Anda di halaman 1dari 18

BAB 1 LATAR BELAKANG

Hukum Acara Perdata adalah hukum yang mengatur bagaimana ditegakkannya hukum
perdata materiil. Dalam hal ini hukum acara perdata mengatur bagaimana cara berperkara
dipengadilan, bagaimana cara mengajukan gugatan dan lain sebagainya di dalam hukum
perdata.

Menurut Wirjono Prodjodikoro, Pengertian Hukum Acara Perdata adalah rangkaian


peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak dihadapan pengadilan dan
cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan
berjalannya peraturan hukum perdata. 1

Menurut MH. Tirraamidjaja, Pengertian Hukum Acara Perdataadalah suatu akibat


yang ditimbulkan dari hukum perdata materil.

Sudikno Mertokusumo mengemukakan pengertian hukum acara perdata, Hukum


Acara Perdata ialah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin
ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim atau peraturan hukum yang
menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil. Hukum
acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, cara
memeriksa dan cara memutusnya, serta bagaimana pelaksanaan daripada putusannya.

R. Subekti (Mantan Ketua Mahkamah Agung) berpendapat : Hukum acara itu


mengabdi kepada hukum materiil, setiap perkembangan dalam hukum materiil itu sebaiknya
selalu diikuti dengan penyesuaian hukum acaranya. Oleh karena itu Hukum Perdata diikuti
dengan penyesuaian hukum acara perdata dan Hukum Pidana diikuti dengan penyesuaian
hukum acara pidana.

Soepomo seorang ahli hukum adat mengatakan bahwa dalam peradilan tugas hakim
ialah mempertahankan tata hukum perdata, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum
dalam suatu perkara.

1
Moh. Taufik, Pokok-Pokok Hukum Acara Perdata, Jakarta: Rineka Cipta, 2009, hlm.5.
Dari pengertian hukum acara perdata yang diungkapkan pakar di atas, dapat
disimpulkan bahwa Pengertian Hukum Acara Perdataadalah hukum yang mengatur
bagaimana ditegakkannya hukum perdata materiil, bagaimana orang berhadapan dimuka
pengadilan dan bagaimana pelaksanaan dari putusannya.

Sengketa perdata merupakan perselisihan kepentingan yang terjadi antar subjek


hukum, baik orang pribadi (naturlijk person) maupun badan hukum (recht person), yaitu:
Antar orang pribadi, antara individu dan badan hukum dan antar badan hukum. Namun,
kurangnya pengetahuan masyarakat tentang hukum, dalam hal ini hukum perdata
menyebabkan mereka kesulitan menyelesaikan perkara perdata yang dihadapi. Belum lagi
rumitnya bahasa hukum yang sulit dicerna oleh masyarakat awam, minimnya sosialisasi
pemerintah perihal peraturan perundang-undangan, adanya makelar kasus, dan
penyimpangan yang mungkin dilakukan oleh aparat penegak hukum menjadi kendala.

Seringkali, walaupun pokok perkaranya benar namun apabila cara membuat


gugatannya tidak tepat atau keliru, hal tersebut akan membuat gugatan menjadi kandas di
tengah jalan. Demikian pula dalam kasus tertentu bila tidak dapat memberikan analisa hukum
yang tepat atau keliru sehingga dalam membuat gugatan atau jawabannya tidak sempurna
atau keliru, hal ini tentunya merugikan kepentingan penggugat. Diperlukan pengetahuan
mengenai hukum acara perdata, baik secara teori maupun pengalaman dalam praktik di
pengadilan. Penulis mencoba memberikan suatu pemahaman bagi pembaca untuk lebih
mematangkan wawasan dalam menganalisa serta memahami secara matang permasalahan
hukum yang akan dihadapinya. Untuk menanggulangi hal tersebut, diperlukan pengetahuan
terhadap masalah-masalah dasar yang akan sering dijumpai dalam melakukan praktik
beracara perdata di pengadilan dan cara menghadapi permasalahan tersebut.
BAB 2 TEORI

A. Pengertian Hukum Acara Perdata

Pelaksanaan dari pada hukum materill, khususnya hukum materill perdata, dapatlah
berlangsung secara diam-diam di antara para pihak yang bersangkutan tanpa melalui
pejabat atau instansi resmi. Akan tetapi sering terjadi, bahwa hukum materill perdata itu
dilanggar, sehingga ada pihak yang diragukan dan terjadilah gangguan keseimbangan
kepentingan di dalam masyarakat. Dalam hal ini maka hukum materill perdata yang telah
di langgar itu haruslah dipertahankan atau diteggakkan.

