Anda di halaman 1dari 32

Nama : Nur Muhammad Kasyiful Khofa

NIM : 195010100111142

No. Absen : 33

Rangkuman Buku Hukum Acara Perdata Indonesia karya Sudikno Mertokusumo

BAB I

Pengertian Hukum Acara Perdata

Untuk melaksanakan hukum materiil, perdata terutama dalam hal ada pelanggaran atau untuk
mempertahankan berlangsungnya hukum materiil perdata dalam hal ada tuntutan hak,
diperlukan rangkaian peraturan-peraturan hukum lain di samping hukum materiil perdata itu
sendiri. Peraturan hukum inilah yang disebut hukum formil atau hukum acara perdata.

Hukum acara perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya hukum materiil perdata.
Ketentuan hukum acara perdata pada umumnya tidak membebani hak dan kewajiban. Hukum
acara perdata adalah peraturan hukum yang mangatur sebagaimana caranya menjamin
ditaatinya hukum perdata materil dengan perantaraan hakim.

Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan
bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum yang menentukan bagaimana caranya
menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil untuk mencegah "cigenrichting" atau tindakan
menghakimi sendiri.

Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut


kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak lain yang
berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu, undakan
menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan dalam hal kita hendak memperjuangkan atau
melaksanakan hak kita. Kehendak untuk memperjuangkan atau melaksanakan hak melalui
pengadilan.

Lazimnyaan dibagi menjadi 2 yaitu peradilan rolunter (voluntaire juristictie), yang sering
juga discbut "peradilan sukarela" atau peradilan "yang tidak sesungguhnya" dan peradilan
contentienr (contenticuse jurisdictie) atau "peradilan sesungguhnya". Tuntutan hak yang
merupakan permohonan yang tidak mengandung sengketa termasuk dalam peradilan
volunter, sedangkan gugatan termasuk peradilań contentieus.
Pembedaan "peradilan sesungguhnya" dan "tidak sesungguhnya" disebabkan karena
perbuatan hakim dalam peradilan yang tidak sesungguhnya lebih merupakan perbuatan di
bidang admini- stratif, schingga putusannya merupakan suatu penetapan (Pasal 236 HIR, 272
Rbg). Bagi peradilan volunter tidak berlaku tentang hukum pembuktian dan BW buku IV.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum acara perdata ialah keseluruhan peraturan
yang memiliki tujuan untuk melaksanakan dan mempertahankan atau menegakkan hukum
perdata materil dengan perantara kekuasaan negara yaitu peradilan

Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan, yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan,
dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan
atau pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian
sekaligus sampai kepada putusannya. Sedang pada tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan
dari putusan.

Hukum acara perdata bukanlah sekadar merupakan pelengkap, tetapi mempunyai kedudukan
yang penting dalam melaksanakan atau menegakkan hukum perdata materiil. Tidak mungkin
hukum perdata materiil itu berdiri sendiri lepas sama sekali dari hukum acara perdata, dan
begitu pula sebaliknya.

Sumber Hukum Acara Perdata

Berdasarkan Pasal 5 ayat 1 UUDar. 1/1951, hukum acara perdata pada Pengadilan Negeri
dilakukan dengan memerhatikan UUDA.. tersebut menurut peraturan-peraturan Republik
Indonesia dahulu, yang telah ada dan berlaku untuk Pengadilan Negeri dalam dacrah
Republik Indonesia dahulu. Yang dimaksud oleh UUDA.. 1/1951 tersebut tidak lain adalah
Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR atau Reglemen Indonesia yang diperbaharui: S.
1848 No. 16, S. 1941 No. 44) untuk daerah Jawa dan Madura, dan Rechsreglement
Buitengewesten (Rbg. atau Reglemen daerah seberang: S. 1927 No. 227) untuk luar Jawa dan
Madura.

Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv atau Reglemen hukum acara perdata untuk
golongan Eropa: S. 1847 Na. 52, 1849 Na 63) juga merupakan sumber dari hukum acara
perdata.
Tidak boleh dilupakan UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang
menggantikan UU No. 14 tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman yang telah mengalami
perubahan dengan UU No 35 tahun 1999.

Bagi Pengadilan Tinggi, hukum acara perdata dalam hal banding diatur dalam UU 20/1947
untuk daerah Jawa dan Madura, sedang untuk daerah luar Jawa dan Madura diatur dalam
Rbg. (Pasal 199-205). Peraturan perundang-undangan yang mengatur hukum acara perdata
lainnya ialah UU No. 1 tahun 1974 (LN 1) tentang Perkawinan dan PP No. 9 tahun 1975
(TLN 3050) tentang Pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 yang mengatur antara lain tentang
acara pemberian izin perkawinan, pencegahan perkawinan, perceraian, pembatalan
perkawinan, dan sebagainya.

Di samping itu ada UU No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama jang memberlakukan HIR
Pada tanggal 12 Januari 2009 diundangkan UU No. 3 tahun 2009 tentang Perubahan UU No.
14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, Kiranya perlu juga diketahui UU No. 51 tahun
2009 tentang Perubahan atas UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara.

Ada pula ketentuan tentang hukum acara perdata juga kita jumpai dalam UU No. 8 tahun
1989 tentang Kepailitan, yang telah diubah dengan UU No. 32 tahun 2009 jo. UU No. 4
tahun 1982 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan UU No. 8 tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Yurisprudensi juga merupakan sumber dari hukum acara perdata. Antara lain dapat
disebutkan putusan M.A. tanggal 14 April 1971 No. 99 K/Sip/1971."

Selain itu ada perjanjian internasional dan doktrin yang masuk ke dalam sumber dari hukum
acara perdata. Doktrin, surat edaran dan instruksi bukanlah hukum, tetapi sumber hukum
yang dalam artian bukan tempat untuk menemukan hukum, namun sebagai tempat untuk
menggali hukum.

Asas-Asas Hukum Acara Perdata

1. Hakim Bersifat Menunggu

Asas tersebut berarti bahwa inisiatif untuk mengajukan tuntutan hak diserahkan sepenuhnya
kepada yang berkepentingan. Jadi, apakah akan ada proses atau tidak, apakah suatu perkara
atau tuntutan hak itu akan diajukan atau tidak, sepenuhnya diserahkan kepada pihak yang
berkepentingan. Kalau tidak ada tuntutan hak atau penuntutan, tidak ada hakim, demikianlah
bunyi pameo yang tidak asing lagi (Wo kein Klager ist, ist kein Richter; nemo judex sine
actore).

2. Hakim Bersifat Pasif

Pengertian hakim pasif di sini hanyalah berarti bahwa hakim tidak menentukan luas dari
pokok sengketa. Hakim tidak boleh menambah atau menguranginya. Akan tetapi, itu
semuanya tidak berarti bahwa hakim sama sekali tidak aktif. Selaku pimpinan sidang, hakim
harus aktif memimpin pemeriksaan perkara dan tidak merupakan pegawai atau sekadar alat
dari para pihak, dan harus berusaha sekeras-kerasnya mengatasi segala hambatan dan
rintangan untuk dapat tercapainya peradilan.

3. Sifat Terbukanya Persidangan

Terbukanya persidangan memiliki arti bahwa setiap orang dibolehkan hadir dan
mendengarkan pemeriksaan di persidangan. Tujuan dari asas ini tidak lain untuk memberi
perlindungan hak-hak asasi manusia dalam bidang peradilan serta untuk lebih menjamin
objektivitas peradilan dengan mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair, tidak
memihak, serta putusan yang adil. Asas ini kita jumpai dalam Pasal 13 ayat (1) dan 2 UU No.
48 tahun 2009. Kecuali jika telah ditentukan lain oleh undang-undang atau berdasarkan
alasan-alasan yang penting yang dimuat di dalam berita acara yang diperintahkan oleh hakim,
maka persidangan dilakukan dengan pintu tertutup (Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009).

Dalam pemeriksaan perkara perceraian atau perzinahan sering diadakan dengan pintu
tertutup. Namun di setiap persidangan harus dinyatakan terbuka untuk umum terlebih dahulu
sebelum dinyatakan tertutup.

4. Mendengar Kedua Belah Pihak

Pasal 4 ayat (1) UU No 48 tahun 2009, mengandung arti bahwa di dalam hukum acara
perdata yang berperkara harus sama-sama diperhatikan, berhak atas perlakuan yang sama dan
adil serta masing-masing harus diberi kesempatan untuk memberi pendapatnya. Asas bahwa
kedua belah pihak harus didengar lebih dikenal dengan asas "audi et alteram partem" atau
"Eines Mannes Rede, ist keines mannes rede, man soll sie boren alle beide".
5. Putusan Harus Disertai Alasan-alasan Semua putusan pengadilan harus memuat alasan-
alasan putusan yang dijadikan dasar untuk mengadili (Pasal 50 ayat I UU No. 48 tahun 2009,
Pasal 184 ayat 1, 319 HIR, 195, 618 Rbg). Alasan-alasan atau argumentasi itu ditujukan
sebagai pertanggungjawaban hakim pada putusannya terhadap masyarakat, para pihak,
pengadilan yang lebih tinggi, dan ilmu hukum, sehingga oleh karenanya memiliki nilai
objektif.

Agar Iebih dapat dipertanggungjawabkan putusan sering juga mencari dukungan di dalam
yurisprudensi dan ilmu pengetahuan.

6. Beracara Dikenakan Biaya

Untuk berperkara pada asasnya dikenakan biaya (Pasal 2 ayat (2) UU No. 48 tahun 2009, 121
ayat 4, 182 HIR, 145 ayat 4, 192-194 Rbg). Biaya perkara ini meliputi biaya kepaniteraan dan
biaya untuk panggilan, pemberitahuan para pihak serta biaya materai. Di samping itu, apabila
diminta bantuan seorang pengacara, harus pula dikeluarkan biaya.

Bagi mereka yang tidak mampu untuk membayar biaya perkara dapat mengajukan perkara
secara cuma-cuma (pro deo) dengan mendapatkan izin untuk membebaskan dari pembayaran
biaya perkara, dengan mengajukan surat keterangan tidak mampu yang dibuat oleh kepala
polisi (Pasal 237 HIR, 273 Rbg).

7. Tidak Ada Keharusan Mewakilkan

Di dalam HIR tidak tertera para pihak wajib untuk mewakilkan kepada orang lain, sehingga
pemeriksaan di persidangan terjadi secara langsung terhadap para pihak yang berkepentingan.
Akan tetapi, para pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasanya kalau dikehendakinya
(Pasal 123 HIR, 147 Rbg). Dengan demikian, hakim tetap wajib memeriksa sengketa yang
diajukan kepadanya, meskipun para pihak tidak mewakilkan kepada seorang kuasa.

Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman diatur dalam UU No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,
UU No. 8 tahun 2004 tentang Peradilan Umum, dan UU No. 3 tahun 2009 tentang
Mahkamah Agung. UU No. 48 tahun 2009 merupakan induk dan kerangka umum yang
meletakkan dasar serta asas-asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum,
peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Sedangkan masing-
masing peradilan masih diatur dalam undang-undang tersendiri.
1. Bebas dari Campur Tangan Pihak-pihak di Luar Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas dari menyelenggarakan
peradilan demi terselenggaranya negara hukum (Pasal 3 ayat 2 UU No. 48 tahun 2009, Pasal
11 ayat 1 TAP VI/MPR/1973). Kebebasan kekuasaan kehakiman yang penyelenggaraannya
diserahkan kepada badan peradilan merupakan salah satu bentuk ciri khas dari negara hukum.

2. Badan Peradilan Negara Penyelengaraan kekuasaan kehakiman diserahkan kepada badan-


badan peradilan negara yang ditetapkan dengan undang-undang (Pasal 3 UU No. 4 tahun
2004). Penegasan ini berarti bahwa tidak diperkenankan lagi adanya peradilan yang
dilakukan oleh bukan badan peradilan negara seperti peradilan swapraja dan adat. Seperti kita
ketahui, peradilan swapraja dan adat telah mulai dihapus dengan berlakunya UUDar. 1/1951.

3. Asas Objektivitas Asas objektivitas atau tidak memihaknya pengadilan terdapat dalam
Pasal 4 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009. Dalam memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan,
hakim harus objektif dan tidak boleh memihak. Bagi pihak yang diadili dapat mengajukan
keberatan dengan disertai dengan alasan-alasan terhadap hakim yang disebut hak ingkar
(recusatie, wraking; pasal 17 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009).

4. Lingkungan Peradilan

Peradilan biasanya dan pada umumnya dibagi menjadi peradilan umum dan peradilan khusus.
Peradilan umum adalah peradılan bagi rakyat pada umumnya, baik yang menyangkut perkara
perdata maupun pidana, sedangkan peradilan khusus mengadili perkara atau golongan rakyat
tertentu. Pasal 18 UU No. 48 tahun 2009 menentukan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan khusus, yang terdiri dari
lingkungan peradilan agama, militer, serta tata usaha negara, dan tidak menutup
kemungkinan adanya spesialisasi dalam masing-masing lingkungan peradilan.

5. MA Puncak Peradilan

Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi (Pasal 20 ayat 1 UU No. 48 tahun
2009, Pasal 2 UU No. 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Dengan menempatkan MA di
puncak, pembentuk undang-undang menghendaki adanya kesatuan peradilan. Kesatuan
peradilan ini dicapai dengan adanya kesempatan mengajukan kasasi bagi semua perkara ke
MA (Pasal 23 UU No. 48 tahun 2009, UU No. 3 tahun 2009).

6. Pemeriksaan dalam Dua Tingkat


Agar suatu perkara dapat ditinjau dari segala segi sehingga pemeriksaannya tuntas, serta
untuk mencegah atau sctidak-tidaknya mengurangi kekeliruan dalam memeriksa dan
memutus suatu perkara, diadakanlah pemeriksaan dalam dua tingkat, yaitu peradilan dalam
tingkat pertama (original jurisdiction) dan peradilan dalam tingkat banding (appellate
jurisdiction), yang mengulang pemeriksaan perkara yang telah diputus oleh pengadilan dalam
peradilan tingkat pertama. Pemeriksaan dalam tingkat banding merupakan pemeriksaan ulang
atau pemeriksaan dalam tingkat ke dua dan terakhir. Perkara diperiksa secara keseluruhan,
baik dari segi peristiwanya maupun dari segi hukumnya. Sudah selayaknya kalau dalam hal
ini kedua pihak diberi kesempatan yang sama untuk mengetengahkan alasan-alasan yang
tidak diajukan dalam pemeriksaan tingkat pertama. Jadi tidak hanya keberatan-keberatan dari
pembanding saja yang harus diperhatikan, tetapi juga alasan-alasan pihak terbanding.

7. Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa

Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA


ESA" (Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009, bandingkan dengan Pasal 27 RO). Rumusan
ini berlaku untuk semua pengadilan dalam semua lingkungan peradilan.

8. Susunan Persidangan Majelis

Susunan persidangan untuk semua pengadilan pada asasnya merupakan majelis, yang
sekurang-kurangnya terdiri dari tiga orang hakim (Pasal 11 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009).

9. Asas "Sederhana, Cepat, dan Biaya Ringan".

Yang dimaksud dengan sederhana adalah acara yang jelas, mudah dipahami, dan tidak
berbelit-belit sehingga tidak menyebabkan keengganan atau ketakutan masyarakat untuk
beracara di muka pengadilan.

Sedangkan kata cepat merujuk pada jalannya peradilan yang tidak mengandung banyak
keruwetan sehingga memperlama masa ditetapkannya putusan.

Biaya ringan ditujukan agar dapat terpukul oleh semua kalangan rakyat. Biaya perkara yang
tinggi akan menyebabkan pihak-pihak yang berkepentingan enggan mengajukan tuntutan hak
ke pengadilan.

10. Hak Menguji Tidak Dikenal


Hak menguji (toetsingsrecht, judicial review) sebagai hak hakim untuk menguji undang-
undang tidak dikenal dalam UUD 1945.

Hal menguji pada hakikatnya inheren dengan kekuasaan kehakiman. Ada yang berpendapat
bahwa UUD tidak mengatur hak menguji dan oleh karena itu tidak sesuai dengan negara
kesatuan, sehingga tidak ada tempatnya untuk hak menguji. Kalau suatu materi tidak diatur
dalam undang-undang atau UUD, tidaklah berarti bahwa dengan sendirinya hal itu dilarang
atau dengan sendirinya hal itu dibolehkan. Semua tergantung pada kebutuhan, asal tidak
bertentangan dengan UUD.

11. Peninjauan Kembali

Upaya hukum peninjauan kembali dimungkinkan terhadap putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap dalam perkara perdata maupun pidana oleh pihak-
pihak yang berkepentingan kepada MA (Pasal 24 ayat 1 UU No. 48 tahun 2009, Pasal 34, 66
UU No. 5 tahun 2004). MA memeriksa dan memutus peninjauan kembali pada tingkat
pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
yang disertai dengan alasan-alasan. Ketentuan ini masih memerlukan pelaksanaan lebih
lanjut.

Sementara itu, mengenai permohonan peninjauan kembali putusan perdata, MA menetapkan


bahwa pemohon peninjauan kembali dapat mengajukan gugatan request civil menurut cara
gugatan biasa dengan berpedoman pada Peraturan Burgerlijke Rechtsvordering.

12. Tugas Hakim Perdata dalam Lingkungan Peradilan Umum

Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan


Negeri dan Pengadilan Tinggi (lihat Pasal 3 ayat 1 UU No. 8 tahun 2004). Pengadilan Negeri
berkedudukan di Kotamadya atau di ibu kota Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi
wilayah Kotamadya atau Kabupaten, sedangkan Pengadilan Tinggi berkedudukan di ibu kota
Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah Provinsi (Pasal 4 UU No. 7 tahun 2004).
Berdasarkan Surat Keputusan No. M. 08-AT.01.10 tahun 1994 tentang Penetapan Pola
Pembinaan Peradilan di Lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara
diadakan klasifikasi serta persyaratan pembentukan Pengadilan Negero dan Pengadilan
Tinggi.

13. Pejabat-pejabat pada Pengadilan


Kecuali hakim, yang memeriksa dan mengadili perkara di persidangan, tidak boleh kita
lupakan panitera (griffier). Pada setiap Pengadilan ditetapkan adanya kepaniteraan yang
dipimpin oleh seorang Panitera y di dalam tugasnya dibantu oleh seorang Wakil Panitera,
beberapa orang Panitera Muda, beberapa orang Panitera Pengganti, dan beberapa orang Juru
sita (Pasal 27 UU No. 8 tahun 2004). Mereka semuanya diangkat dan diberhentikan dari
jabatannya oleh Mahkamah Agung (Pasal 37 UU No. 8 Tahun 2004).

BAB II

CARA MENGAJUKAN TUNTUTAN HAK

Tuntutan Hak

Tuntutan hak sebagaimana telah diterangkan di muka adalah tindakan yang bertujuan
memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah
"eigenrichting”. Orang yang mengajukan tuntutan hak memerlukan atau berkepentingan akan
perlindungan hukum. Ia mempunyai kepentingan untuk memperoleh perlindungan hukum,
maka ia mengajukan tuntutan hak ke pengadilan. Kiranya sudah selayaknya apabila
disyaratkan adanya kepentingan untuk mengajukan tuntutan hak, tidak mempunyai
kepentingan. Sudah wajar kalau tuntutannya itu tidak diterima oleh pengadilan. Akan tetapi,
tidak setiap kepentingan dapat diterima sebagai dasar pengajuan tuntutan hak. Sebagai misal,
A utang uang kepada B. Setelah jangka waktu yang telah ditetapkan lewat, A tidak mau
melunasi utangnya. Kemudian C (kakak B) yang bertanggung jawab atas adiknya dan merasa
wajib membelanya, tanpa mendapat kuasa dari B, menggugat A agar melunasi utangnya
kepada B. Tidak dapat disangkal bahwa C mempunyai kepentingan. Akan tetapi,
kepentingannya itu kurang cukup untuk timbulnya hak guna menuntut baginya agar dapat
diterima oleh pengadilan untuk diperiksa.

Peraturan perundang-undangan syarat pengangkatan anak dewasa ini memang belum ada.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam putusannya tanggal 5 Juni 1972 menentukan sebagai
syarat pengangkatan anak (adopsi internasional) sebagai berikut.

a. Permohomam adopsi internasional harus diajukan di Pengadilan Negeri di Indonesia


dimana anak yang diangkat bertempat tinggal.

b. Permohonan harus berdiam atau ada di Indonesia.


c. Permohonan beserta istri harus menghadap sendiri dihadapan hakim agar hakim
memperoleh keyakinan bahwa pemohonan betul-betul cakap dan mampu menjadi
orangtua angkat.

d. Pemohon beserta istri berdasarkan peraturan perundangan negaranya mempunyai


surat izin untuk mengangkat anak.

Persyaratan dalam putusan Pengadilan Negeri tersebut kemudian dijadikan dasar surat edaran
Menteri Kehakiman tanggal 24 februari 1978 dengan ringkasan berbunyi:

a. Pengangkatan anak warga negara Indinesia oleh orang asing hanya dapat dilakukan
dengan suatu penetapan Pengadilan Negeri.

b. Tidak dibenarkan apabila pengangkatan tersebut dilakukan dengan akta notaris yang
dilegalisir oleh Pengadilan Negeri.

