Anda di halaman 1dari 31

Asas-Asas Hukum Acara Perdata Dan

Kekuasaan Kehakiman

Alrifkie
410033300211205
Asas- Asas Hukum Acara Perdata

 Hukum acara perdata menganut beberapa asas sebagai dasar dari


ketentuannya. Apakah yang diartikan dengan asas? Asas (prinsiple) dapat
diartikan sebagai dasar, alas, fundamen, hakikat, sendi, pokok, atau prinsip.
Asas dapat juga diartikan sebagai pokok pangkal. Asas hukum atau prinsip
hukum menurut Soedikno Mertokkusumo adalah bukanlah peraturan konkret,
melainkan pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan pikiran dasar
yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dan peraturan konkret
yang terdapat dalam atau di belakang setiap sistem hukum yang terjelma
dalam peraturan perundang-undangan dan putusan.
 Pengertian yuridis asas diartikan sebagai isi atau substansi. Unt beracara di muka
pengadilan selalu berasaskan pada asas-asas huku acara perdata, yaitu asas-asas atau
prinsip-prinsip hukum sebagai pikiran dasar atau sebagai pokok pangkal yang
digunakan sebagai pedoman beracara di muka pengadilan.

 Asas- Asas umum hukum acara perdata diperkenalkan oleh van Boneval Faure
(1879) dalam bukunya 'Het Nederlandse Burgelijke Procesrecht', yang menurut
pandangan doktrin dikenal dengan istilah "Asas-asas Umum Peradilan yang Baik
atau Asas-Asas Hukum Acara yang Baik, sebagai asas dalam Yurisprudensi
Peradilan Administrasi Negara di Belanda, yaitu:
 Algemene beginselen van behoorlijk bestuur (Lilik Mulyadi, 1998:16). Bertitik tolak
dari praktik peradilan di Indonesia, asas yang penting dalam hukum acara perdata
adalah asas hakim bersifat menunggu, asas hakim bersifat pasif, asas persidangan
terbuka untuk umum, asas mendengar kedua belah pihak, asas ketidakharusan
mewakilkan, asas putusan harus disertai alasan, asas beracara dikenakan biaya, asas
pemeriksaan dalam dua instansi, asas peradilan dilakukan berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa, asas Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya
ringan.
1. Hakim Bersifat Menunggu

 Dalam hukum acara perdata bahwa inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak atau gugatan diserahkan
sepenuhnya kepada yang berkepentingan atau dengan kata lain bahwa ada tidaknya perkara ditentukan oleh
seorang atau beberapa orang yang "merasa" dan "dirasa" bahwa hak atau hak mereka dilanggar yang
mengakibatkan adanya kerugian bagi pihak yang merasa tadi. Ada tuntutan hak/ gugatan atau tidak ada
gugatan ini akan tergantung kepada para pihak yang berkepentingan. Dengan kata lain, apabila gugatan tidak
diajukan oleh para pihak maka tidak ada perkara atau tidak ada proses persidangan dan juga tidak ada hakim
yang mengadili perkara yang bersangkutan (nemo judex sine actore).

 Apabila perkara diajukan ke muka persidangan, maka haki harus mengadili perkara dan tidak boleh menolak
perkara sekalipu hukumnya tidak ada atau kurang jelas. Hak mengajukan tuntut atau gugatan adalah para
pihak yang berkepentingan, hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan hak atau gugatan kepadanya (Pasal
118 HIR/Pasal 142 RBg). Dalam hukum acara perdata, hakim hanya memutus perkara berdasarkan
kebenaran formal, yaitu kebenaran yang terungkap di persidangan. Pihak-pihak harus aktif mengajukan
bukti-bukti, baik membenarkan diri sendiri dan juga membenarkan pihak lawan di persidangan.
 Larangan menolak memeriksa perkara disebabkan oleh suatu anggapan “hakim
tahu hukumnya” (ius euria novit). Kalau sekiranya tidak dapat menemukan
hukum tertulis maka hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat (Sudikno Mertokusumo, 1979: 8).
2. Hakim Bersifat Pasif
 Asas hakim bersifat pasif artinya hakim hanya bertitik tolak dari suatu peristiwa yang
diajukan para pihak (secundum allegat judicare). Oleh karena itu, bagaimana luas pokok
perkaranya, ruang lingkup gugatan, dan kelanjutan pokok perkara, para pihaklah sebagai
yang berkepentingan yang akan menentukannya. Jadi, hakim tidak boleh mengurangi
atau menambah suatu peristiwa yang diajukan para pihak (penggugat/para penggugat).