Untuk melaksanakan hukum materill perdata terutama dalam hal ada pelanggaran
atau untuk mempertahankan berlangsungnya hukum materill perdata dalam hal ada
tuntutan hak diperlukan rangkian peraturan-peraturan hukum lain disamping hukum
materill perdata itu sendiri. Peraturan hukum inilah yang disebut hukum formil atau
hukum acara perdata.2

Hukum acara perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya hukum materill


perdata. Ketentuan hukum acara perdata pada umumnya tidak membebani hak dan
kewajiban seperti yang kita jumpai dalam hukum materill perdata, tetapi melaksanakan
dan mempertahankan atau menegakkan kaidah hukum materill perdata yang ada, atau
melindungi hak perseorangan.

Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya
menjamin ditaatinya hukum perdata materill dengan perantaraan hakim. Dengan
perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan
bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materill. Lebih konkrit dapat
dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya
mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada
putusannya.3

B. Sumber Dan Asas Hukum Acara Perdata.


a. Sumber - Sumber Hukum Acara Perdata yaitu,

2
Sudikno mertokusomo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Jogjakarta, 2009, hlm.2
3
ibid
1. HIR (HET Herziene Indonesisch Reglement atau Reglemen Indonesia yang
diperbaharui, S. 1848 nomor 16, S. 1941 nomor 44), yang berlaku hanya untuk
Jawa dan Madura.
2. Rbg (Reglement Buitengwestwn, S. 1927 nomor 227) ditetapkan berdasarkan
Ordonasi 11 Mei 1927 dan berlaku sejak tanggal 1 Juli 1927, khususnya Bab ll
Pasal 104 sampai dengan 323 RBg, dan diterapkan untuk luar Jawa dan
Madura.
3. Rv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) yang lazim disebut dengan
Reglemen Hukum Acara Perdata untuk Golongan Eropa (S. 2847 Nomor 52 dan
S. 1849 Nomor 63)
4. RO ( Reglement op de Rechterlijke Organisatie in Het Beleid der Justitie in
Indonesie) yang biasa disebut dengan reglemen tentang Organisasi Kehakiman
(S. 1847 Nomor 23) juga merupakan salah satu sumber hukum acara perdata
dalam praktik peradilan di Indonesia.
5. Undang – undang yang telah dikodifikasi, ada dua kitab undang- undang yang
telah dikodifikasi yang juga mengatur tentang hukum acara perdata yaitu
KUHPerdata dan KUHD.
6. Undang – undang yang belum di kodifikasi
7. Yurisprudensi, menurut kamus Fockema Andrea adalah pengumpulan yang
sistematis dari putusan Mahkamah Agung dan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dan diikuti oleh Hakim lain dalam
membuat putusan dalam perkara yang sama.
8. Perjanjian Internasional (Teraktat), salah satu sumber hukum acara perdata
adalah perjanjian internasional.
9. Doktrin, adalah pendapat – pendapat para ahli hukum atau ilmu pengetahuan
yang dapat dijadikan salah satu sumber oleh hakim untuk menggali Hukum
Acara Perdata.

b. Asas Hukum Acara Perdata di Indonesia :


1. Asas Hakim bersifat menunggu;
2. Asas Hakim bersifat pasif (Lijdelijkeheid van rechter);
3. Peradilan terbuka untuk umum (Openbaarheid van techtspaak);
4. Asas Hakim mengadili kedua belah pihak (Horen van beide partjen);
5. Asas pemeriksaan dalam dua tingkat (Onderzoek in twee instanties);
6. Asas pengawasan putusan pengadilan melalui kasasi (Toezicht op de
rechtspaark door van cassatie)
7. Mahkamah Agung adalah puncak peradilan di Indonesia;
8. Asas putusan hakim harus disertai alasan;
9. Asas berperkara dikenakan biaya (Niet-kosteloze rechtspraak);
10. Asas tidak ada keharusan mewakilkan dalam beracara;
11. Susunan majelis hakim di persidangan;
12. Prinsip Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
13. Asas proses peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan;
14. Hak menguji tidak di kenal;
15. Asas Obyektivitas;
Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh
perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah
“eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri
yang bersifat sewenang-wenang, tanpa persetujuan dari pihak yang berkepentingan,
sehingga akan menimbulkan

