Anda di halaman 1dari 5

KETIDAK ADILAN GENDER DAN CONTOH KASUSNYA

by Alifia mahfudhoh • Desember 3, 2017 • 0 Comments

Selamat sore sahabat blogger, kali ini saya kan membagikan materi tugas kata
kuliah Sosiologi Gender tentang Ketidak Adilan Gender.

Sehingga dalam tugas ini dapat bermanfaat bagi kita semua dan untuk
menambah pengetahuan kita semua.

“ KETIDAK ADILAN GENDER”

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan
dan laki-laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban
ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun
laki-laki. Terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan tidak
adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian
mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari
pembangunan.

Permasalahan Ketidakadilan Gender

Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan


ketidak setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat
terlihat dari gambaran kondisi perempuan di Indonesia. Sesungguhnya
perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan posisi tidak menjadi
masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada kenyataannya
perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi
kaum perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki. Berbagai pembedaan peran,
fungsi, tugas dan tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan
perempuan baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dampak suatu
peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai
ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur
masyarakat.

Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin.


Masyarakat belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya
tentang peran fungsi dan tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan.
Kondisi demikian mengakibatkan kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab
sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki dan perempuan. Hanya saja bila
dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang menguntungkan
dibandingkan laki-laki. Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan
perlakuan berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran
atau pilih kasih yang

mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya, persamaan


antara laki-laki dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik,
ekonomi, budaya dan lain-lain.

Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan sistem dan struktur dimana


baik perempuan maupun laki-laki menjadi korban dalam system tersebut.
Berbagai pembedaan peran dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik
secara langsung yang berupa perlakuan maupun sikap, dan yang tidak langsung
berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah
menimbulkan berbagai ketidakadilan. Ketidakadilan gender terjadi karena
adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban
manusia dalam berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja
tetapi juga dialami oleh laki-laki. Ketidakadilan gender ini dapat bersifat :

– Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung, baik


disebabkan     perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku.

– Tidak langsung, seperti peraturan sama, tapi pelaksanaannya menguntungkan


jenis kelamin tertentu.

– Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma atau struktur
masyarakat yang mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan.

Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender

Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender meliputi:

1. Marginalisasi (pemiskinan) perempuan

Pemiskinan atas perempuan maupun atas laki-laki yang disebabkan oleh jenis
kelaminnya adalah merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan
gender. Peminggiran banyak terjadi dalam bidang ekonomi. Peminggiran dapat
terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat, bahkan oleh negara yang bersumber
keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun asumsi-asumsi
ilmu pengetahuan (teknologi).

Contoh-contoh marginalisasi:
 Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang
dikerjakan laki-laki
 Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang diasumsikan hanya
membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki, menggantikan tangan
perempuan dengan alat panen ani-ani
 Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak perempuan
 Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti
“guru taman kanak-kanak” atau “sekretaris” dan “perawat”.

1. Subordinasi (penomorduaan)

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin
dianggap lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah
sejak dahulu ada pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran
perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Kenyataan memperlihatkan pula
bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang gerak terutama
perempuan di berbagai kehidupan. Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak
mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan
jadi nomor dua setelah laki-laki. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang
hendak mengikuti tugas belajar, atau hendak berpergian ke luar negeri harus
mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang akan pergi tidak perlu izin dari
isteri.

1. Stereotip (citra buruk)

Pelabelan atau penandaan yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu
melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang melahirkan
ketidakadilan dan diskriminasi bersumber dari pandangan gender karena
menyangkut pelabelan atau penandaan terhadap salah satu jenis kelamin
tertentu. Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa tugas dan fungsinya
hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan atau
tugas domestik dan sebagi akibatnya ketika ia berada di ruang publik maka jenis
pekerjaan, profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat
pemerintahan dan negara hanyalah merupakan perpanjangan peran
domestiknya.

1. Violence (kekerasan)

Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran


muncul dalam  berbagai bentuk. Kata kekerasan tersebut berarti suatu serangan
terhadap fisik maupun integritas mental psikologi seseorang. Oleh karena itu
kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan,
pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti pelecehan
seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-
laki yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya. Pelaku kekerasan yang
bersumber karena gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat individual
seperti di dalamrumah tangga sendiri maupun di tempat umum dan juga di
dalam masyarakat. Perempuan, pihak paling rentan mengalami kekerasan,
dimana hal itu terkait dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip di
atas.

1. Beban kerja berlebihan

Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja
yang harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Dalam suatu rumah
tangga pada umumnya, beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan
beberapa yang lain dilakukan oleh perempuan. Berbagai observasi
menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari pekerjaan dalam rumah
tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja di
wilayah public mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik.

