Anda di halaman 1dari 25

ANALISIS PERILAKU PATOLOGIS

KEKERASAN DALAM PACARAN (DATING VIOLENCE)

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Ujian Akhir Semester


Mata Kuliah Patologi Sosial D2

Disusun Oleh :
Khoirunnisa Rohimatussholeha NIM 190910301003

Dosen Pengampu :
Arif, S.Sos., M.AP
NIP 19603102003121003

JURUSAN ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL


PROGRAM STUDI ILMU KESEJAHTERAAN SOSIAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS JEMBER
2020. 2
BAB I
Latar Belakang

Menurut Kartini Kartono, patologi sosial adalah semua tingkah laku yang
bertentangan dengan  norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral,
hak milik, solidaritas keluarga, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan
hukum formal.1 Namun perlu diketahui batasan yang jelas mengenai bentuk
permasalahan yang seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai bentuk patologi.
Emil Durkheim lebih lanjut menjelaskan bahwa Suatu permasalahan sosial bisa
dikategorikan sebagai patologi ketika permasalahan itu berpotensi meruntuhkan
sistem sosial yang mapan. Sistem sosial rentan runtuh bila norma sosial tidak
dipelihara oleh anggota masyarakat.
Jika gejala patologi di masyarakat semakin meningkat, maka kondisi
masyarakat semakin tidak stabil. Ada berbagai bentuk patologi sosial yang
diungkapkan oleh pakar ilmu sosial. Hal tersebut merupakan masalah di negeri
ini. Beberapa contoh bentuk patologi yang ada di masyarakat seperti rasisme,
korupsi, kemiskinan, dan diskriminasi. Tentu masih banyak bentuk patologi sosial
yang ada dimasyarakat, yang jika dibiarkan maka akan meruntuhkan sistem sosial.
Salah satu bentuk patologi sosial yang akan dibahas pada makalah ini
adalah kekerasan dalam pacaran atau bisa disebut dating violence. Perilaku
patologis ini kemudian penting untuk dibahas dan dikaji karena berdampak besar
bagi masing-masing individu atau bahkan tatanan masyarkat secara keseluruhan.
Sistem sosial yang baik dan mapan akan runtuh bila perilaku patologis dibiarkan
berkembang dimasyarakat.
Dampak yang ditimbulkan perilaku kekerasan dalam pacaran (dating
violence) sangat kompleks. Bukan hanya dampak fisik yang akan ditimbulkan,
namun juga dampak psikologis. Korban akan merasa harga diri dan konsep diri
yang dimiliki jatuh serta ketidak mampuan berada dalam lingkungan sosial
(maldaptive) secara berlebihan. Dampak lainnya adalah berupa luka, symptom
fisik, kerusakan fisik yang permanen, post traumatic disorder (PTSD), depresi,
kecemasan, gangguan makan, disfungsi seksual, self esteem yang rendah,

1
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 1992, hlm. 1.
gangguan rokok, alcohol dan obat-obatan, komplikasi kehamilan, berbagai resiko
pada fungsi reproduktif perempuan, terkena AIDS hingga bunuh diri.
Melihat bagaimana besarnya dampak dating violence baik pada diri
individu maupun masyarakat secara sistematis, maka perilaku patologis dating
violence menjadi penting untuk dibahas dan dikaji agar perilaku ini tidak lagi
terus menerus terulang.

BAB II
Deskripsi Masalah

A. Faktor Penyebab Kekerasan Dalam Pacaran


Telah kita ketahui bersama bahwa kekerasan dalam pacaran di Indonesia
menunjukan angka yang mengkhawatirkan. Kekerasan dalam pacaran dapat
dialami baik oleh laki-laki maupun perempuan, namun dalam penelitian ini lebih
difokuskan untuk melihat perempuan yang menjadi korban kekerasan. Kekerasan
yang terjadi pada perempuan dapat disebabkan oleh berbagai macam faktor.
Faktor-faktor penyebab seperti individu, hubungan, komunitas dan sosial (WHO,
2010). Berikut adalah faktor penyebabnya :
 Faktor Sosial
Sri Nurherawati dalam salah satu situs berita di internet
(2011),memberikan pendapat bahwa perempuan lebih sering
diposisikan sebagai orang yang bersalah karena hukum yang berlaku di
Indonesia belum dapat menjadi payung hukum yang tepat untuk
melindungi perempuuan. Menurut beliau, kasus yang pernah
ditanganinya berupa kekerasan dalam pacaran maksimal hanya
dikenakan pasal 335 KUHP tentang perbuatan tidak menyenangkan.
Dapat disimpulkan najwa keterbatasan dukungan dari masyarakat dan
hukum yang berlaku dapat menjadi faktor penyebab tindak kekerasan
yang terjadi atas perempuan
 Sistem Patriarkial di Masyarakat
Teori feminis (Scott & Straus, 2007) menyatakan bahwa kekerasan
yang terjadi pada perempuan merupakan hasil yang tidak dapat
dihindari dari sistem masyarakat patriarkial. Laki-laki diperbolehkan
menyiksa perempuan karena adanaya budaya yang mendukung
keyakinan bahwa kekerasan adalah hal yang disetujui dan dianggap
sebagai cara untuk menyelesaikan konflik interpersonal.
 Ketidaksetaraan Gender di Masyarakat
Menurut Poerwandari (2008) dalam Jurnal Perempuan (2002)
menyatakan bahwa adanya ketidaksetaraan gender seringkali
memposisikan perempuan sebagai pihak yang lemah, korban
kekerasan dari laki-laki yang dianggap mempunyai kuasa ( Poerwandi,
2008). Dalam ranah domestik maupun publik, kekuasaan perempuan
cenderung lebih kecil dibandingan dengan laki-laki. Oleh karena itu
perempuan cenderung menjadi korban kekerasan domestik kekerasan
terhadap mitra intim, maupun kekerasan dalam pacaran (Sunarto,
2004)
 Pandangan / Kepercayaan Perempuan Akan Kekerasan
Umumnya, tidak banyak perempuan yang menyadari bahwa ia
merupakan korban kekerasan berpacaran. Menurut Jalna Hanmer
(1966) terdapat sudut pandang perempuan mengenai kekerasan,
bahwasannya penerimaan kekerasan dari pasangan dianggap sebagai
bentuk kepatuhan terhadap pasangannya. Mereka memiliki keyakinan
bahwa pasangan bisa berubah pada akhirnya, merasa takut apabila
pasangan akan menyakiti mereka, dan tidak menemukan solusi atas
persoalan yang dihadapinya karena sedikit sekali dukungan yang ia
miliki baik secara sosial maupun individual (Jurnal Perempuan, 2002)

