Anda di halaman 1dari 4

JURNAL P ENYULUHAN

ISSN: 1858-2664 Maret 2006, Vol. 2, No. 1

RESENSI BUKU
MEMPERKECIL KESENJANGAN GENDER MELALUI
KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG)

Judul Buku : Negara dan Perempuan – Reorientasi Kebijakan Publik


Pengarang : Dr. Muhadjir M. Darwin, MPA
Penerbit : Media Wacana Yogyakarta.
Tahun Terbit : 2005
Jumlah halaman : 313

Buku “Negara dan Perempuan – Kebutuhan Agenda Kebijakan yang juga


Reorientasi Kebijakan Publik” merupakan terdiri dari empat bab (bab 8 – bab 11).
hasil refleksi perhatian Penulis -yang Penulis membuka Bagian pertama
ditakdirkan berjenis kelamin laki-laki dalam (“Perempuan Menggapai Keadilan”) dengan
waktu yang panjang, yakni 13 tahun, melalui menunjukkan bahwa baik sebelum maupun
kedekatannya dengan tugas-tugas yang terkait setelah kemerdekaan, memang terdapat bukti
dengan issue (Penulis menggunakan kata kemajuan yang nyata dialami kaum
„isu‟) gender. Pertanyaan besar yang diangkat perempuan. Sejarah menunjukkan adanya
dan dibahas Penulis adalah seberapa „mesra‟ empat perempuan yang pernah menjadi sultan
hubungan antara negara dengan penduduk/ di Aceh. Kita juga mengenal sosok Kartini
warga negara perempuan. Artinya, bagaimana yang memiliki pemikiran sangat revolusioner
perempuan diberi tempat atau mengambil dan visioner yang disalurkan melalui surat-
tempat dan memberi warna dalam kehidupan surat kepada sahabat-sahabat penanya di
bernegara, dan dari sisi sebaliknya, bagaimana Belanda. Setelah masa kemerdekaan pun
negara memosisikan dan memperlakukan tampak ada komitmen negara untuk
perempuan. Ini tercermin dari pikiran dan melibatkan perempuan dalam proses
perilaku para negarawan dan birokrat publik pembangunan. Namun demikian, masih
serta dari kebijakan-kebijakan yang banyak pula bukti menunjukkan bahwa
diproduksinya. Dalam hal ini, panggung perempuan belum sepenuhnya terbebas dari
negara masih didominasi oleh politisi dan diskriminasi, eksploitasi dan kekerasan.
birokrat laki-laki . Konsekuensinya, kebijakan Selanjutnya pada bab 3 dikemukakan
yang dihasilkan dapat berpotensi perjalanan proses perjuangan kesetaraan
meminggirkan perempuan. gender upaya mengatasi ketidakadilan gender
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, tersebut. Dari strategi Perempuan dalam
buku ini disusun menjadi tiga bagian. Bagian Pembangunan (Women in Development/WID)
pertama yang terdiri dari dua bab diberi judul pada akhir dekade 60-an dan sepanjang
Perempuan Menggapai Keadilan. Bagian dekade 70-an, Gender and Development
Kedua berjudul Respon Negara dan (GAD) pada dekade 1980-an hingga Gender
Masyarakat Sipil yang dijabarkan dalam Mainstreaming (GM) pada awal tahun 2000.
empat bab (bab 4 hingga bab 7). Adapun WID merupakan strategi
Bagian Ketiga berjudul Isu-isu Krusial dan pembangunan yang meletakkan perempuan
sebagai aset dan sasaran, bukan sebagai beban
66 Resensi Buku/ Dyah Retna Puspita/ Jurnal Penyuluhan Maret 2006, Vol. 2, No. 1

