkan globalisasi terorisme dan
terorisme negara. Dalam konteks seperti ini, pendekatan kekerasan menjadi sesuatu yang sah
berdasarkan ketentuan-perundangan. Dampaknya pun tidak hanya memunculkan korban jiwa
yang besar, tetapi juga adalah ketakutan dan trauma yang bersifat pasif yang pada akhirnya
menjadikan perempuan kehilangan akses dan kontrol terhadap pengambilan keputusan dan
pemanfaatan sumberdaya alam atau sumber-sumber kehidupan bersama.
Apabila dibiarkan berlanjut terus, maka proses atau kecenderungan ekonomi dan politik
yang berwatak partriarki pada gilirannya akan makin merendahkan harkat dan martabat manusia
serta menghambat perwujudan masyarakat yang demokratis, adil, makmur, damai dan sejahtera.
Berbagai kecenderungan yang mengandalkan pendekatan eksploitatif, hegemonik atau dominatif,
dan represif yang selalu menyertai perkembangan ekonomi global tidak hanya akan merugikan
kaum perempuan tapi juga keluarga dan masyarakat secara keseluruhan.
Upaya menghadapi perkembangan yang bersifat sistemik ini, tidak hanya menjadi
tanggungjawab kaum perempuan, tetapi merupakan tanggung jawab bersama kaum laki-laki dan
perempuan. Diperlukan upaya-upaya yang lebih sistematis yang didasarkan pada semangat
gerakan bersama untuk menciptakan suatu tatanan sosial yang adil dan demokratis, yang
didasarkan pada prinsip-prinsip hak azasi manusia, keadilan, kesadaran ekologis, kesadaran
tentang keberagaman (pluralisme) serta sikap anti diskriminasi dan anti kekerasan, yang
didasarkan pada sistem hubungan laki-laki dan perempuan yang setara, dimana keduanya dapat
63
berbagi akses dan kontrol atas sumber daya sosial, sumber daya alam, budaya, ekonomi dan
politik secara adil.
Misi perserikatan ini ialah untuk turut membangun kekuatan perempuan seluruh Indonesia;
menjalin kerjasama dengan gerakan perempuan di seluruh dunia; memperjuangkan dan
melakukan pembelaan terhadap perempuan, terutama kelas marjinal dan tertindas; memajukan,
membela dan meningkatkan kesadaran hal azasi manusia dengan fokus hak perempuan;
memperjuangkan terjadinya perubahan nilai, sikap dan prilaku yang merupakan manifestasi dari
ideologi patriarkhi; memperjuangkan nilai-nilai feminis ke dalam berbagai sistem hukum dan
kebijaka; melakukan berbagai ikhtiar lain yang sah dan tidak bertentangan dengan asas dan tujuan
perserikatan.
Terkait dengan advokasi kebijakan kuota perempuan dalam politik, Solidaritas Perempuan
menerbitkan beberapa buku, diantaranya:
- Titi Soentoro, 2004, Pentingnya Keterwakilan Perempuan di Badan Perwakilan Desa,
Dukungan The Asia Foundation
- Rio Ismail, Risma Umar dan Titi Soentoro, 2004, Perempuan Bersikap Pada Pemilu,
Dukungan UNDP, C For vici, Uni Eropa dan KPU (seri kedua)
- Rio Ismail, Risma Umar dan Titi Soentoro , Suara Mayoritas Yang Samar, Dukungan
UNDP, C For vici, Uni Eropa dan KPU (seri ketiga)
64
di fakultas Sastra Universitas Indonesia, namun dalam perkembangannya ternyata jurnal tersebut
cukup banyak diminati. Hingga akhir Desember 2008 telah mencapai edisi ke 60 dan
terdistribusikan hampir di seluruh toko buku ternama di Indonesia. Jurnal Perempuan lebih banyak
dikonsumsi oleh kelompok masyarakat kelas menengah seperti kaum aktivis, akademisi, pekerja
dan sebagainya
Mulai tahun 1998 YJP menerima tawaran dari Internews Indonesia untuk mencoba sebuah
bidang yang baru dan penuh tantangan yakni memproduksi program radio bernama Program
Radio Jurnal Perempuan (PRJP) yang mengangkat berbagai isu dan persoalan perempuan
khususnya di tingkat lokal. Program Radio Jurnal Perempuan memang ditujukan untuk masyarakat
yang lebih luas, sebagaimana hakikat radio yang lebih mudah diakses bahkan oleh masyarakat di
pedesaan. Murah, mudah, dan dapat didengarkan kapan saja sembari tetap beraktivitas. Program
Radio Jurnal Perempuan hingga kini tetap mengudara setiap minggunya dan menyapa pendengar
di Indonesia bersama 190 stasiun radio mitra kerja YJP di seluruh pelosok tanah air. Hingga kini
PRJP telah menghasilkan lebih dari 400 program yang menyuarakan hak-hak perempuan dan
kesetaraan gender. Mulai tahun 2000 YJP membentuk Divisi Video Jurnal Perempuan yang
bertugas melakukan pembuatan film dokumenter, diantaranya tentang “Kekerasan terhadap
Perempuan”, “Perempuan di Wilayah Konflik” serta “Perdagangan Anak dan Perempuan”.
Selain enam divisi utama YJP yakni penerbitan Jurnal Perempuan, penerbitan buku-buku
berperspektif gender, produksi Program Radio Jurnal Perempuan, pembuatan film dokumenter,
Program Jurnal Perempuan online dan juga majalah remaja Change,
Untuk menopang aktifitasnya YJP memperoleh bantuan dana, diantaranya dari The Ford
Foundation dan Asia Foundation serta melakukan penggalangan dana mandiri melakui
pembentukan toko buku Perempuan, event organizer, dan informasi serta dokumentasi. Toko buku
Perempuan beralamat di kantor di Yayasan Jurnal Perempuan dan buka setiap hari kerja,
disamping itu tim marketing YJP juga giat melakukan penjualan di pameran, bazar dan seminar-
seminar bertema perempuan sebagai bagian dari strategi menjemput bola. Departemen
pengembangan YJP juga secara rutin menyelenggarakan event seperti diskusi rutin bulanan,
kampanye, seminar, peluncuran buku, workshop dan training. YJP juga membuka kesempatan
konseling bagi perempuan yang membutuhkan konsultasi, dan berbagai pihak yang membutuhkan
berbagai informasi tentang isu-isu gender. Semua dalam rangka mensosialisasikan gagasan-
gagasan gender kepada masyarakat secara terus menerus.
65
YJP aktif melakukan kampanye untuk menghentikan kekerasan terhadap perempuan,
mengadakan workshop perempuan di parlemen, kampanye stop perdagangan anak perempuan,
training hak-hak perempuan, training gender untuk laki-laki, training jurnalisme berperspektif
gender yang diselenggarakan tiap tahun, dan lain sebagainya.
66
Menjelang Pemilu tahun 1999 dan 2004 YGPSP melakukan pendidikan pemilih bagi
remaja (pemilih pemula) serta perempuan di 10 provinsi dan Jabodetabek. Beberapa kegiatan
yang bermitra dengan donor diantaranya :
- UNDP – melakukan pendidikan pemilih (Voter Education) di 10(sepuluh) provinsi
Indonesia ( Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Sumatera Selatan, Sumatera
Barat, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, dan provinsi Sulawesi Utara)
- IFES Indonesia - Pendidikan Politik di 10 propinsi Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah,
DIY, Jawa Timur, Bali, Sumatra Selatan, Sumatra Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi
Selatan dan Papua), melalui seminar maupun talk shaw di media elektronik.
- IDEA - Pendidikan Politik untuk anggota DPD perempuan yang diselenggarakan
menjelang pelantikannya.
- Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan RI
- pendidikan politik untuk para calon anggota legislatif Perempuan( 2 angkatan –
dari 17 Parpol ).
- penyusunan draft revisi UU Politik dan UU Pemilu.
- penelitian/kajian tentang Partisipasi Perempuan dalam Pengambilan Kebijakan
pada tingkat Desa di Kabupaten Bogor.
- penelitian/kajian tentang Partisipasi Perempuan Dalam Mengontrol Pelaksanaan
Kebijakan di Tingkat Desa/Kelurahan
- pelaksanaan Program Dapur Politik sebagai program dukungan untuk advokasi
dalam pengawalan dan pembahasan revisi paket UU Politik
Untuk menghadapi Pemilu 2009 GPSP kembali melakukan pendidikan politik
kewarganegaraan, pendidikan pemilih dan advokasi RUU dengan menyusun naskah Akademik
perubahan UU Politik dan UU Pemilu, pelatihan Kehumasan yang sensitive gender bagi
perempuan anggota Partai Politik dan penerbitan leaflet, brosur yang berisi tentang berbagai
informasi dan sebagai sarana media campaign
Dalam rangka advokasi kuota perempuan /meningkatkan keterwakilan perempuan dalam
politik maka GPSP melaksanakan berbagai aktifitas diantaranya :
- Seminar dengan tema “ Perempuan dan Otonomi Daerah “ di 10 propinsi
- Seminar dengan tema “ Pemilihan Presiden Secara Langsung, Pro dan Kontra “
- Lokakarya dengan tema “ Perempuan dan RUU Politik “ di 10 propinsi
67
- Dialog interaktif dengan tema “ Perempuan dan RUU Politik “ melalui radio swasta
maupun RRI di Surabaya, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Palembang, Padang,
Pakanbaru dan Samarinda
- Dialog interaktif melalui TV Swara dan TVRI di Yogyakarta, Manado, dan Denpasar.
- Pendidikan pemilih menjelang Pemilu tahun 1999 dan tahun 2004
- Pelatihan Caleg perempuan dari 17 Partai Politik
- Pendidikan Kewarganegaraan
- Fund Rising dengan menyelenggarakan Turnamen Golf
- Dialog interaktif dengan media sebagai salah satu cara melakukan kampanye peningkatan
keterwakilan perempuan dalam jabatan public
- Penelitian tentang : Partisipasi Perempuan dalam Pengambilan Kebijakan dan
Dampaknya bagi Kesejahteraan ditingkat Desa/Kelurahan
- Menyelenggarakan pertemuan perempuan Parpol tingkat Nasional di Jakarta, tingkat
Jabodetabek di Jakarta dan Indonesia Timur di Makassar untuk memperkuat jejaring
dalam peningkatan keterwakilan perempuan minimal 30% dan strategi pencapaiannya
serta menyatukan visi dalam pengawalan dan pembahasan revisi paket UU Politik.
- Menyelenggarakan Lomba Penulisan secara Nasional yang bertemakan Budaya dan
Lingkungan
- Menyelenggarakan FGD dan Seminar tentang Peranan Perempuan mencegah korupsi di
Jakarta.
- Sosialisasi Jaringan Perempuan Mencegah Korupsi di Jakarta, Bogor, Bekasi dan Bali51
51
Profile Yayasan GPSP
68
perkumpulan ibu-ibu dan berbasis komunitas, dan menjadi suatu kebutuhan yang kemudian
disahkan dengan Akte Notaris No.22 tanggal 21 Juli 2000.
Sejak terbentuknya SIP memegang teguh sifat independen dan tidak memihak terbuka,
serta menjunjung tinggi prinsip kebersamaan, keadilan dan menolak segala bentuk kekerasan.
Saat ini SIP melalui kegiatan Pra Koperasiannya mempunyai 600 orang anggota aktif dan 10.000
anggota non aktif yang tersebar di 13 (tiga belas) wilayah Jakarta dan sekitarnya yang menerima
bantuan melalui kegiatan-kegitan SIP.
Aktifitas SIP terbagi atas 2 (dua) program yaitu : Usaha Ekonomi dan Usaha Belajar.
Usaha Ekonomi bertujuan untuk memfasilitasi anggota agar dapat mengembangkan kemampuan
diri dalam hal ekonomi sehingga dapat mandiri dalam meningkatkan kesadaran perempuan akan
hak ekonomi. Untuk mendukung kegiatannya SIP juga menerima bantuan dana dari HIVOS.
Usaha Belajar bertujuan untuk memberikan informasi kepada anggota mengenai
persoalan-persoalan yang dihadapi perempuan mulai dari masalah ekonomi, sosial budaya.
Sehingga anggota mendapatkan pengetahuan dan wawasan yang lebih luas. Berbagai kegiatan
yang dilaksanakan Suara Ibu Peduli menjadi proses belajar dan bekerja sehingga terbangunlah
rasa percaya diri dan kesadaran mengembangkan kemampuan diri menuju perubahan yang lebih
baik.
52
http://eng.koalisiperempuan.or.id/
69
janda dan perempuan lajang, perempuan miskin desa dan kota, pelajar, ibu rimah tangga,
perempuan profesional dan lesbian/bisexual dan transgender.
KPI bertujuan untuk memperjuangkan terpenuhinya hak-hak perempuan di bidang Politik,
Ekonomi, Hukum, Seksual, Reproduksi, Pendidikan, Agama, Sosial dan Budaya serta Lingkungan
Hidup dan menjadikan feminisme sebagai landasan organisasi yang berarti suatu kesadaran
adanya penindasan serta ketidakadilan terhadap perempuan dan bertindak secara terorganisir
untuk mengubah kondisi tersebut.
Menurut KPI, faktanya kaum perempuan Indonesia terutama kelas bawah telah menjadi
korban ketidakadilan dan mengalami berbagai bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi
yang dilakukan oleh individu, masyarakat dan negara, juga menangggung beban yang berlebihan,
dinomorduakan dan disingkirkan dari arena proses-proses politik (subordinasi), dibedakan
(dikriminasi) dan di pinggirkan dalam kegiatan ekonomi (marginalisasi),serta menjadi korban dari
berbagai sebutan/label (stereotipe) masyarakat yang merendahkan perempuan.
Kenyataan tersebut tidak dapat dibiarkan terus-menerus berlangsung karena hal ini tidak
hanya mengancam kehidupan, keselamatan dan kesejahteraan kaum perempuan yang jumlahnya
lebih dari separuh penduduk Indonesia, namun juga mengancam kemanusiaan dan sendi-sendi
kehidupan masyarakat secara keseluruhan. Dengan demikian penegakan prinsip-prinsip keadilan
dan demokrasi itu merupakan tanggung jawab bersama perempuan dan laki-laki tanpa ada
kecualinya.
Oleh karena itu Koalisi Perempuan Indonesia sebagai organisasi massa perempuan yang
beranggotakan individu-individu dari berbagai macam kelompok kepentingan, melakukan upaya
yang sistematis untuk mewujudkan keadilan dan demokrasi dengan memperhatikan keterwakilan
kelompok kepentingan dan wilayah.
Dalam proses mewujudkan keadilan dan demokrasi adalah sangat penting untuk selalu
berpegang teguh pada nilai-nilai dan prinsip-prinsip kejujuran, keterbukaan, persamaan,
kesetaraan, persaudarian (sisterhood), kebebasan, kerakyatan, kemandirian, keberagaman, non-
sektarian, non-partisan, nir kekerasan, berwawasan lingkungan dan solidaritas kepada rakyat kecil
yang tertindas.
Di bidang politik Koalisi Perempuan Indonesia aktif memperjuangkan pastisipasi
perempuan Indonesia dalam pengambilan keputusan disemua tingkatan. Hal ini merupakan
perwujudan atas prinsip-prinsip kesetaraan, keadilan dan demokrasi serta merupakan kondisi
70
esensial bagi terwujudnya masyarakat yang demokratis, sejahtera beradab dan berkeadilan
gender serta dapat mempertanggung-jawabkan legitimasi, transparansi dan akuntabilitasnya.
Di bidang Ekonomi Koalisi Perempuan Indonesia memperjuangkan adanya kebijakan
ekonomi yang anti neoliberalisme, anti-eksploitasi yang berpihak pada perempuan, dan kelompok-
marginal lainnya. Di bidang sosial budaya Koalisi Perempuan Indonesia memperjuangkan
penghapusan sistem sosial budaya yang patriarkis-kapitalis-militeristik, mempromosikan budaya
nir kekerasan dan mendorong terwujudnya sistem sosial budaya yang memerdekakan perempuan.
Di bidang pendidikan Koalisi Perempuan Indonesia memperjuangkan sistem pendidikan yang
sensitif gender, berpihak pada perempuan, dan pemenuhan hak pendidikan terutama untuk
perempuan dan kelompok-kelompok yang dipinggirkan. Di bidang hukum Koalisi Perempuan
Indonesia memperjuangkan terwujudnya sistem hukum yang setara dan adil gender.
Di bidang seksualitas Koalisi Perempuan Indonesia memperjuangkan hak-hak seksual dan
reproduksi perempuan tanpa diskriminasi termasuk kebebasan dalam menentukan pasangan,
pilihan orientasi seksual, menjalankan kehidupan seksual yang aman, dan menyenangkan
(rekreatif), menikah atau tidak menikah, mengandung atau tidak mengandung, melahirkan atau
tidak melahirkan, menyusui atau tidak menyusui, menentukan jumlah anak dan jarak kelahiran
atau yang lainnya yang berkaitan dengan otonomi tubuh.
Di bidang agama Koalisi Perempuan Indonesia memperjuangkan ajaran agama yang lebih
berpihak pada kesetaraan dan keadilan jender (tidak seksis, tidak berpusat pada laki-
laki/androsentris), tidak “membenci” perempuan / misoginis dan tidak diskriminatif. Di bidang
lingkungan hidup Koalisi Perempuan Indonesia memperjuangkan keterlibatan perempuan dalam
pengambilan keputusan untuk pengelolaan, pemanfaatan dan pelestarian lingkungan hidup.
Aktivitas utama KPI adalah melakukan pendidikan politik dan advokasi kebijakan publik.
Bidang advokasi yang diketuai oleh Lolly Suhenty dan Theresia Mike Verawati Tangka bertugas
untuk :
1. Melakukan advokasi terhadap kebijakan yang terkait dengan isu Anggaran Berperspektif
Gender; Keterwakilan Perempuan dalam Politik; Perdagangan Perempuan danAnak; dan
isu-isu perempuan lainnya
2. Melakukan lobby dan kerja sama dengan partai politik dan berbagai institusi yang memiliki
pengaruh dalam menentukan kebijakan yang berdampak bagi perempua
71
3. Membangun Jaringan di tingkat local, nasional, regional dan Internasional.53
Sebagai bagian dari komitmen untuk meningkatkan angka keterwakilan perempuan,
Koalisi Perempuan Indonesia menyelenggarakan kegiatan “Pelatihan Pemenangan Caleg
Perempuan dalam Pemilu 2009”. Kegiatan yang menyasar caleg perempuan untuk DPR Aceh ini
dilaksanakan dalam dua gelombang yakni tanggal 16 – 18 Januari 2009 dan 8 – 11 Februari 2009.
Ada 20 caleg perempuan yang ikut berpartisipasi dalam tiap gelombangnya. Pelatihan ini lebih
menitikberatkan pada aspek teknis pemenangan mulai dari strategi memetakan daerah pemilihan,
mengemas citra diri, menyusun pesan kampanye hingga strategi menggalang dana.
7) CETRO (1999)
CETRO didirikan pada tahun 1999 sebagai kelanjutan dari UNFREL (University Network
Free and Fair Election) yang telah melaksanakan pemantauan pemilu pada tahun 1999 dengan
melibatkan sedikitnya 80.000 pemantau, yang terdiri dari mahasiswa perguruan tinggi di seluruh
Indonesia. Visi CETRO adalah terciptanya pemilu yang jujur, adil dan akuntabel sebagai landasan
yang kukuh bagi demokrasi di Indonesia. Misi CETRO adalah melakasanakan serangkaian
program dan kegiatan yang ditunjukan untuk mereformasi system pemilu di Indonesia, baik pemilu
tingkat nasional maupun tingkat local dengan pendekatan yang partisipatoris dan demokratis.
Untuk mencapai misinya tersebut CETRO membentuk beberapa divisi kerja, salah
satunya adalah divisi perempuan yang aktif dalam melakukan riset, seminar, publikasi dan
advokasi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen.54
Tabel 3. 2 : Kegiatan CETRO dalam Advokasi untuk Meningkatkan Keterwakilan
Perempuan dalam Politik
(Mengusulkan Aturan tentang Kuota Perempuan dalam UU Pemilu dan UU Partai Politik)
No Kegiatan Tanggal Tempat Peserta
1 Rapat membahas pidato Presiden RI tentang 8 Januari Kediaman
Kuota perempuan dalam rangka memperingati 2002 Menneg PP
Hari Ibu 22 Desember 2001
2 Diskusi dengan perempuan dari FPDIP 1 Februari Gedung CETRO dan FPDIP
2002 DPR
3 Diskusi dengan Partai Bulan Bintang untuk 1 Februari Sekretariat CETRO dan PBB
sosialisasi tentang kuota perempuan 2002 PBB
4 Diskusi dengan Partai 9 Februari DPP PK CETRO dan PK
Keadilan 2002
5 Diskusi dengan Kaukus Perempuan Parlemen 28 Februari DPR-RI CETRO dan KPP
2002
53
http://www.koalisiperempuan.or.id
54
http://www.cetro.or.id
72
6 Pertemuan dengan Fraksi Reformasi untuk 28 Juni DPR-RI CETRO dan Fraksi
membahas tentang RUU Partai Politik dan 2002 Reformasi
keterwakilan perempuan
7 Pertemuan dengan anggota Pansus RUU 5 Juli 2002 DPR-RI CETRO
Partai Politik
8 Pertemuan dengan Iris Indira Murti (Anggota 13 Sept 2002 DPR-RI CETRO
Pansus RUU Pemilu)
9 Pertemuan Dengan 23 Sept 2002 DPR-RI CETRO
Firman Jaya Deli
10 Pertemuan antara Kaukus 27 Sept 2002 Gedung Kaukus Parlemen,
Parlemen dan UNDP DPR/MPR UNDP, CETRO
11 Pertemuan dengan Fraksi Reformasi untuk 3 Oktober 2002 Sekretariat CETRO dan Fraksi
menyampaikan usulan tentang keterwakilan Fraksi Reformasi
perempuan sebagai salah satu pembahasan Reformasi
dalam RUU pemilu
12 Rapat dengan Menneg 22 November Menneg PP, Aktivis
2002 Perempuan dari
berbagai ornop, LSM dan
Ormas
13 Menghadiri Rapat Pansus 25 November Gedung Aktivis Perempuan
terakhir untuk memutuskan RUU Parpol 2002 DPR/MPR dari berbagai ornop, LSM
dan Ormas
14 Rapat paripurna untuk 27 November Gedung Aktivis Perempuan
mensahkan RUU Parpol 2002 DPR/MPR dari berbagai ornop,
LSM dan Ormas
73
UU Pemilu dan UU Partai Politik. KPPI juga melakukan identifikasi dan pelatihan kepemimpinan
perempuan, bekerjasama dengan NDI (National Democratic Institute). Pada tanggal 4 Mei 2005
Kaukus Perempuan Politik Indonesian (KPPI) memperoleh Penghargaan Madeleine K. Albright,
sebagai organisasi yang mampu mendorong perempuan untuk terlibat aktif dalam politik.
Penghargaan diterima oleh Ketua Umum KPPI Gefarina Djohan, yang juga pengurus Partai
Kebangkitan Bangsa
Perempuan politik banyak menghadapi hambatan untuk eksis karena perpolitikan di
Indonesia yang sangat patriarkis. Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) terbentuk dan
menjadi wadah komunikasi antar aktifis perempuan dan pemerhati perempuan dari berbagai latar
belakang, baik berasal dari Partai Politik/ Ormas/LSM maupun profesi yang bersifat mandiri dan
terbuka. KPPI memiliki komitmen untuk memperjuangkan dan menegakkan hak politik perempuan,
serta peran politik dan keterwakilan perempuan di partai politik, lembaga tinggi negara, baik
legislatif, eksekutif maupun yudikatif dalam posisi berperan aktif dalam proses kebijakan negara.
Pengurus KPPI 2000-2005 terdiri dari Ketua (Miranti Abidin-PAN) dan Sekretaris Jenderal (Nurul
Chandrasari-PDIP). Pengurus periode 2005-2008 yaitu Dra. Hj. Geffarina Djohan, MA. (Ketua
Umum) dan Dr. Hj.Hamidah Hamid, M.Si.(Sekjen). Pengurus periode 2008-2012 ialah Ketua
Dra.Sum Hastitiek Toton dan Sekjen Ratu Dian Hatifah (Partai Golkar)
74
belajar perempuan. KAPAL Perempuan ini kemudian berkantor di Jl. Kalibata Utara I No. 18,
Jakarta Selatan.
KAPAL Perempuan mencita-citakan terwujudnya masyarakat sipil, khususnya gerakan
perempuan yang kuat untuk mempercepat terciptanya masyarakat yang memiliki daya pikir kritis,
solidaritas, berkeadilan sosial, berkeadilan gender, pluralis, transparan, dan anti kekerasan.55
Aktifitas utama KAPAL Perempuan yang berdiri pada tahun 2000 ini ialah pendidikan,
advokasi kebijakan, penelitian dan publikasi. Aktifitas pendidikan alternatif perempuan
dimaksudkan untuk meningkatkan keadilan gender, nilai-nilai pluralistik, otonomi, dan
kepemimpinan perempuan. Dilanjutkan dengan advokasi dengan membangun gerakan bersama
untuk mendorong dan menciptakan kebijakan-kebijakan pendidikan yang pro rakyat miskin,
kelompok marginal, dan perempuan. Semua aktifitas tersebut didukung oleh sebuah resource
center yang bertugas untuk melakukan riset dan publikasi yang mudah diakses oleh publik
KAPAL Perempuan mempunyai mitra kerja yang luas, berasal dari organisasi-organisasi di
tingkat nasional dan lokal yang bergerak dibidang pendidikan perempuan dan pendidikan alternatif;
Organisasi yang bergerak dibidang hak-hak perempuan; Kelompok-kelompok perempuan akar
rumput, baik di wilayah miskin perkotaan maupun pedesaan; Organisasi-organisasi yang bekerja
untuk isu pluralisme, konflik, dan perdamaian; Organisasi-organisasi yang bekerja pada bidang
riset dan publikasi; Para ahli yang menggeluti isu pendidikan, feminisme, dan pluralisme; Lembaga
pemerintah yang terkait dengan isu pendidikan, kesehatan, dan perempuan dan lembaga PBB
terkait.
Individu-individu yang tergabung dalam KAPAL harus memiliki kepedulian pada isu
pendidikan alternatif perempuan dan kelompok masyarakat miskin, feminisme, dan
multikulturalisme, serta selalu mengembangkan pemikiran kritis dan pluralis
KAPAL Perempuan telah dan sedang mengadvokasi Undang-undang Perkawinan no.1
tahun 1974 yang membakukan peran laki-laki dan perempuan, melarang perkawinan antar agama,
dan melegitimasi poligami. Advokasi ini dilakukan dengan membuka kesadaran publik untuk
mengkritisi Undang-undang ini melalui peluncuran buku “Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama:
Perspektif Perempuan dan Pluralisme” di berbagai daerah.
Undang-undang lain yang dikritisi oleh KAPAL Perempuan adalah Undang-undang Sistem
Pendidikan Nasional (Sisdiknas) No.20 tahun 2003. Undang-undang ini mempercepat terjadinya
55
http://www.kapalperempuan.or. Email : office@kapalperempuan.org & kapalperempuan@indo.net.id
75
privatisasi pendidikan, yang pada gilirannya akan mengurangi akses rakyat miskin mendapatkan
pendidikan gratis dan bermutu serta terciptanya masyarakat yang terkotak-kotak. Advokasi
dilakukan bersama-sama dengan Education Network for Justice (E-Net for Justice) yang salah
satu inisiatornya adalah KAPAL Perempuan.
76
Pada awalnya Rahima berfokus pada pendidikan kritis dan penyebaran informasi tentang
hak-hak perempuan di lingkungan pesantren . Kemuadian karena tuntuntutan kebutuhan
masyarakat , Rahima memperluas jangkauannya pada pelbagai kelompok di luar
pesantren seperti pada madrasah, para guru di lingkup sekolah agama maupun guru agama Islam
di sekolah negeri, majelis ta’lim, organisasi perempuan muslim, organisasi kemahasiwaan,
dan berbagai LSM.
Berdasarkan kelompok sasarannya Rahima mempunyai dua program, program pesantren
dan program kelompok strategis. Program pesantren difokuskan pada upaya mensosialisasikan
hak-hak perempuan dalam perspektif Islam di komunitas pesantren. Upaya yang dilakukan
diantaranya adalah memperkenalkan pemahaman keislaman yang lebih berpihak kepada
kesetaraan perempuan.
Selama ini Rahima telah melakukan kerjasama dengan beberapa pesantren di Jawa,
seperti pesantren al-Kinanniyah, al-Hamidiyah dan Darunnajah ketiganya di Jakarta. Pesantren
Dar el-Tauhid Arjawinangun, Miftahul Muta’alimin Babakan Ciwaringin Cirebon, pesantren
Cipasung Tasikmalaya, Nurul Huda Garut, Al-Ittihad Cianjur, Annidzomiyah Pandeglang. Di Jawa
Tengah, Rahima bergandengan tangan dengan pesantren al-Hidayah Magelang. Di Jawa Timur
Rahima bekerjasama dengan pesantren Nurul Islam Jember dan pesantren al-Maqsumy
Bondowoso. Rahima juga membuka kesempatan untuk bekerjasama dengan pesantren lainnya.
Program kedua Rahima ditujukan kepada kelompok strategis. Saat ini Rahima tengah
bekerjasama dengan aktivis organisasi Islam ekstra kampus dan kelompok studi yang berada di
kampus Universitas Indonesia, Universitas Islam Negeri Jakarta dan Institut Pertanian Bogor. Di
Jember, Rahima bekerjasama dengan forum guru pendidikan agama Islam yang tergabung pada
MGMP-PAI (Musyawarah Guru Agama Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam). Program ini juga
dalam rangka sosialisasi hak-hak perempuan dalam perspektif Islam dan juga memperkenalkan
pemahaman keislaman yang menjunjung tinggi kesetaraan perempuan dan menghargai
pluralitas.56
Dalam melakukan aktifitasnya Rahima menjalin kerjasama dengan lembaga dan LSM lain
seperti Komnas Perempuan, LKAJ, Fatayat, Muslimat NU, Aisyiah, LBH APIK, PSW UIN, LDK
(UIN, UNAS), LKBH-IUWK, KPI, Kohati, IMM, lembaga-lembaga penelitian (Seroja, Fajar
56 http://www.rahima.or.id
77
Perempuan, Piramida Circle) dan lain sebagainya. Selama ini Rahima menerima pendanaan dari
the Asia Ford Foundation dan the Asia Foundation. Meski demikian Rahima tetap menghadapi
masalah yang mendasar dalam hal kekurangan dana dan sumber daya manusia yang cakap.57
78
metodologi feminis akan menempatkan pengalaman perempuan setara dan sama pentingnya
dengan pengalaman laki-laki —suatu hal yang sulit dilakukan dalam paradigma positivisme—
diharapkan mampu memberikan kontribusi data yang lebih mendalam sebagai bahan
pertimbangan pengambilan kebijakan publik yang lebih berpihak kepada perempuan. 58
Kegiatan penelitian merupakan program utama WRI. Hal ini berangkat dari pemikiran
perlunya melakukan studi-studi mengenai berbagai persoalan perempuan dalam lingkup politik,
sosial dan budaya yang selama ini sangat minim terdokumentasi. Beberapa penelitian WRI yang
terkait dengan keterwakilan perempuan diantaranya :
- Penelitian tentang Dampak Affirmative Action Caleg Perempuan terhadap Kebijakan Partai
Politik dalam Masa Otonomi Daerah. Penelitian ini melihat seberapa efektif kebijakan
affirmative action berupa kuota 30% itu memberi pengaruh terhadap kebijakan partai politik
dalam merekrut kader perempuan. Dalam penelitian ini akan dilihat kebijakan yang selama ini
dilakukan oleh Partai Politik dalam merespon kuota 30%. Diharapkan penelitian ini
merekomendasikan perubahan kebijakan pemilu yang lebih mendorong peningkatan
representasi perempuan dalam legislatif.
- Penelitian tentang Diskriminasi Gender dalam Kebijakan Publik di Kabupaten/Kota yang
Menerapkan Syariat Islam. Dalam konteks otonomi daerah banyak muncul kebijakan publik di
tingkat lokal yang antara lain memasukkan nilai-nilai adat maupun agama dalam bentuk
peraturan daerah. Sayangnya Perda ini pada akhirnya justru tidak berpihak kepada
kepentingan dan kebutuhan perempuan. Melalui penelitian ini WRI hendak mengidentifikasi
berbagai persoalan yang muncul akibat adanya Perda yang diskriminatif terhadap perempuan.
Penelitian ini akan dilakukan di daerah-daerah yang menjadikan nilai-nilai Syariat Islam
sebagai acuan dalam pembuatan Perda.
- Delphi Panel : Perempuan dan Politik dalam Era Otonomi Daerah di Indonesia. Keterlibatan
perempuan dalam politik formal di Indonesia mulai memperoleh ruang sejak dikeluarkannya
undang-undang pemilu No. 12/2003, yang menyebutkan pentingnya aksi afirmasi bagi
partisipasi politik perempuan dengan menetapkan jumlah 30% dari seluruh calon partai politik
pada parlemen di tingkat nasional maupun lokal.
58
http://wri.or.id
79
- Dialog Publik Representasi Perempuan Indonesia Pasca Judicial Review UU Pemilu
No.10/2008. Harapan dari dialog publik ini akan menghasilkan cara atau celah bagaimana
mendongkrak suara perempuan di parlemen, terkait dengan dikeluarkannya judicial review.
Penerapan suara terbanyak yang sesuai dengan nilai demokrasi, seharusnya tetap
memperhatikan kebutuhan dan kepentingan perempuan sebagai kelompok yang
termarginalkan oleh aturan ini. Atas dasar ini maka patut dipertimbangkan untuk
menyelesaikan permasalahan keterwakilan perempuan pasca Judicial Review “aturan suara
terbanyak”.
Hasil Penelitian ini diharapkan mampu mendorong adanya kebijakan yang lebih memenuhi
kebutuhan dan kepentingan perempuan serta dapat menjadi acuan bagi pemangku kepentingan
dan pihak yang terkait dalam proses perumusan kebijakan.
59
Natsir, Lies Marcoes – 2005, GERAKAN PEREMPUAN ISLAM : Antara Konservatifisme dan Upaya Menuju Aksi
Praksis Kesetaraan dalam Islam , Disampaikan dalam diskusi Rahima, Hotel Pradana Jakarta,30 Maret 2005
80
1. Hizbut Tahrir Indonesia
Hizbut Tahrir yang mempunyai anggota perempuan yang cukup banyak secara tegas
menyatakan menolak kuota 30% perempuan di DPR-DPRD dan partai politik. Menurut Hizbut
Tahrir kuota 30% perempuan adalah bagian dari KKG (Keadilan Kesetaraan Gender) yang
dikampanyekan oleh kapitalis Barat (Amerika, Inggris dan sekutunya) yang bertujuan untuk
menghancurkan sendi-sendi keluarga Muslim.
“Perjalanan isu KKG sebetulnya tidak terlepas dari upaya westernisasi (pem-Barat-an)
negara-negara Muslim yang dilakukan oleh Amerika, Inggris dan sekutunya melalui badan
dunia PBB. Konspirasi KKG adalah kelanjutan dari upaya menghapuskan peradaban
Islam dan mencegah kebangkitannya kembali melalui penghancuran keluarga-keluarga
Muslim.”
“Di balik opini KKG sesungguhnya tersimpan bahaya besar bagi eksistensi keluarga dan
masyarakat Muslim. Pencermatan lebih teliti terhadap 12 bidang kritis yang ditetapkan
dalam Beijing Platform and Action/BPFA, berikut berbagai sasaran strategisnya, yang
dilanjutkan dengan MDGs dengan 8 tujuannya, menunjukkan adanya upaya tersembunyi
untuk menghancurkan bangunan keluarga dan masyarakat Muslim.”60
Hizbut Tahrir juga tidak menyetujui program pemberdayaan perempuan versi KKG karena
program ini dianggap ingin menghancurkan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga dan
masyarakat.