Seperti yang telah kita bahas pada poin sebelumnya, bahwa korban
kekerasan dalam pacaran dapat menimpa baik laki-laki maupun perempuan.
Keduanya mempunyai faktor penyebab utama yang berbeda, tergantung dengan
bagaimana lingkungan sosial mengkonstruksikan peran mereka dalam kehidupan
sosial.
Pada penjelasan faktor-faktor penyebab diatas cenderung menjelaskan
bagaimana lingkungan sosial mengkonstruksikan peran perempuan. Budaya
patriarki, yang menempatkan perempuan sebagai warga dunia kelas dua, dimana
peran-perannya seringkali tersubordinasi dan termarjinalkan membuat anggapan-
anggapan mengenai peran perempuan yang lemah. Anggapan-anggapan tersebut
diantaranya; menempatkan perempuan hanya pada ranah-ranah domestik, melihat
perempuan hanya didasarkan pada penampilan fisik tanpa melihat value atau nilai
yang ada pada tubuh perempuan, mengobjektifikasi tubuh perempuan contohnya
dengan cat calling, dan anggapan-anggapan lain. Hal tersebut merupakan hasil
dari budaya patriarki yang mengakar kuat dan semakin diinternalisasi tiap harinya.
Hasilnya dapat kita lihat sekarang ini; payung hukum yang tidak dapat melindungi
kekerasan terhadap perempuan (termasuk kekerasan dalam pacaran), ketimpangan
kekuasaan karena relasi gender yang tidak setara, serta pola pikir yang
memaklumi tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan. Dapat disimpulkan
bahwa penyebab utama atau akar rumput dari faktor kekerasan dalam pacaran
yang terjadi pada perempuan adalah budaya patriarki.
Lain halnya dengan perempuan, korban tindak kekerasan yang terjadi
menimpa laki-laki terjadi karena perubaha peran gender seperti yang telah diteliti
oleh Gunnur Karakurt dan Kristin E Silver. Sebagian besar bentuk kekerasan yang
diterima adalah kekerasan emosional. Perubahan peran gender ini dilatarbelakangi
oleh adanya gerakan kesetaraan gender yang terdapat pada beberapa negara maju.
Karena adanya gerakan ini, peran perempuan pun semakin diakui. Hal ini
menyebabkan peran perempuan semakin maju kuat sehingga ada negosiasi peran
dalam hubungan. Hal ini merupkan suatu kemajuan yang baik, mengingat budaya
patriarki telah mengakar sangat lama dan memberi dampak buruk bagi perempuan
dalam relasi gender dan proses ia berkembang sebagai manusia. Namun
sayangnya, banyak perempuan yang memanfaatkan hal ini untuk memegang
kendali penuh atas relasi dalam hubungan.
Dalam penelitian ini pula, sebagian besar laki-laki tidak menyadari bahwa
mereka mengalami kekerasan emosional karena menganggap perilaku seperti
posesif, pembatasan aktifitas, pengekangan, dan lain-lain merupakan tindakan
yang wajar.
Dari dua penjelasan diatas, dapat kita ketahui meskipun tindak kekerasan
yang dilakukan sama, namun faktor penyebab yang melatarbelakangi tindakan
tersebut belum tentu sama tergantung dengan bagaimana lingkungan sosial
membentuk norma sosial yang merupakan hasil rekonstruksi.
Selain faktor penyebab dari WHO diatas, ada pula sumber lainnya. Faktir
penyebab lainnya adalah sebagai berikut :
 Usia individu (Johnson, Giordano, Manning, & Longmore, 2015)
Kematangan usia individu merupakan faktor penting dalam menjalin
hubungan. Semakin matang usia individu dalam berhubungan, maka
individu akan semakin matang dalam mempertimbangkan segala
keputusan yang ada dalam dirinya. Namun, usia juga bukan
merupakan variabel pokok dalam faktor penyebab ini. Dapat kita
jumpai pasangan yang telah bertahun-tahun menikah masih ditemui
kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
 Ketidaksetaraan Gender (Llyod, dalam Few & Rosen, 2005; Scott &
Straus, dalam Putri, 2012)
Ketidaksetaraan gender yang telah mengakar kuat pada masyarakat
kita selama ini menempakan perempuan pada posisi nomor dua
daripada laki-laki. Pemikiran yang telah using seperti ini menyebabkan
dan mendorong laki-laki merasa mempunyai kuasa atas perempuan
sehingga dapat bertindak apapun termasuk melampiaskan emosi yang
dimiliki dalam bentuk kekerasan dalam relasi pacaran.
 Suku dan Budaya (Capaldi dkk., 2012; Archer, dalam Chan, Straus,
Brownridge, Tiwari, & Leung, 2008)
Suku dan budaya turut menyumbang faktor penyebab kekerasan dalam
pacaran. Dalam suku tertentu, perempuan seringkali ditempatkan pada
posisi bawah tidak sejajar dengan peran laki-laki. Budaya dalam suku
yang telah lama terinternalisasi tersebut mendorong laki-laki untuk
‘membenarkan’ tindak kekerasnan yang ia lakukan.
 Rasa Cemburu (Himawan, 2017)
Konflik merupakan sesuatu yang lumrah dalam relasi pacaran. Salah
satu konflik yang muncul seringkali adalah rasa cemburu. Rasa
cemburu pada pasangan seringkali menimbulkan perasaan emosional
seperti rasa marah. Jika individu tidak mempunyai kontrol atas emosi
dan tindakannya, maka hal selanjunya yang terjadi adalah tindakan
kekerasan pada pasangan dalam relasi pacaran.
 Pengaruh dari Teman Individu (Jolly & Connoly, 2016
Lingkungan individu merupakan pengaruh eksternal yang kuat dalam
membentuk tingkah laku dan tindakan seorang individu. Hal ini
berlaku pada tindakan kekerasan dalam pacaran. Individu yang sering
melihat temannya bertindak kekerasan terhadap pasangannya bisa jadi
menjadi modeling atau contoh.
 Pengalaman Mengalami Kekerasaan saat Kecil (Kaukinen, Buchanan,
& Gover, 1987)
Contoh atau modeling juga dapat terjadi berdasarkan pengalaman masa
lalu invidiu. Individu yang pernah mengalami kekerasan atau melihat
kekerasan secara terus menerus merekam kejadian tersebut dalam
otaknya lalu mencontoh perilaku tersebut ketika ia sedang menjalani
relasi dengan individu lain.

