Disusun Oleh :
Khoirunnisa Rohimatussholeha NIM 190910301003
Dosen Pengampu :
Arif, S.Sos., M.AP
NIP 19603102003121003
Menurut Kartini Kartono, patologi sosial adalah semua tingkah laku yang
bertentangan dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, pola kesederhanaan, moral,
hak milik, solidaritas keluarga, hidup rukun bertetangga, disiplin, kebaikan, dan
hukum formal.1 Namun perlu diketahui batasan yang jelas mengenai bentuk
permasalahan yang seperti apa yang dapat dikategorikan sebagai bentuk patologi.
Emil Durkheim lebih lanjut menjelaskan bahwa Suatu permasalahan sosial bisa
dikategorikan sebagai patologi ketika permasalahan itu berpotensi meruntuhkan
sistem sosial yang mapan. Sistem sosial rentan runtuh bila norma sosial tidak
dipelihara oleh anggota masyarakat.
Jika gejala patologi di masyarakat semakin meningkat, maka kondisi
masyarakat semakin tidak stabil. Ada berbagai bentuk patologi sosial yang
diungkapkan oleh pakar ilmu sosial. Hal tersebut merupakan masalah di negeri
ini. Beberapa contoh bentuk patologi yang ada di masyarakat seperti rasisme,
korupsi, kemiskinan, dan diskriminasi. Tentu masih banyak bentuk patologi sosial
yang ada dimasyarakat, yang jika dibiarkan maka akan meruntuhkan sistem sosial.
Salah satu bentuk patologi sosial yang akan dibahas pada makalah ini
adalah kekerasan dalam pacaran atau bisa disebut dating violence. Perilaku
patologis ini kemudian penting untuk dibahas dan dikaji karena berdampak besar
bagi masing-masing individu atau bahkan tatanan masyarkat secara keseluruhan.
Sistem sosial yang baik dan mapan akan runtuh bila perilaku patologis dibiarkan
berkembang dimasyarakat.
Dampak yang ditimbulkan perilaku kekerasan dalam pacaran (dating
violence) sangat kompleks. Bukan hanya dampak fisik yang akan ditimbulkan,
namun juga dampak psikologis. Korban akan merasa harga diri dan konsep diri
yang dimiliki jatuh serta ketidak mampuan berada dalam lingkungan sosial
(maldaptive) secara berlebihan. Dampak lainnya adalah berupa luka, symptom
fisik, kerusakan fisik yang permanen, post traumatic disorder (PTSD), depresi,
kecemasan, gangguan makan, disfungsi seksual, self esteem yang rendah,
1
Kartini Kartono, Patologi Sosial, Jakarta: Rajawali Press, 1992, hlm. 1.
gangguan rokok, alcohol dan obat-obatan, komplikasi kehamilan, berbagai resiko
pada fungsi reproduktif perempuan, terkena AIDS hingga bunuh diri.
Melihat bagaimana besarnya dampak dating violence baik pada diri
individu maupun masyarakat secara sistematis, maka perilaku patologis dating
violence menjadi penting untuk dibahas dan dikaji agar perilaku ini tidak lagi
terus menerus terulang.
BAB II
Deskripsi Masalah
Seperti yang telah kita bahas pada poin sebelumnya, bahwa korban
kekerasan dalam pacaran dapat menimpa baik laki-laki maupun perempuan.
Keduanya mempunyai faktor penyebab utama yang berbeda, tergantung dengan
bagaimana lingkungan sosial mengkonstruksikan peran mereka dalam kehidupan
sosial.
Pada penjelasan faktor-faktor penyebab diatas cenderung menjelaskan
bagaimana lingkungan sosial mengkonstruksikan peran perempuan. Budaya
patriarki, yang menempatkan perempuan sebagai warga dunia kelas dua, dimana
peran-perannya seringkali tersubordinasi dan termarjinalkan membuat anggapan-
anggapan mengenai peran perempuan yang lemah. Anggapan-anggapan tersebut
diantaranya; menempatkan perempuan hanya pada ranah-ranah domestik, melihat
perempuan hanya didasarkan pada penampilan fisik tanpa melihat value atau nilai
yang ada pada tubuh perempuan, mengobjektifikasi tubuh perempuan contohnya
dengan cat calling, dan anggapan-anggapan lain. Hal tersebut merupakan hasil
dari budaya patriarki yang mengakar kuat dan semakin diinternalisasi tiap harinya.
