KERANGKA KONSEPTUAL
Soekarno. Pada masa itu, perempuan telah diakui haknya dalam politik, baik hak pilih
dalam pemilihan umum 1955, maupun juga duduk sebagai anggota parlemen.Pada
masa itu juga telah ada UU yang bernuansa keadilan gender, yaitu UU 80/1958.
pekerjaan yang sama. Perempuan dan laki-laki tidak dibedakan dalam sistem
Pada masa Soeharto ada juga kemajuan penting yang dicapai perempuan.
Salah satu kemajuan yang dapat dicatat adalah dijadikannya masalah perempuan
sebagai masalah politik dan adanya kebijakan-kebijakan publik yang secara eksplisit
18
Muhadjir M. Darwin, Negara Dan Perempuan, Reorientasi Kebijakan Publik, (Yogyakarta: Grha
Guru 2005), 71-72
perempuan. Pada Tahun 1978 dibentuk Kantor Menteri Muda Urusan Peranan Wanita
atau lebih dikenal melalui akronim Menmud UPW. Pada tahun 1983 status menteri
muda ini ditingkatkan menjadi Menteri Negara Urusan Peranan Wanita, Keppres No.
25 Tahun 1983 yang mengatur kedudukan, tugas pokok, fungsi dan tata kerja menteri
Negara. Pada Bab I Pasal 1 ayat 8 Keppres tersebut ditegaskan bahwa “Menteri
pembangunan. Untuk pertama kalinya, visi ini dilembagakan melalui GBHN 1978,
dan di dalamnya termuat secara khusus pembahasan mengenai Peranan Wanita dalam
„peran ganda wanita‟. Secara jelas perspektif ini dirumuskan dalam bentuk kebijakan
1) istri dan pendamping suami; 2) pendidik dan pembina generasi muda; 3)ibu
Panca Dharma wanita ini mengakar kuat dalam proses pembangunan semasa
pemerintahan orde baru.20 Prestasi penting pada masa Menmud UPW adalah
19
Ibid.,
20
Ibid, 73.
beberapa Universitas negeri di seluruh Indonesia. Setidaknya ada ada dua manfaat
berdirinya PSW, yaitu sebagai semacam think tank bagi pembuatan kebijakan dan
program yang applicable bagi pmbangunan di pusat maupun daerah tempat PSW itu
berada.21
politik. Kebangkitan kaum perempuan dalam pola kehidupan di era globalisasi telah
Dalam diri perempuan melekat multi peran yang menuntut pula kondisi demokrasi
dalam berbagai bidang kehidupan. Demokrasi itu sendiri telah menjadi istilah yang
yang ideal. Bahkan, mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi
dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi
semua anggotanya, dan bahwa masing-masing anggota harus mempunyai hak yang
21
Ibid, 76.
22
Hendra Nurtjahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta: Bumi Aksara,2006), 1
adalah belum optimal. Hal ini tersirat nyata dari masih kuatnya tradisi sebagian besar
masih diragukan kapaitasnya yang pada akhirnya menjadi kurang dapat diterima oleh
masyarakat secara luas. Kondisi peran perempuan tidak lebih sebagai obyek politik.
Oleh karena itu sikap arif dan keterbukaan dari semua pihak untuk menerima
kenyataan bahwa kaum perempuan sebenarnya adalah merupakan sosok pribadi yang
1. Kepemimpinan Perempuan 23
dan peran perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang diemban oleh
23
Santi Wijaya Hesti Utami dkk, Perempuan Dalam Pusaran Demokrasi, Dari Pintu Otonomi ke
Pemberdayaan (Bantul: IP4 Lappera Indonesia, 2001), 23-25.