B. Dampak Kekerasan Dalam Pacaran


Dampak kekerasa dalam pacaran menurut Poerwandari (dalam Achi,
2000:23) mengemukakan pendapat bahwa dampak psikologis kekerasan yang
berulang dan dilakukan oleh orang yang memiliki kedekatan hubungan dengan
korban adalah jatuhya harga diri dan konsep diri yang dimiliki oleh korban.
Adapun pendapat lain yang dikemukakan oleh Mufidah (2007:87) bahwa
selain trauma psikis yang dialami, banyak kasus menunjukan perilaku maldaptive
(ketidakmampuan beradaptasi dengan lingkungan sosial) sebagai fiksasi, yaitu
perasaan terikat atau terpusat pada sesuatu secara berlebihan atau kondisi
seseorang yag berhenti pada salah satu tahap psikoseksual masa kanak-kanak,
pengalaman usia masa lalu, depresi, disstres emosional, kecemasan, gangguan
tidur, penyalahgunaan obat-obatan terlarang dan usaha bunuh diri.
Kekerasan yang dialami pada masa pacaran berdampak besar pada
berbagai sisi kehidupan korban. Seperti yang diungkapkan oleh Hakiki, Hayati,
Marlinawati, Winkvist, dan Ellsberg (2001) dalam penelitianya di sebuah lembaga
di Amerika, Advocated For Youth (2006) menyebutkan beberapa hal yang disebut
sebagai dampak pada perempuan karena kekerasan yang dialaminya. Dampak
tersebut berua luka, symptom fisik, kerusakan fisik yang permanen, post traumatic
disorder (PTSD), depresi, kecemasan, gangguan makan, disfungsi seksual, self
esteem yang rendah, gangguan rokok, alcohol dan obat-obatan, komplikasi
kehamilan, berbagai resiko pada fungsi reproduktif perempuan, terkena AIDS
hingga bunuh diri.
Jika dilihat dari penjelasan diatas, kita dapat melihat bahwa dampak yang
disebabkan oleh kekerasan seksual yang paling menonjol adalah dampak fisik dan
psikologis. Salah satu dampak psikologis yang palin kentara adalah menurunnya
self esteem perempuan. Guindon (2010) menyebutkan bahwa individu dengan
self-esteem yang redah, menampilkan sikap tidak merasa aman, tidak percaya diri,
hanya mengikuti apa yang dikatakan orang lain dan bersikap negatif kepada
dirinya sendiri.
Namun, dampak negatif ternyata bukan hanya terjadi pada korban, namun
juga pelaku. Dampak tersebut seperti depresi, menyalahkan diri sendiri, ketakutan,
rasa malu, merasa sedih, bingung, mencoba bunuh diri, cemas, tidak mempercayai
diri sendiri dan orang lain, serta merasa bersalah. Selain itu, pelaku juga akan
mengalami rasa trauma karena akan selalu terbayang-bayang oleh kesalahannya
seperti telah melakukan hubungan seks atau membunuh janin dalam
kandungannya karena tidak mau bertanggungjwab.

