Anda di halaman 1dari 3

Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Gender

Ada lima bentuk ketidakadilan gender yang umumnya terjadi dalam masyarakat yaitu:

1. Beban Ganda.
2. Peminggiran atau pemiskinan (marginalisasi).
3. Kekerasan (violence).
4. Pelabelan buruk/cap buruk (stereotype).
5. Diskriminasi.

Secara singkat lima bentuk ketidakadilan gender tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Beban ganda (double burden)


Beban ganda merupakan perlakuan kepada salah satu jenis kalamin tertentu untuk
memikul tanggung jawab secara berlebihan. Dalam suatu rumah tangga pada
umumnya laki-laki dan perempuan sama-sama mengerjakan beberapa jenis pekerjaan.
Namun ada pekerjaan yang hanya dibebankan pada perempuan, yaitu pekerjaan
rumah tangga, seperti membersihkan rumah, memasak, mencuci, menjaga dan
merawat anak serta melayani suami sedangkan laki-laki mencari nafkah/penghasilan di
luar rumah. Tetapi jika perempuan (istri) juga bekerja mencari penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan hidup keluarga, pekerjaannya di dalam rumah tangga tetap
menjadi tugasnya sehingga mereka mengerjakan dua pekerjaan sekaligus. Laki-laki
meskipun tidak bekerja tetap tidak mempunyai tanggung jawab mengurus pekerjaan
rumah tangga. Inilah yang disebut beban ganda.

2. Marginalisasi
Proses marginalisasi (peminggiran/pemiskinan) yang mengakibatkan kemiskinan,
banyak terjadi dalam masyarakat terjadi dalam masyarakat di Negara berkembang
seperti penggusuran dari kampung halaman, eksploitasi. Namun pemiskinan atas
perempuan maupun laki yang disebabkan jenis kelamin merupakan salah satu bentuk
ketidakadilan yang disebabkan gender. Sebagai contoh, banyak pekerja perempuan
tersingkir dan menjadi miskin akibat dari program pembangunan seperti intensifikasi
pertanian yang hanya memfokuskan petani laki-laki. Perempuan dipinggirkan dari
berbagai jenis kegiatan pertanian dan industri yang lebih memerlukan keterampilan
yang biasanya lebih banyak dimiliki laki-laki. Selain itu perkembangan teknologi telah
menyebabkan apa yang semula dikerjakan secara manual oleh perempuan diambil alih
oleh mesin yang umumnya dikerjakan oleh tenaga laki-laki.
Beberapa studi dilakukan untuk membahas bagaimana program pembangunan telah
meminggirkan sekaligus memiskinkan perempuan (Shiva, 1997; Mosse, 1996). Seperti
Program revolusi hijau yang memiskinkan perempuan dari pekerjaan di sawah yang
menggunakan ani-ani. Di Jawa misalnya revolusi hijau memperkenalkan jenis padi
unggul yang panennya menggunakan sabit.

Contoh-contoh marginalisasi:
 Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-
laki;
 Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang diasumsikan hanya
membutuhkan tenaga dan keterampilan laki-laki, menggantikan tangan perempuan
dengan alat panen ani-ani; Usaha konveksi lebih suka tenaga perempuan;
 Peluang menjadi pekerja sektor informal seperti pekerja rumah tangga lebih banyak
pada perempuan;
 Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti “guru
taman kanak-kanak” atau “sekretaris” dan perempuan “perawat”.

3. Kekerasan
Berbagai bentuk tidak kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan,
muncul dalam bebagai bentuk. Kata kekerasan merupakan terjemahkan dari violence,
artinya suatu serangan terhadap fisik maupun psikologis seseorang. Oleh karena itu
kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik saja seperti perkosaan, pemukulan
dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik, seperti pelecehan seksual sehingga
secara emosional terusik. Pelaku kekerasan bermacam-macam, ada yang bersifat
individu, baik di dalam rumah tangga sendiri maupun di tempat umum, ada juga di
dalam masyarakat itu sendiri. Pelaku bisa saja suami/ayah, keponakan, sepupu,
paman, mertua, anak laki-laki, tetangga, majikan.

4. Pelabelan buruk (cap buruk)


Setereotipe dimaksud adalah citra baku tentang individu atau kelompok yang tidak
sesuai dengan kenyataan empiris yang ada. Pelabelan negatif secara umum selalu
melahirkan ketidakadilan. Salah satu stereotipe yang berkembang berdasarkan
pengertian gender, yakni terjadi terhadap salah satu jenis kelamin, (perempuan), Hal
ini mengakibatkan terjadinya diskriminasi dan berbagai ketidakadilan yang merugikan
kaum perempuan. Misalnya pandangan terhadap perempuan yang tugas dan
fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan pekerjaan domestik
atau kerumahtanggaan. Hal ini tidak hanya terjadi dalam lingkup rumah tangga tetapi
juga terjadi di tempat kerja dan masyarakat, bahkan di tingkat pemerintah dan negara.

Apabila seorang laki-laki marah, ia dianggap tegas, tetapi bila perempuan marah atau
tersinggung dianggap emosional dan tidak dapat menahan diri. Standar nilai terhadap
perilaku perempuan dan laki-laki berbeda, namun standar nilai tersebut banyak
menghakimi dan merugikan perempuan. Label kaum perempuan sebagai “ibu rumah
tangga” merugikan, jika hendak aktif dalam “kegiatan laki-laki” seperti berpolitik, bisnis
atau birokrat. Sementara label laki-laki sebagai pencari nafkah utama (breadwinner)
mengakibatkan apa saja yang dihasilkan oleh perempuan dianggap sebagai sambilan
atau tambahan dan cenderung tidak diperhitungkan.

5. Diskriminasi
Pembedaan perlakuan terhadap seseorang atau sekelompok orang dikarenakan jenis
kelamin, ras, agama, status sosial atau suku. Salah satu contoh diskriminasi berdasar
jenis kelamin/gender adalah memberikan keistimewaan pada anak laki-laki untuk
menempuh pendidikan lebih tinggi dibanding perempuan. Diskriminasi upah terhadap
buruh terjadi pada buruh perempuan yang bekerja pada jenis pekerjaan sama tetapi
mendapat upah rendah dibanding buruh laki-laki.

Konsep Keadilan Gender


Suatu kondisi masyarakat yang menempatkan laki-laki maupun perempuan secara adil
dan setara. Masyarakat sudah terbebas dari nilai-nilai yang mengutamakan laki-laki
dibandingkan perempuan sehingga tidak terjadi lagi pembedaan peran, posisi, tanggung
jawab antara laki-laki dan perempuan yang berdasarkan pada jenis kelamin.

Terwujudnya keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara


perempuan dan laki-laki sehingga dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan
berpartisipasi, dan kontrol atas pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan
adil dari pembangunan. Memiliki akses dan partisipasi berarti memiliki peluang atau
kesempatan untuk menggunakan sumber daya dan memiliki kewenangan penuh untuk
mengambil keputusan atas penggunaan dan hasil sumber daya sehingga memperoleh
manfaat yang sama.

Anda mungkin juga menyukai