‘Konspirasi keji di balik program pemberdayaan perempuan versi KKG ini bertujuan untuk
menghancurkan kepemimpinan laki-laki dalam keluarga dan masyarakat, sekaligus
menghapuskan peran keibuan yang menjadi tulang punggung lahirnya generasi Muslim
berkualitas prima.’61
‘
Selanjutnya, kemandirian financial perempuan dianggap sebagai ancaman ketaatan istri
terhadap suami dan ancaman terhadap tatanan agama yang memberikan tanggung jawab
domestic terhadap istri.
“Pemberdayaan perempuan lebih ditekankan pada kemandirian dan kebebasan kaum
perempuan. Di bidang ekonomi, perempuan didorong untuk mandiri dalam finansial.
Selanjutnya, perempuan yang telah mandiri secara finansial tidak perlu bergantung
kepada laki-laki (suami). Konteks kemandirian perempuan juga terkait dengan tidak
adanya kewajiban untuk taat kepada suami. Jika perempuan telah berperan dalam
finansial keluarga maka peran domestik tidak lagi bertumpu pada kaum perempuan’”
60
Rezkiana Rahmayanti (DPP Muslimah HTI)], Perlukah Kuota Perempuan ?, http://hizbut-
tahrir.or.id., diunduh Kamis 4 Agustus 2011
61
Rezkiana Rahmayanti (DPP Muslimah HTI)], Perlukah Kuota Perempuan ?, http://hizbut-
tahrir.or.id., diunduh Kamis 4 Agustus 2011
81
“Peran kepemimpinan yang dibebankan pada kaum laki-laki akan melemah, karena kaum
perempuan pun menuntut kepemimpinan tersebut, apalagi jika gaji kaum perempuan ini
lebih tinggi. Peran keibuan dan pengelola rumah tangga akan terabaikan. Padahal peran
ini adalah peran utama dan pertama dalam melahirkan generasi berkualitas”62
Hizbut Tahrir Indonesia berpandangan bahwa kuota perempuan adalah produk pemikiran
kapitalisme Barat yang mengagungkan demokrasi perwakilan. HTI tidak mempercayai system
politik demokrasi karena dalam system tersebut yang berdaulat adalah para elit politik (wakil
rakyat) yang kemauannya dapat berbeda dengan rakyatnya. Bagi HTI perempuan harus
mengadopsi Islam sebagai ideology negara dan mendorong munculnya Khilafah sebagai satu-
satunya sistem politik yang kuat yang pernah ada di dunia. Jadi mestinya yang menjadi penentu
arah dalam gerakan perjuangan para perempuan adalah Khilafah, bukan demokrasi dan kuota
perempuan.
“Berapa pun kuota perempuan di dalam parlemen tidak akan menjanjikan solusi yang
tuntas dalam penyelesaian permasalahan perempuan selama masih dalam bingkai
demokrasi. Kuota perempuan tidak akan dapat menghantarkan kesejahteraan kepada
perempuan, karena yang menjadi masalah utamanya bukanlah sedikit-banyaknya
perempuan di parlemen. Yang sangat menentukan dalam penyelesaian permasalahan
perempuan adalah sudut pandang apa yang digunakan. Selama masih menggunakan
sudut pandang Kapitalisme (dimana para pemilik modallah yang menentukan arah
kebijakan suatu bangsa), sekalipun jumlah perempuan di parlemen melebihi 30%, tetap
tidak akan menghantarkan pada penyelesaian masalah perempuan. Artinya, yang paling
penting adalah bagaimana sudut pandang dalam sistem pemerintahan harus diganti dari
demokrasi-kapitalisme ke sudut pandang yang hakiki dari Pencipta manusia yang akan
menjamin kesejahteraan manusia termasuk perempuan, yaitu Ideologi Islam.63
Hizbut Tahrir Indonesia melihat bahwa kuota perempuan bukan merupakan solusi yang
baik untuk mengatasi masalah-masalah yang dihadapi perempuan. Bahkan contoh di Negara-
negara Scandinavia yang keterwakilan perempuannya melebihi 40% menunjukkan bahwa angka
perceraian suami istri dan kenakalan remaja meningkat.
“Apakah benar dengan memperbanyak perempuan dalam parlemen (legislatif) akan
membawa kebaikan kepada perempuan? Fakta menunjukkan negara Scandinavia, yaitu
Swedia, sejak 1970-an saat menjalankan terobosan yang memberi tempat pada
perempuan untuk dipilih di parlemen (sampai 40%), harus membayar kerugian yang
62
Rezkiana Rahmayanti (DPP Muslimah HTI)], Perlukah Kuota Perempuan ?, http://hizbut-
tahrir.or.id., diunduh Kamis 4 Agustus 2011
63 Affandi, Dasman Ashar , 2011.’Perempuan dan Politik (Studi Kasus Hizbuth Tahrir Indonesia Cabang Padang
Terhadap Keterlibatan Perempuon di Parlemen)’, Thesis .Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik – Universitas Andalas
Padang.
82
sangat besar. Negara Skandinavia terkenal sebagai negara dengan tingkat perpecahan
dan ketidakstabilan keluarga yang tinggi; angka perceraian tinggi, sementara angka
perkawinan amat rendah (Megawangi, 1999). Laporan The Economist (9/9/1995)
menyebutkan bahwa hal ini berdampak pada tingginya persentase anak yang dilahirkan di
luar pernikahan (50 persen). Menurut Megawangi (1999) angka kenakalan remaja di
kawasan ini memang meningkat dalam kurun waktu 20 tahun.”64
Hizbut Tahrir Indonesia juga melihat kuota perempuan di parlemen sebagai bagian dari
gagasan feminisme yang diusung Jaringan Islam Liberal untuk merusak sendi-sendi keluarga.
“Feminisme, kesetaraan gender, dan emansipasi wanita bukanlah berasal dari Islam. Ide-
ide tersebut justru merusak dan menghinakan kehidupan perempuan.
Berangkat dari landasan ideologi liberalis, kaum feminis mengusung ide semangat
pembebasan perempuan dan kesetaraannya dengan laki-laki (ide keadilan dan
kesetaraan gender). Agenda gerakan feminisme ini hakikatnya adalah agenda liberalisasi
hukum Islam. Agenda yang sama juga diusung kaum liberal. Di dalam bukunya, Fakta dan
Data Yahudi di Indonesia, Ridwan Saidi menulis bahwa Lutfi asy-Syaukani
memperkenalkan empat agenda JIL, salah satunya adalah emansipasi (feminisme).
Artinya, salah satu upaya liberalisasi di Dunia Islam adalah melalui gerakan feminis
Nyatalah bahwa propaganda liberalisme dan feminisme tidak lebih merupakan alat musuh-
musuh Islam untuk menghancurkan Islam dan umatnya. Feminisme mengajak kaum
Muslim beramai-ramai meninggalkan aturan agama yang dianggap sebagai penghalang
kemandirian dan kebebasan perempuan.
Demikianlah para feminis mempropa-gandakan ide-ide sesatnya secara massif. Mereka
berupaya menyeret sedikit demi sedikit kaum Muslimah untuk meninggalkan kewajiban
utamanya sebagai ummu wa rabah al-bayt (sebagai ibu dan pengatur rumah tangga).65
64
Rezkiana Rahmayanti (DPP Muslimah HTI)], Perlukah Kuota Perempuan ?, http://hizbut-tahrir.or.id.,
diunduh Kamis 4 Agustus 2011
65
Rahma Qomariyah, S.Pd; DPP Hizbut Tahrir Indonesia], ?, http://hizbut-tahrir.or.id., diunduh Kamis 4
Agustus 2011
83
mendukung atau menentang kuota 30% keterwakilan perempuan. Mengapa partisipasi politik
perempuan yang tinggi dala PKS tidak diikuti oleh keterwakilan politik perempuan yang tinggi ?
Terdapat beberapa hal yang dapat menjawab pertanyaan ini. Pertama, Kuatnya pengaruh
paham Islamic exceptionalism bahwa tempat yang layak bagi mar’ah al-shalihah (perempuan
salehah) adalah rumah. Kedua, kuatnya kultur Islamis dikalangan konstituennya sendiri yang tidak
mengijinkan perempuan sebagai pemimpin. PKS sangat gencar melakukan kampanye agenda-
agenda Islamis terhadap konstituennya. Ketiga, segregasi seksual yang ketat dalam ruang publik
seperti tergambarkan dalam pembentukan Departemen Kewanitaan di DPP/DPW/DPC PKS.
Ketiga hal ini tidak hanya terjadi pada PKS tetapi juga terjadi pada partai-partai berbasis Islam
lainnya, meski dengan kadar yang berbeda-beda.
PKS mempunyai cara pandang khas terhadap gender, bahwa peran laki-laki dan
perempuan telah diatur dalam agama dan bersifat saling melengkapi. Mempermasalahkan
diskriminasi maupun ketidakadilan gender adalah hal yang tabu dalam partai ini. PKS juga
melarang anggotanya untuk mengadu kepada pihak luar jika terdapat ketidaknyamanan di internal
partai (termasuk ketidaknyamanan dalam peran gender). Dengan demikian partai ini berusaha
menghilangkan sikap kritis perempuan dalam peran gendernya.
Segregasi seksual yang ketat antara laki-laki dan perempuan terlihat dengan pemisahan
ruang duduk dalam perjamuan, tidak diijinkannya berjabat tangan antara pria dan wanita,
dibentuknya Departemen Kewanitaan di DPP/DPW/DPC PKS, serta pembentukan Salimah
(Persaudaraan Muslimah) sebagai ormas perempuan PKS.66 Dilihat dari program aktifitas yang
dijalankan tampak bahwa sebagian besar program Departemen Kewanitaan PKS maupun Salimah
bersifat sosial, bukan bersifat politik seperti program kegiatan para laki-laki PKS. Untuk
mendukung aktifitas sosisalnya Salimah mempunyai beberapa departemen diantaranya
Departemen Dakwah, Departemen Pendidikan, Departemen Pengembangan SDM, Departemen
Ekonomi, Departemen Sosial dan Departemen Kesehatan dan Lingkungan. Dengan aktifitas
sosialnya yang tinggi maka segregasi seksual menjadi tidak terasakan oleh anggotanya.
66
Salimah tidak mempunyai hubungan formal – struktural dengan PKS. Namun ormas ini mewadahi
hampir semua aktivis perempuan PKS dan cenderung mendukung caleg – tokoh PKS dalam kontestasi
politik.
84
Segregasi seksual yang ketat juga terjadi dikalangan ormas Islam, termasuk
Muhammadiyah. Kalangan perempuan telah berulang kali melakukan advokasi agar terdapat
sekurang-kurangnyan 30% keterwakilan perempuan dalam ormas Muhammadiyah. Usulan ini
terganjal AD/ART ormas yang tidak mendukung, sehingga advokasi dilakukan untuk mengubah
AD/ART. Meski demikian upaya ini memperoleh resistensi yang amat tinggi.
Dalam sidang di Komisi C (AD/ART Muhammadiyah), gagasan untuk memasukkan
perempuan menjadi salah satu pimpinan Muhammadiyah periode 2010-1015 mendapat penolakan
sangat keras dari para peserta sidang. Bahkan dalam sidang pleno ada peserta yang berteriak,
“Jika perempuan sekarang ini diberi kuota untuk masuk pimpinan saat ini meski tak ada yang
memilih, maka nantinya mereka akan meminta jatah menjadi ketua umum.” Akhirnya, dalam
Muktamar ini, keputusan tanwir yang memberikan peluang kepada perempuan untuk duduk setara
dengan laki-laki dalam pimpinan pusat Muhammadiyah ditunda.
Pemisahan antara Muhammadiyah dan Aisyiah, antara Pemuda Muhammadiyah (PM) dan
Nasyiatul Aisyiyah (NA) --juga antara Pemuda Anshor dan Fatayat NU, adalah bagian dari
segregasi laki-laki dan perempuan yang mengokohkan dominasi laki-laki atas perempuan.
Pembedaan organisasi itu juga merupakan bukti kuat adanya keyakinan bahwa tugas laki-laki dan
perempuan adalah berbeda, perempuan berada dalam sektor domestik dan pendidikan,
sementara laki-laki memiliki kawasan yang lebih luas. Segregasi organisasi ini merupakan satu
dari akar-akar tempat berpijak dan tumbuh-berkembangnya paradigma lama tentang gender
inequality, bahwa wilayah laki-laki dan perempuan tidaklah sama dalam segala hal dan karena itu
harus dipisahkan. Segregasi organisasi ini lantas berimbas pada pembagian lapangan kerja,
pendidikan, jabatan dan sebagainya.
Bagi kelompok konservatif Muhammadiyah, adanya Aisyiah, sebagai sister organization
dari Muhammadiyah, adalah menjadi satu dari beberapa alasan penolakan mereka terhadap
pemberian kuota perempuan dalam kepemimpinan Muhammadiyah. Mereka berargumen bahwa
jika perempuan ingin menjadi pimpinan Muhammadiyah, maka langka h pertama yang harus
mereka ambil adalah membubarkan dulu organisasi Aisyiah-nya, baru setelah itu bersama-sama
berkompetisi dalam perebutan kepemimpinan.
85
D. Discourse Kuota dikalangan Ilmuwan Indonesia (Epistemic Community)
Dilihat dari aspek sejarah Indonesia, gagasan tentang perlunya perempuan mewakili
kaumnya di parlemen telah lama didambakan. Isu ini pernah dibahas dalam Kongres Perempuan
Indonesia V di Bandung, Juli 1938. Pembahasan terfokus pada hak perempuan untuk dipilih dan
duduk di lembaga perwakilan. Hasil konggres tersebut kemudian diajukan sebagai tuntutan politik
terhadap pemerintah Belanda. Pemerintah Kolonial Belanda mengakomodasi tuntutan tersebut
dengan menunjuk beberapa perempuan pribumi untuk duduk dalam dewan kota di berbagai
daerah, diantaranya adalah Ny Emma Puradiredja, Ny Sri Umiyati, Ny Soenaryo Mangunpuspito
dan Ny Siti Sundari. Pada waktu itu belum ada pemilu dan belum ada hak pilih maupun hak dipilih
sehingga perwakilan berdasarkan penunjukkan. Hal ini menunjukkan bahwa sejak zaman kolonial
perempuan Indonesia telah aktif memperjuangkan kepentingan strategisnya (strategic gender
interest).67 Namun setelah itu periode kemerdekaan yang diikuti dengan kematian Gerwani dan
panjangnya periode Orde Baru dengan ideologi ibuism dan women in development menjadikan
organisasi-organisasi perempuan lebih banyak bergerak dibidang kepentingan praktis (practical
gender interest).
Dari pemaparan tentang gerakan perempuan diatas tampak bahwa kesadaran akan
adanya permasalahan gender yang diskriminatif dan gagasan tentang perlunya strategi kuota
untuk mempercepat atau memberi peluang bagi perempuan berpolitik datang dari kalangan para
ahli politik khususnya dan ahli sosial pada umumnya yang telah bersentuhan dengan gagasan
feminisme.
Kuota adalah bagian dari Global Gender Equality Regime (GGER) yang terbentuk atas
dukungan lembaga-lembaga internasional (UN, UNIFEM, UNDAW), jaringan transnational, donor
internasional dan epistemic communities. Epistemic communities adalah jaringan global dari para
ahli yang profesional dibidangnya yang berusaha mendefinisikan persoalan dan memberi saran
kebijakan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut. Kuota adalah sebuah saran kebijakan
yang diusulkan oleh para ahli politik feminis untuk mengatasi permasalahan rendahnya
keterwakilan perempuan di parlemen.
Para akademisi perempuan banyak terlibat dalam berbagai bentuk gerakan perempuan.
Mereka tidak hanya melakukan kegiatan pemikiran dan penelitian dengan organisasi atau
67 Blackburn, Susan dan Monique Soesman, 2007. Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang, Jakarta: Yayasan
86
kelompok perempuan, tetapi juga aktif menjalankan berbagai program dan kegiatan yang
bertujuan meningkatkan partisipasi politik perempuan. Beberapa perempuan ilmuwan politik UI
banyak berperan.
Chusnul Mar’iyah, ilmuwan politik feminis dari Fisip UI menyampaikan gagasan kuota
dalam Kongres Koalisi Perempuan Indonesia yang digelar di Yogyakarta pada 14-17 Desember
1998. Kongres ini dihadiri sekitar 500 aktivis perempuan dari seluruh provinsi yang ada di
Indonesia pada waktu itu, termasuk dari Timor Timur. Chusnul menjelaskan bahwa hampir semua
partai politik yang akan tampil dalam Pemilu 1999 berbicara akan meningkatkan partisipasi
perempuan dalam politik. Namun sesungguhnya hal itu hanya menunjukkan basa-basi partai
politik. Sebab mereka baru menjawab ”apa”, tetapi tidak satu pun yang berbicara tentang,
”bagaimana caranya” dan ”kapan akan ditingkatkan”. “Di sinilah pentingnya memperkenalan
konsep kebijakan afirmasi dalam bentuk kuota keterwakilan perempuan kepada partai politik, agar
mereka tidak terjebak pada basa-basi politik.”68
Meski demikian, dikalangan aktifis perempuan Indonesia gagasan kuota perempuan tidak
serta merta langsung diterima. Gagasan kuota diterima dikalangan aktifis perempuan yang
menekankan perbedaan (difference) tetapi ditentang oleh kalangan aktivis yang menekankan
persamaan (equality) antara perempuan dengan laki-laki. Meski demikian perbedaan cara
pandang ini tidak berlangsung lama seiring dengan menguatnya discourse tentang pentingnya
kuota sebagai strategi untuk meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen. Bagi para aktivis
perempuan, baik yang berasal dari kalangan senior maupun yunior, yang terpenting kemudian
adalah langkah-langkah nyata yang harus dilakukan untuk meningkatkan keterwakilan perempuan,
tanpa harus memperdebatkan strateginya, karena strategi apapun yang dipilih masih akan
menghadapi berbagai rintangan lainnya.
Kelompok yang menekankan persamaan (equality) berpandangan bahwa sistem pemilu
demokratis telah menempatkan laki-laki dan perempuan diperlakukan sama. Undang-undang telah
menempatkan perempuan dan laki-laki secara setara. Keberhasilan akan tergantung pada kualitas
perempuan itu sendiri. Oleh karena itu, jika perempuan ingin memasuki arena politik melalui
pemilu, maka yang harus dilakukan adalah meningkatkan kualitas dirinya sehingga mampu
bersaing sebagai politisi, khususnya dalam upaya meyakinkan pemilih. Upaya yang perlu segera
68 Wawancara penulis dengan Chusnul Mar’iyah di Hotel Santika Yogyakarta, April 2010. Lihat juga Kompas, 10 Juni
1999.
87
dilakukan ialah melakukan pendidikan politik, pelatihan politik dan pemberdayaan politik bagi
caleg perempuan.
Sebaliknya kelompok yang menekankan adanya perbedaan (difference) antara peluang
perempuan dengan peluang laki-laki berpendapat bahwa sistem pemilu dengan kompetisi bebas di
antara para calon anggota legislatif tidak adil bagi perempuan, sebab mereka harus berkompetisi
dalam kondisi yang tidak seimbang. Politisi laki-laki tidak hanya telah lama menguasai struktur
politik, tetapi juga didukung oleh dana yang kuat; sementara politisi perempuan tidak hanya harus
menghadapi sistem patriarki, tetapi juga mengalami kendala struktural dan keterbatasan dan
sehingga memerlukan kebijakan affirmative (kuota) untuk menyamakan posisi tersebut. Karena itu
diperlukan kebijakan khusus buat para calon anggota legislatif perempuan agar mereka memiliki
peluang terpilih lebih besar dalam mekanisme pemilu. Kebijakan khusus ini sifatnya hanya
sementara dalam rangka mengejar ketertinggalan perempuan dalam percaturan politik. Setelah
kondisi sejajar tercapai, kebijakan bisa dihilangkan kembali, karena perempuan sudah dalam
kondisi sejajar untuk terlibat dalam kompetisi politik bebas.
Silang pendapat tentang strategi pelibatan perempuan dalam politik ini tidak hanya terjadi
di Indonesia tetapi juga terjadi di Negara-negara lain, yaitu antara incremental track strategy vs
fast track strategy. Perbedaan keduanya akibat perbedaan diagnosis permasalahan yang dihadapi
perempuan.
Perempuan-laki-laki mempunyai
kesempatan setara
Langkah yang perlu segera dilakukan Pendidikan, pelatihan politik bagi Rekayasa sistem pemilu (Kuota)
perempuan
Beberapa contoh Kementerian Pemberdayaan Ilmuwan politik yang feminis (Chusnl
Perempuan (KPP); Aktivis Mar’iyah, Ani Sucipto), KPI
88
perempuan senior ( Soelasikin (Nursyahbani Katjasungkawa)
Moerpratamo), pimpinan organisasi-
organisasi perempuan (Kowani,
Muslimat NU dan Aisyah
Muhammadiyah), serta para aktivis
perempuan LSM yang memang tidak
tertarik memasuki arena politik.
Strategi dalam berpolitik Pemberdayaan Politik, peningkatan Affirmative Action (gender kuota)
kapasitas – pendidikan, social,
ekonomi perempuan
Sumber : Dahlerup, Drude and Lenita Fredenvall, 2005, ’Kuota as a Fast Track to Equal Representation to Women :
Why Scandinavia is No Longer the Model’, International Feminist Journal of Politics, No 7/1, p.29.
69 Sumber : Dahlerup, Drude and Lenita Fredenvall, 2005, ’Kuota as a Fast Track to Equal Representation to Women :
Why Scandinavia is No Longer the Model’, International Feminist Journal of Politics, No 7/1, p.29.
89
kebijakan kuota, meski peningkatannya tidak significant. Pengalaman Amerika Serikat dan Jepang
menunjukkan bahwa angka keterwakilan perempuan di kedua Negara tersebut tetap rendah
meskipun tingkat social ekonomi perempuan telah tinggi. Sebaliknya di Rwanda, Uganda,
Argentina tingkat keterwakilan perempuan tinggi meski relative kondisi social ekonomi perempuan
rendah.
---o0o---
90
Bab IV : Politik Gender di Indonesia
91
itu sendiri. Negara-negara lain yang tidak mempunyai tradisi sosialis maupun liberal yang kuat,
cenderung mengkonservasi hubungan gender yang telah ada di masyarakat.
Politik Gender pada masa Orde Baru ditandai dengan pemanfaatan hubungan gender
untuk mendukung pemerintahan yang otoritarian. Dengan asumsi bahwa perempuan merupakan
unit dasar keluarga, dan keluarga merupakan unit dasar masyarakat, pengendalian terhadap
perempuan merupakan kerja politik yang paling efisien di dalam usaha rezim menguasai seluruh
bangsa. Dalam praktek budaya di pemerintahan dan di masyarakat, wacana perempuan sebagai
makhluk domestik sangat kuat. Pemerintah memposisikan perempuan sebagai istri dan ibu
(ideologi ibuisme). Menurut Yulia Suryakusuma, "State Ibuism" adalah strategi politik negara untuk
membentuk kepatuhan politik perempuan melalui serangkaian program "kesejahteraan". Negara
dengan sengaja mengendalikan hak politik perempuan dan mensponsori diskriminasi seksual
melalui berbagai simbol kultural dan pembagian kerja. Konstruksi ini paralel dengan kepentingan
ekonomi -politik negara dan praktek kekuasaan yang patriarkis-militeristis. ”State Ibuism” berperan
untuk ’medomestikkan’ peran perempuan, sehingga perempuan menjadi jinak, tersegregasi secara
seksual dan terdepolitisasi.70
Sesuai dengan budaya ‘ikut suami’ maka perempuan lebih diharapkan untuk menjadi
pendukung suami. Pemerintah membentuk dan mendukung tiga organisasi utama: PKK, Dharma
Wanita dan Dharma Pertiwi. PKK, Pembinaan Kesejahteraan Keluarga: diperuntukkan bagi para
ibu rumahtangga yang bukan istri pegawai negeri atau tentara, baik didaerah pedesaan mapun
perkotaan. Istri Gubernur menjadi Ketua PKK ditingkat provinsi, istri bupati menjadi ketua PKK di
tingkat kabupaten, istri camat menjadi ketua PKK ditingkat kecamatan dan istri kepala desa
menjadi ketua PKK ditingkat desa. Dharma Wanita adalah organisasi yang dimaksudkan bagi para
istri pegawai negeri sipil, sedangkan Dharma Pertiwi adalah wadah berorganisasi bagi para istri
tentara dan polisi. Kegiatan ke tiga organisasi ini disamping untuk mengabdi program-program
pemerintah, juga untuk kaum perempuan lainnya, dikoordinasikan oleh Menteri Negara Urusan
Wanita. Menurut Wieringa, pemerintah sengaja menggunakan ideologi ibuisme ini untuk
memperkuat subordinasi terhadap perempuan dan menggunakannya sebagai pendukung
pemerintah.71
70Suryakusuma, Julia I., 2004. Sex, Power and Nation, Metafor Publishing
71Wieringa, S., 1992. ‘Ibu or the beast: Gender interests two Indonesian women’s organizations’, Feminist Review, no.
41, p.98-112.
92
Keanggotaan dalam Dharma Wanita, Dharma Pertiwi dan PKK lebih ditujukan untuk
mendukung karir suami, bukan dimaksudkan untuk ‘membela’ kepentingan perempuan. Diskusi
tentang feminisme, gender, subordinasi, marginalisasi dan diskriminasi terhadap perempuan tidak
pernah ada dalam organisasi-organisasi ini. Meski demikian banyak istri yang dengan senang hati
mengikuti aktifitas Dharma Wanita dan PKK karena perempuan Indonesia pada dasarnya adalah
perempuan yang aktif yang tidak suka dipasung didalam rumah72. Aktifitas di Dharma Wanita dan
PKK juga memberi kesempatan kepada para istri dan ibu rumah tangga untuk sejenak melepaskan
diri dari kepenatan urusan domestik, memperoleh pengetahuan praktis yang bermanfaat bagi
kerumahtanggaan, memberi identitas, memberi sarana sosialisasi untuk bertemu dengan teman-
teman dan memberi kesempatan untuk belajar berorganisasi.73
Senada dengan Yulia Suryakusuma, Daniel S Lev juga berpendapat bahwa upaya untuk
mendefinisikan perempuan sebagai istri dan ibu adalah fenomena Orde Baru. Hal ini sesuai
dengan etos elite Orde Baru yang berasal dari lingkungan birokrasi militer dan tujuan
pemerintahan Orde Baru yang ingin melakukan stabilisasi nasional. Jika perempuan berani
meredefinisikan dirinya bukan sebagai istri dan ibu, maka akan merusak sendi ‘kekeluargaan’ dan
akan mengancam stabilitas nasional. 74 Demikian pula Blackburn berpendapat bahwa dengan
membentuk jaringan institusi dan gagasan yang menjadikan perempuan (istri) dan laki-laki (suami)
tahu tempatnya masing-masing maka pererintah akan mudah mengendalikan masyarakat.75
72 Wieringa, Saskia Eleonora, 1998. Kuntilanak Wangi : Organisasi-organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950,
Kalyanamitra, Jakarta; Wieringa, 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya dan
Kalyanamitra, Jakarta (buku ini terjemahan desertasi Wieringa yang dipertahankan di Universitas Amsterdam 6
Oktober 1995).
73Binny Buchory and Ifa Soenarto, “Dharma Wanita: An Asset or a Curse? In Indonesian Women: The Journey
Continues, edited by M. Oey-Gardiner and C. Bianpoen, eds (Canberra: Research School of Pacific and Asian Studies,
The Australian National University, 2000), pp. 145-155; Syamsiyatun, Siti, MUSLIM WOMEN’S POLITICS IN
ADVANCING THEIR GENDER INTERESTS: A Case-Study of Nasyiatul Aisyiyah inIndonesian New Order Era
74 Lev, Daiel S., 1996, p. 198. Dikutip dari Love, Kaleen E., 2007. ‘The Politics of Gender in a Time of Change:
Gender Discourses, Institutions, and Identities in Contemporary Indonesia’, Thesis submitted in partial fulfilment of the
requirements for the Degree of Doctor of Philosophy by DEPARTMENT OF INTERNATIONAL DEVELOPMENT
QUEEN ELIZABETH HOUSE PEMBROKE COLLEGE OXFORD UNIVERSITY AUGUST 2007, p. 65.
75 Blackburn, Susan., 2004, p.25. Dikutip dari Love, Kaleen E., 2007. ‘The Politics of Gender in a Time of Change:
Gender Discourses, Institutions, and Identities in Contemporary Indonesia’, Thesis submitted in partial fulfilment of the
requirements for the Degree of Doctor of Philosophy by DEPARTMENT OF INTERNATIONAL DEVELOPMENT
QUEEN ELIZABETH HOUSE PEMBROKE COLLEGE OXFORD UNIVERSITY AUGUST 2007, p. 65.
93
Dalam dunia pewayangan dikenal berbagai simbol perempuan, diantaranya Srikandi
dan Sumbadra. Srikandi yang mahir memanah dan berperang menjadi simbol perempuan
maskulin. Sumbadra menjadi simbol perempuan yang lemah lembut, feminin dan selalu siap
mengikuti suami (tut wuri handayani). Meski demikian simbol Sumbadra, lebih menjadi tipe ideal
bagi wanita.76
Gender politics periode Orde Baru juga ditandai dengan kampanye anti Gerwani yang
pada intinya mengkaitkan Gerwani dengan komunis, menggambarkan Gerwani sebagai gerakan
perempuan yang tidak bermoral yang menghilangkan ‘kodrat’nya sebagai perempuan.Gerwani
adalah contoh ‘ibu jahat’. Penggambaran tersebut mendelegitimasi partisipasi perempuan dalam
politik dan ingin memberikan pesan bahwa tempat perempuan yang sebaiknya ialah sebagai ibu
dan istri. Berita yang dimuat Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha yang kemudian dikutip
berbagai surat kabar itu diantaranya sebagai berikut :
“… Melihat mangsanya datang, anggota PR (Pemuda Rakyat) dan Gerwani yang sudah
diindoktrinasi dengan kebencian dan kedengkian berteriak-teriak histeris. Sambil menari-nari
mengelilingi para pahlawan revolusi itu, anngota-anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat, BTI,
SOBSI dan lain-lain menyanyikan lagu revolusioner ciptaan komponis-komponis Lekra antara lain
lagu –lagu, “Ganyang Kabir”, “Ganyang 3 Setan Kota” ciptaan Subroto K. Atmojo dan lagu pop
yang sedang menjadi top hit pada wakyu itu, “Genjer-genjer”.
Untuk memanaskan suasana, banyak diantara anggota PR dan Gerwani itu bahkan
menari … tanpa busana. Itulah apa yang mereka namakan ”pesta harum bunga”. Pesta harum
bunga seperti ini memang sudah beberapa malam mereka lakukan dalam rangka mengakhiri masa
latihan. Pada saat-saat itu, batas-batas moral dianggap tidak ada lagi. Hubungan seks secara liar
diantara para anggota PR dan Gerwani memang sengaja dibiarkan oleh pimpinan latihan
kemiliteran, untuk memberi semangat.
Anggota-anggota PR, Gerwani dan anggota-anggota ormas PKI lainnya yang sudah
kemasukan setan itu kemudian diperintahkan untuk menyiksa para tawanan tersebut, sebelum
diselesaikan. Nyonya Jamilah yang baru berusia 17 tahun itu mengisahkan bahwa mula-mula
76 Carey and Houben, 1992, p.13-15. Dikutip dari Love, Kaleen E., 2007. ‘The Politics of Gender in a Time of
Change: Gender Discourses, Institutions, and Identities in Contemporary Indonesia’, Thesis submitted in partial
fulfilment of the requirements for the Degree of Doctor of Philosophy by DEPARTMENT OF INTERNATIONAL
DEVELOPMENT QUEEN ELIZABETH HOUSE PEMBROKE COLLEGE OXFORD UNIVERSITY AUGUST 2007, p.
65.
94
sukarelawan-sukarelawan memukuli para kornan yang berteriak-teriak kesakitan. Kemudian
disusul sukarelawati-sukarelawati Gerwani dan PR beraksi. Mereka yang sudah kehilangan sifat-
sifat kemanusiaannya itu menusuk-nusukkan pisau ketubuh para korban. Bahkan para korban
yang sudah tak berpakaian itu dipotong kemaluannya dengan silet dan dimasukkan kemulut. Ada
100 orang lebih sukarelawati yang melakukan penyiksaan diluar batas kemanusiaan itu sebelum
para kornban diseret ke tepi sebuah sumur tua. ... 77
Berita yang dimuat diberbagai surat kabar itu membuat pembaca mual, marah sekaligus
bergidik. Kutipan tersebut ”konon” dimuat oleh berbagai media massa untuk mengutuk Gerakan 30
S PKI. Banyak diantara mereka yang membayangkan para perempuan pelaku kekejaman itu
bukan manusia. Mereka lebih mirip sebagai setan perempuan jahat, kuntilanak (sundel bolong).78
Banyak kalangan yang meragukan kebenaran cerita tersebut. ”Betulkan cerita tersebut
sebuah fakta ?” Sejumlah kalangan menyatakan bahwa cerita tersebut adalah sebuah fiksi yang
sengaja dihadirkan untuk memberi nuansa teror. Kampanye atas kekejaman itu sengaja dirancang
untuk menyulut memarahan umum terhadap kaum komunis dan Gerwani. Cerita ’kekejaman’
Gerwani tersebut mendorong berbagai ormas wanita menuntut pelarangan terhadap PKI, Gerwani
dan ormas-ormasnya. Kepada 30.000 massa perempuan yang hadir Majend. Suharto mengatakan
bahwa tanpa kaum wanita keselamatan bangsa tidak dapat dijamin. Tapi ia memperingatkan agar
kaum wanita jangan meniru perbuatan kaum Gerwani yang telah meninggalkan kepribadian kita
yang istimewa, karena mereka telah merusak kepribadian kaum wanita Indonesia ... dan karena
kaum wanita sebagai ibu mempunyai peran khusus untuk mendidik anak-anak, generasi muda kita
harus diselamatkan agar tidak ikut terjerumus dalam penyelewengan moral kaum kontra
revolusioner.
Disini Suharto ingin menegaskan agar kaum perempuan menjadi ”ibu yang baik” dan
bangsa Indonesia bersandar pada tabiat kaum wanita sebagaimana layaknya (kodratnya).79 Kodrat
77 Dikutip dari Stanley, 1999. ‘Penggambaran Gerwani sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan (Fitnah dan Fakta
Penghancuran Organisasi Perempuan Terkemuka’, Seminar sehari ”Tragedi Nasional 1965” yang diadakan
masyarakat sejarawan Indonesia pada 8 September 1999 di Gedung Dewan Riset Nasional, Komplek Puspitek,
Serpong. http://www.geocities.com
78 Lihat Wieringa, Saskia Eleonora, 1998. Kuntilanak Wangi : Organisasi-organisasi Perempuan Indonesia Sesudah
1950, Kalyanamitra, Jakarta; Wieringa, 1999. Penghancuran Gerakan Perempuan di Indonesia, Garba Budaya dan
Kalyanamitra, Jakarta (buku ini terjemahan desertasi Wieringa yang dipertahankan di Universitas Amsterdam 6
Oktober 1995).