C. Kasus Kekerasan Dalam Pacaran


Menurut data WHO (2010), 1 dari 3 perempuan di dunia mengalami
kekerasan, baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Bahkan 1 dari 4
perempuan di negara mau juga mengalami kekerasan hingga mencapai 25%. Di
negara-negara Afrika dan Asia, tingkat kekerasan terhadap perempuan paling
tinggi yaitu 37%. Data ini cukup menggambarkan bahwa angka kekerasan pada
perempuan tinggi dan kasus ini harus segera ditangani karena dapat menjadi
hambatan bagi perempuan untuk mwujudkan kesejahteraan perempuan untuk ikut
berpartisipasi dalam pembangunan.
Berikut adalah beberapa data kekerasan dalam pacaran dari tahun ke tahun
yang terjadi di Indonesia :
 Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Indonesia, per tahun
2018, mencatat kasus kekerasan di ranah privat / personal yang diterima
mitra pengadalayanan terhadap anak perempuan meningkat sebanyak
2.227 kasus. Sementara angka kekerasan terhadap istri tetap menempati
peringkat pertama yakni 5.167 kasus, disusul kekerasan dalam pacaran,
merupakan angka ketiga terbanyak setelah kekerasan terhadap anak yaitu
1873 kasus.
 Data Kekerasan Dalam Pacaran (KDP) tahun 2012-2015 data Komnas
Prempuan dan Catatan Tahunan Komnas Perempuan :
Data 2012 2013 2014 2015
Pengaduan KP 60 157 93 105
Catatan 1085 2507 1784 2734
Tahunan
 Komisi Nasional Perempuan (2015) mencatat adanya laporan kekerasan
dalam pacaran pada tahun 2014 sebanyak 1.784 kasus. Jumlah meningkat
pada tahun 2015 menjadi 2.734 kasus (Komisi Nasional Prempuan, 2016)
 Dalam tahun 2010, Komnas mencatat 1.299 kasus kekerasan berpacaran,
sedangkan kasus kekerasan yang menimpa kaum hawa sepanjang 33
kasus.
 Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindugan Anak
(KemenPPPA) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS)
melakukan Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) pad
tahun 2016 untuk mengetahui indormasi mengenai pengalaman hidup
perempuan yang mengalami kekerasan dengan usia 15 tahun keatas.
Diketahui sebanyak 33,4% perempuan usia 15-64 tahun telah mengalami
ekerasan dengan usia 15-64 tahun telah mengalami kekerasan fisik
dan/atau kekeraan seksual selama hidupnya, dengan jumlah kekerasan
fisik sebanyak 18,1% dan kekerasan seksual sebanyak 24,2%
Diantara banyaknya kaus kekerasan pada perempuan, tingkat kekerasn
baik secara fisik dan seksual yang dialami perempuan belum menikah
yaitu sebesar 42, 7%. Kekerasan seksual paling banyak dialami perempuan
yang belum menikah yaitu 34,4%, lebih besar dibanding kekerasan fisik
yang berjumlah 19,6%.
 Simfoni PPA tahun 2016 menyebutkan bahwa dari 10.874 pelaku
kekerasan sebanyak 2.090 pelaku kekerasan adalah pacar/teman
 Kekerasan dalam pacaran di Indonesia paling banyak terjadi pada
perempuan rretang usia 25-40 tahun (Indraswari, dalam Erdianto, 2016),
dimana individ dengan rentang usia tersebut sedang menempuh tahapan
psikososial intimasi dan isolasi.
BAB III
Kajian Teori

A. Definisi Kekerasan dalam Pacaran (Dating Violence)


Masa remaja diartikan sebagai masa sebagai masa perkembangan transisi
antara masa anak-anak dan masa dewasa. Perkembangan ini menakup biologis,
kognitif dan sosial emosional yang terjadi berkisar dari perkembangan fungsi
eksual, proses berpikir abstrak, sampai pada kemandirian (Santrock, 2013). Salah
satu perilaku yang kerap dilakukan oleh anak muda pada masa remaja adalah
perilaku pacaran atau berpacaran. Perilaku ini berawal dari masa muda atau
remaja hingga dewasa. Sehingga berpacaran merupakan salah satu fenomena yang
umum dan ddapat diamati. Pacaran diawali dengan munculnya naluri yang baru
terhadap orang lain yang umumnya terjadi pada lawan jenis lalu muncul keinginan
untuk menjalin hubungan romantis yang dipicu oleh kematangan organ-organ
reproduksi pada pria dan wanita saat melalui masa pubertas.
Perilaku pacaran atau berpacaran merupakan hal yang sangat normal bila
dilihat dari tinjauan psikologi. Namun ada perilaku-perilaku dan berpacaran yang
melanggar norma yang ada di masyarakat, serta merugikan salah satu atau kedua
belah pihak pasangan yang menjalin hubungan. Salah satunya adalah kekerasan
dalam pacaran atau dikenal dengan dating violence.
Kekerasan dalam pacaran diartikan sebagai perilaku agresi dan penuh
kontrol terhadap pasangan. Kekerasan merupakan bentuk dari ketidakseimbangan
antara perempuan dan laki-laki hingga menimbulkan dominasi dan diskriminasi
yang menghambat salah satunya (korban dalam perilaku tersebut) untuk
berkembang. Meskipun tindak kekerasan dapat terjadi baik laki-laki maupun
perempuan, namun temuan dari Komisi Nasional perempuan pada tahun 20162,
Indraswari mengungkapkan bahwa perempuan rentan terhadap kekerasan. Hal ini
semakin diperkuat oleh lemahnya penegakan hukum untuk keadilan bagi korban
kekerasan di Indonesia serta adanya ketimpangan relasi gender. Sesuai dengan