pembangunan. Hal ini antara lain ditandai PUG. Tujuannya adalah agar terselenggaranya
oleh terintegrasinya perempuan dalam proyek perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,
dan meningkatnya partisipasi perempuan pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan
dalam pembangunan. Dalam strategi ini, program pembangunan nasional yang
konsep kesetaraan gender belum secara berperspektif gender sesuai dengan bidang
menonjol diadopsi. Pendekatan ini juga belum tugas pokok, fungsi dan wewenang masing-
mengarahkan strateginya terhadap struktur masing.
dan kultur sosial yang bias gender. Akan tetapi, dalam pandangan Penulis,
Mengingat pendekatan tersebut komitmen yang ada tersebut belum mampu
ternyata belum banyak membawa perbaikan berperan optimal. Dari aspek kelembagaan,
relasi gender laki-laki dan perempuan yang Penulis melihat bahwa peran Kementerian
lebih setara, pendekatan tersebut dikoreksi Negara Pemberdayaan Perempuan masih
melalui pendekatan GAD (Gender and belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari
Development). Pendekatan ini melihat bahwa rendahnya sense of identity -yakni bagaimana
persoalan mendasar dalam pembangunan seseorang mengkonsepsikan diri yang
adalah adanya hubungan gender yang tidak tercermin melalui perasaan memiliki, puas
adil. Situasi inilah yang menghalangi perataan dan bangga sebagai bagian dari organisasi- di
pembangunan dan partisipasi penuh kaum lingkungan Meneg PP. Sebaliknya, sense of
perempuan. inferiority-lah yang justru terlihat menonjol.
Memperkuat dan mematangkan Dalam hal ini, pihak-pihak eksternal kurang
pendekatan tersebut, pendekatan GM (gender melihat greget kantor tersebut dalam
mainstreaming) bertekad menjadikan gender menjalankan fungsi advokasi, sosialisasi atau
sebagai arus utama (mainstream) pressure politik bagi pengarusutamaan
pembangunan. Sasaran tembaknya adalah gender. Akibatnya, kesenjangan gender masih
kebijakan (negara), aksi (masyarakat) serta terjadi pada banyak bidang.
institusi (negara dan masyarakat). Artinya, Pada bab 6, Penulis menegaskan
melalui penerapan strategi ini diupayakan perlunya keterlibatan masyarakat sipil
agar setiap kebijakan (yang dibuat oleh (termasuk LSM) dalam pemberdayaan
institusi negara) atau setiap aksi (yang perempuan sebagai bagian dari upaya
dilakukan oleh masyarakat, termasuk LSM) membentuk governance (tata pemerintahan)
menjadi sensitif gender atau menjadikan berperspektif gender. Dengan memilih amatan
gender sebagai arus utamanya. di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta)
Selanjutnya, pertanyaan tentang sebagai kota yang memiliki banyak LSM dan
seberapa tinggi komitmen negara dalam sekaligus tempat tinggal Penulis, Penulis
mengatasi kesenjangan gender dicoba dijawab mencoba memetakan LSM-SLM tersebut
Penulis dalam Bagian Kedua buku ini. menurut tingkat orientasi program
Dibentuknya Kementerian Negara pemberdayaan perempuan dan ranah
Pemberdayaan Perempuan (yang diawali kekerasan yang digelutinya. LSM Rifka
dengan Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Annisa misalnya, dikategorikan sebagai LSM
Wanita/Menmud UPW pada tahun 1978) yang orientasi programnya adalah pada issue
memang dapat menjadi bukti adanya perempuan dengan fokus pada kekerasan di
komitmen negara dalam upaya mengurangi ranah domestik. Adapun Yasanti (Yayasan
kesenjangan gender yang ada. Annisa Swasti) misalnya, termasuk LSM yang
Komitmen lainnya adalah Inpres lebih memfokuskan pada pendampingan
(Instruksi Presiden) Nomor 9 Tahun 2000 perempuan korban kekerasan di ranah publik.
tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) Dari kajiannya tersebut, disimpulkan bahwa
dalam Pembangunan Nasional. Melalui LSM (di DIY) telah memberikan
landasan hukum ini, semua instansi dan kontribusinya yang signifikan dalam
lembaga pemerintah dari tingkat pusat sampai pemecahan masalah perempuan.
daerah diinstruksikan untuk melaksanakan
Resensi Buku/ Dyah Retna Puspita/ Jurnal Penyuluhan Maret 2006,Vol. 1, No. 1 67

