Anda di halaman 1dari 8

POLITIK GENDER: KETERWAKILAN PEREMPUAN

DALAM KABINET INDONESIA MAJU

Disusun untuk memenuhi nilai mata kuliah Politik Identitas dan Pluralisme
Oleh:
Guruh Saputra 205120501111020
Shafry Saputra Nawawi 205120501111016

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK


PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokratis dalam
kehidupan berpolitik dan bernegara, sudah seyogyanya melaksanakan pemilihan
baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah dalam mewujudkan kedaulatan
rakyat yang mampu menjalankan amanah sebaik-baiknya demi kebajikan
bersama.
Pada tahun 2018, survei kependudukan yang dilakukan oleh Badan Pusat
Statistik menunjukan bahwa jumlah penduduk di Indonesia sekitar 246,16 juta
jiwa dengan 132,68 juta jiwa merupakan laki-laki dan 131,48 juta jiwa
merupakan perempuan.1
Tentu dengan jumlah perempuan dan laki-laki yang hampir setara,
seharusnya tingkat keterwakilan perempuan dan laki-laki dalam perpolitikan itu
setara baik dalam tatanan legislatif dan eksekutif. Namun rendahnya angka
keterwakilan perempuan di parlemen sedikit banyak berpengaruh terhadap isu
kebijakan terkait kesetaraan gender dan belum mampu merespon masalah utama
yang dihadapi oleh perempuan.2 Hal inilah yang menarik kami untuk membahas
mengenai Politik Gender: Keterwakilan Perempuan Dalam Kabinet
Indonesia Maju.
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Apa yang melatarbelakangi politik gender?
1.2.2 Bagaimana peran perempuan dalam dalam kancah perpolitikan di
Indonesia?
1.3 Tujuan Dan Manfaat
Tujuan yang ingin diraih oleh penulis adalah bagaimana tingkat keterwakilan
perempuan dalam Kabinet Indonesia Maju. Serta manfaat yang ingin diraih oleh
penulis adalah makalah ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pengetahuan
mengenai bagaimana tingkat keterwakilan perempuan dalam Kabinet Indonesia
Maju.

1
Badan Pusat Statistik. 2019. Perempuan dan Laki-Laki di Indonesia 2018. Hlm. 5
2
Kemnko PMK. 2021. Partisipasi Politik Perempuan di Indonesia Penting bagi Kemajuan Bangsa
https://www.kemenkopmk.go.id/partisipasi-politik-perempuan-di-indonesia-penting-bagi-kemajuan-
bangsa diakses pada 16 November 2021 pukul 08.24 WIB
BAB II
KAJIAN TEORITIS
2.1 Gender
Gender merupakan hasil dari konstruksi sosial pada suatu negara yang
sedikit banyaknya dipengaruhi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik budaya,
maupun lingkungan etnis.3 Gender tidak sama dengan jenis kelamin, letak
perbedaan antara gender dan jenis kelamin dapat dilihat melalui tabel berikut.

Tabel 2.1 Perbedaan Gender dan Jenis Kelamin

Sumber: Hasanah dan Mulsyafak. 2017. GENDER AND POLITICS: Keterlibatan Perempuan
dalam Pembangunan Politik. Jurnal Sawwa. Vol, 12. No.13. hlm. 414-415

Istilah gender pertama kali dikemukakan oleh Robert Hellen di mana ia


memisahkan fitur manusia berdasarkanpada definisi sosial budaya dan manusia

3
Rasyidin dan Fidhia Arumi. 2016. GENDER DAN POLITIK, Keterwakilan Wanita Dalam Politik.
Lhokseumawe: Unimal Press. Hlm. 7
yang bertakrif pada karakteristik fisik biologis.4 Senada dengan Robert Hellen,
Ann Oakley mendefinisikan gender sebagai konstruksi sosial atau karakter yang
dipergunakan pada manusia untuk dibangun oleh kebudayaan manusia itu
sendiri.5
2.2 Partisipasi Politik
Partisipasi menjadi salah satu peranan penting dalam sebuah negara yang
menganut sistem demokrasi. Pembahasan mengenai partisipasi politik, Ramlan
Surbakti dalam bukunya6 memberikan batasan-batasan pembahasan mengenai
partisipasi politik. Pertama, Partisipasi politik dipahami dalam bentuk aktivitas
atau perilaku eksternal yang dapat diamati dari warga negara biasa, bukan
perilaku internal yang berupa sikap dan orientasi. Kedua, Kegiatan tersebut
bertujuan untuk mempengaruhi pemerintah sebagai pengambil keputusan dan
pelaksana keputusan politik. Ketiga, Kegiatan yang berhasil dalam artian efektif
dan yang tidak berhasil memengaruhi pemerintah tetap termasuk ke dalam
konsep politik.
Secara garis besar, partisipasi politik memiliki definisi sebagai kegiatan
seseorang atau sekelompok orang untuk secara aktif berpartisipasi dalam
kehidupan politik, termasuk dengan memilih kepala negara yang berimplikasi
secara langsung atau tidak langsung terhadap kebijakan pemerintah7
Herbert McClosky mendefinisikan partisipasi politik sebagai8
“Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari warga
masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses
pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung, dalam
proses pembentukan kebijakan umum.”

Dalam hubungannya dengan negara-negara baru, Samuel P. Hatington dan


Joan M. Nelson menafsirkan partisipasi politik jauh lebih luas. Hal ini
dikarenakan mereka memasukan kekerasan dan tindakan ilegal secara eksplisit:9
“Partisipasi politik adalah kegiatan warga yang bertindak sebagai
pribadi-pribadi, yang dimaksud untuk memengaruhi pembuatan

4
Rasyidin dalam Ibid, hlm. 7.
5
Ibid
6
Ramlan Surbakti. 2010. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia. hlm.
180-181
7
Miriam Budiardjo. 2007. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.hlm. 367
8
Ibid
9
Ibid. hlm. 368
keputusan oleh pemerintah. Partisipasi bisa bersifat individual atau
kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau sporadis, secara
damai atau dengan kekerasan, legal atau ilegal, efektif atau tidak
efektif.”

