Anda di halaman 1dari 56

Materi Hukum Acara

By
Muhammad Arif Sahlepi
Hukum Acara
 Hukum Acara atau Hukum Formil,
yaitu kaedah hukum yang mengatur
bagaimana cara mengajukan sesuatu
perkara ke muka suatu badan
peradilan dan bagaimana Hakim
memberi putusan.
 Hukum Acara atau Hukum Formil
yang berasal dari bahasa Belanda
yaitu Formeelrecht atau juga
Adjective Law dalam bahasa Inggris.
Hukum Acara
 Ada berbagai sistem hukum acara di
Indonesia, antara lain:
1. Hukum Acara Pidana.
2. Hukum Acara Perdata.
3. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha

Negara.
4.Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
5. Hukum Acara Peradilan Militer.
6. Hukum Acara Peradilan Agama.
Hukum Acara Pidana
 Hukum Acara Pidana adalah keseluruhan
aturan hukum yang mengatur tentang cara
bagaimana mempertahankan atau
menyelenggarakan hukum pidana materil,
sehingga memperoleh keputusan Hakim
dan cara bagaimana keputusan itu harus
dilaksanakan.
 Mustafa Abdullah dan Ruben Achmad
menyatakan bahwa Hukum Acara Pidana
sebagai realisasi hukum pidana adalah
hukum yang menyangkut cara pelaksanaan
penguasa nienindak warga yang didakwa
bertanggung jawab atas suatu delik
(peristiwa pidana).
Landasan Hukum Acara Pidana
 Sumber Hukum Acara Pidana :
– Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
– Undang-undang No. 3 tahun 1971 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
– Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP,).
Dengan berlakunya KUHAP ini, maka Herzien
Indonesisch Reglement (HIR), dalam bahasa
Indonesia Reglemen Indonesia diperbaharui (RID)
bagian pidana dinyatakan tidak berlaku lagi.
– Undang-undang No. 14 tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung.
– Undang-undang No. 2 tahun 1986 tentang Peradilan
Umum.
Hukum Acara Pidana
 Fungsi Hukum Acara Pidana
– Mencari dan menemukan kebenaran.
– Pemberian keputusan oleh Hakim.
– Pelaksanaan keputusan oleh Hakim.
Asas-Asas Hukum Acara Pidana
1. Yang berhubungan dengan peranan.
 Prakarsa proses dilakukan oleh Polisi/Jaksa. Jaksa mengajukan tuntutan
ke Pengadilan serta melaksanakan penetapan Hakim.
 Asas-asas oportunitas yaitu dimungkinkannya perkara yang sedang
dalam proses penuntutan dideponir atau dipeti-eskan oleh
Jaksa/Pengadilan demi kepentingan umum.
 Kedua pihak wajib didengar keterangan-keterangannya oleh Hakim.
 Acara pemeriksaan dalam sidang pengadilan dilakukan dengan
perdebatan lisan atau langsung.
 Keputusan Hakim wajib dilandasi dengan alasan-alasan yang rasional
obyektif, setelah mendengar kedua pihak termasuk saksi a charge
(yang meringankan) dan saksi a de charge (yang memberatkan).
 Dalam rangka menemukan kebenaran materiil (materieel waarheid),
Hakim dalam menjalankan tugasnya bersifat aktif (leidende rol), artinya
Hakim bertindak memimpin (proses) peradilan.
 Akusator artinya pada asas akusator ini para pihak diakui sebagai subyek
dan kedudukannya sederajat, pemeriksaan tidaklah bersifat rahasia
(terbuka untuk umum). Tersangka sudah dapat didampingi oleh
Penasehat Hukum.
 Peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan.
 Praduga tak bersalah (Presumption of innocence). Setiap orang yang
disangka, ditangkap, ditahan, dituntut atau dihadapkan di muka sidang
pengadilan dianggap tidak bersalah sampai ada putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.
 Semua orang diperlakukan sama di depan hakim.
Asas-Asas Hukum Acara Pidana
2. Yang berhubungan dengan keadaan peradilan.
 Sidang pengadilan dilakukan terbuka untuk umum.
Terhadap asas ini ada pengecualian yaitu bahwa
sidang perkara susila dan pelaku kejahatan adalah
anak-anak dibawah umur dilakukan secara tertutup.
Keputusan Hakim harus selalu dinyatakan dengan
pintu terbuka.
 Peradilan bertahap.
– Tingkat pertama pada Pengadilan Negeri.
– Tingkat Banding pada Pengadilan Tinggi.
– Tingkat Kasasi pada Mahkamah Agung.

3. Sidang Pengadilan diselenggarakan oleh suatu Majelis


Hakim ( Ketua + 2 orang atau 3 orang anggota);

4.Dilakukan oleh Hakim karena jabatannya yang tetap.