Huk 3-1-58/78 yang memintakan perhatian hal-hal sebagai berikut:

1. Batas umur anak yang akan diangkat sedapat mungkin tidak lebih dari 5 tahun.

2. Batas umur calon orangtua angkat sedapat mungkin tidak lebih dari 50 tahun dan
dalam keadaan bersuami atau beristri.

3. Anak yang akan diangkat jelas asal usulnya

4. Bila masih ada orangtua anak, harus ada persetujuan tertulis yang dilengkapi dengan
saksi.

5. Ada bukti tanda persetujuan dari instansi yang berwenang dari negara asal, bahwa
calon orangtua angkat adalah betul telah disetujui untuk mengangkat anak dan dalam
keadaan mampu baik materiil maupun sosial.

Bagi calon orang tua angkat:

a. Pengangkatan anak antar-WNI yang langsung dilakukan antara orang tua kandung
dan orang tua angkat dibolehkan. Demikian pula pengangkatan anak yang dilakukan
oleh orang yang tidak terikat dalam perkawinan sah tidak dilarang juga.

b. Pengangkatan anak WNA harus suatu Yayasan Sosial yang memiliki izin dan
Departemen Sosial bahwa yayasan tersebut telah diizinkan bergerak di bidang
kegiatan pengangkatan anak. Sehingga dengan demikian pengangkatan anak WNI
yang langsung dilakukan antara orang tua kandung WNA dengan calon orang tua
angkat WNI tidak diperbolehkan. Demikian pula pengangkatan anak WNA oleh
orang tua angkat WNI yang terikat dalam perkawinan yang sah dilarang juga.

c. Calon orang tua angkat WNA harus telah berdomisili dan bekerja tetap di Indonesia
sekurang-kurangnya 3 tahun dengan disertai izin tertulis dari Menteri Sosial bahwa
düzinkan untuk mengajukan permohonan pengangkatan anak WNI. Pengangkatan
anak WNI ini harus dilakukan melalui suatu Yayasan Sosial yang memiliki izin untuk
bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak. Dengan demikian, pengangkatan
anak WNI yang langsung dilakukan antara orang tua kandung WNI dan calon orang
tua angkat WNA tidak diperbolehkan.

Bagi calon anak angkat:

a. Apabila anak yang diangkat dalam asuhan suatu Yayasan Sosial harus dilampiri izin
tertulis dari Menteri Sosial bahwa Yayasan yang bersangkutan telah diizinkan
bergerak di bidang kegiatan pengangkatan anak. Sedangkan anak yang akan diangkat
harus pula mempunyai izin tertulis dari Menteri Sosial bahwa anak ontersebut
diizinkan untuk diserahkan sebagai anak angkat.

b. Bagi calon anak WNI atau WNA yang diangkat, usianya harus belum mencapai umur
5 tahun dan disertai penjelasan tertulis dari Menteri Sosial bahwa anak tersebut
diizinkan untuk diangkat sebagai anak angkat oleh calon orang tua angkat WNA atau
WNI.

Dalam pemeriksaan permohonan pengangkatan anak di muka pengadilan yang didengar


langsung adalah calon orang tua angkat, orang tua yang sah, badan atau yayasan sosial,
petugas dari instansi sosial setempat, calon anak angkat kalau menurut umurnya sudah dapat
diajak bicara, dan pihak kepolisian.

Sedangkan dalam pertimbangan hukumnya supaya diadakan penilaian mengenai beberapa


hak yakni:

a. tentang motif yang menjadi latar belakang mengapa disatu pihak ingin melepas dan
dipihk lain ingin mengangkat anak
b. tentang keadaan kehidupan ekonomi, kehidupan rumah tangga dan cara Pendidikan
kedua belah pihak

c. tentang kesungguhan ketulusan kerelan pihak yang melepaskan serta kesadaranya


akan akibatnya setelah pengangkatan terjadi.

d. Tentang kesungguhan ketulusan serta kerelaan pihak yang mengangkat serta


kesadarannya akan akibat-akibat yang menjadi bebannya setelah pengangkatan itu
terjadi.

e. Tentang kesan-kesan yang diperoleh pengadilan tentang kemungkinan dari depan


calon anak angkat WNI atau WNA bersangkutan terutama bilamana anak WNI
diangkat oleh orangtua angkat WNA dipahami anak tersebut akan lepas dari
jangkauan Pemerintah Republik Indinesia.

Pihak-pihak dalam Perkara

Di dalam suatu sengketa perdata, sekurang-kurangnya terdapat dua pihak, yaitu pihak
penggugat (eiser, plaintif) yang mengajukan gugatan, dan pihak tergugat (gedaagde,
defendant). Dan biasanya orang yang langsung pengadilan, baik sebagai penggugat maupun
sebagai tergugat. Mereka ini merupakan pihak meteriil, karena mereka mempunyai
kepentingan langsung didalam perkara yang bersangkutan tetapi sekaligus juga merupakan
pihak formil, karena merekalah yang beracara dimuka pengadilan. Mereka bertindak untuk
kepentingan dan atas Namanya sendiri.

Penggabungan Tuntutan

Tidak jarang terjadi bahwa penggugat yang terdiri lebih dari satu orang melawan tergugat
yang hanya seorang saja, atau seorang penggugat melawan tergugat yang terdiri lebih dari
seorang atau kedua pihak masing-masing terdiri lebih dari satu orang, Hal ini disebut
kumulasi subjektif, penggabungan dari subjek. Kumulasi subjektif terjadi misalnya apabila
seorang kreditur menagih beberapa orang debitur atau beberapa orang ahli waris menggugat
ahli waris lainnya mengenai harta warisan.
Undang-undang tidak melarang penggugat mengajukan gugatan terhadap beberapa orang
tergugat (Pasal 4, 81, 107 Rv, 127 HIR, 151 Rbg, 1283, 1284 BW, 18 WvK). Terhadap
kumulasi subjektif ini tergugat dapat mengajukan keberatannya; tidak menghendaki kumulasi
subjektif, tidak menghendaki dirinya digabungkan dengan tergugat-tergugat lainnya.
Sebaliknya dapat terjadi bahwa tergugat justru menghendaki kumulasi subjektif:
menghendaki diikutsertakannya tergugat-tergugat lainnya dalam gugatan. Tangkisan tergugat
ini, yaitu bahwa masih ada orang lain yang harus diikutsertakan dalam sengketa sebagai
pihak yang berkepentingan, disebut exceptio plurium litis consertium. Penggugat juga boleh
mengajukan lebih dari satu tuntutan dalam satu perkara sekaligus. Ini merupakan
penggabungan daripada tuntutan yang disebut kumulasi objektif. Untuk mengajukan
kumulasi objektif pada umumnya tidak disyaratkan bahwa tuntutan- tuntutan itu harus ada
hubungannya yang erat satu sama lain. Akan tetapi, dalam tiga hal kumulasi objektif itu tidak
dibolehkan.

1. Kalau untuk suatu tuntutan (gugatan) tertentu diperlukan suatu acara khusus (gugat cerai),
sedangkan tuntutan yang lain harus diperiksa menurut acara biasa (gugatan untuk
memenuhi perjanjian), kedua tuntutan itu tidak boleh digabung dalam satu gugatan.

2. Demikian pula apabila hakim tidak berwenang (secara relatif) untuk memeriksa salah satu
tuntutan yang diajukan bersama-sama dalam satu gugatan dengan tuntutan lain, kedua
tuntutan itu tidak boleh diajukan bersama-sama dalam satu gugatan.

3. Tuntutan tentang "bezit" tidak boleh diajukan bersama-sama dengan tuntutan tentang
"eigendom" dalam satu gugatan (Pasal 103 Rv).

Wewenang Mutlak dari Hakim (Kompetensi Absolut)

Tugas pokok dari pengadilan, yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman, adalah untuk
menerima, memeriksa dan mengadili, serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan
kepadanya.

Wewenang mutlak dari Pengadilan Tinggi meliputi: 1.) pemeriksaan ulang semua perkara
perdata dan pidana sepanjang dimungkinkan untuk dimintakan banding (Pasal 3 ayat 12 UU
Dar. 1/ 1951, 2.) memutus dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang mengadili
antara Pengadilan Negeri di dalam wilayahnya (Pasal 3 ayat 1,2 UU Dar. 1/1951, Pasal 51
UU No. 2 tahun 1986), 3.) prerogasi mengenai perkara perdata (Pasal 3 ayat 1, 2 UU Dar. 1/
1951, 128 (2) RO, 85 Rbg).
Wewenang Nisbi dari Hakim (Kompetensi Relatif)

Kompetensi relatif diatur dalam Pasal 118 HIR (Pasal 142 Rbg). Sebagai asas ditentukan
bahwa Pengadilan Negeri di tempat tergugat tinggal (mempunyai alamat, berdomisili) yang
berwenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak: actor sequitur forum rei (Pasal 118 ayat 1
HIR, 142 ayat 1 Rbg). Jadi gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat
tergugat tinggal. Kalau penggugat bertempat tinggal di Yogyakarta, sedang tergugat
bertempat tinggal di Surabaya, gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di Surabaya.

Upaya-Upaya untuk Menjamin Hak

Untuk kepentingan penggugat agar terjamin haknya sekiranya gugatannya dikabulkan nanti,
undang-undang menyediakan upaya untuk menjamin hak tersebut, yaitu dengan penyitaan
(arrest; beslag). Penyitaan ini merupakan tindakan persiapan untuk menjamin dapat
dilaksanakannya putusan perdata. Barang-barang yang disita untuk kepentingan kreditur
(penggugat) dibekukan. Ini berarti bahwa barang- barang itu disimpan (diconserveer) untuk
jaminan dan tidak boleh dialihkan atau dijual (Pasal 197 ayat 9, 199 HIR, 212, 214 Rbg).
Oleh karena itu, penyitaan ini disebut juga sita conservatoir atau sita jaminan.

Ada dua macam sita jaminan, yaitu 1.) sita jaminan terhadap barang miliknya sendiri
(pemohon) dan 2.) sita jaminan terhadap barang milik debitur.

1) Sita Jaminan terhadap Barang Miliknya Sendiri

Penyitaan ini dilakukan terhadap barang milik kreditur (penggugat) yang dikuasai oleh orang
lain. Sita jaminan ini bukanlah untuk menjamin suatu tagihan berupa uang, melainkan untuk
menjamin suatu hak kebendaan dari pemohon atau kreditur dan berakhir dengan penyerahan
barang yang disita.

a. Sita revindicatoir (Pasal 226 HIR. 260 Rbg).