2
Sheila Grace., et al, “Hubungan Antara Rasa Percaya Dalam Hubungan Romantis dan
Kekerasan Dalam Pacaran Pada Perempuan Dewasa Muda di Jakarta”, (Jakarta, 2018)
gagasan Poerwandari (dalam Putri, 2012; Firestone & Catlett, 2003), perempuan
cenderung dianggap memilii kedudukan yang lebih rendah dan merupakan
mahkluk yang lemah jika dibandingkan dengan laki-laki. Pandangan yang
patriarkial ini mendorong perlakuan kekerasan terhadap perempuan sebagai taktik
penyelesaian konflik interpersonal yang biasa bagi masyarakat (Straus & Scott,
dalam Putri, 2002)
Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah tindak kekerasan
terhadap pasangan yang belum terkait dengan pernikahan. Kekerasan ini meliputi
kekerasan fisik, emosional, ekonomi dan pembatasan aktivitas. Kekerasan dalam
pacaran merupakan kasus yang sering terjadi selain kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) namun masih belum begitu mendapat sorotan dan publik dan
masyarakat dibanding kekerasan dalam rumah tangga sehingga terkadang masih
terabaikan oleh korban dan pelakunya.
Straus(2004) mendefinisikan hubungan pacaran sebagai hubungan yang
bersifat dua arah (dyadic relationship), yang disertai dengan adanya pertemuan
untuk berinteraksi maupun melakukan aktifitas bersama. Umumnya, hubungan
pacaran dipilih dan dilakukan oleh kedua belah pihak karena dapat membentuk
komitmen dalam hubungan romantis yang lebih mendalam, yaitu pernikahan.
Meskipun demikian, hubungan pacaran tidak dapat lepas dari terjadinya konflik.
Konflik tidak hanya dilihat sebagai kondisi yang negatif, konlik dapat dilihat
sebagai kondisi yang bermanfaat dalam mematangkan hubungan romantic.
Konflik adalah kondisi yang seringkali muncul yang tidak dapat dihindari psangan
(Brehm, Miller, Perlman, dan Campbell, dalam Ross, 2015) dan muncul
disebabkan karena terjadinya ketegangan akibat perbedaan pendapat pada
pasangan (Gottman, dalam Ross, 2015).
Penjelasan dan definisi lainnya dapat kita lihat menurut Douglas dan
Frances (dalam Thomas Santoso, 2002), menyatakan bahwa istilah kekerasan
digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup
(covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensife),
yang disertai menggunakan kekuatan orang lain.
Berdasarkan situs daring Komnas Perempuan Indonesia, KDP atau
Kekerasan dalam pacaran merupakan kekerasan terbanyak kedua setelah
kekerasan terhadap istri dalam ranah KDRT dan relasi personal. Kekerasan dalam
pacaran adalah ditemukannya pola perilaku dalam pacaran yang tidak
menyenangkan, kasar, dan digunakan untuk mengerahkan kekuasaan dan kontrol
atas pasangan.
Menurut Straus dkk., (dalam Putri 2012) terdapat empat dimensi dalam
kekerasan dalam pacaran diantaranya adalah :
1. Negosiasi (negotiation)
Negosiasi merupakan langkah pasangan dalam menyelesaikan konflik
dengan lekakukan diskusi dan meyampaikan perasaan pada pasangan
(Straus dkk., 1996)
2. Agresi Psikologis (psychological aggression)
Jenis kekerasan yang disertai adanya perilaku yang merendahkan,
membatasi, menyinggung, hingga mengancam pasangan (O’Leary &
Maiuro, dalam Capaldi, Knoble, Shortt, & Kim 2012)
3. Kekerasan fisik (physical assault)
Kekerasan yang didasri oleh intensi untuk meyakiti fisik pasangan secara
intens, mulai dari menampar hingga mencekik (Straus, 2004)
4. Kekerasan seksual (sexual coercion)
Perilaku yang memaksakan kehendak pasangan untuk melakukan aktivitas
seksual (Straus dkk., 1996)

B. Bentuk-Bentuk Kekerasan Dalam Pacaran


Dalam laporan Komisi Nasional Perempuan tahun 2015, bentuk kekerasan
yang dialami korban berlapis, kekerasan fisik yaitu denan dipukul, didorong,
digigit, dicekik ditentang. Sedangkan kekerasan psikologis yaitu dengan cara
mengancam, menghina, merendahkan, mengintimidasi dan mengisoloasi. Korban
juga dikontrol dalam beraktivitas seperti dengan siapa bergaul, dengan siapa
berbicara dan membatasi keterlibatan korban dengan orang lain dengan
menggunakan kecemburuan untuk membenarkan tindakan pelaku,
Kekerasan paling banyak dialami korban, pelaku melakukan ancaman
untuk mendapatkan seks seperti ancaman akan menyebarluaskan melalui media
sosial seperti foto bugil korban dan berulangkali memaksa korban untuk
melakukan hubungan seksual dan pemaksaan aborsi.
Menurut Luhulima (2000:11) kekerasan dalam pacaran yang terjadi pada
remaja atau anak muda dapat dikelompokan kedalam beberapa bentuk berikut :
a. Kekerasan fisik : seperti memukul, menampar, menendang, mendorong,
mencengkram, dengan keras tubuh pasangan, serta tindakan fisik lainnya.
b. Kekerasan psikologis : seperti mengancam, memanggil dengan sebutan
buruk, memperlakukan, mencaci maki, menjelek-jelekan, berteriak dan
lain-lain.
c. Kekerasan seksual : seperti memaksa pacarnya melakukan perilaku
seksual tertentu seperti meraba, memeluk, mencium, hubungan seksual
padahal pasangannya tidak bersedia atau berada dibawah ancaman.
Kekerasan dalam pacaran merupakan perilaku agresi terhadap pasangan dalam
bentuk kekerasan psikologis, fisik hingga seksual (Joly & Connolly, 2016).
Menurut Starus dkk., (dalam Putri 2012), terdapat empat dimensi dalam kekerasan
dalam pacaran diantaranya adalah :
a. Negosiasi (negotiation)
Negosiasi merupakan langkah pasangan dalam menyelesaikan konflik
dengan lekakukan diskusi dan meyampaikan perasaan pada pasangan
(Straus dkk., 1996)
b. Agresi Psikologis (psychological aggression)
Jenis kekerasan yang disertai adanya perilaku yang merendahkan,
membatasi, menyinggung, hingga mengancam pasangan (O’Leary &
Maiuro, dalam Capaldi, Knoble, Shortt, & Kim 2012)
c. Kekerasan fisik (physical assault)
Kekerasan yang didasri oleh intensi untuk meyakiti fisik pasangan secara
intens, mulai dari menampar hingga mencekik (Straus, 2004)
d. Kekerasan seksual (sexual coercion)
Perilaku yang memaksakan kehendak pasangan untuk melakukan aktivitas
seksual (Straus dkk., 1996)
Mengutip dari sumber lain, yaitu Kementrian Pemberdayaan Perempuan
dan Perlindugan Anak (KemenPPPA) menggolongkan beberapa bentuk kekerasan
dalam pacaran, yaitu :
a. Kekerasan fisik seperti memukul, menampar, menendang, mendorong,
mencekram dengan keras pada tubuh pasangan dan serangkaian tindakan
fisik yang lain
b. Kekerasan emosional atau psikologis seperti mengancam, memaggil
dengan sebutan yang mempermalukan pasangan menjelek-jelekan dan
lainnya.
c. Kekerasan ekonomi seperti meminta pasangan untuk mencukupi segala
keperluan hidupnya seperti memanfaatkan atau menguras harta
pasangannya.
d. Kekerasan seksual seperti memeluk, mencium, meraba, hingga memaksa
melakukan hubungan seksual dibawah ancaman.
e. Kekerasan pembatasan aktivitas oleh pasangan banyak menghatui
perempuan dalam berpacaran seperti pasangan terlalu posesif, terlalu
mengekang, sering menaruh rasa curiga, selalu mengatur apapun yang
dilakukan, hingga mudah marah dan suka mengancam.

