Anda di halaman 1dari 27

UJIAN EVALUASI FORMATIF SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

DOSEN PENGAMPU: Dr. Drs. Arnold Poli, SH, M.AP

TASYA NURHASANAH HARAHAP

NPP.30.0148

KELAS: I-1

NO. ABSEN: 03

JURUSAN STUDI KEPENDUDUKAN DAN CATATAN SIPIL

FAKULTAS PERLINDUNGAN MASYARAKAT

INSTITUT PEMERINTAHAN DALAM NEGERI

TAHUN AKADEMIK 2021/2021


1. SEBUTKAN DAN JELASKAN SERTA BERIKAN CONTOH ASAS-ASAS DALAM HUKUM ACARA
PERDATA
1) Hakim Bersifat Menunggu
Hakim bersifat menunggu maksudnya adalah hakim bersifat menunggu datangnya tuntutan
hak diajukan kepadanya, kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan maka tidak ada
hakim. Jadi apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara atau tuntutan hak itu
akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang berkepentingan (Pasal
118 HIR, 142 RBg). Jadi tuntutan hak yang mengajukan adalah pihak yang berkepentingan,
sedangkan hakim menunggu datangnya tuntutan hak yang diajukan kepadanya "Index Ne
Procedat Ex Officio". Hanya yang menyelenggarakan proses adalah negara. Akan tetapi
sekali perkara diajukan kepadanya, pengadilan dilarang menolak untuk memeriksa,
mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada
atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 Ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman).
2) Hakim Bersikap Pasif
Hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam arti bahwa ruang lingkup
atau luas pokok sengketa yang diajukan ke pada hakim untuk diperiksa pada asasnya
ditentutkan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya
membantu para pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk dapat tercapainya peradilan (Pasal 4 Ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang
Kekuasaan Kehakiman). Hakim terikat pada peristiwa yang diajukan oleh para pihak
(Secendum Allegata Iudicare). Hanya peristiwa yang disengketakan sajalah yang harus
dibuktikan. Hakim terikat pada peristiwa yang menjadi sengketa yang diajukan oleh para
pihak. Para pihaklah yang diwajibkan untuk membuktikan dan bukan hakim. Asas ini
disebut "Verhandlungsmaxime". Jadi pengertian pasif ini yaitu bahwa hakim tidak
menentukan luas daripada pokok sengketa.
3) Bersifat Terbuka Dipersidangan
Sidang pemeriksaan dipengadilan pada asasnya adalah terbuka untuk umum, yang artinya
bahwa setiap orang diperbolehkan hadir dan mendengarkan pemeriksaan dipersidangan.
Tujuannya adalah untuk memberi perlindungan hak - hak asasi manusia dalam bidang
peradilan serta untuk menjamin objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan
pemeriksaan yang fair (Pasal 19 Ayat (1) dan 20 UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman). Apabila tidak dibuka untuk umum maka putusan tidak sah dan batal demi
hukum.
4) Mendengar Kedua Belah Pihak (Penggugat dan Tergugat Melalui Surat - Surat).
Dalam Pasal 5 Ayat 1 UU No. 4 Tahun 2004 mengandung arti bahwa di dalam hukum acara
perdata yang berperkara harus sama - sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama
dan adil serta masing - masing harus diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya.
Di dalam hukum acara perdata kedua belah pihak diperlakukan sama, tidak memihak dan
didengar bersama - sama. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membedakan orang, seperti yang dimuat dalam Pasal 4 Ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009
mengandung arti bahwa di dalam hukum acara perdata yang berperkara harus sama - sama
diperhatikan atas perlakuan yang sama dan adil serta masing - masing harus diberi
kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Asas kedua belah pihak harus didengar yang
mana lebih dikenal dengan asas "Audi et Alterampartem" atau "Eines Mannes Redeist
Keines Mannes Rede, Man Soll Sie Horen Alle Beide". Bahwa hakim tidak boleh menerima
keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak
diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.
5) Putusan Harus Disertai Alasan – Alasan
Semua putusan pengadilan harus memuat alasan - alasan putusan yang dijadikan dasar
untuk mengadili (Pasal 25 UU No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 184 Ayat (1), 319 HIR, 618 RBg.).
Alasan - alasan atau argumentasi itu dimaksudkan sebagai pertanggungjawaban hakim
daripada putusannya terhadap masyarakat, para pihak, pengadilan yang lebih tinggi dan
ilmu hukum, sehingga oleh karenanya mempunyai nilai objektif. Karena adanya alasan -
alasan itulah, maka putusan yang mempunyai wibawa dan bukan karena hakim tertentu
yang menjatuhkannya.
6) Beracara Dikenakan Biaya
Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 2 Ayat (4) UU. No. 48 Tahun 2009
dan Pasal 121 Ayat (4), 182,183 HIR, serta Pasal 145 Ayat (4), 192 - 194 RBg). Biaya
perkara meliputi biaya kepaniteraaan dan biaya panggilan, pemberitahuan para pihak serta
biaya materai. Biaya tersebut juga dikeluarkan untuk pengacara atas bantuan yang
dimintakan kepadanya. Namun bagi yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara,
dapat mengajukan perkara cuma - cuma (Pro deo) dengan mendapat izin untuk dibebaskan
dari pembayaran biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang
dibuat oleh kepala polisi (Pasal 23 HIR, 273 RBg).
7) Tidak Ada Keharusan Mewakilkan
HIR tidak memwajibkan para pihak untuk mewakilkan perkaranya kepada orang lain,
sehingga pemeriksaan terjadi secara langsung terhadap pihak yang langsung
berkepentingan. Akan tetapi para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau
dikehendakinya. Dengan demikian hakim tetap wajin memeriksa sengketa yang diajukan
kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa.
8) Peradilan Dilakukan Dengan Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan (Pasal 2 Ayat (4) UU
No. 48 Tahun 2009)
Sederhana, maksudnya acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit - belit. Makin
sedikit dan sederhana formalitas dalam beracara maka semakin baik. Sebaliknya terlalu
banyak formalitas atau peraturan akan sulit dipahami dan akan menimbulkan beraneka
ragam penafsiran sehingga kurang menjami adanya kepastian hukum. Cepat artinya
menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidal berlarut - larut
yang terkadang harus diajukan oleh ahli waris. Biaya ringan maksudnya adalah biaya
serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat. Biaya perkara yang tinggi
membuat orang enggan beracara dipengadilan.

