Abstract
This article discusses the political role of women in a gender perspective. Women are
often faced with challenges in getting the same opportunities as men in entering politics.
However, with increasing awareness of the importance of gender equality, women are
now increasingly involved in politics. Through a gender perspective approach, this
article discusses how women's political roles can bring positive changes in the political
system. In this article, we will discuss the factors that influence women's political
participation and their impact on women's representation in political positions. In
addition, it will also discuss strategies and policies that can facilitate women's political
participation. In order to achieve gender equality and overcome political injustice
against women, the political role of women in a gender perspective is very important.
With awareness about the importance of women's political participation, it is hoped that
women can obtain equal rights and become agents of change in the world of politics.
Abstrak
Artikel ini membahas peran politik perempuan dalam perspektif gender. Perempuan
sering kali dihadapkan pada tantangan dalam mendapatkan kesempatan yang sama
dengan laki-laki dalam memasuki dunia politik. Namun, dengan meningkatnya
kesadaran tentang pentingnya kesetaraan gender, perempuan sekarang semakin banyak
terlibat dalam politik. Melalui pendekatan perspektif gender, artikel ini membahas
bagaimana peran politik perempuan dapat membawa perubahan positif dalam sistem
politik. Dalam artikel ini, akan dibahas faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi
politik perempuan dan dampaknya terhadap perwakilan perempuan dalam posisi politik.
Selain itu, juga akan dibahas strategi dan kebijakan yang dapat memfasilitasi partisipasi
politik perempuan. Dalam rangka mencapai kesetaraan gender dan mengatasi
ketidakadilan politik terhadap perempuan, peran politik perempuan dalam perspektif
gender sangat penting. Dengan adanya kesadaran tentang pentingnya partisipasi politik
perempuan, diharapkan perempuan dapat memperoleh hak yang sama dan menjadi agen
perubahan dalam dunia politik.
A. Pendahuluan
Istilah Kesetaraan gender adalah istilah yang banyak diucapkan oleh para aktivis
sosial, kaum feminis, politikus, bahkan oleh para pejabat negara. Istilah kesetaraan
gender secara praktis hampir selalu diartikan sebagai kondisi "ketidaksetaraan" yang
dialami oleh para perempuan. Maka, istilah kesetaraan gender sering terkait dengan
istilah-istilah diskriminasi terhadap perempuan, subordinasi, penindasan, perlakuan
tidak adil dan semacamnya. Dengan kata lain, kesetaraan gender juga berarti adanya
kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan serta
hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan
politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan
nasional (hankamnas), serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan tersebut.
Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural,
baik terhadap laki-laki maupun perempuan.
1
Gerakan feminisme merupakan gerakan konflik sosial yang dimotori oleh para pelopor feminisme dengan tujuan
mendobrak nilai-nilai lama (patriarki) yang selalu dilindungi oleh kokohnya tradisi struktural fungsional. Gerakan
feminism modern di Barat dimulai pada tahun 1960-an yaitu pada saat timbulnya kesadaran perempuan secara
kolektif sebagai golongan tertindas. Menurut Skolnick: Some feminists denounced the family as a trap that turned
women into slaves (beberapa feminis menuduh keluarga sebagai perangkap yang membuat para perempuan menjadi
budak-budak). Gerakan feminisme yang berdasarkan model konflik berkembang menjadi gerakan-gerakan feminisme
liberal, radikal, dan sosialis atau Marxisme. Untuk memahami konsep feminisme berikut diuraikan berdasarkan
sejarah berkembangnya gerakan feminisme yang mencakup dua gelombang: (1) Gerakan gelombang pertama, lebih
pada gerakan filsafat di Eropa yang dipelopori oleh Lady Mary Wortley Montagu dan Marquis de Condorcet yang
pada tahun 1785, suatu perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan pertama kali didirikan di Middelburg
(Selatan Belanda). Seorang aktivis sosialis utopis bernama Charles Fourier pada tahun 1837 memunculkan istilah
feminisme yang kemudian tersebar ke seluruh Eropa dan benua Amerika
2 Herien Puspitawati, “Konsep, Teori dan Analisis Gender”, dalam artikel Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Fakultas Ekologi Manusia- Institut Pertanian Bogor 2013, h. 1.
http://ikk.fema.ipb.ac.id/v2/images/karyailmiah/gender.pdf
3 Azyumardi Azra, Kajian Tematik al-Qur’an tentang Kemasyarakatan (Bandung: Angkasa, 2008), h. 315.
4 Sinulingga, R. dalam Jurnal Wawasan, Juni, Volume 12, Nomor 1, Medan: USU 2006, h.
Di dalam buku yang berjudul Sex and Gender yang ditulis oleh Hilary M. Lips,
mengartikan bahwa gender adalah harapan-harapan budaya terhadap laki-laki dan
perempuan. Hal ini dapat dilihat, misalnya bahwa perempuan dikenal dengan lemah
lembut, cantik, emosional dan keibuan. Sementara laki-laki sebaliknya, yaitu
dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri-ciri dari sifat itu merupakan sifat
yang dapat dipertukarkan, misalnya ada laki-laki yang lemah lembut, ada
perempuan yang kuat, rasional dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat tersebut
dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain.