Diperoleh dari sumber lain yaitu dari Perkumpulan Keluarga Berencana


Indonesia menyebutkan bahwa bentuk-bentuk kekerasan pacaran terdiri dari :
 Kekerasan fisik
Bentuk-bentuk kekerasan fisik berupa menampar, memukul, menarik
(menjambak) rambut, melukai dengan senjata dan lain-lain. Biasanya
kekerasan fisik meninggalkan bekas-bekas, seperti: memar di muka
atau beberapa bagian tubuh lain yan menerima perlakuan kasar, luka
terbuka dan bekas luka lainnya
 Kekerasan psikis
Kekerasan psikis yang dimaksud adalah kekerasan secara emosional
seperti: penghinaan, komentar-komentar yang dimaksudkan untuk
merendahkan dan melukai harga diri/konsep dari pihak lain, makian,
umpatan dan melemparkan kata-kata kasar. Bentuk lainnya berupa
tidak mengijinkan pembatasan-pembatasan, mengancam, dan lain
sebagainya.
Meskipun bentuk kekerasan ini tidak terlihat secara fisik, tetapi
biasanya akan berupa trauma-trauma yang justru berakibat jangka
panjang. Biasanya korban akan muncul perasaan minder, tidak percaya
diri, tertekan percaya diri, tertekan atau depresi dan kekhawatiran-
kekhawatiran untuk melakukan suatu kegiatan, bahkan bisa menjadi
orang yang menarik diri dari pergaulan
 Kekerasan sosial
Dalam masyarakat, terdapat nomra-norma sosial tertentu pada suatu
wilayah. Aturan tersebut telah disepakati dan dibuat bersama dan harus
diikuti oleh siapapun yang berada dalam wilayah tersebut. Ketika
seseorang dengan sengaja melanggar aturan yang berlaku dalam
wilayah tersebut berarti telah melakukan kekerasan secara sosial.
 Kekerasan seksual
Kategori kekerasan seksual adalah memegang atau meraba bagian
tubuh pasangan secara paksa, payudara, pantat dan sebagainya. Selain
itu, ajakan hubungan seks secara paksa dan tanpa consent juga
termasuk kekerasan seksual. Walaupun seringkali diikuti dengan
menggunakan kata-kata bukti cinta.
Menurut berbagai sumber, kekerasan dalam pacaran bukan hanya berbentuk
fisik namun juga psikologis atau emosional bahkan ekonomi. Banyak korban yang
tidak meyadari bahwa dirinya sedang terjerat dalam kekerasan karena selama ini
hanya mengenal bentuk kekerasan yang dimaksud adalah kekerasan yang nampak
saja yaitu kekerasan fisik berupa memukul, menampar, mencengkram dengan
kuat, menendang, dan lain-lain. Hal ini bisa jadi disebabkan karena perlindungan
hukum bagi korban kekerasan dalam pacaran belum terakomodir dalam peraturan
perundang-undangan. Korban yang mengalami kekerasan fisik terpaksa harus
melaporkan kasusnya sebagai tindak pidana penganiyaan biasa. Demikian juga
korban yang mengalami kekerasan dalam bentuk lain seperti kekerasan
psikologis, seksual dan ekonomi harus mencari dasar hukum dari peraturan
perundanng-undangan umum lainnya.
Padahal, jika dilihat dari kerugian yang disebabkan oleh bentuk-bentuk
kekerasan ini, bentuk kekerasan diluar kekerasan fisik yaitu psikologis, seksual
dan ekonomi juga sama berbahayanya. Hal-hal kecil yang menurut orang
kebanyakan lumrah dilakukan seperti posesif, sifat mengekang, pembatasan
aktivitas dari pelaku dan korban, hal-hal tersebut juga juga sama berbahayanya
dengan kekerasan fisik.
Temuan peneliti Gunnur Karakurt dan Kristin E Silver, menemukan
adanya peningkatan risiko kekerasan emosional terhadap pria. Peningkatan risik
tersebut disebabkan karena perubahan peran gender. 3
Sejak lama, perempuan telah menjadi korban diskriminasi dan
ketidaksetaraan dalam relasi gender. Tidak jarang perannya disubordinasi dan
termarjinalkan karena adanya sitsme patriarki yang telah mengakar kuat pada
lingkungan. Namun di beberapa negara maju, terdapat banyak sekali gerakan
kesetaraan gender yang membuat peran perempuan semakin diakui. Masyarakat di
negara maju menjadi tercerahkan dan tersadarkan untuk mengakui peran
perempuan. Hal ini menyebabkan peran perempuan semakin kuat sehingga ada
negosisasi peran dalam hubungan. Hal ini sebenarnya merupakan kemajuan yang
baik, namun banyak perempuan yang memanfaatkan hal ini untuk memegang
kendali penuh atas sebuah hubungan, bukan memperjuangkan kesetaraan.
Dalam penelitian ini ditemuan bahwa sebagian besar laki-laki tidak
menyadari bahwa mereka mengalami kekerasan emosional. Bagi remaja laki-laki,
mereka menganggap bahwa kekerasa emosional yang mereka alami adalah sebuah
kewajaran, sedangkan pria dewasa memilih untuk membicarakan hal tersebut
kepada pasangannya dan mencari penyelesaian atas masalah yang dihadapi.