Asas hakim yang pasif mengandung makna sebagai berikut.

A. Inisiatif mengadakan acara perdata ada pada pihak yang berkepentingan dan tidak pernah dilakukan
oleh hakim (Pasal 119 HIR/Pasal 142 RBg).

B. Hakim wajib mengadili seluruh tuntutan/gugatan atau hanya mengadili yang menyangkut luas pokok
sengketa/perkara yang diajukan para pihak dan tidak diperbolehkan menjatuhkan terhadap sesuatu yang
tidak dituntut atau tidak dapat mengabulkan lebih dari yang dituntut atau tidak menjatuhkan putusan
melebihi dari yang dituntut (Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR/Pasal 189 ayat (2) dan (3) RBg.
 C. Kebenaran yang dicari adalah kebenaran formil, yakni kebenaran yang hanya didasarkan
kepada bukti-bukti yang diajukan di muka sidang pengadilan tanpa harus disertai keyakinan
hakim. Yang wajib membuktikan kebenaran dalilnya adalah para pihak bukan hakim.

 D. Para pihak bebas mengajukan atau tidak mengajukan upaya hukum.e. Para pihak bebas
mengakhiri sengketa dengan melakukan perdamaian (Pasal 130 HIR/Pasal 154 RBg.

 Dengan demikian, asas hakim yang pasif berarti hakim tidak dapat menentukan luas pokok
sengketa, tidak dapat menambah atau mengurangi tuntutan, dan tidak dapat menghalangi para
pihak untuk mengakhiri sengketa dengan mengajukan perdamaian. Oleh karena itu,
keberlanjutan perkara akan tergantung kepada para pihak, terutama pihak penggugat, dan juga
tentang luas perkara akan tergantung dari peristiwa yang diajukan para pihak, serta hakim
tidak dapat mengadili perkara apabila tidak ada gugatan yang diajukan oleh pihak yang
berkepentingan, yaitu pihak yang merasa atau dirasa haknya dirugikan.
3. Persidangan Terbuka Untuk Umum

 Sidang pemeriksaan pengadilan asasnya adalah terbuka untuk umum (openbaarheid van
rechtspraak), artinya setiap orang dibolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan di
persidangan. Tujuan dari persidangan terbuka untuk umum adalah untuk menjamin peradilan
yang adil, tidak memihak, dan benar sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yakni
meletakkan peradilan di bawah pengawasan umum. Kecuali karena kepentingan kesusilaan,
hakim dapat menyimpang. Misalnya perceraian karena perzinahan yang pemeriksaannya
dilakukan secara tertutup, tetapi pembacaan putusannya tetap dilakukan terbuka untuk umum.

