Anda di halaman 1dari 8

TUGAS KESEHATAN REPRODUKSI

“CONTOH KASUS PERMASALAHAN GENDER”

Oleh:

Kisti Meilani 01902005

Dosen Pembimbing:

Rizawati,SKM,M.Kes.

DIII KEBIDANAN

STIKES YPAK PADANG

2020/2021
“ KETIDAK ADILAN GENDER”

Keadilan gender adalah suatu proses dan perlakuan adil terhadap perempuan dan laki-
laki. Dengan keadilan gender berarti tidak ada pembakuan peran, beban ganda, subordinasi,
marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan maupun laki-laki. Terwujudnya kesetaran dan
keadilan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan
dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi, dan kontrol atas
pembangunan serta memperoleh manfaat yang setara dan adil dari pembangunan.

Permasalahan Ketidakadilan Gender

Ketertinggalan perempuan mencerminkan masih adanya ketidakadilan dan ketidak


setaraan antara laki-laki dan perempuan di Indonesia, hal ini dapat terlihat dari gambaran kondisi
perempuan di Indonesia. Sesungguhnya perbedaan gender dengan pemilahan sifat, peran, dan
posisi tidak menjadi masalah sepanjang tidak melahirkan ketidakadilan. Namun pada
kenyataannya perbedaan gender telah melahirkan berbagai ketidak adilan, bukan saja bagi kaum
perempuan, tetapi juga bagi kaum laki-laki. Berbagai pembedaan peran, fungsi, tugas dan
tanggung jawab serta kedudukan antara laki-laki dan perempuan baik secara langsung maupun
tidak langsung, dan dampak suatu peraturan perundang-undangan maupun kebijakan telah
menimbulkan berbagai ketidakadilan karena telah berakar dalam adat, norma ataupun struktur
masyarakat.

Gender masih diartikan oleh masyarakat sebagai perbedaan jenis kelamin. Masyarakat
belum memahami bahwa gender adalah suatu konstruksi budaya tentang peran fungsi dan
tanggung jawab sosial antara laki-laki dan perempuan. Kondisi demikian mengakibatkan
kesenjangan peran sosial dan tanggung jawab sehingga terjadi diskriminasi, terhadap laki-laki
dan perempuan. Hanya saja bila dibandingkan, diskriminasi terhadap perempuan kurang
menguntungkan dibandingkan laki-laki. Ketidakadilan gender merupakan bentuk perbedaan
perlakuan berdasarkan alasan gender, seperti pembatasan peran, penyingkiran atau pilih kasih
yang mengakibatkan terjadinya pelanggaran atas pengakuan hak asasinya, persamaan antara laki-
laki dan perempuan, maupun hak dasar dalam bidang sosial, politik, ekonomi, budaya dan lain-
lain.

Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan sistem dan struktur dimana baik
perempuan maupun laki-laki menjadi korban dalam system tersebut. Berbagai pembedaan peran
dan kedudukan antara perempuan dan laki-laki baik secara langsung yang berupa perlakuan
maupun sikap, dan yang tidak langsung berupa dampak suatu peraturan perundang-undangan
maupun kebijakan telah menimbulkan berbagai ketidakadilan. Ketidakadilan gender terjadi
karena adanya keyakinan dan pembenaran yang ditanamkan sepanjang peradaban manusia dalam
berbagai bentuk yang bukan hanya menimpa perempuan saja tetapi juga dialami oleh laki-laki.
Ketidakadilan gender ini dapat bersifat :

– Langsung, yaitu pembedaan perlakuan secara terbuka dan berlangsung, baik disebabkan
perilaku/sikap, norma/nilai, maupun aturan yang berlaku.

– Tidak langsung, seperti peraturan sama, tapi pelaksanaannya menguntungkan jenis kelamin
tertentu.

– Sistemik, yaitu ketidakadilan yang berakar dalam sejarah, norma atau struktur masyarakat yang
mewariskan keadaan yang bersifat membeda-bedakan.

