PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang
tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu
hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum
Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak Pidana Khusus ini diatur dalam UU di luar
Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU
Pidana merupakan indikator apakah UU Pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana
Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah
UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU Pidana tersendiri. Pernyataan ini
sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan: “Hukum Pidana Khusus mempunyai
tujuan dan fungsi tersendiri”.
UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang
berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai
penyalahgunaan kewenangan. Tindak Pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan
ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.
Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah
tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari
UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh: UU No. 32 Tahun 1964 tentang Lalu
Lintas Devisa telah dicabut dengan UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar Uang, sehingga UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak
lagi merupakan tindak pidana khusus.
B. Rumusan Masalah
PEMBAHASAN
A. Peradilan Pidana
Proses peradilan pidana adalah suatu rangkaian acara peradilan mulai dari penindakan
adanya suatu tindak pidana (sumber tindakan) sampai pada lahirnya keputusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
1. Sumber Tindakan
Suatu tindakan dalam peradilan pidana yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang
untuk itu haruslah berdasar pada sumber tindakan yang latar belakang atau menjadi dasar
tindakan sebagaiman diatur dalam undang-undang. Tindakan peradilan pada tahap
penyelidikan dan penyidikan haruslah dilakukan berdasarkan sumber tindakan, yaitu
adanya tindak pidana atau dugaan telah terjadi, sedang terjadi atau akan terjadi tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang. Sumber tindakan tersebut dapat berupa: laporan;
pengaduan; tertangkap tangan; dan pengetahuan penyelidik atau penyidik.
3. Penuntutan
Setelah JPU membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri, maka pengadilan segera menetapkan majelis hakim yang ditunjuk untuk
mengadili perkara pidana tersebut dan selanjutnya menentukan hari sidang. Apabila
sudah dilakukan proses seperti itu, maka persidangan bisa dapat dilaksanakan.
Apabila terdakwa yang divonis sebagaimana dimuat dalam putusan hakim menerima
putusan tersebut, maka ia menandatangani putusan tersebut. Apabila menolak putusan
tersebut, maka ia bisa mengajukan banding ke pengadilan tinggi dalam jangka waktu 14
hari. Apabila ia masih piker-pikir dan bila selama 14 hari tidak menyatakan haknya,
maka putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Terhadap putusan hakim pada tingkat pertama yang ditolak oleh terdakwa maka ia
dapat mengajukan memori banding ke pengadilan tinggi. JPU pun bisa mengajukan
kontra memori banding atas memori banding yang diajukan oleh pihak terdakwa. Di
Pengadilan Negeri ini, perkara dibuka dan diperiksa kembali untuk menemukan
kebenaran materiil dari perkara pidana yang diajukan. Dan terhadap putusan pengadilan
tinggi ini pihak yang dirugikan atau tidak menerima keputusan Pengadilan Tinggi ini bisa
menggunakan haknya untuk melakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.
JPU ataupun pihak terdakwa yang merasa dirugikan oleh putusan Pengadilan Tinggi
tersebut bisa mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung memeriksa hukumnya saja (judex
jurist) sehingga tidak perlu menghadirkan para pihak. Hakim Agung memriksa aspek
hukumnya yang terdapat putusan hakim tingkat pertama dan putusan hakim tingkat
banding.
Peninjauan kembali (PK) dilakukan apabila ada permohonan dari pihak yang merasa
dirugikan oleh putusan kasas Hakim Agung. Apabila sudah melalui jalur PK ini
kemudian diputuskan oleh Mahkamah Agung, maka keputusan tersebut sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkract). Baik pengadilan tingkat banding maupun
Tingkat Kasasi, dan Permohonan Peninjauan Kembali, tidak selalu diterima untuk
diperiksa oleh Hakim pada tingkat masing-masing.
2. Peradilan Narkotika
Acara Pidana.
3. Peradilan Terorisme
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama
sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika
Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang
memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat
tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri,
sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik
Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers
World Trade Centre dan gedung Pentagon
4. Peradilan Anak
Perlu dipahami bahwa terkait dengan penanganan anak yang berhadapan hukum
tersebut tentunya didasarkan pada beberapa ketentuan perundang-undangan yang bersifat
khusus yakni antara lain sebagai berikut:
C. Perbedaan Yang Mencolok Antara Peradilan Pidana Dengan Salah Satu Peradilan
Diluar KUHAP (Tindak Pidana Korupsi, Peradilan Narkotika, Peradilan Terorisme,
dan Peradilan Anak)
1. Peradilan Anak
Ada banyak perbedaan yang terjadi antara peradilan umum dan peradilan anak,karena
pelaku perkara bukanlah orang dewasa yang sudah mempunyai psikologis yang stabil
peradilan anak mempunyai perbedaan dalam menangani kasus-kasus yang dilakukan oleh
pelakunya diantaranya adalah:
Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana
di luar proses peradilan pidana, dan terhadap proses tersebut dengan syarat-syarat
sebagai berikut:
Selanjutnya selain ketentuan tersebut, berlaku pula terhadap anak yang didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan
didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara (tujuh) tahun atau
lebih dalam bentuk dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi
(gabungan) (Pasal 7 PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan
Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak).
Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun
dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas umur 18 tahun
tetapi belum mencapai umur 21 tahun anak tetap diajukan ke sidang anak (Pasal 20
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Selanjutnya dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, mengambil
keputusan untuk menyerahkanan kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya
dalam program pendidikan, pembinaan pada instansi pemerintah atau lembaga
penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menangani bidang kesejateraan sosial
(Pasal 21 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak jo, Pasal 67 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 tentang
Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas)
Tahun).Kalau dalam perkara dewasa (usia 18 tahun ke atas) setiap tingkatan
pemeriksaan tidak perlu didampingi orang tua/wali namun dalam perkara anak
berhadapan hukum perlu didampingi orang tua/wali.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana kontemporer berarti suatu tindak
pidana yang aktual dan sewaktu-waktu bisa terjadi. Tindak pidana terorisme telah ada sejak
jaman dahulu sampai sekarang dan bentuknya telah berkembang seiring jaman. Tindak
pidana terorisme merupakan tindak pidana khusus karena tidak diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHPidana) yang diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun
2003 jo. Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme. Tindak pidana
terorisme merupakan bentuk kriminalisasi hukum terhadap tindakan terorisme yang sekarang
dianggap penting untuk dicegah dan diberantas.
Berdasarkan uraian tersebut terlihat jelas bahwa penanganan anak berhadapan dengan
hukum berbeda dengan penanganan terhadap orang dewasa yang berhadapan hukum, dalam
system peradilan pidana anak sangat mengutamakan penanganan perkara anak
mengedepankan keadilan restroatif.