NPP.30.0148
KELAS: I-1
NO. ABSEN: 03
2. SEBUTKAN DAN JELASKAN SERTA BERIKAN CONTOH ASAS-ASAS HUKUM ACARA PIDANA
1) Asas peradilan cepat, sederhana dan biaya ringan
Pemberlakuan asas ini sebenarnya diatur dalam HIR. Selain itu, diatur juga dalam UU No. 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyebutkan “Peradilan dilakukan
dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.” “Sederhana” berarti pemeriksaan dan
penyelesaian perkara dilakukan dengan cara efisien dan efektif. Sedangkan “Biaya ringan”
artinya biaya perkara yang dapat di jangkau oleh masyarakat banyak. Adapun “Cepat”
diartikan “segera”. Peradilan cepat sangat diperlukan terutama untuk menghindari
penahanan yang lama sebelum ada keputusan hakim.
Apabila mengacu pada KUHAP, terdapat beberapa pasal yang dapat diketegorikan sebagai
perwujudan dari asas peradilan cepat, sederhana dan ringan, yaitu misalnya dalam Pasal 50
ayat (1) yang merumuskan: “Tersangka berhak segera mendapatkan pemeriksaan oleh
penyidik dan selanjutnya dapat diajukan kepada penuntut umum.”
Apabila mencermati Pasal 50 ayat (1) tersebut, terdapat kata “segera” yang berarti
tersangka memilik hak secara cepat mendapatkan pemeriksanaan yang selanjutnya
diajukan kepada penuntut umum untuk dilakukan pemeriksanaan di pengadilan. Ini
menunjukan pentingnya suatu kepastian hukum dalam pelaksanaan hukum acara pidana.
Selain itu, Pasal 67 juga dapat dimaknai adanya asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya
ringan yaitu:
“Terdakwa atau penuntut umum berhak untuk minta banding terhadap putusan pengadilan
tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas, lepas dari segala tuntutan hukum yang
menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam
acara cepat.”
Implementasi lainnya terhadap asas peradilan cepat dapat terlihat dalam hal batas waktu
penahanan yang dilakukan oleh penegak hukum. Penahanan merupakan suatu hak dari
para penegak hukum untuk menahan seseorang yang telah berstatus “tersangka” atau
“terdakwa” dengan alasan untuk memperlancar penyidikan. Pada dasarnya pengaturan
mengenai batas waktu penahanan oleh penyidik adalah 20 hari dan dapat diperpanjang
atas izin penuntut umum selama 40 hari yang diatur di dalam Pasal 24 ayat (1) dan (2)
KUHAP. Apabila sampai batas waktu maksimal (60 hari) penyidik belum juga
menyelesaikan penyidikannya, maka tersangka atau terdakwa harus segera dikeluarkan
demi hukum dan tanpa syarat apapun. Begitu pula halnya apabila penahanan tersebut
dilakukan oleh Penuntut Umum, Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah
Agung (MA).
2) Praduga tak bersalah (presumption of innocence)
Asas ini mengandung makna setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan
dihadapkan dipengadilan tidak boleh dianggap bersalah sampai ada putusan pengadilan
yang menyatakan bersalah serta telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Asas ini
terdapat dalam Penjelasan Umum butir 3 c KUHAP yang disebutkan sebagai berikut:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di muka
sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang
menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Selain diatur dalam KUHAP, dalam Pasal 11 ayat (1) Universal Declaration of Human Rights
1948 juga mengatur megenai pentingnya asas praduga tidak bersalah tersebut, yaitu:
“Everyone change with a penal offence has the right to be persumed innocent until proved
guilty according to law in public trial at which he has all quarantees necessary for his
defence.”
Dengan demikian, asas praduga tidak bersalah ini merupakan perwujudan dari
perlindungan hak asasi manusia (human rights).
3) Asas oportunitas
Asas Oportunitas merupakan suatu asas dimana penuntut umum tidak diwajibkan untuk
menuntut seseorang jika penuntutannya akan merugikan kepentingan umum. Pada
dasarnya asas ini merupakan penyimpangan terhadap asas legalitas. Artinya, demi
kepentingan umum, asas legalitas tersebut dikecualikan. Dalam praktek, istilah asas
oportunitas disebut dengan istilah “deponering”.
Asas ini tidak dapat digunakan secara sembarangan. Asas ini hanya berlaku jika
kepentingan umum benar-benar dirugikan, selain itu tidak semua jaksa dapat
memberlakukan asas ini. Artinya, hanya “Jaksa Agung” yang dapat melaksanakan asas ini
sebagaimana diatur oleh Pasal 35 c UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, yaitu sebagai
berikut: “Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan umum.”