C. Pembuktian Dalam Hukum Acara Perdata Indonesia


1. Pengertian Pembuktian
Hukum pembuktian dalam hukum acara perdata menduduki tempat yang
sangat penting. Kita ketahui bahwa hukum acara atau hukum formal bertujuan
hendak memelihara dan mempertahankan hukum material. Jadi secara formal hukum
pembuktian itu mengatur cara bagaimana mengadakan pembuktian seperti terdapat
di dalam RBg dan HIR. Sedangkan secara materil, hukum pembuktian itu mengatur
dapat tidaknya diterima pembuktian dengan alat-alat bukti tertentu di persidangan
serta kekuatan pembuktian dari alat-alat bukti tersebut.
Dalam jawab menjawab di muka sidang pengadilan, pihak-pihak yang
berperkara dapat mengemukakan peristiwa-peristiwa yang dapat dijadikan dasar
untuk meneguhkan hak perdatanya ataupun untuk membantah hak perdata pihak
lain. Peristiwa-peristiwa tersebut sudah tentu tidak cukup dikemukakan begitu saja,
baik secara tertulis maupun lisan. Akan tetapi, harus diiringi atau disertai bukti-bukti
yang sah menurut hukum agar dapat dipastikan kebenarannya. Dengan kata lain,
peristiwa-peristiwa itu harus disertai pembuktian secara yuridis.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan pembuktian adalah penyajian alat-alat
bukti yang sah menurut hukum kepada hakim yang memeriksa suatu perkara guna
memberikan kepastian tentang kebenaran peristiwa yang dikemukakan.4
Pembuktian diperlukan dalam suatu perkara yang mengadili suatu sengketa di
muka pengadilan ( juridicto contentiosa ) maupun dalam perkara-perkara permohonan
yang menghasilkan suatu penetapan ( juridicto voluntair ). Dalam suatu proses perdata,
salah satu tugas hakim adalah untuk menyelidiki apakah suatu hubungan hukum yang
menjadi dasar gugatan benar-benar ada atau tidak. Adanya hubungan hukum inilah yang
harus terbukti apabila penggugat menginginkan kemenangan dalam suatu perkara.
Apabila penggugat tidak berhasil untuk membuktikan dalil-dalil yang menjadi dasar
gugatannya, maka gugatannya tersebut akan ditolak, namun apabila sebaliknya maka
gugatannya tersebut akan dikabulkan.5
Pasal 283 RBg/163 HIR menyatakan :
“ Barangsiapa mengatakan mempunyai suatu hak atau mengemukakan suatu
perbuatan untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain,
haruslah membuktikan adanya perbuatan itu.”
Tidak semua dalil yang menjadi dasar gugatan harus dibuktikan kebenarannya,
sebab dalil-dalil yang tidak disangkal, apalagi diakui sepenuhnya oleh pihak lawan tidak
perlu dibuktikan lagi. Dalam hal pembuktian tidak selalu pihak penggugat saja yang harus
membuktikan dalilnya. Hakim yang memeriksa perkara tersebut yang akan menentukan
siapa diantara pihak-pihak yang berperkara yang diwajibkan memberikan bukti, apakah
pihak penggugat atau pihak tergugat. Dengan perkataan lain hakim sendiri yang
menentukan pihak yang mana akan memikul beban pembuktian. Hakim berwenang
membebankan kepada para pihak untuk mengajukan suatu pembuktian dengan cara yang
seadil-adilnya.6

4
H. Riduan Syahrani, Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hlm. 83
5
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Alumni,
Bandung, 1983, hlm. 53.
6
Ibid., hlm. 53.
Dalam melakukan pembuktian seperti yang telah disebutkan di atas, para pihak
yang berperkara dan hakim yang memimpin pemeriksaan perkara di persidangan harus
mengindahkan ketentuan-ketentuan dalam hukum pembuktian yang mengatur tentang
cara pembuktian, beban pembuktian, macam-macam alat bukti serta kekuatan alat-alat
bukti tersebut, dan sebagainya. Hukum pembuktian ini termuat dalam HIR ( Herziene
Indonesische Reglement ) yang berlaku di wilayah Jawa dan Madura, Pasal 162 sampai
dengan Pasal 177; RBg ( Rechtsreglement voor de Buitengewesten ) berlaku diluar wilayah
Jawa dan Madura, Pasal 282 sampai dengan Pasal 314; Stb. 1867 No. 29 tentang kekuatan
pembuktian akta di bawah tangan; dan BW ( Burgerlijk Wetboek ) atau KUHPerdata Buku
IV Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1945.