79 Stanley, 1999. ‘Penggambaran Gerwani sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan (Fitnah dan Fakta Penghancuran
Organisasi Perempuan Terkemuka’, Seminar sehari ”Tragedi Nasional 1965” yang diadakan masyarakat sejarawan
Indonesia pada 8 September 1999 di Gedung Dewan Riset Nasional, Komplek Puspitek, Serpong.
http://www.geocities.com
95
wanita sebagai ibu dan sebagai pendidik bagi putra-putrinya kemudian menjadi kata kunci dalam
ideologi gender ibuism sebagaimana tercantum dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN),
UU 1/1974 tentang Perkawinan dan Panca Dharma Wanita (perempuan sebagai istri pendamping
setia suami, ibu pendidik anak dan pembina generasi muda penerus bangsa, pengatur
rumahtangga, sebagai pekerja penambah penghasilan keluarga, dan terakhir sebagai anggota
masyarakat yang berguna). Semua kewajiban tersebut hendaknya ditunaikan dengan cara-cara
yang sesuai dengan "kodrat wanita." Kodrat ini ialah bahwa perempuan bersifat lemah-lembut,
tidak berbicara dengan suara keras, dan khususnya tidak mementingkan kepentingan pribadi, tidak
mendahulukan urusan sendiri di atas urusan suami dan orang-tua, melainkan menjadi istri yang
penurut dan anak perempuan yang patuh.80
Peminggiran perempuan secara sosial juga ditegaskan melalui UU 1/1974 tentang
Perkawinan yang menegaskan bahwa suami adalah kepala keluarga. Penegasan ini tertera dalam
setiap buku nikah yang dimiliki oleh setiap pasangan yang menikah di Kantor Urusan Agama.
Dampaknya, semua urusan ’publik’ (diluar rumah tangga) selalu diwakili oleh laki-laki. Rapat-rapat
dan pembuatan keputusan di lingkungan Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW) dan desa
selalu diwakili oleh kepala keluarga. Pranata sosial ini juga melemahkan posisi ekonomi
perempuan karena berbagai kredit dan bantuan sosial dari pemerintah selalu didasarkan pada
kepala keluarga dan diterimakan kepada kepala keluarga (laki-laki).
Pergantian rezim Orde Baru ke Orde Reformasi yang berlangsung sejak tahun 1998
mempengaruhi sifat gerakan perempuan sehingga lebih terdeferensiasi dan lebih mobile. Meski
demikian gender politics terus berlangsung. Fenomena baru yang memperkuat gender politics di
era reformasi ialah adanya otonomi daerah. Otonomi daerah adalah bagian integral dari upaya
demokratisasi di Indonesia. Sentralisasi pembuatan kebijakan pada jaman Orde Baru selama 32
tahun telah mematikan kehidupan demokrasi, sehingga tuntutan desentralisasi dan otonomi
daerah tidak dapat dibendung. Otonomi daerah dianggap sebagai prasyarat untuk mewujudkan
demokrasi di Indonesia. Dengan otonomi daerah, jarak antara rakyat, pemimpin daerah dan arena
pembuatan keputusan menjadi lebih dekat.
80 Wieringa, Saskia ,1999. KUNTILANAK WANGI: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia Sesudah 1950,
Kalyanamitra, Jakarta. Diterjemahkan dari judul asli: The Perfumed Nightmare (The Hague: Institute of Social Studies,
1988), Penerjemah: Hersri Setiawan
96
Prinsip otonomi daerah diresmikan dengan dikeluarkannya UU No. 29/1999 tentang
Otonomi Daerah, yang diperbaharui dengan UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah.
Perundang-undangan baru ini memberi peluang kemunculan dan penguatan kembali tradisi-tradisi
lokal yang cenderung memperkuat nilai-nilai lokal yang patriarkhis. Perundang-undangan tentang
pemerintahan daerah ini juga tidak sensitif gender karena tidak menyinggung masalah kuota
perempuan dalam pembuatan keputusan di daerah.
Melalui UU ini pemerintah daerah mempunyai kewenangan untuk membuat peraturan-
peraturan daerah. Namun faktanya, peluang otonomi daerah justru menimbulkan diskriminasi yang
lebih mendalam bagi perempuan. Menurut Komnas Perempuan, sejak dikeluarkannya
kewenangan daerah untuk membuat perda, hingga tahun 2008 telah muncul 154 perda yang
bersifat diskriminatif terhadap perempuan.81
Sebanyak 64 dari 154 kebijakan daerah tersebut secara langsung diskriminatif terhadap
perempuan melalui pembatasan hak kemerdekaan berekspresi (21 kebijakan yang mengatur
pemakaian busana), pengurangan hak atas perlindungan dan kepastian hukum karena
mengkriminalisasi perempuan (37 kebijakan tentang pemberantasan prostitusi dan 1 kebijakan
tentang larangan khalwat), pengabaian hak atas penghidupan dan pekerjaan yang layak bagi
kemanusiaan (4 kebijakan tentang buruh migran).
Lebih dari setengahnya secara spesifik menyebutkan bahwa tujuan kebijakan tersebut
adalah untuk “mewujudkan karakter daerah yang Islami”, termasuk diantaranya 7 kebijakan daerah
tentang aturan busana dan 13 kebijakan daerah yang mengkriminalisasi perempuan dalam aturan
tentang prostitusi. Kondisi ini mencerminkan adanya praktik pembuatan kebijakan dengan tujuan
81 Laporan Pemantauan Komnas Perempuan. Launching laporan dilaksanakan dalam workshop dengan unsur Pemda
dan aktivis perempuan “TUGAS KONSTITUSIONAL KEPEMIMPINAN BARU PASCA PEMILU : BEBASKAN
INDONESIA DARI DISKRIMINASI”, dilaksanakan di Hotel Bintang Fajar, Yogyakarta, Jum’at, 3 April 2009.
97
pencitraan politik atas dasar identitas keagamaan tertentu, atau politisasi identitas. Seperti
tercermin dalam Keputusan Bupati Kab. Pangkajene dan kepulauan No. 48/2007 tentang
Penetapan Desa Tompo Bulu Kec. Balocci dan Desa Mattiro Bombang Kec. Liukang Tupabbiring
sebagai “Desa Bernuansa Islami”. Kedua kebijakan ini dimaksudkan untuk membangun citra
“daerah religius Islami”.
Busana bisa menjadi ciri atau simbol dan mudah untuk dijadikan ukuran, dibandingkan
kegiatan-kegiatan yang lainnya. Perempuan cenderung digunakan sebagai barometer religiusitas
yang mudah digunakan. Simbol-simbol keagamaan yang melekat pada perempuan (busananya)
yang dapat dilihat langsung oleh mata manusia; berbeda dengan mengaji, puasa, sabar, anti
korupsi dan sebagainya yang tidak mudah dilihat secara langsung.
Beberapa kebijakan diskriminatif mempunyai rumusan yang sangat mirip sehingga
terkesan berlangsungnya proses penjiplakan. Tabel di bawah ini menunjukkan kemiripan yang
hampir total dari kebijakan-kebijakan daerah tentang aturan busana:
Fakta ini menunjukkan bahwa pemerintahan daerah seringkali tidak lebih demokratis dan
tidak lebih ramah terhadap perempuan. Seperti disampaikan oleh Anne Phillip bahwa komunitas
lokal seringkali menunjukkan resistensi yang tinggi terhadap perubahan dan kehadiran norma-
82
Laporan Pemantauan Komnas Perempuan. Launching laporan dilaksanakan dalam workshop dengan unsur Pemda
dan aktivis perempuan “TUGAS KONSTITUSIONAL KEPEMIMPINAN BARU PASCA PEMILU : BEBASKAN
INDONESIA DARI DISKRIMINASI”, dilaksanakan di Hotel Bintang Fajar, Yogyakarta, Jum’at, 3 April 2009.
98
norma internasional, terutama jika perubahan tersebut akan mengancam norma lokal serta struktur
politik lokal yang melindungi kepentingannya. 83 Demokratisasi di tingkat lokal juga berarti
meningkatkan kompetisi perebutan kekuasaan (power and resources) diantara kelompok-
kelompok elit lokal yang patriarkhis sehingga lebih meminggirkan posisi perempuan.84
---o0o---
PHILIPS, Anne , 1996. Feminism and The Attractions of The Local in Desmond King and Gerry Stoker eds
83
84 BYRNE, Bridget and LAIER, Julie Koch. 1996. National Machineries for Women in Development: Experiences,
Lessons and Strategies forInstitutionalzing Gender in Development, Policy and Planning Bridge Report No. 36. Diambil
dari ASIMA YANTY SIAHAAN, 2003. “The Politics of Gender and Decentralization in Indonesia’, C P S International
Policy Fellowship Program 2 0 0 2 / 2 0 0 3, CENTRAL EUROPEAN UNIVERSITY CENTER FOR POLICY STUDIES,
OPEN SOCIETY INSTITUTE.
99
Bab V : Gender dan Kewarganegaraan
A. Konsep Warganegara
Kewarganegaraan adalah tentang keanggotaan dari suatu kelompok atau
komunitas serta hak dan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh anggota tersebut
terhadap negara. Dengan adanya keanggotaan berarti akan ada orang yang berstatus
‘included’ dan ada yang berstatus ‘excluded’. Namun faktanya, exclution atau
marjinalisasi dari full citizenship bukan hanya bagi orang-orang yang secara geografis
berada di luar batas negara, tetapi juga menimpa perempuan, etnis minoritas dan
kalangan miskin.
Peran sosial yang dimainkan seseorang dalam masyarakat sangat mempengaruhi
perumusan dengan konsep kewarganegaraan. Pada sebagian besar masyarakat,
perempuan lebih banyak berperan sebagai mengurus rumah tangga daripada mencari
nafkah dan berpartisipasi dalam politik formal. Meski demikian konsep kewarganegaraan
bersifat dinamis tergantung pada kesepakatan antara anggota dan nilai yang berkembang
di masyarakat.
Konsep kewarganegaraan yang dikenal luas saat ini berasal dari pemikiran politik
liberal yang mendasarkan pada prinsip bahwa anggota sebuah negara adalah individu.
Individu akan memperoleh hak perlindungan dan berpartisipasi dalam pembuatan
keputusan publik.Konsep ‘true citizen’ mengalami perkembangan :
o Warrior citizen : seseorang yang mampu bertempur dan rela mati untuk
membela negara
o Democratic voter : seseorang yang mempunyai hak pilih
o Citizen consumer : seseorang yang dapat melakukan kontrak jual beli
Dalam pembicaraan tentang konsep kewarganegaraan dikenal konsep “universal”
citizenship yaitu bahwa negara akan memperlakukan semua warganya secara equal
(setara) di depan hukum. Negara juga akan memperlakukan semua warga negara secara
abstrak dan netral, tanpa melihat realita akan ketimpangan gender, ras, etnik, kelas dan
lain-lain yang ada dalam masyarakat..85
85
Meer, Shamim and Charlie Sever, 2004. “Gender and Citizenship”, BRIDGE-Institute of Development
Studies http://www.ids.ac.uk/bridge
100
Tabel 5. 1 Perkembangan Konsep ‘True Citizen’
Konsep Keterangan
1 Warrior citizen Seseorang yang mampu bertempur dan rela mati untuk
membela negara
2 Democratic voter: Seseorang yang mempunyai hak pilih
3 Citizen consumer Seseorang yang dapat melakukan kontrak jual beli
86
Elshtain, Women and War, Basic Book, NY, 1987, p. 207. Studi ini dilakukan oleh sejarawan perang
S.L.A. Marshall, meski hasil studi ini mengundang kontroversi.
101
perasaan para prajurit (laki-laki) untuk menumbuhkan semangat tempurnya. Mereka akan
diejek sebagai gadis atau perempuan jika mereka tidak bersemangat bertempur/berkelahi.
Dengan demikian, keterkaitan antara laki-laki dengan kekerasan dan agresifitas, bukan
merupakan sifat dasar laki-laki tetapi merupakan konstruksi atau bentukan masyarakat
tentang identitas gender yang cenderung menekan seorang laki-laki, untuk membuktikan
bahwa dirinya laki-laki sejati.
Sampai saat ini, masyarakat juga cenderung memberikan penghormatan yang
tinggi pada veteran. Di berbagai negara, termasuk di Amerika, banyak politisi yang
berasal dari kalangan veteran. Pada tahun 1984 dalam debat calon wakil presiden
Amerika antara George dan Geraldine Ferraro, Bush menceriterakan pengalamannya
sebagai pilot Angkatan Laut dalam Perang Dunia II. Seolah-olah, kemampuan untuk
menerbangkan pesawat tempur adalah prasyarat yang harus dimiliki oleh seorang wakil
presiden. Hal ini kemudian menjadikan Ferarro tidak mampu menjawab. Tentu karena
Ferraro tidak mempunyai pengalaman bertempur.
102
laki-laki menjadi jauh lebih berkuasa. Pengasosiasian perempuan, femininitas dengan
perdamaian, berarti mendorong nilai maskulinitas.
Pendapat feminis tentang perang dan militer terpecah menjadi dua. Sebagian
menginginkan agar terdapat kesetaraan akses sehingga perempuan harus diberi akses
yang sama untuk terlibat dalam kemiliteran. Sebagian lagi berpendapat bahwa perempuan
harus mendorong perdamaian, bukan dengan memasuki dunia kemiliteran.
Kesertaan perempuan dalam perang dan kemiliteran mematahkan kesan bahwa
laki-laki adalah protector dan perempuan adalah protected. Baik laki-laki maupun
perempuan dapat menjadi protector. Ini akan mendorong perubahan konsep dari warrior
patriot menjadi citizen defender. Sebagaimana dikemukakan oleh feminis Jean Ekstain
bahwa konsep citizenship harus diubah, jika semula diukur dari kesediaan seseorang
dalam mengorbankan nyawa dalam peperangan kini menjadi kesediaan orang untuk
bertanggungjawab terhadap kelangsungan hidup.
103
yang bersifat supra nasional bermunculan, diantaranya Uni Eropa yang berperan besar
dalam pembentukan kesetaraan gender .
87
Bussemaker, Jet & Rian Voet eds.,1998. Introduction to Critical Social Policy, vol. 18
no. 3, pp.375-396.
104
model’ sebagai model normative yang ideal. Model ’dual-breadwinner’ atau ’dual-
earner’ muncul dari Scandinavia.88
88
(Siim, 2000, Korpi, 2000)
105
mengusulkan “personal is political”
Inequalities in power and o Diskriminasi yang berlangsung berabad-abad
resources means abilities to membuat perempuan powerless à tidak dapat
claim right mengklaim hak-haknya
---o0o---
106
Bab VI : Gender dan Perwakilan Politik
107
Perwakilan Dengan tegas ia mengatakan, sekali rakyat
membolehkan dirinya diwakilkan, mereka tidak
lagi bebas atau ada. Kebebasan rakyat hanya ada
saat pemilu.
Menyetujui Edmund Burke menolak ide bahwa wakil rakyat Edmund Burke -
Perwakilan harus dibatasi oleh instruksi-instruksi atau mandat filsuf dan politisi
dari konstituennya. Wakil parlemen tidak boleh Perancis abad 18
terlalu dibatasi, dan harus memutuskan
berdasarkan isu-isu sesuai dengan penilaiannya,
setelah mendengarkan perdebatan di arena
perwakilan dan menentukan pilihan yang sesuai.
Menyetujui o Perlu solusi agar wakil tidak berdiri di atas James Mill dan
Representasi kepentingannya sendiri melainkan Jeremy Bentham -
- kepentingannya sejalan dengan kepentingan Filosuf Utilitarian,
representasi masyarakat.
merupakan o Perlu prinsip akuntabilitas wakil terhadap
keharusan yang diwakili
dalam o Perlu ada institusi yang dapat mengkontrol
politik para wakil sewaktu waktu
modern o Para wakil hanya boleh bekerja untuk periode
tertentu, gagasan ini tidak menghalangi wakil
untuk dipilih kembali jika mereka menunjukan
kompetensi dan kejujuran.
o Mill percaya pada “dislocative power” sebagai
kekuatan untuk menyingkirkan para free rider.
92
Madison, James, 1987.
108
ia dipilih oleh sejumlah pemilih atau sebuah daerah tertentu, tetapi ketika ia sudah
terpilih maka ia bukan lagi hanya wakil dari pemilih atau daerah tertentu, melainkan ia
telah menjadi anggota parlemen. 93 Konsep delegate dan trustee tentang perwakilan
politik menempatkan tuntutan tindakan dari para wakil tersebut secara bertentangan.
Konsep delegate menuntut wakil untuk bertindak sesuai dengan preferensi pemilih,
sedangkan konsep trustee menuntut wakil untuk bertindak sesuai pertimbangannya
sendiri.
Pembahasan tentang perwakilan politik biasanya menyangkut empat komponen
berikut. Pertama, siapa yang mewakili ? Mungkin dapat berupa Dewan Perwakilan
Rakyat, sebuah organisasi, gerakan, wakil negara dan lain sebagainya. Kedua, siapa yang
diwakili ? Sebuah perwakilan dapat mewakili pemilih, klien dan lain sebagainya. Ketiga,
apa yang diwakilkan ? Dapat berupa opini, perspektif, kepentingan dan lain sebagainya.
Keempat, dalam sebuah setting/tatanan seperti apa perwakilan tersebut berlangsung ?
Tergantung pada konteks politik yang berlangsung.
93
Burke, Edmund. 1968. Reflection on the Revolution in France. London, Penguin Book, hal. 115.
94
Diadaptasi dari Stanford Encyclopedia of Phylosophy, Political Representation,
http://plato.stanford.edu
109
Cara Pandang / Gambaran Singkat Pertanyaan Utama Standar Untuk Aktor /
Konseptualisasi Mengevaluasi Wakil yang
Bertindak
sebagai
Wakil
Formalistic Rekayasa kelembagaan yang Apa posisi institusional dari Tidak ada Partai
Representation mendahului dan sebuah perwakilan (DPR) ? Politik –
mempunyai 2 memprakarsai perwakilan. Pemilu
dimensi : Formal Representation
mempunyai dua dimensi
yaitu
o Authorization Cara-cara yang digunakan Bagaimana proses atau Tidak ada standar
(Dasar sehingga seorang wakil prosedur yang dilalui untuk mengukur
Kewenangan – memperoleh seorang wakil/anggota seberapa baik
proses statusnya/jabatannya Dewan sehingga ia seorang anggota
rekruitmen memperoleh jabatannya Dewan bertindak
seorang (Misal : melalui pemilu)
anggota Apakah jabatan
Dewan) Apa cara yang dapat sebagai
digunakan wakil/anggota wakil/anggota Dewan
Dewan untuk memaksakan tersebut diperoleh
keputusannya dengan cara yang
absah (legitimate) ?
o Accountability Kemampuan pemilih untuk Apa mekanisme sanksi yang
(pertanggung menghukum wakilnya jika dapat diberikan ?
jawaban) wakil tersebut gagal untuk
bertindak sesuai harapan Apakah anggota Dewan
pemilih (Apakah pemilih bersikap responsif terhadap
dapat memecat ?) tuntutan pemilihnya ?
Bagaimana bentuk
pertanggungjawaban anggota
Dewan terhadap pemilihnya
Symbolic Cara-cara wakil ”stand for” – Wakil dinilai dari Kelompok
Representation berpihak kepada /berarti – tingkat penerimaan informal
bagi yang diwakili rakyat terhadap wakil dan media
(degree of massa
acceptance)
Descriptive Sejauh mana para anggota Apakah wakil : Dinilai dari akurasi Ormas,
Representation Dewan/wakil mempunyai o Mempunyai kemiripan kemiripan antara Organisasi
kemiripan dengan o Mempunyai yang mewakili sosial
rakyat/yang diwakili. kepentingan yang sama dengan yang diwakili religius,
o Pernah mempunyai utusan
pengalaman yang sama daerah,
(sehingga dapat utusan
berempathi) dengan kelompok
pemilih yang kepenti
diwakilinya. ngan
/minoritas.
Substantive Aktifitas para anggota Apakah kebijakan-kebijakan Wakil dinilai dari, LSM dan
Representation Dewan – tindakan-tindakan yang diusulkan oleh para apakah hasil Kelompok-
yang diambil anggota Dewan wakil tersebut memang kebijakan-kebijakan kelompok
apakah dimaksudkan untuk membela yang diusulkan oleh Advokasi
o atas nama kepentingan pemilih. para wakil tersebut
95
Diadaptasi dari Stanford Encyclopedia of Phylosophy, Political Representation,
http://plato.stanford.edu
110
o untuk membela memang
kepentingan dimaksudkan untuk
o sebagai wakil membela
o sebagai pengganti dari kepentingan pemilih.
yang diwakili.
96
I Ketut Putra Erawan, 2007. ‘Rekonseptualisasi Representasi bagi Indonesia’, Paper disampaikan dalam
Partnership of Governance Meeting Room, Jakarta, 20 September.
111
arena pertikaian kepentingan kelompok-kelompok pendukung dengan pertimbangan-
pertimbangan jangka pendek. Jika wakil bertindak sebagai trustee yang bertindak demi
kepentingan rakyat (bukan hanya demi kepentingan pemilihnya) juga timbul pertanyaan
apa yang dimaksud dengan kepentingan rakyat ? Bagaimana ia dapat membela
kepentingan rakyat jika ia tidak dapat memperjuangkan kepentingan pemilihnya ?
Terdapat kecenderungan bahwa para aktor politik menghegemoni wacana publik
dengan menjadikan konseptualisasi perwakilan dari sudut pandang formal belaka
sehingga konseptualisasi lainnya yang sebenarnya dapat dipergunakan sebagai alternatif
sebagaimana yang diusulkan oleh Pitkin cenderung terpinggirkan.
Kasus perwakilan di Indonesia pasca Orde Baru misalnya, sangat didominasi oleh
masyarakat politik (partai politik) sedang institusi lain yang sebenarnya juga dapat
berperan sebagai wakil rakyat, seperti kelompok kepentingan, ormas, organisasi sosial,
LSM dan lain-lain ruang geraknya dibatasi oleh sistem perundang-undangan yang dibuat
oleh para politisi.
112
kebijakan publik untuk membela warga negara. Jadi, mereka dapat bertindak sebagai
wakil rakyat. Mereka dapat menyuarakan (speak off) keinginan rakyat, bertindak atas
nama rakyat, berpihak kepada rakyat.97
Sehubungan dengan permasalahan peran wakil, apakah bertindak sebagai delegate
atau sebagai trustee dan masalah perwakilan formal tersebut Hanna Pitkin mengusulkan
jalan keluar yaitu dengan cara baik seorang wakil maupun pemilih atau rakyat yang
diwakilinya harus memiliki otonomi.
Rather, they should aim to preserve this paradox by recommending that citizens
safeguard the authonomy of both the representative and of those being
represented. Representatives must act in ways that safeguard the capacity of the
represented to authorize and to hold their representatives accountable and uphold
the capacity of the representative to act independently of the wishes of the
represented.98
97
Stanford Encyclopedia of Phylosophy, Political Representation, http://plato.stanford.edu
98
Pitkin, Hanna Fenicle, . 1967. Concept of Representation, Berkeley, University of California
113
Gambar 6.1 Pola hubungan Rakyat – Wakil – Negara (Formal dan Alternatif)
Harris, Stokke dan Tornquist, 2007
NEGARA PUBLIK
MASYARAKAT DEMOS
99
Harris, Stokke dan Tornquist, 2007. Dikutip dari I Ketut Putra Erawan, 2007. ‘Rekonseptualisasi
Representasi bagi Indonesia’, Paper disampaikan dalam Partnership of Governance Meeting Room, Jakarta,
20 September.
114
mewakili’. Menurut Hanna Pitkin dalam bukunya The Concept of Representation,
mewakili (representing) berarti bertindak untuk kepentingan yang diwakili. Untuk itu
terdapat dua pertanyaan yang terkait, yaitu ‘siapa yang mewakili?’ dan ‘apa yang
dilakukan oleh wakil tersebut ?’ Atau ‘who is present?’ yang artinya lebih menekankan
pada komposisi anggota dewan dan ‘what the representative actually do ?’ yang lebih
menekankan pada aktifitas sesungguhnya yang dilakukan anggota dewan yang dapat
berupa kebijakan, preferensi maupun pemikiran yang diajukan anggota dewan.100
Untuk mewujudkan keterwakilan yang lebih descriptive partai politik dapat
mengadopsi sistem kuota. Partai politik juga perlu membuat petunjuk (guidelines)
pelaksanaan kuota. Misalnya seperti yang dilakukan oleh partai Demokrat di Amerikat
menjelang konvensi kandidat tahun 1970. Panitia yang bertugas untuk menyeleksi
kandidat membuat petunjuk agar pengiriman delegasi yang akan bertugas untuk memilih
kandidat, lebih bersifat ‘descriptive’ dengan mempertimbangkan unsur genser, ras dan
umur sehingga mencakup 40 persen delegasi adalah perempuan, 15 persen delegasi
berkulit hitam dan 21 persen delegasi berusia antara 18-30 tahun.
Mengapa sifat descriptive ini perlu ditekankan ? Setidaknya terdapat dua alasan
yang terkait. Pertama, karena alasan keadilan. Jika distribusi kekuasaan itu tersebar
secara merata dan ridak ada sistem yang beroperasi untuk menghambat sebuah kelompok
untuk berpolitik maka tentunya laki-laki tidak akan dapat memonopoli kekuasaan hingga
lebih dari 85 persen kursi parlemen.Orang dapat berdalih bahwa kekuasaan memang
tidak terbagi secara merata. Tetapi jika ketidakmerataan ini selalu terkait dengan jenis
kelamin tertentu maka tentunya ini bukanlah suatu kebetulan, tetapi sebuah kesengajaan
(structural discrimination). Pendapat ini didasarkan pada argumen bahwa pembagian
kerja berdasar sex bukan bersifat kodrati (unnatural). Hanya saja karena pembagian kerja
berdasar sex dan rendahnya keterwakilan perempuan ini sudah terjadi sejak zaman kuno
maka hal ini dianggap sebagai sesuatu yang alamiah. Sebagian besar waktu perempuan
habis untuk merawat anak, mengurus rumah tangga dan merawat orang tua. Alasan
100
Pitkin, Hanna Fenicle, . 1967. Concept of Representation, Berkeley, University of
California. Lhat juga Anne Phillip, ‘Democracy and Representation : Or, Why Should it
Matter Who Our Representative Are ?’ dalam Phillip, Anne (ed), 1998. Feminism and
Politics, Oxford University Press, Oxford, New York, p. 226.
115
kedua, terkait dengan aspirasi. Konsekwensi dari tidak terwakilinya perempuan ini
maka kepedulian terhadap aspirasi perempuan juga rendah. Lebih jelasnya, akan dibahas
lebih jauh dalam tema masalah kepentingan perempuan.
101
Okin, Susan Moller, 1979. Women in Western Political Thought, Princeton University Press, New York
p. 249.
102
Schochet, Gordon J., 1975. Patrirchalism in Political Thouht, Basic Book , New York. Lihat juga
Pateman, Carole, 1979. The Problem of Political Obligation: A Critical Analysis of Liberal Theory, John
Wlley, New York.
116
o Apa yang Diwakilkan dalam sebuah perwakilan?
o Apa yang Menjadi Basis dari sebuah Perwakilan
o Bagaimana agar Perempuan Terwakili ?
o Apakah Perempuan Merupakan Sebuah Kelompok Kepentingan ?
o Apa yang Menjadi Kepentingan Perempuan ?
o Bagaimana menghubungkan antara pemilih dengan kandidat perempuan ?
o Apakah Jika Wakilnya Perempuan akan Membawa Perubahan ?
117
I. Mengapa Keterwakilan Perempuan Perlu ?
Dalam literature-literature yang membicarakan keterwakilan perempuan,
sedikitnya terdapat empat alasan mengapa keterwakilan perempuan dianggap perlu
sebagaimana berikut.
103
Hanna F. Pitkin 1967, Judith Squires 1999: 202ff , Squires 1999: 194, 202
118
o Keterwakilan fungsional atau keterwakilan kepentingan : wakil bertindak sebagai
juru bicara sebuah kelompok kepentingan (substantive representation)
o Keterwakilan sosial : perwakilan identitas : perwakilan harus mencerminkan
komposisi sosial dari para pemilihnya (quantitative representation) karena wakil itu
akan menyuarakan pengalaman dimana ia merupakan bagian dari kelompok tersebut)
K. Basis Perwakilan.
Dilihat dari basis dukungannya, terdapat dua kategori basis perwakilan. Pertama
adalah perwakilan yang berbasis individu. Pemikiran ini diturunkan dari tradisi liberal
klasik yang selalu menganggap aktor politik adalah individu. Masing-masing individu
harus diberi kesempatan yang sama. one man, one vote yang diekspresikan dalam
pemilihan umum. Kedua, pemikiran yang mengusulkan perwakilan politik atau
representasi berbasis kelompok. Pemikiran ini dikemukakan oleh Anne Philip dalam
119
bukunya Politic of Presence (1967). Pola perwakilan berbasis kelompok diharapkan dapat
memberikan tempat yang lebih baik terhadap kelompok-kelompok yang selama ini
cenderung terpinggirkan oleh sistem politik yang berpola liberal, misalnya perempuan.
120
principal-agent Wakil harus bertindak untuk mewakili Squires 1999:203
concept kepentingan yang diwakili. Wakil
(qualitative, merupakan agen yang bertindak atas
substantial nama (sesuai dengan kepentingan)
representation). yang diwakili.
121
"group", Young menggunakan konsep
perempuan sebagai a "serial collectivity".
M. Kepentingan Perempuan
Argumen kepentingan adalah argumen yang muncul dari realisme politik. Dalam
masyarakat yang heterogen dan dalam sistem negara bangsa yang modern maka tidak ada
transparasi yang jelas tentang ’public interest’, namun ada berbagai kepentingan yang
berbeda-beda yang berpotensi saling konflik. Wakil rakyat di Dewan itu adalah manusia
biasa, yang mungkin terikat oleh ’kebaikan hati’ (tuntutan) pemilihnya. Diantara mereka
ada orang-orang baik hati yang suka mengedepankan kepentingan orang lain, namun
adalah tidak bijak jika kita menganggap semuanya demikian.
Selain itu fakta di masyarakat menunjukkan bahwa perempuan cenderung
terkonsentrasi dalam pekerjaan-pekerjaan tertentu. Misal, banyak perempuan yang
menjadi Tenaga Kerja Wanita di luar negeri, banyak perempuan yang menjadi buruh
yang berpenghasilan rendah, banyak perempuan yang menjadi korban poligami, korban
kekerasan dalam rumah tangga, korban perkosaan di daerah-daerah konflik dan lain
sebagainya. Mereka mempunyai kepentingan yang lahir dari pengalaman hidup sebagai
perempuan.Pengalaman (penderitaan) seperti ini tidak mungkin diwakilkan kepada laki-
laki karena laki-laki memang tidak pernah mengalaminya. Jadi dapat disimpulkan bahwa
perempuan mempunyai kepentingan khas yang tidak mungkin diwakilkan kepada laki-
laki sehingga harus diwakili oleh perempuan sendiri.
Namun harus diakui bahwa persoalan kepentingan perempuan memang sangat
rumit. Kemrumitan tersebut terkait dengan hal-hal berikut. Pertama, apa yang dimaksud
dengan kepentingan (interest) ? Jika kepentingan diartikan sebagai prioritas dan tujuan
yang ingin dicapai, maka kepentingan perempuan menjadi sangat beragam. Bahkan
kadang-kadang prioritas yang ingin dicapai tersebut dapat sama atau mirip dengan
prioritas laki-laki. 104 Kedua, seringkali kepentingan perempuan tersebut tidak dapat
digambarkan atau dirumuskan secara jelas maka agenda politik (tuntutan) perempuan
juga sulit dirumuskan serta arah kebijakan menjadi tidak jelas. Ketiga, apakah dapat
104
Phillip, Anne (ed), 1998.’Democracy and Representation: Or Why Should it Matter Who Our
Representative Are?’ dalam Phillip, Anne (ed), 1998. Feminism and Politics, Oxford University Press,
Oxford, New York, p 234.
122
dikatakan bahwa perempuan yang menjadi wakil (anggota Dewan) tersebut otomatis akan
mewakili perempuan ? Apakah klaim tersebut logis ?
Dalam sebuah pemilihan umum biasanya akan dibentuk daerah-daerah pemilihan.
Kadangkala dalam sebuah daerah pemilihan dapat diidentifikasi mayoritas pemilihnya.
Misalnya, daerah pemilihan A mayoritas pemilihnya NU, daerah pemilihan B mayoritas
Muhammadiyah, daerah pemilihan C mayoritas petani miskin, daerah pemilihan D
mayoritas nelayan, daerah pemilihan E mayoritas abangan dan lain sebagainya. Meski
demikian hampir tidak pernah suatu daerah pemilihan diidentikan dengan jenis kelamin
seperti daerah pemilihan F mayoritas perempuan atau daerah pemilihan G mayoritas laki-
laki. 105 Setidaknya, demikianlah cara pandang seorang kandidat partai menjelang
kampanye. Dalam kampanye, kandidat akan mewakili partai untuk menawarkan
program-program partai. Melalui proses yang seperti itu, bagaimana mungkin seorang
kandidat perempuan diminta untuk bertanggungjawab mewakili pemilih perempuan ?106
Menjelang pemilu, partai-partai politik pada umumnya menetapkan issue
kampanye, memobilisir dukungan dan menjalin koalisi. Kitika itu isi kampanye kandidat
laki-laki maupun perempuan pada umumnya sudah tidak berbeda lagi. Secara subtansial
kandidat laki-laki dapat mewakili kepentingan perempuan. Tetapi, kemampuan laki-laki
untuk bertindak sebagai wakil perempuan bervariasi dan tergantung pada issuenya. Untuk
issue-issue tertentu seperti masalah poligami, hak waris, hak gono-gini, kesetaraan
gender, kekerasan dalam rumah tangga dan sejenisnya kandidat laki-laki akan sulit
mewakili kepentingan perempuan.
105
Mungkin perkecualian terjadi di daerah post conflict seperti Rwanda tahun 1990an. Sesaat setelah aksi
genocida, jumlah perempuan mencapai 70 persen.
106
Phillip, Anne (ed), 1998.’Democracy and Representation: Or Why Should it Matter Who Our
Representative Are?’ dalam Phillip, Anne (ed), 1998. Feminism and Politics, Oxford University Press,
Oxford, New York, p.235
123
Misalnya, perempuan menginginkan adanya fasilitas penitipan anak ditempat kerja ibu
atau bapak yang dibiayai oleh pemerintah, atau fasilitas keluarga berencana secara gratis.
Selanjutnya para perempuan anggota dewan yang terpilih diminta memberikan
laporannya secara periodik kepada para pemilih perempuan, misalnya melalui forum
Konggres Perempuan dan lain-lain.107
Meski perempuan dapat terpecah belah menurut ras, agama, politik dan
sebagainya, namun perempuan tetap memepunyai kesamaan. Perama, adanya keyakinan
bahwa peluang dan kualitas hidup mereka menjadi terbatas disebabkan karena mereka
perempuan. Kedua, adanya keinginan untuk membebaskan diri dari kekangan-kekangan
yang diproduksi oleh sistem yang patriarkhis. Ketiga, adanya keyakinan bahwa keadaan
ini bukan hanya dialami oleh seorang perempuan secara individual tetapi dialami oleh
semua perempuan sebagai suatu kelompok.
107
Phillip, Anne (ed), 1998. Feminism and Politics, Oxford University Press, Oxford, New York, p. 238.
124
kebijakan, kepentingan itu diubah menjadi kebutuhan (needs) sehingga diperoleh konsep
kebutuhan jender yang strategis (strategc gender needs) dan kebutuhan jender yang
praktis (practical gender needs).
108
Molyneux, Maxine, 1985.’Mobilization without Emancipation? Women’s Interest, State and
Revolution in Nicaragua’, Feminist Studies , Vol 11, No. 2, 1985.
