Karena itu, sistem hidup dan budaya di dalam keluarga juga membentuk pola kekuasaan di
mana bapak adalah penguasanya. Budaya yang populer sebagai budaya patriarki ini tidak hanya
berhenti di dalam keluarga atau rumah, tetapi juga menjadi budaya masyarakat dan budaya
bernegara. Karena itu, semua permasalahan yang dialami oleh perempuan dianggap telah selesai
diwakili oleh bapak, oleh suami, atau oleh laki-laki. Budaya dan ideologi patriarki tersosialisasi di
dalam masyarakat karena mendapat legitimasi dari berbagai aspek kehidupan, baik agama dan
kepercayaan, maupun bernegara. Karena itu, sekalipun dalam sejarah, banyak sekali perempuan
yang mempunyai posisi penting di dalam masyarakat dan negara, tidak selalu mendapat apresiasi
mengenai peran dan kemampuannya. Kondisi tersebut tidak hanya menutup partisipasi perempuan
di ruang publik, tetapi juga menyebabkan diskriminasi terhadap perempuan. Diskriminasi
berdasarkan jenis kelamin dan gender memunculkan sederet permasalahan yang menimpa
perempuan, baik di dalam rumah tangga, masyarakat, maupun dalam kehidupan bernegara.
Tujuan SDG’s
Di dalam Metadata TPB/SDGs pada Tujuan 3 yaitu Menjamin Kehidupan yang Sehat dan
Meningkatkan Kesejahteraan Seluruh Penduduk pada Semua Usia, target pertamanya adalah pada
tahun 2030, mengurangi rasio angka kematian ibu hingga kurang dari 70 per 100.000 kelahiran hidup
Perempuan dan laki-laki tidak hanya memiliki identitas biologis berupa jenis kelamin yang
menyebabkan laki-laki dan perempuan berbeda secara anatomis dan fungsi-fungsi reproduksi. Akan
tetapi ini lebih kompleks juga memiliki identitas sosial yang dilekatkan secara sosial, turun-temurun,
terusmenerus, berbeda dari satu tempat ke tempat yang lain, dan berubah dari waktu ke waktu.
Identitas sosial yang populer sebagai identitas gender dikonstruksi dan dilekatkan kepada
perempuan dan laki-laki sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan. Karena itu, di setiap suku,
komunitas, masyarakat, hingga negara, peran sosial dan praktik hubungan perempuan dan laki-laki
selalu berbeda. Perbedaan peran yang lahir dari kontruksi sosial ini tidak menjadi soal, jika tidak
melahirkan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap salah satu jenis kelamin. Faktanya, peran yang
berbeda antara perempuan dan laki-laki menyebabkan diskriminasi dan ketidakadilan terhadap
perempuan di berbagai lingkungan sosial dan sektor kehidupan.
Kekerasan seksual terhadap perempuan adalah kejahatan terhadap perempuan yang paling buruk
dan terus berlangsung. Kekerasan seksual terhadap perempuan, bukan hanya karena perempuan
menyandang jenis kelamin sebagai perempuan, tetapi juga terkait dengan relasi gender perempuan
dan laki-laki yang tidak lepas dari relasi kuasa.
Perempuan dan Disabilitas
Penyandang Disabilitas adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental,
dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat
mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga
negara lainnya berdasarkan kesamaan hak, pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 8 Tahun 2016
tentang Penyandang Disabilitas. Definisi tersebut menggunakan istilah “orang yang mengalami
keterbatasan” untuk menggantikan istilah “cacat atau kecacatan”. Istilah “cacat” tidak cocok
digunakan untuk penyandang disabilitas, karena cacat juga bermakna cela atau aib. Sementara
penyandang disabilitas adalah keterbatasan yang dialami seseorang, baik karena dibawa sejak lahir
maupun karena kecelakaan
penyandang disabilitas mengalami diskriminasi berlapis yang lebih berat daripada diskriminasi
terhadap perempuan dan anak. Perempuan mengalami diskriminasi berdasarkan jenis kelamin dan
peran gender. Anak mengalami diskriminasi karena dianggap sebagai setengah manusia. Sedangkan
penyandang disabilitas mengalami diskriminasi karena penolakan dan stigma. Penyandang disabilitas
juga mengalami diskriminasi berdasarkan jenis kelamin. Diskriminasi semakin panjang dan berlapis,
bila penyandang disabilitas adalah seorang anak perempuan. Penyandang disabilitas berjenis
kelamin perempuan dan masih berumur anak akan mengalami diskriminasi karena menyandang
disabilitas, sebagai perempuan, dan sebagai anak. Diskriminasi yang panjang dan berlapis terhadap
penyandang disabilitas mulai dari dalam rumah, orangtua dan keluarga hingga masyarakat dan
negara. Dalam kehidupan sehari-hari, penggunaan bahasa dan istilah untuk menyebut penyandang
disabilitas, masih bersifat stigma dan pelabelan negatif.