Subyek Hukum Acara Pidana.
1. Tersangka/terdakwa ialah orang yang diduga
melakukan tindak pidana.
2. Polisi ialah petugas yang melakukan
penyidikan.
3. Jaksa ialah petugas yang melakukan
penuntutan.
4. Hakim ialah petugas yang bertugas mengadili.
5. Panitera ialah petugas yang melakukan
pencatatan pada sidang pengadilan.
6. Penasehat Hukum/Pengacara ialah yang
memberikan nasehat atau yang mendampingi
tersangka di sidang pengadilan.
7. Saksi--saksi.
8. Pegawai Lembaga Pemasyarakatan yang
melaksanan putusan Hakim
Jenis-jenis Eksepsi
 1. Exeptio obscuri libeli yakni
keberatan ditujukan kepada surat
dakwaan.
 2. Exeptio Litispendentia.

 3. Exeptio Paremptoir.

 4. Exeptio Rei Judicatae.

 5. Exeptio Error in persona.

 6. Exeptio error in juris.


Pelaksanaan peranan Acara Pidana dalam
perkara pidana
 Bila diduga atau diketahui terjadi peristiwa pidana maka,
dilakukan penyidikan oleh Polisi atau PPNS tertentu yang
diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Penyidikan ini
dilakukan untuk mencari dan mengumpulkan bukti-bukti yang
berguna untuk menemukan siapa yang merupakan tersangka
yang melakukan tindak pidana.
 Setelah si tersangka dan barang bukti ditemukan maka perkara
ini dilimpahkan kepada Jaksa (Penuntut Umum) yang akan
melakukan penuntutan di Pengadilan Negeri supaya diperiksa dan
diputus oleh Hakim di sidang pengadilan.
 Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh Hakim
yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk
mengadili (menerima,memeriksa dan memutus perkara pidana).
 Hakim mengadili berdasarkan asas bebas, jujur dan tidak
memihak. Berdasarkan hasil pemeriksaan tersebut Hakim
menetapkan keputusan. Putusan adalah pernyataan Hakim yang
diucapkan dalam sidang Pengadilan Terbuka yang dapat berupa
pemidanaan (penjatuhan hukuman) atau bebas (bila apa
yang didakwakan dalam pengadilan tidak terbukti secara
sah) atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum
(perbuatan yang terbukti tetapi perbuatan tersebut bukan
merupakan delik).
 Setelah Hakim menjatuhkan putusan yang telah mempunyai
kekuatan hukum tetap, maka Jaksa menjalankan isi putusan
tersebut.
Upaya Hukum
 Bila putusan Hakim sudah dijatuhkan dan para
pihak (Jaksa atau terdakwa) tidak puas, bagi
mereka diberikan upaya hukum berupa :
1. Upaya Hukum Biasa yaitu :
Melalui pemeriksaan tingkat banding diajukan ke
Pengadilan Tinggi oleh terdakwa/kuasanya atau oleh
Jaksa melalui pemeriksaan untuk kasasi yang
diajukan ke Mahkamah Agung.
Permintaan kasasi terhadap putusan bebas
tidak dapat dilakukan.

2. Upaya Hukum Luar Biasa yaitu :


Demi kepentingan hukum.terhadap semua putusan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
dapat diajukan satu kali pemeriksaan kasasi oleh
Jaksa Agung kepada Mahkamah Agung. Kasasi di
sini bertujuan untuk mencapai kesatuan penafsiran
hukum oleh pengadilan.
Pra-Peradilan
Satu macam pemeriksaan yang tidak dikenal dalam
HIR/RID tetapi diuraikan dalam UU No. 8/1981
tentang KUHAP yaitu Pra Peradilan.
Pemeriksaan dalam Pra Peradilan ialah perkara :
 Mengenai sengketa tentang sah atau tidaknya
penangkapan, penahanan, penghentian
penyidikan atau penghentian penuntutan.
 Mengenai ganti kerugian dan atau rehabilitasi
bagi seseorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau
penuntutan.
Pra-Peradilan
 Sidang pengadilan dilakukan oleh cukup
Hakim tunggal yang dibantu seorang
Panitera. Permohonan Pra Peradilan ini
diajukan oleh tersangka, keluarga
tersangka atau kuasanya kepada Ketua
Pengadilan Negeri. Acara pemeriksaan Pra
Peradilan ini harus cepat dan singkat, oleh
karena dalam waktu sepuluh hari setelah
diterimanya penuntutan, Hakim harus
menjatuhkan putusannya.
HUKUM ACARA PERDATA
 Hukum Acara Perdata adalah peraturan-peraturan hukum
yang menentukan bagaimana cara mengajukan perkara-
perkara perdata ke muka pengadilan (termasuk juga Hukum
Dagang) dan cara-cara melaksanakan putusan-putusan
hakim. Dapat juga dikatakan peraturan-peraturan hukum
yang mengatur bagaimana cara memelihara dan
mempertahankan Hukum Perdata Materiil.