2. Gender dan Kontruksi Sosial
Konstruksi sosial 5merupakan pembentukan dari sistem konseptual kebudayaan
dan linguistik. Konstruksi sosial juga bertujuan membuat dunia bermakna kepada
yang lain. Makna tercipta dari sistem alih kode, aturan atau kesepakatan maupun
tanda secara historis. Konstruksi peran gender adalah bagaimana peran gender
dibentuk dari kebudayaan dan disosialisasikan.
Gender juga merupakan alat analisis yang baik untuk memahami persoalan
diskriminasi terhadap kaum perempuan secara umum. Ditegaskan bahwa gender
adalah pembagian laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial dan
budaya. Dan ternyata, perbedaan gender antara laki-laki dan perempuan terjadi
melalui proses yang panjang, melalui proses sosialisasi, penguatan, konstruksi,
sosial budaya bahkan melalui kekuasaan negara. Sedemikian panjang dan lamanya
proses “genderisasi” secara sosial budaya tersebut sehingga lambat laun perbedaan
gender antara laki-laki dan perempuan sebagai konstruksi sosial budaya menjadi
seolah-olah ketentuan dari Tuhan, atau bersifat kodrati dan biologis yang tidak dapat
diubah lagi. Artinya, ada anggapan sebagian besar masyarakat yang namanya kodrat
wanita adalah hasil konstruksi sosial dan budaya atau gender. Gender
mempengaruhi keyakinan manusia serta budaya masyarakat tentang bagaimana
seharusnya laki-laki dan perempuan berpikir dan bertindak sesuai dengan ketentuan
5Konstruksi sosial lahir dari pemikiran Peter L. Berger, dituangkan dalam karya yang terkenal, yaitu Inovation to
Sociology (1963) dan The Social Contructions of Reality (1966) yang ditulis bersama temannya, Thomas Luckmann.
Dalam bukunya tersebut, dinyatakan bahwa realitas terbentuk secara sosial, oleh karenanya sosiologi sebagai ilmu
pengetahuan harus menganalisa bagaimana proses tersebut terjadi.
sosial tersebut. Pembedaan yang ditentukan oleh aturan masyarakat dan bukan
biologis itu dianggap sebagai ketentuan Tuhan.
Perbedaan peran gender yang merupakan bentukan masyarakat tersebut
disosialisasikan terus menerus melalui pendidikan baik secara langsung maupun
tidak langsung dalam: keluarga (orang tua), sekolah (guru), negara (pembuat
kebijakan, penguasa), dan dimasyarakat (tokoh masyarakat, pemuka agama, media
massa, dan lain-lain). Misalnya saja sejak kecil anak sudah dibiasakan dengan
mainan yang berbeda, untuk anak laki-laki mobil-mobilan, senjata, robot, dan
sebagainya, sedangkan perempuan diberikan boneka, peralatan rumah tangga, dan
pelatan masak. Pemberian mainan tersebut secara tidak langsung mengajarkan
kepada anak tentang perbedaan peran masing-masing, bahwa lakilaki menjadi
gagah, pemberani, dan kelak menjadi penanggung jawab keluarga. Sedangkan
kepada perempuan diharapkan bisa mempunyai sifat keibuan yang pintar mengurus
anak, masak dan mengurus rumah. Pendidikan dan pembiasaan demikian telah
berlangsung lama dan turun temurun tanpa ada yang mempertanyakan, sehingga
terjadi proses internalisasi yang lancar tanpa hambatan. Tidak mengherankan jika
kemudian perbedaan yang merupakan hasil bentukan masyarakat tersebut dipahami
sebagai kodrat. Oleh karena itu pula masyarakat sangat memegang teguh ‘aturan-
aturan’ yang membedakan peran perempuan dan laki-laki. Namun, di sisi lain
banyak pula yang ‘melanggar’ dan pada akhirnya masyarakat bisa menerima pula.
