Anda di halaman 1dari 8

MAKALAH

SOSIOLOGI HUKUM

“KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN”

Diajukan Untuk memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Sosiologi Hukum

E Zainal Abidin H. S.H., S.U., M.H.

Disusun Oleh:

ATIKA ZHARA AFINA (17410478)

Fakultas Hukum

Universitas Islam Indonesia

Yogyakarta

2018
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Yang Maha Esa atas segala rahmat-Nya, sehingga makalah yang
berjudul “Pernikahan Beda Agama Menurut Perspektif Islam” dapat terselesaikan. Harapan
kami, semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca
untuk kedepannya dapat memperbaiki maupun menambah isi makalah ini menjadi lebih baik
lagi. Dan saya juga berterimakasih kepada Bapak E Zainal Abidin H. S.H., S.U., M.H. selaku
dosen mata kuliah sosiologi hukum Universitas Islam Indonesia yang telah memberikan tugas ini
kepada saya.

Keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman, kami yakin di dalam makalah ini masih
banyak terdapat kesalahan. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca, demi kesempurnaan makalah ini di waktu yang akan datang.

Yogyakarta, 12 Juli 2018

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Partriarkhal adalah suatu struktur komunitas di mana kaum lelaki yang memegang
kekuasaan, dipandang sebagai struktur yang memperlemah perempuan, yang terlihat dalam
kebijakan pemerintah maupun dalam perilaku masyarakat. Partriarkhal menjadi kondisi
yang tidak bisa diingkari dalam masyarakat Indonesia dan di negara-negara lain juga.
Fenomena yang sedang menjadi perhatian besar orang-orang seluruh dunia saat ini adalah
kekerasan terhadap perempuan yang pelakunya tak jarang datang dari kaum lelaki.
Kekerasan terhadap perempuan merupakan ancaman yang terus menerus terjadi bagi
perempuan di manapun di dunia jika dilihat dari kenyataan yang selama ini terjadi.
Masyarakat menganggap bahwa kedudukan perempuan di sebagian dunia tidak sejajar
dengan kedudukan laki-laki, terlebih lagi rasa takut kaum perempuan terhadap kejahatan
(fear of crime) jauh lebih tinggi dibandingkan dengan apa yang dirasakan kaum pria.
Serangan-serangan seksual terhadap perempuan muncul sejalan dengan meningkatnya
kekerasan di masyarakat dan sama-sama berakar pada kegagalan sistem politik, ekonomi dan
sosial untuk mengelola konflik. Perempuan mengalami kekerasan dalam bentuk yang lebih
kompleks. Hal ini berkaitan dengan posisi perempuan yang serba dinomorduakan. Kekerasan
terhadap perempuan merupakan bagian integral dari fenomena kekerasan secara umum.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian tindak kekerasan terhadap perempuan?
2. Bagaimana bentuk bentuk tindak kekersan terhadap perempuan?
3. Apa penyebab terjadinya  tindakan kekerasan terahdap perempuan?
4. Bagaimana upaya pencegahan terhadap tindak kekerasan perempuan?
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Kekerasan Terhadap Perempuan

Secara terminologi kekerasan atau violence adalah gabungan dua kata latin “vis” (daya,


kekuatan) dan “latus” berasal dari kata“ferre” yang berarti membawa). Dalam Kamus Bahasa
Indonesia,  “kekerasan” diartikan dengan perihal yang bersifat, berciri keras, perbuatan
seseorang yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan
fisik atau barang orang lain, atau ada paksaan, ada beberapa pengertian menurut para ahli:

1. Menurut Wignyosoebroto (1997) pengertian kekerasan adalah suatu tindakan yang


dilakukan oleh seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah
merasa kuat) terhadap seseorang atau sejumlah orang yang berposisi lebih lemah (atau
yang tengah dipandang berada dalam keadaan lebih lemah), berdasarkan kekuatan
fisiknya yang superior, dengan kesenjangan untuk dapat ditimbulkannya rasa derita di
pihak yang tengah menjadi objek kekerasan itu. Namun, tak jarang pula tindak
kekerasan ini terjadi sebagi bagian dari tindakan manusia untuk tak lain daripada
melampiaskan rasa amarah yang sudah tak tertahan lagi olehnya.
2. Soetandy mendefinisikan: kekerasan adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh
seseorang atau sejumlah orang yang berposisi kuat (atau yang tengah merasa kuat)
terhadap seseorang atau sejumlah orang  yang berposisi lebih lemah), bersaranakan
kekuatannya, fisik maupun non fisik yang superior dengan kesengajaan untuk
menimbulkan rasa derita di pihak yang tengah menjadi objek kekerasan.

Berdasarkan beberapa pengertian tentang kekerasan menurut para ahli maka dapat
disimpulkan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu bentuk tindakan yang
menyakiti atau membuat penderitaan terhadap perempuan secara fisik, seksual, psikologi
yang mengakibatkan trauma terhadap perempuan atau korban.
B. Bentuk-bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan

Berdasaran ruang lingkup dan agen pelakunya, seperti dalam Deklarasi Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan Pasal 2, kekerasan terhadap perempuan mencakup, tetap
tidak terbatas pada:

1. Kekerasan fisik, seksual dan psikologis yang terjadi di keluarga, termasuk pemukulan,
penganiayaan, seksual anak perempuan dalam keluarga, perkosaan dalam perkawinan,
pemotongan kelamin perempuan, dan praktek-praktek tradisional lainnya yang
menyengsarakan perempuan, kekerasan yang dilakukan bukan merupakan pasangan
hidup dan kekerasan yang terkait dengan eksplotasi.
2. Kekerasan, seksual dan psikologis yang terjadi dalam komunitas berupa perkosaan,
penganiyaan seksual, pelecehan dan intimidasi seksual di tempat kerja, institusi
pendidikan, tempat umum dan lainnya, perdagangan perempuan dan pelacur paksa.
3. Kekerasan, sesksual dan psikologis yang dilaksanakan atau dibiarkan terjadinya oleh
Negara, dimanapun kekerasan tersebut terjadi.

C. Penyebab Terjadinya Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan


1. Peningkatan angka kekerasan utamanya akibat faktor budaya
Melihat tren kenaikan angka kekerasan pada perempuan, Ketua Komnas Perempuan
Azria menilai ada beberapa faktor yang mempengaruhi kenaikan angka kekerasan
tersebut. "Banyak faktor yang menyebabkan, terutama faktor budaya. Budaya
masyarakat kita kan masih menempatkan perempuan lebih rendah posisinya daripada
laki-laki, bisa dilihat dari posisi pengambilan keputusan, jarang sekali bisa diambil
perempuan," ujar Azria di Kantor Komnas Perempuan, Menteng, Jakarta Pusat, Rabu
(7/3). Menurut Azria, konstruksi sosial berpikir masyarakat yang masih menempatkan
perempuan lebih rendah dari laki-laki ini menjadi akar persoalan kekerasan terhadap
perempuan. "Karena (laki-laki) yang menentukan akan kemana, mau apa, ini
mempengaruhi cara pandang yang diskriminatif yang dapat mempengaruhi ketindakan
(kekerasan). Nah, itu salah satunya," kata dia.
2. Naiknya angka kekerasan pada perempuan juga akibat faktor ekonomi
a. Ketergantungan perempuan secara ekonomi pada laki-laki,
b. Perempuan lebih sulit untuk mendapatkan kredit, kesempatan kerja di lingkup
formal dan informal, dan kesempatan mendapat-kan pendidikan dan pelatihan.
3. Pemerintah menjadi agen perubahan dalam pencegahan kekerasan pada perempuan
Dalam masalah ini juga pemerintah harus berperan aktif menyiapkan regulasi dan
kebijakan. Karena dengan demikian perubahan budaya itu bisa dipercepat dengan
tindakan tegas. "Jadi yang tadinya tidak ada sanksi hukumnya, setelah ada (hukumnya)
orang jadi takut kena sanksi hukum. Itu salah satu yang bisa memperbaiki budaya
diskriminatif tadi," ujar Azria. Selain pemerintah, aparat penegak hukum juga dianggap
memiliki peran penting dalam pengurangan tindak kekerasan terhadap perempuan.
"Yang lainnya bagaimana memperbaiki paradigma dari aparatur negaranya sendiri.
Karena apabila aparat hukumnya masih bias gender, kekerasan terhadap perempuan ini
kan tidak dilihat persoalan yang serius oleh dia (penegak hukum)," kata Azria.

