NIM : 1704552198
Kelas : Y
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2020
Perbandingan Asas Hukum Acara Perdata Dengan Hukum Acara Persaingan Usaha
Asas ini berada di pasal 10 ayat (1) UU No 48/2009 dan pasal 142 RBg/118 HIR.
Pasal 142 ayat (1) RBg menentukan bahwa gugatan perdata dalam tingkat pertama yang
memeriksannya menjadi wewenang pengadilan negeri diajukan oleh penggugat atau oleh
seorang kuasannya.
Hakim bersifat menunggu disini berarti inisiatif pengajuan gugatan itu berasal dari
penggugat, hakim hanya menunggu diajukannya tuntutan hak oleh penggugat. Yang
mengajukan tuntutan hak adalah pihak yang berkepentingan. Apabila tidak diajukannya
gugatan atau tuntutan hak, maka tidak ada hakim. Hakim baru bekerja setelah tuntutan
diajukan kepadanya. Namun, apabila tuntutan atau perkara diajukan kepadanya, maka
pengadilan / hakim dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus sustu
perkara, dengan alasan bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas.
asas ini tercermin dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 48/2009, pasal 145 dan 157 RBg,
pasal 121 dan 132 HIR. Pengadilan harus memperlakukan kedua belah pihak sama,
memberi kesempatan yang sama kepada para pihak untuk memberi pendapatnya dan tidak
memihak. Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membedakan orang.
Pengadilan tidak boleh menerima keterangan dari salah satu pihak sebagai benar, bila pihak
lawan tidak didengar atau tidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatnya.
Hal tersebut jelas tertuang dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48/2009, pasal 145 ayat
(4), pasal 192, pasal 194 RBg, pasal 121 ayat (4), pasal 182, pasal 183 HIR. Biaya perkara
ini dipakai untuk: biaya kepaniteraan, biaya panggilan, biaya pemberitahuan, biaya
materai, dan lain-lain biaya yang memang diperlukan seprti misalnya biaya pemeriksaan
setempat. Namun, dimungkinkan bagi yang tidak mampu untuk berperkara secara “pro
deo” atau berperkara secara cuma-cuma sebagaimana yang diatur dalam pasal 273 RBg /
237 HIR, yang menentukan : penggugat atau tergugat yang tidak mampu membayar biaya
perkara dapat diizinkan untuk berperkara tanpa biaya.
asas ini tercantum dalam pasal 2 ayat (4) UU No. 48/2009.Sarwono menekankan
pada kata “”sederhana” dan “cepat”. Apabila “sederhana” dan “cepat” sudah dapat
diterapkan melalui tidakan teknis-konkrit persidangan maka biaya yang akan dikeluarkan
oleh para pihak akan semakin ringan.
Sederhana adalah acaranya jelas, mudah dipahami dan tidak berbelit-belit. Cepat
menunjuk jalannya peradilan yang cepat dan proses penyelesaiannya tidak berlarut larut
yang terkadang harus dilanjutkan oleh ahli warisnya. Sedangkan, biaya ringan maksudnya
biaya yang serendah mungkin sehingga dapat terjangkau oleh masyarakat.
Dan untuk rule of reason untuk beberapa tindakan persaingan usaha baru dianggap
salah, apabila telah terbukti telah adanya akibat dari tindakan tersebut yang merugikan pelaku
usaha lain atau perekonomian nasional dalam skala umum (contoh pada pasal 4, 7, 8 UU No
5/1999).
Pada pasal 3 ayat (1) Perkom No 1/2010, penanganan perkara persaingan usaha oleh
KPPU mengutamakan asas transparansi dan efektifitas. Efektifitas yang dimaksud yaitu
sebagai prinsip yang sifatnya sederhana, tidak menimbulkan biaya tinggi, ataupun waktu yang
dibutuhkan tidak terlalu lama sebagaimana halnya pada peradilan umum.