Hasilnya dapat kita lihat sekarang ini; payung hukum yang tidak dapat melindungi
kekerasan terhadap perempuan (termasuk kekerasan dalam pacaran), ketimpangan
kekuasaan karena relasi gender yang tidak setara, serta pola pikir yang
memaklumi tindak kekerasan yang terjadi pada perempuan. Dapat disimpulkan
bahwa penyebab utama atau akar rumput dari faktor kekerasan dalam pacaran
yang terjadi pada perempuan adalah budaya patriarki.
Lain halnya dengan perempuan, korban tindak kekerasan yang terjadi
menimpa laki-laki terjadi karena perubaha peran gender seperti yang telah diteliti
oleh Gunnur Karakurt dan Kristin E Silver. Sebagian besar bentuk kekerasan yang
diterima adalah kekerasan emosional. Perubahan peran gender ini dilatarbelakangi
oleh adanya gerakan kesetaraan gender yang terdapat pada beberapa negara maju.
Karena adanya gerakan ini, peran perempuan pun semakin diakui. Hal ini
menyebabkan peran perempuan semakin maju kuat sehingga ada negosiasi peran
dalam hubungan. Hal ini merupkan suatu kemajuan yang baik, mengingat budaya
patriarki telah mengakar sangat lama dan memberi dampak buruk bagi perempuan
dalam relasi gender dan proses ia berkembang sebagai manusia. Namun
sayangnya, banyak perempuan yang memanfaatkan hal ini untuk memegang
kendali penuh atas relasi dalam hubungan.
Dalam penelitian ini pula, sebagian besar laki-laki tidak menyadari bahwa
mereka mengalami kekerasan emosional karena menganggap perilaku seperti
posesif, pembatasan aktifitas, pengekangan, dan lain-lain merupakan tindakan
yang wajar.
Dari dua penjelasan diatas, dapat kita ketahui meskipun tindak kekerasan
yang dilakukan sama, namun faktor penyebab yang melatarbelakangi tindakan
tersebut belum tentu sama tergantung dengan bagaimana lingkungan sosial
membentuk norma sosial yang merupakan hasil rekonstruksi.
Selain faktor penyebab dari WHO diatas, ada pula sumber lainnya. Faktir
penyebab lainnya adalah sebagai berikut :
Usia individu (Johnson, Giordano, Manning, & Longmore, 2015)
Kematangan usia individu merupakan faktor penting dalam menjalin
hubungan. Semakin matang usia individu dalam berhubungan, maka
individu akan semakin matang dalam mempertimbangkan segala
keputusan yang ada dalam dirinya. Namun, usia juga bukan
merupakan variabel pokok dalam faktor penyebab ini. Dapat kita
jumpai pasangan yang telah bertahun-tahun menikah masih ditemui
kasus tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT)
Ketidaksetaraan Gender (Llyod, dalam Few & Rosen, 2005; Scott &
Straus, dalam Putri, 2012)
Ketidaksetaraan gender yang telah mengakar kuat pada masyarakat
kita selama ini menempakan perempuan pada posisi nomor dua
daripada laki-laki. Pemikiran yang telah using seperti ini menyebabkan
dan mendorong laki-laki merasa mempunyai kuasa atas perempuan
sehingga dapat bertindak apapun termasuk melampiaskan emosi yang
dimiliki dalam bentuk kekerasan dalam relasi pacaran.
Suku dan Budaya (Capaldi dkk., 2012; Archer, dalam Chan, Straus,
Brownridge, Tiwari, & Leung, 2008)
Suku dan budaya turut menyumbang faktor penyebab kekerasan dalam
pacaran. Dalam suku tertentu, perempuan seringkali ditempatkan pada
posisi bawah tidak sejajar dengan peran laki-laki. Budaya dalam suku
yang telah lama terinternalisasi tersebut mendorong laki-laki untuk
‘membenarkan’ tindak kekerasnan yang ia lakukan.
Rasa Cemburu (Himawan, 2017)
Konflik merupakan sesuatu yang lumrah dalam relasi pacaran. Salah
satu konflik yang muncul seringkali adalah rasa cemburu. Rasa
cemburu pada pasangan seringkali menimbulkan perasaan emosional
seperti rasa marah. Jika individu tidak mempunyai kontrol atas emosi
dan tindakannya, maka hal selanjunya yang terjadi adalah tindakan
kekerasan pada pasangan dalam relasi pacaran.