Pemilik barang bergerak yang barangnya ada di tangan orang lain dapat diminta, baik secara
lisan maupun tertulis kepada Ketua Pengadilan Negeri di tempat orang yang memegang
barang tersebut tinggal, agar barang tersebut disita. Penyitaan ini disebut sita revindicatoir.
b. Sita maritaal (Pasal 823 - 823 Rv)

Sita maritaal bukanlah untuk menjamin suatu tagihan uang atau penyerahan barang,
melainkan menjamin agar barang yang disita tidak dijual. Jadi, fungsinya adalah untuk
melindungi hak pemohon selama pemeriksaan sengketa perceraian di pengadilan berlangsung
antara pemohon dan lawannya, dengan menyimpan atau membekukan barang- barang yang
disita, agar jangan sampai jatuh di tangan pihak ketiga.

2. Sita Jaminan terhadap Barang Milik Debitur

Penyitaan ini biasanya disebut sita conservatoir. Sita conservatoir ini merupakan tindakan
persiapan dari pihak penggugat dalam bentuk permohonan kepada Ketua Pengadılan Negeri
untuk menjamin dapat dilaksanakannya putusan perdata dengan menguangkan atau menjual
barang debitur yang disita, guna memenuhi tuntutan penggugat.

a. Sita conscrvatoir atas barang bergerak milik debitur

(Pasal 227 jo. 197 HIR, 261 jo. 208 Rbg) Barang bergerak yang disita harus dibiarkan tetap
ada pada tergugat atau tersita untuk disimpannya dan dijaganya serta dilarang menjual atau
mengalihkannya (Pasal 197 ayat 9 HIR, 212 Rbg).

b. Sita conservatoir atas barang tetap milik debitur

(Pasal 227, 197, 198, 199 HIR, 261, 208, 214 Rbg) Jika disita barang tetap, agar jangan
sampai barang tersebut dijual, penyitaan itu harus diumumkan dengan memberi perintah
kepada kepala desa supaya penyitaan tetap itu diumumkan di tempat, agar diketahui oleh
orang banyak. Kecuali itu, salinan berita acara penyitaan didaftarkan pada Kantor
Pendaftaran Tanah (Pasal 30 PP. 10/1961 jo Pasal 198 ayat I HIR, 213 ayat 1 Rbg). Penyitaan
barang tetap harus dilakukan oleh juru sita di tempat barang-barang itu terletak dengan
mencocokkan batas- batasnya dan disaksikan oleh pamong desa.

c. Sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada di tangan pihak ketiga. (Pasal
728 Rv, 197 ayat 8 HIR, 211 Rbg)

Apabila debitur mempunyai piutang kepada pihak ketiga, kreditur untuk menjamin haknya
dapat melakukan sita conservatoir atas barang bergerak milik debitur yang ada pada pihak
ketiga itu. Sita conservatoir ini, yang disebut derdenbeslag, diatur dalam Pasal 728 Rv.
Kreditur dapat menyita atas dasar akta otentik atau akta di bawah tangan pihak ketiga. Dalam
hal ini dibolehkan sita rangkap (Pasal 747 Rv).

d. Sita conservatoir terhadap kreditur (Pasal 75a Rv)

Ada kemungkinan jika debitur memiliki piutang kepada kreditur. Jadi, ada hubungan utang-
piutang timbal balik antara kreditur dan debitur. Dalam hubungan utang timbal balik antara
kreditur dan debitur ini, di mana kreditur sekaligus juga debitur dan debitur sekaligus juga
kreditur, tidak jarang terjadi bahwa prestasinya tidak dapat dikompensasi.

e. Sita gadai atau pandbeslag (Pasal 751 - 756 Rv)

Sita gadai ini sebagai sita conservatoir hanyalah dapat diajukan berdasarkan tuntutan yang
disebut dalam Pasal 1139 sub 2 BW dan dijalankan atas barang-barang yang discbut dalam
Pasal 1140 BW.

f. Sita conservatoir atas barang-barang debitur yang tidak mempunyai tempat tinggal yang
dikenal di Indonesia atau orang asing bukan penduduk Indonesia (Pasal 757 Rv).

Rasio dari sita conservatoir ini yang disebut juga saisie foraine, ialah untuk melindungi
penduduk Indonesia terhadap orang orang asing bukan penduduk Indonesia. Oleh karena itu,
berlaku juga dengan sendirinya bagi acara perdata di Pengadilan Negeri.

g. Sita conscrvatoir atas pesawat terbang (diatur dalam Pasal 763h - 763k Rv)

Pada asasnya, semua barang bergerak maupun tetap milik debitur menjadi tanggungan untuk
segala perikatan yang bersifat perorangan (Pasal 1131 BW), dan semua hak-hak atas harta
kekayaan dapat dituangkan untuk memenuhi tagihan, schingga dengan demikian dapat disita.

h. Penyitaan barang milik negara

Pada dasarnya, barang-barang milik negara, yaitu seperti uang negara yang ada pada pihak
ketiga, piutang negara pada pihak ketiga, barang-barang bergerak milik negara, tidak dapat
disita kecuali ada izin dari hakim. Izin untuk menyita barang-barang milik negara itu harus
dimintakan kepada Mahkamah Agung (Pasal 65, 66 ICW, S. 1864 No. 106)
Memasukkan Gugatan

Setelah ditandatanganinya atau ditandatangani oleh wakilnya, penggugat mendaftarkan surat


gugatnya, yang harus memenuhi peraturan bea materai (Pasal 121 ayat 4 HIR, 145 ayat 4
Rbg, UU No. 13 th. 1985), disertai dengan salinannya kepada kepaniteraan Pengadilan
Negeri yang bersangkutan. Surat gugat atau permohonan pada dasarnya tidak perlu diberi
materai. Di dalam praktik memang banyak surat gugat atau permohonan yang masih diberi
materai. Yang diwajibkan untuk diberi materai adalah surat bukti yang diajukan dalam
perkara perdata (Pasal 2 (1) UU No. 13 tahun 1985 LN 69) dan oleh karena itu pula, materai
merupakan syarat sahnya surat sebagai alat bukti dalam perkara perdata dan bukan
merupakan salah satu syarat sahnya perjanjian.

BAB III
Pencabutan dan Perubahan Gugatan
Seseorang yang mengajukan gugatan bermaksud menuntut Kalau tergugat telah
meme-
nuhi tuntutan penggugat sebelum perkara diputuskan, tidak ada alasan lagi untuk melanjutkan
tuntutannya bagi penggugat. Oleh karena itu, penggugat sepenuhnya berhak untuk mencabut
gugatan atau tuntutannya. Tentang pencabutan dan perubahan tuntutan ini tidak diatur dalam
HIR, akan tetapi dalam Rv. Pencabutan gugatan dapat dilakukan sebelum gugatan itu
diperiksa di persidangan atau sebelum tergugat memberi jawabannya atau sesudah diberikan
jawaban oleh tergugat. Kalau pencabutan dilakukan sebelum perkara diperiksa di persidangan
atau sebelum tergugat memberi jawabannya, tergugat secara resmi belum tahu akan adanya
gugatan itu, yang berarti bahwa secara resmi belun terserang kepentingannya. Dalam hal ini
tidak perlu ada persetujuan dan pihak tergugat (Pasal 271 Rv). Sebaliknya, jika pencabutan
itu terjadi setelah jawabannya atas gugatan penggugat, kecuali bahwa secara resmi tergugat
diserang kepentingannya, kemungkinan besar sekali bahwa tergugat telah mengeluarkan
biaya yang tidak sedikit untuk menanggapi gugatan tergugat memberi penggugat. Tergugat
sudah terlanjur mengeluarkan biaya banyak, nama baiknya tersinggung: baginya lebih baik
kalau perkaranya dilanjutkan. Oleh karena kemungkinan timbul pertentangan kepentingan
antara dan untuk pencabutan gugatan sesudah tergugat tergugat, penggugat memberi
jawabannya perlu dimintakan persetujuan dari tergugat.
Kalau penggugat boleh mengajukan lagi gugatannya yang telah dicabutnya sebelum
tergugat memberi jawabannya, pencabutan gugatan sesudah tergugat memberi jawaban dapat
dianggap bahwa penggugat telah melepaskan haknya, sehingga tidak boleh mengajukannya
lagi. Di dalam praktik sering terjadi pencabutan gugatan oleh pihak baik dengan alasan
bahwa tuntutan penggugat telah dipenuhi penggugat, oleh tergugat maupun atas saran hakim
yang memeriksa perkara yang bersangkutan karena ada kekeliruan dalam menyusun gugatan.
Perlu diketengahkan bahwa pencabutan gugatan tidak dapat menghentikan atau menunda
tuntutan pidana (Pasal 30 AB). Sebaliknya, selama tuntutan pidana berjalan, tuntutan ganti
kerugian dalam perkara perdata yang timbul dari perbuatan pidana tersebut terhenti atau
ditunda (Pasal 29 AB). Pada asasnya, suatu surat gugat tidak dimaksudkan untuk kemudian
diubah setelah didaftarkan di kepaniteraan Pengadilan Negeri. Tetapi tidak mustahil
penggugat dalam menyusun gugatannya membuat kesalahan, sehingga ia berkepentingan
bahwa gugatannya diubah agar tuntutannya berhasil,
Bolehkah penggugat mengadakan perubahan gugatan?
Suatu perubahan gugatan akan memengaruhi kepentingan tergugat, karena dengan
per-
ubahan itu tergugat akan mungkin dipersulit dalam pembelaannya atau jalannya peradilan
akan dihambat, sehingga merugikan pihak tergugat. Oleh karena itu, bagi tergugat akan lebih
menguntungkan apabila tidak diadakan perubahan gugatan, sehingga ia berhak untuk
menyatakan keberatannya terhadap perubahan gugatan oleh penggugat.
Putusan Gugur
Suatu perkara perdata dapat diputus secara conservatoir atau di luar hadirnya salah sa-
tu pihak yang berperkara. Perkara diputus secara conservatoir apabila kedua belah pihak
hadir di persidangan pada hari sidang yang ditetapkan, sedangkan kalau salah satu pihak saja
yang hadir, diputus di luar hadirnya salah satu pihak.
Putusan di luar hadirnya salah satu pihak itu tidak lain untuk merealisir asas audi et alteram
partem, di mana kepentingan kedua pihak harus diperhatikan. Ada kalanya penggugat yang
mengajukan gugatan pada hari sidang vang telah ditetapkan tidak datang menghadap dan
tidak pula mengirimkan wakilnya menghadap meskipun telah dipanggil dengan patut oleh
juru sita, Pasal 126 HIR (Pasal 150 Rv) masih memberi kelonggaran untuk dipanggil sekali
lagi. Dalam hal ini gugatan penggugat dinyatakan gugur serta dihukum untuk membayar
biaya perkara (Pasal 124 HIR, 148 Rbg). Untuk memutuskan gugur gugatan penggugat, isi
gugatan tidak perlu diperiksa, sehingga putusan gugur itu tidak mengenai isi gugatan. Putusan
gugur itu dijatuhkan demi kepentingan tergugat yang hadir di persidangan. Dengan
dinyatakan gugur gugatan penggugat, dianggap selesailah perkaranya. Akan tetapi, kepada
penggugat diberi kesempatan untuk mengajukannya lagi dengan membayar biaya perkara.
Digugurkannya gugatan penggugat tidak hanya apabila penggugat tidak datang saja, tetapi
juga kalau penggugat tidak mengajukan perkaranya di muka hakim perdamaian desa,
meskipun telah diperintahkan oleh hakim (Pasal 135a HIR). Kalau penggugat pada hari
sidang pertama datang, tetapi pada hari sidang-sidang berikutnya tidak datang, perkaranya
diperiksa secara conservatoir.

