Anda di halaman 1dari 6

Review Buku: KEKERASAN BERBASIS GENDER

Judul Buku : Kekerasan Berbasis Gender


Penulis : Ridwan, M.Ag.
Penerbit : Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto
Tahun : 2006
Pendahuluan
Kekerasan terjadi karena adanya penindasan yang disebabkan oleh anggapan
ketidaksetaraan dalam masyarakat. Diantara berbagai tersebut adalah kekerasan dalam rumah
tangga. Kekerasan dalam rumah adalah penindasan secara individual ataupun kolektif
terhadap pihak yang tersubordinasi.1 Kekerasan dalam rumah tangga dapat berupa hal-hal
yang mengakibatkan kesengsaraan fisik, seksual, ekonomi, atau ancaman psikologis.
Bentuk kekerasan yang paling sering terjadi di dalam rumah tangga adalah kekerasan
suami terhadap istri. Hal ini disebabkan karena adanya pola relasi kekuasaan yang timpang
antara laki-laki dan perempuan. Hal ini kemudian menimbulkan kekerasan laki-laki atas
perempuan yang dilakukan sebagai bagian dari penggunaan otoritas yang dimiliki laki-laki
sebagai kepala keluarga.2 Justifikasi tersebut didukung oleh perangkat undang-undang negara
atau oleh persepsi-persepsi sosial menganai superioritas laki-laki dalam masyarakat tertentu.
Pembahasan menenai gender sering dikacaukan pengertiannya dengan istilah seks,
padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Pengertian seks didasarkan pada struktur biologis
dan sedangkan gender didasarkan pada konstruk sosial maupun kultural. 3 Perbedaan gender
pada asalnya bukanlah suatu masalah selama tidak menghadirkan ketidakadilan. Namun
dalam realitanya, perbedaan gender melahirkan ketidakadilan terutama bagi wanita seperti
subordinasi, marginalisasi, stereotype, kekerasan ataupun intimidasi.
Ketidakadilan di atas adalah ketidakadilan yang lahir dari konstruk sosial, budaya atau
bahkan agama yang melanggar hak asasi manusia. Kemudian permasalahan-permasalahan
tersebut diantisipasi oleh dunia intenasional dengan media PBB, dan nasional dengan melalui
konstitusi kenegaraan.
Gender dan Ketidakadilan
Terdapat perbedaan antara pengertian seks dan gender yang harus kita pahami. Seks
adalah persepsi untuk mengidentifikasi laki-laki atau perempuan berdasarkan alat kelamin.
Ketika seorang anak dilahirkan, maka ia akan mendapat beban gender. Beban gender di suatu
masyarakat berbeda satu sama lain, tergantung konstruk sosial dan nilai-nilai yang ada pada
suatu masyarakat. Sedangkan gender adalah konsep sosial yang harus diperankan kaum laki-
laki atau perempuan sesuai dengan ekspektasi-ekspektasi sosio-kultural pada suatu
masyarakat. Seks merupakan sesuatu yang baku dan tidak dapat diubah, sedangkan gender
dapat diubah.