Pengaruh dari Teman Individu (Jolly & Connoly, 2016
Lingkungan individu merupakan pengaruh eksternal yang kuat dalam
membentuk tingkah laku dan tindakan seorang individu. Hal ini
berlaku pada tindakan kekerasan dalam pacaran. Individu yang sering
melihat temannya bertindak kekerasan terhadap pasangannya bisa jadi
menjadi modeling atau contoh.
Pengalaman Mengalami Kekerasaan saat Kecil (Kaukinen, Buchanan,
& Gover, 1987)
Contoh atau modeling juga dapat terjadi berdasarkan pengalaman masa
lalu invidiu. Individu yang pernah mengalami kekerasan atau melihat
kekerasan secara terus menerus merekam kejadian tersebut dalam
otaknya lalu mencontoh perilaku tersebut ketika ia sedang menjalani
relasi dengan individu lain.
2
Sheila Grace., et al, “Hubungan Antara Rasa Percaya Dalam Hubungan Romantis dan
Kekerasan Dalam Pacaran Pada Perempuan Dewasa Muda di Jakarta”, (Jakarta, 2018)
gagasan Poerwandari (dalam Putri, 2012; Firestone & Catlett, 2003), perempuan
cenderung dianggap memilii kedudukan yang lebih rendah dan merupakan
mahkluk yang lemah jika dibandingkan dengan laki-laki. Pandangan yang
patriarkial ini mendorong perlakuan kekerasan terhadap perempuan sebagai taktik
penyelesaian konflik interpersonal yang biasa bagi masyarakat (Straus & Scott,
dalam Putri, 2002)
Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah tindak kekerasan
terhadap pasangan yang belum terkait dengan pernikahan. Kekerasan ini meliputi
kekerasan fisik, emosional, ekonomi dan pembatasan aktivitas. Kekerasan dalam
pacaran merupakan kasus yang sering terjadi selain kekerasan dalam rumah
tangga (KDRT) namun masih belum begitu mendapat sorotan dan publik dan
masyarakat dibanding kekerasan dalam rumah tangga sehingga terkadang masih
terabaikan oleh korban dan pelakunya.
Straus(2004) mendefinisikan hubungan pacaran sebagai hubungan yang
bersifat dua arah (dyadic relationship), yang disertai dengan adanya pertemuan
untuk berinteraksi maupun melakukan aktifitas bersama. Umumnya, hubungan
pacaran dipilih dan dilakukan oleh kedua belah pihak karena dapat membentuk
komitmen dalam hubungan romantis yang lebih mendalam, yaitu pernikahan.
Meskipun demikian, hubungan pacaran tidak dapat lepas dari terjadinya konflik.
Konflik tidak hanya dilihat sebagai kondisi yang negatif, konlik dapat dilihat
sebagai kondisi yang bermanfaat dalam mematangkan hubungan romantic.
Konflik adalah kondisi yang seringkali muncul yang tidak dapat dihindari psangan
(Brehm, Miller, Perlman, dan Campbell, dalam Ross, 2015) dan muncul
disebabkan karena terjadinya ketegangan akibat perbedaan pendapat pada
pasangan (Gottman, dalam Ross, 2015).
Penjelasan dan definisi lainnya dapat kita lihat menurut Douglas dan
Frances (dalam Thomas Santoso, 2002), menyatakan bahwa istilah kekerasan
digunakan untuk menggambarkan perilaku, baik yang terbuka (overt) atau tertutup
(covert), dan baik yang bersifat menyerang (offensive) atau bertahan (deffensife),
yang disertai menggunakan kekuatan orang lain.
Berdasarkan situs daring Komnas Perempuan Indonesia, KDP atau
Kekerasan dalam pacaran merupakan kekerasan terbanyak kedua setelah
kekerasan terhadap istri dalam ranah KDRT dan relasi personal. Kekerasan dalam
pacaran adalah ditemukannya pola perilaku dalam pacaran yang tidak
menyenangkan, kasar, dan digunakan untuk mengerahkan kekuasaan dan kontrol
atas pasangan.
