Anda di halaman 1dari 5

1.

Pasal 24 UUD 1945


Pasal 24 UUD 1945 dalam perkembangannya mengalami dua kali
amandemen, yakni amandemen ketiga pada Pasal 24 ayat (1) dan (2) dan amandemen
keempat pada Pasal 24 ayat (3). Menurutnya, amandemen Pasal 24 UUD 1945 ini
memiliki dua isu utama, yaitu untuk menegaskan prinsip kemerdekaan kekuasaan
kehakiman dan menata kembali struktur kekuasaan kehakiman. Di masa orde lama
dalam UU No 19 Tahun 1964 tentang Kekuasaan Kehakiman, terlihat jelas bahwa
lembaga peradilan menjadi alat revolusi. Menurut UU tersebut jika hakim sedang
menangani perkara, dan perkaranya dianggap membahayakan tujuan revolusi, maka
Presiden memiliki kewenangan untuk menghentikan perkara tersebut.
Sehingga, amandemen Pasal 24 UUD 1945 ini merupakan suatu hal yang
penting dan berdasar pada prinsip Bangalore Principles of Judicial Conduct yaitu:
“Independensi kekuasaan kehakiman itu prasyarat bagi negara hukum, dan menjadi
jaminan fundamental bagi peradilan yang adil”.
2 prinsip lain dalam Bangalore Principles of Judicial
Conduct, yaitu: Pertama, seorang hakim harus independen menjaga jarak dalam
hubungannya dengan masyarakat dan pihak-pihak yang berperkara. Kedua, seorang
hakim harus bebas dari koneksi-koneksi dan hubungan-hubungan yang tidak pantas,
termasuk harus membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan eksekutif maupun
legislatif.
Lebih lanjut, ia berpendapat bahwa rumusan amandemen Pasal 24 UUD 1945
ini berasal dari proses dialektika untuk mewujudkan prinsip kemandirian kekuasaan
kehakiman di Indonesia. Hal ini kemudian diwujudkan dengan munculnya peraturan
tentang kode etik hakim, yang terangkum dalam Keputusan Bersama Mahkamah
Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI No.047/KMA/SKB/IV/2009 dan
02/SKB/P.KY/IV/2009 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim.

2. Pembagian hukum berdasarkan fungsi


Hubungan antara hukum publik dan privat kerapkali menjadi perdebatan yang
menarik karena sifat dasar mereka yang berbeda namun keduanya terikat sedemikan
rupa dimana tidak dapat
terpisahkan satu sama lain. Hingga seringkali kedua bidang hukum ini acapkali
dibedakan dari asal muasalnya, dimana hukum privat mengatur hubungan inter-
individu sedangkan hukum publik mengatur negara dan pemerintahannya.
Namun, dalam Perjanjian Kerjasama yang didalamnya ada bantuan sosial yang
diberikan dalam bentuk uang negara maka sebaiknya ada pengujian terlebih
dahulu secara khusus dalam bentuk peraturan perundang-undang
terkandung sifat (secara) melawan hukum dalam perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau korporasi yang diperbuatnya sehingga kepastian
hukum kaitanantara wanprestasi, sifat melawan hukum dan perbuatan
memperkaya diri sendiri sebagai syarat utama untuk dapat dihukumnya
seseorang karena melakukan tindak pidana ataupun melakukan perbuatan
ingkar janji (wanprestasi).
3. Hukum Acara Pidana dan Hukum Acara Perdata
 Hukum Acara Pidana
1) Penyelidikan dan Penyidikan
2) Penuntutan
3) Pemeriksaan persidangan
4) Pelaksanaan putusan pengadilan
Asas-asas Hukum Acara Pidana
a) Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
b) Asas Praduga Tidak Bersalah (Presumption of Innocence)
c) Asas Oportunitas
d) Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum
e) Asas Semua Orang Diperlakukan Sama Di Depan hakim
f) Asas Peradilan Dilakukan Oleh Hakim Karena Jabatannya Tetap
g) Asas Tersangka dan Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum
h) Asas Akusator dan Inkisator
i) Asas Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan dengan Lisan
j) Pihak-pihak dalam Hukum Acara Pidana
Dalam proses pelaksanaan hukum acara pidana, berikut adalah beberapa pihak
yang turut serta, yaitu:
1) Tersangka dan terdakwa
2) Penuntut Umum (jaksa)
3) Penyidik dan penyelidik
4) Penasihat hokum

Berikut Proses Hukum Acara Pidana:

1. Penyelidikan
Proses hukum acara pidana pertama adalah penyelidikan. Penyelidikan
dilakukan oleh aparat penegak hukum, seperti kepolisian, untuk
mengumpulkan bukti-bukti yang menunjukkan adanya dugaan tindak
pidana. Selama penyelidikan, petugas penyelidik akan memeriksa tempat
kejadian perkara, mengumpulkan keterangan saksi, dan mengumpulkan
barang bukti yang relevan.