Contoh Kasus Gender dan Marginalisasi

Peran Perempuan di Bidang Pangan Tak Diperhatikan

Oleh Umar Idris – Rabu, 07 Maret 2012 | 20:52 WIB

JAKARTA. Pada peringatan hari perempuan internasional yang jatuh pada 8


Maret 2012 ,sejumlah LSM di bidang pangan mendesak pemerintah untuk
membuat kebijakan pangan yang memperhatikan peran perempuan. Sebab,
berdasarkan penelitian dan kesaksian para LSM ini, peran perempuan di
sektor pangan sangat besar. Contoh kebijakan yang dikritik ialah penggunaan
benih hibrida. Pemerintah tidak menyadari, penggunaan benih padi hibrida akan
mengurangi peran perempuan sekaligus bisa mengurangi penghasilan
perempuan. Pasalnya, benih hibrida hanya digunakan untuk satu kali masa
tanam sehingga petani harus membeli benih hibrida yang baru dari pabrikan.
Padahal peran petani perempuan dalam pemuliaan benih selama ini cukup besar
karena perempuan dianggap lebih teliti. Di daerah lain, banyak petani
perempuan masih hidup miskin. Bahkan di Karawang, Jawa Barat, saat ini
semakin banyak perempuan yang berprofesi sebagai pemungut sisa-sisa hasil
panen (profesi yang di masyarakat setempat disebut blo-on) demi memenuhi
kebutuhan keluarga. Padahal sepuluh tahun lalu, profesi ini dicibir oleh para
petani sendiri. Namun sekarang banyak keluarga petani, sebagian besar
dari mereka ialah perempuan, menjalani profesi blo-on ini dengan jangkauan
wilayah semakin luas hingga lintas kecamatan. “Dimana perhatian pemerintah
kepada mereka?,” tanya Said..Sedangkan di sektor perkebunan sawit, saat ini
peran perempuan masih terpinggirkan. Meski banyak perempuan menjadi buruh
sawit, namuh mereka tidak berhak ditulis namanya dalam surat tanah maupun
tidak berhak atas perjanjian tentang pekerjaan. Ahmad Surambo, aktivis Sawit
Watch, tidak memperkirakan jumlah buruh perempuan di perkebunan sawit.
Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, mengatakan
mulai saat ini pemerintah harus benar-benar menjadikan perempuan sebagai
subyek dalam setiap kebijakan di bidang pangan. “Jika pemerintah bisa
meningkatkan kesejahteraan perempuan, maka ketersediaan pangan dan
pemberantasan kemiskinan dengan sendirinya akan terselesaikan, “kata Tejo. Di
sisi lain, data BPS menunjukkan, faktor pangan menyumbang hingga 73,53%
terhadap garis kemiskinan. Dengan kata lain, kemiskinan banyak disebabkan
akibat kekurangan pangan. “Selama  perempuan belum terangkat
taraf hidupnya, persoalan pangan dan kemiskinan tidak akan cepat selesai,”
tutur Tejo.

Sumber:http://nasional.kontan.co.id/news/peran-perempuan-di-bidang-pangan-
tak-diperhatikan

Analisis tentang kasus gender dan marginalitas perempuan dalam kasus peran
perempuan dalam sector pangan di katakana sebagai ketidak adilan gender
antara perempuan dan laki-laki. Sebagai kaum yang di anggap tidak berperan
penting  (perempuan) di masyarakat maka ketidak adilan itulah yang di
permasalahkan dalam kasus ini. Sector pangan yang banyak di kelola oleh kaum
perempuan justru yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran agar menjadi
baik. Seperti pemuliaan benih, tidak semua laki-laki bisa melakukan hal tersebut
dengan baik. Didalam kasus ini perempuan di kesampingkan karena adanya
system teknologi yang maju, dan perempuan di biarkan hidup dengan cara tidak
produktif dan jika masih bekerja, perempuan di jadikan buruh yang paling
bawah, sehingga gaji atau penghasilannya sangat sedikit di banding dengan
kaum laki-laki. Yang di harapkan penulis dalam kasus ini salah satunya agar
pemerintah bisa meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan dalam system
pangan, agar kesediaan pangan masyarakat dapat meningkat. Dan
pemberantasan kemiskinan dengan adanya kaum perempuan sebagai buruh
harus di pertimbangkan dan di naikkan taraf hidupnya. Permasalah ini sering
terjadi, karena kurangnya pengawasan pemerintah terhadap kaum perempuan
dalam sector pembangunan bangsa dan negara.

Anda mungkin juga menyukai