1
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006), 1-
2.
2
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006), 2.
3
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006), 3.
Perbedaan gender pada aslinya adalah hal yang sangat wajar jika tidak melahirkan
ketidakadilan. Namun yang terjadi di lapangan sangat banyak ketidakadilan yang terjadi atas
dasar gender. Dalam pembahasan ini yang menjadi korban utama otomatis adalah
perempuan. Berbagai bentuk ketidakadilan gender antara lain marginalisasi, subordinasi,
stereotipe, dan kekerasan. Marginalisasi perempuan merupakan proses penyisihan yang
mengakibatkan kemiskinan secara ekonomi bagi perempuan. Marginalisasi perempuan
disebabkan karena perbedaan gender. Hal tersebut bisa berasal dari kebijakan pemerintah,
keyakinan tafsir agama, keyakinan tradisi atau bahkan asumsi ilmu pengetahuan. 4
Subordinasi adalah sikap, anggapan, ataupun tindakan masyarakat yang menempatkan
perempuan pada posisi yang lebih rendah. Perempuan juga seringkali dilabeli atau ditandai
dengan sikap atau penilaian yang negatif. Stereotype pada perempuan disebabkan oleh
persepsi sosial bahwa kaum lelaki sebagai pribadi yang sempurna dan perempuan adalah
pribadi yang kurang sempurna.5
Kekerasan terhadap perempan juga sering terjadi. Hal ini disebabkan oleh kekuasaan.
Kekerasan terhadap perempuan bermacam-macam, seperti pemerkosaan, serangan fisik,
penyiksaan, pelacuran, dan lain-lain. Kaum perempuan juga dianggap memiliki sifat
memelihara dan rajin sehingga ia harus mengerjakan seluruh pekerjaan domestik. Pekerjaan
yang berada di sektor domestik ini sering dianggap rendah oleh masyarakat dan juga
dianggap tidak produktif.6
Secara yuridis, kesetaraan gender untuk mendukung keadilan gender telah tertuang
dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Majlis Umum PBB 18 Desember 1948.
Kemudian dijabarkan secara spesifik melalui Konvensi PBB tentang penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan pada 18 Desember 1979. Sedangkan di ranah
nasional, asas penegakan HAM sebagai pendukung diskriminasi berbasis gender tertuang
pada UUD 1945.7
Keluarga merupakan unit terkecil dalam struktur sosial dan merupakan yang pertama
dalam kehidupan masyarakat. Manusia akan belajar bersosialisasi pertamakali melalui
keluarga. Setiap individu menjadi bagian dari anggota keluarga dan mengambil perannya
masing-masing. Namun peran-peran gender dalam suatu keluarga akan mengikuti konstruk
sosial suatu masyarakat.8 Adanya pola relasi ketidakadilan gender di dalam keluarga
disebabkan adanya pola relasi kekuasaan yang tidak seimbang dengan model hirarkhis-
struktural dimana ada pihak yang lebih dominan. Penyebabnya bisa jadi karena struktural
maupun kultural.
Bnak Dunia mencatat bahwa bentuk kekerasan yang paling sering terjadi adalah
kekerasan terhadap istri atau lebih tepat kekerasan terhadap perempuann oleh pasangan intim.

4
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
26.
5
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
28.
6
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
32.
7
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
33.
8
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
45.
Kekerasan terhadap perempuan melahirkan subordinasi.9 Kekerasan dalam rumah tangga
bermula dari adanya pola relasi kekuasaan yang timpang antara suami dan isteri. Kondisi ini
digunakan suami sebagai bagian penggunaan otoritas yang dimilikinya sebagai kepala
keluarga. Justifikasi atas otoritas tersebut didukung oleh perangkat undang-undang atau
persepsi sosial dalam masyarakat mengenai superioritas laki-laki. Kekerasan dalam rumah
tangga dalam prakteknya merupakan sesuatu yang sulit diungkap karena masalah keluarga
adalah masalah privasi, dimana orang lain tidak ada hak untuk ikut campur. Secara struktural,
istri juga lebih lemah sehingga memiliki ketergantungan terhadap suami, hal ini membuat
istri selalu diam. Kesadaran masyarakat terhadap hukum juga membuat kekerasan dalam
rumah tangga sulit diungkapkan. Serta, adanya stigma sosial bahwa kekerasan suami
terhadap istri adalah hal yang wajar.10
Teori-teori Ragam Kekerasan
Secara umum, kekerasan dapat diklasifikasikan menjadi empat, yaitu kekerasan
langsung, kekerasan tidak langsung, kekerasan represif, dan kekerasan alienatif. Kekerasan
langsung adalah tindakan yang menyerang fisik atau psikologis secara langsung, seperti
pembunuhan, genosida, dan pemerkosaan.11 Kekerasan tidak langsung adalah tindakan yang
membahayakan manusia, namun tidak melibatkan hubungan langsung antara korban dan
pelaku. Kekerasan tidak langsung dapat berupa pembiaran ataupun kekerasan yang
termediasi. Kekerasan represif berkaitan dengan hak dasar untuk bertahan hidup dan
dilindungi dari kesakitan dan penderitaan, seperti pengekangan kebebasan dan kesetaraan.
Dan kekerasan alienatif merujuk pada pencabutan hak-hak individu yang lebih tinggi,
misalnya hak pertumbuhan jiwa, budaya atau intelektual. 12 Secara umum pengelompokan di
atas terlalu berbelit-belit, intinya hanya ada dua jenis kekerasan, langsung dan tidak langsung.
Kekuasan menjadi sebuah kesempatan untuk melakukan kekerasan. Penguasa
memiliki kekuasaan tak terbatas untuk mempertahankan kekuasaannya. Kekerasan yang
dilakukan oleh penguasa dengan otoritas kekuasaannya merupakan model kekerasan
struktural dan sistemik yang bisa dilakukan oleh negara pada umumnya berangkat dari
pandangan state centered dalam rangka mengontrol masyarakat sekaligus melanggengkan
kekuasaannya.13
Seksisme juga dapat dikategorikan sebagai sebuah bentuk kekerasan berdimensi
rasisme. Dengan dalih adanya perbedaan psikologis dan biologis yang fundamental antara
laki-laki dan perempuan, hirarki sosial yang disangkakan sebagai takdir Tuahn telah
berkembang jauh sehingga menguntungkan laki-laki. Ideologi seksisme merambah pada
semua dimensi kehidupan perempuan yang tersubordinat dan teralienasi secara sosial. 14 Salah