peningkatan kualitas dari perempuan perlu mendapat perhatian yang serius. Untuk
menjawab semua itu sebagai tindak lanjutnya adalah perlu peningkatan partisipasi
yang sama sebagai warga Negara. Hal ini perlu dilakukan paling tidak untuk
mencapai suatu keadilan dan keseimbangan. Hal ini dilakukan sebagai upaya
untuk menciptakan wajah baru dalam dunia kita tentunya wajah yang bebas
antara laki-laki dan perempuan bisa memberikan kontribusi dengan porsi yang
sama tanpa ada niat untuk menguasai atau menghegemoni dari pihak laki-laki
dan perasaan minder dari pihak perempuan karena merasa dirinya hanya
menjadi warga Negara kelas dua. Pada akhirnya nanti tidak ditemukan lagi
b. Salah satu jalan yang bisa ditempuh untuk melakukan hal tersebut antara lain
jaminan terbukanya akses dan peluang bagi seluruh elemen masyarakat baik
dibukanya peluang dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk ikut
baiknya, hal ini dilakukan untuk membuktikan bahwa perempuan siap dengan
pemberian peluang tersebut karena selama ini ada suara minor yang
gender tersebut. Hal tersebut terjadi karena banyak dari pihak perempuan
depan harus mampu menunjukkan potensi aktif dan kualitas dalam dirinya
guna membuka mata dunia lain bahwa perempuan mampu dan bisa.
sama sehingga tidak ada yang merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Pada
dasarnya antara laki-laki dan perempuan adalah mitra maka perbaikan relasi
Kepemimpinan atau leadership yang sering kita dengar sebagai sesuatu yang
hanya dimiliki oleh kalangan elit atau kaum laki-laki saja, kini sudah luntur sejalan
perasaan atau tingkah laku orang lain dapat dilakukan oleh kaum perempuan melalui
suatu karya (kepemimpinan yang bersifat tidak langsung) atau kontak pibadi antara
seseorang dengan orang lain secara tatap muka (kepemimpinan yang bersifat
langsung).
intinya adalah bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan
hak-hak yang tidak berbeda. Pasal 7 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas
perlindungan hukum yang sama dan Pasal 21 menentukan bahwa setiap orang berhak
turut serta dalam pemerintahan negerinya sendiri, baik dengan langsung maupun
melalui wakil-wakil yang dipilih secara bebas. Setiap orang diangkat berhak atas
memberikan suara dalam semua pemilihan dengan status yang sama dengan pria
tanpa diskriminasi. Selain itu UU No.39 Tahun 1999 tentang Hak azasi Manusia
24
Ibid, 40-41.
khususnya Pasal 46 seara tegas memberikan jaminan keterwakilan perempuan. Atas
dasar itu semua, kiranya tidak perlu ragu bahwa perempuan pun juga dijamin hak
politiknya. Persoalan tinggal pada perempuan sendiri mau atau tidak memanfaatkan
ini.
politiknya secara terbuka pula. Adanya jaminan mengenai hak politik, memberikan
dampak yang sangat positif bagi pergerakan politik kaum perempuan. Dalam upaya
politik, maka yang perlu untuk dilihat bagaimanakah konteks perempuan dan
perwakilan politik. Hal ini sangat perlu untuk dicermati guna memperhatikan lebih
jalani.
pengambilan keputusan politik. Oleh sebab itu, representasi perempuan dalam politik
supaya pemahaman politik tetap seimbang. Para wakil perempuan bekerja dalam
konteks di mana harapan-harapan tidak hanya sensitif terhadap perbedaan seks dan
gender, tetapi juga terhadap ketidakleluasaan dalam pelbagai arena politik, budaya,
dan proses politik ataupun capaian-capaian nyata yang telah dihasilkan karena
Para pelaku politik perempuan telah mengubah wacana politik. Namun, untuk
melalui siklus-siklus politik secara berurutan. Berangkat pula dari pemikiran bahwa
manusia memiliki hak-hak yang melekat pada dirnya semenjak ia lahir, karena ia
manusia, dan karenanya hak itu tidak dapat dihilangkan atau dinyatakan tidak berlaku
oleh siapapun, termasuk Negara. Hak itu berupa pula hak-hak poliik, bahwa setiap
25
Ibid., 80
1). Force, Strength, vigour (kekuatan), might, energy (tenaga), potency
sesuatu (power to), atau untuk berbuat sesuatu, daripada kekuasaan terhadap
orang lain.26
politik itu sendiri. Keterkaitan antara kedua kelompok pengertian ini harus dilihat
sebagai bahasan dari politik itu sendiri. Penjelasan tentang power dalam pengertian
yang telah dikelompokan ini memberi rujukan kepada power dimaksud. Di dalam
literature feminis, terlihat bahwa kritik pengertian dan analisis terhadap power lebih
menitikberatkan pada power over dibandingkan dengan power to. Oleh kaum feminis
26
Sulistyowati Irianto (ed).,Perempuan dan Hukum, Menuju Hukum yang Berspektif Kesetaraan dan
Keadilan , (Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2006), 352.
kekuasaan sering diasosiasikan dengan oppression (penindasan), baik oleh individu
Bagi mereka yang tertarik pada peran perempuan dalam politik arus utama
dipandang perlu untuk tidak hanya menggunakan arti populer pengertian “politik”
tetapi juga menggunakan dari apa yang bagi kaum feminis merupakan sifat politis.