 Menurut Wirjono Prodjodikoro Hukum Acara Perdata adalah


rangkaian peraturan yang memuat cara bagaiman orang
harus bertindakan terhadap dan di muka pengadilan serta
cara bagaimana Pengadilan harus bertindak satu lama lain
untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata.

 Izaac S. Leihitu menyatakan bahwa : Hukum Acara Perdata


adalah peraturan-peraturan yang mengatur tentang cara
bagaimana melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban
dalam hukum perdata materiil melalui Pengadilan.
Sejarah perkembangan peradilan di Indonesia.
 Peradilan di Indonesia telah mengalami tiga zaman :
1. Zaman Pemerintahan Hindia Belanda (1848-1042).
2. Zaman Pendudukan Jepang (1942 - 1945).
3. Zaman Kemerdekaan Republik Indonesia (1945 - sekarang).
 Menurut Inlandsch Reglement tahun 1848 peradilan di Indonesia untuk bangsa
Indonesia, dalam perkara perdata ditentukan sebagai berikut :
– District-gerecht ;
– Regentschap-gerecht ;
– Landraad ;
– Raad van Justitie, (RvJ) ;
– Hooggerechtshof (HGH).

 Pada Zaman Pendudukan Jepang semua badan peradilan dari Pemerintah Hindia Belanda
dihapuskan, kemudian diubah namanya yaitu :
– Landraad menjadi Tihoo-Hooin, (Pengadilan Negeri).
– Landgerecht menjadi Keizai-Hooin (Pengadilan Kepolisian).
– Regentschap-gerecht menjadi Ken-Hooin (Pengadilan Kabupaten).
– District-gerecht menjadi Gun-Hooin (Pengadilan Kewedanaan).
– Raad van Justitie menjadi Koo-Too-Hooin (Pengadilan Tinggi),
– Hooggerechtshof menjadi Saikoo-Hocin (Mahkamah Agung).

 Pada zaman Kemerdekaan Republik Indonesia susunan peradilan di Indonesia adalah


sebagai berikut :
– Pengadilan Negeri.
– Pengadilan Tinggi.
– Mahkamah Agung.
Landasan Hukum Acara Perdata
Pada masa penjajahan Belanda untuk hukum acara perdata berlaku
Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv) untuk golongan
Eropa dan Herzeine Indonesisch Reglement (HIR) atau Reglemen
Indonesia yang Dibaharui (RID) untuk golongan Bumi Putra di Pulau
Jawa dan Madura, sedangkan untuk luar Jawa dan Madura berlaku
Rechtsreglement Buitengewesten (RBg).

 Badan peradilan pada masa ini ialah :


1. Raad van Justitie dan Residentie Gerecht untuk golongan Eropa ;
2. Landraad untuk golongan Bumi Putra.

Pada masa penjajahan Jepang badan-badan peradilan di atas


dihapuskan, kemudian Landraad diubah menjadi Pengadilan Negeri.
Melalui UU no. 20 tahun 1947 dibentuk Pengadilan Tinggi. Mahkamah
Agung dibentuk dengan UU No. 1 tahun 1950 untuk perkara kasasi.
Dengan adanya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 yang menyatakan
bahwa kita kembali ke UUD 1945, maka melalui pasal II Aturan
Peralihannya dan pasal-pasal peralihan sebelumnya, tetap digunakan
HIR (RID) dan RBg sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara.
Sumber Hukum Acara Perdata
 Sumber hukum yang lain selain yang telah disebutkan di atas
ialah :
1. Undang-undang Darurat no. 1 tahun 1951 tentang kesatuan
susunan kekuasaan Acara Pengadilan Sipil yang menunjuk
RID sebagai pedoman.
2. Undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman jo. Undang-undang no. 35 tahun 1999.
3. Undang-undang no. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung
jo. UU No. 4 Tahun 2004 jo. UU No. 5 Tahun 2004.
4. Undang-undang no. 2 tahun 1986 tentang Peradilan Umum.
5. Selain undang-undang, yurisprudensi dan doktrin juga dapat
merupakan sumber hukum acara perdata.

 Peradilan agama juga merupakan peradilan perkara perdata


khusus perceraian, tetapi hanya mengadili orang-orang yang
beragama Islam saja, dan perkara-perkaranya mengenai
agama Islam bukan diperuntukkan agama lain.Untuk Agama
lain adalah kompetensi Pengadilan Negeri
Asas-asas dalam Hukum Acara Perdata
1. Yang berhubungan dengan peranan :

 Prakarsa proses dilakukan oleh para pihak yang bersengketa.