2. Prinsip Hukum Pembuktian


Prinsip-prinsip dalam hukum pembuktian adalah landasan penerapan
pembuktian. Semua pihak, termasuk hakim harus berpegang pada patokan yang
digariskan prinsip dimaksud.
1. Pembuktian Mencari dan Mewujudkan Kebenaran Formil
Sistem pembuktian yang dianut hukum acara perdata, tidak bersifat stelsel
negatif menurut undang-undang ( negatief wettelijk stelsel ), seperti dalam
proses pemeriksaan pidana yang menuntut pencarian kebenaran. Kebenaran
yang dicari dan diwujudkan dalam proses peradilan pidana, selain berdasarkan
alat bukti yang sah dan mencapai batas minimal pembuktian, kebenaran itu
harus diyakini hakim. Prinsip inilah yang disebut beyond reasonable doubt.
Kebenaran yang diwujudkan benar-benar berdasarkan bukti-bukti yang tidak
meragukan, sehingga kebenaran itu dianggap bernilai sebagai kebenaran
hakiki.7 Sistem Pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP.
Namun, tidak demikian dalam proses peradilan perdata, kebenaran yang dicari
dan diwujudkan hakim cukup kebenaran formil ( formeel waarheid ). Pada
dasarnya tidak dilarang pengadilan perdata mencari dan menemukan
kebenaran materiil. Akan tetapi bila kebenaran materiil tidak ditemukan,
hakim dibenarkan hukum mengambil putusan berdasarkan kebenaran formil.8

7
R. Subekti, Hukum Pembuktian, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 2007, hlm. 9.
8
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2005, hlm. 498
Dalam rangka mencari kebenaran formil, perlu diperhatikan beberapa prinsip
sebagai pegangan bagi hakim maupun bagi para pihak yang berperkara.
a. Tugas dan Peran Hakim Bersifat Pasif
Hakim hanya terbatas menerima dan memeriksa sepanjang mengenai hal-hal
yang diajukan penggugat dan tergugat. Oleh karena itu, fungsi dan peran
hakim dalam proses perkara perdata hanya terbatas pada mencari dan
menemukan kebenaran formil, dimana kebenaran tersebut diwujudkan sesuai
dengan dasar alasan dan fakta-fakta yang diajukan oleh para pihak selama
proses persidangan berlangsung. Sehubungan dengan sifat pasif tersebut,
apabila hakim yakin bahwa apa yang digugat dan diminta penggugat adalah
benar, tetapi penggugat tidak mampu mengajukan bukti tentang kebenaran
yang diyakininya, maka hakim harus menyingkirkan keyakinan itu dengan
menolak kebenaran dalil gugatan, karena tidak didukung dengan bukti dalam
persidangan.
Makna pasif bukan hanya sekedar menerima dan memeriksa apa-apa yang
diajukan para pihak, tetapi tetap berperan dan berwenang menilai kebenaran
fakta yang diajukan ke persidangan, dengan ketentuan :9
1) Hakim tidak dibenarkan mengambil prakarsa aktif meminta para pihak
mengajukan atau menambah pembuktian yang diperlukan. Semuanya
itu menjadi hak dan kewajiban para pihak. Cukup atau tidak alat bukti
yang diajukan terserah sepenuhnya kepada kehendak para pihak.
Hakim tidak dibenarkan membantu pihak manapun untuk melakukan
sesuatu, kecuali sepanjang hal yang ditentukan undang-undang.
Misalnya berdasarkan Pasal 165 RBg/139 HIR, salah satu pihak dapat
meminta bantuan kepada hakim untuk memanggil dan menghadirkan
seorang saksi melalui pejabat yang berwenang agar saksi tersebut
menghadap pada hari sidang yang telah ditentukan, apabila saksi yang
bersangkutan relevan akan tetapi pihak tersebut tidak dapat
menghadirkan sendiri saksi tersebut secara sukarela.

9
Ibid., hlm. 500
2) Menerima setiap pengakuan dan pengingkaran yang diajukan para
pihak di persidangan, untuk selanjutnya dinilai kebenarannya oleh
hakim.
3) Pemeriksaan dan putusan hakim, terbatas pada tuntutan yang diajukan
penggugat dalam gugatan. Hakim tidak boleh melanggar asas ultra
vires atau ultra petita partium yang digariskan Pasal 189 RBg/178 HIR
ayat (3) yang menyatakan hakim dilarang menjatuhkan putusan atas
hal-hal yang tidak diminta atau mengabulkan lebih daripada yang
digugat. Misalnya yang dituntut penggugat Rp. 100 juta, tetapi di
persidangan terbukti kerugian yang dialami Rp. 200 juta, maka yang
boleh dikabulkan hanya terbatas Rp. 100 juta sesuai dengan tuntutan
yang disebut dalam petitum gugatan.
b. Putusan Berdasarkan Pembuktian Fakta