Pada bab selanjutnya Penulis mencoba Penanganan TKW, prostitusi, aborsi,


mengemukakan bagaimana penerapan masih kurang memperhatikan aspek
pengarusutamaan gender dalam kebijakan perlindungan terhadap perempuan. Keluarnya
penanggulangan kemiskinan yang tertuang UU KDRT juga tidak serta-merta membuat
dalam Strategi Nasional Penanggulangan perempuan terlindungi dari praktek kekerasan
Kemiskinan. Dari aspek perencanaan memang dalam rumah tangga. Hal ini terjadi karena
tampak bahwa konsep kesetaraan gender telah perempuan sendiri belum mempunyai
masuk dalam setiap elemen kebijakan yang kesadaran tinggi untuk memperjuangkan hak-
kemudian dirumuskan dalam rencana-rencana haknya seperti yang diatur dalam UU tersebut.
aksi yang juga cukup responsif gender. Akan Mereka terpenjara oleh ideologi patriarkhi
tetapi, Penulis melihat bahwa pada tataran yang mengharuskan perempuan untuk
implementasi kebijakan, masih banyak mengalah dan menyembunyikan aib keluarga
ditemukan ketidaksesuaian. Masih banyak serta membiarkan kasus tersebut tidak
pula diproduksi kebijakan publik atau aksi di tersentuh oleh hukum. Di samping itu, aparat
lapangan yang buta gender atau tidak penegak hukum seperti polisi, jaksa,
responsif gender. pengacara, dan hakim, banyak yang belum
Menurut Penulis, kelemahan yang mempunyai kesadaran gender yang tinggi,
menyolok dari pemerintah adalah keengganan sehingga keputusan yang diambil acapkali
mereka untuk masuk ke dalam masalah- merugikan perempuan.
masalah perempuan yang sensitif, seperti Sebagai kalimat akhirnya, Penulis
perdagangan perempuan, prostitusi ataupun melemparkan perenungan dan harapannya
aborsi. Terdapat kecenderungan pemerintah tentang terwujudnya kesetaraan gender di
bersikap mendua dalam menyikapi hal ini. negeri ini. Dikatakannya:
Guna memberikan gambaran yang ”Tampaknya, perjuangan ke arah
lebih konkrit tentang issue-issue perempuan kesetaraan dan keadilan gender masih
yang kurang ditanggapi secara serius oleh membutuhkan waktu yang lebih panjang.
pemerintah, pada Bagian Ketiga bukunya, Masa depan terpulang pada kehendak
Penulis mengemukakan contoh kasus di semua anak bangsa, apakah Indonesia
mau dibawa kepada suatu tatanan sosial
bidang kesehatan reproduksi khususnya baru yang lebih adil bagi semua rakyatnya
tentang kehidupan pelacuran di kawasan laki-laki dan perempuan, atau kita
wisata di Kabupaten Banyumas Jawa Tengah membiarkan diri terkurung ke dalam
serta aborsi. Di bidang-bidang ini, perempuan penjara kultur patriarkhi dan sibuk
menjadi sangat terpinggirkan. Tanpa melakukan pembenaran terhadap praktik-
keberanian untuk menyentuh masalah- praktik eksploitasi dan marginalisasi
masalah yang sensitif tersebut, sulit terhadap perempuan di sekitar kita”.
diharapkan tercapainya kesejahteraan
perempuan dan keadilan gender. Menuju Penyuluhan Berperspektif Gender
Sebagaimana telah dikemukakan
Membangun Kultur Ramah Perempuan Penulis, salah satu kendala belum
Dari hasil pengamatan dan terwujudnya kesetaraan gender adalah dari
penelitiannya tersebut, pada akhirnya Penulis sisi perempuan sendiri, di mana masih banyak
menyimpulkan bahwa keluarnya produk- dari mereka yang belum mempunyai
produk kebijakan yang progender tidak serta kesadaran tinggi untuk memperjuangkan hak-
merta mengubah situasi sosial menjadi haknya disebabkan masih terpenjara oleh
sepenuhnya berkeadilan gender. Meskipun ideologi patriarkhi. Akibatnya, mereka belum
sudah ada kebijakan pengarusutamaan gender, dapat mengoptimalkan potensi yang mereka
belum seluruh kebijakan publik dan miliki. Pada gilirannya kondisi ini
implementasinya terbebas dari ketidakadilan menyebabkan Human Development Index
gender. (HDI) Indonesia (yang dilihat dari tingkat
pendidikan, kesehatan dan ekonomi) masih
68 Resensi Buku/ Dyah Retna Puspita/ Jurnal Penyuluhan Maret 2006, Vol. 2, No. 1