125
ketika ingin menduduki jabatan politik memang memamng bermaksud untuk mewakili
kepentingan perempuan. Kandidat perempuan cenderung untuk tidak berinisiatif untuk
mengangkat issue perempuan hanya karena khawatir bahwa jika ia membicarakan issue
perempuan maka ia akan dianggap berpola pikir sempit dan tidak dapat mewakili
kepentingan rakyat secara keseluruhan. Ironinya jika perempuan membicarakan issue
yang terkait dengan kehidupan keluarga maka ia sering dianggap berpola pikit sempit
(citra negatif) tetapi jika laki-laki yang membicarakannya maka ia akan dianggap sebagai
laki-laki yang peduli terhadap masalah keluarga (citra positif). Bahkan perempuan yang
tidak mengangkat issue kepentingan perempuan selama kampanye justru lebih berhasil
daripada yang membicarakannya.109
Meski demikian penelitian lain menunjukkan korelasi yang positif antara
besarnya jumlah perempuan yang menjadi wakil (di Dewan, Eksekutif maupun birokrat
tinggi) dengan kebijakan yang pro perempuan seperti terbukti di Rwanda, Afrika Selatan,
Swedia, Norwegia dan Australia. Kiprah para femocrat di Australia dapat dijadikan
contoh sekaligus bukti kepedulian para feminist yang berhasil menduduki jabatan
birokrasi tinggi terhadap kebijakan yang pro perempuan.
Maka dapat disimpulkan bahwa korelasi antara banyaknya perempuan yang
menjadi wakil dengan kebijakan yang pro perempuan tidak bersifat universal (tidak
merata). Kehadiran perempuan sebagai wakil hanyalah salah satu variabel yang akan
menentukan keterwakilan kepentingan perempuan. Peran para wakil perempuan tersebut
juga sangat tergantung pada prosedur rekruitmen ketika dilakukan penjaringan dan
kendala-kendala organisasional yang ada dalam sistem politik yang didominasi oleh
sistem patriarkhi. Namun kehadiran perempuan sebagai wakil akan menjadi simbol
perubahan sistem politik yang lebih demokratik dan akomodatif terhadap kepentingan
perempuan110
109
Kirkpatrick , Jeane 1974. Political Women, Basic, New York ; Caroll, Susan 1979, “Women Candidates
and Support for Women’s Issue:: Closet Feminist “, paper presented at the annual mmeting of the Midwest
Political Science Association, Chicago ; Mezey, Susan Gluck 1978, ‘Support for Women’s Right Policy:
An Analysis of Local Politician’, American Politics Quarterly, 6, 485-497; Vallance, 1979, Women in the
House: A Study of Women Members of Parliament, Athlone Press, London.
110
Sapiro, Virginia, 1998. ‘When are Interest Interesting? The Problem of Political Representation of
Women’ dalam Phillip, Anne (ed), 1998. Feminism and Politics, Oxford University Press, Oxford, New
York, p.183.
126
Q. Peran Femocrat (Feminist Bureaucrat) di Australia
Sepanjang tahun 1976-1965 sebagian besar anggota PBB membentuk lembaga
baru yang dimaksudkan untuk menunjang kebijakan pemerintah terhadap perempuan.
Pembentukan lembaga ini didasarkan pada kesadaran kaum feminis bahwa kebijakan dan
aktifitas pemerintah selama ini tidak netral gender sehingga perlu adanya evaluasi untuk
melihat dampak sebuah kebijakan terhadap perempuan.
Di Australia gerakan ini melahirkan para femocrat (feminist bureaucrat). Namun
akhir-akhir ini muncul pemimpin generasi baru yang sering disebut sebagai ecorat yang
mengedepankan prinsip rasionalisme ekonomi. Kehadiran para ecorat yang berkeyakinan
bahwa intervensi pemerintah terhadap pasar akan bersifat kontra produktif, mulai
mengikis pengaruh para femocrat yang mengupayakan kesetaraan gender.
Kemunculan femocrat di Australia didorong oleh beberapa faktor diantaranya
ialah kemunculan pemerintahan baru partai Buruh pada tahun 1973 berkomitmen untuk
meningkatkan partisipasi pemilih dalam proses pembuatan kebijakan, dan keinginan
pemerintah untuk muncul sebagai warga internasional yang baik (good international
citizens). Hal ini memungkinkan gerakan perempuan untuk mengaktualisasikan cita-
citanya dalam bentuk kebijakan. Disisi lain akhir-akhir juga terdapat kecenderungan
menguatnya prinsip liberalisme dan rasionalisme ekonomi sangat tidak menguntungkan
bagi kebijakan pro perempuan. Kecenderungan liberalisme dan rasionalisme ekonomi
mengarahkan kebijakan yang tidak mempedulikan gender.
127
Istilah femocrat digunakan untuk menunjuk para feminis yang menjadi pejabat
yang aktif membuat kebijakan yang pro perempuan. Kemunculan para femocrat berawal
dari pembentukan organisasi non partai Women.s Electoral Lobby (WEL) pada tahun
1972. WEL muncul sebagai sayap reformis dari gerakan perempuan Australia yang
berkeyakinan inilah saatnya untuk bergerak, dari ‘talk’ menjadi ‘action’.111 Kedekatan
beberapa tokoh WEL dengan partai Buruh dan aktifitasnya dalam memenangkan partai
Buruh membawa beberapa tokoh WEL sebagai penasehat PM untuk urusan perempuan.
Untuk menunjang tugas para penasehat di bidang kebijakan untuk perempuan ini maka
pada tahun 1973 PM. Whitlam membentuk the Office of the Status of Women (OSW) di
Departemen PM dan Kabinet. Untuk pertama kalinya kantor ini dipimpin oleh seorang
feminis, Sara Dowse, yang bertugas untuk mengkoordinasikan berbagai kebijakan pro
perempuan yang dilaksanakan oleh berbagai departemen yang ada di Australia dan
mengaudit dampak berbagai kebijakan pemerintah terhadap perempuan. Fungsi
koordinasi dan audit ini dipandang lebih efektif disbanding jika menjadi sebuah
departemen khusus yang memproduk kebijakan sendiri. Keberadaan OSW pada
Departemen PM dan Kabinet ini sangat menguntungkan herakan perempuan karena
departemen ini mempunyai kekuasaan yang sangat besar dan mempunyai akses langsung
pada perdana menteri. Kantor OSW juga dibentuk disetiap Negara bagian dan territory
dan juga berada didalam departments of Premier and Cabinet (semacam kantor Gubernur
di Indonesia).112 Pada saat yang sama Australia juga banyak melakukan aktifitas yang
terkait dengan perempuan sehubungan dengan dijadikannya Canberra sebagai tempat
konferensi International Women.s Year dan hal ini mampu menumbuhkan gairah akan
kesadaran gender dikalangan masyarakat.
Keberadaan femocrat bukannya tidak menemui hambatan. Para birokrat lain yang
konservatif sering menganggapnya sebagai misionaris, sedangkan dari kalangan gerakan
111
Sawer, Marian, 1996.“Femocrats and Ecorats: Women.s Policy Machinery in
Australia, Canada and New Zealand”, Occasional Paper 6, March 1996, United Nations
Research Institute for Social Development, United Nations Development Programme
112
Sawer, Marian and Abigail Groves, 1994. Working from Inside: Twenty Years of the Office of the
Status of Women, Australian Government Publishing Service, Canberra,
128
perempuan sendiri mereka sering dianggap telah menggadaikan idealisme demi
loyalitasnya pada birokrasi dan pemerintah.113
Dengan berkuasanya kembali partai Buruh pada tahun 1983, PM Bob Hawke
memposisikan OSW kembali kedalam Departemen PM dan Kabinet. Dengan jabatan
sebagai menteri senior, OSW dapat berperan kembali untuk mengkoordinasikan berbagai
unit perempuan yang ada di berbagai departemen dan mengaudit dampak kebijakan
pemerintah terhadap pemerintah. Jabatan dalam OSW banyak diisi oleh feminis yang
aktif dalam Women’s Electoral Lobby (WEL). Para femocrat berhasil memproduk
kebijakan perawatan anak (childcare), meningkatkan anggaran untuk jasa-jasa yang
terkait dengan perempuan, mengadakan program women’s information service di
berbagai kota Australia, kebijakan kesehatan untuk perempuan (national women’s health
113
Summers, Anne, 1986. ‘Mandarins or missionaries: Women in the federal bureaucracy’, in Norma
Grieve and Ailsa Burns (eds.), Australian Women: New Feminist Perspectives, Oxford University Press,
Melbourne.
114
Setelah pensiun Sara Dowse memilih untuk menjadi penulis dan menuangkan
pengalamannya sebagai femocrat dalam novel yang berjudul West Block (Penguin,
Ringwood, 1983).
115
Sawer, Marian, 1996.“Femocrats and Ecorats: Women.s Policy Machinery in Australia, Canada and
New Zealand”, Occasional Paper 6, March 1996, United Nations Research Institute for Social
Development, United Nations Development Programme
129
policy), membuat perundang-undangan yang mengharuskan perusahaan swasta
mengembangkan program kesetaraan kesempatan kepada para karyawatinya, perundang-
undangan untuk menghukum tindak kekerasan terhadap perempuan dan lain sebagainya.
Kebijakan-kebijakan ini dikembangkan setelah melalui proses konsultasi dengan
kelompok-kelompok perempuan. Kaum feminis juga memobilisir dukungan untuk
pengurangan pajak konsumsi dan pengurangan pajak bagi masyarakat yang
berpenghasilan rendah (sebagian besar diantaranya adalah perempuan).116
Pada tahun 1983 Australia juga meratifikasi Konvensi ILO no 156 tentang Equal
Opportunities for Workers with Family Responsibilities yang berpengaruh besar terhadap
buruh perempuan.
--o0o--
116
Sawer, Marian and Abigail Groves, 1994. Working from Inside: Twenty Years of the Office of the
Status of Women, Australian Government Publishing Service, Canberra.
130
Bab VII : Kuota Perempuan di Parlemen
117
http://www.ipu.org
118
United Nations. Division for the Advancement of Women, General Recommendations made by the
Committee on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW). Lihat
http://www.un.org/womenwach/daw/cedaw/recomm.htm
131
diberikan sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan struktural yang menghalangi
terwujudnya kompetisi yang sehat. Perdebatan yang tidak jelas serta rendahnya
pemahaman masyarakat tentang kuota membuat rendahnya legimitasi masyarakat tentang
kuota. Pada gilirannya tingkat legimitasi masyarakat tentang kuota akan mempengaruhi
efektifitas implementasi kuota. Tulisan ini diharapkan dapat memperjelas pemahaman
masyarakat tentang kuota sehingga legimitasi masyarakat tentang kuota juga dapat
meningkat.
Kelima, selain di Indonesia aturan tentang kuota untuk perempuan di parlemen
juga diterapkan di berbagai negara lain. Mengetahui tentang pengenalan dan
implementasi kuota di berbagai negara lain merupakan hal yang sangat penting sehingga
kita dapat mengambil pelajaran dari mereka.
4. Affirmative Action
Affirmative action is a public or private program designed to equalise admission
opportunities for historically disadvantages groups, taking into account the
132
characteristic that have been used to deny them equal treatment. It aims to achieve
equality without compromising acceptance and tolerance of differences. Furthermore, it
enables women to enter the political an civic debate on all issues, and not just in those
traditionally assigned to women.119
Dengan demikian Affirmative Action berupa program pemerintah atau swasta
yang dirancang untuk menyetarakan kelompok yang dirugikan. Affirmative Action
dimaksudkan untuk mewujudkan kesetaraan. Dengan Affirmative Action perempuan akan
masuk ke arena politik, bukan hanya menggeluti issue yang secara tradisional diberikan
pada perempuan.
Negara harus menetapkan kapan dan dalam kondisi apa akan melaksanakan
kebijakan Affirmative Action. Jika ingin melakukan Affirmative Action maka undang-
undang pemilu harus direformasi. Selain itu anggaran dasar partai politik harus ditinjau
ulang sehingga memberi tempat pada perempuan. Penelitian yang dilakukan oleh
International Labour Organization (ILO) memperkirakan jika tanpa kebijakan
Affirmative Action akan diperlukan waktu sekitar 375 tahun bagi perempuan untuk dapat
mencapai kesetaraan gender di bidang politik maupun bidang lainnya.
Affirmative Action didasarkan pada pemikiran untuk memberikan ganti rugi
karena salah satu pihak telah dirugikan dalam jangka waktu panjang (compensatory
justice). Compensatory justice meminta agar terjadi pemindahan sumber-sumber
kekuasaan atau barang dari seseorang atau sekelompok orang (laki-laki) kepada orang
atau kelompok orang lain (perempuan) sehingga tercapai keadaan yang seimbang.
Compensatory justice bukan hanya sebuah upaya untuk mengkoreksi kesalahan yang
terjadi, tetapi juga dimaksudkan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang lebih baik
karena memberi kesempatan kepada seluruh elemen masyarakat untuk ikut berpartisipasi
dalam pembangunan. Dengan demikian potensi yang ada dalam masyarakat, baik laki-
laki maupun perempuan, akan lebih termanfaatkan.
Affirmative Action akan mengijinkan perempuan untuk memasuki perdebatan
tentang politik, hukum, ekonomi, keamanan, dan masalah-masalah internasional.
119
Gender and Political Participation. Lihat
http://www.undp.org/rblac/gender/legeslation/politicalpart.htm
http://en.wikipedia.org
133
Pemberdayaan perempuan akan mengikis stereotype negatif terhadap perempuan, akan
membangun role model baru.
Kebijakan affirmative action sering dibarengi dengan aturan kuota. Affirmative
action tidak sama dengan kuota, tetapi keduanya saling melengkapi. Affirmative action
bersifat sukarela, tidak dilaksanakan dengan kekerasan. Meski demikian pemerintah
dapat memberikan insentif dalam pelaksanaannya.120
2. Kuota
Aturan kuota menetapkan prosentase minimum bagi suatu kelompok. Kuota
merupakan bagian kecil dari program affirmative action. Kuota keterwakilan perempuan
di parlemen bertujuan untuk meningkatkan representasi perempuan, karena masalah yang
biasanya muncul adalah kurangnya terwakilinya perempuan; dan ini dalam hal tertentu
relevan karena diberbagai negara, jumlah perempuan merupakan 50 persen dari
penduduk.121
Dewasa ini sistem kuota bertujuan untuk memastikan bahwa perempuan, paling
tidak merupakan satu “minoritas kritis” (critical minority) yang terdiri dari 30 atau 40
persen. Kuota mungkin diterapkan sebagai tindak temporer, artinya diterapkan sampai
hambatan-hambatan terhadap masuknya perempuan dalam politik dapat disingkirkan.
Sistem kuota mungkin juga dibangun sebagai “netral terhadap gender” (gender
neutral) yang berarti bahwa kuota bertujuan mengoreksi kurang terwakilinya baik
perempuan maupun laki-laki. Dalam kasus ini, kemungkinan persyaratannya adalah
bahwa laki-laki maupun perempuan harus merupakan 40 persen dalam keanggotaan suatu
komite, atau bahwa gender harus menduduki tidak lebih dari 60 persen dan tidak kurang
dari 40 persen kursi.
Implementasi kuota harus diikuti dengan pembuatan jadwal dan target yang
dinyatakan secara jelas. Harus ada batasan waktu yang jelas. Target harus dinyatakan
secara jelas sehingga ada proses yang terukur. Perlu dicatat bahwa penetapan aturan
120
Gender and Political Participation. Lihat
http://www.undp.org/rblac/gender/legeslation/politicalpart.htm
121
Dahlerup, Drute, 2002. “menggunakan Kuota untuk Meningkatkan Representasi Politik Perempuan”,
dalam Perempuan di Parlemen : Bukan Sekedar Jumlah. Jakarta: International Institute for Democracy and
Electoral Assistance (International IDEA), hal 114.
134
kuota tidak menjamin keberhasilan. Norma-norma sosial, budaya yang menyebabkan
ketimpangan gender harus dipertimbangkan. Penarikan hambatan-hambatan formal yang
menghambat perempuan dalam kehidupan politik tidak cukup untuk menghapus
diskriminasi. Sehingga pendidikan, pelatihan, penghapusan stereotype dan peningatan
kesadaran akan adanya diskriminasi akan sangat mempengaruhi implementasi kuota.122
C. Konsep Kesetaraan
Kemunculan konsep kuota disebabkan karena terjadinya pergeseran konsep
kesetaraan (equality) yang semula didasarkan pada “kesempatan setara” (equal
opportunity) menjadi “hasil yang setara” (equality of result).
Gagasan liberal klasik mengenai kesetaraan merupakan suatu ide klasik mengenai
“kesempatan setara” (equal opportunity) atau “kompetisi setara” (competitive equality).
Saat ini hambatan yang menghalangi perempuan untuk berpolitik telah disingkirkan.
Misalnya pada saat ini perempuan sudah mempunyai hak untuk memilih dan dipilih.
Upaya maupun hasil akhirnya terserah pada perempuan itu sendiri.
Dalam beberapa dekade terakhir ini kaum feminis terus menerus mendesak agar
konsep “kesempatan setara” (equal opportunity) diubah menjadi “hasil yang setara”
(equality of result). Argumen yang dimaksud adalah bahwa kesempatan setara yang sejati
tidak hanya karena habatan-hambatan yang sifatnya formal telah disingkirkan.
122
Gender and Political Participation. Lihat
http://www.undp.org/rblac/gender/legeslation/politicalpart.htm
135
Diskriminasi langsung, maupun pola kendala tersembunyi yang kompleks telah
mencegah perempuan untuk mendapatkan andil mereka dalam pengaruh politik.
Kuota merupakan suatu cara menuju hasil yang setara. Argumen itu didasarkan
pada pengalaman bahwa kesetaraan sebagai satu tujuan ternyata tidak pernah dapat diraih
dengan cara memberikan “kesempatan/perlakuan yang setara”. Kegagalan ini disebabkan
adanya hambatan-hambatan yang tidak formal. Karena itu untuk mencapai kesetaraan
harus ditempuh dengan menggunakan cara-cara lain, misalnya dengan menggunakan cara
kuota123.
Pemberian kuota adalah sebuah kompensasi Kuota tidak demokratis, karena pemilih
karena selama beribu-ribu tahun perempuan telah seharusnya dapat memutuskan siapa yang dipilih;
mengalami hambatan struktural yang
mencegahnya untuk dapat terlibat dalam politik
secara adil.
Perempuan mempunyai pengalaman-pengalaman Kuota memperlihatkan secara tidak langsung
khusus (yang tidak dipunyai oleh laki-laki) yang bahwa para politisi dipilih karena gendernya, dan
diperlukan untuk mewujudkan good governance. bukan karena kualifikasinya, dan bahwa banyak
123
Dahlerup, Drute, 2002. “Menggunakan Kuota untuk Meningkatkan Representasi Politik Perempuan”,
dalam Perempuan di Parlemen : Bukan Sekedar Jumlah. Jakarta: International Institute for Democracy and
Electoral Assistance (International IDEA), hal 114
124
Ibid., hal 116.
136
kandidat yang lebih memenuhi syarat
tersingkirkan
Perempuan memiliki kualitas seperti laki-laki, Banyak perempuan tidak ingin dipilih hanya
tetapi kualifikasi permpuan dinilai rendah dan karena mereka adalah perempuan;
diminimalkan dalam sistem politik yang
didominasi oleh laki-laki;
125
Ibid., hal 116.
126
Krook, Mona Lena, 2003. “Candidate Gender Kuota : A Framework for Analysis”, Paper presented at
thr 2 nd General Conference of the European Consortium for Political Research, Marburg, germany,
September 18-21.
137
perempuan. Dalam Undang-undang Dasar 1995 Republik Uganda disebutkan bahwa di
setiap distrik harus dialokasikan satu kursi untuk perempuan. Uganda mempunyai 39
distrik.
138
o Lima puluh tiga (53) anggota dipilih sesuai dengan pasal 77 Konstitusi
o Dua puluh empat (24) anggota dicadangkan untuk perempuan, dengan ketentuan
setiap provinsi dan ibukota Kigali diwakili oleh dua orang. Para wakil dipilih oleh
Dewan Kabupaten/Kota.127
127
Kanakuze, Yudith, 2003. “Kuota in Practice : The Challenge of Implementation and Enforcement in
Rwanda”
128
Gender and Political Participation. Lihat
http://www.undp.org/rblac/gender/legeslation/politicalpart.htm
139
amandemen kostitusi 1999 mengukuhkan akses yang setara bagi perempuan dan laki-laki
yang efektif di mana 50 persen dari calon-calon yang ada dalam daftar yang diajukan
untuk pemilihan haruslah perempuan.129 Di Bangladesh (30 dari 330 kursi atau sembilan
persen). Di Belgia, Italia, Tanzania (20 persen dari kursi yang ada di tingkat nasional dan
25 persen di tingkat lokal), dan Eritrea.
Bentuk lain dari Constitutional Quota ialah Election Law Quota Reglation (Quota
untuk Perempuan dalam Undang-undang Pemilu). Election Law Quota Regulation
sangat mirip dengan Constitutional Quota (Kuota di dalam Undang-undang dasar), hanya
dibedakan oleh strata perundang-undangan saja, namun keduanya sama-sama mengikat.
Salah satu contoh negara yang mempunyai aturan kuota dalam undang-undang pemilu
adalah Indonesia. Dalam Undang-Undang 12/2003 tentang Pemilu disebutkan bahwa:
“Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD
Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap daerah pemilihan dengan
memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”
129
Dahlerup, Drute, 2002. “Menggunakan Kuota untuk Meningkatkan Representasi Politik Perempuan”,
dalam Perempuan di Parlemen : Bukan Sekedar Jumlah. Jakarta: International Institute for Democracy and
Electoral Assistance (International IDEA), hal 118
140
the notion of quotas, but who are otherwise commited to the goal of increasing female
parliamentary presence.130
Political Party Quota for Electoral Candidates adalah kesepakatan di dalam
sebuah partai untuk membuat aturan khusus tentang keterwakilan perempuan dalam
proses penyeleksian calon anggota legislatif yang akan diajukan oleh partai tersebut
dalam sebuah pemilihan umum. Pengadopsian quota di dalam sebuah partai pada
umumnya dilakukan setelah kelompok-kelompok perempuan di dalam partai tersebut,
didukung oleh gerakan perempuan di luar partai berusaha memobilisir dukungan, melobi,
meyakinkan maupun menekan pengurus partai untuk meningkatkan jumlah calon anggota
parlemen perempuan. Hal inilah yang terjadi di negara-negara Scandinavian pada tahun
1970-an. Akibat tekanan yang sangat gencar dan terus menerus ini maka beberapa partai,
terutama partai-partai sosial demokrat dalam partai-partai kiri, memutuskan menerapkan
sistem quota untuk perempuan di dalam partai mereka.
Negara pertama yang mencoba mengimplementasikan quota untuk perempuan
adalah Swedia. Pada tahun 1972 Partai Liberal Swedia menetapkan untuk menggunakan
sistem quota yang menetapkan 40% kepemimpinan partai harus dipegang oleh
perempuan. Sistem ini segera diikuti oleh Social Democratic Party. Tahun 1993 parlemen
Swedia menyetujui sebuah resolusi untuk merekomendasikan agar daftar calon yang
diajukan partai pada pemilu pusat, provinsi, maupun kota mempunyai keterwakilan yang
sama antara laki-laki dengan perempuan. Pada 1994, Partai Sosial Demokratik Swedia
memperkenalkan prinsip “setiap orang kedua dalam daftar adalah perempuan”. Ini
artinya bahwa jika yang pertama dalam daftar kandidat terpilih adalah laki-laki, maka
berikutnya harus perempuan, setelah itu laki-laki, setelah itu perempuan, dan demikian
seterusnya.
Sebelum 1970, Partai Sosial Demokratik Swedia sudah mulai memasukkan
perempuan dalam daftar calon yang diajukan partai dalam pemilu. Meski demikian calon
laki-laki biasanya unggul dalam hal pengalaman, karena mereka sudah lama
berkecimpung dalam partai. Akibatnya dalam membuat daftar calon yang diajukan partai,
130
Krook, Mona Lena, 2003. “Candidate Gender Kuota : A Framework for Analysis”, Paper presented at
thr 2 nd General Conference of the European Consortium for Political Research, Marburg, germany,
September 18-21.
141
sepuluh calon pertama tetap diduduki laki-laki, baru calon nomor sebelas dan seterusnya
dapat diisi oleh perempuan. Pada pemilihan selanjutnya di tahun 1973, partai memilih
secara bergantian nama-nama laki-laki dan perempuan dari nomor lima pada daftar itu.
Sebelum pemilihan 1976, partai lokal memutuskan bahwa seluruh daftar untuk dewan
lokal harus mencakup kira-kira setiap yang ke dua adalah perempuan dan laki-laki.
Kemudian partai menyederhanakan dengan membuat dua daftar sebelum pemilihan.
Persoalan mungkin muncul ketika harus menentukan siapa akan masuk dalam daftar itu.
Pada 1988, Partai Sosial Demokratik Denmark menyatakan, “setiap jenis kelamin
mempunyai hak untuk suatu representasi setidak-tidaknya 40 persen dari kandidat Partai
Sosial Demokratik untuk pemilihan lokal dan regional”. Jika tidak ada jumlah kandidat
yang mencukupi dari setiap jenis kelamin, maka hak ini tidak akan sepenuhnya memiliki
pengaruh.Peraturan ini, yang juga diterapkan secara internal kepada badan-badan dalam
partai, dihapus di tahun 1996. Di Denmark, quota hanya diterapkan pada pemilihan di
tingkat dewan lokal dan dewan kotapraja, dan tidak untuk pemilihan parlemen nasional.
Ketika mencoba menerapkan sistem quota, Partai Sosial Demokratik Denmark
juga mengalami perlawanan internal partai. Penentangan implementasi quota datang dari
dalam partai itu sendiri, yaitu dari para pejabat yang takut kehilangan kursinya. Untuk
mencegah agar konflik internal partai tidak berkepanjangan maka Partai Sosial
Demokratik Denmark memperluas atau menambah jabatan struktural di dalam partai
sehingga jumlah pejabat partai dapat menjadi dua kali lipat. Misalnya terdapat seorang
ketua partai yang dijabat oleh laki-laki. Namun terdapat dua wakil ketua partai, satu
perempuan, satu laki-laki. Dengan memperbanyak jabatan struktural di dalam partai
seperti ini maka perempuan dapat menduduki jabatan struktural partai, tanpa harus
mencopot jabatan struktural yang telah dipegang oleh laki-laki. Partai mengupayakan
agar perempuan dapat menduduki 40 persen jabatan struktural partai.
Pada 1983, Partai Buruh Norwegia memutuskan bahwa “semua pemilihan dan
nominasi kedua jenis kelamin harus diwakili sekurang-kurangnya 40 persen”. Partai
Buruh Norwegia tidak mengalami kesulitan dalam merekrut perempuan yang memenuhi
syarat. Kepemimpinan partai nasional dan sekretariat perempuan partai menekankan
bahwa tujuan dari quota adalah mempunyai lebih banyak perempuan yang dipilih, tidak
hanya memiliki banyak perempuan dalam daftar kandidat partai.
142
Dalam sistem pemilihan legislatif Norwegia pemilih tidak dapat megubah
prioritas yang telah diberikan pada kandidat melalui partai; dengan kata lain, partai yang
memutuskan siapa yang dipilih dari daftarnya. Permasalahan sering muncul karena
kandidat puncak biasanya laki-laki yang menginginkan untuk melanjutkan posisinya.
Hanya secara bertahap dimungkinkan untuk mengisi kursi kosong dengan perempuan.
Pengalaman Norwegia menunjukkan bahwa dengan sistem pemilihan demikian,
dibutuhkan tiga pemilihan untuk menjalankan sistem quota tersebut. Ketika Partai Buruh
memenangkan pemilu 2001 maka perempuan menduduki 50% kursi kabinet dan 50%
fraksi di parlemen.131
Bahkan dalam konggres nasional Partai Buruh 2006 disepakati untuk menerapka
quota gender 50-50 pada seluruh jajaran Partai Buruh. Dengan demikian Partai Buruh
menjadi partai pertama di dunia yang menerapkan kesetaraan gender secara penuh.
Dalam konggres tersebut 176 suara mendukung quota 50-50 dan 106 suara menginginkan
untuk tetap menggunakan quota 40 persen, sebagaimana yang telah diterapkan sejak
konggres partai 1983.132
Di Jerman, Partai Sosial Demokratik (the Social Democratic Party) menerapkan
quota perempuan 40%, sementara partai Green menerapkan quota 50%. Di Spanyol,
Partai Sosialis (PSOE) menetapkan bahwa 25% jabatan maupun perwakilan di dalam
partai harus diisi perempuan paling sedikit 25%. PSOE juga merekomendasikan, jika
memungkinkan, agar prosentase ini juga diterapkan dalam pencalonan anggota parlemen
tingkat lokal maupun nasional. Pada tahun 1993 Partai Sosial di Perancis mencamtumkan
quota 30 persen di dalam anggaran dasar partainya dan berkomitmen untuk mengambil
langkah-langkah yang diperlukan dalam “walk the path to a democracy of party”.133
Keberadaan aturan tentang quota perempuan di dalam sebuah undang-undang
tidak akan otomatis meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen.
Keberhasilan sistem quota sangat ditentukan oleh proses pelaksanaannya. Pertama, target
quota harus jelas, misalnya 30;40;50 persen. Kedua, partai-partai politik yang memiliki
131
Dahlerup, Drute, 2002. “Menggunakan Kuota untuk Meningkatkan Representasi Politik Perempuan”,
dalam Perempuan di Parlemen : Bukan Sekedar Jumlah. Jakarta: International Institute for Democracy and
Electoral Assistance (International IDEA), hal 118
132
Norway: Largest Party Aims for Full Gender Equality”, http://www.timesofoman.com.
133
Gender and Political Participation. Lihat
http://www.undp.org/rblac/gender/legeslation/politicalpart.htm
143
quota untuk pemilihan biasanya juga memiliki beberapa jenis sistem quota ketika
memilih kepemimpinan dan badan-badan internal partai. Dengan demikian harus ada
quota yang menjamin keterwakilan perempuan (30;40;50 persen) dalam jabatan
struktural partai politik. Quota, sejak awal, harus dilekatkan dalam proses seleksi dan
nominasi. Jika persyaratan quota hanya dibicarakan pada tahap akhir, maka biasanya
sangat sulit untuk mencapai tujuan. Pada saat ini ada sekitar 84 partai politik di 36 negara
yang mempunyai sistem quota internal partai dalam pencalonan anggota parlemen (Lihat
Lampiran 2)134
G. Beberapa Teori dan Model tentang Efektifitas Implementasi Kuota Gender dan
Tingkat Keterwakilan Perempuan di Parlemen.
134
http://www.ipu.org
144
sendiri, variabel kerangka institusional yang melingkupi quota tersebut dan variabel aktor atau
kelompok yang mendukung dan menentang quota.
“The impact of quotas is linked to detail of the measures themselves, the impact of
quota is depend on institutional framework in which they are introduces and the
impact of quotas steams of the balance of actors for and against
implementation”135
145
quota yang telah diadopsi kemudian dinyatakan illegal atau menyalahi hukum karena bertentangan
dengan prinsip-prinsip kesetaraan (equality) dan keterwakilan (representation). 136 Upaya
penentangan dapat dilakukan oleh individu, partai politik atau pengadilan. Misalnya di Perancis
pada tahun1982 ketika Rancangan Undang-undang (RUU) tentang quota perempuan dalam
pemilu pada tingkat municipal digugat di Mahkamah Konstitusi. Partai-partai oposisi membentuk
gerakan untuk menentang beberapa pasal RUU, tetapi tidak menolak sepenuhnya quota tersebut.
Hakim kemudian menyatakan bahwa beberapa pasal dari quota tersebut gugur (unconstitutional)
karena bertentangan dengan pasal 3 Konstitusi dan pasal 6 Deklarasi tentang hak-hak laki-laki dan
warga negara.137
136
Guadagnini 1998, Nivon 2001.
137
Mossuz-Lavau, Janine, 1998: Femme/hommes pour la parite (Women/men for Parity) Paris: Presses de
Sciences Po.
138
Htun, Mala N and Mark P. Jones, 2002. “Engendering the Right to Participate in Decision Making
Electoral Quota and Women Leadership in Latin America” in Gender and the Politics of Right and
Democracy in Latin America. Ed Niki Craske and Maxine Molyneux. New York: Palgrave.
146
kursi yang disediakan untuk daerah pemilihan tersebut juga akan semakin banyak sehingga
peluang calon perempuan untuk diajukan oleh partai politik juga semakin tinggi. Sebaliknya jika
daerah pemilihan sempit maka kursi yang tersedia juga sangat sedikit. Dalam sistem Single
member District hanya terdapat satu kursi pada setiap daerah pemilihan sehingga persaingan
dalam partai sangat sengit dan calon perempuan cenderung tersingkir.
139
Htun, Mala N and Mark P. Jones, 2002. “Engendering the Right to Participate in Decision Making
Electoral Quota and Women Leadership in Latin America” in Gender and the Politics of Right and
Democracy in Latin America. Ed Niki Craske and Maxine Molyneux. New York: Palgrave.
140
Levenduski, Joni and Pippa Norris, eds. 1993. Gender and Party Politics. Thousand Oaks, Sage.
147
sehingga dapat menempati nomer urut yang baik dalam daftar calon, lembaga pemilihan umum
yang meminta partai untuk memperbaiki daftar calon yang belum memenuhi aturan quota.
Elite partai merupakan kelompok yang paling bertanggungjawab terhadap implementasi
quota karena efektifitas quota sangat ditentukan oleh kemauan elite partai dalam merekrut calon
perempuan. Sikap elite partai sangat beragam. Mulai dari bersikap pasif atau mendiamkan saja
aturan quota, menyatakan ketidaksetujuannya terhadap quota dan ada pula yang mengancam
atau mengintimidasi calon perempuan. Meski sebagian elite partai bersedia mendukung quota
namun sebagian besar cenderung berusaha meminimalisir efek quota.141
Praktek-praktek yang dilakukan oleh pimpinan partai politik dapat mendukung maupun
menggerogoti atau mengacaukan implementasi quota. Jika tidak ada kemauan politik (political will)
dari pimpinan partai untuk memenuhi quota gender maka implementasi quota tidak akan efektif.
Sikap elite partai ditiap-tiap negara dapat berbeda-beda. Pada beberapa negara elite partai tidak
berusaha menentang quota gender, tetapi pada beberapa negara tertentu elite partai berusaha
keras dengan berbagai cara untuk menggembosi esensi quota, misalnya dengan membentuk
lembaga-lembaga baru sehingga quota tidak dapat dilaksanakan.142
Pada level state juga terjadi perjuangan gender. Pada beberapa negara terdapat feminist
bureaucrat atau femocrat atau state feminist yang menggunakan jabatan yang dimilikinya agar
dapat mempengaruhi atau mengubah kebijakan-kebijakan yang mengutamakan kesetaraan
gender atau kebijakan yang pro perempuan.
Pada level internasional juga terdapat sejumlah aktor yang aktif mewujudkan kesetaraan
gender seperti organisasi-organisasi internasional dan transnational civil society. Sejak awal,
dimensi internasional sudah terlibat dalam gerakan perempuan. Diawali dengan kampanye hak
politik atau hak pilih untuk perempuan (suffrage movement), dan akhir-akhir ini organisasi
transnasional telah menekan agar perempuan mempunyai akses dalam pembuatan keputusan143
Adanya asosiasi-asosiasi gerakan perempuan yang bersifat transnasional ini berfungsi untuk
menyediakan “jalan pintas” agar issue gender diangkat menjadi issue politik dalam negeri. “Jalan
141
Araujo 2003, Costa Benavides 2003, Freedman 2003, Garcia Quesada 2003.
142
Green, Manda 2003. “La Parite : To Be or Not To Be ?” Paper presented at the European Consortium
for Political Research, Joint Session of Workshops, Edinburg, Scotland, March 28-April 2, 2003.
143
Krook, Mona Lena 2002. ‘Europe for Women, Women for Europe: Strategi for Parity Democracy in
European Union” p 67-86 in Democracy and and Integration In An Enlarging Europe, ed., John S Micgiel.
New Yor, Institute for the Study of Europe.
148
pintas” ini penting karena perempuan biasanya selalu terpinggirkan sehingga tidak mempunyai
akses untuk melemparkan issue politik.