4) Pemeriksaan pengadilan terbuka untuk umum
Asas pengadilan terbuka untuk umum memiliki makna yaitu menghendaki adanya bentuk
transparansi atau keterbukaan dalam sidang peradilan pidana. Asas ini diatur dalam Pasal
153 ayat (3) KUHAP, yaitu: “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka
sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan
atau Terdakwanya anak-anak.”
Dari rumusan Pasal 153 tersebut, dapat dimaknai terdapat beberapa perkara dalam hukum
pidana yang mendapat pengecualian persidangan yang dibuka untuk umum, yaitu pertama,
perkara kesusilaan dan kedua, terdakwanya adalah anak-anak. Yahya Harahap memberikan
tanggapannya terkait dengan kenapa perkara kesusilaan dan terdakwanya anak-anak
tersebut pemeriksaan pengadilannya harus ditutup untuk umum, yaitu:
“Secara singkat dapat dapat dikemukakan bahwa mengenai perkara kesusilaan dianggap
masalahnya sangat pribadi sekali. Tidak patut mengungkapkan dan memaparkannya secara
terbuka di muka umum. Demikian juga halnya dengan pemeriksaan sidang anak-anak, cara-
cara pemeriksaan persidangannya memerlukan kekhususan. Timbul suatu kecenderungan
yang agaknya bisa dijadikan dasar filosofis yang mengajarkan anak-anak melakukan tindak
pidana, bukanlah benar-benar, tetapi melainkan bersifat “kenakalan” semata-mata.”
Apabila perkara terkait kesusilaan atau terdakwanya anak-anak tersebut tetap dilakukan
persidangan dengan terbuka untuk umum, maka akan menimbulkan konsekuensi hukum
yang diatur dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP, yaitu: “tidak dipenuhinya dalam ayat (2) dan
ayat (3) mengakibatkan batalnya putusan demi hukum.” Dengan dasar Pasal 153 ayat (4)
KUHAP ini, maka konsekuensi hukum jika perkara tetap dibuka untuk umum adalah
putusan batal demi hukum.
5) Semua orang diperlakukan sama di depan hukum (equlity before the law).
Asas diperlakukan sama didepan hukum (equality before the law) adalah bentuk perlakuan
yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak membedakan latar belakang
sosial, ekonomi, keyakinan politik, agama, golongan, dan sebagainya. Maksud dari asas ini
adalah di depan pengadilan kedudukan semua orang sama, maka mereka harus
diperlakukan sama. Seseorang bersalah maka harus dihukum, sedangkan jika tidak
bersalah, maka harus dibebaskan. Selain itu, walaupun seseorang mendapatkan suatu
hukuman, tetapi hukuman yang diberikan haruslah sesuai dengan kesalahan yang
diperbuatnya.
Penerapan asas ini dapat terlihat dalam penjelasan umum butir 3 a KUHAP yang
menyebutkan: “Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan pembedaan perlakuan.”
Selain itu, terlihat juga dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman yang menyebutkan: “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak
membeda-bedakan orang.”
6) Peradilan dilakukan oleh hakim karena jabatannnya dan tetap
Asas ini meunjukkan bahwa dalam pengambilan keputusan untuk menyatakan salah
tidaknya terdakwa dilakukan oleh hakim karena jabatannya yang bersifat tetap. Sistem ini
berbeda dengan sistem juri yang dimana kesalahan terdakwa ditentukan oleh suatu dewan
yang mewakili golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya biasanya mereka
awam terhadap ilmu hukum.
7) Tersangka/terdakwa berhak mendapat bantuan Hukum
Salah satu asas yang terdapat dalam KUHAP adalah bahwa tersangka dan terdakwa berhak
mendapatkan bantuan hukum. Asas ini diatur dalam Pasal 64 s/d Pasal 74 KUHAP. Bantuan
hukum yang dimaksud adalah hak untuk mendapatkan bantuan hukum dari seorang
advokat/pengacara. Bantuan hukum tersebut dianggap penting, sebab dengan didampingi
seorang advokat/pengacara, maka seorang tersangka dan terdakwa dapat diberikan
penjelasan mengenai hak-haknya secara independen. Selain itu, menurut hukum apabila
diancam hukuman mati atau pidana penjara diatas 5 (lima) tahun, maka seorang tersangka
atau terdakwa wajib diberikan bantuan hukum dengan didampingi oleh seorang
advokat/pengacara.
