Anda di halaman 1dari 5

POSISI PEREMPUAN DALAM PANDANGAN SOSIOLOGI DAN POLITIK

Oleh :

Kezia Jeremia Puteri Simarmata

220906046

I. PENDAHULUAN
a. Latar Belakang

Dalam pandangan sosiologi, kemajuan jaman telah banyak mengubah pandangan


tentang perempuan yang mengakibatkan perempuan sering menjadi sorotan tersendiri di
dalam masyarakat. Perempuan-perempuan Indonesia telah mengalami berbagai macam
kesenjangan gender yang dimulai dari gerakan untuk menolak perempuan sebagai pemimpin.
Mereka dibatasi hanya untuk bergerak di bidang rumah tangga, sehingga ada muncul istilah
masak, manak, macak. Yang memiliki arti yaitu memasak, menjaga anak, dan berdandan
untuk terus terlihat cantik di depan pasangannya

Perempuan sangat lekat kaitannya dengan tindak diskriminasi, tersebut tak dapat
dihindari karena adanya subordinasi yang masih melekat pada perempuan. Dengan demikian
terjadilah ketimpangan gender antara perempuan dengan laki-laki. Peraturan-peraturan yang
berlaku di Indonesia mengenai kesetaraan hak antara laki-laki dengan perempuan tidaklah
dapat menjamin penghapusan diskriminasi pada perempuan. Banyak tindak diskriminasi yang
dirasakan oleh perempuan mengatas namakan agama dan etnik. Kedudukan kaum perempuan
dalam kehidupan sosial diatur oleh tradisi, hak dan kewajiban kaum perempuan lebih rendah
dibandingkan dengan kaum laki-laki.

Budaya patriarki yang melekat pada masyarakat menjadikan laki-laki menjadi pihak
yang lebih mulia pihak perempuan. Posisi perempuan dalam tatanan kehidupan ditempatkan
sebagai manusia kedua atau the second human being membuat timbulnya Batasan pergerakan
perempuan. Hal ini mengakibatkan perempuan sulit untuk sekedar bersuara untuk
memberikan pendapat dan meminta pemenuhan haknya.

Dalam ranah politik, rendahnya partisipasi perempuan dalam lembaga politik


mengakibatkan berbagai kepentingan perempuan kurang terakomodasi dalam sejumlah
keputusan politik. Hal ini dikarenakan, sejumlah keputusan politik yang dibuat cenderung
bersifat maskulin dan kurang berspektif gender, sementara Sebagian besar keputusan politik
yang dibuat selalu melibatkan perempuan sebagai sasarannya.
Keterwakilan perempuan di dalam kursi parlemen tidak dapat diabaikan. Keterikatan
hubungan juga karakteristik perempuan berdasarkan jenis kelaminnya menjadi hal yang
penting dalam proses penyampaian aspirasi perempuan untuk membuat kebijakan negara di
parlemen. Keterlibatan perempuan dalam bidang politik sebagai agen perwakilan rakyat
harus dapat diwujudkan dengan baik.

b. Teori dan Konsep

Susan Wendell dalam tulisannya The Social Construction of Dissability menunjukan


bahwa dalam kasus "Ableism", yaitu tindakan diskriminasi terhadapa mereka yang cacat
metal dan fisik erjadi karena fakto -faktor sosial- diskontruksikan secara sosial. Dalam
hampir semua tindakan diskriminasi, mengambil pola dari pijakan awalnya bentuk-bentuk
mitos, otherness, dan cara berfikir dikotomik. Hal ini pulalah yang terjadi dalam bentuk
diskriminasi terhadap perempuan.

Dalam tatanan itu, menurut Simone de Beauvoir (2003:IX), perempuan ditempat kan
sebagai the second human being (manusia kelas dua), yang berada di bawah superioritas laki-
laki. Perempuan selalu dianggap bukan makhluk penting, melainkan sekedar pelengkap yang
diciptakan dari dan untuk kepentingan laki-laki. Akibat yang paling jelas dari situasi sosial
seperti di atas adalah terjadinya diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi terhadap
perempuan diterjemahkan sebagai segala bentuk pembedaan, pengecualian, atau pembatasan
yang diberlakukan atas dasar jenis kelamin yang bertujuan mengurangi atau menghapus kan
pengakuan atas penikmatan atau pelaksanaan oleh perempuan tanpa mempertimbangkan
status mereka, hak asasi mereka, dan kemerdekaan mereka dalam sektor politik, ekonomi,
sosial, budaya, hukum, dan lain-lain (JP, 2006: 150).