 Sifat hukum acara perdata ini merupakan aspek fundamenta] dalam praktik. Sebelum perkara
perdata mulai disidangkan, Ketua Majelis Hakim harus menyatakan "persidangan dibuka dan
terbuka untuk umum”. Hal ini merupakan aspek formal yang harus ditaati oleh tertib hukum
acara. Oleh karena itu, putusan yang dibacakan dalam sidang pengadilan yang tidak terbuka
untuk umum adalah tidak sah. Putusan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum dan putusan
tersebut batal demi hukum.
 MARI dengan SEMA No. 03 Tahun 1970 mengatakan supaya mentaati ketentuan Pasal 12
ayat (1) UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakimam, yakni "Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali
apabila dalam undang-undang ditentukan lain". Kelalaian memperhatikannya mengakibatkan
batalnya putusan menurut hukum (Pasal 1 ayat (2) UU No. 19 Tahun 1964. Dengan
berlakunya UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakimam mencabut berlakunya UU No. 19 Tahun 1964. Di samping itu, MA
mengeluarkan SEMA No. 4 Tahun 1974 tentang Pemeriksaan Pengadilan dan Pengucapan
Putusan Harus Dilakukan dalam Sidang yang Terbuka untuk Umum, yang sekali lagi
meminta agar pemeriksaan pengadilan dan ucapan putusan dilakukan dalam persidangan
terbuka untuk umum. UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, pengganti UU
No. 14 Tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah
dengan UU No. 35 Tahun 1999, secara tegas dalam Pasal 19 mengatakan bawa sidang
pemeriksaan pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan
lain. Tidak dipenuhinya ini mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 19 ayat (1) dan
(2).
4. Mendengar Kedua Belah Pihak
 Hukum acara perdata menggariskan bahwa hakim dalam mengadili perkara
harus memperlakukan pihak-pihak yang berperkara secara adil, sama, tidak
memihak, dan didengar bersama-sama. Hakim tidak boleh membeda-bedakan
orang. Asas "kedua belah pihak harus didengar" (horen van beide partijen)
lebih dikenal dengan asas "audi et alteram partem atau eines mannes rede ist
keines mannes rede atau man soll sie horen alle beide", yang berarti hakim
tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai yang benar bila
pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengajukan
pendapatnya. Selain itu, asas ini juga mengandung pengertian bahwa
pengajuan alat-alat bukti baru dilakukan di muka persidangan pengadilan
dengan dihadiri oleh para pihak yang berperkara berdasarkan Pasal 121/Pasal
145 RBg dan Pasal 132 HIR/ Pasal 157 RBg.
 Asas mendengar kedua belah pihak, menurut Pasal 4 ayat (1) UU no 48 tahun
2009 tentang kekuasaan kehakiman, artinya pengadilan mengadili menurut
hukum dengan tidak membedakan orang.
5. Ketidakharusan Mewakilkan

 Asas ketidakharusan mewakilkan menyatakan bahwa pihakpihak yang berperkara dapat menghadap
sendiri di muka pengadilan, artinya tidak wajib menunjuk kuasa hukum atau penasihat hukum. HIR
tidak mewajibkan para pihak yang beperkara untuk mewakilkan kepada orang lain. Oleh karena itu,
pemeriksaan di persidangan dilakukan secara langsung terhadap pihak-pihak yang berkepentingan.
Walaupun demikian, para pihak yang beperkara dapat dibantu atau diwakili kuasanya kalau memang
itu dikehendaki oleh pihak yang beperkara (Pasal 123 HIR/Pasal 147 RBg).

 6. Putusan Harus Disertai Dengan Alasan


 Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan putusan yang dijadikan sebagai dasar untuk
mengadili (Pasal 184 ayat [1]/Pasal 195 RBg ayat [1]). Ketentuan ini mengatakan bahwa di dalam
putusan harus dimuat ringkasan gugatan dengan jelas serta alasan putusan. Asas putusan harus
disertai alasan yang dimaksudkan untuk menjaga supaya jangan sampai terjadi perbuatan yang
sewenang-wenang dari hakim. Putusan yang tidak lengkap atau kurang cukup pertimbangan
merupakan alasan untuk mengajukan upaya hukum kasasi dan putusan tersebut harus dibatalkan
(Riduan Syahrani, 2004: 23). Alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban
hakim terhadap putusannya kepada masyarakat, sehingga oleh karenanya putusan tersebut
mempunyai nilai objektif (Sudikono Metrokusumo, 1979:11).
7. Beracara Dikenakan Biaya
 Untuk beracara dikenakan biaya perkara (Pasal 121 ayat (4), Pasal 182,
Pasal 183 HIR/Pasal 145 ayat (4), Pasal 192, Pasal 194 RBg). Pada dasarnya
biaya perkara (panjar perkara) meliputi biaya kepaniteraan, biaya
pemanggilan, biaya pemberitahuan, biaya meterai, dan biaya administrasi
(SEMA No. 5 Tahun 1994). Terhadap mereka yang tidak mampu membayar
biaya perkara maka dapat mengajukan permohonan kepada ketua
pengadilan negeri setempat dengan berperkara secara cuma-cuma (prodeo),
yaitu dengan menyampaikan surat keterangan tidak mampu yang dibuat
kepala desa/lurah yang diketahui camat dalam wilayah di mana yang
bersangkutan bertempat tinggal (Pasal 237 HIR/Pasal 273 RBg).