Putusan di Luar Hadir (Verstek)


Ada kemungkinannya pada hari sidang yang telah ditetapkan gugat tidak datang dan
tidak pula mengirimkan wakilnya menghadap i persidangan, sekalipun sudah dipanggil
dengan patut oleh juru sita.
Kalau tergugat tidak datang setelah dipanggil dengan patut, gugatan dikabulkan
dengan
putusan di luar hadir atau verstek, kecuali kalau gugatan Tidak ada keharusan bagi tergugat
untuk datang di persidangan. HIR nens gugatan iry melawan hak atau tidak beralasan.
Tentang kapan boleh dijatuhkan putusan verstek ada yang berpendapat bahwa putusan
verstek harus dijatuhkan pada hari sidang pertama, yang mendasarkan pada kata-kata “ten
dage dienendė" dalam Pasal 123 HIR (Pasal 149 Rbg) yang diartikan sebagai hari sidang
pertama. Sebaliknya ada yang berpendapat bahwa kata-kata "ten dage dienende" dapat pula
diartikan "ten dage dat de zaak dient yang berarti tidak hanya hari sidang pertama saja." Pasaf
126 HIR (Pasal 150 Rbg) memberi kelonggaran untuk dipanggil sekali lagi.
Kata verstek itu sendiri berarti pernyataan bahwa tergugat tidak datang pada hari
sidang
pertama. Ada kalanya tergugat tidak datang, tetapi mengirimkan surat jawaban, yang
mengemukakan tangkisan (eksepsi), bahwa Pengadilan Negeri tidak berkuasa memeriksa
perkaranya. Dalam hal ini, sekalipun ia atau tentang eksepsi itu setelah penggugat didengar.
Bila hakim menganggap dirinya berwenang untuk memeriksa perkara yang bersangkutan,
eksepsi tersebut ditolak dan dijatuhkan putusan tentang pokok perkara. Eksepsi tidak
berwenang seperti yang tercantum dalam Pasal 133 HIR (Pasal 159 wakilnya tidak datang,
hakim wajib memutuskan sidang sebelum diajukan jawaban.
Jika gugatan tidak bersandarkan hukum, yaitu apabila peristiwa- peristiwa
sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan, gugatan akan dinyatakan tidak diterima
(niet ontvankelijk verklaard): n.o. Jika gugatan itu tidak beralasan, yaitu apabila tidak
diajukan peristiwa-peristiwa yang membenarkan tuntutan, gugatan akan ditolak. Putusan
tidak diterima bermaksud menolak gugatan di luar pokok perkara, sedang penolakan
merupakan putusan setelah dipertimbangkan mengenai pokok perkara. Pada putusan tidak
diterima, di kemudian hari penggugat masih dapat mengajukan lagi tuntutannya, tetapi di
dalam praktik sekarang ini tidak iarang putusan tidak dapat diterima dimintakan banding,
sedang dalam hal penolakan tidak terbuka kesempatan untuk mengajukan gugatan Trersebut
untuk kedua kalinya kepada hakim yang sama (ne bis in idem).
Oleh karena putusan "tidak diterima" (n.o.) itu dimaksudkan menolak gugatan di luar
pokok perkara, yang berarti bahwa hakim belum memeriksa pokok perkara, sedangkan dalam
putusan “menolak" hakim sudah memeriksa pokok perkara, maka logikanya dalam satu
putusan tidak dimungkinkan berisi diktum "tidak diterima" dan sekaligus juga “menolak".
Jadi, putusan verstek tidak berarti selalu dikabulkannya gugatan penggugat. Pada hakikatnya,
lembaga verstek itu untuk merealisir asas audi et alteram partem. Jadi, kepentingan tergugat
pun harus diperhatikan, sehingga seharusnya secara ex officio hakim mempelajari isi
gugatan. Tetapi, di dalam praktik sering gugatan penggugat dikabulkan dalam putusan
verstek tanpa mempelajari gugatan lebih dulu. Dalam putusan verstek di mana penggugat
dikalahkan, penggugat dapat mengajukan banding (Pasal 8 ayat 11 UU. 20/1947, 200 Rbg).
Putusan verstek atau luar hadir tergugat ini dijatuhkan kalau tergugat tidak datang pada hari
sidang pertama. Kalau tergugat pada hari sidang pertama datang kemudian tidak datang,
perkaranya diperiksa secara conservatoir. Apabila gugatan dikabulkan di luar hadir,
putusannya diberitahukan kepada tergugat (defaillant) serta dijelaskan bahwa tergugat berhak
mengajukan perlawanan (verzet) terhadap putusan verstek itu kepada hakim yang memeriksa
perkara itu juga (Pasal 125 ayat 3 jo. 129 HIR, 149 ayat 3 jo. 153 Rbg).
Perlawanan dapat diajukan dalam 14 hari sesudah pemberitahuan Patusan verstek
kepada tergugat pribadi. Apabila pemberitahuan itu sampai hari ke 8 setelah teguran untuk
melaksanakan putusan verstek itu tidak disampaikan kepada tergugat pribadi, perlawanan
dapat diajukan atau apabila tergugat tidak datang menghadap untuk ditegur, perlawanan
tergugat dapat diajukan sampai hari ke 8 sesudah putusan verstek itu dijalankan (Pasal 129
ayat 2 HIR. 153 ayat 2 Rbg).
Tuntunan perlawanan, menduduki Tuntutan perlawanan (verzet) terhadap putusan
verstek diajukan dan diperiksakan seperti perkara conservatoir. Dalam acara yang
mengajukan perlawanan (pelawan, apposant) tetap 113 verstek, sedang terlawan
(geopposeende) tetap sebagai penggugat.' Apabila perlawanan diterima oleh pengadilan,
pelaksanaan putusan verstek terhenti, kecuali kalau ada perintah untuk melanjutkan
pelaksanaan putusan verstek itu (Pasal 129 ayat 4 HIR, 153 ayat 5 Rbg). Dalam pemeriksaan
perlawanan (verzetsprocedure) karena kedudukan para pihak tidak berubah, maka pihak
penggugatlah (terlawan) yang harus mulai dengan pembuktian. Kalau dalam acara
perlawanan penggugat tidak datang, perkara diperiksa secara conservatoir. Sedangkan kalau
tergugat dalam acara perlawanan itu tidak datang lagi, untuk kedua kalinya diputus verstek,
terhadap mana tuntutan perlawanan (verstek) tidak diterima (niet ontvankelijk verklaard,
Pasal 129 ayat 5 HIR, 153 ayat 6 Rbg). kedudukannya sebagai tergugat seperti dalam perkara
yang telah diputus Jika terdapat beberapa orang tergugat, sedang salah seorang atau lebih di
antaranya tidak datang atau tidak menyuruh wakilnya menghadap meskipun telah dipanggil
dengan patut, perkara diperiksa secara conservatoir. Bagaimanakah kalau kedua belah pihak,
baik penggugat maupun tergugat, tidak datang pada hari sidang yang telah ditentukan,
meskipun ketentuannya. Tetapi dengan kewibawaan badan pengadilan kedua-duanya telah
dipanggil dengan patut? Tentang hal ini tidak ada serta agar jangan sampai ada perkara yang
berlarut-larut tidak berketentuan, dalam hal ini gugatan perlu dicoret dari daftar dan dianggap
tidak pernah ada.

Pengaruh Keadaan Para Pihak terhadap Jalannya Persidangan


Keadaan para pihak di dalam suatu perkara dapat memengaruhi jalannya persidangan.
Jalannya persidangan dapat terhenti karena perubahan keadaan dari para pihak.
Kalau salah satu pihak meninggal dunia, pemeriksaan perkara, setelah kematian
diberitahukan, terhenti (schorsing, Pasal 248 Rv). Sejak terhentinya pemeriksaan maka segala
tindakan-tindakan personel tidak sah (Pasal 250 ayat 3 Rv). Gugatan kemudian dapat
dilanjutkan oleh ahli warisnya. Demikian pula perubahan status salah satu pihak, misalnya
salah satu pihak kehilangan kemampuan untuk bertindak, dan juga apabila kualitas seseorang
dalam beracara berhenti, menyebabkan pula terhentinya 114 jalannya pemeriksaan.
Meninggalnya wakil menyebabkan berhentinya jalannya pemeriksaan (Pasal 250 ayat
2 Rv). Tindakan wakil yang dilakukannya di dalam persidangan atas nama klien yang
diwakilinya, sedangkan ia tidak mendapat kuasa dari yang diwakilinya untuk itu, akan
menyebabkan berhentinya jalannya persidangan juga (Pasal 256 Rv).