 Hakim bersifat menunggu artinya inisiatif untuk mengajukan
tuntutan hak diserahkan sepenuhnya kepada yang
berkepentingan.
 Hakim wajib mengusahakan perdamaian.
 Perkara yang sudah berjalan dapat sewaktu-waktu ditarik atas
persetujuan kedua belah pihak yang bersengketa.
 Acara pemeriksaan dalam sidang pengadilan mengutamakan
tulisan-tulisan.
 Putusan hakim wajib dilandasi dengan alasan-alasan yang
rasional obyektif. Alasan tersebut sebagai
pertanggungjawaban Hakim atas putusannya terhadap
masyarakat.
 Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup
dipertimbangkan merupakan alasan untuk pemeriksaan kasasi
di Mahkamah Agung.
 Yurisprudensi dan doktrin seringkali dijadikan landasan oleh
Hakim untuk memperkuat putusan yang telah ditetapkannya.
Asas-asas dalam Hukum Acara Perdata
2. Yang berhubungan dengan keadaan peradilan
 Sidang-sidang Pengadilan dilakukan secara terbuka untuk umum,
artinya setiap orang diizinkan menghadiri pemeriksaan di
persidangan. Tujuannya adalah memberi perlindungan hak-hak asasi
manusia dalam bidang peradilan dan menjamin obyektifitas peradilan.
 Asas terbuka ini dapat disimpangi dalam perkara susila dan ketertiban
umum, tetapi putusan harus dibacakan dalam sidang terbuka untuk
umum.
Kedua belah pihak yang berperkara didengar pendapatnya dan diakui
sebagai subyek hukum yang kedudukannya sederajat.
 Peradilan dilaksanakan bertahap:
 Tingkat pertama pada Pengadilan Negeri.
 Tingkat banding pada Pengadilan Tinggi. Bagi mereka yang tidak puas dengan
putusan yang dijatuhkan dapat mengajukan untuk mengulang kembali perkara
mereka ke Pengadilan Tinggi.
 Tingkat Kasasi
Pada tingkat kasasi Mahkamah Agung tidak mengulang lagi perkara
yang sudah diputuskan oleh Pengadilan Tinggi atau pada tingkat
banding, akan tetapi yang diteliti disini ialah apakah putusan Hakim
terdahulu telah melanggar atau melakukan penyimpangan atas
undang-undang.
 Sidang-sidang pengadilan pada umumnya diselenggarakan oleh suatu
Majelis Hakim.
Norma-norma dalam Hukum Acara Perdata
1. Subyek hukum dalam Hukum Acara
Perdata :
 Para pihak yang bersengketa yaitu :

- Penggugat, pihak yang mengajukan


gugatan ke Pengadilan.
- Tergugat, pihak yang digugat dalam
perkara perdata.
 Hakim yang mengadili.
 Panitera yang mencatat jalannya sidang
Pengadilan.
 Penasehat hukum/Pengacara.
 Juru sita.
Norma-norma dalam Hukum Acara Perdata
2. Kompetensi/kewenangan mengadili ada 2 (dua)
macam :
 Absolute Competentie/Kompetensi Mutlak.
Kewenangan mutlak ini menjawab pertanyaan
badan peradilan macam apa yang berwenang
untuk mengadili sengketa ini? Jadi kompetensi
mutlak ini menyangkut pembagian kekuasaan
anatar badan peradilan, dilihat dari macamnya
pengadilan. Misalnya ,pemberian kekuasaan
mengadili kepada Pengadilan Negeri dan tidak
kepada macam pengadilan lain.

 Relatieve Competentie/Kompetensi Relatif.


Kompetensi relatif ini adalah kewenangan untuk
mengadili diantara badan peradilan yang sejenis.
Misalnya pembagian kekuasaan mengadili
diantara berbagai wilayah Pengadilan Negeri.
Norma-norma dalam Hukum Acara Perdata

3. Perkara perdata yang diajukan ke pengadilan


dapat berupa :
A. Perkara gugatan (jurisdictio contentiosa).
Di Sini terdapat sanggah-menyanggah, jadi
berhubungan dengan perselisihan. Jenis
putusannya ialah Keputusan/vonnis.

B. Perkara Permohonan (jurisdictio voluntaria).


Di sini Hakim tidak melakukan peradilan, ia
tidak membuat putusan melainkan beschikking,
menetapkan secara resmi apa yang sudah ada.
Misalnya penetapan ahli waris.
Norma-norma dalam Hukum Acara Perdata

4. Sifat isi putusan pengadilan dapat berupa :


– Putusan yang bersifat deklarator yaitu putusan
yang menjelaskan sesuatu. Contoh putusan
yang berisikan penunjukkan sebagai ahli waris.
– Putusan yang bersifat konstitutif yaitu
menciptakan atau menghapus suatu status
hukum tertentu. Contoh bubarnya perkawinan,
istri menjadi janda.
– Putusan yang bersifat kondemnator yaitu
putusan yang memberi hukuman. Contoh :
menyerahkan barang, membayar biaya
perkara.
Norma-norma dalam Hukum Acara Perdata