 para pihak yang tidak mampu dapat berperkara secara prodeo dengan
membuktikan ketidakmampuannya dengan surat keterangan dari kepala
desa. Apabila penggugat yang tidak mampu beracara secara prodeo ditolak
atau dinyatakan tidak dapat diterima, semua biaya ditanggung oleh negara,
tetapi kalau ia menang dan gugatannya dikabulkan, biaya perkara yang
sudah dikeluarkan dibebankan kepada tergugat. Kalau tergugat yang
beperkara secara prodeo dan gugatannya ditolak atau dinyatakan tidak
dapat diterima, maka penggugat harus membayar biaya perkara, tetapi
kalau gugatan dikabulkan, biaya perkara ditanggung oleh negara
8. Pemeriksaan Dalam Dua Instansi

 Hukum acara di Indonesia yang lazim dalam praktik menganut asas pemeriksaan dalam dua instansi
(onderzoek in twee instanties) (Lilik Mulyadi, 1999: 23). Pengertian pemeriksaan dalam dua instansi dilakukan
oleh PN dan PT yang merupakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum (Pasal 3 ayat (1) UU
No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum) dan berpuncak kepada MA sebagai peradilan negara tertinggi
(Pasal 3 ayat (2) UU No. 2 Tahun 1986). Pasal 3 UU No. 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum berbunyi:

 (1) Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan


 Oleh:
 A. Pengadilan Negeri
 B. Pengadilan Tinggi

 (2) Kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai
Pengadilan Negara Tertinggi.
 Pasal 50 UU No. 2 Tahun 1986 mengatakan bahwa PN bertugas dan berwenang memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata pada tingkat pertama atau
pengadilan negeri. Adapun Pasal 51 ayat (1) UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum
mengatakan bahwa pengadilan tinggi (pengadilan tingkat banding) mempunyai tugas dan
berwenang mengadili perkara pidana dan perdata.

 Pasal 50 UU No. 2 Tahun 1986 berbunyi: Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perkara perdata di tingkat
pertama.
 Pasal 51 UU No. 2 Tahun 1986 berbunyi:
 (2) Pengadilan Tinggi bertugas dan berwenang mengadili perkara pidana dan perkara perdata
di tingkat banding.
 (3) Pengadilan Tinggi juga bertugas dan berwenang mengadili di tingkat pertama dan terakhir
sengketa kewenangan mengadili antar pengadilan negeri di daerah hukumnya.
 Berdasarkan ketentuan tersebut maka PN dan PT memeriksa perkara perdata berdasarkan
faktanya (yudex factie). Yang dimaksud dengan yudex factie adalah lembaga peradilan yang
memeriksa faktafakta atau bukti-bukti perkara, yakni pengadilan negeri (pengadilan tingkat
pertama) dan pengadilan tinggi (pengadilan tingkat banding). Pada hakikatnya pemeriksaan
terhadap fakta apabila salah satu pihak tidak menerima putusan PN dan melakukan upaya
hukum banding. Hakikat pemeriksaan yang dilakukan oleh PT identik dengan apa yang
dilakukan PN. Jadi, pemeriksaan oleh PT merupakan pengulangan dari pemeriksaan yang
dilakukan oleh PN.

 9. Asas Peradilan Dilakukan dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya


Ringan
AsAs ini mempnyai arti bahwa dalam pemeriksaan dan penyelesaian perkara tidak berbelit-belit
dan tidak menyebabkan sampai waktu yang sangat lama (bertahun-tahun) serta dengan biaya
yang dapat dijangkau oleh masyarakyat. Asas ini tercantum dalam UU No. 14 Tahun 1970.
Karena UU ini bertentangan dengan UUD 1945, maka melalui UU No. 6 Tahun 1969
dinyatakan tidak berlaku.
 Asas ini juga termuat dalam UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Artinya,
tidak ada perubahan asas ini dengan berlakunya UU No. 48 Tahun 2009 meskipun UU No. 14
Tahun 1970 tidak berlaku lagi. Asas tersebut dalam UU No. 14 Tahun 1970 dijelaskan pada
Penjelasan dalam angka 8, yang menyebutkan bahwa ketentuan peradilan yang dilakukan dengan
sederhana, cepat, dan biaya ringan itu tetap dipegang teguh yang tercermin dalam undangundang
tentang hukum acara pidana dan hukum acara perdata yang memuat peraturan tentang
pemeriksaan dan pembuktian yang jauh lebih sederhana. Selanjutnya dalam penjelasan Pasal 4
ayat 2 undangundang ini disebutkan bahwa peradilan harus memenuhi harapan dari para pencari
keadilan yang selalu menghendaki peradilan yang tepat, adil, dan biaya ringan. Di samping itu,
tentunya, tentunya dapat dikemukakan bahwa pemeriksaan dan penyelesaian perkara terujud juga
dalam pelaksanaan putusan pengadilan.