Pada dasarya hak untuk mendapatkan bantuan hukum dengan didampingi seorang
advokat/pengacara merupakan konsep yang diadopsi dari “miranda rule” yang kemudian
diakomodir dalam KUHAP. Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum pada dasarnya
menghormati konsep miranda rule ini. Komitmennya terhadap penghormatan miranda rule
telah dibuktikan dengan mengadopsinya ke dalam Pasal 56 Ayat (1) KUHAP:
“Dalam hal tersangka atau terdakwa disangka atau didakwa melakukan tindak pidana yang
diancam dengan pidana mati atau ancaman pidana lima belas tahun atau lebih atau bagi
mereka yang tidak mampu yang diancam dengan pidana lima tahun atau lebih yang tidak
mempunyai penasihat hukum sendiri, pejabat yang bersangkutan pada semua tingkat
pemeriksaan dalam proses peradilan wajib menunjuk penasihat bagi mereka.”
Asas ini juga berlaku secara universal di negara-negara demokrasi. Hal ini terbukti dengan
diaturnya dalam The International Covenant an Civil and Political Rights article 14 sub 3d
yang menyebutkan sebagai berikut : “To be tried in his presence, and to defend himself in
person or through legal assistance of his own choosing, to be inform, if he does not have
legal assistance, of this right and to have legal assistance assigned to him, in any case where
the interest justice so require, and without payment by him in any such case, if he does not
have sufficient means topay for it.” (Diadili dengan kehadiran Terdakwa, membela diri
sendiri secara pribadi atau dengan bantuan penasihat hukum menurut pilihannnya sendiri,
diberi tahu tentang hak-haknya ini jika ia tidak mempunyai penasihat hukum untuk dia jika
untuk kepentingan peradilan perlu untuk itu, dan jika ia tidak mampu membayar penasihat
hukum ia dibebaskan dari pembayaran).”
8) Asas Akusator
Asas akusator adalah asas yang menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa sebagai
subjek bukan sebagai objek dari setiap tindakan pemeriksaan. Asas ini merupakan asas
yang dianut KUHAP yang berbeda dengan asas inkuisatoir yang masih menempatkan
kedudukan tersangka/terdakwa sebagai objek pemeriksaan sebagaimana diatur dalam HIR.
Asas inkuisatoir yang dianut dalam HIR berbeda dengan asas akusator yang dianut dalam
KUHAP yang ditandari adanya perubahan istilah salah satu alat bukti. Dalam HIR disebut
dengan “pengakuan terdakwa”, sedangkan di dalam KUHAP disebut dengan “keterangan
terdakwa”. Istilah “pengakuan terdakwa” dalam HIR memiliki kecenderungan terdakwa
harus mengakui bahwa dia bersalah, sedangkan istilah “keterangan terdakwa” lebih kepada
adanya hak terdakwa untuk membela diri sebagai bentuk perlindungan hak-hak terdakwa.
9) Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan
Asas ini menghendaki dalam pemeriksaan sidang perkara pidana, pemeriksaan tersebut
dilaksanakan secara langsung dan lisan. Hal tersebut sangat berbeda dengan acara perdata
yang di mana tergugat dapat diwakili oleh kuasanya. Pemeriksaan oleh hakim juga
dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis sebagaimana antara hakim dan terdakwa.
Dasar hukum mengenai asas ini diatur dalam Pasal 154, 155 KUHAP, dan seterusnya. Dari
“asas langsung” tersebut yang dipandang sebagai pengecualian adanya kemungkinan dari
putusan hakim yang dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa sendiri yaitu putusan verstek atau
in absentia.
Asas ini memiliki tujuan agar pemeriksaan dapat mencapai kebenaran yang hakiki.
Pemeriksaan secara langsung dan lisan memberikan kesempatan kepada hakim untuk lebih
teliti dan cermat dimana tidak hanya keterangannya saja yang bisa diteliti tetapi juga sikap
dan cara mereka dalam memberikan keterangan.
10) Asas pemberian ganti rugi dan rehabilitasi atas salah tangkap, salah tahan, dan salah
tuntut (remedy and rehabilitation).
