Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

HUKUM ACARA KHUSUS DI LUAR KUHAP

MATA KULIAH HUKUM ACARA PIDANA

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang


menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materil, hukum
pidana formil maupun hukum pelaksanaan pidana. Di dalam pelaksanaan peradilan pidana,
ada satu istilah hukum yang dapat merangkum cita-cita peradilan pidana, yaitu “due process
of law” yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi proses hukum yang adil
atau layak Secara keliru arti dari proses hukum yang adil dan layak ini seringkali hanya
dikaitkan dengan penerapan aturan-aturan hukum acara pidana suatu Negara pada seorang
tersangka atau terdakwa. Padahal arti dari due process of law ini lebih luas dari sekedar
penerapan hukum atau perundang-undangan secara formil.

Hukum Tindak Pidana Khusus mengatur perbuatan tertentu atau berlaku terhadap orang
tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain selain orang tertentu. Oleh karena itu
hukum tindak pidana khusus harus dilihat dari substansi dan berlaku kepada siapa Hukum
Tindak Pidana Khusus itu. Hukum Tindak Pidana Khusus ini diatur dalam UU di luar
Hukum Pidana Umum. Penyimpangan ketentuan hukum pidana yang terdapat dalam UU
Pidana merupakan indikator apakah UU Pidana itu merupakan Hukum Tindak Pidana
Khusus atau bukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa Hukum Tindak Pidana Khusus adalah
UU Pidana atau Hukum Pidana yang diatur dalam UU Pidana tersendiri. Pernyataan ini
sesuai dengan pendapat Pompe yang mengatakan: “Hukum Pidana Khusus mempunyai
tujuan dan fungsi tersendiri”.
UU Pidana yang dikualifikasikan sebagai Hukum Tindak Pidana Khusus ada yang
berhubungan dengan ketentuan Hukum Administrasi Negara terutama mengenai
penyalahgunaan kewenangan. Tindak Pidana yang menyangkut penyalahgunaan kewenangan
ini terdapat dalam perumusan tindak pidana korupsi.

Ruang lingkup tindak pidana khusus ini tidaklah bersifat tetap, akan tetapi dapat berubah
tergantung dengan apakah ada penyimpangan atau menetapkan sendiri ketentuan khusus dari
UU Pidana yang mengatur substansi tertentu. Contoh: UU No. 32 Tahun 1964 tentang Lalu
Lintas Devisa telah dicabut dengan UU No. 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas Devisa dan
Sistem Nilai Tukar Uang, sehingga UU yang mengatur tentang Lalu Lintas Devisa ini tidak
lagi merupakan tindak pidana khusus.

Ruang lingkup hukum tindak pidana khusus:

 Hukum pidana ekonomi (UU Drt No.7 tahun 1955)


 Tindakn pidana korupsi
 Tindak pidana narkotika dan psikotropika
 Tindak pidana. Perpajakan
 Tindak pidana kepabeanan dan cukai
 Tindak pidana pencucian uang
 Tindak pidana anak

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana proses peradilan pidana


2. Bagaimana proses peradilan tindak pidana korupsi, peradilan narkotika, peradilan
terorisme, dan peradilan anak
3. Apa perbedaan yang mencolok antara proses peradilan pidana dengan salah satu
peradilan diluar KUHAP (peradilan tindak pidana korupsi, peradilan narkotika, peradilan
terorisme, dan peradilan anak)
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peradilan Pidana

Proses peradilan pidana adalah suatu rangkaian acara peradilan mulai dari penindakan
adanya suatu tindak pidana (sumber tindakan) sampai pada lahirnya keputusan pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum tetap.

1. Sumber Tindakan

Suatu tindakan dalam peradilan pidana yang dilakukan oleh pejabat yang berwenang
untuk itu haruslah berdasar pada sumber tindakan yang latar belakang atau menjadi dasar
tindakan sebagaiman diatur dalam undang-undang. Tindakan peradilan pada tahap
penyelidikan dan penyidikan haruslah dilakukan berdasarkan sumber tindakan, yaitu
adanya tindak pidana atau dugaan telah terjadi, sedang terjadi atau akan terjadi tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang. Sumber tindakan tersebut dapat berupa: laporan;
pengaduan; tertangkap tangan; dan pengetahuan penyelidik atau penyidik.