9
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
50.
10
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
51.
11
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
58.
12
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
63.
13
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
66.
14
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
69.
satu contohnya adalah pengkategorian pekeraan berbasis gender (seks). Pembagian pekerjaan
berdasarkan jenis kelamin mengakibatkan alienasi psikologis dalam bentuk diskriminasi.
Kekerasan Berbasis Gender Perspektif Islam
Islam hadir di muka bumi sebagi pembebas manusia dari segala bentuk diskriminasi.
Islam menempatkan manusia sejajar di sisi Allah SWT, derajat manusia hanya ditentukan
dari ketakwaan. Al-Quran sebagai kitab suci juga hadir sebagai pembebas, namun ada
beberapa penafsiran teks yang tidak sesuai dengan prinsip keadilan yang harus dikaji ulang.
Dalam al-Quran tidak ditemukan kata persis yang sepadan dengan istilah gender.
Namun jika perbedaan gender yang dimaksud menyangkut perbedaan laki-laki dan
perempuan secara non biologis meliputi perbedaan fungsi, peran dan relasi antara laki-laki
dan perempuan, maka dapat ditemukan sejumlah istilah untuk itu. Al-Quran terlihat konsisten
dalam penggunaan istilah-istilah tertentu dalam mengungkapkan fenomena tertentu.
Misalnya, jika hendak diungkapkan laki-laki dan perempuan berdasarkan segi biologis, maka
sering diungkapkan dengan kata al-dzakar untuk laki-laki dan al-untsa untuk perempuan.
Sementara jika hendak mengungkapkan laki-laki dan perempuan dari beban sosial atau aspek
gender, maka akan diungkapkan dengan kata al-rajul/al-rija>l untuk laki-laki dan al-
mar’ah/al-nisa>’ untuk perempuan.15
Secara umum, tampaknya al-Quran mengakui adanya perbedaan antara laki-laki dan
perempuan. Namun perbedaan tersebut bukan untuk menguntungkan satu pihak atas pihak
lain, tetapi perbedaan tersebut untuk melahirkan keharmonisan.16 Manusia juga diciptakan
dengan ukuran dan sifat-sifatnya masing masing berdasarkan jenis kelaminnya. Namun,
Syaikh Mahmud Syaltut menyatakan:
“Tabiat kemanusiaan antara laki-laki dan perempuan hampur dapat (dikatakan) Allah
telah menganugerahkan kepada perempuan sebagaimana menganugerahkan kepada
laki-laki, kepada mereka berdua dianugerahkan potensi dan kemampuan”.17
Ayat al-Quran yang populer dijadikan rujukan tentang asal perempuan adalah firman
Allah dalam surah al-Nisa>’ ayat 1: “Hai manusia sekalian, bertakwalah kepada Tuhanmu,
yang telah menciptakanmu dari nafs yang satu, dan darinya Allah telah menciptakan
pasangannya dan keduanya Allah mengembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak”. Terdapat perbedaan pendapat dalam memahami kata “nafs” pada ayat tersebut. Ada
yang menyatakan nafs adalah Adam, sehingga timbul sebuah anggapan bahwa perempuan
adalah bagian dari laki-laki. Ada pula yang beranggapan bahwa nafs berarti jenis. 18 Ada pula
yang beranggpan dari jenis yang sama yaitu berasal dari tanah. Jadi, jika Adam diciptakan
dari tanah, maka Hawa pun demikian.
Rasyid Ridha berpendapat bahwa penerjemahan kata nafs secara harfiah dipengaruhi
kitab Perjanjian Lama (Kejadian II:21) yang menyatakan bahwa Hawa berasal dari tulang
15
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
111.
16
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
112.
17
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
113.
18
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
113.
rusuk Adam. Kemiripan redaksi antara Al-Quran dan Kitab Perjanjian lama memungkinkan
adanya hubungan keterpengaruhan satu sama lain. Maka atas landasan ini, Riffat Hassan,