Dalam pandangan politik, wanita dan laki-laki mempunyai tempatnya masing-masing


dalam kehidupan bermasyarakat. Dan kedua jenis manusia tersebut dapat menempati
tempatnya masing-masing tanpa menjadi kurang hak-sama, karena pikiran dan kecerdasan
yang menentukan nilai yang sama antara laki-laki dan wanita ( Nilakusuma 1960:151-152 ).
Hal ini turut tertuang dalam UUD NKRI Tahun 1945 Pasal 27 yang mengatakan bahwa
semua warga negara mempunyai kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.

Sejak tahun 1995 hingga kini, keterwakilan perempuan di dalam kursi politik
khususnya DPR yang tertinggi baru mencapai 21% yakni pada pemilihan 2019-2024.
Rendahnya angka keterwakilan perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat menandakan
bahwa posisi perempuan yang lemah dalam setiap proses pengambilan keputusan. Padahal,
jika dilihat dari angka kependudukan Indonesia, aspirasi perempuan Indonesia tentunya tidak
dapat dipandang sebelah mata.

Rendahnya angka keterwakilan perempuan dalam lembaga perwakilan rakyat


menandakan bahwa posisi perempuan lemah dalam setiap proses pengambilan keputusan. Di
negara berkembang, tingkat partisipasi politik kaum perempuan jauh lebih rendah
dibandingkan laki-laki. Hal ini disebabkan karena kaum perempuan lebih banyak memilih
untuk terlibat dalam urusan rumah tangga daripada urusan politik (Muawanah, 2009:157).

Keterlibatan perempuan di dalam dunia politik bisa dikatakan lambat. Ini dikarenakan
banyaknya stigma yang mengatakan bahwa perempuan identik dengan sektor domestik
sehingga masih sedikit perempuan yang turut andil dalam dunia politik. Sementara dunia
politik sendiri dianggap lekat dengan dunia yang keras, penuh persaingan, membutuhkan
rasionalitas dan bukan emosi, dan semua ini dianggap ciri-ciri yang hanya melekat pada laki-
laki.

Persepsi yang melekat pada perempuan yang dianggap sebagai manusia kedua setelah
laki-laki menimbulkan asupan pemikiran bahwa perempuan tidak sepatutnya bergelut dalam
dunia politik yang penuh dengan dialetika kekuasaan. Perempuan dinilai tidak mampu
memimpin dengan tegas karena patron yang membentuk perempuan sebagai makhluk
berperasaan, yang artinya perempuan tidak dapat meberikan keputusan Ketika menggunakan
sisi perasaan dalam menilai sebuah keputusan (Putra, 2012:99).

II. ISI DAN PEMBAHASAN

Menurut pandangan sosiologi, diskriminasi menjadi suatu hal yang biasa dijumpai
dalam masyarakat dan bertumpu pada kecenderungan manusia untuk membeda-bedakan
manusia. Diskriminasi dianggap sebagai sesuatu yang tidak adil berdasarkan prinsip "setiap
manusia harus diberi hak dan peluang yang sama" (equal opportunity). Diskriminasi dapat
diartikan sebagai sebuah perlakuan terhadap individu secara berbeda dengan didasarkan pada
gender, ras, agama, umur, atau karakteristik yang lain.

Pergerakan mengenai perempuan di Indonesia semakin berkembang karena belum


puasnya perempuan atas kondisi sosial yang masih memiliki ketimpangan gender. Gerakan
perempuan berkembang dan dipengaruhi oleh aliran ferhism. Banyak penulis yang mengkaji
tentang gerakan perempuan dan aliran feminism, salah satunya adalah Muhadjir Darwin yang
mengkaji gerakan permpuan kedalam jurnalnya yang berjudul "Gerakan Perempuan di
Indonesia dari Masa ke Masa".

Dalam ranah politik, perempuan Indonesia saat ini dapat digambarkan sebagai
manusia yang hidup dalam situasi yang dilematis. Di satu sisi perempuan dituntut untuk
berperan di banyak sektor, di sisi lain muncul tuntutan agar perempuan tidak melupakan
kodratnya. Situasi ini banyak dihadapi oleh perempuan Indonesia yang berkarir. Perempuan
karir merasa terpanggil untuk mendarmabaktikan bakat juga keahliannya bagi perkembangan
bangsa dan negara. Akan tetapi, disamping itu perempuan sering dihantui oleh opini yang ada
dalam masyarakat bahwa perempuan juga harus mengabdi kepada keluarga.