Pada keempat level atau lokasi tindakan ini (base, civil society, state, international
organizations and transnational civil society) terdapat peluang-peluang bagi perempuan maupun
laki-laki untuk mempengaruhi proses pembuatan maupun implementasi kebijakan. Para aktor yang
terlibat dalam perdebatan quota gender ini diantaranya ialah :
- Pada level civil society: organisasi-organisasi gerakan perempuan, aktifis perempuan yang
berada didalam partai politik dan kaukus perempuan di parlemen.
- Pada level state : pemimpin nasional, koalisi pemerintahan, faksi-faksi di parlemen, hakim
pengadilan didaerah maupun di pusat (Mahkamah Konstitusi)
- Pada level international organizations and transnational civil society: organisasi
internasional (PBB,UNIFEM), asosiasi regional (Uni Eropa), transnational NGO’s dan
jaringan-jaringan lintas nasional dari para aktifis, ilmuwan dan politisi
State
(natonal leaders, governing coalitions, parliamentary factions, and judges at the national
levels)
Civil Society
Women’s movement organizations, cross party alliances among women, women’s sections
inside political parties
Base
(citizens, residents)
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa terdapat aktor maupun aliansi aktor yang
berbeda-beda yang berperan dalam pengadopsian maupun implementasi quota gender. 145
144
Krook, Mona Lena 2003. “Candidate Gender Quota: A Framework for Analysis”, Paper presented at the
2nd General Conference of European Consortium for Political Research, Marburg, Germany, September 18-
21
149
Sebaliknya terdapat pula aktor maupun aliansi aktor yang berusaha keras untuk menentang
pengadopsian maupun menggagalkan implementasi quota gender.
Dari uraian diatas jelas tampak bahwa aktor maupun aliansi aktor mempunyai peran yang
besar dalam mendukung maupun menentang adopsi maupun implementasi quota gender. Sikap
tersebut didorong oleh alasan yang berbeda-beda. Penentangan terhadap quota gender pada
umumnya didasarkan pada kenyataan bahwa quota gender akan mempromosikan calon
perempuan dan merugikan calon laki-laki, baik yang sedang menjabat maupun yang tidak.
145
Krook, Mona Lena 2003. “Candidate Gender Quota: A Framework for Analysis”, Paper presented at the
2nd General Conference of European Consortium for Political Research, Marburg, Germany, September 18-
21. -à hindari pengulangan. Ikuti standar sitasi.
146
Caul Miki, 1999. “Women Representation in Parliament: The Role of Political Parties”. Party Politics 5,
no 1:79-98. Inglehart, Ronald and Pippa Norris, 2003. Rissing Tide. Gender Equality and Cultural Change
Around the World. New York: Cambrige University Press; Krook, Mona Lena 2003. “Candidate Gender
Quota: A Framework for Analysis”, Paper presented at the 2nd General Conference of European
Consortium for Political Research, Marburg, Germany, September 18-21, p.3
147
Caul Miki, 1999. “Women Representation in Parliament: The Role of Political Parties”. Party Politics 5,
no 1:79-98. Inglehart, Ronald and Pippa Norris, 2003. Rissing Tide. Gender Equality and Cultural Change
Around the World. New York: Cambrige University Press; Krook, Mona Lena 2003. “Candidate Gender
Quota: A Framework for Analysis”, Paper presented at the 2nd General Conference of European
Consortium for Political Research, Marburg, Germany, September 18-21, p.3
150
Variabel bebas Varibel terikat
• Sistem Pemilu Perempuandi Parlemen
• Besar kecilnya Distrik
• Sifat Daftar Calon yang diajukan Partai Politik kepada
KPU
• Organisasi Partai Politik
• Sifat-sifat sistem Partai Politik
Variabel Sosial Ekonomi
• Tingkat Pembangunan Ekonomi
• Tingkat Pendidikan Perempuan
• Banyak sedikitnya Perempuan yang Bekerja
Variabel Budaya
• Sifat Budaya Politik
• Agama yang Dominan
• Sifat Masyarakat terhadap Kepemimpinan Perempuan
• Keberadaan Peran Gender Non Tradisional
Variabel Strategi :
• Ada/tidaknya Strategi yang bersifat insentif bagi partai
politik yang merekrut perempuan lebih banyak
Dari berbagai penelitian tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem pemilu proporsional,
tingkat pendidikan yang tinggi dan banyaknya jumlah perempuan yang bekerja, protestanisme
serta keberadaan partai-partai politik kiri baru (new left political party) merupakan variabel yang
menentukan adanya tingkat keterwakilan perempuan yang tinggi dalam politik.
Pengalaman beberapa negara juga menunjukkan bahwa penggunaan sistem quota tidak
membawa hasil yang seragam untuk meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Ada yang
sangat berhasil, ada yang sedang-sedang, tetapi ada pula yang gagal. Beberapa ahli mengatakan
bahwa hal ini terkait dengan jenis quota yang diterapkan. Ada yang berpendapat bahwa quota
partai politik lebih efektif karena diterapkan secara sukarela. Ada pula yang berpendapat bahwa
quota konstitusional /legeslatif lebih efektif karena akan memaksa semua partai politik untuk
melaksanakan quota, bukan hanya partai-partai yang mau saja, serta implementasinya dipaksakan
oleh birokrasi dan pengadilan. Jadi bukan hanya ditentukan oleh anggota dan pimpinan partai
saja. 148 Adanya quota 30 persen bagi calon perempuan dalam Undang-undang Pemilu, telah
menghasilkan keterwakilan perempuan, sebesar 30,7 persen di Argentina, 20 persen di Guyana,
148
Jones, Mark P. 1998. “Gender Quota, electoral Laws, and the election of Women: Lesson from the
Argentine Province”. Comparative Political Studies 31, no1: 3-21.
151
18,5 persen di Bolivia, 17,5 persen di Peru, 12 persen di Columbia, 9,9 persen di Panama, 9,7
persen di Venezuela dan 6,8 persen di Brazil.149
Penggunaan quota gender oleh partai-partai politik menghasilkan peningkatan
keterwakilan perempuan di parlemen menjadi 36,7 persen di Belanda, 36,4 persen di Norwegia,
32,2 persen di Jerman. Sedangkan penggunaan reserved seats telah menghasilkan tingkat
keterwakilan perempuan di parlemen Uganda sebesar 24,7 persen, di Tanzania sebesar 22,3
persen, di Eritrea sebesar 22 persen. 150 Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa quota dapat
diterapkan diberbagai negara baik yang tingkat sosial ekonominya tinggi maupun rendah.
149
Inter Parliamentary Union, 2003. “Women in National Parliaments : Situation as of 31 May 2003.
Http://www.ipu.org/wmn-e/word.htm.
150
Inter Parliamentary Union, 2003. “Women in National Parliaments : Situation as of 31 May 2003.
Http://www.ipu.org/wmn-e/word.htm.
152
Gambar 7. 2 : The ‘FUNNEL’ Model of Candidate Selection Process (Pippa
Norris)1
Demad by
Party selectors
Demand by
Electoral Laws : Electorate
Majoritarian
Political culture ; Combined or Candidate selection
& cocietal Proportional selection procedure
Modernization: System within each parties Pool of
Parliamentary Members
Egalitarian or Legal Gender e.g. Gender quotas Candidate of Parliament
Traditional Quotas in Party Rulebooks
Attitute
Reserved Seat
Supply of eligible
Candidates
Equal Opportunities
In education, home
And workforce
Perempuan yang ingin menjadi calon anggota legeslatif selalu menghadapi hambatan
dalam setiap tahapan. Pada tahapan certification, budaya masyarakat yang patriarkhis akan
menjadi penghambat karena perempuan dianggap tidak mampu menjadi pemimpin. Sebaliknya
budaya yang menjunjung kesetaraan akan mendorong perempuan untuk maju dalam pencalonan.
Selain itu sistem pemilu dan keberadaan quota akan mempengaruhi seorang calon untuk dapat
memasuki tahapan nominasi. Pada tahapan nominasi ini perempuan pada umumnya terhambat
oleh sedikitnya ‘stok’ (supply) yang tersedia. Pada sisi ‘demand’ partai politik juga cenderung
menempatkan perempuan pada nomer urut yang tidak terpilih. Perempuan pada umumnya juga
hanya mempunyai akses yang sangat terbatas dalam tahapan nominasi ini. Pada tahapan
election, perempuan kembali terhadang oleh sikap masyarakat yang cenderung memilih laki-laki
sebagai figur yang pantas untuk memimpin.
153
Gambar 7. 3 : Factors that Impede Women’s Political Participation
Supply Side Demand Side
Culture of gender role segregation Decision Making Process within Political
Socialization Parties
Absence of Role Models Election System
Lack of Professional Experience Funding and Organization
Supply of
Legal System Prospective
Politicians
Recruitment
Election Women
Process (Rule and
System Politician
Procedure)
151
Pippa Norris , ed., Passage to Power, p. 2.
154
Gambar 7. 5 : Kesulitan yang Dihadapi Perempuan untuk Menuju Kursi
Legeslatif (Jung Sook Kim, 2006)152
Women face countless difficulties in their attempt
to become legislators
Problem Reasons
152
Jung-Sook Kim , 2006. ‘ Women’s Political Participation and Strategies for Greater Equality”, The 6th
Asia Pacific Congress of Women in Politics, - February 10, 2006 -
155
Menurut Jung Sook Kim dalam publikasinya Jung-Sook Kim dalam publikasinya
yang berjudul ‘ Women’s Political Participation and Strategies for Greater Equality”,
terdapat beberapa faktor atau kesulitan-kesulitan yang harus dihadapi perempuan untuk
menuju kursi legeslatif. Kesulitan-kesulitan tersebut dapat berasal dari :
- Faktor internal perempuan seperti :
i. Faktor kesiapan psikologis atau keberanian perempuan untuk
terjun ke arena politik.
ii. Perempuan biasanya adalah “pendatang baru” dalam politik
sehingga pengalaman berpolitiknya belum tinggi.
iii. Tugas domestik
- Faktor-faktor yang terkait dengan budaya, seperti budaya patriarkhi,
budaya militeristik yang cenderung meminggirkan perempuan
- Faktor-faktor yang terkait dengan prosedur yang harus dilalui didalam
partai politik dan pemilu, seperti sistem rekrutmen atau nominasi calon
anggota legeslatif yang kerapkali tidak fair, sistem pemilu yang merugikan
perempuan (misalnya Sistem Pemilu Distrik dengan jumlah kursi yang
sedikit), dan sistem kampanye yang tidak ramah bagi perempuan.
156
organization dan transnational civil socity. Pada level base aktor ini adalah sejumlah
penduduk atau warga negara di sebuah negara. Penelitian menunjukkan bahwa
perempuan cenderung kurang terlibat politik jika dibandingkan dengan laki-laki. Ini
terjadi karena perempuan kurang mempunyai waktu untuk berpolitik karena
kesibukannya mengurus rumah tangga.
Meski demikian sebagian perempuan ada pula yang dapat berpartisipasi pada
level civil society dengan aktif berorganisasi, terlibat dalam gerakan-gerakan sosial dan
partai politik. Pada level ini terdapat gerakan-gerakan perempuan didalam partai politik
yang menekan agar partai membuat kebijakan-kebijakan yang mendorong kesetaraan.153
Pada level state juga terjadi perjuangan gender. Pada beberapa negara terdapat
feminist bureaucrat atau femocrat atau state feminist yang menggunakan jabatan yang
dimilikinya agar dapat mempengaruhi atau mengubah kebijakan-kebijakan yang
mengutamakan kesetaraan gender atau kebijakan yang pro perempuan.
Pada level internasional, organisasi-organisasi internasional atau transnational
civil society juga terdapat sejumlah aktor yang aktif mewujudkan kesetaraan gender.
Sejak awal, dimensi internasional sudah terlibat dalam gerakan perempuan. Diawali
dengan kampanye hak politik atau hak pilih untuk perempuan (suffrage movement), dan
akhir-akhir ini organisasi transnasional telah menekan agar perempuan mempunyai akses
dalam pembuatan keputusan. 154 Adanya asosiasi-asosiasi gerakan perempuan yang
bersifat transnasional ini berfungsi untuk menyediakan “jalan pintas” agar issue gender
diangkat menjadi issue politik dalam negeri. “Jalan pintas” ini penting karena perempuan
biasanya selalu terpinggirkan sehingga tidak mempunyai akses untuk melemparkan issue
politik.
153
Levenduski, Joni and Pippa Norris, eds. 1993. Gender and Party Politics. Thousand Oaks, Sage.
154
Krook, Mona Lena 2002. ‘Europe for Women, Women for Europe: Strategi for Parity Democracy in
European Union” p 67-86 in Democracy and and Integration In An Enlarging Europe, ed., John S Micgiel.
New Yor, Institute for the Study of Europe>
157
Gambar 7. 6 The Multiple Political ‘Subject’155
Pada keempat level atau lokasi tindakan ini (base, civil society, state,
international organizations and transnational civil society) terdapat peluang-peluang
bagi perempuan maupun laki-laki untuk mempengaruhi proses pembuatan maupun
implementasi kebijakan. Para aktor yang terlibat dalam perdebatan kuota gender ini
diantaranya ialah :
• Pada level civil society: organisasi-organisasi gerakan perempuan, aktifis
perempuan yang berada didalam partai politik dan kaukus perempuan di
parlemen.
• Pada level state : pemimpin nasional, koalisi pemerintahan, faksi-faksi di
parlemen, hakim pengadilan didaerah maupun di pusat.
• Pada level international organizations and transnational civil society: organisasi
internasional (PBB,UNIFEM), asosiasi regional (Uni Eropa), transnational
NGO’s dan jaringan-jaringan lintas nasional dari para aktifis, ilmuwan dan
politisi.
155
Krook, Mona Lena 2003. “Candidate Gender Kuota: A Framework for Analysis”, Paper presented at the
2nd General Conference of European Consortium for Political Research, Marburg, Germany, September 18-
21
158
Gambar 7. 7 : The Multiple Political ‘Subject’ in Debate on Candidate Gender
Quotas156
Penelitian menunjukkan bahwa terdapat aktor maupun aliansi aktor yang berbeda-
beda yang berperan dalam pengadopsian maupun implementasi kuota gender, sebagai
berikut :
• Organisasi-organisasi gerakan perempuan, perempuan didalam partai politik dan
pemerintah. Di negera-negara Eropa Barat seperti Belanda, Swedia dan Inggris,
perempuan didalam maupun diluar partai berusaha menekan elite partai politik agar
bersedia merekrut perempuan pada jajaran internal partai.
• Organisasi-organisasi gerakan perempuan dan pemimpin nasional (Presiden atau
Perdana Menteri). Argentina dibawah Menem, Perancis dibawah Jospin dan Peru
dibawah Fujimori. Para presiden atau perdana menteri ini memberikan andil besar
dalam menyetujui keputusan untuk mengadopsi (menetapkan) sistem kuota. Tanpa
dukungan presiden atau perdana menteri sebagai penentu, sulit kiranya keputusan
untuk menerapkan sistem kuota diambil.
• Organisasi-organisasi gerakan perempuan dan jaringan NGO transnasional. Di
Argentina, Bulgaria, Yogoslavia, Guyana, Indonesia, Kenya, Malawi, Namibia,
Philiphina, Senegal, Suriname, Uganda, Tanzania, Trinidad dan Tobago, organisasi-
organisasi gerakan perempuan bekerjasama dengan jaringan NGO transnasional
menekan agar digunakan sistem kuota untuk mneingkatkan keterwakilan perempuan
156
Krook, Mona Lena 2003. “Candidate Gender Kuota: A Framework for Analysis”, Paper presented at the
2nd General Conference of European Consortium for Political Research, Marburg, Germany, September 18-
21
159
di parlemen. Misalnya, Women’s Environment and Development Organization
(WEDO) bekerjasama dengan organiosasi-organisasi gerakan perempuan di negara-
negara tersebut melancarkan kampanye ‘50/50 by 2005 : Get Balance Right’
• Organisasi-organisasi gerakan perempuan dan asosiasi regional. Misal di negara-
negara anggota Uni Eropa.
• Organisasi-organisasi gerakan perempuan, organisasi internasional dan transnasional
NGO. Misal di Bosnia, Kosovo, Timor Timur dan Afganistan.157
Sebaliknya terdapat pula aktor maupun aliansi aktor yang berusaha keras untuk
menentang pengadopsian maupun menggagalkan implementasi kuota gender, diantaranya
:
• Beberapa politisi laki-laki dan beberapa hakim di pengadilan. Aliansi beberapa
politisi dan hakim di pengadilan ini berusaha menentang kuota gender di Perancis,
Itali, Inggris, Columbia dan Mexico.
• Beberapa politisi baik laki-laki maupun perempuan dari partai-partai politik
konservatif, aktifis dan ilmuwan. Kasus ini terjadi di India.
• Beberapa elite politik laki-laki dan organisasi internasional. Aliansi seperti ini
sebenarnya jarang terjadi (kurang wajar) karena organisasi internasional pada
umumnya cenderung mendukung komitmen untuk meningkatkan keterlibatan
perempuan dalam politik. Namun faktanya pengalaman di Timor Leste (East Timor)
menunjukkan bahwa upaya-upaya yang dilakukan oleh para aktifis dan UNIFEM
untuk mengadopsi kuota gender malah ditolak oleh UN Electoral Assistence Division
di New York yang tidak menginginkan hal semacam itu (kuota gender) menjadi
preseden bagi pemilu yang disupervisi oleh Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB).
Dari uraian diatas jelas tampak bahwa aktor maupun aliansi aktor mempunyai
peran yang besar dalam mendukung maupun menentang adopsi maupun implementasi
kuota gender. Sikap tersebut didorong oleh alasan yang berbeda-beda.
157
Krook, Mona Lena 2003. “Candidate Gender Kuota: A Framework for Analysis”, Paper presented at the
2nd General Conference of European Consortium for Political Research, Marburg, Germany, September 18-
21
160
Penentangan terhadap kuota gender pada umumnya didasarkan pada kenyataan
bahwa kuota gender akan mempromosikan calon perempuan dan merugikan calon laki-
laki, baik yang sedang menjabat maupun yang tidak.
Dukungan terhadap adopsi dan implementasi kuota gender didasarkan pada
berbagai alasan yang berbeda-beda, diantaranya sebagai berikut :
• Pertimbangan pemilih. Para aktor pembuat keputusan memutuskan untuk mengadopsi
kuota gender bauk pada level nasional maupun internal partai politik karena dengan
mendukung kuota gender partai akan meraih dukungan lebih banyak dari pemilih
dalam pemilu, khususnya pemilih perempuan.
• Prinsip kuota gender harus diambil untuk menjamin adanya perimbangan gender
dalam pembuatan keputusan. Misal : Partai Green di Australia.
• Jaminan Keterwakilan. Di beberapa negara, memang sudah ada tradisi untuk
memberikan jaminan keterwakilan bagi kelompok-kelompok minoritas berdasar ras,
etnik, bahasa atau agama. Misalnya dalam sistem “demokrasi konsosiasional” di
Malaysia, telah ada kesepakatan diantara para elite politik untuk selalu menempatkan
wakil-wakil dari etnik minoritas (Cina dan India) dalam kabinet. Kuota untuk
perempuan dapat dianggap sebagai kelanjutan dari sistem ini.
• Pengaruh norma baru. Lembaga-lembaga internasional maupun jaringan transnasional
telah memainkan peran yang besar dalam menyebarkan norma baru tentang perlunya
kesetaraan atau pertimbangan gender dalam pembuatan keputusan. Norma ini
mengajarkan apa yang ‘baik’ dan ‘buruk’ dalam keterwakilan perempuan,
mengajarkan tentang keampuhan strategi kuota gender untuk meningkatkan
keterwakilan perempuan.
• Tekanan internasional. Pada beberapa negara paska konflik yang intervensi
internasionalnya tinggi, seperti Kosovo, Timor Leste dan Afganistan, kehadiran
lembaga internasional telah mengarahklan agar negara tersebut memberi jaminan
untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dengan mengadopsi kuota gender.158
• Sikap pura-pura elite politik. Pada tingkat nasional maupun internal partai politik,
menyetujui penggunaan sistem kuota karena sikap itu akan menimbulkan kesan
158
Krook, Mona Lena 2003. “Candidate Gender Kuota: A Framework for Analysis”, Paper presented at the
2nd General Conference of European Consortium for Political Research, Marburg, Germany, September 18-
21
161
mereka ‘tampak baik’ dihadapan sejumlah pemilih yang mendukung sistem kuota.
Namun pada saat yang sama mereka juga yakin bahwa sistem kuota tersebut tidak
akan berdampak besar terhadap kebijakan karena sistem tersebut akan sulit diterapkan
di lapangan atau mungkin akan bertentangan dengan peraturan-peraturan yang telah
ada.
162
telah mengarahklan agar negara tersebut memberi jaminan untuk
meningkatkan keterwakilan perempuan dengan mengadopsi kuota gender.159
8 Sikap pura-pura elite politik.
Pada tingkat nasional maupun internal partai politik, menyetujui penggunaan
sistem kuota karena sikap itu akan menimbulkan kesan mereka ‘tampak baik’
dihadapan sejumlah pemilih yang mendukung sistem kuota. Namun pada saat
yang sama mereka juga yakin bahwa sistem kuota tersebut tidak akan
berdampak besar terhadap kebijakan karena sistem tersebut akan sulit
diterapkan di lapangan atau mungkin akan bertentangan dengan peraturan-
peraturan yang telah ada.
159
Krook, Mona Lena 2003. “Candidate Gender Kuota: A Framework for Analysis”, Paper presented at the
2nd General Conference of European Consortium for Political Research, Marburg, Germany, September 18-
21
160
Krook, Mona Lena 2003. “Candidate Gender Kuota: A Framework for Analysis”, Paper presented at the
2nd General Conference of European Consortium for Political Research, Marburg, Germany, September 18-
21
161
Htun, Mala N and Mark P. Jones, 2002. “Engendering the Right to Participate in Decision Making
Electoral Kuota and Women Leadership in Latin America” in Gender and the Politics of Right and
Democracy in Latin America. Ed Niki Craske and Maxine Molyneux. New York: Palgrave.
163
o Sifat luasan daerah pemilihan (district magnitute). Semakin luas atau semakin
besar daerah pemilihan maka akan semakin menguntungkan calon perempuan.
Sebaliknya semakin sempit atau semakin kecil daerah pemilihan maka akan
semakin merugikan calon perempuan. Hal ini terjadi karena dengan daerah
pemilihan yang luas atau agak luas maka jumlah kursi yang disediakan untuk
daerah pemilihan tersebut juga akan semakin banyak sehingga jumlah calon yang
diajukan partai politik juga semakin banyak. Jumlah yang banyak ini akan
memungkinkan calon perempuan untuk diusulkan agar dapat menduduki
peringkat kedua, ketiga dan seterusnya dalam daftar calon. Dengan demikian
seandainya partai tersebut memperoleh dua kursi, maka calon perempuan
tersebut dapat ikut terpilih. Sebaliknya jika daerah pemilihan sempit maka kursi
yang tersedia juga sangat sedikit. Dalam sistem Single Member District hanya
terdapat satu kursi pada setiap daerah pemilihan sehingga persaingan dalam
partai sangat sengit dan calon perempuan cenderung tersingkir.
162
Green, Manda 2003. “La Parite : To Be or Not To Be ?” Paper presented at the European Consortium
for Political Research, Joint Session of Workshops, Edinburg, Scotland, March 28-April 2, 2003.
164
kadang juga digunakan untuk menentang atau menggugurkan kuota yang telah diadopsi.
Misalnya, pada beberapa negara kuota yang telah diadopsi kemudian dinyatakan illegal
atau menyalahi hukum karena bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan (equality)
dan keterwakilan (representation).163 Upaya penentangan dapat dilakukan oleh individu,
partai politik atau pengadilan. Misalnya di Perancis pada tahun1982 ketika Rancangan
Undang-undang (RUU) tentang kuota perempuan dalam pemilu pada tingkat municipal
digugat di Mahkamah Konstitusi. Partai-partai oposisi membentuk gerakan untuk
menentang beberapa pasal RUU, tetapi tidak menolak sepenuhnya kuota tersebut. Hakim
kemudian menyatakan bahwa beberapa pasal dari kuota tersebut gugur (unconstitutional)
karena bertentangan dengan pasal 3 Konstitusi dan pasal 6 Deklarasi tentang hak-hak
laki-laki dan warga negara.164
o Sifat mandat penempatan Perlu dilihat apakah ada perintah Ada perintah UU /parpol
calon perempuan. (the atau mandat untuk menempatkan untuk menempatkan
existence of placement calon perempuan pada nomer- perempuan di nomer urut
mandate). nomer urut tertentu (nomer jadi). jadi à Menguntungkan
perempuan
Tidak ada perintah à
Merugikan perempuan
o Sifat luasan daerah Semakin luas atau semakin besar Dapil luas à
pemilihan (district daerah pemilihan maka akan Menguntungkan perempuan
magnitute). semakin menguntungkan calon
perempuan. Sebaliknya semakin Dapil sempit à Merugikan
sempit atau semakin kecil daerah perempuan
pemilihan maka akan semakin
merugikan calon perempuan.
2 Sikap dan Praktek-praktek Partai adalah ‘gatekeepers’ calon Jika partai membuat aturan
yang berlangsung partai untuk menjadi anggota legeslatif. khusus (juklak) tentang
163
Guadagnini 1998, Nivon 2001.
164
Mossuz-Lavau, Janine, 1998: Femme/hommes pour la parite (Women/men for Parity) Paris: Presses de
Sciences Po.
165
politik Partai berwenang meletakkan implementasi kuota dan jika
calon di nomer urut jadi dan di elite partai mendukung à
dapil jadi atau sebaliknya. Menguntungkan perempuan
Jika tidak ada juklak dan
elite partai diam-diam
menenyang à Merugikan
perempuan
3 Norma-norma hukum dan Implementasi kuota perlu Jika ada UU anti
konstitusi nasional sebuah didukung dengan perundang- diskriminasi sex, Gender
negara undangan lain yang Ombustmen, Ideologi yang
memprioritaskan kesetaraan memprioritaskan kesetaraan
gender. à Menguntungkan
perempuan
Jika ada UU / Perda lain
yang secara tidak langsung
membatasi ruang gerak
perempuan à Merugikan
Praktek didalam partai politik, terutama sewaktu proses penjaringan bakal calon
anggota legeslatis sangat menentukan implementasi kuota. Tanpa kemauan politik
(goodwill) dari pimpinan partai untuk memenuhi kuota gender maka implementasi kuota
tidak akan efektif. Sikap elite partai ditiap-tiap negara dapat berbeda-beda. Pada beberapa
negara elite partai tidak berusaha menentang kuota gender, tetapi pada beberapa negara
tertentu elite partai berusaha keras dengan berbagai cara untuk menggembosi esensi dari
kuota, misalnya dengan membentuk lembaga-lembaga baru sehingga kuota tidak dapat
dilaksanakan, atau dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap larangan-larangan
dalam implementasi kuota.165
Norma-norma legal dan hukum nasional kadang-kadang juga digunakan untuk
menentang atau menggugurkan kuota yang telah diadopsi. Misalnya, pada beberapa
negara kuota yang telah diadopsi kemudian dinyatakan illegal atau menyalahi hukum
karena bertentangan dengan prinsip-prinsip kesetaraan (equality) dan keterwakilan
(representation).166 Upaya penentangan dapat dilakukan oleh individu, partai politik atau
pengadilan. Misalnya di Perancis pada tahun1982 ketika Rancangan Undang-undang
(RUU) tentang kuota perempuan dalam pemilu pada tingkat municipal digugat di
Mahkamah Konstitusi. Partai-partai oposisi membentuk gerakan untuk menentang
beberapa pasal RUU, tetapi tidak menolak sepenuhnya kuota tersebut. Hakim kemudian
menyatakan bahwa beberapa pasal dari kuota tersebut gugur (unconstitutional) karena
165
Green, Manda 2003. “La Parite : To Be or Not To Be ?” Paper presented at the European Consortium
for Political Research, Joint Session of Workshops, Edinburg, Scotland, March 28-April 2, 2003.
166
Guadagnini 1998, Nivon 2001.
166
bertentangan dengan pasal 3 Konstitusi dan pasal 6 Deklarasi tentang hak-hak laki-laki
dan warga negara.167
Menurut Julie Ballington dan Richard E. Matland168, rumusan aturan kuota juga
menentukan implementasinya. Pada beberapa negara kuota tidak dapat
diimplementasikan dengan baik karena :
• Target kuota tidak jelas
• Target kuota jelas, tetapi tidak disebutkan bagaimana cara meraihnya
• Partai politik mengabaikan aturan kuota karena tidak ada mekanisme untuk
memaksakan aturan. Akibatnya partai politik mungkin memenuhi ketentuan
untuk mencalonkan perempuan sebanyak 30 persen tetapi meletakkannya pada
nomer urut bawah sehingga akhirnya tidak terpilih.169
Perdebatan yang tidak jelas serta rendahnya pemahaman masyarakat tentang
kuota akan membuat rendahnya legitimasi masyarakat terhadap sistem kuota gender.
Pada gilirannya hal ini akan mempengaruhi efektifitas implementasi kuota.170
Jika kuota diatur dengan menggunakan kursi cadangan (Reserved Seat) maka
secara alamiah daya paksanya lebih besar karena sejumlah kursi sengaja dialokasikan
khusus untuk perempuan. Meski demikian ada pula yang berpendapat bahwa reserved
seat justru dimaksudkan untuk membatasi keterwakilan perempuan dengan cara
memberikan batas atas bagi perempuan di parlemen.
Jika kuota diatur dengan menggunakan Constitutional Kuota / Legeslative Kuota
yang dimaksudkan untuk mengatur perilaku politik, maka harus ada aturan lanjutan untuk
menekan agar partai politik memenuhi ketentuan kuota tersebut. Misalnya di beberapa
167
Mossuz-Lavau, Janine, 1998: Femme/hommes pour la parite (Women/men for Parity) Paris: Presses de
Sciences Po.
168
Ballington, Julie and Richard E. Matland, 2004. “Political Parties and Special Measures : Enhancing
Women’s Participation in Electoral Processes”, United Nations Office of Special Adviser on Gender Issues
and Advancement of Women (OSAGI) Expert Group Meeting on “Enhancing Women’s Participation in
Electoral Processes in Post Conflict Countries” Glen Cove, 19-22 january 2004.
169
Ballington, Julie and Richard E. Matland, 2004. “Political Parties and Special Measures : Enhancing
Women’s Participation in Electoral Processes”, United Nations Office of Special Adviser on Gender Issues
and Advancement of Women (OSAGI) Expert Group Meeting on “Enhancing Women’s Participation in
Electoral Processes in Post Conflict Countries” Glen Cove, 19-22 January 2004.
170
Dahlerup, Drude, 2002. “Kuota-A Jump to Equality? : The Need for International Comparations of the
Use of Electoral Kuota to Obtain Equal Political Citizenship for Women” Paper prepared for workshop
hosted by International IDEA on 25 September 2002 in Jakarta, Indonesia.
167
negara Amerika Latin seperti Costa Rica, Mexico dan Argentina, beberapa undang-
undang tentang kuota mengatur jumlah dan urutan minimal bagi perempuan dalam daftar
calon. Misalnya, jika calon dengan nomer urut pertama adalah laki-laki, maka calon yang
berada pada nomer urut kedua atau ketiga harus perempuan. Untuk itu peran Komisi
Pemilihan Umum (Electoral Management Body-EMB) yang bersikap tegas sangat
diperlukan. Komisi Pemilihan Umum harus berani menolak pencalonan dari partai-partai
yang tidak memenuhi ketentuan tersebut. Perlu pula diwaspadai, atau tidak tertutup
kemungkinan bahwa dalam Constitutional Kuota/Legeslative kuota kepemimpinan partai
politik yang pada umumnya didominasi oleh laki-laki akan memilih calon perempuan
yang mempunyai keterkaitan keluarga dengan mereka.
Jika kuota diterapkan secara sukarela oleh sebuah partai politik (Political party
Kuota for Electoral Candidate) maka sikap kepemimpinan partai yang mendukung kuota
merupakan prasyarat utama bagi keberhasilan implementasi kuota. Beberapa partai
mengatur tentang kuota perempuan dalam Anggaran Dasar atau berupa kesepakatan yang
dibuat dalam sebuah konggres nasional. 171 Misalnya pada tahun 1994 Partai African
National Congress (ANC) memberlakukan ketentuan untuk memberikan kuota 30 persen
bagi perempuan dalam daftar calon yang diajukan kepada Komisi Pemilihan Umum.
Hasilnya, tingkat keterwakilan perempuan meningkat pesat dari dibawah 3 persen
menjadi 27 persen hanya dalam sekali pemilu, yaitu pemilu tahun 1994 yang merupakan
pemilu demokratik yang pertama kalinya diselenggarakan di Afrika Selatan. Dalam
pemilu tahun 1999 perempuan ditempatkan pada urutan ketiga dalam daftar calon dan
dalam pemilu tahun 2006 perempuan berhasil merebut 32,8 persen (131 dari 400) kursi
parlemen. Bahkan dalam pemilu tingkat lokal, ANC menerapkan kuota 50 persen untuk
perempuan dalam daftar calon.172
--o0o—
171
Ballington, Julie and Richard E. Matland, 2004. “Political Parties and Special Measures : Enhancing
Women’s Participation in Electoral Processes”, United Nations Office of Special Adviser on Gender Issues
and Advancement of Women (OSAGI) Expert Group Meeting on “Enhancing Women’s Participation in
Electoral Processes in Post Conflict Countries” Glen Cove, 19-22 January 2004
172
http://www.kuotaproject.org.
168
Bab VIII : Perempuan dan Partai Politik
A. Pengantar
Partai politik adalah ‘penjaga gawang’ bagi keterwakilan perempuan di parlemen. Karena
itu praktek didalam partai politik akan sangat menentukan keberhasilan maupun kegagalan
kebijakan kuota. Argumen yang disampaikan ialah konflik kepentingan antar caleg yang
diuntungkan dengan caleg yang dirugikan oleh kebijakan kuota. Konflik untuk memperebutkan
resourse (kekuasaan) ini mendorong kelompok laki-laki menggunakan berbagai macam cara untuk
meminggirkan perempuan didalam partai politik. Hal ini terlihat dalam praktek penjaringan caleg,
pengaturan peserta Konggres / Munas partai, dan berlangsungnya gender politics di partai politik
maupun di masyarakat. Mengikuti Dean, fenomena tersebut dapat diklasifikasikan sebagai
penyingkiran praktis yaitu “restriction from the public and official economic institutions of civil
society imposed by particular sorts of situational obstacles – pembatasan akses terhadap institusi
ekonomi resmi dan publik yang diberlakukan lewat berbagai jenis hambatan situasional
tertentu”.173
Argumen ini juga sejalan dengan pendapat Theodore Lowi bahwa jenis kebijakan yang
akan dibuat akan berdampak pada jenis aktifitas politik yang distimulasi oleh proses pembuatan
kebijakan. Hal ini akan menentukan “implementability” dari berbagai program yang akan
mendukung kebijakan tersebut.174 Isi kebijakan dapat menguntungkan dan dapat pula merugikan
para aktor yang terlibat. Kebijakan publik yang mendorong sebuah perubahan dalam hubungan-
hubungan sosial, politik dan ekonomi maka biasanya akan diikuti oleh sikap penentangan (oposisi)
dari mereka-mereka yang kepentingannya dirugikan oleh kebijakan tersebut. Implementasi
kebijakan sangat dipengaruhi oleh kalkulasi politik dari para aktor yang saling memperebutkan
resources
Pada proses penjaringan caleg peminggiran perempuan terjadi ketika partai-partai
menggunakan prinsip meritokrasi-scoring yang memperlakukan bakal caleg laki-laki maupun
perempuan secara sama. Meski partai mengaku telah melakukan affirmative action, namun norma
yang digunakan dalam proses penjaringan caleg adalah equality of opportunity. Baik partai
maupun masyarakat berpandangan bahwa pemilu yang demokratis adalah pemilu yang
173 Dean, Jodi, 1996.“Including Women: the Consequences and Side Effects of Feminist Critiques to Civil Society”,
dalam Solidarity of Strangers. Feminism after Identity Politics, University of California Press, Berkeley.