2. Penyelidikan dan Penyidikan

Penyelidikan dilakukan untuk mengetahui apakah suatu peristiwa tersebut merupakan


peristiwa hukum atau bukan, kemudian bisa ditentukan apakah ada unsur tindak pidana
atau tidak, untuk dapatnya segera dilakukan penyidikan berdasarkan pada sumber
tindakan sebagaimana dijelaskan diatas. Apabila proses penyelidikan sudah dilakukan,
maka proses selanjutnya adalah penyidikan terhadap tindak pidana yang terjadi. Yang
harus dilakukan oleh penyidik dalam proses ini yaitu: pemanggilan tersangka dan saksi,
penangkapan (jika perlu), penahanan (jika perlu), penggeledahan dan penyitaan yang
harus berdasarkan surat perintah dan dibuatkan berita acara atas tindakan tersebut.
Kemudian dilakukan pemeriksaan terhadap bukti-bukti yang ada untuk mendapatkan
keterangan yang jelas maupun mengetahui unsur-unsur tindak pidana yang telah terjadi.
Lalu dibuat Berita Acara Pemeriksaan (BAP) untuk dapat segera dilimpahkan ke
kejaksaan dan dilanjutkan pada proses selanjutnya.

3. Penuntutan

Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke


pengadilan negeri yang berwenang (absolute kompetentie atau relative kompetentie)
sesuai dengan cara yang diatur dalam KUHAP. Dalam proses penuntutan ini meliputi
pembuatan surat dakwaan sebagai dasar dimulainya persidangan di pengadilan dan
pembuatan surat tuntutan sebagai dasar bagi hakim untuk memberikan vonis (putusan)
terhadap perkara pidana yang disidangkan.

4. Acara Persidangan Biasa

Setelah JPU membuat surat dakwaan dan melimpahkan perkara pidana ke pengadilan
negeri, maka pengadilan segera menetapkan majelis hakim yang ditunjuk untuk
mengadili perkara pidana tersebut dan selanjutnya menentukan hari sidang. Apabila
sudah dilakukan proses seperti itu, maka persidangan bisa dapat dilaksanakan.

Apabila terdakwa yang divonis sebagaimana dimuat dalam putusan hakim menerima
putusan tersebut, maka ia menandatangani putusan tersebut. Apabila menolak putusan
tersebut, maka ia bisa mengajukan banding ke pengadilan tinggi dalam jangka waktu 14
hari. Apabila ia masih piker-pikir dan bila selama 14 hari tidak menyatakan haknya,
maka putusan tersebut sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.

5. Upaya Hukum Banding

Terhadap putusan hakim pada tingkat pertama yang ditolak oleh terdakwa maka ia
dapat mengajukan memori banding ke pengadilan tinggi. JPU pun bisa mengajukan
kontra memori banding atas memori banding yang diajukan oleh pihak terdakwa. Di
Pengadilan Negeri ini, perkara dibuka dan diperiksa kembali untuk menemukan
kebenaran materiil dari perkara pidana yang diajukan. Dan terhadap putusan pengadilan
tinggi ini pihak yang dirugikan atau tidak menerima keputusan Pengadilan Tinggi ini bisa
menggunakan haknya untuk melakukan permohonan kasasi ke Mahkamah Agung.

6. Upaya Hukum Kasasi

JPU ataupun pihak terdakwa yang merasa dirugikan oleh putusan Pengadilan Tinggi
tersebut bisa mengajukan Kasasi ke Mahkamah Agung memeriksa hukumnya saja (judex
jurist) sehingga tidak perlu menghadirkan para pihak. Hakim Agung memriksa aspek
hukumnya yang terdapat putusan hakim tingkat pertama dan putusan hakim tingkat
banding.