Bentuk-Bentuk Ketidakadilan Akibat Diskriminasi Gender

Bentuk-bentuk ketidakadilan akibat diskriminasi gender meliputi:

1.Marginalisasi (pemiskinan) perempuan

Pemiskinan atas perempuan maupun atas laki-laki yang disebabkan oleh jenis kelaminnya
adalah merupakan salah satu bentuk ketidakadilan yang disebabkan gender. Peminggiran banyak
terjadi dalam bidang ekonomi. Peminggiran dapat terjadi di rumah, tempat kerja, masyarakat,
bahkan oleh negara yang bersumber keyakinan, tradisi/kebiasaan, kebijakan pemerintah, maupun
asumsi-asumsi ilmu pengetahuan (teknologi).
Contoh-contoh marginalisasi:

 Pemupukan dan pengendalian hama dengan teknologi baru yang dikerjakan laki-laki
 Pemotongan padi dengan peralatan sabit, mesin yang diasumsikan hanya membutuhkan
tenaga dan keterampilan laki-laki, menggantikan tangan perempuan dengan alat panen
ani-ani
 Peluang menjadi pembantu rumah tangga lebih banyak perempuan
 Banyak pekerjaan yang dianggap sebagai pekerjaan perempuan seperti “guru taman
kanak-kanak” atau “sekretaris” dan “perawat”.

2.Subordinasi (penomorduaan)

Subordinasi pada dasarnya adalah keyakinan bahwa salah satu jenis kelamin dianggap
lebih penting atau lebih utama dibanding jenis kelamin lainnya. Sudah sejak dahulu ada
pandangan yang menempatkan kedudukan dan peran perempuan lebih rendah dari pada laki-laki.
Kenyataan memperlihatkan pula bahwa masih ada nilai-nilai masyarakat yang membatasi ruang
gerak terutama perempuan di berbagai kehidupan. Anggapan bahwa perempuan lemah, tidak
mampu memimpin, cengeng dan lain sebagainya, mengakibatkan perempuan jadi nomor dua
setelah laki-laki. Sebagai contoh apabila seorang isteri yang hendak mengikuti tugas belajar, atau
hendak berpergian ke luar negeri harus mendapat izin suami, tatapi kalau suami yang akan pergi
tidak perlu izin dari isteri.

3.Stereotip (citra buruk)

Pelabelan atau penandaan yang sering kali bersifat negatif secara umum selalu
melahirkan ketidakadilan. Salah satu jenis stereotip yang melahirkan ketidakadilan dan
diskriminasi bersumber dari pandangan gender karena menyangkut pelabelan atau penandaan
terhadap salah satu jenis kelamin tertentu. Misalnya, pandangan terhadap perempuan bahwa
tugas dan fungsinya hanya melaksanakan pekerjaan yang berkaitan dengan kerumahtanggaan
atau tugas domestik dan sebagi akibatnya ketika ia berada di ruang publik maka jenis pekerjaan,
profesi atau kegiatannya di masyarakat bahkan di tingkat pemerintahan dan negara hanyalah
merupakan perpanjangan peran domestiknya.
4.Violence (kekerasan)

Berbagai kekerasan terhadap perempuan sebagai akibat perbedaan peran muncul dalam
berbagai bentuk. Kata kekerasan tersebut berarti suatu serangan terhadap fisik maupun integritas
mental psikologi seseorang. Oleh karena itu kekerasan tidak hanya menyangkut serangan fisik
saja seperti perkosaan, pemukulan, dan penyiksaan, tetapi juga yang bersifat non fisik seperti
pelecehan seksual, ancaman dan paksaan sehingga secara emosional perempuan atau laki-laki
yang mengalaminya akan merasa terusik batinnya. Pelaku kekerasan yang bersumber karena
gender ini bermacam-macam. Ada yang bersifat individual seperti di dalamrumah tangga sendiri
maupun di tempat umum dan juga di dalam masyarakat. Perempuan, pihak paling rentan
mengalami kekerasan, dimana hal itu terkait dengan marginalisasi, subordinasi maupun stereotip
di atas.

5.Beban kerja berlebihan

Sebagai suatu bentuk diskriminasi dan ketidakadilan gender adalah beban kerja yang
harus dijalankan oleh salah satu jenis kelamin tertentu. Dalam suatu rumah tangga pada
umumnya, beberapa jenis kegiatan dilakukan oleh laki-laki, dan beberapa yang lain dilakukan
oleh perempuan. Berbagai observasi menunjukkan perempuan mengerjakan hampir 90% dari
pekerjaan dalam rumah tangga, sehingga bagi mereka yang bekerja di luar rumah, selain bekerja
di wilayah public mereka juga masih harus mengerjakan pekerjaan domestik.