5. Untuk berperkara di Pengadilan pada


asasnya dikenakan biaya yang
meliputi :
– Biaya pemanggilan para pihak.
– Biaya pemberitahuan kepada para pihak
– Biaya materai.
– Biaya Pengacara (bila memakai
Pengacara merupakan biaya di luar biaya
berperkara di Pengadilan).
HUKUM PERADILAN TATA USAHA NEGARA
 Indonesia sejak tahun 1986 telah memiliki Peradilan Tata
Usaha Negara berdasarkan UU No.5 Tahun 1986 yang telah
dirubah dengan UU No.9 Tahun 2004 tentang Peradilan
Tata Usaha Negara, sebagai peradilan Administrasi yang
berdiri sendiri lepas dan peradilan umum. Peradilan ini
khusus untuk mengadili perkara adminstrasi ( dual system
of court).

 Perubahan UUD 1945 kaitannya dengan Peradilan Tata


Usaha Negara yang diatur dalam 24 ayat (2) perubahan
ketiga yang berbunyi : “Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan bukan peradilan yang
berada dibawahnya dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan militer, lingkungan
peradilan tata usaha negara dan oleh Mahkamah
Konstitusi”.
HUKUM PERADILAN TATA USAHA NEGARA
 Peradilan Administrasi negara adalah suatu peradilan
yang menyelesaikan perselisihan/sengketa yang terjadi
antara pihak-pihak yang satu pihak adalah aparat
pemerintah dan warga masyarakat di pihak, atau antara
sesama aparat pemerintah mengenai
perbuatan/tindakan dalam rangka melaksanakan
tugasnya di mana para pihak (terhadap siapa,
perbuatan-perbuatan itu ditujukan) tidak menerimanya
dengan alasan tindakan itu tidak sah atau dengan
alasan lain.
 Perselisihan/sengketa tersebut timbul karena masalah
kompetisi atau yuridiksi dan perbedaan interpretasi
dalam melaksanakan suatu ketentuan perundang-
undangan. Perselisihan/sengketa yang terjadi antara
sesama aparat pemerintah disebut sengketa/intern.
Sedangkan sengketa ekstern adalah
sengketa/perselisihan yang terjadi antara aparat
pemerintah dan warga masyarakat.
Penyelesaian sengketa administrasi
 Penyelesaian sengketa administrasi dengan
cara pengaduan (administratieve beroep)
maksudnya ialah penyelesaian sengketa yang
dilakukan dalam lingkungan administrasi
sendiri.
 Pengaduan ditujukan kepada atasan atau
kepada atasan atau kepada instasi yang lebih
tinggi.
 Misalnya : warga A merasa dirugikan dengan
terbitnya keputusan dari pejabat B Warga A
dapat mengadukan halnya kepada atasan
pejabat B. Berdasar pengaduan warga A maka
atasan pejabat B dapat membatalkan, bisa juga
memperkuat
Penyelesaian sengketa administrasi
 Penyelesaian sengketa administrasi melalui
Badan Pengadilan Semu (Quasi).
- Dikatakan semu karena Badan (Dewan)
tersebut masih termasuk dalam lingkungan
administrasi sendiri tetapi tata caranva sama
dengan suatu badan peradilan.
- Kegiatan peradilan dilakukan oleh Badan,
Dewan, Komisi atau Panitia.
- Cara kerjanya hampirr sama dengan peradilan
umum, tetapi keputusannya rnasih dapat
dibatalkan oleh Menteri yang bersangkutan.
- Contoh: Panitia Penyelesaian perselisihan
Perburuhan (P4P) dan Panitia Penyelesaian
Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D)-
Departemen Tenaga Kerja.
Penyelesaian sengketa administrasi
 Penyelesaian melalui Badan Pengadilan Administrasi
Penyelesaian sengketa/perselisihan melalui Badan Peradilan
Administrasi yang sebenarnya, artinya bahwa Badan
Peradilan ini memenuhi syarat-syarat sebagai yang terdapat
dalam Pengadilan biasa, yakni bahwa anggota badan
peradilan ini benar-benar berkedudukan sebagai hakim.
Putusan badan Peradilan ini tidak dapat dibatalkan atau
dipengaruhi oleh Menteri ataupun oleh yang lainnya.
 Hakim adalah pejabat negara yang mempunyai 3 (tiga)
wewenang, yakni :
– menilai fakta-fakta berdasarkan sarana-sarana bukti
sebagaimana ditentukan oleh undang-undang ;
– melakukan interpretasi yuridis terhadap undang­-undang
(interpretasi yang mempunyai kekuatan undang­-undang) ;
– menjatuhkan putusan (Vonnis) yang pada waktunya mempunyai
kekuatan hukum mutlak (kracht van gewijsde).
 Contoh : Majelis Pertimbangan Pajak :
– Ordonansi 27 Januari 1927.
– Keppres No.84/M 1980.
 Badan Penyelesaian Sengketa Pajak, Contoh : Undang-
undang Nomor 37 Tahun 1997.
Penyelesaian Sengketa adminitrasi

