Anda di halaman 1dari 211

I.

PENDAHULUAN
1. Pengertian dan Fungsi Hukum Acara Perdata
2. Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
3. Asas-asas Hukum Acara Perdata
II. KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
1. Kekuasaan Kehakiman yang Mandiri
2. Badan Peradilan Negara
3. Lingkungan Lembaga Peradilan
4. Kompetensi Lembaga Peradilan
III.TATA CARA PENGAJUAN TUNTUTAN HAK
1. Pengertian Tuntutan Hak Keperdataan
2. Pihak-pihak dalam Perkara Perdata
3. Tata Cara Pengajuan Gugatan
4. Penggabungan Tuntutan Hak
5. Upaya-upaya Menjamin Hak
IV.PROSES PEMERIKSAAN PERKARA DI
SIDANG PENGADILAN
1. Pencabutan dan Perubahan Gugatan
2. Putusan Gugur,Verstek dan Putusan Damai
3. Jawaban Tergugat
4. Proses Pembuktian dan Macam-macam Alat Bukti
V. PUTUSAN HAKIM DAN
PELAKSANAANNYA
1. Pengertian Putusan dan Macam-macam Putusan
2. Upaya Hukum Terhadap Putusan Hakim
3. Syarat-syarat Pelaksanaan Putusan Hakim
4. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Hakim
1.1. Pengertian dan Fungsi Hukum Acara
Perdata

Hukum Acara Perdata ------- adalah Peraturan


Hukum yang mengatur tentang bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata material dengan
perantaraan hakim(Mertokusumo,1998:2)
Pengertian dan Fungsi Hukum Acara
Perdata
Hukum Acara Perdata-------- adalah seperangkat
norma hukum yang mengatur bagaimana caranya
menegakkan hukum perdata material,khususnya
dalam hal terjadi pelanggaran hak atas subyek
hukum tertentu oleh subyek hukum yang lain
melalui perantaraan hakim untuk mencegah
terjadinya perbuatan main hakim sendiri
Pengertian dan Fungsi Hukum Acara
Perdata
Hukum Acara Perdata ---------- secara kongkrit
hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana
caranya mengajukan tuntutan hak,memeriksa dan
memutusnya serta pelaksanaan daripada putusannya
(Mertokusumo,1998:2)
1.2. Sumber-sumber Hukum Acara Perdata
 Sumber Hukum material yaitu sumber hukum
dalam arti bahan diciptakannya atau disusun
suatu norma hukum.

 Sumber Hukum Formal yaitu sumber hukum


dalam arti dapat ditemukannya atau dapat
digalinya satu norma hukum sebagai satu dasar
yuridis suatu peristiwa hukum atau suatu
hubungan hukum tertentu.
Sumber Hukum Material
Sumber dalam arti sumber filosofis;

Sumber dalam arti sumber sosiologis;

Sumber dalam arti sumber historis;

Sumber dalam arti sumber yuridis.


Sumber Hukum Formal
Sumber Hukum Tertulis

 HIR,RBg,RV
 Undang-undang No 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
 UU No.3 Tahun 2009 dan UU No.5 Tahun 2004 Perubahan atas
Undang-undang No.14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung
 UU No. 49 Tahun 2009 danUU No.8 Tahun 2004 Perubahan atas
undang-undang No.2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum
 UU No 50 Tahun 2009 dan UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan
atas UU No 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama
 Undang-undang No.18 Tahun 2003 Tentang Advokat
 Undang-undang Khusus lainnya dan peraturan-peraturan pelaksana
lainnya dalam bidang peradilan
Sumber Hukum Formal
Sumber Hukum Tidak Tertulis

 Yurisprudensi

 Doktrin dan ilmu Pengetahuan


1.3. Asas-Asas Hukum Acara perdata
Asas Hukum adalah dasar-dasar filosofis yang
menjadi dasar(ratio legis) norma hukum yang
mengandung nilai-nilai dan tuntutan-tuntutan etis
yang menjadi jembatan antara peraturan-peraturan
hukum dan cita-cita social serta pandangan etis
masyarakat.
Asas Hakim Bersifat Menunggu
Adalah asas yang menyatakan ada tidaknya perkara
di muka hakim tergantung inisiatif dari para pihak
sendiri yang berkepentingan, Hakim lebih bersifat
menunggu sampai perkara diajukan di hadapannya.
Ius Curia Novit
Pengadilan atau hakim tidak boleh menolak untuk
menerima,memeriksa ,mengadili dan memutus suatu
perkara yang diajukan,sekalipun dengan dalih bahwa
hukum tidak ada atau kurang jelas,melainkan wajib
untuk memeriksa dan mengadilinya ( Pasal 10 ayat (1)
UU No.48 Tahun 2009 )----- Hakim dianggap tahu
akan hukumnya (ius curia novit).
Hukum Tidak Ada / Kurang
Jelas
Dalam hal hukumnya tidak ada atau kurang jelas
hakim wajib menggali,mengikuti dan memahami
nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat ( Pasal 5 ayat (1) UU No. 48
Tahun 2009)

Penafsiran Hukum
Yurisprudensi
Doktrin dan ilmu pengetahuan
Kebiasaan dalam Praktek Peradilan
Asas Hakim Bersifat Pasif
Dalam memeriksa perkara hakim tidak ikut
menentukan luas pokok perkara,luas pokok
perkara ditentukan sendiri oleh para pihak,apa
yang diinginkan untuk diperiksa,diadili dan
diputuskan oleh hakim menjadi hak
sepenuhnya dari para pihak. Pengadilan atau
hakim hanya mempunyai tugas untuk
membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk dapat tercapainya peradilan yang
sederhana,cepat dan biaya ringan ( Pasal 4 ayat
(2) UU No.48 Tahun 2009)
Hakim Wajib Memeriksa dan Mengadili
Hakim Wajib memeriksa dan mengadili seluruh
gugatan dan hakim dilarang untuk menjatuhkan
putusan atas perkara yang tidak dituntut atau
lebih dari yang dituntut, dalam hal hakim
memutuskan melampaui batas kewenangannya
maka putusannya dapat dibatalkan oleh
pengadilan yang lebih tinggi, putusan dapat
dimintakan banding,kasasi maupun peninjauan
kembali.
Asas Sidang Terbuka Untuk Umum
Sidang pemeriksaan pengadilan adalah terbuka
untuk umum,kecuali Undang-undang
menentukan lain ( Pasal 13 ayat (1) UU No.48
Tahun2009) , sidang pengadilan dapat
dihadiri,didengar dan dilihat oleh siapapun
kecuali oleh orang-orang yang memang dilarang
oleh undang-undang, tidak dipenuhinya asas ini
berakibat putusan hakim menjadi batal demi
hukum ( Pasal 13 ayat (3) UU No.48 Tahun 2009 )
Tujuan Sidang Terbuka Untuk Umum
Untuk menjamin terlaksananya sistem peradilan yang
obyektif,adil dan fair serta memungkinkan adanya
control social dari masyarakat.
Pengecualian Asas Sidang Terbuka Untuk
Umum
sidang dapat dilakukan secara tertutup dalam hal:
menyangkut perkara anak-anak,perkara
kesusilaan,perkara yang berkaitan dengan ketertiban
umum dan rahasia negara,perkara perkawinan dan
perceraian.
Asas Mendengar Kedua Belah Pihak ( audi
et alteram partem )
 Kedua belah pihak yang bersengketa ,baik
penggugat maupun tergugat harus didengar
keterangannya secara sama dan adil,hakim tidak
boleh memihak dan berat sebelah dalam
memeriksa dan memutus perkara, hakim harus
obyektif,adil dan fair dalam memperlakukan para
pihak yang bersengketa“ Pengadilan mengadili
menurut hukum dan tidak membeda-bedakan
orang ( Pasal 4 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009).
Asas Putusan hakim Harus Disertai Alasan-
alasan
“ Segala putusan Pengadilan selain harus memuat
alasan dan dasar putusan tersebut,memuat pula pasal
tertentu dari peraturan perundangan yang
bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang
dijadikan dasar untuk mengadili ( Pasal 50 ayat (1) UU
No. 48 Tahun 2009 )”
Dasar Alasan Putusan hakim
Alasan Berdasarkan Fakta-faktanya

Alasan Berdarkan Hukumnya

Dasar alasan Putusan Hakim menjadi ukuran


atau parameter adil,obyektrif,fair tidaknya suatu
putusan hakim. Putusan Hakim Harus dapat
dipertanggungjawabkan pada para
pihak,masyarakat,hakim yang lebih tinggi dan
pada dunia ilmu pengetahuan.
Asas beracara dikenakan biaya
Berperkara di pengadilan tentu diperlukan biaya. Asasnya
biaya ringan,sehingga dapat ditanggung oleh masyarakat.
 Biaya perkara meliputi,biaya kepaniteraan,biaya
pemanggilan para pihak maupun para saksi,biaya meterai
dan sebagainya.
 Persekot biaya perkara untuk pertama kalinya
dibayarkan oleh pihak penggugat bersama-sama pada
waktu mengajukan gugatannya, sedangkan siapa yang
harus menangung beban biaya perkara pada prinsipnya
adalah para pihak sendiri, dalam praktek beban biaya
perkara ditentukan oleh hasil dari putusan pengadilan.
Biaya Perkara
Dalam hal tuntutan dikabulkan biaya perkara
dibenankan pada pihak tergugat
Dalam hal tuntutan tidak dikabulkan biaya
perkara ditanggung oleh penggugat
Dalam hal ada putusan damai,biaya perkara
ditentukan sendiri oleh penggugat dan tergugat
dalam perdamaiannya.
Perkara Prodeo
Bagi pihak-pihak yang tidak mampu dapat
mengajukan permohonan agar perkaranya diperiksa
secara Cuma-Cuma (prodeo ) dengan disertai surat
keterangan tidak mampu dari pemerintah setempat,
biaya perkara ditanggung oleh negara ( Pasal 56 ayat
(2) UU No. 48 Tahun 2009 )
Asas tidak ada keharusan untuk mewakilkan
Pada rinsipnya dalam perkara perdata para pihak
dapat beracara sendiri di muka pengadilan tanpa
harus mewakilkan pada seorang wakil atau kuasa
hukum,tetapi para pihak dapat juga mewakilkan atau
menguasakan pada orang lain untuk beracara di
muka pengadilan sebagai kuasa hukumnya.
Bantuan Hukum
Setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum ( Pasal 56 ayat (1) UU
No. 48 Tahun 2009 )
Wakil /Kuasa berdasarkan undang-undang
(wettelijke vertegenwoodig atau legal
mandatory )
undang-undanglah yang telah menetapkan seseorang atau badan
untuk dengan sendirinya menurut hukum bertindak sebagai wakil
dari orang atau badan tanpa memerlukan surat kuasa.