Sebagai orang-orang yang mempunyai posisi timpang di dalam masyarakat karena diskriminasi dan
stigma, penyandang disabilitas merupakan kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan. Ketika
menjadi korban pun, tidak mudah untuk membela hak-hak mereka. Bahkan tidak jarang kasus yang
mereka alami menjadi lelucon dan bahan tertawaan oleh pihak-pihak yang tidak mempunyai
pengetahuan, perspektif, simpati, dan empati.
Diskriminasi, kekerasan, dan marjinalisasi terhadap perempuan bukanlah sesuatu yang turun dari
langit, tetapi diproduksi dan direproduksi, disosialisasi secara turun-temurun dan terus-menerus
yang berlangsung sistematis, sehingga diterima sebagai sesuatu yang biasa saja atau benar.
Masyarakat dan negara yang patriarki, menganggap dan menempatkan perempuan sebagai
kelompok penting, namun di pihak lain, perempuan menjadi korban dari berbagai praktik kehidupan
dan kebijakan negara yang sangat patriarki dan bias gender, seperti tingginya angka kekerasan
terhadap perempuan, anak, penyandang disabilitas), tingginya angka kematian ibu melahirkan,
rendahnya jumlah perempuan di parlemen, lembaga sosial, negara, dan sebagainya. Istilah patriarki
dipakai untuk menggambarkan sistem sosial atau ideologi di mana laki-laki sebagai kelompok
dominan mengendalikan kekuasaan terhadap kelompok perempuan. Sejalan dengan sistem sosial
tersebut adalah kepercayaan atau ideologi bahwa lelaki lebih tinggi kedudukannya dibanding
perempuan; bahwa perempuan harus dikuasai oleh laki-laki. Norma-norma moral maupun hukum
juga bersifat double standard yang memberikan lebih banyak hak kepada kaum laki-laki dibanding
kepada perempuan, di samping didasarkan atas patriarki. Jika orang menyebut patriarki, hal itu
berarti sistem yang menindas serta merendahkan kaum perempuan, baik dalam lingkungan rumah
tangga maupun dalam masyarakat (Bhasin & Khan, 1999).
Masyarakat dan negara yang patriarki adalah masyarakat yang bias gender. Konstruksi sosial
mengenai relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat patriarki menimbulkan ketidakadilan
gender (gender inequality). Ketidakadilan gender merupakan sistem dan struktur di mana laki-laki
dan perempuan menjadi korban, namun selama ini perempuan yang paling banyak menjadi korban
dari ketidakadilan gender tersebut.
Dengan tujuan dan target yang komprehensif, diharapkan kesetaraan gender dicapai pada tahun
2030. Kesetaraan gender dicapai bersamaan dengan berakhirnya kemiskinan dan kelaparan, karena
perempuan merupakan jenis kelamin terbanyak yang menanggung kemiskinan dan kelaparan
Sebagai dokumen kesepakatan, SDGs dibuat sebagai pengganti MDGs yang berakhir pada tahun
2015. Kesepakatan global, seperti MDGs dan SDGs merupakan bentuk norma-norma dan standar-
standar internasional. Meski tidak mengikat secara hukum, kesepakatan tersebut akan mengikat
secara sosial dan konvensional. Warga negara akan menagih, media massa akan m e l a p o r k a n , d
a n P B B s e ti a p t a h u n a k a n m e m i n t a l a p o ra n pertanggungjawaban setiap negara yang
menandatanganinya (Bahagijo, 2016).
Kebijakan publik yang feminis adalah kebijakan publik yang memihak pada kebutuhan dan
kepentingan perempuan. Untuk melahirkan kebijakan publik yang feminis, maka pihak-pihak yang
mempunyai otoritas dalam membuat kebijakan harus mempunyai perspektif feminis atau perspektif
gender.
Budaya Patriarki
Budaya patriarki adalah budaya kekuasaan dan penundukan terhadap perempuan dan anak yang
dilakukan oleh bapak, laki-laki, dan mereka yang berpikir dan bertindak patriarkis. Budaya ini
mengalami transformasi di dalam masyarakat modern sehingga beradaptasi dengan berbagai
kehidupan sosial dengan aturan dan perangkat informasi dan komunikasi yang lebih canggih.
Feminisasi Kemiskinan
SDGs menempatkan permasalahan kemiskinan dan perempuan pada posisi yang penting, strategis,
dan komprehensif. Tujuan 1 dan Tujuan 2 pada SDGs secara jelas menempatkan pengakhiran
kemiskinan dan kelaparan lebih komprehensif dengan target-target yang terukur
Salah satu tantangan untuk lahirnya kebijakan responsif gender dan inklusif adalah kurang
optimalnya sinergi dan kerjasama multipihak, baik secara kelembagaan maupun personal. Padahal
undang-undang dan peraturan lainnya telah memberikan mandat kepada eksekutif, legislatif, dan
yudikatif untuk membuatnya.
Kebijakan publik yang responsif gender dan inklusif adalah kebijakan publik yang memihak pada
kebutuhan dan kepentingan perempuan. Untuk melahirkan kebijakan publik yang feminis, maka
pihak-pihak yang mempunyai otoritas dalam membuat kebijakan harus mempunyai perspektif
gender, anak, inklusif dan perspektif lainnya yang sejalan dengan hak asasi manusia (HAM)