7. Upaya Hukum Luar Biasa (Peninjauan Kembali)

Peninjauan kembali (PK) dilakukan apabila ada permohonan dari pihak yang merasa
dirugikan oleh putusan kasas Hakim Agung. Apabila sudah melalui jalur PK ini
kemudian diputuskan oleh Mahkamah Agung, maka keputusan tersebut sudah
mempunyai kekuatan hukum tetap (inkract). Baik pengadilan tingkat banding maupun
Tingkat Kasasi, dan Permohonan Peninjauan Kembali, tidak selalu diterima untuk
diperiksa oleh Hakim pada tingkat masing-masing.

B. Peradilan Tindak Pidana Korupsi, Peradilan Narkotika, Peradilan Terorisme, dan


Peradilan Anak

1. Peradilan Tindak Pidana Korupsi

a. Penyelidikan (Pasal 1 ayat 5), penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik


untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana
guna menentukan dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur
dalam undang-undang ini. Penyelidikan dilakukan oleh Polisi dan khusus TIPIKOR
juga dilakukan oleh Jaksa (pasal 284 KUHP) dan KPK (pasal 6 Undang Undang no
30 Tahun 2002) .
b. Penyidikan (Pasal 1 ke 2 KUHAP), Penyidikan adalah serangkaian tindakan
penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk
mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang
tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan dilakukan
oleh Penyidik (polri, jaksa dan KPK).
c. Penuntutan (Pasal 1 ke 7), Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk
melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan
menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya
diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Penuntutan dilakukan oleh
Jaksa penuntut Umum pada kejaksaan ( Pasal 1 Ke 8 Kuhap) atau pada KPK Pasal 6
UU KPK).
d. Peradilan/Proses Mengadili (Pasal 1 ke 9), Mengadili adalah serangkaian tindakan
hakim untuk menerima, memeriksa, dan memutus perkara pidana berdasarkan asas
bebas, jujur, dan tidak memihak di sidang pengadilan dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini. Hakim adalah pejabat peradilan negara yang
diberi wewenang oleh undang-undang untuk mengadili (pasal 1 ke 8).
Tahap Peradilan:

1) Peradilan Tingkat pertama Pada Pengadilan Negeri;


2) Peradilan Banding pada Pengadilan Tinggi;
3) Peradilan Kasasi pada Mahkamah Agung.

2. Peradilan Narkotika

Dalam Undang-Undang Narkotika ada beberapa proses termasuk penyelidikan,


penyidikan dan penuntutan dilakukan juga oleh Badan Narkotika Nasional (BNN). Tidak
hanya kepolisian yang mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan,
penuntutan dalam sistem peradilan pidana biasa tetapi Badan Narkotika Nasional
mempunyai kewenangan khusus yang diberikan oleh Undang-undang untuk melakukan
proses penyelidikan tersebut. Hal ini lah menjadi kekhususan dalam sistem peradilan
pidana Narkotika. Undang-Undang No 35 tahun 2009 tentang Narkotika kewenangan
penyelidikan diberikan kepada Badan Narkotika Nasional (BNN). BNN juga mempunyai
kewenangannya melakukan penangkapan oleh penyidik BNN didasarkan pada Pasal 76
Ayat (1) bahwa penangkapan dilakukan paling lama3x24 jam sejak penangkapan
diterima penyidik. Kemudian didalam Undang-Undang Narkotika juga mengatur
mengenai beberapa penyidik terhadappenyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika,
diantaranya ( BNN, penyidik Kepolisian, penyidik Pegawai Negeri Sipil). Namun dalam
kewenangannya terjadi dualisme tata cara maupun kewenangan dalam melakukan
pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika. Dalammelakukan
penyidikan terhadap penyalahgunaan Narkotika, penyidik Pegawai Negeri Sipil tentu
berkoordinasi dengan penyidik BNN atau penyidik Kepolisian sesuai dengan Hukum

Acara Pidana.

3. Peradilan Terorisme

Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan


perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme
tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba
dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.

Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku


yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti
peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa
serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki
justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya (“teroris”) layak mendapatkan pembalasan
yang kejam.

Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan “teroris” dan


“terorisme”, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang
pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam
pembenaran dimata terrorism : “Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari
tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang”.
Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.

Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama
sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika
Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang
memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat
tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri,
sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik
Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers
World Trade Centre dan gedung Pentagon

Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan


abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman
Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of
Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State.
Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di
Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu
sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai :

a. Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala


Negara atau anggota keluarganya),
b. Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil.