“Politik terdiri dari person, proses, hubungan, lembaga dan prosedur yang membuat
keputusan-keputusan publik berwibawa.Tidak semua yang disebut politik oleh
banyak orang dimasukkan dalam deskripsi politik, tetapi deskripsi pada hal ini
mempunyai keuntungan yang hampir disetujui setiap orang bahwa yang termasuk di
dalamnya bersifat politis.”27
Bagi kaum feminis, yang bersifat politis meliputi kehidupan pribadi dan
kehidupan privat (domestik), yang didasarkan atas hubungan kekuasaan yang tidak
seimbang di mana kaum laki-laki mempunyai lebih banyak kekuasaan atas kaum
perkembangan itu oleh meningkatnya minat akan apa yang terjadi dalam peningkatan
itu.
27
Joni Lovenduski, Politik Berparas Perempuan., 32.
28
Ibid., 33.
yang menyentuh sejumlah perhatian politis pokok. Dua pengandaian mendasari
peran-peran yang dimainkan oleh kaum perempuan dan laki-laki dalam politik
tergantung tidak hanya pada satu sama lain tetapi juga pada hakikat lembaga-lembaga
feminislah yang mencerahi sifat gender dari perwakilan politik. Sebagaimana yang
dikatakan Lovenduski :
ujian yang baik. Dengan adanya representasi perempuan membuat representasi klaim
29
Lembaga-lembaga politik merupakan organisasi-organisasi, peraturan-peraturan formal dan
informal, proses dan prosedur yang berfungsi untuk menjalankan politik, Ibid., 55.
30
Joni Lovenduski, State Feminism and Political Representation, (New York: Cambridge University
Press,2005), 1.
adalah bahwa para wakil bertindak demi kelompok-kelompok yang mereka wakiki.
Teori perwakilan politik menyebutkan bahwa para wakil mempunyai dorongan untuk
mewakili kepentingan mereka di masa depan meskipun mereka sendiri tidak ambil
bagian dalam kepentingan itu. Dalam perumusan seperti itu pemilihan berfungsi
sebagai sebuah pasar yang sempurna di mana semua permintaan politik dibuka.
Dalam prakteknya, pemilihan tidak berjalan seperti itu. Kebanyakan wakil cenderung
diri dalam masyarakat. Tanpa itu banyak kepentingan akan diabaikan. Selanjutnya
sehingga argument bahwa laki-laki dapat mewakili mereka seutuhnya jarang terjadi.
yang yang mendukung perwakilan yang sama dari perempuan yang muncul dari tiga
“The people representing the group would then be able to refer back to this
process of collective engagement. They would be speaking for their caucus,
organization, or group, and they would be conveying the results of what might
have been a very contested internal debate”.31
kemudian akan dapat merujuk kembali ke proses keterlibatan kolektif. Mereka akan
berbicara untuk organisasi mereka, atau kelompok, dan mereka akan menyampaikan
31
Anne Phillips, The Politics of Presence, ( Oxfort: Oxport University Press, 1995), 61.
hasil apa yang mungkin telah menjadi perdebatan internal yang sangat diperebutkan.
1. Perwakilan Deskriptif
para wakilnya ada atas nama pribadi dan hidup mereka sendiri dalam arti tertentu
yang khas yang lebih besar dari orang-orang yang mereka wakili‟ (Mansbridge 1999).