Fatima Mernisi, dan M. Rasyid Ridha beranggapan bahwa hadits penciptaan perempuan
adalah israiliyat.19
Argumen mengenai kesetaraan antara laki-laki dan perempuan banyak mengutip ayat
al-Quran yang menyetakan bahwa laki-laki dan perempuan adalah sama-sama manusia, tidak
ada perbedaan diantara keduanya dan juga Allah tidak menyianyiakan amal laki-laki maupun
perempuan yang beramal. Meskipun ada perbedaan biologis yang diakui Al-Quran, namun
al-Quran mengakui ada kesetaraan laki-laki dan perempuan.20
Kesetaraan laki-laki dan perempuan diperkuat dengan surah an-Nah}l ayat 58-59.
Substansi dari ayat tersebut adalah kritik terhadap perlakuan bangsa Arab jahiliyah terhadap
kelahiran anak perempuan. Dengan adanya dua ayat tersebut, maka terhapuskanlah perbedaan
antara laki-laki dan perempuan.21
Jika merujuk pada tujuan penciptaan manusia, yaitu sebagai hamba Allah dan khalifah
di muka bumi, tidak ada perbedaan antara laki-laki ataupun perempuan. Semuanya
mempunyai hak sebagai hamba dan khalifah.22 Selain itu, sebelum kelahirannya ke muka
bumi, manusia juga berikrar kepada Allah Swt. Tidak ada satupun manusia yang terlahir di
muka bumi tanpa sebelumnya berikrar kepada Allah, baik laki-laki maupun perempuan.
Maka tidak ada diskriminasi kelamin disini.
Sebelum Islam datang, perempuan berada pada posisi yang sangat tidak
menguntungkan. Wanita diletakkan pada derajat yang rendah dan didiskriminasi. Namun
setelah Islam datang, derajat wanita jadi terangkat, bahkan tidak ada pembeda antara laki-laki
ataupun perempuan. Yang membedakan keduanya hanyalah takwa (inna akramakum
‘indalla>hi atqa>kum). Namun konsep ideal kemanusiaan dalam Islam mengalami distorsi
disebabkan karena penafsiran ayat al-Quran yang bias gender. Hal ini sering menjadi
legitimasi terhadap kekerasan berbasis gender.23 An-nisaa 34
Untuk menghapuskan kekerasan berbasis gender, khususnya dalam rumah tangga,
maka perlu ada interpretasi ulang terhadap ayat-ayat yang bias gender. Seperti konsep
qawwa>mun, qawwa>mun yang direkatkan pada laki-laki bukanlah sifat ilahiyah, melainkan
sosiologis.24 Hal ini karena laki-laki diberi kelbihan oleh Allah karena amenjadi penanggung
jawab atas ekonomi keluarga atau sebagai pencari nafkah. Dengan adanya pemahaman yang
demikian, memungkinkan adanya perbedaan antara anugerah di antara kaum laki-laki, karena
tidak semua laki-laki menerima anugerah yang sama, dan tentunya tidak semua laki-laki
mendapat anugerah yang lebih besar daripada perempuan. selain itu menurut Nasr Hamid
19
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
115.
20
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
118.
21
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
118.
22
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
123.
23
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
144.
24
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
166.
Abu Zayd, qawwa>mah bukanlah ayat tasyri’ melainkan ia ayat yang menggambarkan
realitas saat ayat diturunkan. Pandangan ini dikarenakan Nasr Hamid menggunakan
pendekatan historis.25
Selain itu kata fadhribu>hunna pada ayat nusyu>z jangan dipahami sebagai pukul.
Seharusnya fadhribu>hunna dipahami sebagai memberi contoh atau batasan. Dengan
pemahaman ini, maka ayat ini malah memberikan larangan berbuat kasar terhadap istri.26
Hendaknya kita memahami al-Quran tidak hanya sebatas tekstual, melainkan juga dengan
memperhatikan konteks budaya, tradisi, dan persepsi sosial yang berlaku di masyarakat.

25
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
169.
26
Ridwan, Kekerasan Berbasis Gender, (Purwokerto: Pusat Studi Gender STAIN Purwokerto, 2006),
168.

Anda mungkin juga menyukai