2. Penangkapan
Proses hukum acara pidana kedua adalah penangkapan. Jika berdasarkan
hasil penyelidikan ditemukan cukup bukti yang menunjukkan
kemungkinan terjadinya tindak pidana dan adanya kebutuhan penahanan,
tersangka dapat ditangkap. Penangkapan dilakukan untuk menjaga
ketertiban, mencegah pelarian, atau melindungi tersangka dari bahaya.

3. Penahanan
Proses hukum acara pidana ketiga adalah penahanan. Jika tersangka
ditangkap, ia dapat ditahan sementara untuk proses selanjutnya.
Penahanan ini dilakukan berdasarkan keputusan hakim atau kebijakan
hukum yang berlaku.

4. Penyidikan
Proses hukum acara pidana keempat adalah penyidikan. Setelah
penangkapan, proses penyidikan dimulai. Penyidikan dilakukan oleh
penyidik atau aparat penegak hukum yang ditugaskan untuk
mengumpulkan bukti-bukti yang lebih mendalam tentang tindak pidana
yang diduga terjadi. Selama penyidikan, tersangka, saksi, dan bukti-bukti
akan diperiksa lebih lanjut untuk mengumpulkan informasi yang
diperlukan.

5. Penuntutan
Proses hukum acara pidana kelima adalah penuntutan. Setelah penyidikan
selesai, jaksa penuntut umum akan menentukan apakah ada cukup bukti
untuk mengajukan dakwaan terhadap tersangka. Jaksa penuntut umum
akan mempertimbangkan kekuatan bukti dan kesesuaian hukum dalam
memutuskan apakah akan menuntut atau menghentikan perkara.

6. Persidangan
Proses hukum acara pidana keenam adalah persidangan. Jika jaksa
penuntut umum memutuskan untuk menuntut, persidangan akan
dilakukan di pengadilan. Persidangan melibatkan para pihak yang terlibat,
seperti jaksa penuntut umum, pengacara pembela, terdakwa, saksi, dan
hakim. Selama persidangan, bukti-bukti dan argumen akan disajikan, dan
hakim akan memutuskan apakah terdakwa bersalah atau tidak bersalah.

7. Putusan dan vonis


Proses hukum acara pidana ketujuh adalah putusan dan vonis. Setelah
mendengarkan semua argumen dan bukti yang disajikan selama
persidangan, hakim akan mengeluarkan putusan. Jika terdakwa
dinyatakan bersalah, hakim akan memberikan vonis, yaitu hukuman yang
dijatuhkan kepada terdakwa. Vonis dapat berupa hukuman penjara,
denda, hukuman rehabilitasi, atau hukuman lain sesuai dengan hukum
yang berlaku.

8. Banding dan Kasasi


Proses hukum acara pidana kedelapan adalah banding dan kasasi. Jika
terdakwa atau jaksa penuntut merasa tidak puas dengan putusan
pengadilan, mereka dapat mengajukan banding atau kasasi ke instansi
yang berwenang. Prosedur banding dan kasasi dimaksudkan untuk
memeriksa kembali keputusan pengadilan dan memastikan bahwa
keadilan tercapai.

9. Pelaksanaan Hukuman
Proses hukum acara pidana terakhir adalah pelaksanaan hukuman. Jika
terdakwa dinyatakan bersalah dan vonisnya berupa hukuman penjara atau
hukuman fisik lainnya, hukuman tersebut akan dilaksanakan sesuai
dengan ketentuan hukum yang berlaku.