Contoh :
 Wali terhadap anak di bawah perwaliannya
 Orang tua terhadap anak-anaknya yang belum dewasa
 kurator terhadap orang-orang yang ada di bawah kuratelenya
 BHP,Orang atau Badan yang ditunjuk sebagi curator dalam
kepailitan.
Wakil atau kuasa berdasarkan perjanjian
Wakil atau kuasa berdasarkan adanya perjanjian
pemberian kuasa untuk melakukan suatu perbuatan
hukum tertentu ,misalnya kuasa khusus untuk
mengajukan gugatan ke pengadilan negeri antara
seorang penggugat dengan pengacaranya.
Acara Kepailitan
Dalam acara khusus permohonan pernyataan
pailit ,ketentuan asas tidak ada keharusan untuk
mewakilkan menjadi tidak berlaku dengan adanya
ketentuan bahwa setiap permohonan yang
berkaitan dengan kepailitan harus diajukan oleh
seorang kuasa(Advokat) sebagaimana diatur
dalam Pasal 7 UU No37 Tahun 2004 tentang
kepailitan.
. Asas obyektifitas
Hakim dalam menerima,memeriksa,mengadili dan
memutuskan setiap perkara harus berlaku
adil,obyektif dan fair tidak boleh memihak pada salah
satu pihak kedua belah pihak harus diperlakukan
secara imbang.
jaminan penerapan asas obyektifitas
Sebagai jaminan penerapan asas obyektifitas ada beberapa
asas yang terkait dan saling mendukung,misalnya adanya
asas sidang terbuka untuk umum,asas mendengar kedua
belah pihak,asas putusan disertai alasan-alasan,asas hakim
majelis dan lain sebaginya,di samping itu untuk lebih
menjamin asas obyektifitas pada para pihak diberikan
adanya “hak ingkar (recusatie atau hak wraking)”

“Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap


hakim yang akan mengadili perkaranya ( Pasal 17 ayat (1)
UU No. 48 Tahun 2009 ) “
Hak Ingkar
adalah hak seorang yang diadili untuk mengajukan
keberatan yang disertai dengan alasan terhadap
seorang hakim yang mengadili perkaranya (Pasal 17
ayat (2) UU No.48 Tahun 2009)
Dasar Alasan Hak Ingkar
Dasar alasan pengajuan hak ingkar ( Pasal 17 ayat (3,4,5) UU No.48
Tahun 2009, Pasal 374 ayat (1) HIR) :

 Apabila seorang hakim terikat hubungan keluarga sedarah atau


semenda sampai derajat ketiga,atau hubungan suami atau istri
meskipun telah bercerai,dengan ketua,salah seorang hakim
anggota,jaksa,advokat,atau panitera;

 apabila ketua majelis,hakim anggota,jaksa,atau panitera terikat


hubungan keluarga sedarah atau semenda sampai derajat ketiga atau
hubungan suami atau istri meskipun telah bercerai dengan pihak
yang diadili atau advokat;

 apabila hakim atau panitera mempunyai kepentingan langsung atau


tidak langsung dengan perkara yang sedang diperiksa.
Hak Ingkar
Berdasarkan alasan yang sama seorang hakim
atau panitera wajib untuk mengundurkan diri
baik atas keinginan sendiri maupun atas
permintaan pihak-pihak yang berkepentingan.
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap alasan
pada ayat (5) maka putusan hakim menjadi tidak
sah dan terhadap hakim atau panitera yang
bersangkutan dikenakan sanksi administrative
atau pidana berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku ( Pasal 17 ayat (6) UU
No.48 Tahun 2009 ).
. Asas sistem majelis
“Semua pengadilan memeriksa,mengadili dan
memutus dengan sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang
hakim kecuali undang-undang menentukan lain
(Pasal 11 ayat (1) UU No.48 Tahun 2009) “
1. Asas Demi Keadilan Berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa ( Pasal 2
ayat (1) UU No.48 Tahun 2009)

Setiap putusan pengadilan dalam kepala


putusannya harus mencantumkan klausula Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa,klausula ini merupakan klausula eksekutorial.
Tidak dipenuhinya asas ini dalam
putusan,berakibat putusan tidak dapat
dilaksanakan dan putusan menjadi batal demi
hukum
Asas peradilan yang sederhana,cepat dan
biaya ringan( Pasal 2 ayat (4) UU No.48
Tahun 2009 )
Sederhana dalam pengertian bahwa peradilan
dilaksanakan dengan cara-cara yang tidak formalistis,tidak
memerlukan birokrasi yang sulit serta acaranya mudah
difahami oleh masyarakat;
Cepat,dalam pengertian bahwa proses peradilan
dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu yang
penyelesaiannya dapat diukur secara pasti dan jelas dalam
waktu berapa lama suatu perkara dapat diselesaikan oleh
hakim pada semua tingkat;
Biaya ringan,proses peradilan tentu memerlukan
biaya,hanya saja tentunya biaya yang dibebankan selaras
dan sebanding dengan perkara yang diajukan dan dapat
ditanggung oleh masyarakat.
II. KEKUASAAN KEHAKIMAN DI INDONESIA
Kekuasaan Kehakiman Yang Mandiri
mandiri dalam tugas yudisial
mandiri dalam bidang administrasi
mandiri dalam bidang organisasi
mandiri dalam bidang financial
Kekuasaan kehakiman Yang Merdeka
“ Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
pancasila demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indonesia ( Pasal 1 butir 1 UU No. 48 Tahun
2009 ) “
Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka
“ Kekuasaan kehakiman yang merdeka mengandung
pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala
campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial,kecuali
dalam hal-hal sebagaimana disebut dalam Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia 1945 (Penjelasan Pasal 1
UU No.4 / 2004 )”

“ Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial


bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk
menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan
pancasila,sehingga putusannya mencerminkan rasa
keadilan rakyat Indonesia (penjelasan Pasal 1 UU No.4
Tahun 2004 ) “
Kemandirian Peradilan
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya hakim dan
hakim konstitusional wajib menjaga kemandirian
peradilan
Bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari
segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis
Kekuasaan Kehakiman Yang Merdeka
“ Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh
pihak lain di luar kekuasaan kehakiman
dilarang,kecuali dalam hal-hal sebagaimana disebut
dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia
1945 ( Pasal 3 ayat (2) UU No. 48 Tahun 2009 )
Kebebasan Wewenang Yudisial
Bersiafat tidak Mutlak dan Dibatasi Oleh :

 Nilai-nilai Norma Hukum;

 Nilai-nilai Keadilan;

 Nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945


2. Badan Peradilan Negara dan Lingkungan
Peradilan
“ Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik
Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan
dengan Undang-undang{ Pasal 2 ayat (3) UU No.48
Tahun 2009}”
Penyelenggaraan Kekuasaan
Kehakiman
“ Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman…..
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan
badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum,lingkungan
peradilan agama,lingkungan peradilan
militer,lingkungan peradilan tata usaha
negara,dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
(Pasal 2 Jo Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2) UU No 4
Tahun 2004,Pasal 18 UU No.48 tahun 2009) “
Organisasi,administrasi,dan financial
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya berada di bawah kekuasaan Mahkamah
agung ( Pasal 21 ayat ( 1 ) UU No. 48 tahun 2009)
Mahkamah Konstitusi berada di bawah kekuasaan
dan kewenangan Mahkamah Konstitusi ( Pasa 29 ayat
(4) UU No.48 Tahun 2009)
Skema Kekuasaan Kehakiman
MAHKAMAH MAHKAMAH
 AGUNG KONSTITUSI

PENGADILAN PENGADILAN
TINGGI TINGGI AGAMA MAHMILTI PT TUN

PENGADILAN PENGADILAN
NEGERI AGAMAI MAHMIL PTUN

Umum Agama Militer Tata Usaha Negara


Pengadilan Khusus
“ Pengadilan Khusus hanya dapat di bentuk dalam salah
satu lingkungan peradilan sebagimana dimaksud dalam
Pasal 10 yang diatur dengan Undang-undang (Pasal 15 ayat
(1) UU No. 4 Tahun 2004 )
“ Pengadilan khusus,antara lain,adalah pengadilan
anak,pengadilan niaga,pengadilan hak asasi
manusia,pengadilan tindak pidana korupsi,pengadilan
hubungan industrial yang berada di lingkungan peradilan
umum dan perdilan pajak di lingkungan peradilan tata
usaha negara ( penjelasan Pasal 15 ayat (1) UU No. 4 / 2004
Peradilan syariah Islam
“ Peradilan syariah Islam di Propinsi Nanggroe
Aceh Darrussalam merupakan pengadilan khusus
dalam lingkungan peradilan agama sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangnan
peradilan agama dan merupakan penagdilan
khusus dalam lingkungan peradilan umum
sepanjang kewenangannya menyangkut
kewenangan pengadilan umum (Pasal 15 ayat (2)
UU No.4 / 2004 )
Pengadilan syariah Islam
Terdiri atas Mahkamah Syariah untuk tingkat
pertama dan Mahkamah syariah Propinsi untuk
tingkat banding……… ( Penjelasan Pasal 15 ayat (2)
UU No. 4 Tahun 2004 ) “
2.4. Kompetensi Lembaga Peradilan
Kompetensi / kewenangan absulut
 Adalah merupakan Kewenangan lembaga peradilan dalam
menerima, memeriksa dan mengadili serta memutus suatu perkara
tertentu berdasarkan atribusi kekuasaan kehakiman yang secara
mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain,baik dalam
lingkungan badan peradilan yang sama,maupun dalam lingkungan
peradilan yang berbeda.