 Dalam UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman asas tersebut dikemukakan dapat
perubahan, tercantum pada Pasal 2 ayat (4), yaitu peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat,
dan biaya ringan. Selanjutnya dalam Penjelasan pasal tersebut, perkataan sederhana diartikan
adalah pemeriksaan dan penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif serta
biaya ringan adalah biaya yang dapat dijangkau oleh masyarakat.
10. Peradilan Dilakukan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa

 Asas ini mempunyai arti bahwa setiap putusan pengadilan harus memuat
penyataan "Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Oleh
karena itu, setiap putusan pengadilan yang tidak menyebutkan pernyataan
tersebut, maka putusan pengadilan tidak mempunyai kekuatan
eksekutorial. UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada
Pasal 2 ayat (1) mengatakan Peradilan dilakukan "demi keadilan
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa
peradilan dilakukan "demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa". Hal ini sesuai dengan Pasal 29 UUD 1945 yang menentukan bahwa
negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya dan
kepercayaannya itu.
KEKUASAAN
KEHAKIMAN
1. Badan Peradilan Negara

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badanbadan


Peradilan Negara yang ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 3 Ayat(1)
dan Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 14 Tahun 1970). Penegasan berarti bahwa
tidak diperkenankan bagi adanya peradilanperadilan yang dilakukan oleh
bukan badan Peradilan Negara seperti Peradilan Swapraja dan Adat.
Seperti kita ketahui, maka Peradilan Swapraja dan Adat telah mulai
dihapus dengan UU Darurat Nomor 1 Tahun 1951, atau Pasal 1 Ayat (1)
dan Pasal 39 UU Nomor 14 Tahun 1970) (Mertokusumo, 1993: 19).

Pada umumnya dikenal dua macam badan Peradilan di Indonesia


yaitu Peradilan Umum dan Peradilan Khusus. Peradilan Umum
adalah Peradilan yang diperuntukkan bagi rakyat pada umumnya
baik menyangkut perkara perdata maupun pidana, sedangkan
peradilan khusus mengadili perkara bagi golongan rakyat tertentu.
Berdasarkan Pasal 10 Ayat (1) UU No 14 Tahun 1970 ada empat lingkungan badan peradilan di
Indonesia yaitu : Peradilan Umum (PU), Peradilan Agama (PA), Peradilan Militer (PM), dan Peradilan
Tata Usaha Negara (PTUN), undang-undang ini membedakan antara empat lingkungan peradilan
yang masing-masing memiliki lingkup wewenang mengadili tertentu dan meliputi badan-badan
peradilan tingkat pertama dan tingkat banding. Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan
Tata Usaha Negara merupakan peradilan khusus. Hal ini disebabkan karena badan peradilan ini
mengadili perkara tertentu atau hanya mengenai golongan rakyat tertentu. Perbedaan dalam empat
lingkungan peradilan ini tidak mampu menutup kemungkinan adanya spesialisasi atau
pengkhususan dalam masing-masing lingkungan. Sebagai contoh, peradilan umum dapat diadakan
pengkhususan berupa pengadilan lalu lintas, pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan HAM
dan lain-lain. Semua pengadilan ini bukanlah peradilan khusus, melainkan peradilan umum dalam
bentuk khusus.

Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum
Acara Perdata yang berlaku pada Peradilan Umum, meliputi HIR, RBg, Rv dan lain-lain, kecuali yang
telah diatur secara khusus dalam UU No. 7 Tahun 1989
Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) dan
Mahkamah Agung (MA).

