Team Teaching
PERTEMUAN
3
Sejarah Perkembangan Hukum Acara Perdata
Istilah Herziene Indonesisch Reglement (HIR), pada mulanya bernama Indlandsch
Reglement (IR) yang berarti Reglemen Bumiputera. Perancang dari IR adalah
seorang Warga Negara Belanda yang bernama Mr. H.L. Wichers, yang menjabat
sebagai Presiden dari Hooggerechtschof, yaitu Badan Pengadilan Tertinggi di Indonesia
pada zaman kolonial Belanda. Dengan Surat Keputusan Gubernur Jenderal Rochussen,
tertanggal 5 Desember 1846 No.3, Mr. Wichers diberi tugas untuk merancang
reglemen tentang administrasi, polisi dan proses perdata serta proses pidana bagi
golongan Bumiputera.
Dalam waktu singkat, Wichers berhasil mengajukan sebuah rancangan aturan acara
perdata dan acara pidana, yang terdiri dari 432 pasal. Pasal 432 IR yang sekarang dimuat
dalam Pasal 393 H.I.R ayat (1) memuat ketentuan, “bahwa dalam hal mengadili perkara di
muka pengadilan bagi golongan Bumiputera itu, tidak boleh dipakai bentuk-bentuk acara
yang melebihi atau lain daripada apa yang telah ditetapkan dengan reglemen itu sendiri”.
LANJUTAN
Perubahan dan penambahan yang paling mendalam dilakukan sejak tahun 1926 sampai
tahun 1941 terutama menyangkut acara pidananya, selanjutnya perubahan tersebut
diundangkan kembali dengan Stb. 1941-32 jo. 98. Dalam Stb. 1941-32 ini sebutan
Inlandsch Reglement (IR) diganti dengan sebutan Het Herziene Indonesisch Reglement
yang disingkat dengan HIR.
HIR ini berlaku untuk wilayah Jawa dan Madura. Untuk melangkapi hal tersebut
selanjutnya pada tahun 1927 gubernur jenderal Hindia Belanda mengumumkan sebuah
reglement hukum acara perdata untuk daerah seberang (luar jawa dan Madura) dengan Stb.
1927-227 dengan sebutan Rechtsreglement voor de Buitengewesten yang disingkat dengan
RBg. RBg ini berisi ketentuan yang sudah ada dalam IR ditambah ketentuan hukum acara
perdata yang telah ada dan berlaku dikalangan orang-orang luar jawa dan Madura.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, HIR dan RBg masih tetap berlaku sebagai
peraturan hukum acara di muka pengadilan negeri untuk semua warga Negara Indonesia.
Hal ini didasarkan pada ketentuan Aturan Peralihan Pasal II dan IV UUD RI tertanggal 18
Agustus 1945 jo PP 1945-2 tertanggal 10 Oktober 1945.
Asas-Asas Hukum Acara Perdata
Hakim Bersifat Menunggu Hakim Bersifat Pasif
(iudex no procedat ex officio) (lijdelijkeheid van rechter).
Pasal 10 ayat (1) UU No. 48 / 2009 dan Pasal
142 RBg / pasal 118 HIR
Trilogi Peradilan (Sederhana, Cepat dan Biaya Asas Bebas Dari Campur Tangan Pihak Di
Ringan) Luar Pengadilan
Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 Tahun 2009.
hakim dalam mengadili suatu perkara harus Hakim dalam mengadili dan memutus suatu
berusaha semaksimal mungkin untuk perkara tidak boleh terpengaruh oleh hal-hal di luar
menyelesaikan perkara dalam tempo yang tidak pengadilan, seperti pengaruh uang, pengaruh
terlalu lama. kekerabatan, pengaruh kekuasaan dan lain
sebagainya.
LANJUTAN
3. Persidangan Terbuka Untuk Umum Secara formal asas ini membuka kesempatan untuk “sosial kontrol”,
untuk menjamin peradilan yang tidak memihak, adil, obyektif dan bertujuan untuk memberi
perlindungan hak hak asasi manusia di bidang peradilan, sehingga terjadi pemeriksaan yang fair dan
putusan pengadilan harus diucapkan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Apabilah putusan tidak
diucapkan secara terbuka untuk umum, maka putusan dimaksud dinyatakan tidak sah dan batal demi
hukum.
4. Audi Et Alteram Partem Asas ini tercermin dalam UU No. 48 Tahun 2009, RBg, HIR. Yang opada
intinya adalah bahwa Pengadilan/ hakim harus memberi kesempatan yang sama kepada para pihak
untuk memberi pendapatnya dan tidak memihak. Pengadilan/ hakim tidak boleh menerima keterangan
dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk
mengeluarkan pendapatnya.
5. Putusan Harus Disertai Alasan artinya hakim berkewajiban mencantumkan alasan alasan sebagai
dasar dalam suatu putusan sebagaimana yang ditentukan dalam PRBg, HIR, UU No. 48 Tahun 2009,
UU No. 49 Tahun 2009. Dalam UU No. 49 Tahun 2009 Pasal 68 A menentukan :
- Dalam memeriksa dan memutusrus bertanggungjawab atas penetapan dan putusan yang dibuatnya.
- Penetapan dan putusan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) harus memuat pertimbangan
hukum hakim yang didasarkan pada alasan dan dasar hukum yang tepat dan benar.
6. Beracara Dikenakan Biaya Asas Biaya perkaradi pakai untuk: biaya kepaniteraan, biaya panggilan,
biaya pemberitahuan, biaya materai, dan lain-lain biaya yang memang diperlukan seprti
misalnya biaya pemeriksaan setempat. Namun, dimungkinkan bagi yang tidak mampu untuk
berperkara secara “pro deo” atau berperkara secara cuma-cuma sebagaimana yang diatur dalam Pasal
273 RBg / 237 HIR, yang menentukan : penggugat atau tergugat yang tidak mampu membayar biaya
perkara dapat diizinkan untuk berperkara tanpa biaya
7. Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan Asas ini mengandung arti bahwa: sederhana” dan “cepat”.
Apabila “sederhana” dan “cepat” sudah dapat diterapkan melalui tidakan teknis-konkrit
persidangan maka biaya yang akan dikeluarkan oleh para pihak akan semakin ringan .
8.Asas Bebas Dari Campur Tangan Pihak Di Luar Pengadilan maksudnya adalah: Hakim dituntut
sungguh-sungguh mandiri. Hakim mempunyai otonomi yang selalu harus dijaga agar proses
peradilan berjalan menuju sasaran: peradilan yang obyektif, fair, jujur dan tidak memihak.
Terima kasih