2. SEBUTKAN DAN JELASKAN SERTA BERIKAN CONTOH ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA
1) Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
Pemberlakuan asas ini sebenarnya diatur dalam HIR. Selain itu, diatur juga dalam UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan “Peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.” “Sederhana” berarti pemeriksaan dan
penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Sedangkan “Biaya ringan”
artinya biaya perkara yang dapat di jangkau oleh masyarakat banyak. Adapun “Cepat”
diartikan “segera”. Peradilan cepat sangat diperlukan terutama untuk menghindari
penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim.
Apabila mengacu pada KUHAP, terdapat beberapa pasal yang dapat diketegorikan sebagai
perwujudan dari asas peradilan cepat, sederhana dan ringan, yaitu misalnya dalam Pasal 50
ayat (1) yang merumuskan: “Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh
penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”
Apabila mencermati Pasal 50 ayat (1) tersebut, terdapat kata “segera” yang berarti
tersangka memilik hak secara cepat mendapatkan pemeriksanaan yang selanjutnya
diajukan kepada penuntut umum untuk dilakukan pemeriksanaan di pengadilan. Ini
menunjukan pentingnya suatu kepastian hukum dalam pelaksanaan hukum acara pidana.
Selain itu, Pasal 67 juga dapat dimaknai adanya asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya
ringan yaitu:
“Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan
tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam
acara cepat.”
Implementasi lainnya terhadap asas peradilan cepat dapat terlihat dalam hal batas waktu
penahanan yang dilakukan oleh penegak hukum. Penahanan merupakan suatu hak dari
para penegak hukum untuk menahan seseorang yang telah berstatus “tersangka” atau
“terdakwa” dengan alasan untuk memperlancar penyidikan. Pada dasarnya pengaturan
mengenai batas waktu penahanan oleh penyidik adalah 20 hari dan dapat diperpanjang
atas izin penuntut umum selama 40 hari yang diatur di dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2)
KUHAP. Apabila sampai batas waktu maksimal (60 hari) penyidik belum juga
menyelesaikan penyidikannya, maka tersangka atau terdakwa harus segera dikeluarkan
demi hukum dan tanpa syarat apapun. Begitu pula halnya apabila penahanan tersebut
dilakukan oleh Penuntut Umum, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah
Agung (MA).
2) Praduga tak bersalah (presumption of innocence)
Asas ini mengandung makna setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan
dihadapkan dipengadilan tidak boleh dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan
yang menyatakan bersalah serta telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini
terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 c KUHAP yang disebutkan sebagai berikut:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Selain diatur dalam KUHAP, dalam Pasal 11 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights
1948 juga mengatur megenai pentingnya asas praduga tidak bersalah tersebut, yaitu:
“Everyone change with a penal offence has the right to be persumed innocent until proved
guilty according to law in public trial at which he has all quarantees necessary for his
defence.”
Dengan demikian, asas praduga tidak bersalah ini merupakan perwujudan dari
perlindungan hak asasi manusia (human rights).
3) Asas oportunitas
Asas Oportunitas merupakan suatu asas dimana penuntut umum tidak diwajibkan untuk
menuntut seseorang jika penuntutannya akan merugikan kepentingan umum. Pada
dasarnya asas ini merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas. Artinya, demi
kepentingan umum, asas legalitas tersebut dikecualikan. Dalam praktek, istilah asas
oportunitas disebut dengan istilah “deponering”.
Asas ini tidak dapat digunakan secara sembarangan. Asas ini hanya berlaku jika
kepentingan umum benar-benar dirugikan, selain itu tidak semua jaksa dapat
memberlakukan asas ini. Artinya, hanya “Jaksa Agung” yang dapat melaksanakan asas ini
sebagaimana diatur oleh Pasal 35 c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yaitu sebagai
berikut: “Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.”
4) Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum
Asas pengadilan terbuka untuk umum memiliki makna yaitu menghendaki adanya bentuk
transparansi atau keterbukaan dalam sidang peradilan pidana. Asas ini diatur dalam Pasal
153 ayat (3) KUHAP, yaitu: “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan
atau Terdakwanya anak-anak.”
Dari rumusan Pasal 153 tersebut, dapat dimaknai terdapat beberapa perkara dalam hukum
pidana yang mendapat pengecualian persidangan yang dibuka untuk umum, yaitu pertama,
perkara kesusilaan dan kedua, terdakwanya adalah anak-anak. Yahya Harahap memberikan
tanggapannya terkait dengan kenapa perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak
tersebut pemeriksaan pengadilannya harus ditutup untuk umum, yaitu:
“Secara singkat dapat dapat dikemukakan bahwa mengenai perkara kesusilaan dianggap
masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak patut mengungkapkan dan memaparkannya secara
terbuka di muka umum. Demikian juga halnya dengan pemeriksaan sidang anak-anak, cara-
cara pemeriksaan persidangannya memerlukan kekhususan. Timbul suatu kecenderungan
yang agaknya bisa dijadikan dasar filosofis yang mengajarkan anak-anak melakukan tindak
pidana, bukanlah benar-benar, tetapi melainkan bersifat “kenakalan” semata-mata.”
Apabila perkara terkait kesusilaan atau terdakwanya anak-anak tersebut tetap dilakukan
persidangan dengan terbuka untuk umum, maka akan menimbulkan konsekuensi hukum
yang diatur dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP, yaitu: “tidak dipenuhinya dalam ayat (2) dan
ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.” Dengan dasar Pasal 153 ayat (4)
KUHAP ini, maka konsekuensi hukum jika perkara tetap dibuka untuk umum adalah
putusan batal demi hukum.
5) Semua orang diperlakukan sama di depan hukum (equlity before the law).
Asas diperlakukan sama didepan hukum (equality before the law) adalah bentuk perlakuan
yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak membedakan latar belakang
sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan, dan sebagainya. Maksud dari asas ini
adalah di depan pengadilan kedudukan semua orang sama, maka mereka harus
diperlakukan sama. Seseorang bersalah maka harus dihukum, sedangkan jika tidak
bersalah, maka harus dibebaskan. Selain itu, walaupun seseorang mendapatkan suatu
hukuman, tetapi hukuman yang diberikan haruslah sesuai dengan kesalahan yang
diperbuatnya.
Penerapan asas ini dapat terlihat dalam penjelasan umum butir 3 a KUHAP yang
menyebutkan: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan pembedaan perlakuan.”
Selain itu, terlihat juga dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyebutkan: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang.”
6) Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannnya dan tetap
Asas ini meunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk menyatakan salah
tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya yang bersifat tetap. Sistem ini
berbeda dengan sistem juri yang dimana kesalahan terdakwa ditentukan oleh suatu dewan
yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya biasanya mereka
awam terhadap ilmu hukum.
7) Tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan Hukum
Salah satu asas yang terdapat dalam KUHAP adalah bahwa tersangka dan terdakwa berhak
mendapatkan bantuan hukum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 s/d Pasal 74 KUHAP. Bantuan
hukum yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang
advokat/pengacara. Bantuan hukum tersebut dianggap penting, sebab dengan didampingi
seorang advokat/pengacara, maka seorang tersangka dan terdakwa dapat diberikan
penjelasan mengenai hak-haknya secara independen. Selain itu, menurut hukum apabila
diancam hukuman mati atau pidana penjara diatas 5 (lima) tahun, maka seorang tersangka
atau terdakwa wajib diberikan bantuan hukum dengan didampingi oleh seorang
advokat/pengacara.
Pada dasarya hak untuk mendapatkan bantuan hukum dengan didampingi seorang
advokat/pengacara merupakan konsep yang diadopsi dari “miranda rule” yang kemudian
diakomodir dalam KUHAP. Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum pada dasarnya
menghormati konsep miranda rule ini. Komitmennya terhadap penghormatan miranda rule
telah dibuktikan dengan mengadopsinya ke dalam Pasal 56 Ayat (1) KUHAP:
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak
mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka.”
Asas ini juga berlaku secara universal di negara-negara demokrasi. Hal ini terbukti dengan
diaturnya dalam The International Covenant an Civil and Political Rights article 14 sub 3d
yang menyebutkan sebagai berikut : “To be tried in his presence, and to defend himself in
person or through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not have
legal assistance, of this right and to have legal assistance assigned to him, in any case where
the interest justice so require, and without payment by him in any such case, if he does not
have sufficient means topay for it.” (Diadili dengan kehadiran Terdakwa, membela diri
sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannnya sendiri,
diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum untuk dia jika
untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat
hukum ia dibebaskan dari pembayaran).”
8) Asas Akusator
Asas akusator adalah asas yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai
subjek bukan sebagai objek dari setiap tindakan pemeriksaan. Asas ini merupakan asas
yang dianut KUHAP yang berbeda dengan asas inkuisatoir yang masih menempatkan
kedudukan tersangka/terdakwa sebagai objek pemeriksaan sebagaimana diatur dalam HIR.
Asas inkuisatoir yang dianut dalam HIR berbeda dengan asas akusator yang dianut dalam
KUHAP yang ditandari adanya perubahan istilah salah satu alat bukti. Dalam HIR disebut
dengan “pengakuan terdakwa”, sedangkan di dalam KUHAP disebut dengan “keterangan
terdakwa”. Istilah “pengakuan terdakwa” dalam HIR memiliki kecenderungan terdakwa
harus mengakui bahwa dia bersalah, sedangkan istilah “keterangan terdakwa” lebih kepada
adanya hak terdakwa untuk membela diri sebagai bentuk perlindungan hak-hak terdakwa.
9) Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Asas ini menghendaki dalam pemeriksaan sidang perkara pidana, pemeriksaan tersebut
dilaksanakan secara langsung dan lisan. Hal tersebut sangat berbeda dengan acara perdata
yang di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan oleh hakim juga
dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis sebagaimana antara hakim dan terdakwa.
Dasar hukum mengenai asas ini diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya. Dari
“asas langsung” tersebut yang dipandang sebagai pengecualian adanya kemungkinan dari
putusan hakim yang dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa sendiri yaitu putusan verstek atau
in absentia.
Asas ini memiliki tujuan agar pemeriksaan dapat mencapai kebenaran yang hakiki.
Pemeriksaan secara langsung dan lisan memberikan kesempatan kepada hakim untuk lebih
teliti dan cermat dimana tidak hanya keterangannya saja yang bisa diteliti tetapi juga sikap
dan cara mereka dalam memberikan keterangan.
10) Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah
tuntut (remedy and rehabilitation).
Apabila terdapat seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau pun diadili tanpa alasan
yang sah berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan
konsekuensi sanksinya bagi para pejabat penegak hukum tersebut apabila dilanggar,
dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukuman administrasi. Tersangka, terdakwa,
terpidana atau ahli warisnya berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan,
dituntut, dan diadili tanpa alasan yang sah menurut undang-undang atau kekeliruan
orangnya atau kekeliruan terhadap hukum yang diterapkan. Dapat diajukan dalam sidang
praperadilan apabila perkaranya belum atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, tetapi
apabila perkaranya telah diperiksa di Pengadilan Negeri maka tuntutan ganti kerugian
dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara tersebut baik melalui
penggabungan perkara maupun gugatan perdata biasa baik ketika perkara pidananya
diperiksa maupun setelah ada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
terhadap perkara pidana yang bersangkutan. Mengenai ganti rugi yang disebabkan oleh
penangkapan atau penahanan dapat diajukan apabila terjadi:
- Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum;
- Penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan undang-undang;
- Penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan menurut hukum, dan
- Penangkapan atau penahanan salah orangnya (disqualification in person). Terkait upaya
prapradilan tersebut diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP.