Sebelum UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diundangkan, sengketa
tentang usaha negara, khususnya mengenai pajak, diperiksa dan diputus oleh Majelis
Pertimbangan Pajak (S. 1927 No. 29) yang kemudian diubah oleh UU No. 6 Tahun 1983 tentang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, suatu peradilan pajak terhadap keputusan yang
ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak mengenai keberatannya Pasal 48 UU No. 6 Tahun 1986,
keputusan Majelis Pertimbangan Pajak dapat dimintakan banding kepada PTUN. Demikian pula
dengan Keputusan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (UU No. 2 Tahun 1957).
Mahkamah Pelayaran adalah sebuah badan peradilan administratif di lingkungan Departemen
Perhubungan yang berdiri sendiri. Pimpinan Mahkamah Pelayaran secara organisatoris ada di
bawah Menteri Perhubungan (Keputusan Menteri Perhubungan No. PM. 3/ U/PHB-74).
Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi (Pasal 3 Ayat (1) UU No. 2 Tahun 1986). Pengadilan Negeri berkedudukan di ibu kota
kabupaten atau kotamadya, sedangkan Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibu kota propinsi dan daerah
hukumnya meliputi wilayah suatu propinsi (Pasal 4 UU No. 2 Tahun 1986). dibagi atas 3 kelas:

Kelas IA, yaitu Pengadilan Negeri yang dalam setahun memeriksa lebih dari 600 perkara perdata
(termasuk permohonan) dan lebih dari 2000 perkara (termasuk perkara pidana dengan cepat), dan
jumlah penduduknya dalam daerah hukum tersebut mencapai 0,5 juta jiwa. Pengadilan ini meliputi 11
Pengadilan Negeri yaitu; PN Medan, Palembang, Jakarta Pusat, Jakarta Utara, Jakarta Selatan Jakarta Timur,
Jakarta Barat, Bandung, Semarang, Surabaya, dan Ujung Pandang. Kelas IB, yaitu Pengadilan Negeri yang
dalam setahun memeriksa kurang dari 600 perkara perdata (termasuk permohonan) dan minimal 150
perkara, sedangkan perkara pidana termasuk perkara cepat kurang dari 2000 perkara dengan jumlah
minimal 1000 perkara, dan jumlah penduduk dalam daerah hukumnya kurang dari 0,5 juta tetapi lebih
dari 0,25 juta. Pengadilan Negeri kelas IB terdiri dari 54 unit.

Kelas IIA, yaitu Pengadilan Negeri yang dalam setahun. memeriksa kurang dari 150 perkara pidana
(termasuk perkara cepat) kurang dari 1000 perkara, serta jumlah penduduk kurang dari 0,25 juta jiwa. Di
seluruh Indonesia pengadilan kelas II ini berjumlah 231 unit.
Tugas dan wewenang MA adalah memeriksa dan memutus permohonan kasasi, sengketa
kewenangan mengadili dan permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28 UU No. 14 Tahun 1985). Selain itu, MA memutus
permohonan kasasi terhadap permohonan pengadilan tingkat banding atau tingkat akhir di
semua lingkungan peradilan. Dengan demikian, MA dapat membatalkan putusan dan
penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan yang ada, karena tidak berwenang atau
melampaui batas kewenangan, salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku dan
lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan tersebut (Pasal 29,30 UU No. 14 Tahun
1985).

Selain itu, MA juga berwenang menguji secara materiil terhadap peraturan perundang-
undangan yang hirarkhinya di bawah undangundang MA juga berwenang menyatakan tidak sah
semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang-undang
yang lebih tinggi. Pencabutan peraturan yang tidak sah tersebut dilakukan oleh instansi yang
bersangkutan (Pasal 31 UU No. 14 Tahun 1985). Prosedur mengajukan hak uji materiil ini diatur
dalam Peraturan MA No. 1 Tahun 1993 tanggal 15 Juni 1993 tentang Hak Uji Materiil.
Susunan pejabat Mahkamah Agung terdiri dari pimpinan hakim anggota, panitera, dan Sekretaris
Jenderal Mahkamah Agung. Pimpinan Mahkamah Agung terdiri dari seorang ketua, seorang wakil
ketua, dan beberapa orang ketua muda (Pasal 4, 5 UU No. 14 Tahun 1985). Ketua muda tersebut
membidangi lingkup urusan masing-masing yaitu:

• Ketua muda urusan lingkungan peradilan agama,

• Ketua muda urusan lingkungan peradilan umum/bidang hukum pidana umum,

• Ketua muda urusan lingkungan peradilan tata usaha negara, Ketua muda urusan lingkungan
peradilan umum/bidang hukum perdata adat, Ketua muda lingkungan peradilan umum/bidang
hukum perdata tertulis, dan

• Ketua muda urusan peradilan militer/ABRI.

Dari struktur organisasi Mahkamah Agung tersebut, kemungkinankemungkinan untuk berkembang


lagi lebih luas lingkup urusan dimaksud pasti ada, seperti sekarang sudah ada Pengadilan Niaga, HAM
(Hak Asasi Manusia). Pengadilan Anak dan lain-lain
3. Peranan Pengadilan dalam Acara Perdata.

Dalam kurun waktu kurang 40 tahun, politik hukum yang pernah dijalankan oleh berbagai
bentuk pemerintahan di Indonesia, membawa pengaruh terhadap struktur, peranan
pengadilan hukum secara perdata.

Politik hukum sebelum perang dunia kedua yang menggolongkan penduduk Indonesia
dalam golongan Eropa, Timur Asing dan Bumiputera (Pasal 163 IS) menyebabkan
pemerintah pada saat itu, membentuk badan peradilan umum yang dikenal dengan
sebutan Gouverment Rechtbanken. Badan peradilan ini dibedakan pula antara
Europessche Rechtbanken yang dimaksudkan sebagai badan peradilan tingkat pertama di
bidang perdata bagi golongan Eropa atau Tionghoa yang tunduk pada Hukum Perdata
Barat dan Indonesische Rechtbanken yang dimaksud sebagai badan peradilan untuk
mengadili perkara-perkara perdata bagi golongan Bumiputera.
Selain kedua badan peradilan di atas, dikenal pula badan peradilan yang lain, yaitu:

a. Raad van Justitie, yang dalam tingkat pertama mengadili perkara perdata bagi golongan Eropa
atau golongan Tionghoa yang tunduk pada Hukum Perdata Barat atau golongan lain yang
secara sukarela menundukkan diri pada Hukum Perdata Barat;

b. Residentie rechter, yang diadakan khusus untuk mengadili perkara-perkara perdata yang
nilainya kurang dari f 500,

C. Landraad;

d. Residentie-gerecht (semacam Pengadilan Kabupaten); dan

e. District-gerecht, khusus mengadili perkara-perkara perdata yang sifatnya sangat kecil.


4. Asas Sederhana, Cepat dan Biaya
Ringan
Beracara di pengadilan khususnya dalam perkara perdata membutuhkan biaya, maka wajarlah kalau
beracara di pengadilan dikenakan biaya. Dalam Pasal 4 Ayat 2 UU No. 14 Tahun 1997 ditentukan bahwa
peradilan dilakukan dengan biaya perkara. Di kota besar dan di kota kecil berbeda besarnya biaya perkara.
Dalam hal ini memang tidak diseragamkan. Belum lagi kalau mengikuti perkembangan

mungkin ekonomi. Beberapa tahun yang lalu besarnya biaya perkara di suatu pengadilan sudah berbeda
dengan sekarang. Sesungguhnya tidaklah dapat diharapkan bahwa peradilan dilakukan dengan biaya
(perkara) murah. Oleh karena itu biaya murah harus diartikan sebagai biaya yang sudah jelas dan pasti
peruntukannya tanpa ada biaya tambahan, "siluman" atau "pelicin" sehingga keseluruhan biaya untuk
berperkara akhirnya tidak membengkak. Sebagai contoh misalnya ada pengadilan yang di samping
memungut biaya perkara masih memungut biaya khusus untuk permohonan beracara bagi pengacara,
meskipun sudah ada surat kuasa dari kliennya dan telah membayar biaya perkara.