 Kopetensi absulut terkait dengan pertanyaan peradilan apakah yang


mempunyai kopetensi atau kewenangan untuk memeriksa suatu jenis
perkara tertentu. Apakah peradilan umum,peradilan agama,atau
peradilan lainnya
Kopetensi Absolut Lingkungan Peradilan
Umum
Kompetensi Absolut Pengadilan Negeri
Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus
semua perkara atau sengketa keperdataan pada
tingkat pertama ( Pasal 50 UU No.2 /1986 Jo UU
No. 8 /2004)
Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus
perkara pidana pada tingkat pertama ( Pasal 50
UU No.2 /1986 Jo UU No.8 /2004 )
Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus
pada tingkat pertama perkara koneksitas.
Perkara Koneksitas
Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh
mereka yang termasuk lingkungan peradilan
umum dan lingkungan peradilan militer,diperiksa
dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum,kecuali dalam keadaan tertentu
menurut keputusan Ketua Mahkamah Agung
perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh
pengadilan dalam lingkungan peradilan militer “
( Pasal 24 UU No. 4 / 2004
Kompetensi Absulut Pengadilan Tinggi
 Menerima,memeriksa,mengadili dan memutuskan perkara/sengketa
perdata pada tingkat banding atas putusan pengadilan tingkat
pertama ( Pasal 51 ayat (1) UU No.2 /1986 Jo UU No 8 /2004 )
 Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus perkara pidana pada
tingkat banding atas putusan pengadilan tingkat pertama ( Pasal 51
ayat (1) UU No. 2 /1986 Jo UU No.8 /2004 )
 Menerima,memeriksa,mengadili dan memutus ditingkat pertama dan
terakhir sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan negeri di
daerah hukumnya(menyangkut kopetensi relatif---- Pasal 51 Ayat (2)
UU No. 2 / 1986 Jo UU No.8 /2004 )
 Menerima,memeriksa dan mengadili serta memutus pada tingkat
pertama dan terakhir perkara /sengketa perdata secara prorogasi
(Pasal 3 ayat (1),(2) UU Dar. 1 /1951 ,Pasal 128 (2) RO dan Pasal 85 RBg
Kompetensi Absulut Mahkamah Agung

mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan


yang diberikan pada tingkat terakhir oleh
pengadilan di semua lingkubngan peradilan yang
berada di bawah Mahkamah Agung ( Pasal 11 ayat
( 2 ) huruf a UU No.4 /2004 )
 menguji peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang terhadap undang-undang
( Pasal 11 ayat ( 2) huruf b UU No. 4 / 2004 )
 memeriksa,mengadili dan memutus sengketa wewenang mengadili : a. antara
pengadilan di lingkungan peradilan yang satu dengan pengadilan dalam
lingkungan peradilan yang lain, b. antara dua pengadilan yang ada dalam
derah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan
peradilan yang sama dan c. antara dua pengadilan tingkat banding di
lingkungan peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang
berlainan ( Pasal 33 ayat (1) UU No. 14 / 1985 )

 Semua sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya
oleh kapal perang RI diputus oleh MA dalam tingkat pertama dan terakhir
( Pasal 33 ayat (2) UU No. 14 / 1985

 Permohonan peninjauan kembali atas putusan yang telah memperoleh


kekuatan hukum yang tetap ( Pasal 34 UU No.14 / 1985 ).
Kopetensi absulut Mahkamah Konstitusi
Mahkamah konstitusi berwenang mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya
bersifat final untuk: (Pasal 12 ayat (1) UU No.4
/2004 )
menguji undang-undang terhadap Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945;
memutus sengketa kewenangan lembaga negara
yang kewenangannya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 ;
memutus pembubaran partai politik;
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
Wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan /atau Wakil
Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum
berupa pengkianatan terhadap negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya atau perbuatan
tercela,dan /atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan /atau wakil Presiden Pasal 12 ayat ( 2 ) UU
No. 4 / 2004 ).
Kompetensi Relatif
Adalah kewenangan lembaga peradilan dalam
menerima,memeriksa,mengadili dan memutus suatu
perkara tertentu berdasarkan wilayah hukum suatu
pengadilan berdasar distribusi kekuasaan kehakiman.
Kompetensi relative menyangkut pertanyaan ke
pengadilan negeri manakah suatu perkara harus
diajukan ?
Kompetensi Relative Ditemukan
Pengaturannya dalam Pasal 118 HIR atau
Pasal 142 RBg :
Sebagai asas ditentukan bahwa Pengadilan Negeri di
tempat tinggal tergugat yang wenang untuk memeriksa
gugatan atau tuntutan hak,asas ini disebut asas actor
sequitur forum rei ( Pasal 118 ayat (1) HIR,142 ayat (1)
RBg )
Apabila tergugat tidak mempunyai tempat tinggal yang
dikenal atau tempat tinggalnya yang nyata tidak dikenal
atau tergugat tidak dikenal,maka gugatan diajukan
kepada pengadilan negeri di tempat tergugat sebenarnya
tinggal ( Pasal 118 ayat (1) HIR,142 ayat (1) RBg )
 Dalam hal ada domisili pilihan maka gugatan di ajukan kepada
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi tempat tinggal
atau domisili pilihan tersebut ( Pasal 118 ayat (4) HIR,142 ayat (4) RBg)
------ domisili /tempat tinggal pilihan harus dibuat dengan akta oleh
para pihak (Pasal 24 BW)
 Dalam hal pihak tergugatnya lebih dari seorang dan tempat
tinggalnya tidak dalam satu wilayah hukum pengadilan negeri ,maka
gugatan dapat diajukan kepada pengadilan negeri di tempat salah satu
tergugat bertempat tinggal. Penggugat dapat memilih salah satu
pengadilan di wilayah hukum para tergugat bertempat tinggal (Pasal
118 ayat (2) HIR,Pasal 142 ayat (3) RBg )
Dalam hal tergugatnya terdiri orang-orang yang
berhutang (debitur) dan penanggung,maka
gugatan diajukan kepada pengadilan negeri yang
meliputi wilayah hukum tempat tinggal si
berhutang atau debitur (Pasal 118 ayat (2) HIR,142
ayat(2) RBg )
Dalam hal obyek gugatan adalah benda tetap
maka gugatan diajukan ke pengadilan negeri yang
wilayah hukumnya meliputi letak benda tetap
tersebut -------- asas forum rei sitae ( Pasal 118 ayat
(3) HIR,Pasal 142 ayat (5) RBg
Dalam hal tergugat tidak mempunyai tempat tinggal
yang dikenal maupun tempat tinggal yang nyata atau
apabila tergugat tidak dikenal,gugatan dapat diajukan
kepada pengadilan negeri di tempat penggugat
tinggal ( Pasal 118 ayat(3) HIR, 142 ayat (3) RBg) -----
bentuk penyimpangan atas asas actor sequitur forum
rei.
Terhadap kompetensi relatif apabila tidak ada
eksepsi maka pengadilan tetap mempunyai
kewenangan untuk memeriksa dan mengadili
perkara yang telah diajukan oleh penggugat.
Ketidak wenangan pengadilan dengan alasan
melanggar kompetensi relatif harus berdasarkan
adanya eksepsi dari salah satu pihak yang
bersengketa (pihak tergugat). Sedangkan
menyengkut kompetensi absulut ada atau tidak
eksepsi hakim harus menyatakan dirinya tidak
wenang.
III. TATA CARA PENGAJUAN TUNTUTAN HAK
3.1. Pengertian Tuntutan hak

Tuntutan hak adalah suatu upaya yang bertujuan


untuk memperoleh perlindungan hukum atas hak
–hak tertentu yang dimiliki oleh seseorang
melalui proses peradilan yang dibenarkan
menurut hukum untuk mencegah terjadinya
“eigenrichting”atau perbuatan main hakim sendiri
dalam melaksanakan haknya sehingga
menimbulkan perbuatan melawan hukum yang
dapat merugikan pihak lainnya.
Macam-macam Tuntutan Hak
 Tuntutan hak yang tidak mengandung
sengketa.

 Tuntutan hak yang mengandung sengketa


Tuntutan hak yang tidak mengandung
sengketa
 Yaitu tuntutan hak yang diajukan di muka
sidang pengadilan tanpa didahului adanya
persengketaan di antara pihak pihak yang
berkepentingan atau yang terlibat di
dalamnya.

 Pengajuannya berbentuk permohonan.

 Sistem peradilan yang dipakai adalah


sistem volunteer (peradilan yang tidak
sesungguhnya ).
Tuntutan hak yang mengandung sengketa
 Yaitu tuntutan hak yang diajukan oleh pihak-pihak yang
berkepentingan di muka pengadilan yang didahului
adanya persengketaan atau perselisihan atas suatu hak
tertentu di antara pihak-pihak yang berkepentingan.
 Berbentuk gugatan atau tuntutan perdata
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR
atau Pasal 142 ayat (1) RBg
 Sistem peradilan yang dipakai adalah peradilan
Contentieus (peradilan yang sesungguhnya)
Perbedaan Permohonan dan Gugatan
Dilihat dari para pihaknya, dalam permohonan pada
umumnya pihaknya hanya ada pemohon,tetapi tidak
menutup kemungkinan juga ada pihak termohonnya.
Dalam gugatan para pihaknya terdiri dari dua pihak yaitu
pihak penggugat dan pihak tergugat dan dimungkinkan
juga berperkara dengan pihak ketiga yang masuk dalam
sengketa mereka.
Dilihat dari bentuk pengajuan perkaranya berbentuk
permohonan dan gugatan berbentuk gugatan.
Dilihat dari sistem peradilannya,permohonan masuk
dalam sistem peradilan volunteer sedang gugatan masuk
dalam sistem peradilan kontentieus.
Dilihat dari fungsi dan tugas hakim,dalam permohonan
hakim lebih bersifat sebagai administrator,sedang dalam
gugatan hakim bersifat mengadili diantara kedua belah
pihak antara yang salah dan yang benar.
Dilihat dari putusan yang dihasilkan oleh hakim,dalam
permohonan bentuk putusannya berupa
penetapan,sedangkan dalam gugatan berbentuk
keputusan.
Pada umumnya putusan atas permohonan yang berupa
penetapan tidak memerlukan eksekusi,sedang putusan
atas gugatan pada umumnya memerlukan eksekusi.
3.3. Tata Cara Pengajuan Gugatan di
Pengadilan
 Gugatan dapat diajukan secara lisan maupun secara tertulis

 Isi Gugatan,dalam HIR maupun Rbg tidak mengatur tentang apa yang
harus dicantumkan dalam gugatan,HIR dan RBg hanya mengatur
tentang tata caranya mengajukan gugatan.
 untuk mengisi kekosongan hukum ini ketentuan RV (hukum acara
perdata untuk golongan Eropa ) dapat dijadikan rujukan dalam
menyusun surat gugatan dengan merujuk ketentuan Pasal 119 HIR dan
Pasal 143 RBg yang memberi wewenang ketua pengadilan negeri
berkuasa untuk memberi nasehat dan pertolonggan kepada orang
yang mengugat atau kepada wakilnya tentang hal memasukkan
gugatannya.
ISI SURAT GUGATAN ( Pasal 8 No.3 RV):
Identitas dari para pihak,baik penggugat maupun
pihak tergugatnya.
Dalil-dalil Kongkrit adanya hubungan hukum yang
merupakan dasar serta alasan dari tuntutan
(Fundamentum Petendi atau posita)
Tuntutan yang dikehendaki oleh pihak penggugat
(Petitum )
Identitas Para Pihak
Nama Penggugat dan Tergugat;
Umur Penggugat Maupun Tergugat;
Pekerjaan dari Penggugat dan Tergugat
Tempat Tinggal / Domisili / Tempat Kedudukan
Penggugat dan Tergugat,dll
Fundamentum Petendi atau posita
Tentang Faktanya (kejadian atau peristiwanya);

Tentang Hukumnya
Tuntutan (Petitum )
Yaitu tentang apa yang dimintakan atau diharapkan
oleh pihak penggugat untuk diputuskan oleh hakim.
Tuntutan harus lengkap ,jelas dan sempurna,tuntutan
yang tidak lengkap,jelas dan sempurna akan berakibat
tidak diterimanya tuntutan .
Tuntutan atau petitum
Tuntutan pokok atau tuntutan primer