3. SEBUTKAN DAN JELASKAN PENGERTIAN SISTEM PERADILAN DI INDONESIA BESERTA DASAR


HUKUMNYA
Arti sistem menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia:
1. Perangkat unsur yang secara teratur saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas.
2. Susunan yang teratur dari pandangan, teori, asas, dan sebagainya.
3. Metode.
Jadi sistem peradilan Indonesia ialah perangkat peradilan Indonesia yang secara teratur
saling berkaitan sehingga membentuk suatu totalitas. Bisa juga dikatakan sistem peradilan
Indonesia ialah susunan peradilan Indonesia yang teratur dari pandangan, teori, asas dan
sebagainya. Sedang arti peradilan adalah suatu proses yang dijalankan di pengadilan yang
berhubungan dengan tugas memeriksa, mengadili dan memutus perkara. Sedangkan
pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa
memeriksa, mengadili dan memutus perkara.
Dasar hukumnya:
1) UUD NRI TAHUN 1945;
2) UU RI NO. 48 TAHUN 2009 TTG KEKUASAAN KEHAKIMAN;
3) UU RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
4) UU RI NO. 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14
TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
5) UU RI NO. 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR
14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
6) UU RI NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI; UU RI NO. 8 TAHUN 2011
TENTANG PERUBAHAN UU RI NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI;
7) UU RI NO. 48 TAHUN 2009 TTG KEKUASAAN KEHAKIMAN;
8) UU RI NO. 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
9) UU RI NO. 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14
TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
10) UU RI NO. 3 TAHUN 2009 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR
14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG;
11) UU RI NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG MAHKAMAH KONSTITUSI;
12) UU RI NO. 8 TAHUN 2011 TENTANG PERUBAHAN UU RI NO. 24 TAHUN 2003 TENTANG
MAHKAMAH KONSTITUSI;

4. GAMBARKAN DAN JELASKAN SUSUNAN BADAN PERADILAN DI INDONESIA

1) Badan Peradilan Umum


- Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi (biasa disingkat: PT) merupakan sebuah lembaga peradilan di
lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota Provinsi sebagai
Pengadilan Tingkat Banding terhadap perkara-perkara yang diputus oleh Pengadilan
Negeri. Pengadilan Tinggi juga merupakan Pengadilan tingkat pertama dan terakhir
mengenai sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Negeri di daerah
hukumnya.
- Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri (biasa disingkat: PN) merupakan sebuah lembaga peradilan di
lingkungan Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota.
Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk memeriksa,
memutus, dan menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan
pada umumnya. Daerah hukum Pengadilan Negeri meliputi wilayah Kota atau
Kabupaten.
2) Badan Peradilan Agama
- Pengadilan Tinggi Agama
Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan
Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota Provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat
Banding, Pengadilan Tinggi Agama memiliki tugas dan wewenang untuk mengadili
perkara yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding.
Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang untuk mengadili di
tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Agama
di daerah hukumnya. Pengadilan Tinggi Agama dibentuk melalui Undang-Undang
dengan daerah hukum meliputi wilayah Provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Agama
terdiri dari Pimpinan (Ketua dan Wakil Ketua), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
- Pengadilan Agama
Pengadilan Agama (biasa disingkat: PA) adalah pengadilan tingkat pertama yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan Peradilan Agama yang
berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Pengadilan Agama dibentuk dengan
Keputusan Presiden.
3) Badan Peradilan Tata Usaha Negara
- Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (disingkat PTTUN) adalah lembaga peradilan di
lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang bertindak sebagai pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara di
tingkat banding. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa Tata
Usaha Negara di tingkat banding. Selain itu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga
bertugas dan berwenang untuk memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan
terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Tata Usaha Negara di
dalam daerah hukumnya.
- Pengadilan Tata Usaha Negara
Pengadilan Tata Usaha Negara (biasa disingkat: PTUN) merupakan sebuah lembaga
peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang mempunyai kedudukan di
ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Tata
Usaha Negara (TUN) memiliki fungsi untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan
yang termasuk dalam ranah sengketa Tata Usaha Negara yang mana adalah
administrasi negara yang melaksanakan fungsi untuk menyelenggarakan pemerintahan
baik di pusat maupun di daerah.[1] Melalui Undang-Undang Peradilan Tata Usaha
Negara, Pengadilan TUN diberikan wewenang (kompetensi absolut) dalam hal
mengontrol tindakan pemerintah seperti menyelesaikan, memeriksa dan memutuskan
sengketa tata usaha Negara.
Pengadilan Tata Usaha Negara dibentuk melalui Keputusan Presiden dengan daerah
hukum meliputi wilayah Kota atau Kabupaten. Susunan Pengadilan Tata Usaha Negara
terdiri dari Pimpinan (Ketua PTUN dan Wakil Ketua PTUN), Hakim Anggota, Panitera,
dan Sekretaris. Saat ini terdapat 28 Pengadilan Tata Usaha Negara yang tersebar di
seluruh Indonesia.
4) Badan Peradilan Militer
- Pengadilan Militer Utama
Pengadilan Militer Utama (disingkat Dilmiltama) adalah pengadilan yang memeriksa
dan memutus pada tingkat banding perkara pidana dan sengketa tata usaha militer
yang telah diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Militer Tinggi. Pengadilan
Militer Utama juga memutus pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa tentang
wewenang mengadili antar Pengadilan Militer dan Pengadilan Militer Tinggi. Selain itu
Pengadilan Militer Utama memutus perbedaan pendapat antara Perwira Penyerah
Perkara (Papera) dan Oditur tentang diajukan atau tidaknya suatu perkara pada
pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer.
- Pengadilan Militer Tinggi
Pengadilan Militer Tinggi (disingkat Dilmilti) adalah pengadilan yang bertugas untuk
memeriksa dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana dan sengketa Tata
Usaha Militer sebagaimana ditentukan dalam pasal 41 Undang-Undang RI Nomor 31
Tahun 1997 yakni prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Selain itu, Pengadilan Militer
Tinggi juga memeriksa dan memutus pada tingkat banding perkara pidana yang telah
diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya yang dimintakan banding.
- Pengadilan Militer
Pengadilan Militer (disingkat Dilmil) adalah pengadilan yang bertugas untuk memeriksa
dan memutus pada tingkat pertama perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Militer
sebagaimana ditentukan dalam pasal 40 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1997
yakni prajurit yang berpangkat Kapten ke bawah.
- Pengadilan militer pertempuran
Pengadilan Militer Pertempuran merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di
lingkungan militer yang bertugas untuk memeriksa dan memutus pada tingkat pertama
dan terakhir perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di medan pertempuran.
Karena berkedudukan di suatu medan pertempuran sebagai daerah hukumnya,
Pengadilan Militer Pertempuran bersifat mobil atau selalu mengikuti ke mana gerak
pasukan pada saat pertempuran tersebut berlangsung.

5. SEBUTKAN DAN JELASKAN SERTA BERIKAN CONTOH UPAYA HUKUM DALAM PROSES
PERADILAN DI INDONESIA
1) Upaya hukum biasa
Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan hukum
tetap. Upaya ini mencakup:
a. Perlawanan/verzet
Suatu upaya hukum terhadap putusan di luar hadirnya tergugat (putusan verstek).
Dasar hukum verzet dapat dilihat di dalam pasal 129 HIR. Verzet dapat dilakukan dalam
tempo/tenggang waktu 14 hari (termasuk hari libur) setelah putusan putusan verstek
diberitahukan atau disampaikan kepada tergugat karena tergugat tidak hadir.
Syarat verzet adalah (pasal 129 ayat (1) HIR):
1. keluarnya putusan verstek
2. jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14 hari
dan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari; dan
3. verzet dimasukan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah hukum
dimana penggugat mengajukan gugatannya.
b. Banding
Adalah upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap
putusan Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan.
Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang
menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947).
Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut
ketentuan pasal 188-194 HIR, yaitu:
1. ada pernyataan ingin banding
2. panitera membuat akta banding
3. dicatat dalam register induk perkara
4. pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 hari
sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.
5. pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra
memori banding.
c. Kasasi
Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah pembatalan
putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat
peradilan akhir.
Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan yang
dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No
14/1985 jo. UU No 5/2004 adalah:
1. tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk melampaui batas
wewenang;
2. salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku;
3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Pada dasarnya menangguhkan eksekusi. Dengan pengecualian yaitu apabila putusan
tersebut telah dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau
uitboverbaar bij voorraad dalam pasal 180 ayat (1) HIR jadi meskipun dilakukan upaya
hukum, tetap saja eksekusi berjalan terus.