Cepatnya administrasi peradilan (speedy administration of justice) merupakan dambaan setiap pencari
keadilan.
5. Tugas Hakim Perdata di Lingkungan Peradilan Umum dan
Peradilan Agama

Dalam Peradilan Perdata tugas hakim ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan atau memutuskan apa
yang ditentukan oleh hukum dalam sesuatu perkara.

Untuk itu kekuasaan kehakiman dalam lingkungan Peradilan Umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri dan
Pengadilan Tinggi, sedang dalam lingkungan Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama.

Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala Negara (Pasal 31 UU 14/1970). Dengan demikian kebebasan
kedudukannya diharapkan terjamin asas di lingkungan peradilan umum adalah peradilan oleh ahli-ahli dalam bidang
hukum. (Pasal 14 Ayat f, 15 UU No. 2 Tahun 1986, 7e UU No. 14 Tahun 1985). Pasal 3 Ayat 1 UU 13/1965 menentukan
bahwa hakim adalah Sarjana Hukum. Hakim dianggap tahu akan hukumnya (ius curia novit), maka ia harus seorang
Sarjana Hukum. Itulah dasar pemikiran asas ini.

Di dalam Undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman tugas hakim diatur dalam Pasal 2 Ayat 1, 5 Ayat 1 dan 2, 14
Ayat 1 dan Pasal 27.
Tugas pokok badan peradilan adalah menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya (Pasal 2 Ayat 1). Pengertian setiap
perkara ini meliputi baik perkara perdata (Pasal 5a Ayat 2) dan perkara pidana (Pasal 33 Ayat
1).

6. Pejabat-Pejabat pada Pengadilan dan Tugasnya


Sesuai dengan UU Nomor 14 Tahun 1970, UU Nomor 2 Tahun 1986 dan UU
Nomor 7 Tahun 1989 Pejabat-pejabat yang ada di Pengadilan, yaitu:

a. Hakim
b. Panitera
C. Jurusita.

Di tiap Pengadilan terdapat beberapa Hakim, diantaranya menjabat sebagai ketua


pengadilan dan wakil ketua. Para hakim tersebut bertugas untuk memeriksa,
mengadili atau memutus perkara di persidangan.
Di samping itu, ada Panitera yang bertugas memimpin bagian administrasi
atau Tata Usaha, dibantu oleh Wakil Panitera, dan Panitera Muda, serta
beberapa Panitera Pengganti. Kemudian ada petugas dinamakan Jurusita
dan Jurusita Pengganti, yang melaksanakan untuk pelaksanaan putusan.
(Soeroso, 1994: 7)
Tugas Panitera ialah menyelenggarakan administrasi perkara serta
mengikuti semua sidang serta musyawarah pengadilan dengan mencatat
dengan teliti semua hal yang dibicarakan (Pasal 59 UU No. 2 Tahun 1986,
63 RO). Ia harus membuat berita acara (proces verbaal) sidang
pemeriksaan dipersidangkan dan menandatanganinya bersama-sama
dengan ketua sidang (Pasal 186 HIR, 197 RBg).
Jurusita bertugas dalam sidang pengadilan melaksanakan perintah yang diberikan oleh
ketua sidang. Selain itu tugasnya meliputi juga menyampaikan pengumuman-
pengumuman, teguran-teguran, protesprotes dan pemberitahuan putusan pengadilan
menurut cara-cara berdasarkan ketentuan undang-undang melakukan penyitaan atas
perintah Ketua Pengadilan Negeri dan membuat berita acara penyitaan termasuk tugas
jurusita juga (Pasal 65 UU No. 2 Tahun 1986, 388 HIR, 716 RBg).

Dalam menjalankan tugasnya jurusita tidak boleh merangkap menjadi wali, pengampu
dan pejabat yang berkaitan dengan perkara yang di dalamnya ia sendiri berkepentingan.
Kecuali itu jurusita tidak boleh merangkap pula menjadi penasihat hukum (Pasal 43 UU
No. 2 Tahun 1986).

Adapun wilayah kerja jurusita adalah daerah hukum Pengadilan Negeri yang
bersangkutan.

Pemberitahuan (exploit) oleh jurusita harus ternyata dari risalah tertulis (schriftelijk relaas:
Pasal 389 HIR, 717 RBg).

Anda mungkin juga menyukai