Hubungan atau relasi antar jenis kelamin (perempuan dan laki-laki) atau relasi
gender dipengaruhi oleh pandangan yang ada antara keduanya. Posisi perempuan
maupun laki-laki sedemikian rupa, dibangun dalam beragam level:
a. Di tingkat keluarga, institusi keluarga merupakan ruang awal peran dan ideologi
gender diperkenalkan. Contohnya, keluarga yang mendambakan anak laki-laki
menyiapkan segala perlengkapan bayi yang belum lahir dengan warna biru
sebagai warna tegas, dan merah bila anaknya perempuan. Pemberian alat
permainan yang stereotip pada anak-anak juga merupakanpandangan gender.
Anak laki-laki pastinya tidak diharapkan untuk bermain boneka atau memasak.
Pada komunitas tertentu anak laki-laki tidak dituntut untuk bisa memasak atau
melakukan pekerjaan kerumah tanggaan. Sementara anak perempuan diajarkan
untuk membantu ibu di rumah dan lain-lain. Pola pengasuhan dan pendidikan ini
akan mempengaruhi pandangan sang anak kelak dalam memilih dan
menyesuaikan profesi dan keahliannya. Ini karena mereka terdidik dan
diperlakukan demikian. Dan demikian seterusnya. Keluarga berperan
melanggengkan bentuk dan relasi gender, baik yang adil maupun yang timpang.
b. Di tingkat sekolah/pendidikan formal, isi ajaran pendidikan di sekolah menjadi
salah satu dasar pola perilaku dan pandangan mengenai posisi, peran, tanggung
jawab dan fungsi yang berbeda antara perempuan dan lakilaki. Ini bisa dilihat
dari kurikulum pengajaran dan cara mendidik di sekolah. Ini tidak hanya dialami
oleh peserta didik, namun juga pendidik atau guru. Ada banyak bukti
pembedaan perlakuan antara guru laki-laki dan guru perempuan. Banyak buku-
buku pelajaran yang dibuat dengan bahasa dan ilustrasi yang melanggengkan
stereotip peran dan kedudukan perempuan dan laki-laki. Misalnya, ada buku
yang mengajarkan bahwa kegiatan anak perempuan membantu ibu di rumah
setelah pulang sekolah sementara anak laki-laki digambarkan bermain bola.
c. Di tingkat masyarakat, masyarakat sebagai wadah pencetak budaya, nilai,
norma, dan tradisi yang mencerminkan pola relasi antara perempuan dan laki-
laki. Pemaknaan dan pemberian posisi, peran, dan tanggung jawab akan masing-
masing jenis kelamin dan gender dibentuk dalam bahasa masyarakat sesuai
dengan tingkat kepantasan. Masyarakat seolah memiliki kriteria dan hukum
mengenai apa yang pantas, layak dan wajar juga yang tidak layak, tidak pantas
dan di luar kewajaran yang dilakukan oleh lakilaki, juga oleh perempuan.
d. Di tingkat negara/pemerintah, banyak program pemerintah dan kebijakan
Negara yang dibangun dengan konstruksi gender yang stereotip. Misalnya,
Posyandu merupakan program kesehatan anak yang dibangun untuk perempuan,
dengan asumsi perempuan atau ibu merupakan pihak yang bertanggung jawab
pada kondisi kesehatan keluarga (anak). Sementara banyak pelatihan teknis
(seperti bidang pertanian) hanya bisa diakses laki-laki, seolah tidak ada
perempuan yang menggeluti bidang ini. Namun saat ini gencar dikampanyekan
gerakan keterlibatan ayah di kegiatan Posyandu. Hal ini telah berlangsung di
beberapa wilayah Indonesia, meskipun masih sangat terbatas. Perubahan
kebijakan ini tentu melihat kebutuhan bahwa perempuan semakin dituntut untuk
memasuki dunia publik karena juga dibutuhkan pemikirannya, sementara laki-
laki juga perlu peka dan lebih intensif terlibat pada kegiatan yang bersifat
domestik, karena keduanya memiliki nilai yang sama. Termasuk menakar nilai
kegiatan produktif (menghasilkan pendapatan) dan reproduktif. Ini artinya
perspektif kebijakan yang stereotip akan menciptakan program yang sangat
stereotip dan menjadi pembenaran dan pelanggengan. Negara dan pemerintah
menjadi salah satu institusi yang bertanggungjawab pada pola relasi gender pada
masyarakatnya6
6Anisa Siti Aisah, dkk, “Gender Sebagai Konstruksi Sosial”, diakses Jumat 7 april 2022, dalam http:// tangan-
malaikat.blogspot.com/2016/06/makalah-gender-sebagaikonstruksi-sosial.html?m=1.