Perdamaian
Kalau pada hari sidang yang telah ditetapkan kedua belah pihak hadir, hakim harus
berusaha mendamaikan mereka (Pasal 130 HIR, 154 Rbg). Pada saat inilah hakim dapat
berperan secara aktif sebagaimana dikehendaki oleh HIR. Untuk keperluan perdamaian itu,
sidang lalu diundur untuk memberi kesempatan mengadakan perdamaian. Pada hari sidang
berikutnya, apabila mereka berhasil mengadakan perdamaian, disampaikanlah kepada hakim
di persidangan hasil perdamaiannya, Berdasarkan adanya perdamaian antara kedua belah
pihak itu, hakim menjatuhkan putusannya (acte van vergelijk), yang isinya menghukum
kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaiannya yang telah dibuat antara mereka.
Usaha perdamaian ini terbuka sepanjang pemeriksaan di persidangan.
Pada tanggal 11 September 2003 Mahkamah Agung mengeluarkan SEMA No. 2
tahun
2003 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dengan mencabut SEMA No. 1 tahun 2002
tentang Pemberdayaan Pengadilan Tingkat Pertama Menerapkan Lembaga Damai ex Pasal
130 HIE/154 Rbg, karena rupa-rupanya SEMA No. 1 tahun 2002 tersebut kurane efektif.
Dapat disimpulkan dari SEMA No. 2 tahun 2003 itu tugas mendamaikan di
pengadilan
diserahkan kepada orang lain, bukan kepada hakim yang pada awalnya memeriksa perkara,
bahkan kepada orang (mediator) di luar pengadilan. Prosedur perdamaian menurut SEMA
No. 2 tahun 2003 akan makan waktu lebih lama daripada kalau ditangani oleh hakim yang
pada awalnya menangani perkara yang bersangkutan, kecuali itu juga tidak praktis karena
masih harus melalui proses mencari mediator. Kalau para pihak menggunakan mediator di
luar pengadilan, sudah jelas bahwa hal itu akan menambah biaya perkara, yang jelas
bertentangan dengan asas cepat, sederhana, dan biaya ringan. Kecuali itu, sudah ada
ketentuan dalam Pasal 130 HIR/154 Rbg yang jauh lebih praktis dan menghemat waktu
karena ditangàni oleh seorang hakim, dan di samping itu juga bersifat imperatif. Apakah
Mahkamah Agung dapat meniadakan ketentuan dalam Pasal 130 HIR/154 Rbg? Tidak
mengherankan kalau banyak pengadilan yang tidak melaksanakan SEMA No. 2 tahun 2003
tersebut.
Pengaruh Lampau Waktu terhadap Tuntutan Hak
Dapatkah suatu tuntutan hak atau gugatan itu setiap saat diajukan? Dengan perkataan
lain adakah pengaruh lampau waktu terhadap tuntutan bak? Adakah batas waktunya untuk
mengajukan gugatan? Seseorang yang mempunyai sesuatu hak atau hubungan hukum dapat
mengajukan tuntutan hak. Apabila seseorang tidak lagi mempunyai sesuatu hak, apabila
haknya karna sesuatu hal lenyap, ikut lenyap pulalah tuntutan haknya. Hak atau hubungan
hukum dapat hapus atau lahir karena lampaunya waktu. Demikian pula tuntutan hak atau
gugatan dapat kedaluwarsa atau dapat hapus karena lampaunya waktu. Hak yang oleh
undang-undang diberikan untuk waktu tertentu akan terhapus dengan lampaunya waktu yang
ditetapkan oleh undang-undang (decbeance).
Hak ini berhenti atau terhapus dengan sendirinya (ex re) setelah lewat waktu yang
ditentukan oleh undang-undang (Pasal 1520 BW). Menurut Pasal 1967 BW, semua tuntutan
hak, baik kebendaan maupun perorangan, terhapus (kedaluwarsa) setelah lampau waktu 30
tahun, sedangkan siapa yang menunjukkan adanya kedaluwarsa itu tidak perlu menunjukkan
adanya alas hak, lagipula tidak dapat diajukan terhadapnya suatu tangkisan yang didasarkan
pada iktikad buruk.15 Lampaunya waktu ini disebut lampaunya waktu yang extinctief
(prescriptio), yaitu lampaunya waktu yang menyebabkan terhapusnya perikatan. Di samping
lampaunya waktu, menurut Pasal 1967 BW itu masih dikenal lampaunya waktu yang
acquistief (ususcapio) yang diatur dalam Pasal 1963 Dw, yaitu lampaunya waktu yang
menyebabkan seseorang memperoleh sesuatu hak. Lampaunya waktu itu dihitung sejak hak
itu sendiri lahir atau ada. yang bersifat Hukum adat mengenal pula pengaruh lampaunya
waktu terhadap ak, hubungan hukum, atau gugatan.Berikut ini diketengahkan beberapa
putusan tentang pengaruh lampaunya waktu terhadap hak atau gugatan tuntutan.
Bunga atau uang sewa yang tidak ditagih selama lebih dari 2 tahun in hapus, kecuali
ada alasan yang layak.18 Dengan selama 24 tahun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan
Negeri tentang barang warisan dari ibunya, penggugat yang kemudian mengajukan gugatan
dianggap melepaskan haknya (PT Surabaya, 24 November 1952, H 1953 No. 2 - 3, hal. 88).
Seorang pemberigadai barang perhiasan emas yang tidak datang pada panggilan untuk
menghadiri pembagian harta warisan dari almarhum pemegang gadai dan kemudian berdiam
diri selama 7 tahun, dianggap melepaskan haknya untuk menebus barang yang digadaikan
(M.A. 19 Juli 1955, H 1956 No. 1 - 2, hal. 74). Apabila antara perbuatan hukum yang dapat
dibatalkan/batal dan saat pengajuan gugatan telah lewat 18 tahun, gugatan itu tidak dapat
dianggap diajukan dengan iktikad baik. Utang uang yang selama 21 tahun tidak pernah
dilunasi terhapus karena lampaunya waktu (M.A. O Juli 1955, H 1956 No. 5 - 6, hal. 19).
Menduduki tanah selama 20 tahun tanpa gangguan, sedang phan lawan selama itu
membiarkan keadaan demikian, adalah persangkaan berat bahwa pendudukan (bezit) itu
adalah berdasarkan hukum (Kº) Jakarta 13 Januari 1939, T 150 hal. 241). Menduduki tanah
dalam waktu lama tanpa gangguan, sedang yaro mendapat perlindungan hukum (RvJ Jkarta
12 Januari 1940, T 154, nat 269). menduduki tanah bertindak sebagai pemilik yang jujur pada
umumnya Perkara lama dianggap untuk kepentingan ketenteraman hukum tidak pada
tempatnya lagi diperiksa dan diadili oleh pengadilan (PT Surabaya 24 November 1952, H
1953 No. 2 - 3, hal. 88).
Sekalipun penggugat telah membiarkan suatu keadaan selama 25 osih tetap dapat
diterima dan diperiksa serta diputuskan seperti biasa A 22 Desember 1971 No. 802
K/Sip/1971, Yurisprudensi Jawa Barat tahun lebih, karena hukum adat tidak mengenal
“kedaluwarsa", gugatan 1969 - 1972 I, hal. 76).
Lewat waktu tidak merupakan alasan hilangnya hak para penggugat untuk menuntut
haknya yang berasal dari warisan orang tuanya (MA 12 Januari 1972 No. 392 K/Sip/1971,
Yurisprudensi Jawa Barat 1969 -1972 I, hal. 76).
Menurut ketentuan yang berlaku di dalam BW, suatu gugatan menjadi kedaluwarsa
dalam waktu 30 tahun (Pasal 835 BW: MA 19 April 1972 No. 26 K/Sip/1972, Yursprudensi
Jawa Barat 1969 1972 I, hal. 76). Dalam hukum adat, dengan lewatnya waktu saja hak milik
atas tanah tidak terhapus (MA 19 Desember 1973 No. 916 K/Sip/1973, Y.I. Pen. 1975 hal.
461). Tampak dari putusan-putusan tersebut di atas bahwa gugatan terhapus karena
lampaunya waktu.

Tugas Hakim
Apakah tugas hakim itu tepatnya?
Tugas pokok hakim adalah menerima, memeriksa dan mengadili, serta menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya. Hakim menerima perkara, dalam hal ini sikapnya
adalah pasif atau menunggu adanya perkara diajukan kepadanya dan tidak aktif mencari atau
mengejar perkara (Wo kein Klager ist, ist kein Richter; nemojudex sine actore). Kemudian,
hakim meneliti perkara dan akhirnya mengadili, yang berarti memberi kepada yang
berkepentingan hak atau hukumnya. Sebelum menjatuhkan putusannya, hakim harus
memerhatikan serta mengusahakan sedapat mungkin agar jangan sampai putusan yang akan
dijatuhkan nanti memungkinkan timbulnya perkara baru. Putusan harus tuntas dan tidak
menimbulkan ekor perkara baru. Tugas hakim tidak terhenti dengan menjatuhkan putusan
saja, akan tetapi juga menyelesaikannya sampai pada pelaksanaannya. Dalam perkara
perdata, hakim harus membantu para pencari keadilan dan berusaha sekeras-kerasnya
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang sederhana,
cepat, dan biaya ringan (Pasal 2 ayat (4) UU No. 48 tahun 2009).
Hakim tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadn melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya (Pasal 10 (ayat 1) UU No. 48 tahun 2009). Terhadap asas yang
tercantum dalam Pasal 17 ayat (3) UU No. 48 tahun 2009 itu ada pengecualiannya, yaitu
bahwa seorang hakim tidak boleh memeriksa perkara yang mengandung kepentingannya
sendiri, hakim yang baik dalam perkaranya sendiri (nemo judex idoneus in propria causa).
Dalam hal ini, hakim wajib mengundurkan diri (excusatie Pasal 17 ayat (3) UU No. 48 tahun
2009, 374 ayat 2 HIR, 702 ayat 2 Rbg).
Seperti yang telah diketengahkan di muka, pada hakikatnya, seorang hakim
diharapkan
memberi pertimbangan tentang benar tidaknya suatu peristiwa atau fakta yang diajukan
kepadanya dan kemudian memberikan atau menentukan hukumnya. Secara konkretnya,
dalam mengadili suatu perkara, hakim harus melakukan tiga tindakan secara bertahap.

Jawaban
Di dalam HIR tidak ada ketentuan yang mewajibkan tergugat untuK menjawab
gugatan
penggugat. Pasal 121 ayat 2 HIR (Pasal 145 ayat 2 Rbg) hanya menentukan bahwa tergugat
dapat menjawab, baik secara tertulis maupun lisan. Jawaban tergugat dapat berupa
pengakuan, tetapt dapat juga berupa bantahan (verweer). Pengakuan berarti membenarkan isi
gugatan penggugat, baik untuk sebagian maupun untuk seluruhnya, sehingga kalau tergugat
membantah, penggugat harus membuktikan.Walaupun pengakuan diberikan oleh salah satu
pihak yang berperkara, merupakan alat bukti. Oleh karena itu, akan dibicarakan lebih lanjut
dalam uraian mengenai pembuktian. Pengakuan harus dibedakan dari referte (referte aan bet
oordeel des rechters). Kedua-duanya merupakan jawaban yang tidak bersifat membantah.
Kalau pengakuan itu merupakan jawaban yang membenarkan isi gugatan, merte berarti
menyerahkan segalanya kepada kebijaksanaan hakim dengan tidak membantah dan tidak pula
membenarkan gugatan.