3
Gunnur Karakurt., et al, “Emotional Abuse in Intimate Relationships: The Role of Gender and
Age”, 2013.
Meskipun penelitian ini menemukan korban kekerasan emosional adalah
laki-laki, namun peneliti juga menemukan adanya praktik kekerasan emosional
terhadap perempuan berupa pembatasan kontak atau isolasi. Cara mengisolasi
pasangan dianggap ampuh untuk mengintimidasi pasangan ketimbang melakukan
kekerasan fisik. Alasannya adalah intimidasi emosional ini tidak terlihat dari luar
(tidak seperti kekerasan fisik yang dapat terlihat), namun efek yang ditimbulkan
sangat mengerikan. Biasanya, kekerasan jenis ini dialami oleh remaja perempuan
karena di usia dewasa, perempuan lebih memiliki kemampuan analitik dan bisa
memahami hal-hal yang masuk dalam kekerasan.
BAB IV
Tahapan Penyelesaian Masalah

Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah jenis kekerasan yang
termasuk dalam Kekerasan Terhadap Ibu dan Anak (KTPA). Peran pekerja sosial
dalam merespon KTPA dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah sosial
politik masyarakat. Hal ini dapat kita lihat di Amerika Serikat misalnya, peran
pekerja sosial sangat luas cakupannya termasuk pelaporan karena pekerja sosial
merupakan salah satu profesi yang dikenai kewajiban melapor pada pihak yang
berwajib jika menemukan atau menduga adanya kekerasan terhadap anak,
penginvestigasian dan asesmen serta penyedia treatment (Faller, 2017).
Dalam penanganan KTPA secara umum termasuk dating violence, peran
intervensi pekerja sosial dapat dikategorikan menjadi dua kelompk tugas besar,
yaitu sebagai berikut :
 Intervensi individu dan kelompok
Bentuk intervensi ini dapat berupat intervensi kritis, layanan rumah aman,
advokasi, dan pembentukan kelompok dukungan konseling. Tujuan dari intervensi
ini adalah untuk menjamin keselamatan dan pemberian perlindungan kepada
korban baik dari tindakan kekerasan susulan yang mungkin dilakukan oleh pelaku
serta ditujukan untuk mengurangi perasaan-perasaan terasing, dmeningkatkan
dukungan sosial, meningkatkan akses terhadap layanan-layanan sosial yang
dibutuhkan, menyediakan layanan untuk membantu korban, dan membangun
kemampuan penyelesaian masalah (coping).
Coping sendiri merupakan pengentasan atau penanggulangan merupakan
salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan kekerasan
dalam pacaran. Menurut Iazarus dan Folkman (Nindya Wijayanti, 2013:25),
coping adalah proses mengelola atau mengatasi tuntutan baik internal maupun
eksternal yang dianggap sebagai beban dari luar kemampuan diri individu
tersebut. Selain itu, Weiten dan Lloyd juga mengemukakan bahwa coping
merupakan upaya atau usaha untuk mengelola, mengatasi, dan mengurangi
ancaman karena stress yang dialami. Dapat disimpulkan, bahwa copin adalah
usaha yang dilakukan oleh individu untuk menghadapi, mengelola, dan mengatasi
situasi, tuntutan, ancaman atau masalah yang sedang dihadapinya. Menurut
Folkman dan Lazarus (Sarafino, 1998:136), mengemukakan 8 strategi dan
keterampilan dalam pemecahan masalah. Diantaranya adalah :
a. Pemecahan Masalah yang Penuh Rencana
Pada tahap awal ini, individu perlu menganalisa situasi untuk
menghasilkan solusi dan mengambil tindakan langsung untuk
membenarkan atau menyelesaikan masalah yang dihadapi.
b. Pemecahan Berhadapan
Adalah mengambil tindakan tegas yang seringkali melibatkan rasa marah.
c. Mencari Dukungan Sosial
Individu melakukan suatu usaha untuk memperoleh dukungan ketenangan
dan emosi dari lingkungan masyarakat
d. Menjauhkan atau Membuat Usaha Kognitif
Digunakan untuk melepaskan seseorang dari suatu situasi.
e. Menghindari untuk Melarikan diri
Yaitu berfikir dengan penuh harapan tentang keadaan atau mengambil
tindakan untuk menghindarinya.
f. Pengendalian Diri
Yaitu suatu usaha untuk menyesuaikan perasaan seseorang atau tindakan
yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi.
g. Tanggung Jawab Menerima
Yaitu pengakuan atas peran seseorang dala masalah selagi juga mencoba
menempatkan sesuatu dengan benar.
h. Pertimbangan Kembali yang Positif
Individu mencoba membentuk sebuah makna positif dari keadaan dalam
hal pertumbuhan personal atau dengan hal-hal keagamaan.
Selain itu, ada dua tipe coping yang dapat menurunkan stress menurut
Lazarus dan Folkman (Santrock, 2003:556 dalam Nindya Wijayanti, 2013:26
yaitu :
a) Problem-focused coping (Koping berfokus pada masalah)
Tipe coping ini adalah strategi kognitip penanganan stress. Individu akan
langsung mengambil tindakan langsung untuk menghadapi dan
memecahkan atau menyelesaikan masalahnya. Individu akan dapat berfikir
logis dan memecahkan dan memecahkan masalahnya dengan positif.
b) Emotion-focused coping (Koping berfokus pada emosi)
Tipe coping ini penangan stress dengan memberikan respon secara
emosional. Yaitu usaha-usaha untuk menurunkan atau mengurangi emosi
negatif yang dirasakan ketika individu menghadapi masalah tersebut.
Seperti melakukan pelarian diri atau menghindari masalah, penyalahan diri
yaitu dengan menyalahkan diri sendiri dan menyesali yang terjadi
minimalisasi yaitu dengan menolak atau seakan-akan tidak ada masalh dan
pencarian makna yaitu dengan mencari arti dari kegagalan dialaminya.
Tekait dengan intervensi individu dan kelompok, pekerja sosial
juga dapat melakukan advokasi untuk menghubungkan korban atau penyintas
dengan layanan-layanan lain yang dibutuhkan. Bagi perempuan korban misalnya,
meninggalkan pelaku dan mencari bantuan professional adalah bukan perkara
yang mudah, apalagi jika korban memiliki ketergantungan emosi dan finansial
terhadap pelaku. Jika mereka meninggakan pelaku, potensi bahaya masih banyak
dan mereka harus menghadapai berbagai keseulitan dan menempuh proses yang
cukup lama sehingga membutuhkan sumber-sumber finansial, dukungan sosial
serta emosional. Namun tidak ada layanan tunggal yang dapat memenuhi semua
kebutuhan yang dibutuhkan korban. Oleh karenanya, dibutuhkan peran advokasi
pula dari pekerja sosial untuk menghubunkannya dengan sumber. Dalam hal ini
pekerja sosial berperan untuk memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut
dapat diakses oleh klien.
 Intervensi sosial dan politik
Penyebab kekerasan juga dapat diatasi dengan kolaborasi serta sinergi
berbagai pemangku kepentingan di berbagai tingkatan. Pekerja sosial diharapkan
dapat berperan besar dalam melibatkan berbagai pihak untuk berpartisipasti dalam
penanggulangan kasus kekerasan. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa faktor-
faktor individual, keluarga dan komunitas seperti usia, jenis kelamin, kemiskinan,
keluarga, penggunaan NAPZA, disabilitas, dukungan sosial yang rendah,
lingkungan sosial dengan tingkat pengangguran tinggi dan kesenjangan
merupakan faktor-faktor resiko meningkatnya kekerasan. Dapat kita lihat bahwa
faktor penyebab kekerasan tidak berdiri secara tunggal, namun kompleks hingga
berhubungan dengan pemangku kebijakan.maka dari itu, intervensi politik penting
dilakukan agar penyelesaian dapat dilakukan secara tuntas hingga akarnya.
BAB V
Penutup