Secara umum ada dua persoalan yang melatar belakangi hal ini terjadi yaitu,
kultur dan pemaham tentang agama yang merupakan faktor klasik keterbelakangan
perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Dunia perempuan adalah dunia yang
berbeda dengan laki-laki, terlihat dari segi kebutuhan yaitu adanya perbedaan
kebutuhan antara perempuan dan laki-laki, sehingga solusi dari setiap permasalahan
perempuanhanya bisa dijawab oleh perempuan karena laki-laki tidak akan bisa
memahami kebutuhan perempuan. Yang menjadi persoalan adalah kelemahan
perempuan dibidang politik, maka ketika perempuan mampu terjun ke dunia politik
dan mampu menunjukkan prestasinya maka salah satu persoalaan perempuan telah
terjawab. Karena perempuan lebih diposisikan di belakang laki-laki, partisipasi
perempuandalam dunia politik dinilai tidak lebih dari sekedar pemberian hak pilih
atau pemberian suara pada pemilu, hal ini juga lebih kepada peran untuk
berpartisipasi yang di mobilisasi (mobilized participation) daripada partisipasi yang
bersifat otonom (autonomous participation) yang mencerminkan hak politik kaum
perempuan dalam arti yang lebih luas
Kebijakan politik memang sangan diperlukan dalam upaya pemberdayan
perempuan karena melalui keputusan politik, segala aktifitas kehidupan dapat
ditentukan. Sehingga dengan adanya one gate policy atau kebijakan satu pintu yang
digagas Menteri Pemberdayaan Perempuan untuk mengkoordinir kegiatan yang
sensitive gender patut didukung oleh seluruh jajaran eksekutif dalam membuat
kebijakan.
Prospek positif bagi keterwakilan politik perempuan harus diimbangi dengan
tanggung jawab moral baik secara idealisme maupun implementasinya. Semua
tergantung dari seberapa kuat idealisme dan dan konsistensi perjuangan kaum
perempuan dalam panggung politik. Prospek keterwakilan perempuan di
parlemensangat tergantung pada sejumlah korelasi kuat antara system pemilu, partai
politik, mekanisme pencalonan dan elemen teknis pemilu seperti formula penentuan
calon terpilih dan tata cara pemberian suara.
Kebijakan affirmative action yang memberi kemudahan pada perempuan untuk
berpartisipasi lebih luas bagi perempuan sejak tahun 2004, sistem ini memberikan
peluang munculnya wakil-wakil perempuan di parlemen. Aspek-aspek dalam sistem
pemilu perlu diperhatikan untuk melihat peluang keterwakilan perempuan adalah:
batasan daerah pemuli (DAPIL), mekanisme pencalonan, metode pemberian suara,
pormula penetapan calon terpilih. Di tingkat nasional, partisipasi perempuan dalam
politik dijamin sepenuhnyadalam Revisi Undang-Undang Politik. DalamUndang-
undang nomor 2 tahun 2008 tentangPartai Politik tersebut, pembentukan
dankepengurusan partai politik di tingkat pusatharus menyertakan 30% untuk
keterwakilanperempuan (pasal 2 tentang pembentukanpartai politik), serta ketentuan
untukmemperhatikan minimal 30% keterwakilanperempuan dalam kepengurusan di
tingkatpropinsi dan kabupaten/kota (pasal 20). Kemudian dengan adanya putusan
MK yang menganulir pasal 214 UU No.10/2008 dimana penentuan calon tidak lagi
berdasarkan no urut melainkan berdasarkan suara terbanyak dianggap telah
mematisurikan keterwakilan politk perempuan di DPR/DPRD, sebagaimana yang
dimaksud dalam UU No. 10/2008 pasal 56 menyatakan bahwa daftar calon yang
diajukan parpol memuat paling sedikit 30 persen keterwakilan perempuan.7
Sebagai tindak lanjut untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan perlu
dilakukan beberapa hal sebagai berikut:
a. Memperkuat peran partisipasi perempuan dalam dunia politik. Salah satu
peran penting dari manifestasi proses demokratisasi adalah bagaimana peran
partai politik dalam meletakkan dasar- dasar yang fundamental, terutama
peran parpol. Di Indonesia keterlibatan perempuan dalam level manajemen
partai masih sangat rendah dan system ini masih belum dapat dilaksanakan.
b. Secara kualitas keterlibatan perempuan dalam dunia politik harus harus
dengan affirmative action.