Contoh Kasus Gender dan Marginalisasi

Peran Perempuan di Bidang Pangan Tak Diperhatikan

Oleh Umar Idris – Rabu, 07 Maret 2012 | 20:52 WIB

JAKARTA. Pada peringatan hari perempuan internasional yang jatuh pada 8 Maret
2012 ,sejumlah LSM di bidang pangan mendesak pemerintah untuk membuat kebijakan pangan
yang memperhatikan peran perempuan. Sebab, berdasarkan penelitian dan kesaksian para LSM
ini, peran perempuan di sektor pangan sangat besar. Contoh kebijakan yang dikritik ialah
penggunaan benih hibrida. Pemerintah tidak menyadari, penggunaan benih padi hibrida akan
mengurangi peran perempuan sekaligus bisa mengurangi penghasilan perempuan. Pasalnya,
benih hibrida hanya digunakan untuk satu kali masa tanam sehingga petani harus membeli benih
hibrida yang baru dari pabrikan. Padahal peran petani perempuan dalam pemuliaan benih selama
ini cukup besar karena perempuan dianggap lebih teliti. Di daerah lain, banyak petani perempuan
masih hidup miskin. Bahkan di Karawang, Jawa Barat, saat ini semakin banyak perempuan yang
berprofesi sebagai pemungut sisa-sisa hasil panen (profesi yang di masyarakat setempat
disebut blo-on) demi memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal sepuluh tahun lalu, profesi ini
dicibir oleh para petani sendiri. Namun sekarang banyak keluarga petani, sebagian besar
dari mereka ialah perempuan, menjalani profesi blo-on ini dengan jangkauan wilayah semakin
luas hingga lintas kecamatan. “Dimana perhatian pemerintah kepada mereka?,” tanya
Said..Sedangkan di sektor perkebunan sawit, saat ini peran perempuan masih terpinggirkan.
Meski banyak perempuan menjadi buruh sawit, namuh mereka tidak berhak ditulis namanya
dalam surat tanah maupun tidak berhak atas perjanjian tentang pekerjaan. Ahmad Surambo,
aktivis Sawit Watch, tidak memperkirakan jumlah buruh perempuan di perkebunan sawit.
Koordinator Aliansi untuk Desa Sejahtera, Tejo Wahyu Jatmiko, mengatakan mulai saat ini
pemerintah harus benar-benar menjadikan perempuan sebagai subyek dalam setiap kebijakan di
bidang pangan. “Jika pemerintah bisa meningkatkan kesejahteraan perempuan, maka
ketersediaan pangan dan pemberantasan kemiskinan dengan sendirinya akan terselesaikan, “kata
Tejo. Di sisi lain, data BPS menunjukkan, faktor pangan menyumbang hingga 73,53% terhadap
garis kemiskinan. Dengan kata lain, kemiskinan banyak disebabkan akibat kekurangan pangan.
“Selama  perempuan belum terangkat taraf hidupnya, persoalan pangan dan kemiskinan tidak
akan cepat selesai,” tutur Tejo.

  Analisis tentang kasus gender dan marginalitas perempuan dalam kasus peran perempuan
dalam sector pangan di katakana sebagai ketidak adilan gender antara perempuan dan laki-laki.
Sebagai kaum yang di anggap tidak berperan penting  (perempuan) di masyarakat maka ketidak
adilan itulah yang di permasalahkan dalam kasus ini. Sector pangan yang banyak di kelola oleh
kaum perempuan justru yang membutuhkan ketelatenan dan kesabaran agar menjadi baik.
Seperti pemuliaan benih, tidak semua laki-laki bisa melakukan hal tersebut dengan baik.
Didalam kasus ini perempuan di kesampingkan karena adanya system teknologi yang maju, dan
perempuan di biarkan hidup dengan cara tidak produktif dan jika masih bekerja, perempuan di
jadikan buruh yang paling bawah, sehingga gaji atau penghasilannya sangat sedikit di banding
dengan kaum laki-laki. Yang di harapkan penulis dalam kasus ini salah satunya agar pemerintah
bisa meningkatkan kesejahteraan kaum perempuan dalam system pangan, agar kesediaan pangan
masyarakat dapat meningkat. Dan pemberantasan kemiskinan dengan adanya kaum perempuan
sebagai buruh harus di pertimbangkan dan di naikkan taraf hidupnya. Permasalah ini sering
terjadi, karena kurangnya pengawasan pemerintah terhadap kaum perempuan dalam sector
pembangunan bangsa dan negara.

 
KEPUSTAKAAN

Pasaribu, vera. 2016. Kesetaraan dan Ketidakadilan Gender. karya ilmiah. Medan: Universitras
HKPB Nommensen

Anda mungkin juga menyukai