Apabila terdapat seseorang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau pun diadili tanpa alasan
yang sah berdasarkan undang-undang dan atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau
hukum yang diterapkan wajib diberi ganti rugi dan rehabilitasi sejak tingkat penyidikan dan
konsekuensi sanksinya bagi para pejabat penegak hukum tersebut apabila dilanggar,
dituntut, dipidana, dan atau dikenakan hukuman administrasi. Tersangka, terdakwa,
terpidana atau ahli warisnya berhak menuntut ganti kerugian karena ditangkap, ditahan,
dituntut, dan diadili tanpa alasan yang sah menurut undang-undang atau kekeliruan
orangnya atau kekeliruan terhadap hukum yang diterapkan. Dapat diajukan dalam sidang
praperadilan apabila perkaranya belum atau tidak dilimpahkan ke Pengadilan Negeri, tetapi
apabila perkaranya telah diperiksa di Pengadilan Negeri maka tuntutan ganti kerugian
dapat diajukan ke Pengadilan Negeri yang memeriksa perkara tersebut baik melalui
penggabungan perkara maupun gugatan perdata biasa baik ketika perkara pidananya
diperiksa maupun setelah ada putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
terhadap perkara pidana yang bersangkutan. Mengenai ganti rugi yang disebabkan oleh
penangkapan atau penahanan dapat diajukan apabila terjadi:
- Penangkapan atau penahanan secara melawan hukum;
- Penangkapan atau penahanan tidak berdasarkan undang-undang;
- Penangkapan atau penahanan dilakukan untuk tujuan kepentingan yang tidak dapat
dipertanggung jawabkan menurut hukum, dan
- Penangkapan atau penahanan salah orangnya (disqualification in person). Terkait upaya
prapradilan tersebut diatur dalam Pasal 77 s/d Pasal 83 KUHAP.
5. SEBUTKAN DAN JELASKAN SERTA BERIKAN CONTOH UPAYA HUKUM DALAM PROSES
PERADILAN DI INDONESIA
1) Upaya hukum biasa
Merupakan upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum berkekuatan hukum
tetap. Upaya ini mencakup:
a. Perlawanan/verzet
Suatu upaya hukum terhadap putusan di luar hadirnya tergugat (putusan verstek).
Dasar hukum verzet dapat dilihat di dalam pasal 129 HIR. Verzet dapat dilakukan dalam
tempo/tenggang waktu 14 hari (termasuk hari libur) setelah putusan putusan verstek
diberitahukan atau disampaikan kepada tergugat karena tergugat tidak hadir.
Syarat verzet adalah (pasal 129 ayat (1) HIR):
1. keluarnya putusan verstek
2. jangka waktu untuk mengajukan perlawanan adalah tidak boleh lewat dari 14 hari
dan jika ada eksekusi tidak boleh lebih dari 8 hari; dan
3. verzet dimasukan dan diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri di wilayah hukum
dimana penggugat mengajukan gugatannya.
b. Banding
Adalah upaya hukum yang dilakukan apabila salah satu pihak tidak puas terhadap
putusan Pengadilan Negeri. Dasar hukumnya adalah UU No 4/2004 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Pokok Kekuasaan dan UU No 20/1947 tentang Peradilan Ulangan.
Permohonan banding harus diajukan kepada panitera Pengadilan Negeri yang
menjatuhkan putusan (pasal 7 UU No 20/1947).
Urutan banding menurut pasal 21 UU No 4/2004 jo. pasal 9 UU No 20/1947 mencabut
ketentuan pasal 188-194 HIR, yaitu:
1. ada pernyataan ingin banding
2. panitera membuat akta banding
3. dicatat dalam register induk perkara
4. pernyataan banding harus sudah diterima oleh terbanding paling lama 14 hari
sesudah pernyataan banding tersebut dibuat.
5. pembanding dapat membuat memori banding, terbanding dapat mengajukan kontra
memori banding.
c. Kasasi
Menurut pasal 29 dan 30 UU No 14/1985 jo. UU No 5/2004 kasasi adalah pembatalan
putusan atas penetapan pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat
peradilan akhir.
Putusan yang diajukan dalam putusan kasasi adalah putusan banding. Alasan yang
dipergunakan dalam permohonan kasasi yang ditentukan dalam pasal 30 UU No
14/1985 jo. UU No 5/2004 adalah:
1. tidak berwenang (baik kewenangan absolut maupun relatif) untuk melampaui batas
wewenang;
2. salah menerapkan/melanggar hukum yang berlaku;
3. lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan
yang mengancam kelalaian dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
Pada dasarnya menangguhkan eksekusi. Dengan pengecualian yaitu apabila putusan
tersebut telah dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu atau
uitboverbaar bij voorraad dalam pasal 180 ayat (1) HIR jadi meskipun dilakukan upaya
hukum, tetap saja eksekusi berjalan terus.