Berdasarkan uraian mengenai kekerasan dalam pacaran (dating violence)


diata, maka kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut :
1. Perilaku patologis kekerasan dalam pacaran (dating violence) penting
untuk dibahas dan dikaji karena berdampak besar bagi masing-masing
korban atau bahkan tatanan masyarkat secara keseluruhan. Sistem sosial
yang baik dan mapan akan runtuh bila perilaku patologis dibiarkan
berkembang dimasyarakat.
2. Faktor penyebab kekerasan dalam pacaran meliputi faktor sosial, sistem
patriarkial di masyarakat, ketidaksetaraan gender di masyarakat, dan
pandangan atau kepercayaan perempuan akan kekerasan.
3. Dampak kekerasan dalam pacaran korban diantaranya adalah luka,
symptom fisik, kerusakan fisik yang permanen, post traumatic disorder
(PTSD), depresi, kecemasan, gangguan makan, disfungsi seksual, self
esteem yang rendah, gangguan rokok, alcohol dan obat-obatan, komplikasi
kehamilan, berbagai resiko pada fungsi reproduktif perempuan, terkena
AIDS hingga bunuh diri.
4. Menurut Komisi Nasional Perempuan, kekerasan dalam pacaran diartikan
sebagai perilaku agresi dan penuh kontrol terhadap pasangan. Kekerasan
merupakan bentuk dari ketidakseimbangan antara perempuan dan laki-laki
hingga menimbulkan dominasi dan diskriminasi.
5. Bentuk kekerasan dalam pacaran dibagi manjadi beberapa bentuk,
diantarannya adalah kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan sosial
dan kekerasan seksual.
6. Dalam penanganan KTPA secara umum termasuk dating violence, peran
intervensi pekerja sosial dapat dikategorikan menjadi dua kelompk tugas
besar, yaitu intervensi individu dan kelompok serta intervensi sosial dan
politik.
DAFTAR PUSTAKA

Rusyidi, Binahayati., Peran Pekerja Sosial Dalam Penanganan Kekerasan


Terhadap Perempuan dan Anak, Departemen Kesejahteraan Sosial, (Bandung)

Burlian, Paisol., Patologi Sosial, PT Bumi Aksara, (Jakarta, 2016)

Grace, Sheila et al., Hubungan Antara Rasa Percaya Dalam Hubungann


Romantis dan Kekerasan Dalam Pacaran Pada Perempuan Dewasa Muda di
Jakarta, Jurnal Psikologi Ulayat, (Jakarta 2018)

Cynthia, Astari et al., Hubungan Antara Kualitas Komunikasi Keluarga dan


Persepsi Tentang Abusive Relationship dengan Perilaku Kekerasan Dalam
Pacaran Kelompok Usia Dewasa Muda, (Semarang 2015)

Bell, Kathyrn et al., Understanding Stay / Leave Decisions in Violent Relationship


: A Behavior Analytic Approach, Vol. 14, 20015

Kurakurt, Gunnur et al., Emotional Abuse In Intimate Relationship : The Role Of


Gender And Age, NIH Public Acces, (2013)

Ayu, Windha, Dampak Kekerasan Dalam Berpacaran, (Jember, 2013)

Noviolieta, Christianti, Kekerasan Dalam Pacaran (Studi Kasus Pada Mahasiswa


Yang Pernah Melakukan Kekerasan Dalam Pacaran), (Yogyakarta, Juli 2013)

Zandy, Yuanita, Hubungan Antara Kekerasan Dalam Pacaran Dan Self Esteem
Pada Perempuan Usia Muda, (Jakarta, 2018)

Anda mungkin juga menyukai