Hakim tidak dibenarkan mengambil putusan tanpa pembuktian. Kunci ditolak


atau dikabulkannya gugatan harus berdasarkan pembuktian yang bersumber dari
fakta-fakta yang diajukan para pihak. Pembuktian hanya dapat ditegakkan
berdasarkan dukungan fakta-fakta. Pembuktian tidak dapat ditegakkan tanpa ada
fakta-fakta yang mendukungnya.

1) Fakta yang dinilai dan diperhitungkan terbatas yang diajukan dalam


persidangan.
Para pihak diberi hak dan kesempatan menyampaikan bahan atau alat bukti,
kemudian bahan atau alat bukti tersebut diserahkan kepada hakim. Bahan
atau alat bukti yang dinilai membuktikan kebenaran yang didalilkan pihak
manapun hanya fakta langsung dengan perkara yang disengketakan. Apabila
bahan atau alat bukti yang disampaikan di persidangan tidak mampu
membenarkan fakta yang berkaitan dengan perkara yang disengketakan maka
tidak bernilai sebagai alat bukti.10
2) Fakta yang terungkap di luar persidangan.

10
Ibid., hlm. 501
3) Di atas telah dijelaskan bahwa hanya fakta-fakta yang diajukan di persidangan
yang dapat dinilai dan diperhitungkan untuk menentukan kebenaran dalam
mengambil putusan. Artinya, fakta yang dapat dinilai dan diperhitungkan
hanya yang disampaikan oleh para pihak kepada hakim dalam persidangan.
Hakim tidak dibenarkan menilai dan memperhitungkan fakta-fakta yang tidak
diajukan pihak yang berperkara. Misalnya, fakta yang ditemukan hakim dari
surat kabar atau majalah adalah fakta yang diperoleh hakim dari sumber luar,
bukan dalam persidangan maka tidak dapat dijadikan fakta untuk
membuktikan kebenaran yang didalilkan oleh salah satu pihak. Walaupun
sedemikian banyak fakta yang diperoleh dari berbagai sumber, selama fakta
tersebut bukan diajukan dan diperoleh dalam persidangan maka fakta
tersebut tidak dapat dinilai dalam mengambil putusan. Meskipun banyak
orang yang memberitahukan dan menunjukkan fakta kepada hakim tentang
kebenaran perkara yang disengketakan, fakta tersebut harus ditolak dan
disingkirkan dalam mencari kebenaran atas perkara dimaksud. Fakta yang
demikian disebut out of court, oleh karena itu tidak dapat dijadikan dasar
mencari dan menemukan kebenaran.11
4) Hanya fakta berdasar kenyataan yang bernilai pembuktian.

Selain fakta harus diajukan dan ditemukan dalam proses persidangan, fakta
yang bernilai sebagai pembuktian, hanya terbatas pada fakta yang konkret dan
relevan yakni jelas dan nyata membuktikan suatu keadaan atau peristiwa yang
berkaitan langsung dengan perkara yang disengketakan. Dengan kata lain, alat
bukti yang dapat diajukan hanyalah yang mengandung fakta-fakta konkret dan
relevan atau bersifat prima facie, yaitu membuktikan suatu keadaan atau
peristiwa yang langsung berkaitan erat dengan perkara yang sedang diperiksa.
Sedangkan fakta yang abstrak dalam hukum pembuktian dikategorikan sebagai hal
yang semu, oleh karena itu tidak bernilai sebagai alat bukti untuk membuktikan
sesuatu kebenaran.

11
Ibid., hlm. 501
BAB 3 PEMBAHASAN

I. INFORMASI KASUS
Nomor perkara : 485/PDT.G/2017/PN.BDG
Jenis Perkara : Perdata Gugatan
Jenis Lembaga : Pengadilan Negeri

Majelis Hakim :
1. Rukman Hadi, SH MH.
2. H. Fuad Muhammady, SH MH
3. Mohammad Basir.,S.H.

