RESENSI BUKU
MEMPERKECIL KESENJANGAN GENDER MELALUI
KEBIJAKAN PENGARUSUTAMAAN GENDER (PUG)
pembangunan. Hal ini antara lain ditandai PUG. Tujuannya adalah agar terselenggaranya
oleh terintegrasinya perempuan dalam proyek perencanaan, penyusunan, pelaksanaan,
dan meningkatnya partisipasi perempuan pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan
dalam pembangunan. Dalam strategi ini, program pembangunan nasional yang
konsep kesetaraan gender belum secara berperspektif gender sesuai dengan bidang
menonjol diadopsi. Pendekatan ini juga belum tugas pokok, fungsi dan wewenang masing-
mengarahkan strateginya terhadap struktur masing.
dan kultur sosial yang bias gender. Akan tetapi, dalam pandangan Penulis,
Mengingat pendekatan tersebut komitmen yang ada tersebut belum mampu
ternyata belum banyak membawa perbaikan berperan optimal. Dari aspek kelembagaan,
relasi gender laki-laki dan perempuan yang Penulis melihat bahwa peran Kementerian
lebih setara, pendekatan tersebut dikoreksi Negara Pemberdayaan Perempuan masih
melalui pendekatan GAD (Gender and belum optimal. Hal ini dapat dilihat dari
Development). Pendekatan ini melihat bahwa rendahnya sense of identity -yakni bagaimana
persoalan mendasar dalam pembangunan seseorang mengkonsepsikan diri yang
adalah adanya hubungan gender yang tidak tercermin melalui perasaan memiliki, puas
adil. Situasi inilah yang menghalangi perataan dan bangga sebagai bagian dari organisasi- di
pembangunan dan partisipasi penuh kaum lingkungan Meneg PP. Sebaliknya, sense of
perempuan. inferiority-lah yang justru terlihat menonjol.
Memperkuat dan mematangkan Dalam hal ini, pihak-pihak eksternal kurang
pendekatan tersebut, pendekatan GM (gender melihat greget kantor tersebut dalam
mainstreaming) bertekad menjadikan gender menjalankan fungsi advokasi, sosialisasi atau
sebagai arus utama (mainstream) pressure politik bagi pengarusutamaan
pembangunan. Sasaran tembaknya adalah gender. Akibatnya, kesenjangan gender masih
kebijakan (negara), aksi (masyarakat) serta terjadi pada banyak bidang.
institusi (negara dan masyarakat). Artinya, Pada bab 6, Penulis menegaskan
melalui penerapan strategi ini diupayakan perlunya keterlibatan masyarakat sipil
agar setiap kebijakan (yang dibuat oleh (termasuk LSM) dalam pemberdayaan
institusi negara) atau setiap aksi (yang perempuan sebagai bagian dari upaya
dilakukan oleh masyarakat, termasuk LSM) membentuk governance (tata pemerintahan)
menjadi sensitif gender atau menjadikan berperspektif gender. Dengan memilih amatan
gender sebagai arus utamanya. di DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta)
Selanjutnya, pertanyaan tentang sebagai kota yang memiliki banyak LSM dan
seberapa tinggi komitmen negara dalam sekaligus tempat tinggal Penulis, Penulis
mengatasi kesenjangan gender dicoba dijawab mencoba memetakan LSM-SLM tersebut
Penulis dalam Bagian Kedua buku ini. menurut tingkat orientasi program
Dibentuknya Kementerian Negara pemberdayaan perempuan dan ranah
Pemberdayaan Perempuan (yang diawali kekerasan yang digelutinya. LSM Rifka
dengan Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Annisa misalnya, dikategorikan sebagai LSM
Wanita/Menmud UPW pada tahun 1978) yang orientasi programnya adalah pada issue
memang dapat menjadi bukti adanya perempuan dengan fokus pada kekerasan di
komitmen negara dalam upaya mengurangi ranah domestik. Adapun Yasanti (Yayasan
kesenjangan gender yang ada. Annisa Swasti) misalnya, termasuk LSM yang
Komitmen lainnya adalah Inpres lebih memfokuskan pada pendampingan
(Instruksi Presiden) Nomor 9 Tahun 2000 perempuan korban kekerasan di ranah publik.
tentang Pengarusutamaan Gender (PUG) Dari kajiannya tersebut, disimpulkan bahwa
dalam Pembangunan Nasional. Melalui LSM (di DIY) telah memberikan
landasan hukum ini, semua instansi dan kontribusinya yang signifikan dalam
lembaga pemerintah dari tingkat pusat sampai pemecahan masalah perempuan.
daerah diinstruksikan untuk melaksanakan
Resensi Buku/ Dyah Retna Puspita/ Jurnal Penyuluhan Maret 2006,Vol. 1, No. 1 67
rendah, jauh lebih rendah di bawah negara kelamin laki-laki ini semakin menunjukkan
tetangga kita seperti Singapura dan Malaysia. bahwa kepekaan dan kesadaran gender juga
Meskipun tidak secara eksplisit dapat dimiliki oleh kaum laki-laki. Seseorang
Penulis buku ini menyebutkan perlunya yang sudah sadar gender berarti bahwa bahwa
sebuah proses penyuluhan berperspektif ia sudah menyadari adanya ketidakadilan
gender, akan tetapi dari runtutan yang dialami oleh sesuatu gender tertentu
penuturannya, tampak bahwa salah satu upaya (yang hingga saat ini lebih banyak dialami
menumbuhkan kesadaran dan motivasi diri di kaum perempuan) dan kemudian berusaha
kalangan kaum perempuan adalah melalui ikut menjembatani kesenjangan tersebut.
proses penyuluhan, tepatnya penyuluhan yang Munculnya kesadaran tersebut dituangkannya
berperspektif gender. Artinya, suatu dalam tulisannya sebagai berikut:
penyuluhan yang berorientasi pada upaya Sebagai orang yang terlahir laki-laki,
memberdayakan kaum perempuan dan penulis justru merasa terpanggil untuk ikut
sekaligus menjembatani kesenjangan gender menyuarakan keadilan gender karena yakin
yang ada di banyak bidang. hal tersebut merupakan nilai kemanusiaan
Dengan paradigma tersebut, maka yang universal. Semua manusia, laki-laki dan
seorang penyuluh diharapkan tidak melakukan perempuan, sama-sama berkepentingan
langkah-langkah yang masih buta gender. terhadap tegaknya keadilan gender. Ini sama
Sebagai contoh, dengan fakta bahwa kaum dengan persoalan apartheid yang bukan hanya
perempuan juga terlibat dalam bidang persoalan bagi orang berwarna, tetapi juga
pertanian, maka seorang penyuluh pertanian juga bagi orang kulit putih yang terusik oleh
hendaknya juga memiliki komitmen untuk praktik-praktik ketidakadilan dan
ikut memberdayakan petani perempuan. kesewenang-wenangan kaumnya sendiri
Demikian juga untuk bidang-bidang lainnya. (Dyah Retna Puspita, Kandidat Doktor PPN –
Atas dasar hal tersebut, maka buku ini juga IPB).
perlu dibaca oleh mereka-mereka yang terlibat
dan concern di bidang penyuluhan, termasuk
para pembuat kebijakan dan akademisi.