Adakah Persyaratannya Mengenai Cara Mengajukan Jawaban?


Meskipun HIR tidak menyebutkan, sudah selayaknya kalau jawaban rergugat itu
disertai dengan alasan-alasan, karena dengan demikian akan lebih jelaslah duduknya perkara.
Tidaklah cukup kalau tergugat hanya sekadar menyangkut gugatan saja, tetapi harus diberi
alasan apa sebabnya ia menyangkal. Sangkalan yang tidak cukup beralasan dapat
dikesampingkan oleh hakim, demikianlah putusan Raad Justisi Jakarta tanggal 1 April
1938.125
Pasal 113 Rv menyaratkan agar bantahan tergugat itu disertai alasan- alasan ("met
redenen omkleed"). Menurut Pasal 136 HIR (Pasal 162 Rbg), jAwaban yang berupa
tangkisan (eksepsi), kecuali tangkisan tentang odak berkuasanya hakim, tidak boleh
dimajukan dan dipertimbangkan erpisah, tetapi diperiksa dan diputus bersama-sama dengan
pokok perkara. Menurut pendapat Wirjono Prodjodikoro, Pasal 136 HIR (Pasal t02 Rbg)
tersebut diartikan sebagai anjuran saja supaya seberapa dapat gat mengumpulkan atau
menyatakan segala sesuatu yang ingin dajukannya dalam jawabannya pada waktu ia memberi
jawaban pada permulaan pemeriksaan perkara.24 Pendapatnya itu disandarkan kepada tidak
adanya sanksi pada Pasal 136 HIR (Pasal 162 Rbg) tersebut. Sedang menurut Supomo, Pasal
136 HIR (Pasal 162 Rbg) tersebut tidak lain untuk menghindarkan kelambatan yang tidak
perlu atau dibuat-buat supaya proses berjalan lama. Tentang apakah jawaban tergugat itu 
harus disatukan atau boleh dipisah-pisah ada 3 pendapat, yaitu :
1. Jawaban tergugat harus diberikan sekaligus dengan akibat gugurnya jawaban atau
sangkalan apabila tidak diajukan sekaligus (Eventual-maxime). Pendapat ini
menghendaki adanya konsentrasi daripada bantahan. Pasal 114 ayat 1 Rv
menghendaki konsentrasi daripada bantahan.
2. Jawaban diberikan dalam kelompok-kelompok. Prinsip ini menghambat jalannya
pemeriksaan, sehingga terdesak prinsip Eventual-maxime.
3. Demi kepentingan kedua belah pihak yang berperkara, maka sepanjang pemeriksaan
boleh diajukan jawaban-jawaban. Akan tetapi, hakim dapat mengesampingkannya
demi kelancaran jalannya pemeriksaan.

Pasal 136 HIR (Pasal 162 Rbg) menghendaki adanya konsentras jawaban. Akan
tetapi, penyatuan jawaban ini hanyalah
menyangkut cangkisan (eksepsi), yang bukan berhubungan dengan tidak berkuasanya hakim
dan sangkalan (verweer ten principale).
Tentang sangkalan yang langsung mengenai pokok perkara (verwerten principale)
Pasal 136 HIR (Pasal 162 Rbg), tidak mengharuskan untuk diajukan pada permulaan sidang,
maka dapat diajukan selama proses berjalan. Bahan sangkalan mengenai pokok perkara yang
belum diajukan pada Pengadilan Negeri dapat diajukan pada tingkat banding asal
tidak bertentangan dengan sangkalan yang diajukan pada tingkat pertama. 27 Bantahan
(verweer) pada hakikatnya bertujuan agar gugatan penggugat ditolak. Dan bantahan tergugat
ini dapat terdiri dari tangkisan atau eksepsi dan sangkalan. Apa yang dimaksudkan dengan
tangkisan (exceptief verweer) dan sangkalan (verweer ten principale) tidak dijelaskan oleh
undang-undang.
Pada umumnya yang diartikan dengan eksepsi ialah suatu sanggahan au bantahan dari
pihak tergugat terhadap gugatan penggugat yang tidak angsung mengenai pokok perkara,
yang berisi tuntutan batalnya gugatan. Sedangkan yang dimaksud dengan sangkalan (verweer
ten prinsipale) adalah sanggahan yang berhubungan dengan pokok perkara.
Faure membagi eksepsi menjadi eksepsi prosesuil dan eksepsi materiil. Eksepsi
prosesuil adalah upaya yang menuju kepada tuntutan tidak diterimanya gugatan. Pernyataan
tidak diterima berarti suatu penolakan in limine litis, berdasarkan alasan-alasan di luar pokok
perkara. Termasuk eksepsi prosesuil ialah tangkisan yang bersifat mengelakkan (eksepsi
declinatoir) seperti eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim, eksepsi bahwa gugatan batal,
dan eksepsi bahwa perkara telah diputus, serta eksepsi bahwa pihak penggugat tidak
mempunyai kedudukan sebagai penggugat (eksepsi disqualificatoir).
Sedangkan eksepsi materiil merupakan bantahan lainnya yang didasarkan atas
ketentuan hukum materiil. Termasuk eksepsi materiil ialah eksepsi yang bersifat menunda
(eksepsi dilatoir) seperti eksepsi bahwa tuntutan penggugat belum dapat dikabulkan
berhubung penggugat memberi penundaan pembayaran, dan eksepsi peremptoir yang sudah
mengenai pokok perkara, seperti eksepsi karena lampaunya waktu (kedaluwarsa) atau karena
tergugat dibebaskan dari membayar .
HIR hanya mengatur eksepsi tentang tidak berkuasanya hakim untuk memeriksa
gugatan (Pasal 125 ayat 2, 133-136 HIR, 149 ayat 2, 160-62 Rbg). Tangkisan terhadap
kompetensi relatif dari hakim, yaitu bahwa Pengadilan Negeri lainlah yang berkuasa, harus
diajukan pada permulaan sidang (Pasal 125 ayat 2, 133 HIR, 149 ayat 2, 159 Rbg), sedang
tangkisan terhadap kompetensi absolut, yaitu bahwa Pengadilan Negeri tidak berkuasa dapat
diajukan setiap saat, sepanjang pemeriksaan (Pasal 134 HIR, 160 Rbg). Bahkan, di sini hakim
wajib secara ex officio memutuskan berkuasa tidaknya ia memeriksa perkara bersangkutan
tanpa menunggu diajukan tangkisan oleh pihak tergugat.
Menurut Pasal 356 ayat 4 Rv yang sampai sekarang masih berlaku berdasarkan Pasal
3
UUDar.1/1951, dalam tingkat banding tergueat tidak boleh mengajukan eksepsi. Mengenai
soal kompetensi, Pengadilan Tinggi wajib memerhatikan, meskipun yang berperkara sendiri
tidak menyinggung hal itu.
Akibat hukum dari adanya jawaban ialah bahwa seperti yang telah diketengahkan di
muka, penggugat tidak diperkenankan mencabut gugatannya, kecuali dengan persetujuan
tergugat. Kecuali itu tidak diperkenankan mengajukan eksepsi serta kesempatan untuk
mengajukan rekonvensi tertutup.
Gugat Balik (Gugat Rekonvensi)
Seorang tergugat yang digugat oleh penggugat ada kemungkinannya mempunyai
hubungan hukum lain dengan penggugat, di mana penggugat berutang kepada tergugat dan
belum dilunasi. Dalam hal ini, kalau tergugat hendak menggugat penggugat, ia dapat
menggugat penggugat dalam suatu perkara yang terpisah dari perkara yang terdahulu antara
penggugat dan tergugat. Dalam gugatan yang kedua ini, yang terpisah dari gugatan yang
pertama, tergugat berkedudukan sebagai penggugat, sedang penggugat berkedudukan sebagai
tergugat dalam rekonvensi, sedang tergugat disebut sebagai tergugat dalam konvensi atau
penggugat dalam rekonvensi. Jadi, gugat rekovensi adalah gugatan yang diajukan tergugat
terhadap penggugat dalam sengketa yang sedang berjalan antara mereka.
Kesempatan mengajukan gugatan rekonvensi ini diberikan oleh Pasal 132a dan 132b
HIR (Pasal 157, 158 Rbg) yang dialihkan dari Rv dan disisipkan pada tahun 1927 (S 1927
No. 300). Pada asasnya, gugat rekonvensi dapat diajukan mengenai segala hal (Pasal 132a
ayat 1 HIR, 157 ayat 1 Rbg. ".. in alle zaken").
Tuntutan rekonvensi pada hakikatnya merupakan kumulasi atau cabungan dua
tuntutan
yang bertujuan untuk mehghemat biaya, mempermudah prosedur, dan menghindarkan
putusan-putusan yang bertentangan satu sama lain. Selanjutnya dalam gugat rekonvensi tidak
berlaku ketentuan umum tentang kompetensi elatuf, sehingga baik gugat konvensi maupun
rekonvensi diperiksa oleh kam yang sama. Lain daripada itu, acara pembuktian dapat
dipersingkat atau disederhanakan, terutama apabila kedua gugatan, konvensi dan rekonvensi,
erat hubungannya satu sama lain.
Oleh karena alasan itu praktis, kumulasi tuntutan hak dalam gugat rekonvensi itu akan
mencapai tujuannya apabila gugatan-gugatan itu saling ada hubungannya. Hubungan atau
"innerlijke samenhang” ini dapat terjadi apabila kedua konvensi dan rekonvensi, itu
mempunyai dasar hubungan hukum yang sama. Misalnya, penggugat menuntut dipenuhinya
perjanjian, sedangkan tergugat menuntut diputuskannya perjanjian; dalam gugat konvensi
dituntut pernyataan sah dan berharga dari suatu sita konsenvatoir, sedang dalam rekonvensi
dituntut pengangkatan sita konsenvatoir tersebut dengan disertai ganti kerugian; karena
terjadinya tabrakan mobil antara penggugat dengan tergugat, penggugat menuntut ganti
kerugian kepada tergugat karena kesalahan terletak pada tergugat, dalam rekonvensi tergugat
menuntut kerugian kepada penggugat dengan Sita alasan bahwa penggugatlah yang salah.
Terhadap asas bahwa tuntutan rekonvensi dapat meliputi segala ba ada
pengecualiannya (Pasal 132a (1) No. 1, 2, 3 HIR, 157, 158 Rbg):
1. bila penggugat dalam konvensi bertindak karena suatu kualitas tertentu, sedang
tuntutan rekonvensi akan mengenai din penggugat pribadi atau sebaliknya. Misalnya
bila penggugat bertindak sebagai pihak formal (wali), tuntutan rekonvensi tidak boleh
ditujukan kepada penggugat secara pribadi; bila bertindak sebagai pemberes
(vereffenaar) suatu perseroan, tuntutan rekonvensi tidak boleh mengenai penggugat
secara pribadi;
2. bila Pengadilan Negeri yang memeriksa gugat konvensi tidak berwenang memeriksa
gugat rekonvensi;
3. dalam perkara yang berhubungan dengan pelaksanaan putusan.