Reformasi politik yang ada di Indonesia sebenarnya banyak memberikan harapan


besar bagi perempuan yang selama ini hak berpolitiknya masih belum bebas. Gerakan banyak
muncul dengan berbagai usaha pemberdayaan hak bagi perempuan khususnya hak politik
yang destruktif. Namun pada era reformasi ini tidak dapat menghilangkan apatisme dan
ketidak berdayaan perempuan yang selama puluhan tahun dijebloskan oleh sistem politik
hegemonik dan represif. Padahal dalam peta demografis menunjukkan jumlah perempuan
lebih banyak daripada laki-laki. Namun, keterwakilan perempuan dalam proses politik itu
yang tidak menjamin perempuan secara signifikan.

Pemerintah Indonesia sudah menjamin kesetaraan gender dengan diterbitkannya


pranata hukum Konvensi CEDAW dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang
Pengesahan Konvensi PBB Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap
Wanita. Lalu terbitnya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarustamaan
Gender (PUG) dalam Pembangunan Nasional. Ada juga tindakan afirmatif pemerintah dalam
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum dimana pemerintah
memastikan setidaknya harus ada 30% perempuan yang didaftarkan untuk menjadi calon
anggota legislatif. Hal ini dilakukan untuk menangani masalah kekurangan keterwakilan
perempuan di bidang politik.

Di Indonesia salah satu tokoh perempuan yang memiliki peran penting dalam
keikutsertaan berpolitik ialah Megawati Soekarnoputri. Beliau merupakan presiden Indonesia
kelima Yang menjabat sejak 23 Juli 2001 hingga 20 Oktober 2004. Karelia dalam berpolitik
dimulai pada tahun 1986 di mana beliau menjabat sebagai Wakil Ketua Partai Demokrasi
Indonesia di cabang Jakarta Pusat.
III. KESIMPULAN

Tuntutan persamaan hak wanita dalam berbagai bidang kehidupan sudah merupakan
agenda di zaman sekarang ini. Prestasi dan keterampilan yang ditunjukkan kaum wanita
selama ini sudah memunculkan anggapan bahwa antara wanita dan laki-laki tidak banyak
terdapat perbedaan. Prestasi dan keterampilannya tersebut dapat dilihat dari kepemimpinan
dan peranan wanita dalam kehidupan politik di negara kita.

Kekuatan berupa ketegaran, ketegasan, dan ketepatan dalam mengambil keputusan


merupakan ciri yang dimiliki wanita sekaligus menjadi syarat bagi kepemimpinannya. Beban
dan tangung jawab seorang wanita pemimpin lebih besar dari tanggung jawab laki-laki.
dimana wanita berperan ganda yang juga memiliki tanggung jawab baik sebagai ibu dalam
rumah tangga maupun tanggung jawab kewanitaan lainnya. Kesejajaran antara wanita dengan
laki-laki merupakan suatu usaha yang tidak sia-sia apabila wanita berusaha sesuai dengan
kemampuannya, untuk dapat bersaing dengan kaum laki-laki sesuai dengan sifat
kewanitaannya.

Diskriminasi yang dirasakan oleh perempuan merupakan implikasi dari ketimpangan


gender yang mereka alami. Meskipun di Indonesia memiliki hukum yang dapat menjamin
penegakan hak-hak perempuan, namun perempuan masih saja menjadi objek dari
diskriminasi. Peraturan yang dibuat oleh pemerintah bak pisau bermata dua yang dapat
melukai mereka dari segala sisi.

Dengan adanya sosok-sosok pemimpin perempuan menunjukkan bahwa sosok


pemimpin perempuan tersebut berhasil memperjuangkan hasrat kesetaraan gender. Hal ini
tentunya membawa dampak positif terhadap perempuan-perempuan lainnya untuk juga
memotivasi diri agar juga dapat meraih pekerjaan yang lebih baik dan setara dengan laki-laki.
Namun di Indonesia saat ini hasil besar dari perjuangan kesetaraan gender belum terlalu
banyak terlihat meskipun sudah banyak juga yang merintisnya.

Anda mungkin juga menyukai