Pada pasal 38 ayat (3) UU No 5/1999 mengatur bahwa komisi wajib merahasiakan
identitas pelapor dalam hak perkara berdasarkan adanya laporan tanpa diikuti dengan ganti
kerugian. KPPU juga sudah memiliki aturan mengenai hal tersebut yang dimana telah diatur
dalam Keputusan KPPU No 06/KPPU/Kep/XI/2000 tentang kode etik dan mekanisme kerja
KPPU.
Prinsip ini merupakan hal pokok pada penegakan hukum acara perdata. Pada
persaingan usaha prinsip ini diakomodir dalam penengakan hukumnya pada perkara di KPPU
yang mengandung karakter hukum acara perdata (Pasal 38 Ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999 jo
Pasal 46 Perkom), demikian juga pada tingkat Pengadilan Negeri pemeriksaan perkara
persaingan usaha didasarkan pada hukum acara perdata (Pasal 8 Perma No. 3 Tahun 2005).
Prinsiptersebutpada intinya mengandung arti bahwa dalam mengadili suatu perkara haruslah
memberikan keadilan secara seimbang kepada para pihak dan tidak membeda-bedakan orang.
Memberikan kesempatan yang sama untuk mengemukakan pendapat, mengajukan alat-alat
bukti terhadap pelapor dan terlapor di tingkat KPPU ataupun di tingkat PN dan MA antara
pelaku usaha terlapor dengan KPPU.
5. Asas akusatoir
Prinsip akusatoir merupakan asas yang berasal dari sistem commen law, yang
memposisikan para pihak terdakwa, penasehat hukum, penyidik polisi dan penuntut umum,
memiliki kedudukan yang sejajar satu sama lainnya. Terutama pada tingkat pengajuan
keberatan dalam perkara persaingan usaha pihak pelaku usaha terlapor diposisikan sejajar
dengan pihak KPPU, karena KPPU oleh Pasal 2 Ayat (3) Perma No. 3 Tahun 2005 ditentukan
sebagai pihak.Pelaku usaha terlapor sebagai subjek bukan sebagai obyek, dengan demikian
juga prinsipaudi et alteram partem dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Prinsip hakim bersifat pasif dalam menangani perkara persaingan usaha tetap
dibutuhkan, manakala dugaan terhadap pelanggaran hukum persaingan usaha diakui oleh
pihak pelaku usaha terlapor.Penerapan asas ini sebagai konsekuensi dari perkara persaingan
usaha bersifat keperdataan (Pasal 38 Ayat 2 UU No. 5 Tahun 1999 jo Pasal 46 Perkom).
Apabila pelaku usaha terlapor sudah mengakui bahwa dirinya melakukan tindakan atau
perbuatan yang melanggarhukum persaingan usaha, maka KPPU atau hakim sebagai pemutus
perkara sudah dapat menjatuhkan putusannya tanpa diperlukan lagi melakukan pembuktian
lebih lanjut. Bagi komisi atau hakim adanya pengakuan dari pihak terlapor sudah cukup
sebagai dasar untuk menjatuhkan putusan, tanpa perlu lagi untuk mencari kebenaran yang
sifatnya materiil.