2) Upaya hukum luar biasa


Dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pada
asasnya upaya hukum ini tidak menangguhkan eksekusi. Mencakup:
a. Peninjauan kembali (request civil)
Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang,
terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan huikum tetap dapat dimintakan
peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh
pihak-pihak yang berkempentingan. [pasal 66-77 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004]
Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004,
yaitu:
a. ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus yang
didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana yang dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemuksn;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan
sebab-sebabnya;
e. apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu kekeliruan yang
nyata.
Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. (pasal
69 UU 14/1985). Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada
tingkat pertama dan terakhir (pasal 70 UU no 14/1985).

b. Perlawanan pihak ketiga (denderverzet) terhadap sita eksekutorial


Terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan kepentingan dari pihak
ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan
tersebut. Dasar hukumnya adalah 378-384 Rv dan pasal 195 (6) HIR.
Dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya suatu putusan hanya
mengikat pihak yang berperkara saja (pihak penggugat dan tergugat) dan tidak mnegikat
pihak ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan mengikat orang lain/pihak ketiga,
oleh ebab itu dikatakan luar biasa).
Denderverzet diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut pada
tingkat pertama

6. SEBUTKAN DAN JELASKAN SERTA BERIKAN CONTOH 3 BENTUK PUTUSAN HAKIM DALAM
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
Dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan putusan pengadilan
adalah, “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Berdasarkan pengertian putusan pengadilan yang
disebutkan dalam KUHAP tersebut, maka dapat diuraikan bahwa putusan pengadilan tersebut
dapat berupa:
1) PEMIDANAAN
Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP “jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
Lebih lanjut Pasal 196 ayat (3) menyebutkan, “segera setelah putusan pemidanaan
diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa apa yang
yang menjadi haknya, yaitu:
- Hak segera menerima atau segera menolak putusan.
- Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan,
dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam undang-undang ini.
- Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan
oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan.
- Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan.
- Hak mencabut pernyataan berkenaan dengan hak menerima atau menolak putusan
dalam tenggang waktu yang di tentukan oleh undang-undang ini”.

Pidana atau hukuman yang dijatuhkan dapat berupa kurungan badan dan/atau denda,
sesuai dengan unsur pasal yang didakwakan kepadanya.

2) PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK)


Disebutkan juga dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP bahwa yang dimaksud dengan putusan
bebas adalah, “jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang,
kesalahan terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti
secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas”

3) PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM (ONSLAAG VAN ALLE RECHT
VERVOLGING)
Pengertian putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah, “jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa dituntut lepas
dari segala tuntutan hukum”. (Pasal 191 ayat (2) KUHAP)

Hukuman bebas dan hukuman lepas dari segala tuntutan hukum ini berdampak pada
masalah penahanan, dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 191 ayat (3) bahwa, “terdakwa
yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali
ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan”.

Selanjutnya dalam hal putusan pemidaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang
paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali
jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk
kepentingan Negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan
lagi, kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti
diserahkan sesudah sidang selesai, dan perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa
disertai syarat apapun kecuali dalam hal putusan pengadilan yang belum mempunyai
kekuatan hukum tetap (Pasal 194 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP). (RenTo) (021118)

7. KAPAN DAN DISAAT APA UPAYA HUKUM DILAKUKAN OLEH PENGGUGAT DAN TERGUGAT
DALAM PERKARA PIDANA DAN PERDATA BERIKAN CONTOH DAN DASAR HUKUMNYA
(SALAH SATU UPAYA HUKUM)
1) UPAYA HUKUM DALAM PERKARA PIDANA
- UPAYA HUKUM PRAPERADILAN
Praperadilan merupakan salah satu lembaga dalam hukum pidana Indonesia, secara
formil diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Dalam praktik
digunakan oleh pihak-pihak/institusi yang mengajukan upaya atas ketidakpuasan
penerapan hukum atau tindakan/keputusan aparat hukum yang dianggap telah
menciderai rasa keadilan dan kepentingan mereka. Berdasarkan ketentuan Pasal 78
Ayat (1) dan (2) KUHAP praperadilan merupakan wewenang pengadilan negeri dan
praperadilan tersebut dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan
negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Adapun kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus perkara
praperadilan dimaksud adalah sebagai berikut:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
terhadap permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
tentang sah atau tidaknya penahanan hanya diajukan oleh tersangka, keluarga, atau
kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasanya sedangkan hak
untuk mengajukan permintaan untuk dapat diperiksanya sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau sah atau tidaknya penghentian penuntutan adalah penyidik
atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan dengan menyebutkan pula
alasannya.
Selain dari pihak-pihak dan perihal yang menjadi dasar praperadilan diatas dapat pula
diajukan ganti kerugian dan rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan hal dimaksud
dapat diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasanya. Ketentuan mengenai ganti kerugian
dan rehabilitasi lebih lanjut diatur dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.
Atas putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud Pasal 79, dan Pasal 81
KUHAP tidak dapat dimintakan banding, terkecuali putusan praperadilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau tidak sahnya penghentian
penuntutan. Putusan banding terhadap pemeriksaan keberatan atas putusan
praperadilan pada tingkat pertama yang diajukan penyidik atau penuntut umum atau
tersangka, keluarga termasuk kuasanya merupakan putusan akhir (pihak-pihak
dimaksud dalam uraian di atas yang dapat mengajukan banding tidak secara eksplisit
disebutkan dalam ketentuan KUHAP. Namun demikian, dapat disimpulkan melalui suatu
analisa bahwasanya kepentingan siapa yang terganggu atas putusan praperadilan
tersebut atau dapat pula diserap suatu ketentuan dari pasal-pasal sebelumnya dalam
undang-undang ini).

- UPAYA HUKUM BIASA


a. Banding (Pasal 67 KUHAP)
Terhadap diri terdakwa atau penuntut umum, KUHAP memberikan hak kepada
mereka untuk mengajukan upaya banding terhadap putusan pengadilan tingkat
pertama kecuali terhadap putusan bebas murni/vrijpraak (bebas dari segala
dakwaan), bebas tidak murni/onslag van alle rechtvervollging atau lepas dari segala
tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan
putusan pengadilan dalam acara cepat (putusan tindak pidana ringan dan perkara
pelanggaran lalu-lintas).

b. Kasasi (Pasal 244 KUHAP)


Terhadap putusan pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain
selain daripada Mahkamah Agung (Red: pengadilan negeri dan pengadilan tinggi),
terdakwa ataupun penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan
kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas murni/vrijpraak.
Selanjutnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 253 KUHAP pemeriksaan dalam
tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 KUHAP guna menentukan:
 apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak
sebagaimana mestinya;
 apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-
undang;
 apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya;
maka oleh karena itu dalam tingkat kasasi kepada pihak yang mengajukan upaya
hukum, undang-undang ini mewajibkan adanya memori kasasi dalam
permohonannya, dan dengan alasan yang diuraikan dalam memori tersebut
Mahkamah Agung menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan
dan dengan sendirinya tanpa memori kasasi permohonan tersebut menjadi
gugur.

- UPAYA HUKUM LUAR BIASA


a. Pemeriksan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum (Pasal 259 KUHAP)
Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung dapat diajukan 1
(satu) kali permohonan oleh Jaksa Agung dan putusan kasasi demi kepentingan
hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.
b. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah Mempunyai Kekuatan
Hukum Tetap (Pasal 263 KUHAP)
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali
putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya
dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.