6. SEBUTKAN DAN JELASKAN SERTA BERIKAN CONTOH 3 BENTUK PUTUSAN HAKIM DALAM
PENYELESAIAN PERKARA PIDANA
Dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP disebutkan bahwa yang dimaksud dengan putusan pengadilan
adalah, “pernyataan hakim yang diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat
berupa pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini”. Berdasarkan pengertian putusan pengadilan yang
disebutkan dalam KUHAP tersebut, maka dapat diuraikan bahwa putusan pengadilan tersebut
dapat berupa:
1) PEMIDANAAN
Sebagaimana telah disebutkan dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP “jika pengadilan
berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan
kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana”.
Lebih lanjut Pasal 196 ayat (3) menyebutkan, “segera setelah putusan pemidanaan
diucapkan, bahwa hakim ketua sidang wajib memberitahukan kepada terdakwa apa yang
yang menjadi haknya, yaitu:
- Hak segera menerima atau segera menolak putusan.
- Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak putusan,
dalam tenggang waktu yang ditentukan dalam undang-undang ini.
- Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu yang ditentukan
oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi, dalam hal ia menerima putusan.
- Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang waktu yang
ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak putusan.
- Hak mencabut pernyataan berkenaan dengan hak menerima atau menolak putusan
dalam tenggang waktu yang di tentukan oleh undang-undang ini”.
Pidana atau hukuman yang dijatuhkan dapat berupa kurungan badan dan/atau denda,
sesuai dengan unsur pasal yang didakwakan kepadanya.
3) PUTUSAN LEPAS DARI SEGALA TUNTUTAN HUKUM (ONSLAAG VAN ALLE RECHT
VERVOLGING)
Pengertian putusan lepas dari segala tuntutan hukum adalah, “jika pengadilan
berpendapat bahwa perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi
perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, maka terdakwa dituntut lepas
dari segala tuntutan hukum”. (Pasal 191 ayat (2) KUHAP)
Hukuman bebas dan hukuman lepas dari segala tuntutan hukum ini berdampak pada
masalah penahanan, dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 191 ayat (3) bahwa, “terdakwa
yang ada dalam status tahanan diperintahkan untuk dibebaskan seketika itu juga kecuali
ada alasan lain yang sah, terdakwa perlu ditahan”.
Selanjutnya dalam hal putusan pemidaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum,
pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang
paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali
jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk
kepentingan Negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan
lagi, kecuali apabila terdapat alasan yang sah, pengadilan menetapkan supaya barang bukti
diserahkan sesudah sidang selesai, dan perintah penyerahan barang bukti dilakukan tanpa
disertai syarat apapun kecuali dalam hal putusan pengadilan yang belum mempunyai
kekuatan hukum tetap (Pasal 194 ayat (1), (2) dan (3) KUHAP). (RenTo) (021118)
7. KAPAN DAN DISAAT APA UPAYA HUKUM DILAKUKAN OLEH PENGGUGAT DAN TERGUGAT
DALAM PERKARA PIDANA DAN PERDATA BERIKAN CONTOH DAN DASAR HUKUMNYA
(SALAH SATU UPAYA HUKUM)
1) UPAYA HUKUM DALAM PERKARA PIDANA
- UPAYA HUKUM PRAPERADILAN
Praperadilan merupakan salah satu lembaga dalam hukum pidana Indonesia, secara
formil diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Dalam praktik
digunakan oleh pihak-pihak/institusi yang mengajukan upaya atas ketidakpuasan
penerapan hukum atau tindakan/keputusan aparat hukum yang dianggap telah
menciderai rasa keadilan dan kepentingan mereka. Berdasarkan ketentuan Pasal 78
Ayat (1) dan (2) KUHAP praperadilan merupakan wewenang pengadilan negeri dan
praperadilan tersebut dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan
negeri dan dibantu oleh seorang panitera.
Adapun kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus perkara
praperadilan dimaksud adalah sebagai berikut:
a. sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau
penghentian penuntutan;
b. ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya
dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan.
terhadap permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau
tentang sah atau tidaknya penahanan hanya diajukan oleh tersangka, keluarga, atau
kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasanya sedangkan hak
untuk mengajukan permintaan untuk dapat diperiksanya sah atau tidaknya suatu
penghentian penyidikan atau sah atau tidaknya penghentian penuntutan adalah penyidik
atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan dengan menyebutkan pula
alasannya.
Selain dari pihak-pihak dan perihal yang menjadi dasar praperadilan diatas dapat pula
diajukan ganti kerugian dan rehabilitasi akibat tidak sahnya penangkapan atau
penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan hal dimaksud
dapat diajukan oleh tersangka atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasanya. Ketentuan mengenai ganti kerugian
dan rehabilitasi lebih lanjut diatur dalam Pasal 95 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.