2. Perwakilan Substantif
wakil. Perwakilan substantif dari suatu kelompok secara paling sederhana dilukiskan
diberikan, kaum feminis mungkin lebih memilih para pendukung isu-isu perempuan,
32
Ibid.,36-45.
apapun jenis kelaminnya, daripada memilih perempuan yang tidak mendukung isu-
dengan sangat hati-hati menyadari bahwa kelas, ras, etnis, seks, kemampuan fisik,
status perkawinan, keibuan, dan agama memecah belah perempuan sekaligus menjadi
proyek untuk mengintegrasikan kaum perempuan ke dalam wacana politik. Ada tiga
a. Argumen Keadilan
tersebut menyatakan bahwa sangatlah tidak adil jika kaum laki-laki memonopoli
mengaburkan inti pokok itu, tetapi argumen-argumen tambahan itu tidak pernah dapat
33
Ibid.,52.
konstitusional, perempuan secara formal mempunyai kewargaan yang sama dengan
b. Argumen Pragmatis
kepantingan khusus yang dapat dimengerti dan diwakili oleh perempuan. Mereka
berpendapat bahwa gambaran parta maskulin bersifat ketinggalan zaman dan tidak
bagi dukungan perempuan yang menyebabkan partai mana pun tidak dapat tinggal
bahwa melalui keterlibatan perempuan, politik akan menjadi lebih konstruktif dan
ramah. Ini tentu saja merupakan klaim etika publik kontroversial, tetapi memiliki
dasar tertentu. Suatu saat ketika publik muak dan tidak percaya kepada rapat-rapat
politik yang penuh permusuhan, ada pendapat bahwa peningkatan kaum perempuan
dapat memberikan pengaruh yang sangat menguntungkam pada lembaga-lembaga
politik.
c. Argumen perbedaan
Argumen pokoknya adalah bahwa perempuan akan membawa gaya dan pendekatan
yang berbeda dalam politik yang akan mengubahnya menjadi lebih baik, suatu
pengaruh yang menguntungkan semua pihak. Suatu cara yang berguna untuk
warga Negara universal, pelaku politik yang terlepas dari teori demokrasi tradisional.
Interaksi hubungan gender dan perbedaan sosial mempunyai pengaruh penting pada
daya dari macam-macam kelompok perempuan dan laki-laki yang menuntut untuk
maka Ruth Lister berpendapat bahwa penyingkiran kaum perempuan dari kewargaan,
sebagian merupakan produk dari kategorisasi esensial kemampuan dan kualitas laki-
laki dan perempuan. Ia menuliskan bahwa individu tanpa tubuh yang secara aktual
laki-laki tetapi secara formal abstrak, yang dulu adalah warga dari teori politik dan
hukum konstitusional yang begitu lama ada hanya karena perbedaan antara kehidupan
publik dan kehidupan privat membuat pemisahan yang tidak dapat diseberangi oleh
kaum perempuan. Kaum perempuan yang telah disingkirkan ke ruang privat menjadi
pendukung yang tidak tampak dari kehidupan publik melalui persediaan perhatian,
reproduksi, dan pekerjaan lain secara gratis. Salah satu akibat dari pemisahan seperti
itu adalah bahwa perempuan tidak muncul dalam kehidupan publik, tanpa
mempertimbangkan apa yang telah dibuat perempuan dalam kehidupan publik. Thus,
forexample, paid work has represented an emancipatory path to citizenship for many
women, providing them with more or less economic independence and access to
Kaum perempuan mendapatkan apa yang telah mereka lakukan diruang publik
yang telah mewakili jalur emansipatoris kewarganegaraan, dan mereka dilihat sebagai
yang kurang kemandirian ekonomi dan akses ke hak kewarga negaraan sosial.
Tubuh tidak mempunyai tempat dalam mayarakat sipil,di mana untuk hadir orang
harus mengatasi kenyataan bertubuhnya sendiri, sesuatu yang dianggap hanya dapat
dilakukan oleh laki-laki tetapi bukan oleh perempuan. Maka pengakuan perempuan
pada kewargaan merupakan pengakuan pada ruang publik dalam pengertian yang
berbeda dari laki-laki karena hal itu berarti bahwa keniscayaan yang tidak tampak
dari peran yang sampai saat itu dimainkan kaum perempuan dalam kehidupan privat
harus diperhitungkan.35
34
Ruth Lister, Gendering Citizenship In Western Europe,(Policy Press, 2007),11.
35
Lovenduski, Perempuan Beraras Politik., 54.