Rv masih menambah dengan satu pengecualian lagi, yaitu dalam hal tuntutan tentang
penguasaan (bezitsactie), sedang tuntutan rekonvenst mengenai tuntutan tentang eigendom
(Pasal 244 No. 3 Rv). Larangan in tidak lain untuk mencegah tindakan menghakimi sendiri
(eigenrichtng dari yang punya (eigenaar).
Seorang pelawan (opposant) terhadap putusan verstek dapat mengajukan gugatan
rekonvensi, karena para pihak pada acara p perlawanan (verzet) menduduki posisi yang sama
seperti semula. Sebaliknya, kalau ada beberapa orang tergugat, seorang tergugat tidak dapat
mengajukan gugatan rekonvensi terhadap kawan tergugatnya.
Gugat rekonvensi harus diajukan bersama-sama dengan jawaban tergugat, baik
tertulis
maupun lisan (Pasal 132b (1) HIR, 158 (1) Rbg). Ini tidak berarti bahwa gugat rekonvensi itu
harus diajukan pada hari sidang pertama. Dalam duplik pun gugat rekonvensi itu masih dapat
diajukan.132 Baru kalau jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat selesai dan telah
dimulai dengan pembuktian, tergugat tidak diperbolehkan lagi mengajukan gugat rekonvensi.
Sedangkan kalau dalam pemeriksaan dalam tingkat pertama tidak diajukan tuntutan
rekonvensi, dalam tingkat banding tidak dibolehkan mengajukan tuntutan rekonvensi (Pasal
132a gugat rekonvensi terhadap kawan tergugatnya." ayat 2 HIR, 157 ayat 2 Rbg).
Kedua gugatan itu diselesaikan sekaligus dan diputus dalam satu putusan (Pasal 132b
(3) HIR, 158 (3) Rbg). Akan tetapi, hakim dapat memisahkan kedua gugatan itu, kalau ia
berpendapat bahwa perkara yang satu dapat diselesaikan lebih dulu.133 Sekalipun terpisah,
kedua perkara itu diperiksa oleh hakim yang sama, yaitu yang memisahkannya.
Pasal 132b (4) HIR (Pasal 158 (4) Rbg) mengatur tentang hal banding apabila kedua
perkara, konvensi dan rekonvensi, diselesaikan bersama- sama dalam satu putusan. Banding
diperbolehkan bila jumlah nilai dari tuntutan konvensi ditambah dengan nilai tuntutan
rekonvensi melebihi jumlah nilai setinggi-tingginya yang boleh diputuskan oleh Pengadilan
Negeri sebagai hakim tertinggi. Menurut Pasal 6 UU. 20/ 1947, batas nilai gugat itu ialah Rp
100,00. Jadi, kalau nilai gugat itu Rp 100,00 atau kurang, tidak dapat dimintakan banding;
dalam hal itu Pengadilan Negeri memutusnya sebagai hakim tertinggi. Kalau nilai gugat itu
ternyata lebih dari Rp 100,00 dapat dimintakan banding. Dalam hal tuntutan rekonvensi,
kalau gugat dalam konvensi itu berjumlah Rp 60,00 sedang nilai gugat rekonvensi itu
misalnya Rp 100,00, maka dapat dimintakan banding, asal saja kedua gugatan itu tidak
dipisahkan. Bila kedua perkara dipisahkan, yang berlaku ialah peraturan biasa tentang
banding (Pasal 132b (5) HIR, 158 (5) Rbg). Batas nilai banding itu sekarang tidak
mempunyai arti lagi.

Jalannya Persidangan
Pada hari sidang yang telah ditetapkan, hakim ketua sidang didampingi oleh panitera
membuka sidang dan menyatakan sidano terbuka untuk umum. Ini berarti bahwa setiap orang
boleh mendengarkan jalannya persidangan, yang secara formal dapat mengadakan kontrol,
dan dengan demikian hakim dapat mempertanggungjawabkan pemeriksaan yang fair serta
tidak memihak kepada masyarakat. Sifat terbukanya sidang untuk umum ini merupakan
syarat mutlak (Pasal 13 ayat (1) dan (3) UU No. 48 tahun 2009).
Terhadap asas terbukanya sidang untuk umum ada pembatasannya, yaitu apabila
undang-undang menentukan lain atau berdasarkan alasan -alasan penting menurut hakim
yang dimuat dalam berita acara atas perintahnya (Pasal 13 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009,
ayat 29 RO). Dalam hal ini, pemeriksaan dilakukan dengan pintu tertutup.
Setelah sidang dibuka dan dinyatakan terbuka untuk umum, kedua belah pihak,
penggugat dan tergugat, dipanggil masuk. Pemeriksaan perkara harus berlangsung dengan
hadirnya kedua belah pihak. Kalau salah satu pihak saja yang hadir, tidak boleh dimulai
dengan pemeriksaan perkara, tetapi sidang harus ditunda. Kedua belah pihak harus didengar
bersama, kedua belah pihak harus diperlakukan sama. Ini merupakan asas utama dalam
hukum acara perdata: aud ef alteram partem. Keterangan satu pihak saja bukanlah merupakan
keterangan, kedua-duanya hatus didengar; Eines Mannes Rede, ist keines Mannes Rede, man
soll sie horen beide.
Selanjutnya, hakim harus mengusahakan mendamaikan kedua belah pihak (Pasal 130
HIR, 154 Rbg). Apabila mereka berhasil didamaikan, dijatuhkanlah putusan perdamaian (acte
van vergelijk), yang menghukum kedua belah pihak untuk memenuhi isi perdamaian yang
telah dicapai, yang pada hakikatnya merupakan persetujuan, sehingga tidak dapat dimintakan
banding (Pasal 130 ayat 3 HIR, 154 ayat 3 Rbg). Jika kedua belah pihak tidak berhasil
didamaikan, hal itu harus dimuat dalam berita arara. Kemudian dimulailah dengan
pembacaan surat gugat (Pasal 131 ayat 1, 155 ayat 1 Rbg).
Lain daripada sistem Rv, menurut sistem HIR hakim adalah aktif. Hakim berwenang
untuk memberi nasihat kepada kedua belah pihak serta menunjukkan upaya hukum dan
keterangan kepada mereka yang boleh dipergunakannya (Pasal 132 HIR, 156 Rbg). Kecuali
itu, hakim wajib mencari kejelasan dari keterangan-keterangan yang bertentangan satu sama
lain untuk menetapkan pokok sengketa.
Atas gugatan penggugat, tergugat diberi kesempatan untuk memberi Awabannya di
muka pengadilan, baik secara lisan maupun tertulis. Apabila proses terjadi secara tertulis,
maka terhadap jawaban tergugat, Penggugat diberi kesempatan untuk memberikan
tanggapannya yang disebut replik. Dan terhadap replik dari penggugat ini tergugat dapat ini
sekurang-kurangnya akan berlangsung sampai tiga kali sidang. Lain memberian
tanggapannya yang disebut duplik. Jawab-menjawab tertulis e kalau jawab-menjawab terjadi
secara lisan, acaranya akan tebii sederhana.
Acara jawab-menjawab tidak lain dimaksudkan untuk mengetahui dan menentukan
pokok sengketa. Tidak setiap perkara perdata itu vederhana dan cepat pemeriksaannya,
sehingga dapat diselesaikan pada hari sidang pertama. Sekirannya suatu perkara tidak dapat
diselesaikan pada hari sidang pertama, pemeriksaan diundur pada hari lain, sedapat mungkin
tidak lama sesudah sidang pertama dan begitu seterusnya (Pasal 159 ayat 1 HIR, 186 ayat 1
Rbg). Pada prinsipnya, pengunduran sidang hanya dibolehkan apabila ada alasan yang sangat
mendesak (volstrekte noodzakelijkekheid: Pasal 159 ayat 4 HIR, 186 ayat 4 Rbg). Penundaan
sidang atas permintaan para pihak dilarang, bahkan secara ex officio pun hakim tidak boleh
mengundurkan sidang kalau tidak sangat perlu.
Di dalam praktik banyak terjadi penundaan sidang atas permintaan dari para pihak
atau
secara ex officio, tanpa adanya alasan yang "sangat mendesak". Penundaan sidang atas
permintaan para pihak sering merupakan salah satu taktik untuk mengulur-ulur waktu. Justru
inilah yang hendak dicegah oleh Pasal 159 ayat 4 HIR (Pasal 186 ayat 4 Rbg). Tetapi sering
juga terjadi bahwa pengunduran sidang tidak dimaksudkan untuk mengulur-ulur waktu. Akan
tetapi, karena pengacaranya sangat laku, terlalu sibuk membela perkara di pelbagai
Pengadilan Negeri, sehingga tidak dapat mewakili kliennya di Pengadilan Negeri tertentu
karena harus menghadap di Pengadilan Negeri lain untuk kepentingan pada hari sidang
pertama, pemeriksaan diundur pada hari lain, sedapat klien lain.
Kewajiban pengacara, sebagai kuasa atau wakil dari klien, ialah melindungi klien: ia
tidak boleh merugikan klien dengan menunda-
nunda perkaranya. Sebaliknya, tugas Pengadilan adalah memberi public service kepada para
justiciabel dengan memperlakukan mereka secara fair dan bukan kepada pengacara, yang
pada hakikatnya bukan merupakan pihak. Bahwa pengacara yang bersangkutan ada sidang di
tempat lain pada hari yang sama bukanlah merupakan "alasan yang sangat mendesak" bagi
pihak materiil yang bersangkutan. Oleh karena itu, hakim harus menolak permohonan
penundaan sidang dengan alasan tersebut. Agar baik pengacara maupun pihak yang
diwakilinya tidak dirugikan, pengacara dapat memberikan pelimpahan kuasa (substitusi)
kepada orang lain. Dengan demikian, kepentingan pihak yang bersangkutan terlindungi dan
pengacara yang bersangkutan dapat memenuhi kewajibannya di tempat lain. Kalau dari
jawab-menjawab antara penggugat dan tergugat telah diketahui apa yang menjadi pokok
sengketa, jawab-menjawab dianggap cukup dan dinyatakan selesai oleh hakim dan
dimulailah dengan cara pembuktian.

Anda mungkin juga menyukai