Para Pihak :
A. Penggugat
Nama Penggugat :
Penggugat I : Yuniati Suparman
Alamat : Jl. Rancamanyar II No. 17 RT.022-RW.008 Kel. Gumuruh
Kec. Batununggal Kota Bandung
Penggugat II : Jeane Natalia
Alamat : Jl. Dursasana No. 03 RT.11-RW. 005 Kel.Pamoyanan
Kec. Cicendo Kota Bandung
Bertindak untuk dan atas nama anak kandung yang belum dewasa bernama
ELEISHA ROXANE PROKHORUS, berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri
Bandung No. 254/PDT.P/2016/PN. BDG

Kuasa Hukum Penggugat :


1. HOTMA AGUS SIHOMBING S.H, M.H.
2. DENI PERMANA S.H.,
Keduanya adalah Para Advokat pada Kantor Hukum SALIDE, SIHOMBING &
PARTNERS Law Firm, yang beralamat di Jl. Jend. Ahmad Yani No. 262 Komp.
Stadion PERSIB Sidolig Kota Bandung
B. Tergugat
Nama Tergugat I : Lydia Lanny Tanuwidjaja
Alamat : Gg. Sukarukun No. 3 RT. 012-RW. 001 Kel. Pamoyanan,
Kec. Cicendo Kota Bandung
Nama Tergugat II : Stefanus Samuel
Alamat : Jl. Dursasana No. 3 RT.11-RW. 005 Kel. Pamoyanan Kec.
Cicendo Kota Bandung
Nama Tergugat III : Rosy Trifosa Samuel
Alamat : Jl. Dursasana No. 3 RT.11-RW. 005 Kel. Pamoyanan Kec.
Cicendo Kota Bandung
Nama Tergugat IV : Gedi Gidion Samuel /Gedi Gideon Samuel
Alamat : Jl. Dursasana No. 3 RT.11-RW. 005 Kel. Pamoyanan Kec.
Cicendo Kota Bandung
Turut Tergugat : Ria Susany, S.H
Alamat : Jl. Bima No. 84 , Kota Bandung
II. Kasus Posisi
Penggugat dengan surat gugatannya tanggal 4 Juli 2017, yang diterima dan
didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Bandung pada tanggal 6 Juli 2017, dalam
Register Nomor: 291/Pdt.G/2017/PN.Bdg, telah mengajukan gugatan sebagai berikut:
1. Pada tanggal 21 Januari 2013 telah meninggal dunia seorang laki-laki yang bernama
SAMUEL TANUWIDJAJA, sebagalmana Kutipan Akta Kematian Nomor
170/UMUM/2013, tertanggal 06 Februari 2013 yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bandung;
2. Semasa hidupnya almarhum SAMUEL TANUWIDJAJA, pernah
menikah sebanyak 2 (dua) kali;
3. Bahwa istri pertama almarhum Samuel Tanuwidjaja adalah bernama BETY ELIZABET,
putus karena perceraian, sebagalmana Putusan Pengadilan Negeri Bandung Kls 1 A
Khusus Nomor: 201/PDT/G/1996/PN.BDG,tertanggal 29 Agustus 1996 Jo. Kutipan
Akta Perceraian Nomor 62/1996, tertanggal 22 Oktober 1996 yang dikeluarkan oleh
Kantor Catatan Sipil Kotamadya Daerah Tingkat II Bandung;
4. Bahwa dari perkawinan antara almarhum Samuel Tanuwidjaja dengan Bety
Elizabet telah dikaruniai 4 (empat) orang anak, yang masing-masing bernama:
1. STEFANUS SAMUEL (Tergugat II)
2. ROSY TRIFOSA SAMUEL (Tergugat III)
3. GEDI GIDION SAMUEL /GEDI GIDEON SAMUEL (Tergugat IV)
4. PROKHORUS SAMUEL
Dari ke empat anak tersebut diatas, pada tanggal 06 April 2015 telah meninggal
dunia yang bernama PROKHORUS SAMUEL, sebagalmana Kutipan Akta Kematian
No. 309/UMUM/2015, tertanggal 13 April 2015 yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bandung dan meninggalkan 1 (satu)
orang istri yang bernama JEANE NATALIA (Penggugat II) dan 1 (satu) anak
perempuan yang bernama ELEISHA ROXANE PROKHORUS (umur 7 tahun), lahir
pada tanggal 10 Agustus 2010, sebagalmana Kutipan Akta Kelahiran No.
18702/UMUM.2010, tertanggal 30 September 2010 yang dikeluarkan oleh Kepala
Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bandung. Dan untuk melakukan
tindakan hukum diwakili oleh Jeane Natalia (Penggugat II) selaku ibu kandung,
sebagalmana Penetapan Pengadilan Negeri Bandung No. 254/PDT.P/2016/PN.
BDG, tertanggal 22 Juni 2016
5. Istri kedua almarhum Samuel Tanuwidjaja adalah yang bernama YUNIATI
SUPARMAN (Penggugat I), yang sebelumnya melakukan perkawinan di Bandung
secara agama/Gereja pada tanggal 15 Desember 2002, sebagalmana Surat Nikah
No. 109/BDG/2002, tertamggal 15 Desember 2002 yang dikeluarkan oleh Gereja
Kasih Kristus Indonesia dan kemudian dicatatkan di Dinas Kependudukan dan
Pencatatan Sipil Kota Bandung pada tanggal 5 Maret 2007, sebagalmana Kutipan
Akta Perkawinan No. 130/2007