C. PERWAKILAN POLITIK PEREMPUAN DALAM FEMINISASI
POLITIK
Ini disebabkan oleh tatanan perwakilan politik yang berkembang melalui kompromi
dan kesepakatan di mana ide-ide dan hak-hak saling tumpang tindih dan definisi-
definisi asli dikaburkan. Pengaruh yang berbeda-beda dari kedua dasar feminism
memuat akibat bahwa, dalam jumlah yang cukup, kehadiran para wakil perempuan
akan mengubah praktek dan hakikat politik. Di satu pihak, sesuai dengan argumen-
argumen perbedaan para feminis menentang pemisahan antara kehidupan publik dan
privat, sekurang-kurangnya dalam teori, yang merupakan batas antara politik dan
kegiatan-kegiatan lain.36
politik perempuan mengharuskan runtuhnya pemisahan antara yang publik dan yang
sudah ada. Kehadiran yang melibatkan penerimaan akan peraturan permainan yang
36
Ibid., 62.
sudah ada, dituntut bila peraturan yang baru harus dibuat. Kesetaraan diperlukan bila
perbedaan harus dikompensasi dan perbedaan harus diakui bila kesetaraan harus
dicapai.
“Konsepsi gender, baik yang implisit maupun eksplisit, dalam pelbagai sistem
pemikiran itu bukanlah unsur kebetulan, melainkan unsur yang penting, dan
bukan pula unsur yang tidak bermakna. Seluruh analisis bersifat preskriptif
(analisis itu mengemukakan gagasan sistematis tentang bagaimana masyarakat
seharusnya diatur).Namun demikian, gagasan-gagasan itu merasuk, walaupun
secara tidak sempurna, ke dalam konstitusi, sistem hukum, dan lembaga-lembaga
sosial politik lainnya, serta ke dalam budaya popular dalam masyarakat.Dengan
demikian, bisa dikatakan bahwa gagasan-gasan itu bersifat konstitutif”.37
Untuk itu dalam membentuk teori politik feminis, seringkali fenomena sosial
yang berada di luar wilayah kerja Negara dan lembaga politik konvensional harus
dipertimbangkan. “cara hidup” dan “tradisi” merupakan hal yang sangat penting
nilai yang berada di pusat relasi seksual tradisional memiliki arti penting; dan bukan
melakukan sesuatu yang diterima begitu saja. Kaum feminis telah telah memusatkan
perhatian pada posisi perempuan dalam pasar kerja dan property, namun mereka
melihat hal ini terkait dengan posisi perempuan di dalam “dunia domestik”. Elizabeth
pembuatan model dan penelitian empiris mengenai hubungan antar pelbagai peristiwa
37
Stevi Jackson & Jackie Jones (ed)., Pengantar Teori-Teori Feminis Kontemporer (Yogyakarta:
Jalasutra, 1998), 91.
Dalam kaitannya dengan feminisasi politik,38 Lovenduski mengemukakan
kenyataan hidup yang menghiasi semua jenis tatanan lembaga dan budaya. Sehingga
kenyataan ini merupakan salah satu dari sedikit generalisasi yang aman dilakukan
terkait dengan posisi perempuan. Perempuan mengalami tiga rintangan sosial utama
untuk menjadi pelaku politik. Pertama sumber daya yang diperlukan untuk memasuki
politik yang mereka miliki lebih lemah. Kedua, bermacam-macam kekangan gaya
dan kewajiban-kewajiban lain yang menuntut perhatian penuh secara khas dijalankan
oleh perempuan mengurangi waktu mereka untuk kegiatan lain-lain. Ketiga, tugas
mengejar karier politik dan juga merintangi rekruitmen mereka yang tampil ke
depan.39
bagian dari proses, yang juga dipengaruhi oleh pelbagai institusi, yang menjalankan
38
Feminisasi Politik, adalah suatu keadaan ketika perempuan dilibatkan dan diintegrasian dalam
manifestasi mereka di lembaga-lembaga politik dan dalam proses penting tetapi secara luas dianggap
tidak menarik.Bdk, Joni Lovenduski, Politik berparas Perempuan, 32.