Artinya harus ada kuota yang mengharuskan perempuan dilibatkan
dalam aktifitas politik. Dibeberapa Negara dalam proses pemilihan kandidat
untuk anggota parlemen masing- masing partai politik memberikan kuota
7Baswir R. 2009, Kepemimpinan Nasional, Demokratisasi, dan Tantangan Globalisasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
hlm 147
kepada kandidat perempuan. Seperti di Argentina yang memberikan kuota
30%, Brazil 20%, India 33%.8
a. Pengaruh dan masih mengakarnya peran dan pembagian gender antara laki-
laki dan perempuan yang tradisional yang membatasi atau menghambat
partisipasi perempuan dibidang kepemimpinan dan pembuatan kebijakan
atau keputusan.
b. Kendala-kendala kelembagaan (institusional) yang masih kuat atas akses
perempuan terhadap kekuasaan yang tersebar diberbagai kelembagaan sosial
dan politik.
Partisipasi politik perempuan adalah stereotipe gender yang berkaitan
dengan masalah perempuan dan politik, khususunya dalam hal kepemimpinan
politik, dimana stereotipe ini memiliki dua kata gori yakitu
a. Perempuan tidak terlalu pas untuk masuk dalam dunia politik, dan yang
lebih khusus lagi duduk di dalam posisi kepemimpinan politik.
b. Tuntutan yang tinggi bahwa perempuan yang terlibat dalam kekuasaan dan
otoritas harus mampu segalanya.
Secara tradisi yang merupakan hasil konstruksi sosial atau buatan manusia,
ranah publik adalah ranahnya laki-laki dan ranah privat adalah ranahnya
8 Soetjipto A.W. 2011, Politik Harapan (Perjalanan Politik Perempuan Indonesia Pasca Reformasi), Tange rang: PT
Wahana Aksi Kritika. hlm.20
9 ubono N.I. 2013, Perempuan dan Partisipasi Politik , Jakarta Selatan: Yayasan Jurnal Perempuan (YJP). hlm 21.
perempuan. Selama ini pada umumnya diasarkan pada keyakinan bahwa
perempuan mengelola segala hal dalam rumah tangga, misalnya mengurus orang
tua/mertua, suami dan anak-anak. Sehingga kegiatan perempuan di yang bekerja
di luar seperti mencari nafkah baik uang maupun yang lainnya, aktif di dalam
organisasi atau komunitas, atau bahkan di dunia politik, selalu dilihat sebagai
tanggung jawab skunder. Selama semua itu tidak meninggalkan tugas dan
kewajibannya sebagai ibu rumah tangga, istri, anak perempuan yang berada di
ranah privat sehingga aktivitasnya di ranah publik bisa diterima.
C. Kesimpulan
10Misalnya di sini yang dilihat adalah latar belakang pe ndidikannya, kine rja profe sionalnya, atau keaktifannya di
berbagai organisasi baik sosial, politik maupun ekonomi. Belum lagi mereka selalu dilihar model ideal seorang
perempuan, itri dan ibu yang bisa membag waktu, pandai, figur publik tetapi tetap tidak lupa de ngan kodratnya di
ranah domestik.
Peran politik perempuan dalam perspektif gender sangat penting dalam mengatasi
ketidakadilan politik terhadap perempuan. Partisipasi politik perempuan dapat
membawa perubahan positif dalam sistem politik, namun perempuan seringkali
dihadapkan pada tantangan dalam mendapatkan kesempatan yang sama dengan laki-laki
dalam memasuki dunia politik. Artikel ini telah membahas faktor-faktor yang
mempengaruhi partisipasi politik perempuan, dampaknya terhadap perwakilan
perempuan dalam posisi politik, serta strategi dan kebijakan yang dapat memfasilitasi
partisipasi politik perempuan. Dalam rangka mencapai kesetaraan gender dan mengatasi
ketidakadilan politik terhadap perempuan, dibutuhkan kesadaran tentang pentingnya
partisipasi politik perempuan. Perempuan harus diberi kesempatan yang sama dengan
laki-laki untuk memasuki dunia politik, dan peran politik perempuan dalam perspektif
gender harus diakui dan didukung oleh masyarakat dan pemerintah.
N.I., Subono. 2013. “Paper Partisipasi Perempuan Dalam Dunia Politik.” Yayasan
Jurnal Perempuan (YJP). (April):0–6.
Sulaiman, Aimie. 2016. “Memahami Teori Konstruksi Sosial Peter L. Berger.” Society
4(1):15–22. doi: 10.33019/society.v4i1.32.