4. Peradilan Anak

Pengadilan Anak adalah pengadilan yang bertugas dan berwenang memeriksa,


memutus dan menyelesaikan perkara anak. Batas umur anak yang dapat diajukan ke
Pengadilan Anak adalah sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai
umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Pengadilan Anak merupakan
salah satu Pengadilan Khusus yang berada di lingkungan Peradilan Umum yang disahkan
pada tahun 2012 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem
Peradilan Pidana Anak.
Penanganan perkara pidana terhadap anak tentunya beda dengan penanganan perkara
terhadap usia dewasa, penanganan terhadap anak tersebut bersifat khusus karena itu
diatur pula dalam peraturan tersendiri. Pemahaman terhadap proses penanganan perkara
anak tentunya mungkin masih ada sebahagian kalangan masyarakat yang belum mengerti
atau paham, sehingga kadang-kadang memunculkan penilaian bermacam-macam, malah
yang lebih fatal bilamana terjadi salah penilaian bahwa penanganan terhadap anak
khususnya anak yang berkonflik hukum mendapatkan perlakuan istimewa dan ada juga
yang menganggap anak tidak bisa dihukum padahal tidak sejauh itu, hanya saja proses
penanganannya diatur secara khusus.

Perlu dipahami bahwa terkait dengan penanganan anak yang berhadapan hukum
tersebut tentunya didasarkan pada beberapa ketentuan perundang-undangan yang bersifat
khusus yakni antara lain sebagai berikut:

a. Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak,


sebelumnya Undang Undang RI Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
b. Undang-Undang RI Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
RI Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
c. Undang-Undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi
Undang-Undang;
d. Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi
dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas) Tahun.

C. Perbedaan Yang Mencolok Antara Peradilan Pidana Dengan Salah Satu Peradilan
Diluar KUHAP (Tindak Pidana Korupsi, Peradilan Narkotika, Peradilan Terorisme,
dan Peradilan Anak)

1. Peradilan Anak

Ada banyak perbedaan yang terjadi antara peradilan umum dan peradilan anak,karena
pelaku perkara bukanlah orang dewasa yang sudah mempunyai psikologis yang stabil
peradilan anak mempunyai perbedaan dalam menangani kasus-kasus yang dilakukan oleh
pelakunya diantaranya adalah:

a. Proses Penyidikan dan Penuntutan terhadap Perkara Anak

Penyidikan dilakukan oleh penyidik yang ditetapkan berdasarkan keputusan


kepala kepolisian atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Kepala Kepolisian RI
sedangkan penuntutan dilakukan oleh Penuntut Umum yang ditetapkan berdasarkan
Keputusan Jaksa Agung atau pejabat lain yang ditunjuk oleh Jaksa Agung. Dalam
melakukan penyelidiikan terhadap perkara anak, penyidik wajib meminta
pertimbangan atau saran-saran dari pembimbing kemasyarakatan setelah tindak
pidana dilaporkan atau diadukan kemudian Balai Penelitian Kemasyarakatan wajib
menyerahkan hasil penelitian kemasyarakatan paling lama 3 hari sejak permintaan
penyidik.

Dalam melakukan pemeriksaan terhadap anak korban penyidik wajib meminta


laporan sosial dari pekerja sosial atau tenaga kesejahtaraan sosial setelah tindak
pidana dilaporkan; selanjutnya terhadap anak yang diajukan sebagai anak yang
berkonflik hukum (ABH) pada tingkat penyidikan, penuntutan dan dan pemeriksaan
perkara anak di pengadilan wajib diupayakan diversi.

Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses peradilan pidana
di luar proses peradilan pidana, dan terhadap proses tersebut dengan syarat-syarat
sebagai berikut:

1) Diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun;


2) Dan bukan pengulangan tindak pidana;

Selanjutnya selain ketentuan tersebut, berlaku pula terhadap anak yang didakwa
melakukan tindak pidana yang diancam pidana penjara dibawah 7 (tujuh) tahun dan
didakwa pula dengan tindak pidana yang diancam pidana penjara (tujuh) tahun atau
lebih dalam bentuk dakwaan subsidiaritas, alternatif, kumulatif maupun kombinasi
(gabungan) (Pasal 7 PERMA Nomor 4 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan
Diversi dalam Sistem Peradilan Pidana Anak).

b. Sistem Peradilan Anak

Sistem peradilan pidana anak adalah keseluruhan proses penyelesaian perkara


anak yang berhadapan hukum mulai tahap penyidikan sampai dengan tahap
pembimbingan setelah menjalani proses pidana yang berdasarkan perlindungan,
keadilan, non diskriminasi, kepentingan terbaik bagi anak, penghargaan terhadap
anak, kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak, proporsional, perampasan
kemerdekaan dan pemidanaan sebagai upaya terakhir dan penghindaran balasan
(vide Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 tentang
Sistem Peradilan Pidana Anak. Dalam sistem peradilan pidana anak bahwa terhadap
anak adalah anak yang berkonflik dengan hukum, anak yang menjadi korban dan
anak yang menjadi saksi dalam tindak pidana. Anak yang berkonflik dengan
hukum adalah anak yang yang telah berumur 12 tahun tetapi belum berumur 18
tahun yang diduga melakukan tindak pidana; Anak yang menjadi korban adalah
anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang mengalami penderitaan
fisik, mental dan atau kerugian ekonomi yang disebabkan tindak pidana; Anak yang
menjadi saksi adalah anak yang belum berumur 18 (delapan belas tahun) yang dapat
memberikan keterangan guna kepentingan proses hukum mulai tingkat penyidikan,
penuntutan dan sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat
dan atau dialami.

Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak sebelum genap berumur 18 tahun
dan diajukan ke sidang pengadilan setelah anak melampaui batas umur 18 tahun
tetapi belum mencapai umur 21 tahun anak tetap diajukan ke sidang anak (Pasal 20
Undang-Undang RI Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak).
Selanjutnya dalam hal anak belum berumur 12 tahun melakukan atau diduga
melakukan tindak pidana, maka penyidik, pembimbing kemasyarakatan, mengambil
keputusan untuk menyerahkanan kepada orang tua/wali atau mengikutsertakannya
dalam program pendidikan, pembinaan pada instansi pemerintah atau lembaga
penyelenggaraan kesejahteraan sosial yang menangani bidang kesejateraan sosial
(Pasal 21 Undang Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana
Anak jo, Pasal 67 Peraturan Pemerintah RI Nomor 65 Tahun 2015 tentang
Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak yang Belum Berumur 12 (Dua Belas)
Tahun).Kalau dalam perkara dewasa (usia 18 tahun ke atas) setiap tingkatan
pemeriksaan tidak perlu didampingi orang tua/wali namun dalam perkara anak
berhadapan hukum perlu didampingi orang tua/wali.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dalam Undang-Undang Narkotika tidak hanya kepolisian yang mempunyai kewenangan


melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan. Dalam sistem peradilan pidana biasa
Badan Narkotika Nasional mempunyai kewenangan khusus yang diberikan oleh Undang-
undang untuk melakukan proses penyelidikan tersebut

Tindak pidana terorisme merupakan tindak pidana kontemporer berarti suatu tindak
pidana yang aktual dan sewaktu-waktu bisa terjadi. Tindak pidana terorisme telah ada sejak
jaman dahulu sampai sekarang dan bentuknya telah berkembang seiring jaman. Tindak
pidana terorisme merupakan tindak pidana khusus karena tidak diatur dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHPidana) yang diatur dalam Undang-Undang No. 15 Tahun
2003 jo. Perppu No. 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Terorisme. Tindak pidana
terorisme merupakan bentuk kriminalisasi hukum terhadap tindakan terorisme yang sekarang
dianggap penting untuk dicegah dan diberantas.

Berdasarkan uraian tersebut terlihat jelas bahwa penanganan anak berhadapan dengan
hukum berbeda dengan penanganan terhadap orang dewasa yang berhadapan hukum, dalam
system peradilan pidana anak sangat mengutamakan penanganan perkara anak
mengedepankan keadilan restroatif.

Anda mungkin juga menyukai