Sehingga partisipasi politik erat kaitannya dengan kesadaran politik, karena


semakin sadar ia diperintahkan, semakin banyak rakyat menuntut suara dalam
penyelenggaraan pemerintahan.
2.3 Politik Gender
Politik gender merupakan sebuah kebijakan yang lebih cenderung mengarah
pengakomodasian partisipasi politik yang sejalan dengan kaum perempuan. 10 Di
mana kaum perempuan menjadi objek sentral sebagai praktisi dalam kebijakan
baik di bidang plitik maupun dalam bidang lain yang sejenis. Politik gender tidak
hanya melakukan analisa mengenai pemberdayaan gender melainkan politik
gender juga menganalisa gender dan diskriminasi serta dengan tidak
menyangkalnya gender dalam seluruh aspek kegiatan masyarakat.

10
Rasyidin dan Fidhia Arumi. Loc Cit, hlm. 49.
BAB III
ISI
3.1 Politik Gender dan Sejarah yang Melatarbelakanginya
Lahirnya politik gender tidak terlepas dari adanya gerakan feminisme.
Gerakan feminisme juga dilatarbelakangi oleh ketimpangan gender yang
merupakan sub ordinat dari adanya marginalisasi gender. Marginalisasi tentunya
akan berdampak terhadap terhambatnya seseorang mendapatkan akses
informasi.11
Sub ordinasi ini timbul akibat pandangan terhadap kaum perempuan pada
posisi yang tidak menguntungkan atau tidak penting sehingga menimbulkan
pandangan bahwa laki-laki merupakan superior dan perempuan sebagai inferior.
Pandangan inferior terhadap perempuan karena perempuan dianggap tidak
rasional, emosional dan lemah lembut yang berimplikasi terhadap perempuan
yang dinilai kurang pantas dalam tampil sebagai pemimpin. 12 Sub Ordinasi ini
juga menghasilkan stereotip terhadap perempuan juga tumbuh sehingga
menimbulkan sikap-sikap yang besifat diskriminatif dan ketidakadilan.
Manifestasi ketidakadilan gender dari apa yang telah dipaparkan di atas telah
mengakar dalam kehidupan di masyarakat, mulai dari keyakinan masing-masing
individu, keluarga, masyarakat, bahkan eskalasi negara yang bersifat global.13
Dalam menanggapi ketidakadilan gender ini, lahirlah dua paradigma, yaitu
Women in Development (WID) dan Gender and Development. WID memiliki
konsepan memberikan kesempatan kepada kaum perempuan untuk berpartisipasi
aktif dalam pembangunan.14 WID lahir menanggapi dari kegagalan teori
Developmentalist untuk menutup disparitas antara kaum laki-laki dan kaum
perempuan.
Gender and Development merupakan transformasi paradigma WID yang
meletakkan kesetaraan antara kaum laki-laki dan perempuan. GAD sendiri saat
ini menjadi poros mainstream yang diterapkan di dunia.
Paradigma WID dan GAD melahirkan gerakan feminisme yang lahir pada
tahun 1837 oleh Charles Fourier di Eropa. Gerakan ini dengan cepat bermigrasi
ke daratan Amerika serta tumbuh dan berkembang pasca publikasi John Stuart
Mill yang berjudul (The Subjection of Women) pada tahun 1896. Charles Fourier
11
Ibid, hlm. 12
12
Ibid
13
Ibid, hlm. 13
14
Ibid, hlm. 16
dan John Stuart Mill menjadi penanda dari lahirnya gerakan feminisme
gelombang pertama.
Gelombang kedua gerakan feminisme lahir pada tahun 1960 yang ditandai
dengan diikutsertakannya perempuan dalam mendapatkan hak pilih dan ikut serta
dalam politik kenegaraan dengan diikutsertakannya perempuan dalam hak suara
parlemen.15
Gelombang ketiga gerakan feminis lahir dalam rangka mengevaluasi
peranan sosial laki-laki dan perempuan agar dapat hidup secara berdampingan
secara damai.16
3.2 Ketidakadilan Gender di Indonesia
Ketidakadilan gender tentunya juga dirasakan oleh masyarakat di Indonesia.
Secara garis besar ketidakadilan gender di Indonesia sama dengan ketidakadilan
yang terjadi di dunia. Seperti halnya stereotip dan aksesibilitas perempuan dalam
meraih hak yang setara dengan laki-laki.
Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Pengasuhan, Keluarga, dan
Lingkungan di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan,
Rohika Kurniadi Sari menuturkan kesetaraan antara perempuan dan lelaki masih
menjadi pekerjaan rumah untuk diselesaikan.17
Pekerjaan rumah yang sangat besar ini berdasarkan target pemerintah
Indonesia yang menetapkan
3.3 Keterwakilan Gender dalam Aktivitas Politik di Indonesia

15
Ibid, hlm. 27
16
Ibid, hlm. 48
17
Fathiyah Wardah. 2020. Ketidaksetaraan Gender Masih Tinggi di Indonesia. VOA Indonesia
https://www.voaindonesia.com/a/ketidaksetaraan-gender-masih-tinggi-di-indonesia-/5316082.html
diakses pada 17 November 2021 pukul 17.53 WIB.
BAB IV
KESIMPULAN DAN PENUTUP

Anda mungkin juga menyukai