174 Lowi, T., 1964. “American Business, Public Policy, Case Studies, and Political Theory”, World Politics, 16, No.4,
July.
169
menempatkan pemilih dan peserta pemilu secara setara. Bahkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
menggunakan Pemilu Raya internal partai dengan sistem suara terbanyak untuk meranking bakal
caleg dan pengurus partai. Scoring system kerap dianggap sebagai sistem yang terbaik. Padahal
ketika sistem scoring mencampurkan dalam satu list antara bakal caleg laki-laki dan perempuan
maka akan menggugurkan sistem kuota perempuan. Perempuan bakal caleg sendiri pada
umumnya tidak menyadari jebakan scoring yang sangat teknis tersebut. Jika menggunakan prinsip
kuota, semestinya scoring harus dipisahkan dalam dua kelompok, laki-laki dan perempuan. Kuota
adalah hak perempuan secara kolektif.
Praktek peminggiran yang lain dilakukan dengan melakukan ‘gender politics’ didalam
tubuh partai. Perempuan dikelompokkan dalam organisasi sayap perempuan yang aktifitasnya
cenderung mengikuti ideology gender yang telah tertanam kuat di masyarakat yaitu urusan
keluarga, anak, kesehatan dan kesejahteraan sosial. Proses domestikasi ini menyebabkan
perempuan Indonesia sulit untuk diorganisir agar mampu mendekonstruksi institusi partai yang
mendiskriminasikan mereka. Tidak mengherankan jika sedikit sekali perempuan yang dapat
menempati kepengurusan strategis partai175
Peminggiran perempuan juga dilakukan dengan pembuatan aturan tentang peserta
Konggres/Munas partai yang sulit ditembus oleh perempuan sehingga arena tersebut selalu
didominasi laki-laki. Pengaturan Konggres yang mengkaitkan legalitas peserta dengan jabatan
struktural partai di setiap level (DPD/DPW, DPC) praktis telah meminggirkan perempuan dalam
proses-proses pembuatan keputusan partai karena sulit sekali bagi perempuan untuk dapat
menduduki posisi puncak di DPD/DPW dan DPC. Paparan berikut akan menjelaskan ketiga
fenomena tersebut.
170
besar dalam memproduksi system dan struktur sosial yang tidak adil. Namun karena gender
politics dijalankan melalui sosialisasi yang halus, sebagian besar perempuan menerimanya tanpa
penentangan. Akibatnya mereka tidak menyadari adanya peminggiran dan diskriminasi yang
terstruktur terhadap perempuan.
Sejak awal partai politik adalah lembaga yang sangat didominasi laki-laki. Meski di
beberapa partai jumlah anggota perempuannya mencapai 50 persen tetapi sedikit diantara mereka
yang dapat menduduki kursi kepengurusan partai. Misalnya, dalam kepengurusan Dewan
Pimpinan Pusat (DPP) PKS Periode 2010-2015 terdapat 30 pengurus dan hanya dua diantaranya
yang berjenis kelamin perempuan. Keduanya adalah Wakil Bidang Arsip dan Sejarah: Sitaresmi
Soekanto dan Ketua bidang kewanitaan: Anis Byarwati. Dalam Kepengurusan Partai DPP Partai
Demokrat Periode 2010-2015 terdapat 134 pengurus termasuk 22 diantaranya perempuan. Dalam
kepengurusan DPP PDIP terdapat 27 pengurus dan hanya empat diantaranya perempuan,
termasuk Megawati Soekarnoputri (Ketua Umum) dan Puan Maharani (Ketua Bidang Politik dan
Hubungan antar Lembaga). Dalam kepengurusan DPP PAN Periode 2010-2015 terdapat 77
pengurus, 15 diantaranya perempuan. Namun diantara 15 perempuan pengurus tersebut, tujuh
diantaranya berada pada Badan Pemberdayaan Perempuan.
Pada umumnya perempuan yang aktif di partai adalah istri, anak atau keluarga dari laki-
laki aktifis partai. Meski didalam partai perempuan juga diakui sebagai anggota, tetapi relasi
gender dalam keluarga akan terbawa dalam partai. Istri pada umumnya ditempatkan sebagai
pendukung suami. Jika si suami sudah menjadi bakal calon anggota legeslatif maka pada
umumnya si istri akan sulit menjadi calon, karena jika suami istri sama-sama menjadi calon akan
menimbulkan keirian dari anggota yang lain. Jadi, jika suami istri merupakan aktifis partai dan
sama-sama mempunyai potensi untuk menjadi bakal calon, maka pada umumnya si suami akan
menduduki nomer urut kecil sedang istri akan berada di nomer urut besar.
Dalam kepengurusan partai perempuan pada umumnya diletakkan sebagai pimpinan ‘sie
perempuan’ yang bertugas untuk memobilisir dukungan bagi partai (berarti memobilisir dukungan
bagi calon laki-laki), mengatur terlaksananya pertemuan-pertemuan partai (atau kampanye bagi
calon laki-laki) hingga mengatur masalah penyediaan dana. Sedangkan laki-laki akan memegang
seksi-seksi lain yang jauh lebih strategis.
Rupanya sejak awal perempuan direkrut ‘sebagai perempuan’ (domestikasi) sehingga
secara tidak langsung terjadi pembagian peran atau pembagian tugas antara laki-laki perempuan
171
didalam partai politik. Proses domestikasi ini menyebabkan perempuan Indonesia sulit untuk
diorganisir agar mampu mendekonstruksi institusi partai yang mendiskriminasikan mereka. Tidak
mengherankan jika sedikit sekali perempuan yang dapat menempati kepengurusan strategis
partai.
Hampir semua partai membentuk berbagai organisasi sayap, diantaranya sayap
perempuan. Pembentukan organisasi sayap partai dijamin dalam Pasal 12 huruf (j) UU2/2008
tentang Partai Politik yang menyatakan bahwa salah satu hak partai politik adalah
“membentuk dan memiliki organisasi sayap partai politik”. Pengakuan dan jaminan yuridis ini
merupakan dasar sekaligus peluang bagi pengembangan struktur partai untuk menjangkau seluruh
segmen masyarakat. Golkar mempunyai Himpunan Wanita Karya dan KPPG. PAN mempunyai
Perempuan PAN (PUAN). PKB mempunyai Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa yang
disingkat PPKB; PPP mempunyai Wanita Persatuan, Partai Demokrat mempunyai Perempuan
Demokrat Republik Indonesia (PDRI), PDIP mempunyai Perempuan PDIP dan Srikandi Demokrasi
Indonesia, Demokrat mempunyai Perempuan Demokrat , PKS mempunyai Perempuan PKS dan
Salimah, Partai Demokrasi Pembaruan (PDP) membentuk Barisan Perempuan Pembaruan
(BPP) dan seterusnya.
Selain membentuk sayap perempuan yang mempunyai struktur hubungan resmi dengan
partai, beberapa partai politik juga membentuk ormas perempuan yang menjadi pendukung partai
tetapi tidak mempunyai hubungan formal dengan partai. Misalnya, PKS dengan Salimah dan PDIP
dengan Srikandi Demokrasi Indonesia (SDI). Ormas perempuan biasanya didirikan secara mandiri
oleh para perempuan itu sendiri untuk mencapai sebuah tujuan tertentu.Ormas perempuan adalah
mesin politik yang sangat mudah dimobilisir, terutama pada waktu kampanye, karena ormas
perempuan banyak yang berbasis kelompok-kelompok keluarga. Perempuan selalu menjadi ujung
tombak kampanye partai terutama pada tingkat akar rumput. Pengerahan masa perempuan
diorganisir oleh pemimpin-pemimpin kelompoknya.
Hubungan partai dengan perempuan menunjukkan fenomena gender politics yaitu
kecenderungan adanya pembagian peran sesuai gender didalam partai dan pemanfaatan
perempuan sebagai pendukung politik laki-laki. Aktifitas organisasi sayap perempuan cenderung
mengikuti ideology gender yang telah tertanam kuat di masyarakat yang mengelompokkan
perempuan dalam urusan-urusan domestik atau sosial kemasyarakatan. Tidak mengherankan jika
sebagian besar aktifitas organisasi sayap perempuan selalu terkait dengan pemberdayaan
172
perempuan dari sisi practical gender needs. Dalam struktur kepartaian, ketua organisasi sayap
perempuan (Bidang Perempuan) selalu dijabat oleh seorang perempuan dan sangat sulit bagi
perempuan untuk dapat menduduki jabatan yang lain yang lebih strategis. Sebaliknya laki-laki
akan menjadi ketua-ketua bidang yang lain dan posisi-posisi lain yang strategis. Dengan demikian
organisasi sayap perempuan dapat dijadikan tempat untuk ‘mengkotakkan’ aktifitas dan karir
jabatan structural perempuan dalam partai politik.
Dengan mengelompokkan semua perempuan dalam satu bidang keperempuanan maka
perempuan kemudian dihargai sebagai satu unit unsur yang membentuk partai tersebut.Pada
beberapa partai, Ketua Bidang Perempuan biasanya dijadikan sebagai salah satu unsur pimpinan
partai yang ikut dalam pengambilan keputusan partai. Dengan demikian posisi perempuan sejajar
dengan organisasi-organisasi sayap yang lain (sayap kepemudaan, sayap profesi) yang pada
umumnya selalu dipimpin oleh laki-laki. Dengan struktur seperti itu perempuan tidak pernah
dihargai sebagai 50% “pemegang saham sebuah partai” tetapi hanya sebagai sebagian (kecil)
atau salah satu unsur pembentuk partai. Memperlakukan perempuan sebagai satu unsure sama
dengan memperlakukan perempuan sebagai sebuah minoritas. Dalam proses pengambilan
keputusan partai, suara yang dimiliki organisasi sayap kurang significant. Misalnya seperti yang
diatur dalam Anggaran Rumah Tangga Partai Demokrat bahwa organisasi sayap hanya memiliki
satu suara setara dengan hak suara DPC (level Kabupaten/Kota) yang jumlahnya dapat mendekati
500an DPC.
Pasal 43 ayat (1) Hak Suara dalam Kongres dan Kongres Luar Biasa adalah sebagai
berikut :
a. Dewan Pembina: 5 ( lima ) Hak Suara
b. Dewan Pimpinan Pusat: 3 (tiga) Hak Suara
c. Dewan Pimpinan Daerah: 2 (dua) Hak Suara
d. Dewan Pimpinan Cabang: 1 (satu) Hak Suara
e. Dewan Perwakilan Luar Negeri: 1 (satu) Hak Suara
f. Organisasi Sayap: 1 (satu) Hak Suara
g. Hak Suara sebagaimana disebutkan pada ayat 1 huruf e dan ayat 1 huruf ditetapkan oleh
Dewan Pimpinan Pusat.
Pada beberapa partai, diantaranya PKS, partai menjadi sarana kontrol laki-laki terhadap
perempuan, seperti termaktub dalam Anggaran Rumah Tangganya :
“ Dalam melaksanakan sasaran dan kegiatannya PKS menggunakan sarana Dakwah,
Tarbiyah dan Konsep. Dalam menggunakan sarana Tarbiyah PKS diantaranya ingin
memantapkan prinsip-prinsip Islam bagi anggota partai. Dalam hal konsep PKS
diantaranya ingin menyusun konsep pembinaan untuk mengarahkan semua bidang
173
kehidupan masyarakat, antara lain pendidikan, hukum, sosial,budaya, politik, ekonomi,
manajemen, kesehatan, kewanitaan, keluarga dan bela Negara”176
Pasal tersebut jelas menunjukkan bahwa wanita adalah kelompok yang perlu dibina dan
diarahkan. Pasal ini juga menunjukkan kentalnya ideology patriarkhi dalam partai tersebut. Partai
yang didominasi laki-laki ‘merasa’ dan ‘dirasa’ perlu untuk berada di depan kaum perempuan yang
dipandang perlu dibina dan diarahkan. Pengaturan perilaku perempuan atas nama agama
merupakan cara yang efektif untuk ‘melumpuhkan’ kesadaran gender diantara perempuan anggota
partai.177 Peluang ketidakpuasan kelompok perempuan terhadap gender politics juga diperkecil
dengan adanya keharusan anggota untuk berjanji bahwa ia akan selalu taat pada pimpinannya
dan tidak akan membawa/mengadukan permasalahan internal partai kepada lembaga, pihak.
perseorangan diluar partai.178
Aktifitas Bidang Perempuan PKS lebih banyak diarahkan isu keluarga, anak, kesehatan
dan kesejahteraan sosial yang bersifat pemenuhan practical gender needs. Dengan membuat
perempuan sibuk dengan kegiatan domestik, atau kegiatan pendidikan dan amal, perempuan tidak
akan punya waktu dan energi untuk mempermasalahkan ketimpangan gender didalam partai.
Sejak tahun 2002 PKS telah membentuk Pos Wanita Keadilan (PWK) sebagai sebuah
program pemberdayaan masyarakat berkelanjutan yang dilakukan oleh struktur kewanitaan PKS.
Saat ini telah terbentuk 1016 PWK yang melibatkan lebih kurang 45 ribu kader perempuan PKS se
Indonesia. PWK dapat melakukan aktifitas rutin hingga dengan membentuk kelompok ibu-ibu
pada tingkat desa, dusun dan masjid dengan aktifitas beragam seperti pengajian rutin, kursus
memandikan jenazah, kursus membuat peningset, demo kecantikan, pembentukan koperasi,
pemberian kredit bagi usaha perempuan, pelayanan kesehatan, pelayanan da’i, imam, khotib
sholat dan seterusnya. Pada tahun 2011 Perempuan PKS meluncurkan Program Bunda Peduli
yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan keluarga mengingat akhir-akhir ini tingkat
perceraian di masyarakat meningkat. Kader PKS dipersiapkan untuk menjadi tempat curhat bagi
174
perempuan yang menghadapi permasalahan keluarga. Melalui aktifitas kongkrit yang dimotori oleh
kader-kader perempuan ini PKS dapat mengkomunikasikan gagasan dan kepentingannya dengan
masyarakat akar rumput.
Salah satu partai yang mempunyai ormas perempuan pendukung yang kuat adalah PKS.
PKS mempunyai Salimah. Salimah adalah ormas muslimah yang mempunyai visi untuk
meningkatkan kualitas hidup perempuan, keluarga dan anak Indonesia. Program-programnya
ditujukan untuk mendorong pemberdayaan perempuan, pengokohkan institusi keluarga serta
perlindungan memadai bagi anak. Aktifitas Salimah lebih terkait dengan urusan domestic
perempuan dan menurut Maxine Molyneoux program-program semacam ini adalah cirri khas dari
organisasi perempuan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan praktis perempuan (practical
gender needs).
Meski tidak mempunyai kaitan formal dengan PKS, ormas ini aktif mengkampanyekan
caleg, cabup dan calon-calon gubernur yang berasal dari PKS. Tokoh-tokoh perempuan PKS juga
menjadi pengurus ormas ini. Ormas perempuan yang berdiri sejak 8 Maret 2000 ini mempunyai
jaringan nasional yang tersebar di 30 propinsi, 281 kota/kabupaten dan 694 kecamatan di seluruh
Indonesia dan aktif mengembangkan keanggotaan sebagai basis massanya.
PDIP mempunyai Perempuan PDIP dan ormas perempuan Srikandi Demokrasi Indonesia
(SDI). SDI adalah sekumpulan perempuan dari berbagai macam profesi yang peduli terhadap
nasib perempuan dan masyarakat dan merasa terpanggil untuk melakukan kegiatan-kegiatan yang
mendukung upaya pemberdayaan dan peningkatan partisipasi perempuan. SDI mempunyai visi
untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang demokratis yang berkeadilan sosial, pluralistik,
damai, sejahtera, dan toleran dengan menjunjung nilai-nilai hak asasi manusia dan mempunyai
misi untuk melibatkan organisasi politik untuk aktif berperan serta dalam mendorong dan
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat Indonesia sebagai sebuah pengabdian terhadap nilai
yang terkandung dalam spirit nasionalisme pluralis. Spirit nasionalis pluralis inilah yang
menghubungkan SDI dengan PDIP. Tokoh-tokoh perempuan PDIP seperti Rieke Dyah Pitaloka,
Tumbu Saraswati, Dwi Ria latifah menjadi penggerak SDI.179
179 sdidki.multiply.com
175
B. Pengaturan Peserta dalam Konggres/Munas Partai
Peminggiran perempuan juga dilakukan dengan pembuatan aturan tentang peserta
Konggres/Munas partai yang sulit ditembus oleh perempuan. Misalnya, AD-ART Partai Amanat
Nasional (PAN) mrecantumkan ketentuan bahwa yang dapat menjadi peserta konggres adalah
Seluruh anggota pengurus Dewan Pimpinan Pusat, Seluruh pengurus dan anggota MPP Dewan
Pimpinan Pusat, Ketua dan sekretaris Dewan Pimpinan Wilayah (DPW), dan Ketua dan sekretaris
Dewan Pimpinan Daerah (DPD). 180 Ketentuan ini menjadikan perempuan sulit untuk dapat
menjadi peserta konggres karena sangat sedikitnya perempuan yang menduduki posisi Ketua atau
sekretaris DPW dan DPD, anggota DPP dan MPP. Akibarnya Konggres partai selalu didominasi
oleh laki-laki. Pengaturan Konggres yang mengkaitkan legalitas peserta dengan jabatan struktural
partai di setiap level (DPD/DPW, DPC) praktis telah meminggirkan perempuan dalam proses-
proses pembuatan keputusan partai. Dengan kata lain, selama legalitas keanggotaan konggres
terkait dengan jabatan structural partai maka posisi perempuan dalam partai selalu akan tersingkir.
Pertanyaan yang perlu ajukan ialah “Siapa yang memformulasikan aturan yang tertera dalam
AD/ART tersebut?” Jika AD/ART dirumuskan oleh peserta konggres/muktamar maka “Siapa
peserta Konggres/Muktamar tersebut?” “Apa jenis kelamin mereka ?” “Apa kepentingan mereka?”
Di beberapa partai luar negeri, seperti di Partai Buruh Australia, partai membuat ketentuan bahwa
utusan partai dari daerah harus menyertakan sekurang-kurangnya 40% perempuan. Jika partai-
partai di Indonesia akan melakukan hal serupa maka ketentuan peserta konggres harus
diperlonggar, bukan hanya boleh diikuti oleh Ketua dan Sekretaris saja.
Peminggiran perempuan juga dapat terjadi ketika partai menggunakan system pemilihan
yang berbasis individu dengan system distrik seperti yang digunakan oleh PKS dalam pemilihan
anggota Majelis Syuro. Majelis Syuro adalah lembaga permusyawaratan tertinggi partai yang
mempunyai posisi sangat strategis karena mempunyai kewenangan untuk membentuk Majelis
Pertimbangan Pusat, Dewan Syariah Pusat , Dewan Pengurus Pusat termasuk Presiden PKS,
Sekjen dan Bendahara PKS. Majelis Syuro juga mempunyai kewenangan untuk menetapkan dan
mengubah AD-ART, serta visi misi partai.181 Majelis ini beranggotakan 51-99 orang yang terdiri
dari anggota tetap, anggota terpilih oleh Majelis Syuro dan anggota terpilih oleh anggota inti.182
176
Pemilihan anggota Majelis Syuro yang terpilih oleh anggota inti dilakukan dengan
Pemilihan Raya (Pemira) dengan system suara terbanyak. 183 Hak suara hanya dimiliki oleh
anggota inti partai yaitu anggota Madya, Dewasa, Ahli dan Purna. Pemilihan terakhir dilakukan
tanggal 21 Februari 2010 untuk memilih 65 anggota Majelis Syuro yang diperebutkan oleh 195
calon dengan 37.435 pemilih.Tempat Pemungutan Suara (TPS) digelar di setiap Dewan Pimpinan
Cabang di seluruh Indonesia. 184 Pemira membagi calon dalam 33 daerah pemilihan sesuai
dengan jumlah provinsi yang ada di Indonesia. Masing-masing provinsi mempunyai jumlah kursi
MS yang berbeda sesuai dengan jumlah pemilih yang ada di provinsi tersebut. Misalnya, DKI
memiliki 6 kursi MS, Jabar 12 kursi MS, Jateng mempunyai 6 kursi MS, tetapi NTT dan NTB
masing-masing hanya mempunyai 1 kursi MS.
PKS memaknai demokrasi sebagai pemilihan langsung berbasis individu (individual right),
seperti tersirat dalam pernyataan Presiden PKS Tifatul Sembiring berikut ini : “Kami sengaja
memakai model pemilihan seperti ini untuk menerpakan demokrasi internal di semua kader”.
Model Pemira PKS sangat mirip dengan Sistem Pemilu Distrik yang ditandai dengan pembagian
wilayah dalam daerah-daerah pemilihan dan pemilih memilih satu nama orang. Ketika pemilih
memilih satu nama orang maka ia akan memilih satu nama saja yang dianggapnya terbaik/paling
disukainya dan pilihan pada umumnya jatuh pada calon laki-laki. Dengan model pemilihan seperti
ini dapat dibayangkan bahwa akan sangat sulit bagi perempuan untuk dapat menembus kursi
Majelis Syuro PKS meskipun tidak ada larangan yang membatasi dan meskipun jumlah pemilih
perempuan berimbang dengan pemilih laki-laki.
Berbeda halnya jika pemberian suara ditujukan pada sekelompok calon (misalnya 6)
sekaligus (collective/group right), dengan ketentuan harus memilih gender yang berbeda (gender
kuota). Misalnya, di Jawa Tengah terdapat 6 kursi MS, maka pemilih harus memilih 6 nama (3 laki-
laki-3 perempuan; 4 laki-laki-2 perempuan atau sebaliknya). Model pemilihan seperti ini sangat
menguntungkan perempuan.
Akomodasi kebijakan affirmative action yang lebih baik dilakukan oleh Partai Kebangkitan
Bangsa (PKB). PKB menjamin keikutsertaan perempuan sebagai peserta Muktamar yang
merupakan lembaga pembuatan keputusan yang tertinggi. Jaminan tersebut tertera dalam pasal
39 ART partai :
177
(1) Peserta Muktamar adalah :
a. Anggota Dewan Pengurus Pusat, KetuaDepartemen, Ketua Lembaga, dan Ketua Badan
Otonom Tingkat Pusat;
b. Utusan Dewan Pengurus Wilayah yang terdiri dari Ketua dan Sekretaris Dewan Syura,
Ketua dan Sekretaris Dewan Tanfidz, dan seorang lainnya dari unsur perempuan yang
dipilih oleh dan dar Dewan Pengurus Wilayah;
c. Utusan Dewan Pengurus Cabang terdiri dari Ketua dan Sekretaris Dewan Syura, Ketua
dan Sekretaris Dewan Tanfidz dan seorang lainnyadari unsur perempuan.
d. Pengurus Fraksi Partai di lembaga Perwakilan Rakyat di tingkat Pusat.
e. Badan otonom di tingkat pusat.
Partai Kebangkitan Bangsa juga mengharuskan adanya keterwakilan perempuan pada setiap
tingkatan kepengurusan Dewan Syuro dan Dewan Tanfidz, sebagaimana tercermin dari ketentuan
berikut:
- Di setiap tingkatan kepengurusan Dewan Syura diharuskan mengakomodir unsur
perempuan dengan kuota 30 persen.
- Di setiap tingkatan kepengurusan Dewan Tanfidz diharuskan mengakomodir unsur
perempuan dengan memenuhi kuota 30 persen.185
Meski demikian tetap tidak mudah bagi perempuan PKB untuk ditempatkan sebagai calon
jadi. Hasil pemilu 1999 menunjukkan bahwa PKB baru dapat menempatkan 5,9 persen wakil
perempuan di DPR RI (3 perempuan dari 51 wakil PKB di DPR RI). Pada pemilu 2004 PKB
mengajukan 37,6 persen atau 170 perempuan dari 451 calon yang diajukan untuk merebut kursi
DPR RI. Hasilnya menunjukkan peningkatan, meski demikian PKB juga baru dapat menempatkan
13,20 persen wakil perempuan di DPR RI (7 dari 53 wakil PKB di DPR RI).
C. Penjaringan Caleg
Menurut Pippa Norris, kuota adalah salah satu variabel yang akan menentukan
keterwakilan perempuan di parlemen. Gambar dibawah menunjukkan faktor-faktor yang
mempengaruhi proses rekruitment calon anggota parlemen. Model yang berbentuk seperti ‘corong’
yang mengerucut tersebut mempunyai tiga tahapan yaitu : certification à nomination à election
à Calon terpilih. Certification dipengaruhi oleh sistem pemilu, aturan partai, norma-norma
masyarakat yang akan menentukan layak tidaknya seseorang menjadi calon. Tahapan nomination
dipengaruhi oleh supply yaitu banyak/sedikitnya atau ketersediaan calon yang ingin menjadi
anggota parlemen dan juga ditentukan oleh demand yaitu proses penyeleksian yang dilakukan
185 Anggaran Rumah Tangga Partai Kebangkitan Bangsa Pasal 20 dan 21.
178
oleh elite partai untuk menentukan siapa yang terpilih. Tahap ketiga adalah election ketika
masyarakat memberikan suaranya di tempat-tempat pemungutan suara untuk menentukan siapa
akhirnya calon yang terpilih.
Perempuan yang ingin menjadi calon anggota legeslatif selalu menghadapi hambatan
dalam setiap tahapan. Pada tahapan certification, budaya masyarakat yang patriarkhis akan
menjadi penghambat karena perempuan dianggap tidak mampu menjadi pemimpin. Sebaliknya
budaya yang menjunjung kesetaraan akan mendorong perempuan untuk maju dalam pencalonan.
Selain itu sistem pemilu dan keberadaan kuota akan mempengaruhi seorang calon untuk dapat
memasuki tahapan nominasi. Pada tahapan nominasi ini perempuan pada umumnya terhambat
oleh sedikitnya ‘stok’ (supply) yang tersedia. Pada sisi ‘demand’ partai politik juga cenderung
menempatkan perempuan pada nomer urut yang tidak terpilih. Perempuan pada umumnya juga
hanya mempunyai akses yang sangat terbatas dalam tahapan nominasi ini. Pada tahapan
election, perempuan kembali terhadang oleh sikap masyarakat yang cenderung memilih laki-laki
sebagai figur yang pantas untuk memimpin.
Dalam proses penjaringan, pada umumnya Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Politik
akanmengeluarkan Pedoman Penjaringan Caleg untuk mengatur proses penjaringan caleg secara
umum. Meski demikian praktek di masing-masing daerah (provinsi-DPD/DPW) dan cabang
(kabupaten/kota-DPC) beragam. Euphoria demokrasi menjadikan kewenangan DPP dalam
mengatur DPD/DPW dan DPC terbatas. Undang-undang Pemilu juga mengatur pengajuan daftar
calon ditentukan oleh masing-masing pimpinan daerah atau cabang. Selain itu, tidak ada partai
yang mempunyai aturan bahwa sekian persen anggota tim seleksi caleg harus perempuan.
Prosedur yang terdesentralisir ini menyulitkan partai untuk melakukan affirmative action terhadap
perempuanUraian berikut ini adalah paparan tentang proses penjaringan di beberapa partai politik
yang cukup besar di Indonesia.
179
Sekum; Wakil Sekum; Ketua Bidang Organisasi; Ketua Bidang Politik, Pemerintahan dan Otonomi;
Koordinator Wilayah, dan satu orang anggota lainnya yang dipilih dan ditetapkan oleh Pimpinan
Harian Pusat DPP. LPC Wilayah beranggotakan 7 orang yaitu Ketua dan Sekretaris Pimpinan
DPW (2 orang ), sisanya dipilih oleh Pimpinan Harian Wilayah DPW. LPC Cabang beranggotakan
5 orang yaitu Ketua dan Sekretaris Pimpinan Harian Cabang DPC (2 orang), dan sisanya dipilih
oleh dan ditetapkan oleh Pimpinan Harian Cabang berdasarkan keputusan rapat Pimpinan Harian
Cabang DPC. 186 Mereka yang dipilih biasanya berasal dari Unsur Pemuda (1 orang), Kyai (1
orang) dan utusan dari pengurus partai yang berada di tingkat bawahnya (3 orang). Misalnya,
untuk penentuan bakal calon anggota legeslatif pada tingkat kabupaten/kota maka 3 anggota
Lajnah berasal dari utusan kecamatan atau eks kawedanan.187
Lajnah ini bertugas untuk menentukan bakal calon serta menentukan pengurutannya
untuk didaftarkan ke Komisi Pemilihan Umum (KPU).Lajnah melakukan rapat-rapat secara intensif,
sedikitnya sekitar 6 kali pertemuan untuk membahas kriteria bakal calon. Peserta rapat adalah
utusan-utusan dari unsur kecamatan (untuk rapat Lajnah di Kabupaten/Kota), utusan dari Generasi
Muda Persatuan (unsur pemuda), utusan dari Majelis Pertimbangan Partai dan Utusan dari Wanita
Persatuan (Unsur Perempuan). Pimpinan rapat adalah pimpinan Lajnah beserta anggotanya.
Kriteria bakal calon ditentukan berdasar dedikasi dan loyalitas terhadap partai serta
pertimbangan moralitas bakal calon (track record). Kadang-kadang partai juga dapat mencalonkan
orang yang berasal dari luar partai tetapi merupakan tokoh masyarakat setempat yang sangat
berpengaruh, seperti mantan pejabat atau kyai.
Perempuan dapat menjadi peserta rapat tetapi sangat sulit untuk dapat menjadi anggota
atau ketua Lajnah. Sebagian besar pengurus Wanita Persatuan adalah istri dari para tokoh partai.
Anggota Wanita Persatuan pada umumnya adalah istri, anak atau keluarga dari anggota partai.
Meski didalam partai perempuan juga diakui sebagai anggota, tetapi status perempuan sebagai
istri pada umumnya ditempatkan sebagai pendukung suami. Jika si suami sudah menjadi bakal
calon anggota legeslatif maka pada umumnya si istri akan sulit menjadi calon, karena jika suami
istri sama-sama menjadi calon akan menimbulkan keirian dari anggota yang lain. Kadangkala jika
suami istri merupakan aktifis partai dan sama-sama mempunyai potensi untuk menjadi bakal
. Pada saat ini di Indonesia sudah tidak ada Kawedanan (struktur pemerintahan setingkat diatas kecamatan).
187
Namun karena jumlah kecamatan di sebuah kabupaten pada umumnya banyak sementara wakil hanya tiga orang
maka kriteria wakil biasanya disepakati berdasar pengelompokan eks kawedanan .
180
calon, maka pada umumnya si suami akan menduduki nomer urut kecil sedang istri akan berada di
nomer urut besar. Penelitian Nurhasim menunjukkan bahwa di beberapa daerah terjadi
diskriminasi terhadap caleg perempuan. Misalnya, LPC PPP Sampang mengatakan bahwa
perempuan berpolitik adalah haram. Dengan cara pandang yang seperti itu LPC PPP Sampang
hanya merekrut satu orang perempuan sebagai caleg namun ditempatkan pada urutan terbawah
dalam DCT.188
Hak untuk memberikan suara/pendapat (voting) dalam rapat LPC diklasifikasikan
berdasar kelompok, yaiitu kelompok utusan anak cabang, kelompok Majelis Pertimbangan Partai
(sesuai tingkatannya masing-masing), Generasi Muda Persatuan dan Wanita Persatuan. Dengan
demikian perempuan hanya memiliki satu suara, sedangkan suara laki-laki dapat berada di utusan
Pengurus Anak Cabang, Generasi Muda Persatuan, Majelis Pertimbangan Partai (sesuai dengan
tingkatannya masing-masing), utusan Kyai dan lain sebagainya. Dengan sistem seperti ini sangat
sedikit peluang perempuan untuk lolos penjaringan dan menduduki nomer urut jadi (safe seat).
188 Moch Nurhasim, ’Pengaruh dan Kekuatan Kyai dalam Rekruitmen Politik : Kasus Kabupaten Sampang dan
Pasuruhan’
181
bakal calon anggota legeslatif. Skor tertinggi adalah 100 point. Pengalaman beberapa anggota
yang berhasil menduduki urutan atas dalam pencalonan, pada umumnya mempuyai skor diatas
90. Beberapa variable yang dinilai dalam scoring antara lain ialah :
o Jabatan struktural yang sedang diemban dalam partai politik. Ketua partai mempunyai
skor yang lebih tinggi disbanding dengan pengurus harian lainnya . Untuk menjaga agar
para kader partai mencalonkan diri sesuai dengan tingkatan aktifitasnya masing-masing
maka aktifis partai yang berada di pusat (Dewan Pimpinan Pusat) diharapkan
mencalonkan diri di DPR pusat, aktifis partai yang berada di tingkat provinsi (Dewan
Pimpinan Wilayah) disarankan mencalonkan diri di DPRD Provinsi, aktifis partai di tingkat
kabupaten (Dewan Pimpinan Cabang) diharapkan untuk mencalonkan diri di DPRD
Kabupaten/Kota. Jika pencalonan tidak sesuai dengan tingkatannya masing-masing (naik
atau turun) maka dilakukan pengurangan skor (berkisar antara 2 point)
o Loyalitas dan pengabdian terhadap partai. Pengabdian terhadap partai dapat ditunjukkan
dengan aktifitas calon dalam melakukan ‘pembinaan’ terhadap struktur partai yang berada
dibawahnya. Seorang pejabat structural di tingkat provinsi mempunyai kewajiban untuk
membina pimpinan serta anggota yang berada di tingkat kabupaten/.kota (DPC). Seorang
aktifis partai pada umumnya pernah melakukan ‘pembinaan’ sekitar 6 hingga 9 kali dalam
setahun dan dibuktikan dengan bukti secara tertulis. Biaya pembinaan seperti konsumsi
dan lain-lain, pada umumnya ditanggung oleh kader partai yang bersangkutan.
o Hasil wawancara selama mengikuti fit and proper test. Dalam fit and proper test calon
akan ditanya masalah visi, misi dan berbagai hal lain yang terkait. Proses fit and proper
test direkam secara audio visual sehingga dapat dijadikan sebagai bukti penilaian.
Perempuan PAN dinamakan Sekar Surya. 189 Di beberapa daerah, Sekar Surya dapat
menjadi pressure group didalam partai secara cukup significant. Meski demikian di masing-masing
daerah kekuatannya tidak sama. Misalnya di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, kekuatan
Sekar Surya di Kota Yogyakarta, Provinsi DIY dan Kabupaten Bantul cukup kuat dan berusaha
mempengaruhi proses pencalonan untuk mengedepankan calon perempuan. Meski demikian di
Kabupaten Gunung Kidul pressure mereka hampir tidak ada. Sekar Surya mampu melakukan
lobby terhadap pimpinan pusat partai agar partai menunjukkan komitmen untuk mendukung
182
perempuan. Dalam beberapa kasus pimpinan partai melakukan ‘intervensi’ untuk mendudukan
perempuan pada nomer urut jadi.
Komitmen partai untuk mengedepankan calon perempuan dilakukan dengan cara
menambahkan skor khusus (5 point) kepada calon perempuan. Jika total skor calon perempuan
tersebut sudah cukup tinggi maka ia akan terangkat, namun jika skor masih rendah maka cara ini
tidak akan berdampak.
Perempuan PAN yang berhasil menjadi anggota Dewan pada umumnya adalah aktifis
partai yang menonjol karena prestasinya sendiri. Mereka yang beraktifitas di partai hanya karena
sebagai pendukung suami, pada umumnya sulit untuk dapat memasuki arena penjaringan bakal
calon. Jika suami istri sama-sama aktif maka pada umumnya peringkat suami lebih tinggi daripada
si istri.190
190 Hasil wawancara penulis dengan Bpk Drs. Takdir Ali, M.Si., anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa
Yogyakarta dari Partai Amanat Nasional. Wawancara dilakukan di kantor DPRD Provinsi pada tanggal 17 Nopember
2007.