Penyelesaian Sengketa adminitrasi


melalui Pengadilan Umum. Sengketa yang
diputus oleh Badan Pengadian Umum
termasuk ganti rugi berdasarkan Pasal 1365
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu
mengenai Perbuatan Melawan Hukum
Pejabat Pemerintah/Penguasa
(onrechtmatige overheidsdaad).
Penyelesaian Sengketa adminitrasi
 Penyelesaian melalui Badan
Pengadilan Tata Usaha Negara
berdasarkan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1986 yang terdiri
atas Pengadilan Tata Usaha, lalu
dilanjutkan upaya banding ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara dan Kasasi ke Mahkamah
Agung.
Penyelesaian Sengketa adminitrasi
 Penyelesaian Sengketa oleh suatu Badan
Arbitrase, misalnya Badan Administrasi
Nasional Indonesia (BANI), atau oleh
badan atau panitia arbitrase lain.

 Oleh suatu “Badan Teknis” atau Panitia


Teknis atau Panitita Ad hoc atau “Panitia
Khusus” yang dibentuk: oleh
Departemen atau Instansi lain.
Cara Pelaksanaan Peradilan Administrasi Di Indonesia
 Berdasarkan Hukum Positif yang ada, pelaksanaan
Peradilan Administrasi dilakukan oleh :
A.Hakim Perdata :
– Pajak tidak langsung.
– Bea Balik Nama.
– Perbuatan melawan hukum oleh Penguasa (1365
KUHPerdata)
B.Badan Majelis :
– M.P.P. Ordonansi 27 Januari 1927 jo. Keppres No.84/1980
– Panitia : Panitia Urusan Tanah UU No.20 Th. 1961.Inpres
No.9 Th.1973.
C. Menteri, Contohnya: Menteri Dalam Negeri
memutus perselisihan antar Pemda Tingkat I dan Daerah
Tingkat II.
D. Kepala Daerah : Gubernur/kepala Daerah mengenai
perselisihan antar Pemerintah Daerah Tingkat II yang
terletak dalam Daerah Tingkat I yang sama. (Pasal 66
ayat (2) UU No. 5/74)
Putusan Peradilan Administrasi Negara dapat berupa :

– Pembatalan terhadap keputusan pejabat


administrasi negara yang melanggar
ketentuan perundang-undangan.
– Koreksi terhadap keputusan pejabat
yang keliru.
– Membetulkan interpretasi yang salah.
– Perintah mengindahkan tata tertib.
– Perintah pembayaran ganti rugi
Tuntutan Ganti Rugi
 Perbuatan Administrasi Negara yang menimbulkan
kerugian bagi yang terkena keputusan sebagai pangkal
sengketa dari dalam fungsinya melakukan servis publik.
Administ-rasi dapat dituntut ganti rugi. Sebaliknya
Administrasi dapat menuntut pihak yang terkena,
apabila yang bersangkutan tidak melaksanakan
ketentuan yang termuat dalam Surat Keputusan.

Perbuatan Administrasi Negara yang menimbulkan


kerugian bagi yang terkena keputusan Adminitrasi
Negara sehingga pihak yang dirugikan dapat menuntut
ganti rugi, misalnya :
 Perbuataan Administrasi Negara yang melawan hukum
(onrechtmatige overheidsaad).
 Perbuatan Administrasi Negara yang menyalahgunakan
wewenang (detounement de pouvoir).
 Perbuatan Administrasi Negara yang menyalah gunakan
sewenang-wenang
CIRI-CIRI KARAKTERISTIK HUKUM ACARA DI PTUN
Ciri utama yang membedakan Hukum Acara
Peradilan Tata Usaha Negara di Indonesia dengan
Hukum Acara Perdata atau Hukum Acara Pidana
adalah Hukum Acaranya secara bersama-sama diatur
dengan hukum materielnya yaitu dalam Undang
Undang Nomor 5 Tahun 1986.
Selain ciri utama tersebut diatas, ada beberapa ciri
khusus yang menjadi karakteristik hukum acara
Peradilan Tata Usaha Negara yaitu antara lain sebagai
berikut:
1.Peranan hakim yang aktif karena ia dibebani tugas
untuk mencari kebenaran materiel. Keaktifan hakim
dapat kita temukan antara lain dalam ketentuan Pasal
63 ayat (2) butir a, b, Pasal 80 ayat (1), Pasal 85, Pasal
95 ayat (1), Pasal 103 ayat (1).
CIRI-CIRI KARAKTERISTIK HUKUM ACARA DI PTUN