39
Op-Cit, 88.
perempuan. Untuk itu maka feminisasi partai-partai politik penting bagi keterwakilan
berkelanjutan dan bersifat mendasar bagi kepercayaan para pemilih dan anggota.
politis dan melanjutkan sikap dan tingkah laku ke masa depan karena mereka
anggota-anggotanya. Namun dalam hal ini partai-partai politik berbeda satu sama lain
dan bervariasi lintas waktu dalam hal bagaimana imbangan faktor-faktor persediaan
seleksi perempuan dapat dijelaskan dengan seksisme institusional. Selain itu menjadi
seorang kandidat merupakan proses yang mahal. Perempuan tidak hanya mempunyai
sumber daya yang lebih sedikit untuk menutup biaya semuanya itu; mereka juga
dunia politik, maka ada faktor-faktor yang timbul dari perempuan itu sendiri dalam
hal ini disebut faktor internal (Nantri, 2004 dalam Sri Wahyuni & Hedwigis., 2009:
203), yang berpengaruh pada rendahnya partisipasi perempuan dalam bidang politik
sebagai berikut :
40
Ibid., 140.
1. Adanya anggapan di kalangan perempuan bahwa politik itu penuh kekerasan
berkecimpung di dalamnya.
4. Perempuan sering kurang percaya diri, sehingga tidak siap mental dan
dalam demokrasi modern merupakan suatu proses di mana ide-ide mengenai keadilan
dijadikan dasar bagi kesamaan politik. Prosesnya tidaklah harus linier dalam jangka
pendek, tetapi dalam jangka tertentu. Menurut Lovenduski secara luas, terdapat tiga
strategi yang ada: retorika tentang kesamaan dan jaminan atau diskriminasi positif
41
Siti Hariti Sastriyan (ed).,Gender and Politics, (PSW-UGM, 2009), 203.
tindakan lain untuk memungkinkan kaum perempuan tampil ke depan. Jaminan-
khusus bagi perempuan dalam daftar pemilihan dan dalam badan-badan perwakilan.
permisif, suka rela atau harus dilakukan dan kebijakan-kebijakan itu dapat
mendapat manfaat dari sistem daftar partai perwakilan proporsional karena pertama,
daftar kandidat yang secara sosial seimbang dengan para pemilih; hal itu menjadikan
sedikit lebih lemah, maka sedikit lebih banyak kekosongan yang dihasilakan. Ketiga,
daftar partai membantu kuota karena memberikan lebih banyak kesempatan untuk
kultural yang pada akhirnya menentukan kuota itu sendiri. Sedangkan pelaksanaan
kuota tergantung kepada pada peraturan-peraturan yang ada dalam diri partai itu
manfaat . Ketika kuota itu sendiri tidak dilaksanakan, maka yang akan terjadi adalah
kuota menjadi jenis lain dari retorika kesetaraan, bagian dari proses tetapi belum
proses perjalanan dari pergerakan politik perempuan yang sudah sejak lama
dalam berpolitik adalah sebuah hasil yang memberikan kesempatan politik bagi
dalam bidang politik dalam persfektif hukum dan politik. Bagian ini tentunya akan
di Indonesia.
42
Lovenduski,Perempuan Berparas Politik., 167-180.
43
Apa itu kuota? Kuota politik adalah peraturan bahwa jumlah atau perbandingan tertentu dari
perempuan harus ada dalam forum atau lembaga perwakilan. Kuota berlaku pada berbagai tahap dari
proses seleksi, dengan partai-partai politik, pada tahap nominasi, atau sebagai suatu persyaratan bagi
susunan suatu lembaga pembuat undang-undang majelis perwakilan, dewan atau pemerintahan. Jenis-
jenis utama kuota adalah kursi yang dikhususkan, kuota legal dan kuota yang ditentukan dalam
peraturan partai.Kuota-kuota itu berwujud persyaratan-persyaratan untuk mencalonkan sekurang-
kurangnya jumlah minimum perempuan untuk jabatan yang dipilih.
D. PEREMPUAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN POLITIK
Tahun 2008 diawali dengan sebuah sejarah yang baru dalam keputusan
Partai Politik; Ketentuan Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga;
Salah satu hal mendasar dalam UU No 2 Tahun 2008, adalah syarat menjadi
badan hukum atas suatu partai politik. Disyaratkan bahwa untuk menjadi suatu badan
hukum, parpol harus memiliki kepengurusan, sedikitnya 60% dari jumlah propinsi,
50% dari jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan. Sementara
2008 lebih diperketat, yakni sedikitnya memiliki 60% dari umlah propinsi. Pada UU
44
Astrid Anugrah, Keterwakilan Perempuan Dalam Politik.,21-24
No 31 Tahun 2002, hanya disyaratkan sedikitnya memiliki 50% dari jumlah provinsi.