Atas putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud Pasal 79, dan Pasal 81
KUHAP tidak dapat dimintakan banding, terkecuali putusan praperadilan yang
menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau tidak sahnya penghentian
penuntutan. Putusan banding terhadap pemeriksaan keberatan atas putusan
praperadilan pada tingkat pertama yang diajukan penyidik atau penuntut umum atau
tersangka, keluarga termasuk kuasanya merupakan putusan akhir (pihak-pihak
dimaksud dalam uraian di atas yang dapat mengajukan banding tidak secara eksplisit
disebutkan dalam ketentuan KUHAP. Namun demikian, dapat disimpulkan melalui suatu
analisa bahwasanya kepentingan siapa yang terganggu atas putusan praperadilan
tersebut atau dapat pula diserap suatu ketentuan dari pasal-pasal sebelumnya dalam
undang-undang ini).
Apabila alasan pemohon tidak benar atau tidak terbukti, Mahkamah Agung
menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan
yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dengan dasar
pertimbangnnya;
Apabila alasan pemohon benar atau terbukti, maka Mahkamah Agung
membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan
putusan yang alternatifnya sebagai berikut:
a) putusan bebas;
b) putusan lepas dari segala tuntutan;
c) putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
d) putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Dalam hal Mahakamah Agung menjatuhkan pidana terhadap permintaan
peninjauan kembali itu maka dengan alasan apapun pidana yang dijatuhkan tidak
boleh melebihi pidana yang telah dijatuhkan dalam putusan semula.
b. Kasasi
Sebagaiamana lembaga banding, lembaga kasasi ini merupakan lembaga yang
tersedia bagi para pihak yang tidak menerima atau menolak putusan pengadilan
pada tingkat banding dan atau sutau lembaga yang disediakan bagi pihak yang tidak
menerima atau menolak penetapan pengadilan pada tingkat pertama terkait
perkara permohonan. Ketentuan mengenai kasasi ini diatur dalam Pasal 20 Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
dan diatur pula dalam Pasal 28 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14
Tahun 1985 telah beberapa kali dirubah dan terakhir Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
9. APA YANG ANDA KETAHUI TENTANG REPLIK, DUPLIK, EKSEPSI, TUNTUTAN, DAN PLEDOI
DALAM HUKUM ACARA PIDANA DAN BERIKAN CONTOH
1) REPLIK
Replik adalah tanggapan Penggugat atas jawaban yang diajukan oleh Tergugat. Replik harus
disesuaikan dengan kualitas dan kuantitas jawaban Tergugat. Oleh karena itu, replik adalah
respon Penggugat atas jawaban yang diajukan Tergugat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan
membuka peluang kepada Penggugat untuk mengajukan Rereplik. Replik Penggugat ini
dapat berisi pembenaran terhadap jawaban Tergugat atau boleh jadi Penggugat menambah
keterangannya dengan tujuan untuk memperjelas dalil yang diajukan Penggugat dalam
gugatannya. Dalam menyusun jawaban atas pembelaan (replik) dari terdakwa atau
penasehat hukumnya, jaksa penuntut umum harus mampu mengantisipasi arah dan wujud
serta materi pokok dari pemelaan terdakwa dan penasehat hukumnya dalam replik tersebut.
Jaksa penuntut umum harus menginventarisir inti (materi pokok) pembelaan yang diajukan
terdakwa atau penasehat hukumnya dalam repliknya sebagai bantahan/sanggahan atas
pembelaan terdakwa atau penasehat hukumnya.
CONTOH:
REPLIK
(TANGGAPAN PENUNTUT UMUM TERHADAP EKSEPSI)
PENASEHAT HUKUM TERDAKWA REKI KURNIAWAN, M ARIEF SETIAWAN, SONY HIDAYAT
Majelis Hakim Yang Kami Muliakan
Saudara Tim Penasehat HukumYang Kami Hormati
Sidang Pengadilan yang Terhormat
Sesuai dengan acara persidangan yang telah ditetapkan, maka pada kesempatan ini Jaksa
Penuntut Umum akan memberikan tanggapan terhadap eksepsi dari Penasehat Hukum
Terdakwa Reki Kurniawan, M Arief Setiawan, Sony Hidayat.
Bahwa Tim Penasehat Hukum para Terdakwa dalam eksepsinya di muka persidangan pada
tanggal 22 Maret 2009 berkesimpulan sebagai berikut:
Bahwa dakwaan dari jaksa penuntut umum kabur (obscure libel), sebab perkara ini bukanlah
perkara pidana namun perkara utang piutang yang masuk dalam ranah perdata.