Tuntutan Pengganti atau tuntutan subsider

Tuntutan Tambahan
Tuntutan pokok atau tuntutan primer
Yaitu tuntutan yang sifatnya pokok terkait dengan
hubungan hukum yang terjadi di antara para pihak
yang harus dipenuhi oleh pihak tergugat sebagai
bentuk prestasi tertentu.
Tuntutan Pengganti atau tuntutan subsider
Yaitu tuntutan yang diajukan oleh penggugat yang
sifatnya adalah untuk menggantikan tuntutan primer
dalam hal nantinya tuntutan primer tidak dikabulkan
oleh hakim. Tuntutan subsider harus sebanding
dengan tuntutan primer.
Tuntutan Tambahan
Adalah tuntutan yang sifatnya menambah tuntutan pokok atau
tuntutan subsider,tuntutan tambahan dapat berupa:
 tuntutan agar tergugat dihukum membayar beaya perkara;
 tuntutan agar tergugat dihukum untuk membayar sejumlah bunga
tertentu;
 tuntutan agar tergugat dihukum membayar sejumlah uang paksa;
 dalam hal gugat cerai,sering disertai dengan tuntutan tambahan atas
nafkah istri,pembagian harta bersama,atau hak pengasuhan atas anak;
 tuntutan agar putusan dinyatakan dapat dilaksanakan terlebih
dahulu,meskipun ada upaya hukum perlawanan,banding maupun
kasasi (Uit voerbaar bij vooraad )
Syarat-sayarat dapat dikabulkannya
tuntutan Uit voebaar bij voorraad (Pasal
180 HIR,Pasal 191 RBg ) antara lain :
 ada surat yang sah (autentik titel )

 apabila ada tulisan yang mempunyai kekuatan


pembuktian

 apabila ada putusan yang telah mempunyai kekuatan


hukum yang tetap

 apabila dikabulkan suatu tuntutan provisional

 dalam hal perselisihan tentang hak milik



Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No.
06 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975 Jo
Surat Edaran Mahkamah Agung No.03
Tahun 1978 tanggal 1 April 1978,

Mahkamah Agung meminta agar para hakim


tidak menjatuhkan putusan Uit Voerbaar bij
voorraad,walaupun syarat-syarat yang
ditentukan dalam pasal 180 ayat (1) HIR telah
dipenuhi,kecuali dalam hal-hal yang tidak dapat
dihindarkan misalnya putusan yang sifatnya
sangat eksepsional
putusan yang sifatnya sangat eksepsional
 putusan itu diberikan apabila ada penyitaan conservatoir yang
harga barangnya tidak cukup untuk memenuhi gugatan

 jikadipandang perlu dapat dimintakan jaminan pada pihak


pemohon,yang berupa benda-benda jaminan yang mudah
disimpan dan tidak boleh menerima penanggung (borg)
untuk menghindarkan masuknya pihak ketiga di dalam
proses.
Dalam Praktek
 Tuntutan tambahan sering juga dirumuskan
dalam bentuk yang beraneka ragam,sering juga
dalam tuntutan tambahan ditambahkan
permintaan “Mohon putusan yang seadil-
adilnya dari hakim “ atau “ Agar Hakim
Mengadili Menurut Keadilan Yang Benar “
Dengan petitum tambahan yang demikian itu
diharapkan hakim dapat memutuskan secara
bebas menurut nilai-nilai keadilan dan
hukum dalam hal petitum primer maupun
sekunder tidak dikabulkan.
3.4. Penggabungan atau kumulasi tuntutan
Kumulasi/penggabungan subyektif

Kumulasi /penggabungan obyektif


Kumulasi/penggabungan subyektif
Yaitu kumulasi yang menyangkut subyek-subyek yang
ada dalam perkara yang sedang terjadi,misalnya
penggugatnya terdiri dari beberapa orang atau
sebaliknya tergugatnya yang terdiri dari beberapa
orang tergugat atau penggugat maupun tergugatanya
lebih dari seorang.
exception plurium litis consortium
Yaitu eksepsi yang menyatakan bahwa masih ada
orang lain yang harus diikutkan sebagai pihak
tergugat dalam perkara yang diajukan oleh pihak
penggugat.
Kumulasi /penggabungan obyektif
Yaitu penggabungan tuntutan yang menyangkut obyek
tuntuan,dalam kumulasi ini penggugat mengajukan
lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara secara
sekaligus atas beberapa hubungan hukum atau
peristiwa hukum ,baik yang saling berhubungan satu
sama lain maupun tidak saling berhubungan.
Ada tiga hal yang tidak dimungkinkan
adanya penggabungan atau kumulasi secara
obyektif

1. Dalam hal tuntutan yang satu diperlukan acara


khusus (misalnya gugat cerai ) dan tuntutan yang
satunya lagi harus diperiksa dengan acara biasa
(misalnya gugat utang piutang );
2. Dalam hal hakim tidak wenang secara relative
untuk memeriksa salah satu tuntutan yang
digabung bersama-sama dalam satu gugatan;
3. Tuntutan yang menyangkut tentang bezit
egendom atau penguasaan dan kepemilikan.
Kumulasi dan Konkursus
Kumulasi harus dibedakan dengan “Konkursus” yang
merupakan kebersamaan adanya beberapa tuntutan
hak yang kesemuanya menuju pada satu akibat hukum
yang sama,apabila satu tuntutan sudah terpenuhi
maka tuntutan lainnya juga sekaligus terkabulkan..
Berperkara dengan pihak ketiga
Dengan cara campur tangan(Intervensi )

Dengan cara penanggungan atau garansi (Vrijwaring


)
Dengan cara campur tangan
( Intervensi )
Intervensi merupakan bentuk berperkara
dengan pihak ketiga dengan cara masuknya
pihak ketiga dalam sengketa yang terjadi
diantara pihak penggugat dan tergugat
didasarkan atas keinginan dan kemauan dari
pihak ketiga itu sendiri.
Dengan cara penanggungan atau garansi
(Vrijwaring )
Dalam Vrijwaring masuknya pihak ke tiga dalam
sengketa yang terjadi di antara penggugat dan
tergugat berdasarkan keinginan dari penggugat
atau tergugat yang secara sengaja menarik pihak
ke tiga masuk dalam sengketa mereka.
Bentuk Campur Tangan / Intervensi
 bersifat menyertai ( Voeging ), dalam intervensi ini pihak ke tiga yang
masuk dalam sengketa antara penggugat dan tergugat bersifat
memihak untuk membela kepentingan salah satu pihak yang
bersengketa,yang lazimnya membela kepentingan dari pihak tergugat.
Dalam intervensi ini sesungguhnya pihak intervinin masuk dalam
sengketa dengan tujuan untuk membela hak-haknya sendiri dengan
jalan membela salah satu pihak yang bersengketa.

 Intervensi yang bersifat menengahi (Tussenkomst ) , masuknya


pihak ketiga dalam sengketa berdiri di antara kepentingan penggugat
dan kepentingan tergugat,tujuan intervinin masuk dalam sengketa
adalah untuk mempertahankan hak dan kepentingan hukumnya
sendiri ,guna mencegah timbulnya kerugian atau kehilangan hak
sebagai akibat adanya sengketa diantara penggugat dan
tergugat,sehingga perlu campur tangan dari pihak intervinin.
Bentuk Penanggungan / Garansi
(Vrijwaring)
Vrijwaring formil yaitu apabila seorang diwajibkan untuk
menjamin orang lain menikmati suatu hak atau benda
yang bersifat kebendaan dan semata-mata hanya
menyangkut hak –hak yang bersifat kebendaan.

Vrijwaring sederhana atau garansi simple ini terjadi


apabila sekiranya tergugat dikalahkan dalam sengketa
yang sedang berlangsung mempunyai hak untuk menagih
kepada pihak ke tiga ( penanggung ) dengan melunasi
hutangnya mempunyai hak untuk menagih kepada
debitur
Penarikan pihak ketiga dengan vrijwaring dapat
dilakukan oleh tergugat sebelum tergugat
memberikan jawabannya,sedang bagi penggugat
sebelum memberikan repliknya.
3.5. Upaya-upaya Untuk
Menjamin Hak
Macam-macam sita Jaminan atau
Conservatoir beslag
Conservatoir beslag atas barang miliknya
sendiri(milik penggugat atau pemohon )

Conservatoir Beslag atas barang milik


debitur/tergugat/termohon
Conservatoir beslag atas barang
miliknya sendiri
 Dalam sita jaminan ini barang yang menjadi
obyek penyitaan adalah barang milik dari pihak
penggugat atau pemohon sendiri yang dikuasai
oleh pihak lain,dalam sita ini tujuannya bukan
untuk menjamin suatu tuntutan berupa tagihan
uang atau pembayaran sejumlah uang
tertentu,akan tetapi lebih dimaksudkan hanya
untuk mejamin suatu hak kebendaan dari
pemohon(penggugat) dan penyitaan akan
berakhir dengan diserahkan benda obyek
penyitaan.
Macam-macam Sita Jaminan atas Barang
Sendiri

 Revindikatoir beslag ;

 Sita Marital
Revindikatoir beslag
Yaitu penyitaan yang dilakukan atas permohonan pemilik
barang bergerak yang ada di tangan pihak orang lain
atau di bawah kekuasaan orang lain (tergugat atau
termohon ) secara lisan maupun secara tertulis ke
pengadilan negeri di tempat orang yang menguasai benda
tersebut bertempat tinggal