D. Upaya Pencegahan Terhadap Tindak Kekerasan Perempuan


Pencegahan, penanganan korban dan pelaku adalah tanggung jawab semua pihak:
1. laki-laki, perempuan, lingkungan tetangga, tokoh agama/masyarakat, lembaga
pendidikan/ agama, dunia usaha maupun pemerintah. Kerjasama antara pusat
penanganan krisis bagi perempuan korban (women’s crisis center) dengan
masyarakat, dunia usaha, dan pemerintah merupakan suatu kemutlakan.
2. Upaya pencegahan dan penanganan korban maupun pelaku yang ada masih jauh dari
memadai. Bagi para perempuan penyandang cacat, kondisi ini lebih berat dirasakan.
3. Khusus tentang dukungan bagi korban untuk dapat melanjutkan hidupnya secara
mandiri, sehat dan bermartabat, dibutuhkan beragam dukungan yang bentuknya
fleksibel sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan korban, dan bersifat
memberdayakan.
Jalan keluar, pemecahan masalah gender dalam tindak kekerasan terhadap perempuan
perlu dilakukan secara serempak, baik upaya yang bersifat jangka pendek maupun jangka
panjang. Dari segi pemecahan praktis jangka pendek, dapat dilakukan upaya program aksi
yang melibatkan perempuan agar mereka mampu menghentikan  masalah mereka sendiri,
seperti kekerasan, pelecehan dan berbagai stereotype terhadapnya. Mereka sendiri harus
mulai memberikan pesan penolakan secara jelas kepada pelaku yang melakukan kekerasan
dan pelecehan agar kegiatan kekerasan dan pelecehan tersebut terhenti. Sementara usaha
perjuangan strategis jangka panjang perlu dilakukan untuk memperkokoh usaha praktis
tersebut. Perjuangan strategis ini meliputi berbagai peperangan ideologis di masyarakat.
Bentuk-bentuk peperangan tersebut misalnya, dengan melancarkan kampanye kesadaran
kritis dan pendidikan umum masyarakat untuk meng-hentikan berbagai bentuk tindak
kekerasan terhadap perempuan. Upaya strategis lain perlu melakukan studi tentang berbagai
tindak kekerasan terhadap perempuan untuk selanjutnya dipakai sebagai advokasi guna
merubah kebijakan, hukum dan aturan pemerintah yang dinilai tidak adil terhadap kaum
perempuan.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tindak kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu isu yang tidak bisa dianggap
sebagai isu terbelakang. Karena disadari atau tidak, perilaku ini telah menjadi isu global.
Sebagai suatu bentuk kejahatan, tindakan kekerasan terhadap perempuan agaknya tidak akan
pernah hilang dari muka bumi ini, sebagaimana pula tindak-tindak kejahatan lainnya.
Namun, bukan berarti tindakan kekerasan ini tidak dapat dikurangi. Untuk mencapai hal ini,
selain upaya yuridis yang diusulkan, semuanya kembali berpulang pada warga masyarakat
sendiri. Tanpa adanya partisipasi publik, maka tidak akan pernah ada perubahan. Untuk dapat
mengubah sikap dan perilaku masyarakat ini maka peran pembuat kebijakan akan sangat
menentukan, baik mereka yang berasal dari tingkat yang paling tinggi sampai yang paling
rendah. Selain itu, upaya pendidikan dan pemberdayaan masyarakat serta perempuan sendiri
perlu untuk menangani masalah-masalah yang terjadi dalam komunitas mereka sendiri

Anda mungkin juga menyukai