6. Dari perkawinan antara Penggugat I dengan almarhum Samuel Tanuwidjaja
dikaruniai seorang anak Perempuan yang bernama VANESSA SAMUEL, (umur 13
tahun), lahir pada tanggal 19 Februari 2004, sebagaimana Kutipan Akta Kelahiran
No. 331/2004, tertanggal 08 Maret 2004 yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bandung, dan untuk melakukan tindakan
hukum diwakili oleh Yuniati Suparman (Penggugat I) selaku ibu kandung,
sebagaimana Penetapan Pengadilan Negeri Bandung No. 253/PDT.P/2016/PN.
BDG, tertanggal 22 Juni 2016
7. Almarhum Samuel Tanuwidjaja disamping meninggalkan istri, anak dan cucu
tersebut di atas, juga meninggalkan harta/barang warisan yang berupa: sebidang
tanah beserta bangunan Sertifikat Hak Milik No.645/Kelurahan Pamoyanan, luas
125 m2, surat ukur No. 00152/2005, tanggal 14 Desember 2005, tercatat atas nama
E. Elisabeth Tanuwidjaja dan Samuel Tanuwidjaja, setempat dikenal sebagai Jl.
Dursasana No. 3 RT.11-RW. 005 Kel. Pamoyanan Kec. Cicendo Kota Bandug, dengan
batas-batas sebagai berikut:
1. Sebelah Utara: Jl. Dursasana
2. Sebelah Timur: Riool
3. Sebelah Barat: sebagian Hak Milik 198
4. Sebelah Selatan: sebagian Hak Milik 198
8. Bahwa tanah beserta bangunan tersebut diatas adalah atas dasar Jual beli antara
Halim Senjaya/Lie Tjeon Moy (penjual) dengan E. Elisabeth Tanuwidjaja dan Samuel
Tanuwidjaja (Pembeli), sebagalmana Akta Jual Beli No. 115/2004, tertanggal 15
Oktober 2004, yang dibuat dihadapan PPAT/Notaris Ria Susany, SH. yang beralamat
kantor di Jl. Bima No. 84 Kota Bandung (Turut Tergugat); Bahwa SHM No.
645/Kelurahan Pamoyanan adalah hasil pemisahan/splitsing dari Sertifikat Hak
Milik No. 198/Cicendo a.n. Halim Senjaya/Lie Tjeon Moy;
9. Bahwa berdasarkan Surat Kuasa Menjual tertanggal 13 April 2007, bagian milik E.
Elisabeth atas tanah beserta bangunan a quo di jual kepada Lydia Lanny
Tanuwidjaja (Tergugat I) sebagalmana Perjanjian Pengikatan Jual beli, tertanggal 13
April 2007, oleh karenanya tanah beserta bangunan a quo adalah milik Tergugat I
dengan almarhun Samuel Tanuwidjaja;
10. Bahwa Para Penggugat dan Para Tergugat II s/d IV adalah merupakan ahli waris
almarhum Samuel Tanuwidjaja yang mendapatkan warisan harta peninggalan
almarhum Samuel Tanuwidjaja berupa ½ (satu per dua) bagian dari tanah beserta
bangunan a quo (SHM No. 645/Kelurahan Pamoyanan),dengan pembagian waris
sebagalmana Keterangan Hak Waris No.57/KHW/XI/2015, tertanggal 03 November
2015, yang dibuat dihadapan Notaris Ria Susanty, SH. (Turut Tergugat);
11. Bahwa berdasarkan Pasal 35 ayat (1) Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan bahwa dari harta peninggalan almarhum Samuel Tanuwidjaja,
Penggugat I mendapatkan ½ (satu per dua) bagian dari harta bersama peninggalan
almarhum Samuel Tanuwidjaja sebelum adanya pembagian waris
12. Bahwa semenjak almarhum Samuel Tanuwidjaja meninggal dunia, tanah beserta
bangunan dan surat-surat asli atas tanah a quo dikuasai oleh anak dari isteri
pertama almarhum Samuel Tanuwidjaja yaitu Tergugat II s/d IV, karena dahulu
serumah dengan almarhum Samuel Tanuwidjaja;
13. Bahwa Para Penggugat sudah berulang kali meminta secara baik-baik kepada Para
Tergugat agar tanah besera bangunan a quo untuk dijual dan dibagi waris, akan
tetapi Para Tergugat tidak mau membagi dan atau menjual atas harta peninggalan
almarhum Samuel Tanuwidjaja tersebut;
14. Bahwa oleh karena persoalan ini tidak dapat diselesaikan secara damai, maka
dengan ini Para Penggugat menuntut hak-haknya terhadap harta peninggalan
almarhum Samuel Tanuwidjaja untuk di bagikan sesuai hukum yang berlaku
15. Bahwa para penggugat merasa khawatir kalau tanah sengketa dipindah tangankan
kepada pihak lain, maka para penggugat mohon kepada Bapak ketua Pengadilan
Negeri Bandung, kiranya berkenan untuk meletakkan sita jaminan terlebih dahulu
(Conservatoir Beslaag) terhadap tanah beserta bangunan a quo
III. Analisis Kasus