Permintaan peninjauan kembali diajukan bersamaan dengan memori peninjauan


kembali dan berdasarkan alasan dari pemohon tersebut Mahkamah Agung mengadili
hanya dengan alasan yang telah ditentukan oleh KUHAP sebagai berikut:
 Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika
keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan
berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau
tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu
diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
 Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah
terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang
dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
 Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau
suatu kekeliruan yang nyata;
selanjutnya, atas dasar alasan yang sama sebagaimana disebutkan dalam poin 1, 2
dan 3 di atas (Pasal 263 Ayat [2] KUHAP) maka terhadap suatu putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan
peninjauan kembali apabila dalam putusan itu secara jelas memperlihatkan bahwa
dakwaan telah terbukti akan tetapi pemidanaan tidak dijatuhkan.
Dalam hal permintaan peninjauan kembali tidak memenuhi ketentuan sebagaimana
tersebut pada Pasal 263 Ayat (2) KUHAP, maka Mahkamah Agung menyatakan
bahwa permintaan peninjauan kembali tidak dapat diterima dengan disertai dasar
alasannya. Pernyataan tidak dapat diterima tersebut tidak terkait dengan
substansi/materiil pemeriksaan peninjauan kembali namun lebih kepada alasan
formil yang tidak terpenuhi sehingga terhadapnya dapat diajukan kembali.
Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permintaan peninjauan kembali
tersebut memenuhi persyaratan dan alasan peninjauan kembali telah sesuai dengan
ketentuan KUHAP maka Mahkamah Agung akan memeriksa permohonan itu dan
membuat putusan sebagai berikut:

 Apabila alasan pemohon tidak benar atau tidak terbukti, Mahkamah Agung
menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan
yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dengan dasar
pertimbangnnya;
 Apabila alasan pemohon benar atau terbukti, maka Mahkamah Agung
membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan
putusan yang alternatifnya sebagai berikut:
a) putusan bebas;
b) putusan lepas dari segala tuntutan;
c) putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
d) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Dalam hal Mahakamah Agung menjatuhkan pidana terhadap permintaan
peninjauan kembali itu maka dengan alasan apapun pidana yang dijatuhkan tidak
boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.

2) UPAYA HUKUM DALAM PERKARA PERDATA


- UPAYA HUKUM BIASA
a. Banding
Banding merupakan lembaga yang tersedia bagi para pihak yang tidak menerima
atau menolak putusan pengadilan pada tingkat pertama, ketentuan dimaksud diatur
dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1947 tentang Peraturan Peradilan Ulangan
di Jawa dan Madura yang mencabut ketentuan banding yang terdapat pada Herziene
Inlandsche Reglement (HIR). Namun demikian, untuk ketentuan banding bagi
yurisdiksi pengadilan tingkat banding di luar Jawa dan Madura ketentuan tersebut
masih diatur dalam Pasal 199 sampai dengan Pasal 205 Rechtsglement
Buitengewesten (RBg).

Pengajuan banding dapat dilakukan dalam rentang waktu selama 14 (empatbelas)


hari kalender, terhitung keesokkan hari dari hari dan tanggal putusan dijatuhkan
dan apabila hari ke 14 (empatbelas) tersebut jatuh pada hari libur maka dihitung
pada hari kerja selanjutnya.

b. Kasasi
Sebagaiamana lembaga banding, lembaga kasasi ini merupakan lembaga yang
tersedia bagi para pihak yang tidak menerima atau menolak putusan pengadilan
pada tingkat banding dan atau sutau lembaga yang disediakan bagi pihak yang tidak
menerima atau menolak penetapan pengadilan pada tingkat pertama terkait
perkara permohonan. Ketentuan mengenai kasasi ini diatur dalam Pasal 20 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
dan diatur pula dalam Pasal 28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 1985 telah beberapa kali dirubah dan terakhir Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

- UPAYA HUKUM LUAR BIASA


a. Verzet
Sesuai Pasal 129 HIR/153 RBg tergugat/para tergugat yang dihukum dengan
verstek berhak mengajukan verzet atau perlawanan dalam waktu 14 (empatbelas)
hari setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada tergugat/para
tergugat semula jika pemberitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada
yang bersangkutan. Dan, apabila putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada
tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning (peringatan) tergugat hadir, maka
tenggang waktunya sampai hari kedelapan sesudah aanmaning (peringatan) dan,
apabila tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning maka tenggang waktunya
adalah hari kedelapan sesudah sita eksekusi dilaksanakan (Pasal 129 Ayat [2] jo
Pasal 196 HIR dan Pasal 153 Ayat [2] jo Psal 207 RBg).
b. derden verzet
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi dan atau sita jaminan tidak hanya
terhadap suatu benda yang padanya melekat hak milik melainkan juga hak-hak
lainnya. Pihak pelawan harus dilindungi karena Ia bukan pihak berperkara namun
dalam hal ini kepentingannya telah tersentuh oleh sengketa dan konflik
kepentingan dari penggugat dan tergugat. Untuk dapat mempertahankan dimuka
dan meyakinkan pengadilan dalam mengabulkan perlawanannya maka Ia harus
memiliki alas hak yang kuat dan dapat membuktikan bahwa benda yang akan disita
tersebut adalah haknya. Dengan demikian, maka Ia akan disebut sebagai pelawan
yang benar dan terhadap peletakan sita akan diperintahkan untuk diangkat.
Perlawanan pihak ketiga ini merupakan upaya hukum luar biasa tetapi pada
hakikatnya lembaga ini tidak menunda dilaksanakannya eksekusi.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan baik conservatoir ataupun
revindicatoir tidak diatur baik dalam HIR, RBg ataupun Rv, ketentuan mengenai hal
tersebut didapatkan dari yurisprudensi putusan Mahakamah Agung tanggal 31
Oktober 1962 No.306 K/Sip/1962 dalam perkara CV. Sallas dkk melawan PT.
Indonesian Far Eastern Pasifik Line.
c. peninjauan kembali
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan dalam waktu 180 (seratus
delapanpuluh) hari kalender, dalam hal:
 apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu muslihat pihak
lawan yang diketahui setelah perkaranya diputus atau didasarkan pada bukti-
bukti yang kemudian oleh hakim pidana dinyatakan palsu, adalah sejak diketahui
kebohongan atau tipu muslihat atau sejak putusan hakim pidana memperoleh
kekuatan hukum tetap, dan tetap diberitahukan kepada para pihak yang
berperkara;
 apabila setelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang bersifat
menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemukan, adalah
sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus
dinyatakan di bawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang;
 apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih daripada yang
dituntut, apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa
dipertimbangkan sebab-sebabnya, dan apabila antara pihak-pihak yang sama
mengenai suatu soal yang sama, atas dasar yang sama oleh pengadilan yang sama
atau sama tingkatnya telah diberikan putusan yang bertentangan satu dengan
yang lain, adalah sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah
diberitahukan kepada para pihak yang berperkara;
 apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim atau suatu
kekeliruan yang nyata, adalah sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu
memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak
yang berperkara; dan
terhadap permohonan peninjauan kembali yang diajukan melampaui tenggang
waktu 180 (seratus delapanpuluh) hari tersebut, tidak dapat diterima dan berkas
perkara dimaksud tidak perlu dikirimkan ke Mahkamah Agung, maka selanjutnya
pengembalian berkas kepada yang bersangkutan harus disertai dengan
Penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang menyatakan bahwasanya berkas tidak
dapat diterima oleh karena telah melewati batas waktu yang telah ditentukan
undang-undang