Menurut Straus dkk., (dalam Putri 2012) terdapat empat dimensi dalam
kekerasan dalam pacaran diantaranya adalah :
1. Negosiasi (negotiation)
Negosiasi merupakan langkah pasangan dalam menyelesaikan konflik
dengan lekakukan diskusi dan meyampaikan perasaan pada pasangan
(Straus dkk., 1996)
2. Agresi Psikologis (psychological aggression)
Jenis kekerasan yang disertai adanya perilaku yang merendahkan,
membatasi, menyinggung, hingga mengancam pasangan (O’Leary &
Maiuro, dalam Capaldi, Knoble, Shortt, & Kim 2012)
3. Kekerasan fisik (physical assault)
Kekerasan yang didasri oleh intensi untuk meyakiti fisik pasangan secara
intens, mulai dari menampar hingga mencekik (Straus, 2004)
4. Kekerasan seksual (sexual coercion)
Perilaku yang memaksakan kehendak pasangan untuk melakukan aktivitas
seksual (Straus dkk., 1996)
3
Gunnur Karakurt., et al, “Emotional Abuse in Intimate Relationships: The Role of Gender and
Age”, 2013.
Meskipun penelitian ini menemukan korban kekerasan emosional adalah
laki-laki, namun peneliti juga menemukan adanya praktik kekerasan emosional
terhadap perempuan berupa pembatasan kontak atau isolasi. Cara mengisolasi
pasangan dianggap ampuh untuk mengintimidasi pasangan ketimbang melakukan
kekerasan fisik. Alasannya adalah intimidasi emosional ini tidak terlihat dari luar
(tidak seperti kekerasan fisik yang dapat terlihat), namun efek yang ditimbulkan
sangat mengerikan. Biasanya, kekerasan jenis ini dialami oleh remaja perempuan
karena di usia dewasa, perempuan lebih memiliki kemampuan analitik dan bisa
memahami hal-hal yang masuk dalam kekerasan.
BAB IV
Tahapan Penyelesaian Masalah
Kekerasan dalam pacaran atau dating violence adalah jenis kekerasan yang
termasuk dalam Kekerasan Terhadap Ibu dan Anak (KTPA). Peran pekerja sosial
dalam merespon KTPA dipengaruhi oleh banyak hal, salah satunya adalah sosial
politik masyarakat. Hal ini dapat kita lihat di Amerika Serikat misalnya, peran
pekerja sosial sangat luas cakupannya termasuk pelaporan karena pekerja sosial
merupakan salah satu profesi yang dikenai kewajiban melapor pada pihak yang
berwajib jika menemukan atau menduga adanya kekerasan terhadap anak,
penginvestigasian dan asesmen serta penyedia treatment (Faller, 2017).
Dalam penanganan KTPA secara umum termasuk dating violence, peran
intervensi pekerja sosial dapat dikategorikan menjadi dua kelompk tugas besar,
yaitu sebagai berikut :
Intervensi individu dan kelompok
Bentuk intervensi ini dapat berupat intervensi kritis, layanan rumah aman,
advokasi, dan pembentukan kelompok dukungan konseling. Tujuan dari intervensi
ini adalah untuk menjamin keselamatan dan pemberian perlindungan kepada
korban baik dari tindakan kekerasan susulan yang mungkin dilakukan oleh pelaku
serta ditujukan untuk mengurangi perasaan-perasaan terasing, dmeningkatkan
dukungan sosial, meningkatkan akses terhadap layanan-layanan sosial yang
dibutuhkan, menyediakan layanan untuk membantu korban, dan membangun
kemampuan penyelesaian masalah (coping).
Coping sendiri merupakan pengentasan atau penanggulangan merupakan
salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan kekerasan
dalam pacaran. Menurut Iazarus dan Folkman (Nindya Wijayanti, 2013:25),
coping adalah proses mengelola atau mengatasi tuntutan baik internal maupun
eksternal yang dianggap sebagai beban dari luar kemampuan diri individu
tersebut. Selain itu, Weiten dan Lloyd juga mengemukakan bahwa coping
merupakan upaya atau usaha untuk mengelola, mengatasi, dan mengurangi
ancaman karena stress yang dialami. Dapat disimpulkan, bahwa copin adalah
usaha yang dilakukan oleh individu untuk menghadapi, mengelola, dan mengatasi
situasi, tuntutan, ancaman atau masalah yang sedang dihadapinya. Menurut
Folkman dan Lazarus (Sarafino, 1998:136), mengemukakan 8 strategi dan
keterampilan dalam pemecahan masalah. Diantaranya adalah :
a. Pemecahan Masalah yang Penuh Rencana
Pada tahap awal ini, individu perlu menganalisa situasi untuk
menghasilkan solusi dan mengambil tindakan langsung untuk
membenarkan atau menyelesaikan masalah yang dihadapi.
b. Pemecahan Berhadapan
Adalah mengambil tindakan tegas yang seringkali melibatkan rasa marah.