Jika pihak pelaku usaha terlapor tidak mengakui perbuatannya, maka disini KPPU
dituntut untuk bertindak aktif, sebab perkara persaingan tersebut bersifat publik. KPPU
dituntut mencari kebenaran materiil, tidak hanya terbatas pada alat bukti yang diserahkan oleh
pelapor. Sifat aktif KPPU juga tercermin dalam perkara persaingan usahaatas dasar inisiatif
dari KPPU (Pasal 40 Ayat 1 UU No. 5 Tahun 1999).Tidak ada alasan KPPU hanya menerima
alat butki dari pihak pelapor dan itulah cirinya bahwa KPPU sebagai penjaga UU No. 5 Tahun
1999.KPPU memiliki kewenangan sebagai pemutus, maka peran aktif dari KP PU adalah
membantu para pelaku usaha (pencari keadilan) dan berusaha mengatasi segala hambatan dan
rintangan dalam menegakan hukum persaingan usaha
Perbandingan
A. Perbedaan
Acara perdata Acara persaingan bisnis
Tidak ada ada asas per se illegal dan rule of reason
Tidak ada Ada asas Kerahasian Informasi
B. Persamaan
No Persamaan
1 Sama-sama ada asas hakim bersifat pasif dan menunggu, karena pada hukum acara
persaingan bisnis juga menangani perkara/kasus yang bersifat keperdataan, jadi
secara otomatis hakim didalam memeriksa perkara perdata bersikap pasif dalam
arti kata bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan untuk
diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh
hakim dan Apabila pelaku usaha terlapor sudah mengakui bahwa dirinya
melakukan tindakan atau perbuatan yang melanggarhukum persaingan usaha,
maka KPPU atau hakim sebagai pemutus perkara sudah dapat menjatuhkan
putusannya tanpa diperlukan lagi melakukan pembuktian lebih lanjut.
2 Ada persamaan pada asas trilogi pengadilan dengan asas efektifitas yaitu sama-
sama sederhana, tidak menimbulkan biaya tinggi, ataupun waktu yang dibutuhkan
tidak terlalu lama sebagaimana halnya pada peradilan umum
3 Sama-sama ada asas audit alteram partem yaitu Pengadilan harus memperlakukan
kedua belah pihak sama, memberi kesempatan yang sama kepada para pihak untuk
memberi pendapatnya dan tidak memihak.
4 Ada persamaan antara asas bebas Dari Campur Tangan Pihak Di Luar Pengadilan
dengan asas transfaransi yaitu sama-sama tidak ada/tidak boleh ada kepentingan
eksternal atau kepentingan luar dalam jalannya persidangan
5 Sama-sama ada asas persidangan terbuka untuk umum karena pada acara
persaingan usaha Pada proses persidangan perkara persaingan usaha dan
pembacaan putusan KPPU harus dilaksanakan terbuka untuk umum, Pasal 43 ayat
(1) Peraturan Komisi Pengawas Persaingan Usaha Nomor 1 Tahun 2010 tentang
Tata Cara Penanganan Perkara menyatakan bahwa “Ketua Majelis membuka
Sidang Majelis Komisi terbuka untuk umum” dan dalam Pasal 43 ayat (4) UU
No.5/1999 bahwa “Putusan Komisi sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) harus
dibacakan dalam suatu sidang yang dinyatakan terbuka untuk umum dan segera
diberitahukan kepada pelaku usaha”. Penjelasan Pasal 43 ayat (4) UU No.5/1999,
menyatakan “Yang dimaksud diberitahukan dalam penyampaian petikan putusan
Komisi kepada pelaku usaha”. Berdasarkan pernyataan dalam dua pasal, baik
dalam Pasal 43 ayat (1) Perkom No.1 Tahun 2010 dan Pasal 43 ayat (4) UU
No.5/1999 secara tegas terkandung prinsip persidangan terbuka untuk umum.
Begitu juga pada acara perdata dimana pada Pasal 13 ayat (1) UU no. 48/2009
tentang kekuasaan kehakiman menentukan : semua sidang pemeriksaan
pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang undang menentukan lain.
6 Sama-sama ada asas putusan harus disertai alasan, karena menurut saya segala
putusan yang diputuskan oleh hakim atau KPPU harus memiliki alasan-alasan
yang akan dijadikan dasar dalam hal mengadili.
Daftar Pustaka
1. I Nyoman Martana, SH,.MH, 2016, Buku Ajar Hukum Acara Dan Praktiek Peradilan
Perdata, Unud.
2. I Made Sarjana, SH..,MH, 2016, Pokok-Pokok Hukum Acara Persaingan Usaha, Unud
3. Galuh Puspaningrum, 2016, Jurnal Karakteristik Hukum Acara Persaingan Usaha