8. SEBUTKAN DAN JELASKAN TAHAPAN-TAHAPAN POKOK DALAM BERACARA DI PENGADILAN


PADA PERKARA PIDANA
Pada dasarnya proses pertama dalam hukum acara pidana dimulai dari penyelidikan kemudian
penyidikan, penuntutan, putusan hakim. Dalam penyelidikan yang bertugas untuk
melakukannya adalah Kepolisian Republik Indonesia. Akan tetapi, dalam Penyidikan yang
memiliki wewenang adalah Kepolisian Republik Indonesia dan pejabat pegawai negeri sipil
tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Kemudian untuk tahap
penuntutan berada dalam wewenang Kejaksaan Republik Indonesia dan terakhir untuk
putusan terhadap suatu tindak pidana berada dalam wewenang hakim yang memeriksa,
mengadili, dan memutus perkara.
A. Tahap Penyelidikan
    Penyelidikan adalah serangkian tindakan penyelidik untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang diduga sebagai perbuatan pidana, guna menentukan dapat atau tidaknya
dilakukan penyidikan.
Dalam hal ini penyelidik terikat kepada peraturan-peraturan, perundang-undangan, dan
ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam menjalankan tugasnya. Namun meskipun penyelidik
terikat terikat kepada peraturan-peraturan, perundang-undangan, dan ketentuan-ketentuan
yang berlaku dalam menjalankan tugasnya tidak menutup kemungkinan bahwa penyelidik
dapat melakukan melakukan pelanggaran terhadap wewenangnya.  Maka dari itu ada
dibentuklah ahli kriminalistik yang menempatkan etika penyelidikan sebagai bagian dari
profesionalisme yang harus di miliki.
 Menurut undang-undang No 26 tahun 2000 pasal 1 angka 5 penyelidik dalam hal ini memiliki
kewajiban, diantaranya:
 wewenang menerima laporan
 mencari keterangan dan barang bukti
 menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda pengenal
diri, dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
    Lalu hasil penyelidikan yang telah didapat akan selanjutnya di laporkan kepada penyidik.
    Penyelidik dalam hal ini dapat melakukan tindakan seperti penangkapan, larangan,
meninggalkan tempat, penggeledahan dan penyitaan apabila didapati terlapor tertangkap
tangan tanpa harus menunggu persetujuan penyidik. Penyelidik juga memiliki kewenangan
dalam pemeriksaan surat, penyitaan surat, mengambil sidik jari, dan memotret atau mengambil
gambar orang atau kelopmpok yang tertangkap tangan tersebut. Wewenang lain yakni dapat
membawa dan mengahadapkan orang atau kelompok tersebut kepada penyidik.
B. Tahapan Penyidikan
Mengenai penyidikan ini tercantum didalam pasal 1 butir 1 Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana yang berisi: “Penyidik adalah Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia Atau Pejabat
Pegawai Negari Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk
melakukan penyidikan”
Selain itu Yahya Harahap juga memberi pengertian mengenai penyidikan dan penyidik, yakni:
“Sebagaimana yang telah dijelaskan pada pembahasan ketentuan umum Pasal 1 Butir 1 dan 2,
Merumuskan pengertian penyidikan yang menyatakan, penyidik adalah pejabat Polri atau
pejabat pegawai negeri tertentu yang diberi wewenang oleh undang-undang. Sadangkan
penyidik sesuai dengan cara yang diatur dalam undang-undang untuk mencari dan
mengumpulkan bukti, dan dengan bukti itu membuat atau menjadi terang suatu tindak pidana
yang terjadi serta sekaligus menemukan tersangkanya atau pelaku tindak pidananya”
Tugas dan Wewenang Penyidik ini tercantum didalam pasal 7 ayat (1) KUHP jo Pasal 16 ayat
(1) UU No 2 Tahun 2002, yakni:
1. Menerima Laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
2. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
3. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
4. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
5. mengenai sidik jari dan memotret seseorang;
6. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
8. mendatang orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
9. mengadakan penghentian penyidikan;
10. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Menurut Hamrat Hamid dan Harun Husein, secara formal prosedural, suatu proses penyidikan
dikatakan telah mulai dilaksanakan sejak dikeluarkannya Surat Perintah Penyidikan yang
dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang di instansi penyidik, Setelah pihak Kepolisian
menerima laporan atau informasi tentang adanya suatu peristiwa tindak pidana, ataupun
mengetahui sendiri peristiwa yang diduga merupakan suatu tindak pidana.
Berdasarkan pada Pasal 109 ayat (1) KUHAP, maka seorang penyidik yang telah memulai
melaksanakan penyidikan terhadap peristiwa tindak pidana, penyidik harus sesegera mungkin
untuk memberitahukan telah mulai penyidikan kepada Penuntut Umum. Untuk mencegah
penyidikan yang berlarut-larut tanpa adanya suatu penyelesaian, seorang penyidik kepada
Penuntut Umum, sementara di pihak Penuntut Umum berwenang minta penjelasan kepada
penyidik mengenai perkembangan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik.
Apabila dalam hal penghentian penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa
tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum,
maka penyidik wajib mengeluarkan SP3 (Surat Penghentian Penyidikan) yang mana tembusan
surat tersebut dismpaikan kepada Penuntut Umum, tersangka dan keluarganya (Pasal 109 ayat
(2) KUHAP). Sedangkan telah selesai melakukan penyidikan, maka penyidik wajib segera
menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum, yang mana jika Penuntut Umum
berpendapat bahwa hasil penyidikan tersebut masih kurang lengkap maka berkas perkara akan
dikembalikan disertai dengan petunjuk untuk dilengkapi oleh penyidik, dan setelah berkas
perkara diterima kembali oleh penyidik, penyidik wajib segera melakukan penyidikan
tambahan sesuai dengan petunjuk dari Penuntut Umum (Pasal 110 KUHAP).
C. Tahap Penuntutan
Penuntutan dalam hal ini tercantum didalam pasal 1 butir 7 KUHAP, yakni: “Penuntutan adalah
tindakan penututan umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang
berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan
permintaan suapay diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”
Dalam hal ini yang berhak melakukan penuntutan yakni pasal 13 jo Pasal butir 6 huruf b, yakni:
“Penuntut umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan
penututan dan melaksanakan penetapan hakim “
Dalam melaksanakan penuntutan yang menjadi wewenangnya, penuntut Umum berkewajiban
untuk membuat surat dakwaan berdasarkan hasil penyidikan. Dalam hal didapati oleh
penuntut umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan
peristiwa pidana atau perkara ditutup demi hukum, maka penuntut umum menghentikan
penuntutan yang dituangkan dalam suatu surat ketetapan. Apabila tersangka berada dalam
tahanan tahanan, sedangkan surat ketetapan telah diterbitkan maka tersangka harus segera di
keluarkan dari tahanan. Selanjutnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut dikeluarkan dari
tahanan. Selanjutnnya, surat ketetapan yang dimaksud tersebut dibertahukan kepada
tersangka. Turunan surat ketetapan tersebut disampaikan kepada tersangka atau keluarga atau
penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim. Atas surat ketetapan ini
maka dapat dimohon praperadilan, sebagaimana diatur dalam BAB X, bagian kesatu KUHAP dan
apabila kemudian didapati alasan baru, penuntut umum dapat melakukan penuntutan terhadap
tersangka.
    Wewenang Jaksa Penuntut Umum tercantum dalam Pasal 30 Undang-Undang No. 16 Tahun
2004, yakni:
1. Melakukan Penuntutan;
2. Melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan dan telah memperoleh kekuatan
hukum tetap;
3. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan putusan pidana bersayarat, putusan pidana
pengawasan, dan keputusan lepas bersyarat
4. Melakukan penyidikan terhadap tindak pidana tertentu berdasarkan undang-undang;
5. Melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu dapat melakukan pemeriksaan tambahan
sebelum dilimpahkan ke pengadilan yang dalam pelaksanaannya dikoordinasikan dan
penyidik.
D. Tahapan Putusan
Setelah melewati tahap penyelidikan, penyidikan, dan penyelidikan maka tahapan
selanjutnya ialah pesidangan. Tahap persidangan ini dimulai setelah tahap pemeriksaan
pengadilan.
Dalam hal ini ditetapkan 3 orang majelis hakim pada Pengadilan Negeri untuk mengadili
suatu perkara. Setelah ditetapkan 3 orang majelis hakim maka selanjutnya di tentukan hari
sidang.
Sistem pembuktian yang dianut oleh Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana adalah
sistem pembuktian berdasarkan undang-undang yang negatif (Negatif wettelijk). Hal ini
tercantum dalam Pasal 183 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, yakni:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan
sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak
pidana benar-benar terjadinya dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Maka dari itu dapat disimpulkan bahwa pidana dapat dijatuhi berdasarkan pada minima 2
alat bukti dan keyakinan hakim. Yang mana alat bukti itu sendiri diatur dalam pasal 184
ayat (1), yakni:
1. keterangan saksi,
2. keterangan ahli,
3. surat,
4. petunjuk,
5. keterangan terdakwa.
Secara singkat proses pada tahapan persidangan ini dapat dijabarkan sebagai berikut:
 Tahap pertama, UPAYA DAMAI
Majelis Hakim akan berusaha menasehati para pihak untuk berdamai.
 Tahap kedua, PEMBACAAN GUGATAN/PERMOHONAN
Bila upaya damai tidak berhasil, Majelis Hakim akan memulai pemeriksaan perkara
dengan membacakan gugatan/permohonan Penggugat/Pemohon.
 Tahap ketiga, JAWABAN TERGUGAT/TERMOHON
Kesempatan Tergugat/Termohon untuk menjawab gugatan/permohonan
Penggugat/Pemohon, baik secara lisan maupun tertulis.
 Tahap keempat, REPLIK
Kesempatan Penggugat/Pemohon untuk menanggapi jawaban Tergugat/Termohon,
baik secara lisan maupun tertulis.
 Tahap kelima, DUPLIK
Kesempatan Tergugat/Termohon untuk menjawab kembali tanggapan (replik)
Penggugat/Pemohon, baik secara lisan maupun tertulis.
 Tahap keenam, PEMBUKTIAN
Pada tahap ini baik Penggugat/Pemohon akan dimintakan bukti untuk menguatkan
dalil-dalil gugatan/permohonannya dan Tergugat/Termohon akan dimintakan bukti
untuk menguatkan bantahannya.
 Tahap ketujuh, KESIMPULAN
Penggugat/Pemohon dan Tergugat/Termohon menyampaikan kesimpulan akhir
terhadap perkara yang sedang diperiksa.
 Tahap kedelapan, MUSYAWARAH MAJELIS
Majelis Hakim akan bermusyawarah untuk mengambil keputusan mengenai perkara
yang sedang diperiksa.
 Tahap kesembilan, PEMBACAAN PUTUSAN
Majelis Hakim akan membacakan putusan hasil musyawarah Majelis Hakim.