Untuk kepengurusan pada jumlah kabupaten/kota dan kecamatan, hal demikian tdak
hukum dari suatu partai politik, harus memiliki kepengurusan paling sedikit 50% dari
jumlah kabupaten/kota pada setiap propinsi yang bersangkutan, dan 25% dari jumlah
dilakukan dengan keputusan Mentri Hukum dan HAM, paling lama 15 hari sejak
Tahun 2002, karena UU selama ini menentukan pengesahan parpol sebagai badan
perempuan dalam suatu parpol. Begitu pula dengan jumlah kepengurusan perempuan
sedikitnya 30% di tingkat propinsi dan kabupaten/kota. Hal ini harus dinyatakan
mampu mengeksistensikan setiap partai politik menjadi parpol yang tangguh. Lebih
mampu menjadi agen pembaruan sosial dan kehidupan politik yang sehat, baik secara
internal maupun dalam peran eksternalnya di tengah bangsa Indonesia yang sedang
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan
tahun 2003 sebelumnya juga telah mengalami perubahan sebagaimana telah diubah
Tahun 2008 diatur berbagai hal mengenai Pemilu. Antara lain, mengenai asas,
Pemilu; kemudian mengenai peraturan hak-hak untuk memilih. Kemudian diatur pula
dalam UU No 10 Tahun 2008 ini mengenai jumlah kursi dan daerah pemilihan
45
Ibid., 53-60
keterwakilan politik perempuan dikaitkan dengan Affirmtive Actions, sebagai
penetapan hasil pemilu. Selanjutnya mengenai penetapan perolehan kursi dan calon
terpilih. Hal ini diatur mengenai pemungutan suara ulang dan penghitungan suara
ulang; begitu pula mengenai kemungkinan pemilu lanjutan dan pemilu susulan.
Selain itu diatur pula dalam, undang-undang ini mengenai pemantauan Pemilu.
10 Tahun 2008 merupakan tindak lanjut dari sistem politik mengenai keterwakilan
ini sangat penring artinya bagi realisasi politik keterwakilan perempuan (feminisasi
tidak diwujudkan dalam fase selanjutnya secara eksternal dalam bentuk pencalonan
bisa mengikuti atau menjadi peserta pemilu, haruslah memenuhi persyaratan, antara
persyaratan keterwakilan perempuan oleh setiap partai, tidak akan diterima sebagai
tahun 2008, dapat dilihat pada pasal 53 sampai pasal 58 UU No 10 Tahun 2008. Pasal
53 mengatakan bahwa:
“Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 memuat paling sedikit
30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan”.
Pasal 52 mengatur hal penyusunan bakal calon legislatif (caleg). Pasal 52 ini
menentukan bahwa bakal caleg disusun dalam daftar bakal calon oleh parpol masing-
masing (ayat 1): bakal caleg anggota DPRD ditetapkan oleh pengurus partaipolitik
peserta pemilu tingkat pusat: bakal caleg anggota DPRD provinsi ditetapakan oleh
pengurus Partai Politik Peserta Pemilu tingkat provinsi; dan bakal caleg anggota
DPRD kabupaten/kota ditetapkan oleh pengurus Partai politik Pesera Pemilu tingkat
“Di dalam daftar bakal calon sebagaimana imaksud pada ayat (1), setiap 3 (tiga) orang
bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1(satu) orang perempuan bakal calon”.
seperti disebutkan di atas, dilakukan melalui sistem Zipper System atau zig-zag.
tentunya dimulai dari nomor urut terkecil hingga nomor urut besar.
Apa yang disebut Affirmative Action, telah dituangkan pada Pasal 53 sampai
kaum perempuan dalam penentuan calon legislatif. Pasal 53s/d58 juga merupakan
aplikasi secara nyata dari jiwa UU No 10 Tahun 2008 yang tidak bias gender,
terkadang disebut pula diskriminasi positif . Disebut diskriminasi positif, karena demi
politik tersebut seakan menjadi tidak tampak, namun kebijakan khusus demikian