183
Proies penjaringan bakal calon anggota legeslatif Partai Keadilan Sejahtera dilaksanan
jauh lebih lama yaitu sekitar dua tahun sebelum hari pemungutan suara pemilu legeslatif dengan
Program Jaring Emas . Untuk kepengurusan tingkat provinsi dibentuk Panjatiwil (Penjaringan
Tingkat Wilayah) yang beranggotakan tujuh orang. Keanggotaan Panjatiwil didasarkan pada
jabatan-jabatan struktural partai yang sedang diaemabn, yaitu :
o seorang anggota yang sedang menjabat sebagai Ketua Badan Pemenangan Pemilu
o seorang anggota yang sedang menjabat sebagai Seretaris Wilayah
o seorang anggota yang sedang menjabat sebagai Ketua Pembinaan Kader
o seorang anggota yang sedang menjabat sebagai Pembinaan Wilayah
o seorang anggota yang sedang menjabat sebagai Ketua Bidang Kewanitaan,
o seorang anggota yang ditunjuk sebagai wakil Dewan Syariah Wilayah
o seorang anggota yang ditunjuk sebagai wakil Majelis Pertimbangan Wilayah
Salam proses penjaringan, Panjatiwil akan meminta seluruh kader untuk mengusulkan
nama kader yang dianggapnya pantas untuk menduduki kursi DPRD Kabuaten/Kota, DPRD
Provinsi dan DPR Pusat untuk masing-masing daerah pemilihan.. Untuk dapat dicalonkan, kader
PKS tersebut harus sudah mempunyai tingkatan sebagai Anggota Muda (calon DPRD
Kabupaten/Kota, Anggota Madya (calon DPRD Provinsi) dan Anggota Dewasa (calon DPR Pusat).
Anggota harus menuliskan nama orang lain dan tidak boleh menuliskan namanya sendiri.
Dalam proses penjaringan yang pertama tersebut, akan dapat terjaring sekitar 50 nama
lebih untuk satu daearah pemilihan.192 Selanjutnya, nma-nama tersebut akan dijadikan sebagai
calon yang berhak dipilih dalam ’pemilu raya’ internal PKS. Dalam ’pemilu raya’ para anggota PKS
akan memberikan suara dengan memilih salah satu nama dari calon-calon yang telah lolos dalam
tahap penjaringan. Tempat Pemungutan Suara (TPS) dapat diadakan di masing-masing
kecamatan. Misalnya, untuk kota Yogyakarta dapat disediakan 14 TPS untuk menfasilitasi sekitar
3000-4000 anggota yang akan memilih. Hasil pemungutan suara akan diurutkan berdasar suara
terbanyak dan akan diumumkan secara terbuka (khusus untuk kalangan internal PKS). Nama-
nama yang memperoleh suara terbanyak berhak untuk menjadi bakal calon dalam anggota
legeslatif. Hasil pemungutan suara dalam ’pemilu raya’ biasanya akan mengerucut. Kader populer
192 Dalam Pemilu 2004, satu daerah pemilihan dapat mempunyai 3-12 kursi.
184
yang menduduki peringkat pertama dalam perolehan suara dapat memperoleh sekitar 1000
suara.193
Bagaimana dengan kader perempuan ? Nama-nama kader perempuan pada umumnya
juga muncul pada penjaringan nama tahap pertama. Namum suara yang diperolehnya dalam
’pemilu raya’ pada umumnya tidak dapat menduduki peringkat atas. Kader perempuan pada
umumnya menduduki peringkat ke 4, ke 5 dan seterusnya. Penggunaan model ’pemilu raya’
dengan pengumuman hasil secara internal maka langkah-langkah affirmative action akan sangat
sulit dilaksanakan. Panitia tidak akan berani mengubah hasil pemungutan suara, disisi lain kader
perempuan juga akan malu jika namanya ’dikatrol’ untuk menduduki peringkat atas. Hanya ada
satu, dua nama kader perempuan yang dapat menduduki peringkat tertinggi atau peringkat atas
sehingga pada akhirnya dia dapat terpilih menjadi anggota legeslatif.
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Yasrif (pengurus PKS DPW DIY) : di Kantor PKS Jl. Ipda. Tut
193
185
pemecahan masalah (problem solving), bukan berorientasi pada aliran atau ideologi (ideology
oriented)194
Setelah muncul gerakan reformasi yang menjatuhkan pemerintahan Suharto, Partai
GOLKAR muncul dengan paradigma baru yang diwujudkan melalui pembaruan internal, terutama
terhadap struktur atau kelembagaan organisasi yang selama ini mempunyai akses yang terlalu
besar terhadap organisasi yang membatasi kemandirian Partai GOLKAR.
Langkah-langkah pembaruan kelembagaan tersebut juga diikuti dengan diwujudkannya
prinsip kedaulatan di tangan anggota. Yaitu mekanisme pengambilan setiap keputusan organisasi
dilakukan secara lebih terbuka, demokratis, dari bawah (bottom-up), dan dengan pemungutan
suara secara langsung. Melalui mekanisme yang demokratis ini maka terbukalah peluang bagi
kader-kader untuk memimpin Partai karena memang dalam prespektif demokrasi kesempatan dan
peluang perlu disediakan untuk semua, sehingga tidak terjadi pemusatan pandangan pada pesona
figur tunggal yang mengarah pada kultus individu.195
Prinsip ini terlihat dalam sistem penjaringan bakal calon anggota legeslatif yang
mengutamakan sistem penjenjangan kader dan sistem skoring. Jenjang pengkaderan merupakan
syarat untuk mendapatkan jabatan struktural di partai Golkar. Pengkaderan diadakan setiap 5
tahun sekali dengan 3 tingkatan, yaitu pengkaderan tingkat DPC (Pemula), tingkat DPD (Madya)
dan tingkat DPP (Nasional / Lanjut). Pada prinsipnya semua anggota partai yang ingin
memperoleh katu keanggotaan Golkar, harus pernah mengikuti pengkaderan tingkat DPC
(Pemula). Pengkaderan ini dimaksudkan untuk meciptakan loyalitas anggota pada Golkar. Materi
pengkaderan ialah pemahaman tentang visi misi partai, kepemimpinan, kehumasan dan materi-
materi teknis untuk menumbuhkan identitas ke-GOLKAR-an serta wawasan nusantara.
Pengkaderan tingkat kedua (tingkat Madya) dilakukan di DPD dan menjadi syarat bagi
seorang anggota untuk dapat menduduki jabatan struktural /kepengurusan Golkar dapa level DPC.
Materi yang diberikan tidak jauh berbeda dengan pengkaderan tingkat Pemula, namun
ditambahkan dengan keorganisasian dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh daerah
setempat.
Pengkaderan tingkat ketiga (tingkat nasional) dilakukan oleh DPP. Secara prinsip materi
pengkaderan tetap sama karena target pengkaderan adalah untuk menciptakan loyalitas pada
194 http://www.golkar.co.id
195 Akbar Tanjung, Paradigma Baru Partai GOLKAR.
186
partai, menumbuhkan ideologi pembangunan dan membiasakan anggota memahami masalah-
masalah yang terkait dengan politik. Namun pada tingkatan ini pengkaderan juga dimaksudkan
untuk mempersiapkan kader sebagai wakil partai di parlemen sehingga ditambahkan dengan
materi mengenai pembuatan keputusan publik.196
Persiapan Golkar dalam menghadapi pemilu dimulai dengan pembentukan Badan
Pemenangan Pemilu (Bapilu). Bapilu dibentuk pada level pusat, provinsi dan kabupaten. Salah
satu tugas Bapilu adalah mempersiapkan penjaringan bakal calon anggota legeslatif.
Bagi anggota partai Golkar, syarat utama untuk dapat dijaring ialah bahwa ia pernah
menjadi pengurus harian partai Golkar sedikitnya selama lima tahun. Kepengurusan dapat pada
level organisasi sayap (KPPG, SOKSI, AMPG, KOSGORO, MKGR), level kecamatan,
kabupaten/kota, provinsi maupun pusat. Setiap anggota yang telah memenuhi syarat berhak
mengajukan diri untuk menjadi bakal calon anggota legeslatif dengan cara mengisi formulir yang
disediakan oleh partai. Dengan demikian terkumpul nama-nama bakal calon anggota legeslatif.
Pada setiap daerah pemilihan akan diseleksi nama-nama bakal calon sejumlah empat kali
N (4xN) . N adalah jumlah calon yang akan ditawarkan di daertah pemilihan tersebut. Selanjutnya
nama-nama ini akan dimintakan persetujuan /dukungan dari kepengurusan yang ada dibawahnya.
Misalnya untuk menjaring bakal calon anggota DPRD Kabupaten/Kota maka nama-nama bakal
calon ini dimintakan persetujuan /dukungan dari kepengurusan Golkar pada level kecamatan
sehingga nama-nama ini menyusut menjadi 2xN.
Selanjutnya nama-nama tersebut dikirim kembali ke DPD untuk diurutkan. Mekanisme
pengurutan menggunakan sistem skoring (pengumpulan point). Secara prinsip skor tertinggi akan
menempati urutan teratas. Meski demikian dukungan dalam rapat juga sangat menentukan hasil
urutan.
Aspek yang dinilai dalam skoring antara lain adalah banyak /sedikitnya pelatihan-
pelatihan pengkaderan partai yang pernah diikuti, tinggi /rendahnya jabatan struktural
kepengurusan partai yang dipunyai, dukungan dari kepengurusan yang ada dibawahnya atau
organisasi sayap (KPPG, SOKSI, AMPG, KOSGORO, MKGR), kualitas /kompetensi, dan PDLT
(Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, Tidak tercela). Selain itu masih ada tes tertulis selama sekitar empat
jam (matrikulasi dan psiko test)
196 Ilmu Pemerintahan UGM, 2004. Partai Politik Sebagai Agen Policy-Making Studi Kasus DPRD Kota Yogyakarta,
187
Kebanyakan anggota dewan dari golkar mempercayai bahwa yang bisa mengantarkan
mereka ke kursi dewan adalah pengalaman mereka di beberapa organisasi sayap golkar seperti
SOKSI dan AMPG. Aktifitas di organisasi sayap merupakan salah satu bukti kompetensi calon,
karena untuk mendapatkan dukungan dari bawah memerlukan kiat atau kemampuan pendekatan
tersendiri. Disamping itu pendekatan semacam ini lebih efektif dalam menjaring aspirasi karena
nerhubungan langsung dengan massa akar rumput.
Dalam berbagai kesempatan para petinggi partai Golkar menyatakan komitmennya
terhadap kuota 30% perempuan. Komitmen ini diwujudkan dengan menngusahakan penjaringan
30% bakal calon perempuan. Meski demikian banyak diantara mereka yang tidak dapat
memperoleh nomor urut utama karena kurang memperoleh dukungan dari bawah. Komitmen
terhadap perlunya kuota perempuan dan prinsip kesetaraan gender juaga tidak tercermin secara
eksplisit dalam Anggaran Dasar, Anggaran Rumah Tangga maupun Paradigma Baru Partai
Golkar.
188
pernah dipunyainya, jabatan di lingkungan perusahaan swasta, jaksa, hakim, mantan TNI dan
lain sebagainya)
- Apakah sedang menjabat anggota legeslatif
- Apakah pada periode sebelumnya sudah pernah menjadi caleg ? Berapa perolehan
suaranya ? Berapa No Urutnya ?
Selanjutnya, dilakukan proses penyaringan jumlah bakal caleg dengan tahapan sebagai
berikut :
- Pengumpulan nama-nama bakal calon anggota legeslatif oleh :
o Musyawarah anggota cabang khusus, mencalonkan sebanyak-banyaknya 50
persen bakal caleg.
o Rapat DPC mencalonkansebanyak-banyaknya 45% di setiap dapel
o Rapat DPD mencalonkan sebanyak-banyaknya 5% disetiap dapel
- Nama-nama yang terkumpul kemudian disaring oleh rapat pengurus sehingga menghasilkan
sebanyak-banyaknya 3 kali alokasi kursi di setiap dapel.
- Diadakan rapat kerja khusus (Rakercabsus.) pada masing-masing tingkatan kepengurusan
(DPC, DPD, DPP) untuk memeras jumlah bakal caleg menjadi sebanyak-banyaknya 2 kali
alokasi kursi di setiap dapel.
- Selanjutnya diadakan rapat pengurus harian untuk menentukan sebanyak-banyaknya 120
persen bakal caleg pada setiap daerah pemilihan197
197 Ilmu Pemerintahan UGM, 2004. Partai Politik Sebagai Agen Policy-Making Studi Kasus DPRD Kota Yogyakarta,
Laporan hasil wawancara kelompok PDIP. Lihat juga Penjaringan Caleg PDIP Pemilu 2009, Surat Keputusan (SK)
DPP nomor 210/KPTS/DPP/V/2008.
.
189
- DPC mengumumkan pendaftaran caleg dan menyediakan formulir yang diperlukan
- Tim Mantap menerima formulir pendaftaran
- Penentuan caleg melalui seleksi internal untuk menetapkan nomer urut caleg di daerah
pemilihan tersebut
- Rumus untuk menentukan jatah usulan caleg di masing-masing daerah pemilihan : 60%
untuk DPC dan 40% untuk DPAC
- Penentuan caleg berjenjang dari bawah ke atas : tingkat ranting à PAC à Tim Mantap
Tim Mantap melakukan fit and proper test bagi caleg yang telah mengembalikan formulir.
Materi yang diujikan dalam fit and proper test adalah fungsi dan tugas caleg, kewajiban dan hak
sebagai anggota Dewan, wawasan dan pengetahuan, etika dan moralitas. Caleg wajib membuat
paper mengenai visi dan misi yang akan dilakukan jika terpilih sebagai anggota Dewan. Pengujian
yang paling sulit adalah masalah moralitas dan loyalitas calon. Contoh di Sampang terdapat 69
calon yang mengikuti fit and proper test termasuk didalamnya 12 anggota F-PKB DPRD
Sampang), Hasilnya, 55 calon lulus, 14 calon tidak lulus (tidak memenuhi kriteria). Untuk
menghindari polemik internal akhirnya hasil fit and p roper test tidak diumumkan oleh Tim
Mantap.198
Penelitian Nurhasim menunjukkan bahwa di beberapa daerah terjadi diskriminasi terhadap
caleg perempuan. Misalnya, PKB Sampang mengeluarkan pernyataan bahwa perempuan
berpolitik adalah mubah (diperbolehkan), tetapi ada syaratnya yaitu jika ia nanti terpilih sebagai
anggota Dewan maka ia harus ada teman (muhrimnya) dalam menjalankan tugas-tugas sebagai
anggota Dewan. 199 Menjelang pemilu 2004 terdapat 5 perempuan yang mengambil formulir
pendaftaran caleg PKB Sampang, namun tidak satupun diantara mereka yang mengembalikan
formulir. Kuat dugaan bahwa mereka tidak memperoleh rekomendasi dari PAC, yang merupakan
salah satu persyaratan pengembalian formulir. Rekomendasi dari PAC merupakan hambatan bagi
caleg perempuan yang pada umumnya masih merupakan ’new comer’ dalam aktivitas partai. Ini
merupakan ironi, bahwa para pimpinan partai kerapkali mengeluh akan sulitnya mencari
Moch Nurhasim, ’Pengaruh dan Kekuatan Kyai dalam Rekruitmen Politik : Kasus Kabupaten Sampang dan
198
Pasuruhan’
199 Moch Nurhasim, ’Pengaruh dan Kekuatan Kyai dalam Rekruitmen Politik : Kasus Kabupaten Sampang dan
Pasuruhan’
190
perempuan yang bersedia sebagai kader partai, namun disisi lain rekruitmen caleg cenderung
menutup diri dari unsur luar yang ingin bergabung dengan partai tersebut. Hal ini menunjukkan
bahwa kepentingan elite partai untuk mengamankan posisinya jauh lebih penting dibanding
mengakomodasi keterwakilan perempuan.
Dari penggambaran tentang mekanisme penjaringan bakal caleg di berbagai partai
tersebut maka dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
- Dengan menggunakan sistem skoring (Golkar, PDIP, PAN, PKB)
- Dengan perolehan suara dalam Pemilu Raya (PKS)
- Dengan Musyawarah (PPP)
Sistem Pemilu Raya dan sistem skoring menghasilkan angka-angka yang bersifat
kuantitatif yang akan digunakan sebagai dasar pengurutan calon , baik laki-laki maupun
perempuan. Artinya, denga angka yang kongkrit seperti ini, tindakan affirmative action terhadap
calon perempuan akan sulit dilakukan, karena dapat dianggap sebagai manipulasi skor atau
penghianatan terhadap mekanisme demokrasi. Pada beberapa partai memberikan sistem kuota
pada penjaringan bakal calon pada level pertama. Level-level seteruanya harus diikuti dengan
sistem skoring. Ada pula partai yang menambahkan skor khusus untuk perempuan, tetapi
penambahan tersebut tidak significant. PAN menambahkan skor 5 (lima) bagi perempuan, dengan
total skor maksimal sekitar 100.
Scoring system kerap dianggap sebagai sistem yang terbaik. Padahal ketika sistem
scoring mencampurkan dalam satu list antara bakal caleg laki-laki dan perempuan maka akan
menggugurkan sistem kuota perempuan. Perempuan bakal caleg sendiri pada umumnya tidak
menyadari bahwa dengan system scoring berarti laki-laki maupun perempuan diperlakukan secara
sama. Jika menggunakan prinsip kuota, semestinya scoring harus dipisahkan dalam dua
kelompok, laki-laki dan perempuan. Kuota adalah hak perempuan secara kolektif. Skoring
didasarkan pada prinsip equal opportunity, sedangkan kuota didasarkan pada equality of result.
Penggunaan scoring dapat dimaknai sebagai strategi untuk melumpuhkan system kuota.
Jika penentuan nomer urut dilakukan secara musyawarah maka akan menghasilkan
penilaian yang kualitatif. Dengan sistem ini sebenarnya lebih memungkinkan adanya affirmative
action untuk bakal caleg perempuan. Tetapi jika peserta musyawarah sebagian besar adalah laki-
laki, maka suara bagi bakal caleg perempuan juga akan sangat kecil. Masalah utamanya ialah
akses perempuan untuk terlibat sebagai peserta musyawarah (tim seleksi) sangat kecil sehingga
191
peluang untuk mempengaruhi keputusan juga sangat kecil. Untuk itu kehadiran fisik perempuan
dalam tim musyawarah sangat penting. Dalam partai-partai yang bernuansa Islam, otoritas kyai
atau tokoh agama dalam proses musyawarah juga sangat tinggi. Jika para tokoh agama tersebut
memberikan dukungannya pada bakal caleg laki-laki, maka bakal caleg perempuan juga akan
terpinggir.
Tabel 8. 1: Proses Penjaringan Caleg PAN-Golkar-PDIP Pemilu 2004200
PAN Golkar PDIP
- Platform partai menyebut - Tahun 2002 Dibentuk KPPG yaitu - Sebelum th 2002 : PDIP
secara jelas tentang departemen perempuan sudah punya kebijakan
perempuan dan politik yang - Kelembagaan sayap melalui KPPG dan affirmatif 20% pengurus
, di bahas secara khusus AMPG cabang perempuan
- Struktur partai : dibentuk - Hasil Rapim VI tahun 2003 menetapkan
Perempuan PAN (PUAN) komitmen Golkar ttg 30% kuota perempuan
sebagai organisasi otonom dalam penjaringan tingkat pertama
perempuan
- Kebijakan partai diputuskan Syarat Caleg - Rekruitmen dan nominasi
dalam forum kongres dan - Anggota yang berjuang aktif 5 tahun terus caleg dimulai dari ranting
rakernas, dimana masalah menerus o PAC= 50%
perempuan dibahas dalam - Ikut pelatihan dan pendidikan kader o DPC=45%
komisi sendiri. - Melalui penugasan fungsionaris o DPD=5%
Menunjukkan perempuan - Memiliki PD2LT - Tidak akan mengambil
ditangani secara signifikan - Mempunyai pengaruh/dukungan luas caleg dari luar
- Kebijakan affirmatif untuk - Kualitas pendidikan?
nominasi perempuan: o DPRRI:SI/akademi/lemhanas/se Caleg DPR
o Keputusan ketua sdiknas. - 40 % caleg usulan pusat
umum dan sekjen o DPRD/Provinsi:minimal SLTA - 30 % usullan DPD
tentang skoring. atau berpengetahuan sederajat - 30 % usulan DPC.
Calon perempuan
mendapat nilai Tatacara pemilihan Caleg
tambah 5 point - DPP Mempersiapkan bakal caleg 4 kali
dari skor total dari jumlah anggota DPR 22000 disusun
yang diperoleh dalam Dpdicalonkan sehingga
nilai tertinggi 100 masingmasing provinsi dan bagian prov.
- Punya bakal calon 4x jumlah anggota DPR
- Daftar nama -nama dikirim ke DPP Partai
kepada DPD Provinsi
- Untuk DPRD Prov dan kab
Skoring : Skoring :
- Alokasi 20 % untuk caleg - Kemampuan/kapabilitas (intelektualitas dan
dari luar partai pengalaman)
- Nilai – (minus) 20 dibagi - Dukungan konstituen dan ketokohan
caleg yang telah menjadi - Kepentingan partai (PD2LTprestasi,
legislatif dan eksekutif. dedikasi, disiplin, loyalitas tidak tercela)
- Rumusan penetapan caleg
terpilih ½ N + 1 bagi yang
tak memenuhi BPP
langsung jadi calon terpilih
192
Tabel 8. 2 : Proses Penjaringan Caleg PBB-PPP-PKB-PKS Pemilu 2004201
PBB PPP PKB PKS
- Menempatkan - Partai ini karena kultur dan - AD/ART partai - Nominasi perempuan
Perempuan pada tradisi tidak secara spesifik menyebutkan dilakukan secara
urutan pertama di membahas perempuan, keterwakilan 30% internal. PKS
wilayah yang karena dari dulu dianggap perempuan. - Dewan pendirinya
memiliki 4 atau tidak masalah - Struktur partai : melibatkan
lebih daerah - Isu peremp uan tidak dibentuk PPKB ( perempuan
pemilihan populer untuk dijual Perempuan Partai - Perbidangan di pusat
- Salah satu - Basis PPP di desa (ibu-ibu Kebangkitan Bangsa ) dan provinsi dengan
daerah pemilihan pengajian) nama Departemen
itu, calon Kewanitaan PKS
perempuan - Memperhatikan kuota
ditempatkan 30 % perempuan
pada urutan
pertama
193
Untuk membandingkan proses penjaringan caleg yang mengakomodasi kuota perempuan,
berikut ini akan digambarkan proses penjaringan di Partai Buruh Australia.
202 http://www.trivium.net/womenhistorymounth
203 Summer, A. 1983. ‘Holding the Balance of Power? Women in Australian Electoral Politics’ in Australia at the Polls.
The National Election of 1980 and 1983. ed H.R. Penniman, Sydney: Allen and Unwin, 124-139.
204 ALP, 1978. Australia Labor Party National Committee of Inquiry: Discussion Papers, APSA Monograph No 23
194
begitu terlihat. Kata-kata yang digunakan adalah requested (memohon) bukan required
(memaksa/mengharuskan). Cabang partai dimohon untuk melaksanakan strategi ini dan pimpinan
pusat diminta mengawasi, meski demikian tidak diberi kewenangan untuk mengintervensi.
Strategi affirmative action berikutnya diambil dalam Konferensi Nasional Partai Buruh
tahun 1994. Aturan ke 12 dalam konstitusi partai menyatakan bahwa 35 persen wakil partai di
parlemen, utusan dalam konferensi partai maupun keanggotaan panitia-panitia didalam partai
adalah perempuan, baik pada level federal maupun negara bagian. Target ini harus tercapai pada
tahun 2002. Target selalu dicanangkan sembilan tahun kedepan dengan perhitungan tiga kali
periode pemilu. Untuk calon anggota parlemen federal, usulan pencalonan dilakukan oleh cabang
partai pada level negara bagian (state). Jika setelah pencalonan kuota tidak terpenuhi maka
pimpinan pusat partai akan melakukan intervensi. Pada tahun 2002, target dinaikkan hingga 40
persen yang diharapkan tercapai pada tahun 2012.
Dalam proses pencalonan anggota parlemen New South Wales dalam pemilu 2003, Partai
Buruh meletakkan tujuh calon perempuan di daerah aman (safe and very safe Labor seats)
sehingga peluang terpilihnya tinggi. Demikian juga partai Liberal mencalonkan dua calon
perempuan di daerah pemilihan yang selalu dikuasai partainya (safe seats) sehinggga peluang
terpilihnya juga tinggi.
Laki-laki menguasai Calon Anggota panitia Tahap berikut Tahap berikut 30-50% peserta Menggunakan prinsip
suara kelompok Perempuan seleksi nya dengan nya dengan konggres partai equal opportunity.
pemuda, anak-anak malu jika penjaringan sistem skoring sistem skoring harus perempuan
cabang, majelis harus bakal calon
pertimbangan partai ‘didongkrak’ pada umumnya Meningkatkan
(90%). perolehan laki-laki kemampuan
suaranya perempuan dalam
Dalam musyawarah (Tidak ada berpolitik dengan
posisi perempuan affirmative berbagai kursus.
195
sangat action) Pelatihan dan
terpinggirkan, pembentukan jaringan
hanya menguasi
sekitar 10% hak
suara
--o0o--
196
Daftar Pustaka
AD PKS pasal 11
AD-ART PKS
Affandi, Dasman Ashar , 2011.’Perempuan dan Politik (Studi Kasus Hizbuth Tahrir Indonesia
Cabang Padang Terhadap Keterlibatan Perempuon di Parlemen)’, Thesis .Fakultas Ilmu
sosial dan Ilmu Politik – Universitas Andalas Padang.
Akbar Tanjung, Paradigma Baru Partai GOLKAR.
Alvarez, S.E., 1990. Engendering Democracy in Brazil : Women’s Movement in Transitions Politics,
Princeton University Press, New Jersey.
Anderson C., 1977. Statecraft: An Introduction to Political Choice and Judgement, New York, John
Wiley, p.vii.
Anggaran Rumah Tangga Partai Keadilan Sejahtera, pasal 5.
Anggaran Rumah Tangga Partai Kebangkitan Bangsa Pasal 20 dan 21.
Araujo 2003, Costa Benavides 2003, Freedman 2003, Garcia Quesada 2003.
ART PAN, Pasal 15
ART PKS, pasal 6.
ART PKS, pasal 8
ASIMA YANTY SIAHAAN, 2003. “The Politics of Gender and Decentralization in Indonesia’, C P S
International Policy Fellowship Program 2 0 0 2 / 2 0 0 3, CENTRAL EUROPEAN
UNIVERSITY CENTER FOR POLICY STUDIES, OPEN SOCIETY INSTITUTE.
Ballington, Julie and Richard E. Matland, 2004. “Political Parties and Special Measures :
Enhancing Women’s Participation in Electoral Processes”
Berninghausen J., & Kerstan B., 1992. Forging New Paths: Feminist Social Methodology and Rural
Women in Java, Zed Book, London, p. 253-254.
Binny Buchory and Ifa Soenarto, “Dharma Wanita: An Asset or a Curse? In Indonesian Women:
The Journey Continues, edited by M. Oey-Gardiner and C. Bianpoen, eds (Canberra:
Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University, 2000),
pp. 145-155; Syamsiyatun, Siti, MUSLIM WOMEN’S POLITICS IN ADVANCING THEIR
GENDER INTERESTS: A Case-Study of Nasyiatul Aisyiyah inIndonesian New Order Era
Blackburn, Susan dan Monique Soesman, 2007. Kongres Perempuan Pertama: Tinjauan Ulang,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia dan KITLV-Jakarta.
Blackburn, Susan., 2004, p.25. Dikutip dari Love, Kaleen E., 2007. ‘The Politics of Gender in a
Time of Change: Gender Discourses, Institutions, and Identities in Contemporary
Indonesia’, Thesis submitted in partial fulfilment of the requirements for the Degree of
Doctor of Philosophy by DEPARTMENT OF INTERNATIONAL DEVELOPMENT QUEEN
ELIZABETH HOUSE PEMBROKE COLLEGE OXFORD UNIVERSITY AUGUST 2007, p.
65.
Burke, Edmund. 1968. Reflection on the Revolution in France. London, Penguin Book, hal. 115.
Bush J., 2002. ‘British Women’s Anti Suffragism and the Forward Policy 1908-1914’, Women’s
History Review, 11,3, p. 431-53.
Bussemaker, Jet & Rian Voet eds.,1998. Introduction to Critical Social Policy, vol. 18 no. 3, pp.375-
396.
BYRNE, Bridget and LAIER, Julie Koch. 1996. National Machineries for Women in Development:
Experiences, Lessons and Strategies forInstitutionalzing Gender in Development, Policy
and Planning Bridge Report No. 36.
197
Caraway, T.L., 19998. ‘Perempuan dan Pembangunan : Sejarahnya sebagai Lapangan Studi dan
Ideologi Pemerintah Indonesia’, Jurnal Perempuan, No.5, Nov-Jan 1998, hal. 4-14;
Carey and Houben, 1992,
Cario, Argentina, catatan NAZZ
Caul Miki, 1999. “Women Representation in Parliament: The Role of Political Parties”. Party
Politics 5, no 1:79-98.
Dahlerup, Drude and Lenita Fredenvall, 2005, ’Kuota as a Fast Track to Equal Representation to
Women : Why Scandinavia is No Longer the Model’, International Feminist Journal of
Politics, No 7/1, p.29.
Dahlerup, Drude, 2002. “Quota-A Jump to Equality? : The Need for International Comparations of
the Use of Electoral Kuota to Obtain Equal Political Citizenship for Women” Paper
prepared for workshop hosted by International IDEA on 25 September 2002 in Jakarta,
Indonesia.
Dahlerup, Drute, 2002. “Menggunakan Kuota untuk Meningkatkan Representasi Politik
Perempuan”, dalam Perempuan di Parlemen : Bukan Sekedar Jumlah. Jakarta:
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International IDEA), hal 118
Darmiyanti, 1999. The Rise of the Indonesian Women’s Movement in the New Order State, Thesis
presenred for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University, Western Australia,
unpublished.
Dean, Jodi, 1996.“Including Women: the Consequences and Side Effects of Feminist Critiques to
Civil Society”, dalam Solidarity of Strangers. Feminism after Identity Politics, University of
California Press, Berkeley.
Edmund Burke, Speech At the Conclution of the Poll, 3 November 1774, in W.M. Elofson and John
A. Woods (eds), The Writings and Speeches of Edmund Burke, Vol III: Party, Parliament
and the American War 1774-80 (Clarendon Press, Oxford, 1996), pp 66-70.
Elshtain, Women and War, Basic Book, NY, 1987, p. 207. Studi ini dilakukan oleh sejarawan
perang S.L.A. Marshall, meski hasil studi ini mengundang kontroversi.
Engels, Friedrich Engels, 1884. The Origin of the Family, Privat Property and the State. Disarikan
dari Nicholson, Linda, 1986. Gender and History, Chapter I : The Contemporary Women’s
Movement
Engels, Friedrich Engels, 1884. The Origin of the Family, Privat Property and the State. Disarikan
dari Nicholson, Linda, 1986. Gender and History, Chapter I : The Contemporary Women’s
Movement
Fakih, M.D., 1996. Masyarakat Sipil untuk Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Gamble, 1990. “Theories of British Politics”, Political Studies, XXXVIII, p. 412.
Green, Manda 2003. “La Parite : To Be or Not To Be ?” Paper presented at the European
Consortium for Political Research, Joint Session of Workshops, Edinburg, Scotland, March
28-April 2, 2003.
Green, Manda 2003. “La Parite : To Be or Not To Be ?” Paper presented at the European
Consortium for Political Research, Joint Session of Workshops, Edinburg, Scotland, March
28-April 2, 2003.
Green, Manda 2003. “La Parite : To Be or Not To Be ?” Paper presented at the European
Consortium for Political Research, Joint Session of Workshops, Edinburg, Scotland,
March 28-April 2, 2003.
Guadagnini 1998, Nivon 2001.
Hanna F. Pitkin 1967, Judith Squires 1999: 202ff , Squires 1999: 194, 202
Hannam, June 2007. Feminism, Pearson Educated Limited, Great Britain, p 125.
198
Harris, Stokke dan Tornquist, 2007. Dikutip dari I Ketut Putra Erawan, 2007. ‘Rekonseptualisasi
Representasi bagi Indonesia’, Paper disampaikan dalam Partnership of Governance
Meeting Room, Jakarta, 20 September.
Htun, Mala N and Mark P. Jones, 2002. “Engendering the Right to Participate in Decision Making
Electoral Kuota and Women Leadership in Latin America” in Gender and the Politics of
Right and Democracy in Latin America. Ed Niki Craske and Maxine Molyneux. New York:
Palgrave.
Htun, Mala N and Mark P. Jones, 2002. “Engendering the Right to Participate in Decision Making
Electoral Quota and Women Leadership in Latin America” in Gender and the Politics of
Right and Democracy in Latin America. Ed Niki Craske and Maxine Molyneux. New York:
Palgrave.
I Ketut Putra Erawan, 2007. ‘Rekonseptualisasi Representasi bagi Indonesia’, Paper disampaikan
dalam Partnership of Governance Meeting Room, Jakarta, 20 September.
Ilmu Pemerintahan UGM, 2004. Partai Politik Sebagai Agen Policy-Making Studi Kasus DPRD
Kota Yogyakarta, Laporan Kelompok Partai Golkar (Wawancara dengan Suhartono).
Ilmu Pemerintahan UGM, 2004. Partai Politik Sebagai Agen Policy-Making Studi Kasus DPRD
Kota Yogyakarta, Laporan hasil wawancara kelompok PDIP. Lihat juga Penjaringan Caleg
PDIP Pemilu 2009, Surat Keputusan (SK) DPP nomor 210/KPTS/DPP/V/2008.
Inglehart, Ronald and Pippa Norris, 2003. Rissing Tide. Gender Equality and Cultural Change
Around the World. New York: Cambrige University Press;
Inglehart, Ronald and Pippa Norris, 2003. Rissing Tide. Gender Equality and Cultural Change
Around the World. New York: Cambrige University Press;
Inter Parliamentary Union, 2003. “Women in National Parliaments : Situation as of 31 May 2003.
Http://www.ipu.org/wmn-e/word.htm.
Inter Parliamentary Union, 2003. “Women in National Parliaments : Situation as of 31 May 2003.
Http://www.ipu.org/wmn-e/word.htm.\
Jean Jacques Rosseau, The Social Contract and Discourse,trans. And into G.D.H. Cole
(Everyman’s Library: Dent, London/Dutton, New York, 1968), Book III, Chapter XV, pp 77-
80. Originally writen 1762.
Jones, Mark P. 1998. “Gender Quota, electoral Laws, and the election of Women: Lesson from the
Argentine Province”. Comparative Political Studies 31, no1: 3-21.
Jung-Sook Kim , 2006. ‘ Women’s Political Participation and Strategies for Greater Equality”, The
6th Asia Pacific Congress of Women in Politics, - February 10, 2006 -
Kanakuze, Yudith, 2003. “Kuota in Practice : The Challenge of Implementation and Enforcement in
Rwanda”
Kirkpatrick , Jeane 1974. Political Women, Basic, New York ; Caroll, Susan 1979, “Women
Candidates and Support for Women’s Issue:: Closet Feminist “, paper presented at the
annual mmeting of the Midwest Political Science Association, Chicago ; Mezey, Susan
Gluck 1978, ‘Support for Women’s Right Policy: An Analysis of Local Politician’, American
Politics Quarterly, 6, 485-497; Vallance, 1979, Women in the House: A Study of Women
Members of Parliament, Athlone Press, London.