9. APA YANG ANDA KETAHUI TENTANG REPLIK, DUPLIK, EKSEPSI, TUNTUTAN, DAN PLEDOI
DALAM HUKUM ACARA PIDANA DAN BERIKAN CONTOH
1) REPLIK
Replik adalah tanggapan Penggugat atas jawaban yang diajukan oleh Tergugat. Replik harus
disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas jawaban Tergugat. Oleh karena itu, replik adalah
respon Penggugat atas jawaban yang diajukan Tergugat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan
membuka peluang kepada Penggugat untuk mengajukan Rereplik. Replik Penggugat ini
dapat berisi pembenaran terhadap jawaban Tergugat atau boleh jadi Penggugat menambah
keterangannya dengan tujuan untuk memperjelas dalil yang diajukan Penggugat dalam
gugatannya. Dalam menyusun jawaban atas pembelaan (replik) dari terdakwa atau
penasehat hukumnya, jaksa penuntut umum harus mampu mengantisipasi arah dan wujud
serta materi pokok dari pemelaan terdakwa dan penasehat hukumnya dalam replik tersebut.
Jaksa penuntut umum harus menginventarisir inti (materi pokok) pembelaan yang diajukan
terdakwa atau penasehat hukumnya dalam repliknya sebagai bantahan/sanggahan atas
pembelaan terdakwa atau penasehat hukumnya.
CONTOH:
REPLIK
(TANGGAPAN PENUNTUT UMUM TERHADAP EKSEPSI)
PENASEHAT HUKUM TERDAKWA REKI KURNIAWAN, M ARIEF SETIAWAN, SONY HIDAYAT
Majelis Hakim Yang Kami Muliakan
Saudara Tim Penasehat HukumYang Kami Hormati
Sidang Pengadilan yang Terhormat
Sesuai dengan acara persidangan yang telah ditetapkan, maka pada kesempatan ini Jaksa
Penuntut Umum akan memberikan tanggapan terhadap eksepsi dari Penasehat Hukum
Terdakwa Reki Kurniawan, M Arief Setiawan, Sony Hidayat.
Bahwa Tim Penasehat Hukum para Terdakwa dalam eksepsinya di muka persidangan pada
tanggal 22 Maret 2009 berkesimpulan sebagai berikut:
Bahwa dakwaan dari jaksa penuntut umum kabur (obscure libel), sebab perkara ini bukanlah
perkara pidana namun perkara utang piutang yang masuk dalam ranah perdata.
Bahwa jaksa penuntut umum terlalu mendramatisir dakwaan dan cenderung keluar dari
pokok perkara.
Bahwa dakwaan jaksa penuntut umum tidak memenuhi kaidah-kaidah penyusunan surat
dakwaan, sehingga menyesatkan (misleading) dan cenderung asal asalan saja dalam
penerapan pasal yang mengisyaratkan bahwa jaksa penuntut umum tidak memahami duduk
perkara dalam perkara ini.
Terhadap kesimpulan eksepsi Penasehat Hukum tersebut Jaksa Penuntut Umum
memberikan tanggapan sebagai berikut:
Bahwa pada saat penyidikan dalam perkara ini sangat jelas sekali dalam perkara ini bukan
masuk dalam perkara perdata seperti yang disebutkan dalam eksepsi penasehat hukum,
namun murni tindak pidana penganiayaan disertai dengan pemerasan, melihat bahwa
korban tidak mengenal para terdakwa serta tidak mempunyai hubungan keluarga maupun
pekerjaan, apakah logis korban yang sama sekali tidak mengenal terdakwa, tidak
mempunyai hubungan keluarga maupun pekerjaan mempunyai hutang dengan terdakwa.
Sehingga surat dakwaan jaksa penuntut umum sudah jelas dan tidak kabur.
Bahwa pada saat penyidikan dalam perkara ini yang kemudian di tuangkan dalam surat
dakwaan sudah sesuai dengan fakta yang ada sehingga tidak ada unsur mendramatisir
seperti yang dituduhkan oleh penasehat hukum dalam eksepsinya.
Bahwa dalam menyusun surat dakwaan jaksa penuntut umum sudah sesuai dengan kaidah
peyusunan surat dakwaan yang ada. Sehingga tidak ada unsur menyesatkan (misleading)
apalagi asal asalan dalam mendakwa karena jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya
sesuai dengan fakta dan hasil penyidikan.
Bahwa dengan demkian surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah sah menurut hukum.

Berdasarkan uraian terebut di atas Jaksa Penuntut Umum dalam perkara atas hukum dan
mohon kepada Majelis Hukum Pengadilan Negeri Semarang menetapkan sebagai berikut:
Menolak eksepsi Penasehat Hukum Terdakwa Reki Kurniawan, M Arief Setiawan, dan Sony
Hidayat

Menyatakan pemeriksaan perkara atas nama Terdakwa Reki Kurniawan, M Arief Setiawan,
dan Sony Hidayat dilanjutkan

Demikian tanggapan Jaksa Penuntut Umum terhadap eksepsi Penasehat Hukum Terdakwa
Reki Kurniawan, M Arief Setiawan, dan Sony Hidayat.
Semarang, 29 April 2009
JAKSA PENUNTUT UMUM

Niken Pratjna Paramita., SH


2) DUPLIK
Duplik adalah jawaban Tergugat atas replik yang diajukan Penggugat. Tergugat dalam
dupliknya mungkin membenarkan dalil yang diajukan Penggugat dalam repliknya dan tidak
pula tertutup kemungkinan Tergugat mengemukakan dalil baru yang dapat meneguhkan
sanggahannya atas replik yang diajukan oleh Penggugat. Tahapan replik dan duplik dapat
saja diulangi sampai terdapat titik temu antara Penggugat dengan Tergugat atau dapat
disimpulkan titik sengketa antara Penggugat dengan Tergugat atau tidak tertutup
kemungkinan hakimlah yang menutup kemungkinan dibukanya kembali proses jawab-
menjawab ini, apabila mejelis hakim menilai, bahwa replik yang diajukan Penggugat dengan
duplik yang diajukan oleh Tergugat hanya mengulang-ngulang dalil yang telah pernah
dikemukakan di depan sidang. Setelah jaksa penuntut umum mengajukan replik di
persidangan, maka selanjutnya giliran terdakwa dan atau penasehat hukumnya untuk
menanggapi replik dari jaksa penuntut umum tersebut. Tanggapan seperti ini lazim disebut
sebagai “duplik”.
Sebagai penutup dari replik dan duplik dibuat suatu kesimpulan yang menyimpulkan
semua tanggapan dan tangkisan.
Sebelum majelis hakim mengambil sikap dan menyusun keputusan, biasanya majelis hakim
memberikan kesempatan kepada terdakwa apakah masih ada yang perlu disampaikan
misalnya mohon keringanan hukum atau mohon keputusan yang seadil-adilnya.
CONTOH:
DUPLIK
(TANGGAPAN ATAS REPLIK PENUNTUT UMUM
DALAM TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN DAN PEMERASAN)
ATAS NAMA TERDAKWA REKI KURNIAWAN, M ARIF SETIAWAN, DAN SONY HIDAYAT
Majelis Hakim Yang Kami Muliakan
Saudara Tim Penasehat HukumYang Kami Hormati
Sidang Pengadilan yang Terhormat

Bahwa apa yang akan kami sampaikan dalam Duplik ini, merupakan upaya kami untuk
mencoba menjelaskan kebenaran fakta, dengan harapan tidak ada pihak yang tersesat
dalam mengikuti maupun mengamati proses persidangan ini. Kami juga mengharapkan
Pengadilan tidak terpengaruh dari permintaan-permintaan dan desakan-desakan dari pihak
lain yang hendak melemparkan tanggungjawab. Untuk itu kami memohon agar Majelis
Hakim yang menyidangkan perkara ini berani mengambil keputusan untuk menyatakan
kebenaran yang benar-benar hakiki dan bersandar kepada keadilan yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Replik yang telah disampaikan oleh Penuntut Umum
melemahkan Pledooi dari Penasehat Hukum Terdakwa.
Dimana Penuntut Umum tetap berpendirian bahwa Terdakwa terbukti melakukan tindak
pidana penganiayaan dan pemerasan, akan tetapi Penasehat Hukum Terdakwa
berpendapat lain dan akan ditanggapi sebagai berikut:

1. Unsur “Barang siapa” dapat dijelaskan sebagai berikut:


“Barang siapa” dimaksud adalah orang atau subyek hukum yang mempunyai
tanggungjawab dan dapat dipertanggungjawabkan menururt hukum atas perbuatan yang
dilakukannya. bahwa terbukti dipersidangan yang bernama terdakwa reki kurniawan M
Arif Setiawan dan Sony hidayat. adalah subyek hukum yang dimaksud yang identitasnya
telah sesuai dengan yang disebutkan dalam surat dakwaan. Oleh karena selama
dipersidangan ternyata terdakwa dalam keadaan sehat, baik jasmani maupun rohani maka
tidak ada satupun alasan yang diemukan dalam diri terdakwa yang dapat meniadakan
untuk menghapuskan kesalahan terdakwa dan dipandang cakap sebagai subyek hukum
oleh karena itu unsur ini menurut kami telah terbukti.
Bahwa dalam unsur ini terpenuhi oleh terdakwa sebab terdakwa Reki Kurniawan, M Arif
Setiawan, dan Sony Hidayat bener-benar tersulut emosinya akibat korban yang menutupi
keberadaan Saudara Manto.
2. Unsur “Penganiayaan dengan rencana lebih dahulu.”
Bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak memberikan definisi tentang apa yang
maksud “dengan sengaja” namun DaIam MvT “sengaja” berarti “Willens en weten”
(menghendaki dan mengetahui), yang berarti bahwa sipembuat menghendaki apa yang
dilakukannya dan harus mengetahui apa yang dikehendakinya. Artinya seseorang yang
melakukan suatu tindakan dengan sengaja harus menghendaki atau menginsyafi tindakan
tersebut dan / atau akibatnya (EY. Kanter, Azas-azas Hukum Pidana Indonesia dan
Penerapannya, halaman 167).
Bahwa dalam unsur ini sangat memberatkan terdakwa sebab terdakwa Reki Kurniawan, M
Arif Setiawan, dan Sony Hidayat bener-benar tersulut emosinya akibat korban yang
menutupi keberadaan Saudara Manto.

3. Unsur “Pemerasan” dapat dijelaskan sebagai berikut:


Pemerasan berati melakukan tindakan yang menguntungkan diri sendiri untuk
menyerahkan uang atau barang milik orang lain untuk di miliki di sertai kekerasan atau
ancaman. bahwa terbukti dipersidangan yang bernama terdakwa reki kurniawan M Arif
Setiawan dan Sony hidayat telah melakukan tindakan pemerasan terhadap korban
Bahwa pada unsur ini terbukti dan terpenuhi oleh terdakwa Reki Kurniawan, M Arif
Setiawan, dan Sony Hidayat namun hal itu dilakukan untuk mengganti sebagian utang
saudara Manto sehingga unsur tersebut tidak sepenuhnya terpenuhi oleh para terdakwa.
Oleh karena JPU tidak dapat membuktikan seluruhnya unsur-unsur yang didakwakan,
sesuai dengan yurisprudensi yang menyatakan “Tidak terpenuhinya satu unsur yang
didakwakan atau dituduhkan, mengakibatkan tidak terbuktinya tuntutan atau dakwaan
seluruhnya dan terdakwa karenanya harus dibebaskan dari segala tuntutan dan dakwaan”

Berdasarkan uraian diatas, maka kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa Reki Kurniawan,
M Arif Setiawan, dan Sony Hidayat tetap berpendirian pada pembelaan yang telah kami
sampaikan. Bahwa unsur-unsur yang terdapat pada pasal tersebut tidak terbukti dan tidak
terpenuhi secara sah dan meyakinkan.

Untuk itu kami mohon kepada Majelis Hakim untuk memberikan putusan sesuai dengan
permohonan kami dalam Pledoi yang telah kami sampaikan pada persidangan sebelumnya.
Semarang, 20 Mei 2009
Hormat kami
Penasehat Hukum Terdakwa

3) EKSEPSI
Eksepsi dalam Bahasa Belanda ditulis “exceptie”, sedangkan dalam Bahasa Inggris ditulis
“exception” yang secara umum diartikan “pengecualian”.

Tetapi dalam konteks hukum acara, eksepsi dimaknai sebagai tangkisan atau bantahan
(objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat untuk mengkritisi
syarat-syarat formil dari surat gugatan penggugat.

Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti “eksepsi” adalah pengecualian,
tangkisan atau pembelaan yang tidak menyinggung isi surat tuduhan (gugatan), tetapi
berisi permohonan agar pengadilan menolak perkara yang diajukan oleh penggugat karena
tidak memenuhi persyaratan hukum.
CONTOH:
No : 16/ Eks/ 2009
Lamp : –
Hal : Eksepsi

EKSEPSI

Majelis Hakim yang kami hormati,


Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,

Kami selaku penasehat hukum terdakwa mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang
diberikan untuk membacakan eksepsi ini. Eksepsi ini kami ajukan sebagai hal yang
prinsipil, karena ini merupakan hak kami untuk tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran.
Majelis Hakim yang kami muliakan, setelah mendengar dakwaan dari jaksa penuntut umum
seperti yang disampaikan pada persidangan yang lalu sebelum kami menanggapi surat
dakwaan tersebut kami menemukan kejanggalan dalam persidangan yang telah lalu.
Adapun hal-hal yang kami maksudkan adalah:
1. Bahwa dakwaan dari jaksa penuntut umum kabur (obscure libel), sebab perkara ini
bukanlah perkara pidana namun perkara utang piutang yang masuk dalam ranah
perdata.
2. Bahwa jaksa penuntut umum terlalu mendramatisir dakwaan dan cenderung keluar
dari pokok perkara.
3. Bahwa dakwaan jaksa penuntut umum tidak memenuhi kaidah-kaidah penyusunan
surat dakwaan, sehingga menyesatkan (misleading) dan cenderung asal asalan saja
dalam penerapan pasal yang mengisyaratkan bahwa jaksa penuntut umum tidak
memahami duduk perkara dalam perkara ini.

Berdasarkan uraian diatas, sesuai dengan pasal 143 ayat 2 b Jo 156 ayat 1 KUHAP maka
dakwaan jaksa penuntut umum harusnya tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus
dibatalkan.
Demikian eksepsi ini kami buat atas perhatian dan kerjasamanya demi terciptanya keadilan
kami ucapkan terima kasih.
Semarang 22 Maret 2009
Hormat Kuasa Hukum

Mas Hono Rio Kertanegara, SH

4) TUNTUTAN
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tuntutan berarti hasil menuntut, sesuatu yang
dituntut, hal menuntut. Pengertian mengenai penuntutan diatur dalam Pasal 1 butir 7
KUHAP adalah sebagai berikut: “Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”
5) PLEDOI
Pledoi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(“KUHAP”) dikenal dengan istilah pembelaan. Tuntutan pidana yang diajukan penuntut
umum maupun pembelaan yang diajukan terdakwa atau penasihat hukum pada hakikatnya
merupakan “dialogis jawab-menjawab terakhir” dalam proses pemeriksaan.

10. JELASKAN HUBUNGAN ANTARA HUKUM PIDANA MATERIL DAN HUKUM PIDANA FORMIL
SERTA BERIKAN CONTOH
Hukum pidana materiil adalah hukum pidana yang memuat aturan-aturan yang menetapkan
dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan yang memuat
syarat-syarat untuk dapat dipidana dan ketentuan mengenai pidana. Sedangkan hukum pidana
formil adalah hukum pidana yang mengatur bagaimana negara dengan perantaraan alat-alat
perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana.
Hukum pidana formil tidak mungkin ada tanpa adanya hukum pidana materil,
sebaliknya hukum pidana materil akan kehilangan maknanya tanpa keberadaan hukum
pidana formil.
Contoh:
Si A melakukan pembunuhan terhadap si B, maka penuntutan terhadap si B bukanlah atas
dasar adanya laporan dari pihak keluarga si B, dalam hal ini walaupun keluarga si B tidak
melaporkan peristiwa pidana tersebut dan tidak merasa keberatan, namun perbuatan si B
mampu dituntut sesuai dengan Hukum yang berlaku (Pasal 338 KUH Pidana).

Anda mungkin juga menyukai