Dalam permohonan sita revindikatoir tidak diperlukan


adanya alasan yang berupa praduga bahwa termohon ada
etikat tidak baik untuk mengalihkan barang dimaksud
(Pasal 226 HIR )
Unsur-unsur Revindicatoir Beslag
 Obyek penyitaan harus berupa barang bergerak;
 Barang bergerak tersebut merupakan barang milik
penggugat atau pemohon yang dikuasai oleh tergugat
atau termohon;
 Permintaan/permohonan harus diajukan kepada ketua
pengadilan negeri yang wilayah hukumnya meliputi
tempat tinggal termohon;
 Permohonan dapat diajukan secara lisan maupun
tertulis;
 Barang yang menjadi obyek penyitaan harus
diterangkan secara seksama dan terinci.
Sita Marital
Sita Marital yaitu sita atas barang milik sendiri
yang terjadi dalam hal ada gugat cerai , sita ini
dikenal dalam sistem hukum acara untuk
golongan orang Barat yang diatur dalam Pasal 823
a RV dan seterusnya , sita marital dimohonkan
oleh pihak istri terhadap harta bersama yang
dikuasai oleh suami, baik yang berupa barang
bergerak maupun benda tetap,tujuan dari
penyitaan ini adalah untuk menjamin agar
barang-barang yang disita tidak jatuh atau
dialihkan pada pihak ketiga.
Conservatoir Beslag atas barang milik
debitur/tergugat/termohon
 Bentuk penyitaan inilah yang merupakan bentuk penyitaan yang
sesungguhnya yang bersifat Conservatoir Beslag (CB) sebagimana
ditentukan dalam Pasal 227 HIR ayat (1) “Jika ada persangkaan yang
beralasan,bahwa orang yang berhutang sebelum dijatuhkan
keputusan kepadanya,atau sedang keputusan yang dijatuhkan
kepadanya,belum dapat dijalankan,berusaha akan menggelapkan
atau akan mengankut barangnya ,baik yang tetap maupun tidak
tetap dengan maksud akan menjauhkan barang itu dari penagih
hutang,maka ketua atas permohonan pihak yang berkepentingan
untuk itu (pemohon/penggugat) dapat memberikan perintah
supaya barang itu disita untuk menjaga hak pemohon……”.
Unsur-unsur Conservatoir Beslag
 pengajuan conservatoir beslag harus ada alasan praduga
bahwa tergugat sebelum putusan dijatuhkan atau
dilaksanakan beritikat tidak baik untuk mengalihkan atau
menggelapkan barang-barangnya;
 barang yang menjadi obyek penyitaan adalah milik dari
pihak tergugat/termohon,bukan milik dari pihak penggugat
atau pemohon;
 permohonan Conservatoir Beslag diajukan pada ketua
pengadilan negeri yang memeriksa perkara yang
bersangkutan;
 permohonan conservatoir beslag diajukan secara tertulis;
 obyek penyitaan Conservatoir beslag dapat berupa benda
bergerak,benda tidak bergerak atau benda bergerak milik
tergugat yang dikuasai oleh pihak ketiga.
Perbedaan Pokok antara Conservatoir
Beslag dan Revindicatoir Beslag :
 Obyek permohonan Conservatoir Beslag adalag benda bergerak maupun benda
tetap milik dari debitur/tergugat/termohon maupun benda bergerak milik
debitur/tergugat/termohon yang dikuasai oleh pihak ketiga,Sedangkan dalam
Revindikatoir Beslag obyek penyitaan adalah benda bergerak milik dari
penggugat/pemohon sendiri yang dikuasai oleh tergugat.

 dalam Conservatoir Beslag permohonannya harus disertai adanya alasan yang


berupa praduga adanya itikat tidak baik dari pihak tergugat untuk mengalihkan
/menggelapkan barangnya, sedangkan dalam Revindikatoir Beslag alasan itu tidak
diperlukan.

 Permohonan atas Conservatoir Beslag diajukan dengan surat tertulis, Sedang dalam
Revindikatoir beslag dapat secara lisan maupun tertulis
.
 Dalam Conservatoir Beslag bertujuan untuk pembayaran sejumlah uang tertentu,
sedang dalam Revindicatoir Beslag bertujuan untuk penyerahan atas barang atau
benda yang menjadi obyek penyitaan.
Persamaan Conservatoir Beslag dan
Revindicatoir Beslag :

 Sama-sama untuk menjamin tuntutan dalam hal tuntutan dikabulkan;

 dapat dinyatakan syah dan berharga apabila gugatan dikabulkan dan


pengajuannya memenuhi syarat berdasar undang-undang;

 dalam hal gugatan ditolak atau dinyatakan tidak dapat diterima,maka


Conservatoir Beslag maupun Revindicatoir Beslag akan diperintahkan
untuk diangkat, hal ini ditegaskan dalam Pasal 227 ayat (4) “ Jika
gugatan itu diterima,maka penyitaan itu disahkan,jika itu ditolak maka
diperintahkan supaya dicabut penyitaan itu “
IV. PROSES PEMERIKSAAN DI SIDANG
PENGADILAN
4.1. Pencabutan dan Perubahan
Gugatan
Pencabutan gugatan pada prinsipnya
diperbolehkan,pencabutan gugatan dapat dilakukan oleh
penggugat,perkara mau dilanjutkan atau tidak
sesungguhnya menjadi hak dan kewenangan dari para
pihak sendiri.

Pencabutan gugatan dapat dilakukan :

 Sebelum pihak tergugat memberikan jawaban dan;

 sesudah pihak tergugat memberikan jawabannya


Pencabutan Gugatan Sebelum Tergugat
Memberikan Jawaban

Gugatan dapat dicabut begitu saja oleh pihak


penggugat tanpa perlu mendapatkan ijin atau
persetujuan dari pihak tergugat
Terhadap gugatan yang dicabut sebelum ada
jawaban,dikemudian hari apabila penggugat
berkeinginan untuk mengajukan gugatannya
kembali masih dimungkinkan.
pencabutan gugatan dilakukan setelah
pihak tergugat memberikan jawaban

Pencabutan Surat Gugatan harus mendapatkan


persetujuan dari pihak tergugat. Dalam hal tida
mendapatkan persetujuan dari pihak tergugat maka
pencabutan tidak dapat dilakukan.
Gugatan yang dicabut setelah ada jawaban dari pihak
tergugat,maka bagi penggugat dikemudian hari sudah
tidak dapat mengajukan gugatannya kembali,oleh
karena penggugat sudah dianggap melepaskan hak-
haknya secara suka rela terhadap pihak tergugat.
Penambahan dan perubahan
gugatan
Penambahan atau perubahan gugatan pada
prinsipnya juga diperbolehkan,HIR tidak
mengatur tentang masalah penambahan dan
perubahan gugatan,termasuk hal apa yang boleh
dan tidak boleh untuk ditambah atau dirubah.
Dalam praktek perubahan dan penambahan
diperbolehkan sepanjang tidak merugikan para
pihak khususnya kepentingan pihak tergugat dan
penambahan atau perubahan tersebut tidak
menambah atau merubah tentang pokok
perkaranya.
4.2. Putusan Gugur,Verstek dan Putusan
Damai
Putusan Gugur
Adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim diluar
hadirnya pihak penggugat atau wakilnya pada
sidang yang pertama sekalipun yang bersangkutan
sudah dilakukan pemanggilan secara benar,syah dan
patut untuk hadir di muka sidang pengadilan pada
waktu yang sudah ditentukan
Pasal 124 HIR
“ Jikalau sipenggugat,walaupun dipanggil dengan
patut,tidak menghadap pengadilan negeri pada
hari yang ditentukan itu dan tidak juga menyuruh
seorang lain menghadap selaku wakilnya,maka
gugatannya dipandang gugur dan sipenggugat
dihukum membayar biaya perkara;akan tetapi
sipenggugat berhak,sesudah membayar biaya
yang tersebut,memasukkan gugatannya sekali lagi

Pemanggilan benar,syah dan patut
Pemanggilan dilakukan dan diberikan secara langsung
pada yang bersangkutan atau wakilnya di tempat tinggal
atau domisilinya.
Dalam hal panggilan tidak dapat diberikan secara
langsung pada yang bersangkutan maka surat panggilan
disampaikan melalui kepala desa atau lurah di tempat
tinggal yang bersangkutan
Dalam hal tempat tinggal atau domisili yang bersangkutan
tidak diketahui atau tidak dikenal maka surat panggilan
harus ditempel di kantor pengadilan yang bersangkutan
dan di kantor wali kota atau bupati.
Pemanggilan Benar,Syah dan Patut
Surat panggilan harus memperhatikan masa tenggang
waktu yang patut antara diterimanya pemanggilan dengan
waktu sidang,sekurang-kurangnya panggilan disampaikan
tiga hari kerja sebelum sidang dimulai.
Pemanggilan dilakukan oleh juru sita dan dibuatkan
berita acara pemanggilan pihak-pihak.
Di dalam praktek biasanya pemanggilan akan dilakukan
oleh pengadilan pada para pihak dua kali berturut-
turut,baru kalau pemanggilan kedua tidak hadir juga
dapat dijatuhkan putusan gugur.
Putusan Verstek( Pasal 125 HIR )
 Jika sitergugat,walaupun sudah dipanggil dengan patut tidak
menghadap pada hari yang ditentukan,dan tidak juga
menyuruh seorang lain menghadap selaku wakilnya,maka
gugatan itu diterima dengan putusan tak hadir,kecuali jika nyata
kepada pengadilan negeri,bahwa gugatan itu melawan hak atau
tidak beralasan
 Akan tetapi jika sitergugat dalam surat jawabannya
mengajukan perlawanan (tangkisan) bahwa pengadilan
negeri tidak berhak menerima perkara itu,hendaklah
pengadilan negeri,walaupun si tergugat sendiri atau wakilnya
tidak menghadap,sesudah didengar sipenggugat,mengadili
perlawanannya dan hanya kalau perlawanannya itu
ditolak,maka putusan dijatuhkan mengenai pokok perkara.
Putusan Verstek
 Jika gugatan diterima,maka putusan pengadilan negeri
dengan perintah ketua diberitahukan kepada orang
yang dikalahkan,dan serta itu diterangkan kepadanya
bahwa ia berhak dalam waktu dan dengan cara yang
ditentukan dalam Pasal 129,mengajukan perlawanan
terhadap putusan tak hadir itu pada majelis pengadilan
itu juga
 Di bawah keputusan tak hadir itu panitera pengadilan
mencatat,siapa yang diperintahkan menjalankan
pekerjaan itu dan pakah diberitahukannya tentang hal
itu baik dengan surat maupun dengan lisan.
Syarat-syarat putusan verstek yang
mengabulkan gugatan (Pasal 125 ayat (1)
HIR :

Tergugat atau para tergugat kesemuanya tidak


datang pada hari sidang pertama yang telah
ditentukan;
Tidak menyuruh wakilnya untuk datang pada
sidang yang pertama;
Telah dilakukan pemanggilan secara benar,sah
dan patut;
Petitum tidak melawan hak;
Petitum beralasan
verszet (Perlawanan )
Terhadap putusan Verstek yang isinya mengabulkan
gugatan pihak tergugat dapat mengajukan verszet
(Perlawanan ) pada pengadilan negeri yang telah
memutus putusan verszet tersebut.
Tenggang waktu untuk
mengajukan perlawanan
Dalam waktu 14 hari setelah putusan verstek
diberitahukan kepada pihak yang dikalahkan itu
sendiri
Sampai hari kedelapan setelah teguran seperti
yang dimaksud dalam Pasal 196 HIR,apabila yang
ditegur tidak datang menghadap
Kalau tidak datang waktu ditegur,sampai hari
kedelapan setelah sita eksekutorial (197 HIR ).
Upaya Banding Atas Putusan
Verstek
Terhadap putusan verstek yang isinya menolak
gugatan,bagi pihak penggugat dapat mengajukan
upaya hukum banding ke pengadilan tinggi
berdasarkan ketentuan tentang upaya hukum
banding
Putusan Damai
Putusan Damai adalah putusan pengadilan yang
dijatuhkan oleh hakim berdasarkan hasil perdamaian
para pihak yang telah disepakati dalam akta
perdamaian
Putusan damai bersifat menghukum kedua belah
pihak untuk mematuhi dan mentaati isi perdamaian
yang telah disepakati oleh penggugat dan tergugat
Perdamaian Di Luar Sidang
Perdamaian yang dilakukan di luar
sidang,berlakunya bagi para pihak tidak beda halnya
dengan perjanjian pada umumnya,perdamaian
mengikat seperti halnya undang- undang bagi
penggugat maupun tergugat dan sifat berlakunya
mengikat dengan etikat baik.
Perdamaian Di Dalam sidang
Perdamaian yang dilakukan di dalam sidang
(akta perdamaian) yang dikuatkan dalam bentuk
putusan damai,mempunyai kekuatan hukum
seperti putusan pengadilan yang sudah
memiliki kekuatan hukum yang tetap(in
kracht van gewijsde) mempunyai kekuatan
mengikat dan memaksa bagi para
pihak,putusan damai bersifat final and binding.
Jawaban Tergugat dan Gugat Balik
(Rekonvensi)
 Jawaban yang tidak secara langsung mengenai
pokok perkara berupa tangkisan atau eksepsi