rendah, jauh lebih rendah di bawah negara kelamin laki-laki ini semakin menunjukkan
tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia. bahwa kepekaan dan kesadaran gender juga
Meskipun tidak secara eksplisit dapat dimiliki oleh kaum laki-laki. Seseorang
Penulis buku ini menyebutkan perlunya yang sudah sadar gender berarti bahwa bahwa
sebuah proses penyuluhan berperspektif ia sudah menyadari adanya ketidakadilan
gender, akan tetapi dari runtutan yang dialami oleh sesuatu gender tertentu
penuturannya, tampak bahwa salah satu upaya (yang hingga saat ini lebih banyak dialami
menumbuhkan kesadaran dan motivasi diri di kaum perempuan) dan kemudian berusaha
kalangan kaum perempuan adalah melalui ikut menjembatani kesenjangan tersebut.
proses penyuluhan, tepatnya penyuluhan yang Munculnya kesadaran tersebut dituangkannya
berperspektif gender. Artinya, suatu dalam tulisannya sebagai berikut:
penyuluhan yang berorientasi pada upaya Sebagai orang yang terlahir laki-laki,
memberdayakan kaum perempuan dan penulis justru merasa terpanggil untuk ikut
sekaligus menjembatani kesenjangan gender menyuarakan keadilan gender karena yakin
yang ada di banyak bidang. hal tersebut merupakan nilai kemanusiaan
Dengan paradigma tersebut, maka yang universal. Semua manusia, laki-laki dan
seorang penyuluh diharapkan tidak melakukan perempuan, sama-sama berkepentingan
langkah-langkah yang masih buta gender. terhadap tegaknya keadilan gender. Ini sama
Sebagai contoh, dengan fakta bahwa kaum dengan persoalan apartheid yang bukan hanya
perempuan juga terlibat dalam bidang persoalan bagi orang berwarna, tetapi juga
pertanian, maka seorang penyuluh pertanian juga bagi orang kulit putih yang terusik oleh
hendaknya juga memiliki komitmen untuk praktik-praktik ketidakadilan dan
ikut memberdayakan petani perempuan. kesewenang-wenangan kaumnya sendiri
Demikian juga untuk bidang-bidang lainnya. (Dyah Retna Puspita, Kandidat Doktor PPN –
Atas dasar hal tersebut, maka buku ini juga IPB).
perlu dibaca oleh mereka-mereka yang terlibat
dan concern di bidang penyuluhan, termasuk
para pembuat kebijakan dan akademisi.

Kelemahan buku ini adalah asumsi


implisitnya bahwa pembacanya adalah mereka
yang telah paham tentang konsep gender,
kesetaraan gender maupun ideologi patriarki.
Hal ini tampak dari tidak adanya penjelasan
eksplisit tentang konsep tersebut. Akibatnya,
dapat menimbulkan ketidakjelasan ataupun
kesalahmengertian bagi mereka yang belum
begitu memahaminya, mengingat fakta
menunjukkan bahwa meskipun issue gender
sudah mengemuka sejak pertengahan 1980an,
akan tetapi masih banyak masyarakat yang
belum memahami konsep gender ini secara
benar dan mendalam.
Terlepas dari kelemahan kecil yang
dapat ditangkap, buku ini merupakan buku
yang banyak ditunggu dan dibutuhkan
masyarakat, mengingat buku bertopik
kebijakan publik dari perspektif gender masih
sangat langka. Lahirnya buku yang ditulis
oleh seseorang yang ditakdirkan berjenis

Anda mungkin juga menyukai