Perlu dipahami terlebih dahulu tahapan persidangan pidana pada tingkat


pertama berdasarkan pengalaman kami dalam beracara, yaitu sebagai berikut:

1. Dakwaan oleh jaksa penuntut umum;


2. Eksepsi (nota keberatan) oleh terdakwa/penasihat hukum (jika ada);
3. Tanggapan atas eksepsi oleh jaksa penuntut umum (jika ada);
4. Putusan sela (jika ada eksepsi);
5. Pembuktian (pemeriksaan alat bukti dan barang bukti);
6. Tuntutan oleh jaksa penuntut umum;
7. Pledoi (nota pembelaan) oleh terdakwa/penasihat hukum;
8. Replik (jawaban atas pledoi oleh jaksa penuntut umum);
9. Duplik (tanggapan atas replik oleh terdakwa/penasihat hukum); dan
10.Putusan hakim.

Jumlah persidangan dalam suatu perkara pidana tidak dibatasi, mengingat


jumlah persidangan juga bergantung kepada jumlah saksi yang dihadirkan dan
faktor-faktor lainnya. Akan tetapi, secara umum proses persidangan pidana
pada tahap pertama (Pengadilan Negeri) dapat berlangsung selama satu bulan
hingga tiga bulan, hal ini dikarenakan majelis hakim berusaha untuk
menyelesaikan persidangan sebelum masa penahanan seorang terdakwa habis
(jika terdakwa ditahan). Masa penahanan terdakwa dalam proses pemeriksaan
diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang
Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) yang berbunyi

1. Hakim pengadilan negeri yang mengadili perkara sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 84, guna kepentingan pemeriksaan berwenang
mengeluarkan surat perintah penahanan untuk paling lama tiga
puluh hari.
2. Jangka waktu sebagaimana tersebut pada ayat (1) apabila diperlukan
guna kepentingan pemeriksaan yang belum selesai, dapat
diperpanjang oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan untuk
paling lama enam puluh hari.
3. Ketentuan sebagimana tersebut pada ayat (1) dan ayat (2) tidak
menutup kemungkinan dikeluarkannya terdakwa dari tahanan
sebelum berakhir waktu penahanan tersebut, jika kepentingan
pemeriksaan sudah terpenuhi,
4. Setelah waktu sembilan puluh hari walaupun perkara tersebut belum
diputus, terdakwa harus sudah dikeluarkan dari tahanan demi hukum.

Meski demikian, dalam fakta yang terjadi di lapangan, berdasarkan


pengalaman kami, persidangan pidana masih memakan waktu yang cukup
lama, bahkan tidak jarang sidang pertama baru dimulai ketika sudah mendekati
berakhirnya masa penahanan. Jeda waktu satu minggu antara satu tahap agenda
persidangan ke tahap agenda sidang berikutnya masih sering mengalami
penundaan dikarenakan berbagai faktor. Beberapa contohnya adalah saksi yang
tidak datang dalam agenda persidangan pembuktian, surat tuntutan yang belum
dipersiapkan oleh jaksa penuntut umum, dan kendala-kendala lain yang
memperlambat proses persidangan. Penundaan sidang seperti ini tentu membuat
ketidakpastian hukum bagi terdakwa yang menjalani persidangan, terlebih lagi
untuk terdakwa yang tidak didampingi oleh penasihat hukum.

Menyikapi persoalan tersebut, serta guna mewujudkan asas peradilan


cepat, sederhana, dan berbiaya ringan, Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 2 Tahun 2014 tentang Penyelesaian Perkara di Tingkat Pertama
dan Tingkat Banding Pada 4 (Empat) Lingkungan Peradilan (“SEMA
2/2014”) mengatur masa penyelesaian perkara pada pengadilan tingkat pertama
(termasuk perkara pidana) agar diselesaikan paling lambat dalam waktu 5
bulan.
Terhadap sifat dan keadaan perkara tertentu yang penyelesaian
perkaranya memakan waktu lebih dari 5 bulan, majelis hakim membuat laporan
kepada Ketua Pengadilan Tingkat Pertama yang tembusannya ditujukan kepada
Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Mahkamah Agung.
Oleh karena itu, dengan adanya jangka waktu proses persidangan pidana
yang diatur dalam SEMA 2/2014, yakni selama 5 bulan pada tingkat pertama
(Pengadilan Negeri), diharapkan apabila persidangan pidana tidak dapat
diselesaikan selama 1 hingga 3 bulan, persidangan dapat diselesaikan selambat-
lambatnya dalam 5 bulan. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan
penyelesaian perkara lebih dari 5 bulan dalam keadaan tertentu.

Anda mungkin juga menyukai