 Jawaban yang menyangkut pokok perkara (verweer


ten principale )
Tangkisan(Eksepsi)
eksepsi prosesuil (processueel ) yaitu eksepsi
yang menyangkut acara pemeriksaan perkara di
pengadilan (Eksepsi yang diatur dalam HIR)

eksepsi berdasar hukum material yaitu eksepsi


yang sudah masuk dalam materi gugatan atau
sudah menyangkut pokok perkara (diatur dalam
ketentuan RV)
eksepsi prosesuil (processueel )
Eksepsi tentang ketidak wenangan hakim dalam
memeriksa suatu perkara tertentu ,baik menyangkut
kopetensi absulut maupun relative.
Eksepsi bahwa hakim telah melanggar asas nebis in idem.
Eksepsi bahwa perkara yang sama sedang diperiksa oleh
pengadilan negeri yang lain.
Eksepsi bahwa perkara sedang diperiksa oleh pengadilan
banding atau kasasi.
Eksepsi bahwa yang bersangkutan tidak mempunyai
kualifikasi / sifat untuk bertindak di muka pengadilan.
eksepsi berdasar hukum material
 eksepsi delatoir yaitu eksepsi yang
menyatakan,bahwa gugatan penggugat belum
dapat dikabulkan,misalnya karena penggugat
telah memberikan penundaan pembayaran dan
sebagainya.

 eksepsi peremptoir adalah eksepsi yang bersifat


menghalangi dikabulkannya gugatan,misalnya
gugatan yang diajukan sudah lampau waktu,
atau bahwa utang yang menjadi dasar gugatan
telah dihapuskan.
Jawaban Yang Menyangkut Pokok Perkara
 menolak gugatan baik sebagian maupun seluruh gugatan / tuntutan
 mengakui gugatan/tuntutan baik sebagian maupun seluruhnya
 dengan alasan pertama dan kedua diikuti adanya gugat balik
(rekonvensi ). menolak gugatan baik sebagian maupun seluruh
gugatan / tuntutan
 mengakui gugatan/tuntutan baik sebagian maupun seluruhnya
 dengan alasan pertama dan kedua diikuti adanya gugat balik
(rekonvensi ). menolak gugatan baik sebagian maupun seluruh
gugatan / tuntutan
 mengakui gugatan/tuntutan baik sebagian maupun seluruhnya
 dengan alasan pertama dan kedua diikuti adanya gugat balik
(rekonvensi ).
Gugat Rekonvensi (Gugat Balik)
Gugat balik atau Rekonvensi diajukan oleh
tergugat terhadap penggugat secara bersama-
sama dalam memberikan jawabannya,sebelum
proses pembuktian dilakukan.

Gugat balik atau Rekonvensi pada dasarnya dapat


diajukan dalam segala perkara yang secara
langsung terkait dengan para pihak
Gugat Rekonvensi Yang Tidak
Diperbolehkan (Pasal 132 a HIR )
 apabila dalam gugat konvensi (gugat asal ) penggugat bertindak
sebagai suatu kualitas tertentu atau berdasarkan sifatnya,sedang
dalam gugat balik (Rekonvensi )menyangkut diri pribadi dari
penggugat atau sebaliknya. Contohnya dalam gugat konvensi
penggugat pertindak sebagai wali ,orang tua atau pengampu, maka
dalam gugat balik tidak boleh ditujukan pada penggugat secara
pribadi.
 Jika pengadilan negeri yang memeriksa gugat konvensi secara absulut
tidak wenang memeriksa gugat balik (Rekonvensi).
 Dalam perkara sengketa pelaksanaan putusan
 Dalam hal pada pemeriksaan tingkat pertama tidak diajukan gugat
rekonvensi,maka pada tingkat banding tidak boleh ada gugat
rekonvensi.
 Dalam hal perkara yang menyangkut bezit dan egendom atau
penguasaan dan kepemilikan.
Keuntungan adanya Gugat Balik
( Rekonvensi )
menghemat biaya
mempermudah pemeriksaan perkara
mempercepat proses penyelesaian sengketa
menghindarkan terjadinya putusan yang saling
bertentangan.
4.4. Proses Pembuktian dan Macam-macam
Alat Bukti
Dalam perkara perdata para pihak sendirilah,baik
penggugat maupu tergugat yang harus
membuktikan kebenaran dari dalil-dalail yang
diajukan baik dalam gugatan maupun dalam
jawaban. Tugas hakim adalah memberikan
penilaian apakah dalil-dalil yang diajukan oleh
para pihak dapat diterima berdasarkan
pembuktian yang diajukan.
Yang harus dibuktikan oleh para pihak adalah
peristiwa yang disengketakan dan tidak semua
peristiwa harus dibuktikan
Peristiwa Yang Tidak Perlu
Dibuktikan
karena memang peristiwanya tidak perlu untuk
dibuktikan atau diketahui atau dianggap tidak mungkin
untuk diketahui oleh hakim. Misalnya dalam hal
dijatuhkan putusan verstek,dalam hal gugatan diakui oleh
tergugat,dalam hal ada sumpah penentu atau dalam hal
bantahan kurang cukup.
Karena memang peristiwanya secara ex officio dianggap
dikenal atau diketahui oleh hakim. Misalnya terhadap
peristiwa-peristiwa notoir atau peristiwa yang sudah
diketahui oleh umum,peristiwa-peristiwa yang terjadi
selama persidangan.
Karena menyangkut pengetahuan tentang pengalaman
yang diperoleh berdasarkan pengetahuan umum.
Pengertian Pembuktian
 Pembuktian dakam arti yang logis,kata membuktikan berarti
memberikan kepastian yang absulut kebenarannya sehingga
pembuktian yang sebaliknya sudah tidak dimungkinkan,pembuktian
ini biasanya didasarkan pada suatu aksioma tertentu yang pasti.
 Pembuktian dalam arti yang konvensionil,membuktikan adalah
memberikan kepastian,hanya kepastiannya bukan kepastian yang
absulut melainkan kepastian yang bersifat relative.
 Pembuktian dalam arti yuridis,membuktikan dalam ari yuridis adalah
pembuktian yang bersifat konvensionil dalam arti yang khusus,yaitu
bahwa pembuktian dalam arti yuridis kebenarannya hanya berlaku
bagi pihak-pihak yang bersengketa saja dan tidak berlaku bagi orang
lain.
Membuktikan dalam arti yuridis
adalah memberikan kepastian dasar yang cukup pada
hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan
guna mendapatkan kepastian tentang kebenaran
peristiwa yang diajukan oleh para pihak.
Beban Pembuktian
adalah menyangkut pertanyaan siapa yang harus
terlebih dahulu diberikan kesempatan untuk
melakukan pembuktian atas peristiwa yang
disengketakan, apakah pihak penggugat atau
pihak tergugat. Persoalan pembuktian merupakan
persoalan adil tidak adil,persoalan fair tidak
fair,oleh karena itu pembagian beban pembuktian
merupakan persoalan yang tidak mudah bagi
hakim,karena hakimlah yang harus membagi dan
menentukan siapa yang harus membuktikan.
Asas Umum Beban Pembuktian
diatur dalam Pasal 163 HIR,Pasal 283 RBg,Pasal; 1865
BW,yang menyatakan “ Barang siapa menyatakan
mempunyai suatu hak atau menyebutkan suatu
peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk
membantah adanya hak orang lain,maka orang
itu harus membuktikan adanya hak atau
peristiwa itu “
Ketentuan Khusus Tentang Beban
Pembuktian
Pasal 533 BW “orang yang menguasai barang
tidak perlu membuktikan adanya itikad
baiknya,siapa yang mengemukakan adanya itikad
tidak baik harus membuktikan “
Pasal 535 “ Kalau seseorang sudah memulai
menguasai sesuatu untuk orang lain ,maka selalu
dianggap meneruskan penguasaan
tersebut ,kecuali apabila terbukti sebaliknya”
Pasal 1244 “ Kreditur dibebaskan dari pembuktian
kesalahan dari debitur dalam hal adanya
wanprestasi “
Teori Beban Pembuktian
 Teori pembuktian yang bersifat menguatkan belaka (bloot
affirmatief ) ----- menurut teori ini,maka pihak yang harus
membuktikan adalah pihak yang mengemukakan adanya sesuatu
bukan pihak yang mengingkarinya.
 Teori hukum subyektif ----------- berdasarkan teori ini suatu
proses perdata itu selalu merupakan pelaksanaan hukum subyektif
atau bertujuan mempertahankan hukum subyektif dan pihak yang
mengemukakan adanya sesuatu hak harus membuktikan.
 Teori Hukum Acara --------- berdasarkan teori ini maka beban
pembuktian didasarkan pada kesamaan kedudukan antara
penggugat dan tergugat,sehingga dalam membagi beban
pembuktian harus didasarkan pada nilai keadilan,keseimbangan
dan nilai kepatutan bagi para pihak.
Teori Beban Pembuktian
Berdasarkan beberapa teori tersebut di atas dapat
disimpulkan bahwa dalam pembagian beban
pembuktian hakimlah yang mempunyai peranan
menentukan siapa yang harus membuktikan dan
bagaimana pembagiannya secara adil bagi para
pihak. Di dalam praktek pembagian beban
pembuktian dipandang adil dan patut, kalau
pihak yang dibebani pembuktian adalah pihak
yang paling sedikit dirugikan jika disuruh untuk
membuktikan.
Macam-macam Alat Bukti dan Kekuatan
Pembuktiannya
Dalam hukum acara perdata dikenal adanya
beberapa macam alat bukti ( Pasal 164 HIR atau
Pasal 284 RBg ) :
alat bukti surat atau tertulis
alat bukti saksi
alat bukti persangkaaan (vemoedens,
praesumptiones )
alat bukti pengakuan
alat bukti sumpah.
Alat Bukti Surat atau Tertulis
adalah alat bukti yang berbentuk sesuatu apapun
yang memuat tanda-tanda bacaan yang berupa
pencurahan isi hati atau buah pikiran seseorang yang
dapat digunakan untuk membuktikan adanya suatu
peristiwa hukum atau perbuatan hukum tertentu.
Macam-Macam Alat Bukti Surat
alat bukti surat yang berupa surat biasa atau bukan
akta;