2. Kompensasi ketidak seimbangan antara


kedudukan Penggugat dan Tergugat
(Jabatan Tata Usaha Negara). Kompensasi
perlu diberikan karena kedudukan
Penggugat (orang atau Badan Hukum
Perdata) diasumsikan dalam posisi yang
lebih lemah dibandingkan Tergugat selaku
pemegang kekuasaan Publik. Apalagi pada
saat pembuktian, biasanya alat bukti yang
diperlukan dalam proses persidangan tidak
dimiliki oleh Penggugat (yang pada
umumnya rakyat biasa), melainkan dimiliki
oleh Tergugat.
CIRI-CIRI KARAKTERISTIK HUKUM ACARA DI PTUN

3. Sistem pembuktian yang mengarah


kepada pembuktian bebas
(vrijbewijs) yang terbatas
(Indroharto, 1996:189). Menurut
Pasal 107 UU PTUN; hakim
menentukan apa yang harus
dibuktikan, beban pembuktian,
beserta penilaian pembuktian, tetapi
Pasal 100 UU PTUN; menentukan
secara limitatif mengenai alat-alat
bukti yang boleh digunakan.
CIRI-CIRI KARAKTERISTIK HUKUM ACARA DI PTUN

4. Gugatan di Pengadilan tidak mutlak


bersifat menunda Pelaksanaan
Keputusan Tata Usaha Negara yang
digugat (vide Pasal 67 UU PTUN).
Hal ini sehubungan dengan dianutnya
azas Presumptio justae Causa dalam
Hukum Administrasi Negara, yang
maksudnya adalah bahwa suatu
Keputusan Tata Usaha Negara harus
selalu dianggap benar dan dapat
dilaksanakan, sepanjang hakim belum
membuktikan sebaliknya.
CIRI-CIRI KARAKTERISTIK HUKUM ACARA DI PTUN

5.Putusan Hakim tidak boleh bersifat


Ultra Petita (melebihi tuntutan
Penggugat) tetapi dimungkinkan
adanya reformatio in peius
(membawa Penggugat dalam
keadaan yang lebih buruk)
sepanjang diatur dalam perundang-
undangan
CIRI-CIRI KARAKTERISTIK HUKUM ACARA DI PTUN

6. Terhadap Putusan Hakim Tata


Usaha Negara berlaku asas erga
omnes, artinya bahwa putusan itu
tidak hanya berlaku bagi para pihak
yang bersengketa, tetapi juga
berlaku bagi pihak-pihak lain yang
terkait.
CIRI-CIRI KARAKTERISTIK HUKUM ACARA DI PTUN

7. Dalam proses pemeriksaan


dipersidangan berlaku asas audi et
alteram partem yaitu para pihak
yang terlibat dalam sengketa harus
didengar penjelasannya sebelum
Hakim membuat putusan (L, Neville
Brown dan John S. Bell, 1993:217),
asas ini merujuk pada hak asasi
yang bersumber dari Hukum Tuhan
(H.W.R. Wade, 1988:500).
CIRI-CIRI KARAKTERISTIK HUKUM ACARA DI PTUN

8. Dalam mengajukan gugatan harus


ada kepentingan (Point d’interet,
Point d’action) atau bila tidak ada
kepentingan maka tidak boleh
mengajukan gugatan (No interest,
No action).
CIRI-CIRI KARAKTERISTIK HUKUM ACARA DI PTUN

9. Kebenaran yang dicapai adalah


kebenaran materil dengan tujuan
menyelaraskan, menyerasikan,
menyeimbangkan kepentingan
perseorangan dengan kepentingan
umum.
Beberapa hal yg membedakan HAPER dan
HAPTUN
1. Objek Gugatan
2. Subjek Gugatan
3. Tenggang waktu pengajuan gugatan
4. Tahapan proses berperkara
5. Tuntutan
6. Putusan Verstek (vide pasal 72)
7. Rekonpensi
8. Peranan Pengadilan Tinggi (vide Pasal 48
jo Pasal 5 ayat 3)
9. Juru Sita
10. Eksekusi (vide Pasal 116)
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha
Negara dikenal dua macam proses
penyelesaian yaitu:
a. Secara Administratif;
b. Secara Gugatan.
a. Penyelesaian Secara Adminstratif :
Upaya adminstrasi adalah suatu prosedur yang
dapat ditempuh dalam menyelesaikan masalah
sengketa Tata Usaha Negara oleh seseorangatau
Badan Hukum Perdata apabila ia tidak puas terhadap
suatu Keputusan Tata Usaha Negara, dalam
lingkungan adminstrasi atau pemerintah sendiri.
Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara
b. Penyelesaian secara gugatan :
 Apabila di dalam ketentuan perundang-
undangan yang berlaku tidak ada kewajiban
untuk penyelesaian sengketa Tata Usaha
Negara tersebut melalui Upaya Administrasi,
maka seseorang atau Badan Hukum Perdata
tersebut dapat mengajukan gugatan ke
Pengadilan Tata Usaha Negara.
 Yang dimaksud dengan Gugatan adalah
permohonan yang berisi tuntutan terhadap
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang
diajukan ke Pengadilan untuk mendapatkan
putusan (Pasal 1 angka 5 UUD No. 5 tahun
1986).
Hukum Acara Pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
 Salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi
adalah memeriksa, mengadili dan memutuskan
permohonan pengujian Undang-Undang terhadap
UUD 1945. kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam
sistem ketatanegaraan diatur dalam Pasal 24 ayat
(1) UUD 1945 dan perubahannya merupakan bagian
dari kekuasaan kehakiman tetapi bukan bagian dari
Mahkamah Agung (yang diatur dalam Pasal 24 ayat
(2) UUD 1945.