c. Mencari Dukungan Sosial
Individu melakukan suatu usaha untuk memperoleh dukungan ketenangan
dan emosi dari lingkungan masyarakat
d. Menjauhkan atau Membuat Usaha Kognitif
Digunakan untuk melepaskan seseorang dari suatu situasi.
e. Menghindari untuk Melarikan diri
Yaitu berfikir dengan penuh harapan tentang keadaan atau mengambil
tindakan untuk menghindarinya.
f. Pengendalian Diri
Yaitu suatu usaha untuk menyesuaikan perasaan seseorang atau tindakan
yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi.
g. Tanggung Jawab Menerima
Yaitu pengakuan atas peran seseorang dala masalah selagi juga mencoba
menempatkan sesuatu dengan benar.
h. Pertimbangan Kembali yang Positif
Individu mencoba membentuk sebuah makna positif dari keadaan dalam
hal pertumbuhan personal atau dengan hal-hal keagamaan.
Selain itu, ada dua tipe coping yang dapat menurunkan stress menurut
Lazarus dan Folkman (Santrock, 2003:556 dalam Nindya Wijayanti, 2013:26
yaitu :
a) Problem-focused coping (Koping berfokus pada masalah)
Tipe coping ini adalah strategi kognitip penanganan stress. Individu akan
langsung mengambil tindakan langsung untuk menghadapi dan
memecahkan atau menyelesaikan masalahnya. Individu akan dapat berfikir
logis dan memecahkan dan memecahkan masalahnya dengan positif.
b) Emotion-focused coping (Koping berfokus pada emosi)
Tipe coping ini penangan stress dengan memberikan respon secara
emosional. Yaitu usaha-usaha untuk menurunkan atau mengurangi emosi
negatif yang dirasakan ketika individu menghadapi masalah tersebut.
Seperti melakukan pelarian diri atau menghindari masalah, penyalahan diri
yaitu dengan menyalahkan diri sendiri dan menyesali yang terjadi
minimalisasi yaitu dengan menolak atau seakan-akan tidak ada masalh dan
pencarian makna yaitu dengan mencari arti dari kegagalan dialaminya.
Tekait dengan intervensi individu dan kelompok, pekerja sosial
juga dapat melakukan advokasi untuk menghubungkan korban atau penyintas
dengan layanan-layanan lain yang dibutuhkan. Bagi perempuan korban misalnya,
meninggalkan pelaku dan mencari bantuan professional adalah bukan perkara
yang mudah, apalagi jika korban memiliki ketergantungan emosi dan finansial
terhadap pelaku. Jika mereka meninggakan pelaku, potensi bahaya masih banyak
dan mereka harus menghadapai berbagai keseulitan dan menempuh proses yang
cukup lama sehingga membutuhkan sumber-sumber finansial, dukungan sosial
serta emosional. Namun tidak ada layanan tunggal yang dapat memenuhi semua
kebutuhan yang dibutuhkan korban. Oleh karenanya, dibutuhkan peran advokasi
pula dari pekerja sosial untuk menghubunkannya dengan sumber. Dalam hal ini
pekerja sosial berperan untuk memastikan bahwa kebutuhan-kebutuhan tersebut
dapat diakses oleh klien.
Intervensi sosial dan politik
Penyebab kekerasan juga dapat diatasi dengan kolaborasi serta sinergi
berbagai pemangku kepentingan di berbagai tingkatan. Pekerja sosial diharapkan
dapat berperan besar dalam melibatkan berbagai pihak untuk berpartisipasti dalam
penanggulangan kasus kekerasan. Berbagai penelitian menyebutkan bahwa faktor-
faktor individual, keluarga dan komunitas seperti usia, jenis kelamin, kemiskinan,
keluarga, penggunaan NAPZA, disabilitas, dukungan sosial yang rendah,
lingkungan sosial dengan tingkat pengangguran tinggi dan kesenjangan
merupakan faktor-faktor resiko meningkatnya kekerasan. Dapat kita lihat bahwa
faktor penyebab kekerasan tidak berdiri secara tunggal, namun kompleks hingga
berhubungan dengan pemangku kebijakan.maka dari itu, intervensi politik penting
dilakukan agar penyelesaian dapat dilakukan secara tuntas hingga akarnya.
BAB V
Penutup
Zandy, Yuanita, Hubungan Antara Kekerasan Dalam Pacaran Dan Self Esteem
Pada Perempuan Usia Muda, (Jakarta, 2018)