alat bukti surat yang berbentuk akta


Surat Biasa
adalah surat yang pembuatannya tidak dimaksudkan
sebagai alat pembuktian atas suatu peristiwa atau
perbuatan hukum tertentu,kalau kemudian dijadikan
alat bukti semata-mata karena adanya kepentingan
yang menghendaki dan sifatnya kebetulan saja.
Akta
adalah surat yang diberi tandatangan yang memuat
peristiwa-peristiwa yang menjadi dasar dari pada
suatu hak atau perikatan yang dibuat secara sengaja
sejak semula untuk kepentingan pembuktian atas
peristiwa atau perbuatan hukum yang tercantum di
dalamnya.
Dokumen (UU No.13/1985)
kertas yang berisikan tulisan yang mengandung arti
dan maksud tentang perbuatan,keadaan atau
kenyataan bagi seseorang dan atau pihak-pihak yang
berkepentingan. Dari pengetian tentang dokumen
seperti tersebut ,jelas bahwa surat,baik surat biasa
maupun akta merupakan dokumen.
Tanda Tangan
adalah pembubuhan nama dari si pembuat atau si
penandatangan,berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-
undang bea meterai No.13 tahun 1985 Tandatangan-------
adalah “Sebagimana lazimnya dipergunakan,termasuk
pula paraf teraan atau cap tandatangan atau cap paraf
teraan cap nama atau tanda lainnya sebagai pengganti
tandatangan “
Dipersamakan dengan tandatangan adalah sidik jari
atau cap jempol yang sudah di “waarmerking “ oleh
notaries atau pejabat lain yang diberi kewenangan
untuk itu .
Pasal 2 ayat (1) UU No.13/1985 Tentang
Bea Meterai
Alat bukti surat wajib dibubuhi metarai
Meterai berfungsi sebagai bentuk kewajiban pembayaran
pajak bea meterai
Untuk dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah di
muka pengadilan sebagai akta
Putusan MA tanggal 13 Maret 1971 No.589 K /SIP/1970
berpendapat bahwa surat bukti yang tidak dibubuhi
meterai tidak merupakan alat bukti yang sah
Bukti surat yang sejak semula belum dibubuhi meterai
dapat dimintakan pemeteraian kemudian ( Nazegeling)
pada pejabat kantor pos
Macam-macam Akta
Akta di bawah tangan

Akta otentik
Akta Di Bawah Tangan
Akta yang sengaja dibuat oleh para pihak sediri
tanpa bantuan seorang pejabat dengan tujuan
untuk pembuktian atas suatu peristiwa atau
hubungan hukum tertentu
Akta di bawah tangan yang memuat hutang
sepihak wajib ditulis tangan sendiri oleh
pembuatnya,atau setidak-tidaknya tentang
keterangan yang menguatkan jumlah atau
besarnya atau banyaknya yang harus dipenuhi
ditulis sendiri dengan huruf seluruhnya.
Kekuatan Pembuktian Akta
Kekuatan pembuktian akta sebagai alat bukti di
pengadilan dapat dilihat dari:
Kekuatan pembuktian Lahir;
Kekuatan pembuktian Formil;
Kekuatan pembuktian material
Kekuatan Pembuktian Lahir Akta Di Bawah
tangan
Akta di bawah tangan tidak memiliki kekuatan
lahir;
Tandatangan akta di bawah tangan dapat diakui
dapat juga diingkari oleh pembuatnya
Akta di bawah tangan yang diakui
tandatangannya oleh para pihak yang membuat
menjadikan akta di bawah tangan memiliki
kekuatan pembuktian yang sempurna;
Dalam hal tandatangan para pihak
diingkari,maka kebenaran akta harus diperiksa
kebenarannya.
Kekuatan Pembuktian Formil akta Di Bawah
tangan
Akta di bawah tangan yang diakui tandatangannya
memiliki kekuatan pembuktian formil;
Telah memberikan kebenaran bahwa keterangan atau
pernyataan dalam akta adalah keterangan atau
pernyataan dari si penandatangan.
Kekuatan Pembuktian Materiil Akta Di
Bawah Tangan
Akta di bawah tangan yang sudah diakui
tandatangannya memiliki kekuatan pembuktian
yang sempurna seperti akta otentik;
Isi keterangan di dalam akta di bawah tangan
yang sudah diakui tandatangannya secara materiil
dianggap benar bagi para pembuatnya dan pihak-
pihak yang diuntungkan dari akta tersebut.
Akta Otentik
 Akta yang dibuat oleh pejabat yang diberi wewenang untuk itu oleh
penguasa berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang
berlaku,baik dengan bantuan maupun tidak dari pihak yang
berkepentingan,dengan mencatat apa yang dimntakan untuk dimuat
di dalamnya oleh yang berkepentingan;

 Suatu akta yang dibuat oleh atau di hadapan pejabat yang diberi
wewenang untuk itu,merupakan bukti yang lengkap (sempurna)
antara para pihak dan para ahli warisnya dan mereka yang mendapat
hak dari padanya tentang yang tercantum di dalamnya dan bahkan
tentang yang tercantum di dalamnya sebagai pemberitahuan
belaka,akan tetapi yang terakhir ini hanyalah sepanjang yang
diberitahukan itu erat hubunannya dengan pokok dari akta ( Pasal 165
HIR,Pasal 285 RBg,Pasal 1868 BW)
Kekuatan Pembuktian Akta Otentik
Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian yang lengkap
atau sempurna bagi para pihak yang membuat,ahli waris
dan pihak ketiga yang mendapatkan hak dari akta yang
bersangkutan;
Jika tidak ada bukti yang sebaliknya dan sebanding ,maka
akta otentik selalu dianggap benar isinya tanpa
pembuktian lebih lanjut.
Terhadap pihak ketiga akta otentk merupakan alat bukti
yang mempunyai kekuatan pembuktian yang bebas dan
penilaiannya diserahkan pada pertimbangan hakim;
Akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian
lahir,formil maupun kekuatan pembuktian materiil
Alat Bukti Keterangan Saksi
 Keterangan saksi adalah keterangan yang diberikan oleh pihak ketiga di luar
pihak-pihak yang bersengketa yang diberikan secara lisan,langsung dan
pribadi di muka sidang pengadilan tentang apa yang dilihat,didengar,dialami
atau dia ketahui atau dia rasakan terhadap suatu peristiwa,kejadian atau
perbuatan hukum tertentu.
 Kesaksian bukan merupakan kesimpulan atau pendapat atau dugaan
dari seseorang.
 pada asasnya pembuktian dengan saksi dapat dipakai dalam segala perkara
perdata ,kecuali undang-undang menentukan lain (Pasal 1895 BW,Pasal 139
HIR)
 Keterangan yang diperoleh dari pihak ketiga (Testimonium de auditu) bukan
merupakan keterangan saksi.
 Seorang Saksi bukanlah saksi (Unus testis nullus testis) keterangan dari
seorang saksi saja tanpa alat bukti yang lain dianggap tidak cukup dan tidak
boleh dijadikan dasar putusan hakim.
Unsur-unsur Keterangan Saksi
Keterangan saksi diberikan oleh pihak
ketiga;
Keterangan diberikan secara langsung,lisan
dan pribadi di dalam sidang;
Keterangan yang diberikan merupakan
peristiwa,kejadian atau perbuatan yang
dilihat,didengar,dialami atau dirasakan
sendiri;
Kekuatan Pembuktian Saksi
Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi mempunyai
kekuatan pembuktian yang bebas,artinya hakim
mempunyai kebebasab untuk menilai apakah
keterangan saksi itu dapat dipecaya atau tidak sangat
tergantung pada penilaian hakim
Parameter Penilaian Keterangan Saksi(172
HIR)
Kesesuaian atau kecocokan antara keterangan
saksi yang satu dengan yang lainnya
Kesesuaian keterangan saksi dengan apa yang
diketahui dari segi lain tentang perkara yang
disengketakan
Pertimbangan yang mungkin ada pada saksi
untuk memberikan keterangan
kesaksiannya,misalnya cara hidup,adat
istiadat,serta martabat saksi atau segala seuatu
yang munkin dapat mempengaruhi tingkat
kejujuran dari saksi.
Testimonium de auditu
Keterangan yang diperoleh dari pihak ketiga bukan
merupakan keterangan saksi.
Unus testis nullus testis
Seorang Saksi bukanlah saksi ,keterangan dari
seorang saksi saja tanpa alat bukti yang lain dianggap
tidak cukup dan tidak boleh dijadikan dasar putusan
hakim.
Golongan Orang Yang Dianggap Tidak
Mampu Menjadi saksi
 Golongan orang yang tidak mampu secara mutlak (hakim
dilarang mendengar mereka sebagai saksi)

a. Keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut garis


keturunan yang lurus dari salah satu pihak;
b. Sumi istri dari salah satu pihak ,meskipun sudah bercerai.

 Golongan orang yang tidak mampu secara relatif (nisbi):

a. anak-anak yang belum mencapai usia 15 tahun;


b. orang-orang yang sakit ingatannya.
Alasan Bagi Golongan Yang Secara Absulut
Tidak Dapat Menjadi Saksi
 Pihak-pihak ini pada umumnya dianggap kurang obyektif apabila
didengar keterangannya sebagai saksi;
 untuk menjaga hubungan kekeluargaan agar tetap baik di antara para
pihak;
 untuk mencegah timbulnya tekanan batin setelah memberikan
keterangan sebagai saksi.

Pihak-pihak seperti tersebut,dalam perkara tertentu masih


dimungkinkan untuk menjadi saksidan mereka tidak berhak untuk
mengundurkan diri sebagai saksi,terutama dalam perkara yang
menyangkut kedudukan keperdataan dari para pihak atau dalam
perkara yang menyangkut tentang perjanjian kerja ( Pasal 145 ayat (2)
HIR )
Golongan Orang Yang Memiliki Hak Ingkar
Untuk Menjadi Saksi
segolongan orang yang atas permintaannya sendiri dapat
dibebaskan dari kewajiban untuk menjadi saksi (Hak
ingkar / Verschoningrecht) :
Saudara laki-laki dan perempuan serta ipar laki-laki dan
perempuan dari salah satu pihak;
Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus dan
saudara laki-laki dan perempuan dari pada suami atau istri
salah satu pihak;
Semua orang yang karena martabat,jabatan atau
hubungan kerja yang sah diwajibkan mempunyai rahasia.
Kewajiban Saksi
Kewajiban untuk menghadap;
Kewajiban untuk bersumpah;
Kewajiban untuk memberikan keterangan dengan
benar.
Sanksi Bagi Saksi Yang Tidak Mau
Menghadap
Dapat dipaksa untuk menghadap
Dapat dihukum untuk membayar biaya pemanggilan
Dapat dikenakan penyanderaan (gijzeling)
Alat Bukti Persangkaan
Persangkaan merupakan alat bukti yang bersifat tidak
langsung.
Persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang
oleh undang-undang atau hakim ditarik dari suatu
peristiwa yang terang nyata ke peristiwa lain yang
belum terang kenyataannya ( Pasal 1915 BW )
Persankaan
Persangkaan berdasarkan undang-undang atau
hukum (Praesumptiones juris);
Persangkaan yang merupakan kesimpulan hakim atau
persangkaan berdasarkan kenyataan atau fakta
( Praesumtiones facti )
Persangkaan Berdasar
Hukum/Undang-undang
Persangkaan yang telah diberikan oleh undang-undang sendiri yang
menetapkan hubungan antara peristiwa yang diajukan dan harus dibuktikan
dengan peristiwa yang tidak diajukan
 Praesumptiones juris Tatum,yaitu persangkaan berdasarkan undang-undang
yang masih dimungkinkan ada bukti lawan.