Krook, Mona Lena 2002. ‘Europe for Women, Women for Europe: Strategi for Parity Democracy in
European Union” p 67-86 in Democracy and and Integration In An Enlarging Europe, ed.,
John S Micgiel. New Yor, Institute for the Study of Europe>
Krook, Mona Lena 2003. “Candidate Gender Quota: A Framework for Analysis”, Paper presented
at the 2nd General Conference of European Consortium for Political Research, Marburg,
Germany, September 18-21, p.3
199
Krook, Mona Lena, 2003. “Candidate Gender Kuota : A Framework for Analysis”, Paper presented
at thr 2 nd General Conference of the European Consortium for Political Research,
Marburg, germany, September 18-21.
Krook, Mona Lena, 2005. ‘Politizing Representation: Campaign for Candidate Gender Quotas
Worlwide’, Columbia University, p.42.
Laporan Pemantauan Komnas Perempuan. Launching laporan dilaksanakan dalam workshop
dengan unsur Pemda dan aktivis perempuan “TUGAS KONSTITUSIONAL
KEPEMIMPINAN BARU PASCA PEMILU : BEBASKAN INDONESIA DARI
DISKRIMINASI”, dilaksanakan di Hotel Bintang Fajar, Yogyakarta, Jum’at, 3 April 2009.
Lev, Daiel S., 1996, p. 198. Dikutip dari Love, Kaleen E., 2007. ‘The Politics of Gender in a Time
of Change: Gender Discourses, Institutions, and Identities in Contemporary Indonesia’,
Thesis submitted in partial fulfilment of the requirements for the Degree of Doctor of
Philosophy by DEPARTMENT OF INTERNATIONAL DEVELOPMENT QUEEN
ELIZABETH HOUSE PEMBROKE COLLEGE OXFORD UNIVERSITY AUGUST 2007, p.
65.
Levenduski, Joni and Pippa Norris, eds. 1993. Gender and Party Politics. Thousand Oaks, Sage.
Wieringa, Saskia Eleonora, 1998. Kuntilanak Wangi : Organisasi-organisasi Perempuan Indonesia
Sesudah 1950, Kalyanamitra, Jakarta; Wieringa, 1999. Penghancuran Gerakan
Perempuan di Indonesia, Garba Budaya dan Kalyanamitra, Jakarta (buku ini terjemahan
desertasi Wieringa yang dipertahankan di Universitas Amsterdam 6 Oktober 1995).
Love, Kaleen E., 2007. ‘The Politics of Gender in a Time of Change: Gender Discourses,
Institutions, and Identities in Contemporary Indonesia’, Thesis submitted in partial
fulfilment of the requirements for the Degree of Doctor of Philosophy by DEPARTMENT
OF INTERNATIONAL DEVELOPMENT QUEEN ELIZABETH HOUSE PEMBROKE
COLLEGE OXFORD UNIVERSITY AUGUST 2007, p. 65.
Lowi, T., 1964. “American Business, Public Policy, Case Studies, and Political Theory”, World
Politics, 16, No.4, July.
Madison, James, 1987.
Marsh, David, Theory and Method in Political Science.
Matters in Southeast Asian Politics, Monash University, Centre of Southeast Asian Studies,
Clayton, NSW, hal.69.
Maynard, M., 1998. ‘Women’s Studies’ in Jakson S and Jones J., Contemporaries Feminist
Theories
Meer, Shamim and Charlie Sever, 2004. “Gender and Citizenship”, BRIDGE-Institute of
Development Studies http://www.ids.ac.uk/bridge
Moch Nurhasim, ’Pengaruh dan Kekuatan Kyai dalam Rekruitmen Politik : Kasus Kabupaten
Sampang dan Pasuruhan’
Moghissi, Haideh,1999. Feminism and Islamic Fundamentalism, Zed Books, London and New
York, p. 141.
Molyneux, Maxine, 1985.’Mobilization without Emancipation? Women’s Interest, State and
Revolution in Nicaragua’, Feminist Studies , Vol 11, No. 2, 1985.
Mona Lena Krook, Mona Lena and Diana Z. O’Brien, 2010, The Politics of Group Representation :
Kuotas for Women and Minorities Worldwide, Comparative Politics April.
Mossuz-Lavau, Janine, 1998: Femme/hommes pour la parite (Women/men for Parity) Paris:
Presses de Sciences Po.
200
Muchtar, Darmiyanti, 1999. The Rise of the Indonesian Women’s Movement in the New Order
State, Thesis presenred for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University,
Western Australia.
Muchtar, Darmiyanti, 1999. The Rise of the Indonesian Women’s Movement in the New Order
State, Thesis presenred for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University,
Western Australia.
Muchtar, Darmiyanti, 1999. The Rise of the Indonesian Women’s Movement in the New Order
State, Thesis presenred for the degree of Master of Philosophy of Murdoch University,
Western Australia, unplublished.
Murdijana, Sesti, 2006. ‘Refleksi Gerakan Perempuan Indonesia: Dari Layanan ke Gerakan
Sosial’, Selasa 28 Februari 2006
Natsir, Lies Marcoes – 2005, GERAKAN PEREMPUAN ISLAM : Antara Konservatifisme dan
Upaya Menuju Aksi Praksis Kesetaraan dalam Islam , Disampaikan dalam diskusi Rahima,
Hotel Pradana Jakarta,30 Maret 2005
Nicholson, Linda, 1986. Gender and History, Chapter I : The Contemporary Women’s Movement.
Norway: Largest Party Aims for Full Gender Equality”, http://www.timesofoman.com.
Okin, Susan Moller, 1979. Women in Western Political Thought, Princeton University Press, New
York p. 249.
Pennock, J. Roland and John Chapman (ed), 1968. Representation, New Yorl, Atherton Press;
PHILIPS, Anne , 1996. Feminism and The Attractions of The Local in Desmond King and Gerry
Stoker eds Rethinking Local Democracy Macmillan Press LTD: London.
Phillip, Anne (ed), 1998. Feminism and Politics, Oxford University Press, Oxford, New York.
Phillip, Anne (ed), 1998.’Democracy and Representation: Or Why Should it Matter Who Our
Representative Are?’ dalam Phillip, Anne (ed), 1998. Feminism and Politics, Oxford
University Press, Oxford, New York, p 234.
Pippa Norris , ed., Passage to Power, p. 2.
Pitkin, Hanna Fenicle, . 1967. Concept of Representation, Berkeley, University of California
Pitkin, Hanna Fenicle, . 1967. Concept of Representation, Berkeley, University of California;
Schwartz, Nancy, 1988. The Blue Guitar: Political Representation and Community.
Chicago, University of Chicago Press.
Purwanti, Eni, ‘Aksi gerakan wanita indonesia (GERWANI) cabang Surakarta pada tahun 1954-
1965’.
Rahma Qomariyah, S.Pd; DPP Hizbut Tahrir Indonesia], ?, http://hizbut-tahrir.or.id., diunduh
Kamis 4 Agustus 2011
Rendall, J. 2001. ‘John Stuart Mill: Liberal Politics and the Movement for Women’s Suffrage 1865-
1973’ in Vickery A, ed, Women, Previledge and Power, British Politics 1750 to the Present ,
Stanford University Press, Stanford CA.
Rezkiana Rahmayanti (DPP Muslimah HTI)], Perlukah Kuota Perempuan ?, http://hizbut-
tahrir.or.id., diunduh Kamis 4 Agustus 2011
Riley, 1988, Am I That Name ? Feminism and the Category of Women in History, Macmillan,
London.
Rupp, L., 1997. The Worlds of Women: The Making of an International Women’s Movement.
Princeton University Press, Princeton, p. 84.
Rusiyati, 1990. SEPINTAS Gerakan Wanita Indonesia Dalam Perkembangan Sejarah (5 - selesai),
Paper di presentasikan pada pertemuan peringatan Hari Kebangkitan Perempuan
Indonesia tanggal 22 Desember 1990 di Amsterdam. http://osdir.com/ml
201
Rusiyati, 1990. SEPINTAS Gerakan Wanita Indonesia Dalam Perkembangan Sejarah (5 - selesai),
Paper di presentasikan pada pertemuan peringatan Hari Kebangkitan Perempuan
Indonesia tanggal 22 Desember 1990 di Amsterdam. http://osdir.com/ml
Sapiro, Virginia, 1998. ‘When are Interest Interesting? The Problem of Political Representation of
Women’ dalam Phillip, Anne (ed), 1998. Feminism and Politics, Oxford University Press,
Oxford, New York, p.183.
Sapiro, Virginia, 1998. ‘When are Interest Interesting? The Problem of Political Representation of
Women’ dalam Phillip, Anne (ed), 1998. Feminism and Politics, Oxford University Press,
Oxford, New York, p 178.
Sawer, Marian and Abigail Groves, 1994. Working from Inside: Twenty Years of the Office of
the Status of Women, Australian Government Publishing Service, Canberra,
Sawer, Marian, 1996.“Femocrats and Ecorats: Women.s Policy Machinery in Australia, Canada
and New Zealand”, Occasional Paper 6, March 1996, United Nations Research Institute for
Social Development, United Nations Development Programme
Schochet, Gordon J., 1975. Patrirchalism in Political Thouht, Basic Book , New York. Lihat juga
Pateman, Carole, 1979. The Problem of Political Obligation: A Critical Analysis of Liberal
Theory, John Wlley, New York.
Scott, Gender and the Politics of History, p.42.
Smith, H.L., ed., 1990. British Feminism in the Twentieth Century, Edward Edgar, Aldershot.
Sowerwine, S., 1987. The Socialist Women’s Movement from 1850-1940, in Breidenthal, R Koons
Stanford Encyclopedia of Phylosophy, Political Representation, http://plato.stanford.edu
Stanford Encyclopedia of Phylosophy, Political Representation, http://plato.stanford.edu
Stanley, 1999. ‘Penggambaran Gerwani sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan (Fitnah dan
Fakta Penghancuran Organisasi Perempuan Terkemuka’, Seminar sehari ”Tragedi
Nasional 1965” yang diadakan masyarakat sejarawan Indonesia pada 8 September 1999
di Gedung Dewan Riset Nasional, Komplek Puspitek, Serpong. http://www.geocities.com
Stanley, 1999. ‘Penggambaran Gerwani sebagai Kumpulan Pembunuh dan Setan (Fitnah dan
Fakta Penghancuran Organisasi Perempuan Terkemuka’, Seminar sehari ”Tragedi
Nasional 1965” yang diadakan masyarakat sejarawan Indonesia pada 8 September 1999
di Gedung Dewan Riset Nasional, Komplek Puspitek, Serpong. http://www.geocities.com
Sulivan, N., 1991.’Gender and Politics in Indonesia’ in M. Stivens (Ed.,), Why Gender
Sulivan, N., 1991.’Gender and Politics in Indonesia’ in M. Stivens (Ed.,), Why Gender Matters in
Southeast Asian Politics, Monash University, Centre of Southeast Asian Studies, Clayton,
NSW, hal. 22.
Sulivan, N., 1991.’Gender and Politics in Indonesia’ in M. Stivens (Ed.,), Why Gender Matters in
Southeast Asian Politics, Monash University, Centre of Southeast Asian Studies, Clayton,
NSW, hal. 24.
Sulivan, N., 1991.’Gender and Politics in Indonesia’ in M. Stivens (Ed.,), Why Gender Matters in
Southeast Asian Politics, Monash University, Centre of Southeast Asian Studies, Clayton,
NSW.
Summers, Anne, 1986. ‘Mandarins or missionaries: Women in the federal bureaucracy’, in Norma
Grieve and Ailsa Burns (eds.), Australian Women: New Feminist Perspectives, Oxford
University Press, Melbourne.
Suryakusuma, Julia I., 2004. Sex, Power and Nation, Metafor Publishing
United Nations Office of Special Adviser on Gender Issues and Advancement of Women (OSAGI)
Expert Group Meeting on “Enhancing Women’s Participation in Electoral Processes in
Post Conflict Countries” Glen Cove, 19-22 january 2004.
202
United Nations Office of Special Adviser on Gender Issues and Advancement of Women (OSAGI)
Expert Group Meeting on “Enhancing Women’s Participation in Electoral Processes in
Post Conflict Countries” Glen Cove, 19-22 January 2004
United Nations. Division for the Advancement of Women, General Recommendations made by the
Committee on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women (CEDAW).
Lihat http://www.un.org/womenwach/daw/cedaw/recomm.htm
Wardah Hafid dan Tati Krisnawaty, 1989. "Perempuan dan Pembangunan", Laporan Penelitian.
Wawancara dengan aktivis perempuan Dameria Pakpahan, Agustus 2009.
Wawancara penulis dengan Bapak Yasrif (pengurus PKS DPW DIY) : di Kantor PKS Jl.
Ipda. Tut Harsono (Timoho) 2007
Wawancara penulis dengan Bpk Drs. Takdir Ali, M.Si., anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
Istimewa Yogyakarta dari Partai Amanat Nasional. Wawancara dilakukan di kantor DPRD
Provinsi pada tanggal 17 Nopember 2007.
Wawancara penulis dengan Chusnul Mar’iyah di Hotel Santika Yogyakarta, April 2010. Lihat juga
Kompas, 10 Juni 1999.
Wieringa, S., 1992. ‘Ibu or the beast: Gender interests two Indonesian women’s organizations’,
Feminist Review, no. 41, p.98-112.
Wieringa, Saskia ,1999. KUNTILANAK WANGI: Organisasi-Organisasi Perempuan Indonesia
Sesudah 1950, Kalyanamitra, Jakarta. Diterjemahkan dari judul asli: The Perfumed
Nightmare (The Hague: Institute of Social Studies, 1988), Penerjemah: Hersri Setiawan
www.kalyanamitra.or.id, email : ykm@indo.net.id
http://en.wikipedia.org
http://en.wikipedia.org
http://eng.koalisiperempuan.or.id/
http://wri.or.id
http://www.cetro.or.id
http://www.golkar.co.id
http://www.ipu.org
http://www.kapalperempuan.or. Email : office@kapalperempuan.org &
kapalperempuan@indo.net.id
http://www.koalisiperempuan.or.id
http://www.kuotaproject.org.
http://www.med.monash.edu.au/gendermed/sexandgender.html ;
http://www.who.int/entity/gender/en/
http://www.rahima.or.id
http://www.trivium.net/womenhistorymounth
http://www.undp.org/rblac/gender/legeslation/politicalpart.htm
http://www.undp.org/rblac/gender/legeslation/politicalpart.htm
http://www.undp.org/rblac/gender/legeslation/politicalpart.htm
http://www.undp.org/rblac/gender/legeslation/politicalpart.htm
http://www.undp.org/rblac/gender/legeslation/politicalpart.htm
http://www.wahidinstitute.org. Email: rahima2000@cbn.net.id. Website: http://www.rahima.or.id
203
OK
204
Daftar Isi :
A. Pengertian Politik : What is Politics ? ..................................................................... 3
B. Pengertian tentang Sex dan Gender ......................................................................... 5
A. Pengertian Feminisme ............................................................................................. 7
B. Sejarah Kemunculan Feminisme ............................................................................. 7
1. Abad Pencerahan ...................................................................................................... 7
2. Pengaruh Revolusi Perancis terhadap Kemunculan Feminisme .............................. 8
3. Kelompok Sosialis Utopian. ................................................................................... 10
4. Kemunculan Feminis Modern. ............................................................................... 12
C. Feminist Gelombang I : Gerakan untuk Menuntut Hak Pilih bagi Perempuan
1860-1920an ...................................................................................................................... 14
5. Gerakan untuk Menuntut Hak Pilih bagi Perempuan di Amerika Latin ................ 16
6. Gerakan Perempuan untuk Menuntut Hak Pilih di Asia ........................................ 17
7. Gerakan Perempuan di Eropa (Perang Dunia I) ..................................................... 17
8. Perjuangan Feminis Melalui Partai-partai Sosial Demokrat. ................................. 19
9. Equality Feminist vs New Feminist........................................................................ 19
10. Feminisme Kesejahteraan (Welfare Feminism) ................................................ 21
11. Perempuan dan Perdamaian............................................................................... 22
D. Feminisme Gelombang II : Women’s Liberation – ’the personal is political’ ...... 22
E. Feminisme Gelombang III : Perjuangan Feminis Tidak Dapat Dipisahkan dengan
Kelas dan Ras .................................................................................................................... 24
F. Gerakan Perempuan di Amerika Serikat .................................................................... 26
1. Feminis Liberal ....................................................................................................... 26
2. Feminis Radikal ...................................................................................................... 27
3. Feminis Sosialis-Marxist ........................................................................................ 28
G. Evolusi Keluarga Menjadi Sistem Patriarchi menurut Engels .............................. 29
H. Beberapa Perspektif Feminisme dalam Menjawab Subordinasi Perempuan ...... 30
1. Perspektif Feminis Liberal..................................................................................... 30
2. Perspektif Feminis Radikal ..................................................................................... 31
3. Perspektif Feminis Sosialis. .................................................................................... 32
A. Pengantar ............................................................................................................... 38
B. Gerakan Perempuan di Indonesia .......................................................................... 39
1. Periode Penjajahan Belanda ................................................................................... 41
1) Periode Perlawanan Bersenjata ....................................................................... 41
2) Periode Perlawanan Melalui Pendidikan......................................................... 42
205
3) Periode Kebangkitan Nasional ........................................................................ 43
2. Periode Pendudukan Jepang 1942- 1945 ................................................................ 47
3. Periode Orde Lama (1945-1965) ............................................................................ 48
4) Gerwani ........................................................................................................... 49
4. Periode Orde Baru (1965-1998) ............................................................................. 53
1) Pelibatan Perempuan dalam Pembangunan..................................................... 54
5. Periode Reformasi (1998-Sekarang) ...................................................................... 58
1) Kalyanamitra (1985) ....................................................................................... 60
2) Solidaritas Perempuan (1990) ......................................................................... 61
3) Yayasan Jurnal Perempuan (1995) .................................................................. 64
4) Gerakan Perempuan Sadar Pemilu (GPSP-1998) ........................................... 66
5) Suara Ibu Peduli (1998)................................................................................... 68
6) KPI (Koalisi Perempuan Indonesia - 1998) ................................................... 69
7) CETRO (1999) ................................................................................................ 72
8) Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI-2000) ........................................ 73
9) Kaukus Perempuan Parlemen Indonesia ......................................................... 74
10) KAPAL Perempuan (2000) ............................................................................. 74
11) Rahima (2000) ................................................................................................. 76
12) Women’s Research Institute (2002) ................................................................ 78
C. Konservatisme di Kalangan Gerakan Perempuan ................................................. 80
1. Hizbut Tahrir Indonesia .......................................................................................... 81
2. PKS dan Partai-partai Berbasis Massa Islam ........................................................ 83
3. Penolakan Advokasi Kuota 30% dikalangan Ormas Islam ................................... 84
D. Discourse Kuota dikalangan Ilmuwan Indonesia (Epistemic Community) .......... 86
A. Gender Politics : Penanaman Ideologi Ibuism di Masyarakat ............................... 91
A. Konsep Warganegara .................................................................................................. 100
B. Konsep tentang Warganegara yang Baik............................................................. 101
C. Apakah Laki-laki Selalu Agresif ? ...................................................................... 101
D. Mendefinisikan kembali tentang Kobsep Kewarganegaraan (Citizenship) ......... 102
E. “Nation State Citizenship” à “Global Citizenship” ................................................ 103
F. Kesetaraan Gender, Negara Kesejahteraan dan Globalisasi .................................... 104
G. Kritik Feminis terhadap Konsep Kewarganegaraan ............................................ 105
A. Pengertian Perwakilan Politik ............................................................................. 107
C. Peran yang Dimainkan para Wakil : Sebagai Delegate - Trustee........................ 108
206
A. Mengapa Kuota Diperlukan................................................................................. 131
4. Affirmative Action ............................................................................................... 132
1. Reserved Seat (Kursi yang Dicadangkan untuk Perempuan) ............................... 137
3. Political Party Quota for Electoral Candidate (Kuota Partai Politik untuk
Pencalonan dalam Pemilu). ...................................................................................... 140
1. MonaMona Lena Krook : Teori Implementasi Quota ............................................ 144
1) Rincian Bunyi Aturan tentang Quota ............................................................ 145
2) Kerangka Institusional yang Melingkupi Implementasi Quota..................... 146
3) Variabel Aktor dalam Implementasi Quota .................................................. 147
2. Miki Caul Kitilson : Teori Keterwakilan Perempuan di Parlemen ........................... 150
3. Pippa Norris : Proses Seleksi Calon Anggota Parlemen ....................................... 152
1. Peran Aktor /Aliansi Aktor dalam Meningkatkan Keterwakilan Perempuan di
Parlemen. .................................................................................................................. 156
1. Karakteristik Sistem Pemilihan Umum dan Sistem Partai Politik ....................... 163
2. Praktek-praktek yang Terjadi dalam Partai Politik (The Role of Political Party
Practices). ................................................................................................................. 164
3. Norma-norma Hukum dan Konstitusi Nasional ................................................... 164
A. Pengantar ............................................................................................................. 169
A. Politik Gender di Partai-partai Politik ................................................................. 170
B. Pengaturan Peserta dalam Konggres/Munas Partai ............................................. 176
C. Penjaringan Caleg ................................................................................................ 178
1. Proses Penjaringan Calon Legealatif di Partai Persatuan Pembangunan ............. 179
2. Proses Penjaringan Bakal Calon Legeslatif di Partai Amanat Nasional. ............. 181
3. Penjaringan Bakal Calon Anggota Legeslatif di Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
183
4. Penjaringan Bakal Calon Anggota Legeslatif di Partai Golkar ............................ 185
5. Penjaringan Bakal Calon Anggota Legeslatif di Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP) .................................................................................................... 188
6. Penjaringan Bakal Caleg di PKB.......................................................................... 189
7. Proses Penjaringan Caleg di Partai Buruh Australia (ALP) ................................ 194
Ilmu Pemerintahan UGM, 2004. Partai Politik Sebagai Agen Policy-Making Studi Kasus
DPRD Kota Yogyakarta, Laporan Kelompok Partai Golkar (Wawancara dengan
Suhartono). ............................................................................................................ 199
Murdijana, Sesti, 2006. ‘Refleksi Gerakan Perempuan Indonesia: Dari Layanan ke
Gerakan Sosial’, Selasa 28 Februari 2006 ........................................................... 201
207
Daftar Pustaka :
Bappenas. (2001). Analysis Gender Dalam Pembangunan Hukum. Jakarta: Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) dan CIDA.
Gerard, E. (2012). Gender in the Political Sciences : Political Science and Sociology Curricula at
the Australian National University. Canberra, Australia: Australian National University.
Heroe, H. (2010). Pedoman Teknis Perencanaan Penganggaran Responsif Gender Bagi Daerah.
Jakarta: Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia.
Keck, M. E., & Sikkink, K. (1998). Activists Beyond Borders : Advocacy Network in International
Politics. Ithaca and London: Cornell University Press.
Lestari, Machya, & June. (2009). Kendala Implementasi Pengarusutamaan Gender (PUG) dalam
rangka Otonomi Daerah di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Hibah
Kompetitif sesuai Prioritas Nasional Batch I.
Lestari, P., & Dewi, M. A. (2010). Model Komunikasi dalam Sosialisasi Pengarusutamaan Gender
dan Anggaran Responsif Gender di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Ilmu
Komunikasi, 191-203.
Subiyakto, R. (2012). Membangun Kota Layak Anak : Studi Kebijakan Publik di Era Otonomi
Daerah. SOSIO-RELIGIA.
Swirski, B. (2002). What is a Gnder Audit. Center Information on Equality and Social Justice in
Israel.
Daftar Pustaka
208
Addams, Jane et. al.,1916. Women at The Hague : The International Congress of
Women and Its Result, New York, Macmillan
Anderson C., 1977. Statecraft: An Introduction to Political Choice and Judgement, New
York, John Wiley
Arendt, Hannah , 1969. On Violence New York, Brace and World, Hartcourt
Aviel, JoAnn Fagot 1981. “Poliical Participation of Women in Latin America”. Westwrn
Political Quarterly 34, no. 1:156-173.
Betty A. Reardon, 1985. Sexism and War System, New York, Teachers College press.
Boserup, Ester, 1970. Women’s Role in Economic Development, Allen and Unwin,
London.
Bunch, C., 1980.
Burke, Edmund , Speech At the Conclution of the Poll, 3 November 1774, in W.M.
Elofson and John A. Woods (eds), The Writings and Speeches of Edmund Burke,
Vol III: Party, Parliament and the American War 1774-80 (Clarendon Press,
Oxford, 1996)
Burke, Edmund. 1968. Reflection on the Revolution in France. London, Penguin Book
Burn, Nancy, Kay Lehman Schlozman and Sidney Verba, 2001. The Privat Roots of
Public Action: Gender, Equality and Political Participation. Cambridge, Harvard
University Press.
Bush J., 2002. ‘British Women’s Anti Suffragism and the Forward Policy 1908-1914’,
Women’s History Review, 11,3, p. 431-53.
Bussemaker, Jet & Rian Voet eds.,1998. Introduction to Critical Social Policy, vol. 18
no. 3, pp.375-396.
California. Lhat juga Anne Phillip, ‘Democracy and Representation : Or, Why Should it
Matter Who Our Representative Are ?’ dalam Phillip, Anne (ed), 1998. Feminism
and Politics, Oxford University Press, Oxford, New York,
Cornell, R.W.,1987. Gender and Power : Society, the Person and Sexual Politics,
Stanford University Press, Stanford
Dahlerup, Drute, 2002. “Menggunakan Kuota untuk Meningkatkan Representasi Politik
Perempuan”, dalam Perempuan di Parlemen : Bukan Sekedar Jumlah. Jakarta:
International Institute for Democracy and Electoral Assistance (International
IDEA)
Elshtain, 1987. Women and War, Basic Book, NY
Engels, Friedrich Engels, 1884. The Origin of the Family, Privat Property and the State
Gamble, 1990. “Theories of British Politics”, Political Studies, XXXVIII
Grant, Rabecca and Kathleen Newland, 1991 Gender and International Relations,
Indiana University Press, Bloomington and Indianapolis.
Grant, Rabecca and Kathleen Newland, 1991. Gender and International Relations,
Indiana University Press, Bloomington and Indianapolis.
Green, Manda 2003. “La Parite : To Be or Not To Be ?” Paper presented at the European
Consortium for Political Research, Joint Session of Workshops, Edinburg,
Scotland, March 28-April 2, 2003.
Guadagnini 1998, Nivon 2001.
Hannam, June 2007. Feminism, Pearson Educated Limited, Great Britain
209
Htun, Mala N and Mark P. Jones, 2002. “Engendering the Right to Participate in
Decision Making Electoral Kuota and Women Leadership in Latin America” in
Gender and the Politics of Right and Democracy in Latin America. Ed Niki
Craske and Maxine Molyneux. New York: Palgrave.
I Ketut Putra Erawan, 2007. ‘Rekonseptualisasi Representasi bagi Indonesia’, Paper
disampaikan dalam Partnership of Governance Meeting Room, Jakarta, 20
September.
Inglehart, Ronald and Pippa Norris, 2003. Rissing Tide. Gender Equality and Cultural
Change Around the World. New York: Cambrige University Press
Inter Parliamentary Union, 2003. “Women in National Parliaments : Situation as of 31
May 2003. Http://www.ipu.org/wmn-e/word.htm.
Jayawardena, Kumari, 1986. Feminism and Nationalism in the Third World. Zed Books,
London.
Jones, Mark P. 1998. “Gender Kuota, electoral Laws, and the election of Women: Lesson
from the Argentine Province”. Comparative Political Studies 31, no1: 3-21.
Judith Squires 1999
Jung-Sook Kim , 2006. ‘ Women’s Political Participation and Strategies for Greater
Equality”, The 6th Asia Pacific Congress of Women in Politics, - February 10,
2006 -
Kanakuze, Yudith, 2003. “Kuota in Practice : The Challenge of Implementation and
Enforcement in Rwanda”
Keohane, Robert O,1991. “International Relations Theory : Contributions of Feminist
standpoint”, dalam Rabecca Grant and Kathleen Newland, Gender and
International Relation, Indiana University Press, Bloomington and Indiana Polis
Kirkpatrick , Jeane 1974. Political Women, Basic, New York ; Caroll, Susan 1979,
“Women Candidates and Support for Women’s Issue:: Closet Feminist “, paper
presented at the annual mmeting of the Midwest Political Science Association,
Chicago
Krook, Mona Lena 2002. ‘Europe for Women, Women for Europe: Strategi for Parity
Democracy in European Union” p 67-86 in Democracy and and Integration In An
Enlarging Europe, ed., John S Micgiel. New Yor, Institute for the Study of
Europe>
Krook, Mona Lena 2003. “Candidate Gender Kuota: A Framework for Analysis”, Paper
presented at the 2nd General Conference of European Consortium for Political
Research, Marburg, Germany, September 18-21
Krook, Mona Lena, 2003. “Candidate Gender Kuota : A Framework for Analysis”,
Paper presented at thr 2 nd General Conference of the European Consortium for
Political Research, Marburg, germany, September 18-21.
Larisa Vasilyeva menulis dalam Pravda 24 Juni 1989 ‘When a women ran against a man
she usually lost. And although there were some women in the Congress, they
didn’t represent the “living female soul”.Current Digest of the Soviet Press, Vol
42, No 25, 1989.
Levenduski, Joni and Pippa Norris, eds. 1993. Gender and Party Politics. Thousand Oaks,
Sage.
Madison, James, 1987.
Marsh, David, Theory and Method in Political Science.
210
Maxine, Molyneux , 1991.‘Marxism, feminism and demise of the Soviet model
Maynard, M., 1998. ‘Women’s Studies’ in Jakson S and Jones J., Contemporaries
Feminist Theories
Meer, Shamim and Charlie Sever, 2004. “Gender and Citizenship”, BRIDGE-Institute of
Development Studies
Mezey, Susan Gluck 1978, ‘Support for Women’s Right Policy: An Analysis of Local
Politician’, American Politics Quarterly, 6, 485-497
Miki, Caul ,1999. “Women Representation in Parliament: The Role of Political Parties”.
Party Politics 5, no 1:79-98.
Molyneux, Maxine, 1985. ‘Mobilization without emancipation? Women’s interest, stste
and revolution in Nicaragua’, Feminist Studies, Vol 11, NO 2, 1985.
Molyneux, Maxine, 1991. ‘Marxism, feminism and demise of the Soviet model, in
Rabecca Grant, and Kathleen Newland, Gender and International Relations,
Indiana University Press, Bloomington and Indianapolis.
Moser, Caroline O.N., 1991.‘Gender planning in the Third World: meeting practical and
strategic needs’, dalam Rabecca Grant, and Kathleen Newland, 1991. Gender and
International Relations, Indiana University Press, Bloomington and Indianapolis
Mossuz-Lavau, Janine, 1998: Femme/hommes pour la parite (Women/men for Parity)
Paris: Presses de Sciences Po.
Nicholson, Linda, 1986. Gender and History, Chapter I : The Contemporary Women’s
Movement.
Okin, Susan Moller, 1979. Women in Western Political Thought, Princeton University
Press, New York
Pateman, Carole, 1979. The Problem of Political Obligation: A Critical Analysis of
Liberal Theory, John Wlley, New York.
Pennock, J. Roland and John Chapman (ed), 1968. Representation, New Yorl, Atherton
Press
Peterson, V. Spike and Anne Sisson Runyan, 1993. Global Gender Issue, Westview
Press, Boulder-San Francisco-Oxford.
Phillip, Anne (ed), 1998. Feminism and Politics, Oxford University Press, Oxford, New
York
Pippa Norris , ed., Passage to Power
Pitkin, Hanna Fenicle, . 1967. Concept of Representation, Berkeley, University of
California
Pitkin, Hanna F., 1984. Fortune Is a Woman : Gender and Politics in the Thought of
Niccolo Machiavelli, Berkeley : University of California Press
Rendall, J. 2001. ‘John Stuart Mill: Liberal Politics and the Movement for Women’s
Suffrage 1865-1973’ in Vickery A, ed, Women, Previledge and Power, British
Politics 1750 to the Present , Stanford University Press, Stanford CA.
Riley, 1988, Am I That Name ? Feminism and the Category of Women in History,
Macmillan, London.
Rosseau, Jean Jacques, 1762. The Social Contract and Discourse,trans. And into G.D.H.
Cole (Everyman’s Library: Dent, London/Dutton, New York, 1968), Book III,
Chapter XV, pp 77-80. Originally writen 1762.
211
Runyan, Anne Sisson, “Feminism, Peace, and International Politics : An Examination of
Women Organizing Internationally for Peace and Security”, Ph.D. diss, American
University, Ch.6.
Rupp, L., 1997. The Worlds of Women: The Making of an International Women’s
Movement. Princeton University Press, Princeton
Sapiro, Virginia, 1998. ‘When are Interest Interesting? The Problem of Political
Representation of Women’ dalam Phillip, Anne (ed), 1998. Feminism and Politics,
Oxford University Press, Oxford, New York
Sapiro, Virginia, 1998. dalam Anne Phillip, (ed). Feminism and Politics, Oxford
University Press, Oxford, New York
Sara Dowse, 1983. West Block, Penguin,Ringwood
Sawer, Marian and Abigail Groves, 1994. Working from Inside: Twenty Years of the
Office of the Status of Women, Australian Government Publishing Service,
Canberra,
Sawer, Marian, 1996.“Femocrats and Ecorats: Women.s Policy Machinery in Australia,
Canada and New Zealand”, Occasional Paper 6, March 1996, United Nations
Research Institute for Social Development, United Nations Development
Programme
Schochet, Gordon J., 1975. Patrirchalism in Political Thouht, Basic Book , New York.
Schwartz, Nancy, 1988. The Blue Guitar: Political Representation and Community.
Chicago, University of Chicago Press.
Scott, Gender and the Politics of History
Sharma, Ritu R, 2001. ‘Women and Development Aid’, Foreign Policy In Focus, Vol 6,
No. 33, September 2001.
Siim, 2000, Korpi, 2000
Simon de Beauvoir, 1952, The Second Sex, Alfred A. Knopf, New York; Betty Friedan,
1963. The Feminine Mystique, WW Norton, New York ; Germain Greer, 1971,
The Female Eunuch, Granada Publishing, London.
Smith, H.L., ed., 1990. British Feminism in the Twentieth Century, Edward Edgar,
Aldershot.
Sowerwine, S., 1987. The Socialist Women’s Movement from 1850-1940, in Breidenthal,
R Koons
Squires 1999
Stanford Encyclopedia of Phylosophy, Political Representation, http://plato.stanford.edu
Summers, Anne, 1986. ‘Mandarins or missionaries: Women in the federal bureaucracy’,
in Norma Grieve and Ailsa Burns (eds.), Australian Women: New Feminist
Perspectives, Oxford University Press, Melbourne.
Sylvester, Christine, 1992. “Feminist Theory and Gender Studies in International
Relations, International Studies Notes, 16,3/17
Tickner, Ann, 1988. ”Hans Morgenthau’s Political Principles of Political Realism : A
Feminist Reformulation”, Millennium, 17, 3 (1988).
Tickner, Ann, 1992. Gender in International Relations, Columbia University Press, NY
Tickner, J. Ann, 1992. Feminist Perspectives on Achieving Global Security, Columbia
University Press, New York.
212
United Nations. Division for the Advancement of Women, General Recommendations
made by the Committee on the Elimination of All Forms of Discrimination
Against Women (CEDAW).
Vallance, 1979, Women in the House: A Study of Women Members of Parliament,
Athlone Press, London.
http://en.wikipedia.org
http://en.wikipedia.org
http://www.ids.ac.uk/bridge
http://www.ipu.org
http://www.ipu.org
http://www.med.monash.edu.au/gendermed/sexandgender.html ;
http://www.who.int/entity/gender/en/
http://www.un.org/womenwach/daw/cedaw/recomm.htm
http://www.undp.org/rblac/gender/legeslation/politicalpart.htm
http://www.undp.org/rblac/gender/legeslation/politicalpart.htm
213