Bahwa jaksa penuntut umum terlalu mendramatisir dakwaan dan cenderung keluar dari
pokok perkara.
Bahwa dakwaan jaksa penuntut umum tidak memenuhi kaidah-kaidah penyusunan surat
dakwaan, sehingga menyesatkan (misleading) dan cenderung asal asalan saja dalam
penerapan pasal yang mengisyaratkan bahwa jaksa penuntut umum tidak memahami duduk
perkara dalam perkara ini.
Terhadap kesimpulan eksepsi Penasehat Hukum tersebut Jaksa Penuntut Umum
memberikan tanggapan sebagai berikut:
Bahwa pada saat penyidikan dalam perkara ini sangat jelas sekali dalam perkara ini bukan
masuk dalam perkara perdata seperti yang disebutkan dalam eksepsi penasehat hukum,
namun murni tindak pidana penganiayaan disertai dengan pemerasan, melihat bahwa
korban tidak mengenal para terdakwa serta tidak mempunyai hubungan keluarga maupun
pekerjaan, apakah logis korban yang sama sekali tidak mengenal terdakwa, tidak
mempunyai hubungan keluarga maupun pekerjaan mempunyai hutang dengan terdakwa.
Sehingga surat dakwaan jaksa penuntut umum sudah jelas dan tidak kabur.
Bahwa pada saat penyidikan dalam perkara ini yang kemudian di tuangkan dalam surat
dakwaan sudah sesuai dengan fakta yang ada sehingga tidak ada unsur mendramatisir
seperti yang dituduhkan oleh penasehat hukum dalam eksepsinya.
Bahwa dalam menyusun surat dakwaan jaksa penuntut umum sudah sesuai dengan kaidah
peyusunan surat dakwaan yang ada. Sehingga tidak ada unsur menyesatkan (misleading)
apalagi asal asalan dalam mendakwa karena jaksa penuntut umum dalam surat dakwaannya
sesuai dengan fakta dan hasil penyidikan.
Bahwa dengan demkian surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum adalah sah menurut hukum.
Berdasarkan uraian terebut di atas Jaksa Penuntut Umum dalam perkara atas hukum dan
mohon kepada Majelis Hukum Pengadilan Negeri Semarang menetapkan sebagai berikut:
Menolak eksepsi Penasehat Hukum Terdakwa Reki Kurniawan, M Arief Setiawan, dan Sony
Hidayat
Menyatakan pemeriksaan perkara atas nama Terdakwa Reki Kurniawan, M Arief Setiawan,
dan Sony Hidayat dilanjutkan
Demikian tanggapan Jaksa Penuntut Umum terhadap eksepsi Penasehat Hukum Terdakwa
Reki Kurniawan, M Arief Setiawan, dan Sony Hidayat.
Semarang, 29 April 2009
JAKSA PENUNTUT UMUM
Bahwa apa yang akan kami sampaikan dalam Duplik ini, merupakan upaya kami untuk
mencoba menjelaskan kebenaran fakta, dengan harapan tidak ada pihak yang tersesat
dalam mengikuti maupun mengamati proses persidangan ini. Kami juga mengharapkan
Pengadilan tidak terpengaruh dari permintaan-permintaan dan desakan-desakan dari pihak
lain yang hendak melemparkan tanggungjawab. Untuk itu kami memohon agar Majelis
Hakim yang menyidangkan perkara ini berani mengambil keputusan untuk menyatakan
kebenaran yang benar-benar hakiki dan bersandar kepada keadilan yang berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Replik yang telah disampaikan oleh Penuntut Umum
melemahkan Pledooi dari Penasehat Hukum Terdakwa.
Dimana Penuntut Umum tetap berpendirian bahwa Terdakwa terbukti melakukan tindak
pidana penganiayaan dan pemerasan, akan tetapi Penasehat Hukum Terdakwa
berpendapat lain dan akan ditanggapi sebagai berikut:
Berdasarkan uraian diatas, maka kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa Reki Kurniawan,
M Arif Setiawan, dan Sony Hidayat tetap berpendirian pada pembelaan yang telah kami
sampaikan. Bahwa unsur-unsur yang terdapat pada pasal tersebut tidak terbukti dan tidak
terpenuhi secara sah dan meyakinkan.
Untuk itu kami mohon kepada Majelis Hakim untuk memberikan putusan sesuai dengan
permohonan kami dalam Pledoi yang telah kami sampaikan pada persidangan sebelumnya.