Contoh : Pasal 633 BW tentang tembok batas, Pasal 658 BW tentang parit
atau selokan batas, Pasal 1394 tentang 3 Kuitansi pembayaran sewa

 Praesumptiones juris et de jure, yaitu persangkaan berdasarkan undang-


undang yang tidak mungkin ada bukti lawan.

Contoh : Semua peristiwa yang dapat menjadi dasar untuk membatalkan


perbuatan-perbuatan tertentu ( Pasal 184,911,1681 BW)
Persangkaan Berdasarkan Kenyataan
( Praesumptiones Facti )
Pada persangkaan berdasarkan
kenyataan,hakimlah yang memmutuskan
berdasarkan kenyataannya,apakah mungkin dan
sampai berapa jauhkah kemungkinannya untuk
membuktikan suatu peristiwa tertentu dengan
membuktikan peristiwa lain.
Persangkaan berdasarkan fakta,hanya boleh
diperhatikan oleh hakim pada waktu
menjatuhkan putusan apabila persangkaan itu
bersifat :PENTING,SAKSAMA,TERTENTU dan
ada HUBUNGANNYA SATU SAMA LAIN
Alat Bukti Pengakuan
Keterangan dari salah satu pihak dalam satu
pekara,dimana ia mengakui apa yang dikemukakan
oleh pihak lawan ,baik sebagian atau keseluruhan
adalah benar.
Pengakuan merupakan alat bukti yang mempunyai
kekuatan pembuktian yang sempurna.
Macam-macam Pengakuan
Pengakuan Murni;
Pengakuan dengan kualifikasi;
Pengakuan dengan klausula
Alat Bukti Sumpah
Sumpah Pelengkap (Suppletoir);
Sumpah Penaksiran ( aestimatoir);
Sumpah Pemutus/Penentu (dicisoir)
Putusan Hakim
Suatu pernyataan hakim yang diucapkan di
persidangan karena jabatannya yang dimaksudkan
untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu perkara
atau sengketa para pihak.
Kekuatan Putusan Hakim
Kekuatan Mengikat;
Kekuatan Pembuktian
Kekuatan eksekutorial
Susunan dan Isi Putusan
Kepala Putusan;
Identitas Para Pihak;
Pertimbangan (Konsideran);
Amar Putusan ( Diktum)
Jenis Putusan Hakim( Pasal 185
ayat 1 HIR )
Putusan akhir;
Bukan putusan akhir
Sifat Putusan Akhir
Putusan yang bersifat menghukum (condemnatoir)
Putusan yang bersifat menciptakan (constitutif)
Putusan yang bersifat menerangkan / menyatakan
(declaratoir)
Putusan Condemnatoir
Putusan yang bersifat menghukum pihak yang
dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi tertentu
Dalam putusan condemnatoir diakui adanya hak
penggugat atas prestasi yang dituntut
Prestasi yang timbul karena adanya perikatan
maupun karena undang-undang
Bentuk perkaranya berupa gugatan
Contoh: Putusan hakim yang menghukum
penggugat untuk membayar sejumlah uang tertentu
sebagai pokok hutang, bunga, dll.
Putusan Constitutif
Putusan yang bersifat meniadakan atau menciptakan
suatu keadaan hukum yang baru
Putusan constitutif tidak memerlukan eksekusi.
Bentuk perkaranya permohonan
contoh : Putusan perceraian,pengangkatan
wali,pengangkatan pengampu,pernyataan pailit
Putusan Declaratoir
Putusan yang isinya bersifat menerangkan atau
menyatakan apa yang sah atas suatu peristiwa atau
hubungan hukum tertentu.
Putusan declaratoir tidak memerlukan eksekusi.
Bentuk perkaranya permohonan.
Contoh : Sengketa tentang keabsahan seorang anak,
penetapan ahli waris, menetapkan sahnya suatu
perjanjian dll
Upaya Hukum
Upaya Hukum Biasa, adalah upaya hukum yang dapat
digunakan oleh para sebelum putusan memiliki
kekuatan hukum yang tetap (inkracht van gewijsde )
Upaya hukum Luar Biasa / Istimewa, adalah upaya
hukum yang dapat digunakan oleh para pihak
terhadap putusan yang sudah memiliki kekuatan
hukum tetap.
Upaya Hukum Biasa
Perlawanan ( Verzet )
Banding
Kasasi
Upaya Hukum Verzet
Verzet atau perlawanan merupakan upaya hukum
yang dapat digunakan oleh tergugat yang dikalahkan
dalam putusan di luar hadir ( Putusan Verstek )
Bagi penggugat dalamputusan verstek upaya hukum
yang dapatdigunakan adalah banding.
Upaya Hukum Banding
Dasar hukumnya Undang-undang No.20 Tahun 1947
untuk Jawa dan Madura dan Pasal 199-205 RBg Untuk
luar Jawa dan Madura
Permohonan banding wajib diajukan dalam jangka
waktu 14 hari terhitung mulai hari berikutnya sejak
putusan diberitahunan pada para pihak.
……..Banding
Pada pihak lawan selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 14 hari sejak diterimanya permohonan banding
harus diberitahu tentang adanya permohonan
banding tersebut.
Dalam jangka waktu 14 hari para pihak diberikan
kesempatan untuk melihat berkas-berkas banding
Memori Banding
Pada pihak pemohon banding diperbolehkan
mengajukan memori banding
Pada pihak termohon banding diperbolehkan
mengajukan kontra memori banding
Memori dan kontra memori banding bukan hal yang
diwajibkan
Bentuk Putusan Banding
Bersifat menguatkan putusan pengadilan negeri;
Bersifat memperbaiki putusan pengadilan negeri;
Bersifat membatalkan putusan pengadilan negeri.
Upaya Hukum Kasasi
Semua putusan yangdiberikan dalam tin gkat akhir
oleh pengadilan lain daripada Mahkamah Agung
dapat dimintakan kasasi;
Permohonan kasasi diajukan melalui panitera
pengadilan negeri yang memutus pokok perkara yang
dimintakan kasasi
Kasasi
Permohonan kasasidapat diajukan secara lisan
maupuntertulis;
Permohonan kasasi dapat diajukan dalam tenggang
waktu 14 hari kerja sesudah putusan atau penetapan
yang dimaksud diberitahukan kepada pemohon
( Pasal 46 UU No.14/1985)
Kasasi
Dalam tenggang waktu 14 hari sejak permohonan
kasasi didaftarkan, pemohon wajib menyampaikan
memori kasasi ( Pasal 47 UU No. 14 / 1985)
Tidak dipenuhinya tenggang waktu permohonan
maupun penyampaian memori kasasi , permohonan
kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima
Kasasi
Memori kasasi wajib mencantumkan dasar alasan
permohonan kasasi.
Pihak termohon kasasi berhak mengajukan jawaban
terhadap memori kasasi dalam tenggang waktu 14
hari sejak tanggal diterimanya salinan memori kasasi {
Pasal 14 ayat (3) UU No.14 /1985 }
Alasan Permohonan Kasasi (Pasal
30 UU No 14/1985)
Hakim tidak wenang atau melampaui batas
wewenang;
Hakim salah menerapkan atau melanggar hukum
yang berlaku;
Hakim lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan
oleh peraturan perundang-undangan yang
mengancam kebatalan putusan;
Alasan kasasi
Putusan hakim tidak cukup atau kurang lengkap
dipertimbangkan ( Yurisprudensi MA No.492
K/SIP/1970
Upaya Hukum Luar Biasa
Peninjauan Kembali ( Request Civil )
Perlawanan Pihak Ketiga ( Derden Verzet )
Peninjauan Kembali
Peninjau adalah upaya hukum luar biasa yang dapat
digunakan oleh para pihak dalam hal upaya hukum
biasa sudah tertutup dan putusan sudah memiliki
kekuatan hukum yang tetap
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan
secara tertulis maupun lisan;
Dalam waktu 14 hari setelah Ketua Pengadilan Negeri
yang memutus perkara dalam tingkat pertama
menerima permohonan PK, maka panitera
mengirimkan salinan PK pada pihak lawan;
Peninjauan Kembali
Permohonan PK tidak menunda pelaksanaan putusan
 MA memutus permohonan peninjauan kembali pada
tingkat pertama dan terakhir
Alasan Peninjauan Kembali
Apabila putusan didasarkan pada tipu muslihat atau
kebohongan atau di dasarkan pada bukti palsu;
Apabila setelah perkara diputus ditemukan bukti-bukti
baru yang bersifat menentukan;
Apabila telah dikabulkan sesuatu yang tidak dituntut
atau melebihi dari yang dituntut;
Apabila ada bagian yang dituntut yang tidak diputus
tanpa dipertimbangkan sebabnya;
Apabila ada putusan yang saling bertentangan;
Apabila dalam putusan ada kekilafan hakim yang nyata.
Jangka Waktu PK ( Pasal 69 UU
No 14 /1985
Jangka waktu pengajuan PK adalah `180 hari untuk:
1. untuk alasan pertama sejak diketahui kebohongan atau
tipu muslihat, atau untuk putusan pidana sejak putusan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. untuk alasan kedua sejak ditemukannya bukti baru yang
menentukan;
3. untuk alasan ketiga, keempat dan enam sejakputusan
memperoleh kekuatan tetap dan telah diberitahukan
pada para pihak;
4. untuk alasan terakir sejak putusan terakhir yang
bertentangan memperoleh kekuatan hukum tetap
Pelaksanaan Putusan
Putusan yang memerlukan eksekusi adalah putusan
yangbersifat Condemnatoir sedangkan putusan yang
bersifat declataroir dan constitutif tidak memerlukan
eksekusi.
Putusan yang dapat dieksekusi adalah putusan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap atau
terhadap putusan yang mengabulkan tuntutan dapat
dilaksaakannya putusan terlebih dulu

Anda mungkin juga menyukai