 Mahkamah Konstitusi berkedudukan setara dengan


Mahkamah Agung, keduanya merupakan
penyelenggara tertinggi dari kekuasaan kehakiman.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia mempunyai
Empat kewenangan dan satu kewajiban,sebagaimana
dimaktub dalam Pasal 24 C ayat (1) dan ayat (2)
UUD 1945. Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang
putusannya bersifat final untuk :

 Menguji undang-undang terhadap UUD 1945


 Memutuskan sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945.
 Memutuskan pembubaran partai politik, dan
 Memutuskan perselisihan tentang hasil pemilihan
umum.
Kewajiban Mahkamah Konstitusi
 Mahkamah Konstitusi wajib memberikan
putusan atas pendapat DPR bahwa presiden
dan/atau wakil presiden diduga :
 Telah melakukan pelanggaran hukum berupa :
– Pengkhianatan terhadap negara;
– Korupsi;
– Penyuapan;
– Tindak pidana berat lainnya.
 Atau perbuatan tercela, dan/atau.
 Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden
dan/atau wakil presiden sebagaimana dimaksud
dalam UUD 1945
Obyek Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
– Semua perkara konstitusi di Mahkamah
Konstitusi disebut perkara “permohonan
bukan gugatan”, karena perkara konstitusi di
Mahkamah Konstitusi tidak bersifat
“Adversarial” atau “Contentious” dengan pihak-
pihak yang saling bertabrakan kepentingan satu
sama lain seperti dalam perkara Perdata
ataupun Tata Usaha Negara.
– Kepentingan yang sedang digugat dalam
pengujian adalah kepentingan yang luas dan
menyangkut kepentingan semua orang dalam
kehidupan bersama.
– Undang-undang yang digugat adalah undang-
undang yang mengikat umum terhadap
segenap warga negara.
– Perkara yang diajukan tidak dalam bentuk
gugatan melainkan permohonan.
Subyek Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

a. Subyek hukum yang mengajukan


disebut “Pemohon”
b. Pemohon adalah subyek hukum
yang memenuhi syarat menurut
undang-undang untuk mengajukan
permohonan perkara kepada
Mahkamah Konstitusi (Pasal 51
ayat (1) UU No. 24 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi.
Subyek Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Pemohon adalah pihak yang menganggap hak


dan/atau kewenangan konstitusinya dirugikan oleh berlakunya
undang-undang.
1. Perorangan warga negara Indonesia termasuk kelompok
orang Warga Negara Indonesia yang mempunyai
kepentingan sama, asal nama-nama memenuhi syarat-
syarat yang ditentukan undang-undang Mahkamah
Konstitusi.
2. Kesatuan masyarakat Hukum Adat Pasal 18 B ayat (2)
UUD 1945 Pasal 51 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2003
tentang Mahkamah Konstitusi, sepanjang masih hidup dan
sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3. Badan Hukum
Badan Hukum publik maupun Badan Hukum Perdata
(Rechtspersoon)
4. Lembaga Negara
Termasuk lembaga Pemerintahan Departemen, non
Departemen.
Tahapan Proses Berperkara
1. Mengajukan Permohonan yg ditulis dalam bahasa
Indonesia, ditandatangani pemohon dan dibuat 12
rangkap.
2. Melakukan Pendaftaran ke panitera Mahkamah
Konstitusi.
3. Penjadwalan sidang yaitu 14 hari setelah pendaftaran.
4. Pemeriksaan pendahuluan yg dilakukan dalam Majelis
Hakim secara panel sebanyak minimal 3 orang hakim,
untuk melihat kelengkapan administratif perkara.
5. Pemeriksaan persidangan secara pleno, minimal
dilakukan oleh 7 orang hakim dan maksimal 9 orang
hakim Mahkamah Konstitusi.
6. Putusan, diberikan sesuai tenggang waktu bentuk
perkara. Yaitu antara 14 hari s/d 90 hari setelah
pendaftaran, tergantung perkaranya.
Penutup

Terima Kasih

Ada pertanyaan ??

Anda mungkin juga menyukai