Semarang, 20 Mei 2009
Hormat kami
Penasehat Hukum Terdakwa
3) EKSEPSI
Eksepsi dalam Bahasa Belanda ditulis “exceptie”, sedangkan dalam Bahasa Inggris ditulis
“exception” yang secara umum diartikan “pengecualian”.
Tetapi dalam konteks hukum acara, eksepsi dimaknai sebagai tangkisan atau bantahan
(objection). Bisa juga berarti pembelaan (plea) yang diajukan tergugat untuk mengkritisi
syarat-syarat formil dari surat gugatan penggugat.
Merujuk kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti “eksepsi” adalah pengecualian,
tangkisan atau pembelaan yang tidak menyinggung isi surat tuduhan (gugatan), tetapi
berisi permohonan agar pengadilan menolak perkara yang diajukan oleh penggugat karena
tidak memenuhi persyaratan hukum.
CONTOH:
No : 16/ Eks/ 2009
Lamp : –
Hal : Eksepsi
EKSEPSI
Kami selaku penasehat hukum terdakwa mengucapkan terima kasih atas kesempatan yang
diberikan untuk membacakan eksepsi ini. Eksepsi ini kami ajukan sebagai hal yang
prinsipil, karena ini merupakan hak kami untuk tegaknya hukum, keadilan dan kebenaran.
Majelis Hakim yang kami muliakan, setelah mendengar dakwaan dari jaksa penuntut umum
seperti yang disampaikan pada persidangan yang lalu sebelum kami menanggapi surat
dakwaan tersebut kami menemukan kejanggalan dalam persidangan yang telah lalu.
Adapun hal-hal yang kami maksudkan adalah:
1. Bahwa dakwaan dari jaksa penuntut umum kabur (obscure libel), sebab perkara ini
bukanlah perkara pidana namun perkara utang piutang yang masuk dalam ranah
perdata.
2. Bahwa jaksa penuntut umum terlalu mendramatisir dakwaan dan cenderung keluar
dari pokok perkara.
3. Bahwa dakwaan jaksa penuntut umum tidak memenuhi kaidah-kaidah penyusunan
surat dakwaan, sehingga menyesatkan (misleading) dan cenderung asal asalan saja
dalam penerapan pasal yang mengisyaratkan bahwa jaksa penuntut umum tidak
memahami duduk perkara dalam perkara ini.
Berdasarkan uraian diatas, sesuai dengan pasal 143 ayat 2 b Jo 156 ayat 1 KUHAP maka
dakwaan jaksa penuntut umum harusnya tidak dapat diterima atau surat dakwaan harus
dibatalkan.
Demikian eksepsi ini kami buat atas perhatian dan kerjasamanya demi terciptanya keadilan
kami ucapkan terima kasih.
Semarang 22 Maret 2009
Hormat Kuasa Hukum
4) TUNTUTAN
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Tuntutan berarti hasil menuntut, sesuatu yang
dituntut, hal menuntut. Pengertian mengenai penuntutan diatur dalam Pasal 1 butir 7
KUHAP adalah sebagai berikut: “Tindakan penuntut umum untuk melimpahkan
perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan
diputus oleh hakim di sidang pengadilan.”
5) PLEDOI
Pledoi dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(“KUHAP”) dikenal dengan istilah pembelaan. Tuntutan pidana yang diajukan penuntut
umum maupun pembelaan yang diajukan terdakwa atau penasihat hukum pada hakikatnya
merupakan “dialogis jawab-menjawab terakhir” dalam proses pemeriksaan.
10. JELASKAN HUBUNGAN ANTARA HUKUM PIDANA MATERIL DAN HUKUM PIDANA FORMIL
SERTA BERIKAN CONTOH
Hukum pidana materiil adalah hukum pidana yang memuat aturan-aturan yang menetapkan
dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan yang memuat
syarat-syarat untuk dapat dipidana dan ketentuan mengenai pidana. Sedangkan hukum pidana
formil adalah hukum pidana yang mengatur bagaimana negara dengan perantaraan alat-alat
perlengkapannya melaksanakan haknya untuk mengenakan pidana.
Hukum pidana formil tidak mungkin ada tanpa adanya hukum pidana materil,
sebaliknya hukum pidana materil akan kehilangan maknanya tanpa keberadaan hukum
pidana formil.
Contoh:
Si A melakukan pembunuhan terhadap si B, maka penuntutan terhadap si B bukanlah atas
dasar adanya laporan dari pihak keluarga si B, dalam hal ini walaupun keluarga si B tidak
melaporkan peristiwa pidana tersebut dan tidak merasa keberatan, namun perbuatan si B
mampu dituntut sesuai dengan Hukum yang berlaku (Pasal 338 KUH Pidana).