Fakta Hukum :

1. Kewenangan Para Penggugat


Penggugat I pada pokoknya menyatakan bertindak untuk diri sendiri dan atau
untuk dan atas nama anak kandung yang belum dewasa bernama VANESSA
SAMUEL berdasarkan Penetapan Pengadilan Negeri Bandung No.
253/Pdt.P/2016/PN.Bdg, tertanggal 22 Juni 2016 dan Penggugat II pada pokoknya
menyatakan bertindak untuk dan atas nama anak kandung yang belum dewasa
bernama ELEISHA ROXANE PROKHORUS berdasarkan Penetapan Pengadilan
Negeri Bandung No. 254/Pdt.P/2016 /PN, Bdg, tertanggal 22 Juni 2016.Hal
tersebut tidak sesuai dengan ketentuan pasal 123 HIR ayat (l) yang menyatakan:
Bilamana dikehendaki, kedua belah pihak dapat dibantu atau diwakili oleh kuasa,
yang dikuasakannya untuk melakukan itu dengan surat kuasa khusus, kecuali
kalau yang memberi kuasa itu sendiri hadir. Penggugat dapat juga memberi kuasa
itu dalam surat permintaan yang ditanda tanganinya dan dimasukkan menurut
ayat pertama pasal 118 atau jika gugatan dilakukan dengan lisan menurut pasal
120, maka dalam hal terakhir ini, yang demikian itu harus disebutkan dalam
catatan yang dibuat surat gugat ini.
Dan surat kuasa harus memenuhi unsur-unsur sebagaimana Surat Edaran
Mahkamah Agung No. 6 tahun 1994 tanggal 14 Oktober 1994. Berdasarkan hal
tersebut di atas mengakibatkan kuasa kepada Kantor Hukum SALIDE, SIHOMBING
& PARTNERS Law Firm menjadi tidak sah, sehingga gugatan Para Penggugat
dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Onvankelijke Verklaard).

2. Gugatan Kurang Pihak (plurium litis consortium)


Terhadap perbedaan pandangan atas eksepsi dari para pihak di atas, Majelis
menyimpulkan bahwa masalah berkaitan dengan adanya pihak yang digugat tidak
lengkap (plurium litis consortium), sudah menyangkut materi pokok perkara.
Artinya tidak tepat dipertimbangkan dalam bagian eksepsi, karena sejauh mana
Penggugat menarik pihak dalam gugatan a quo maka akan diketahui setelah
memeriksa pokok perkara. Oleh karena itu eksepsi Tergugat I-IV dan Penggugat
Intervensi dinyatakan ditolak.

3. Gugatan Tidak Jelas dan Kabur (obscuur libel)


Tergugat I sampai dengan IV dalam eksepsinya mendalilkan pada pokoknya
gugatan Para Penggugat tidak menyebutkan gugatan Para Penggugat ini apakah
termasuk kategori Perbuatan Melawan Hukum (onrechmatigedaad) ataukah
Perbuatan Ingkar Janji (wanprestasi), karena meminta adanya penghukuman
kepada Para Tergugat, artinya harus disebutkan terlebih dahulu apa yang menjadi
dasar penghukuman a quo,sehingga gugatan Para Penggugat dinyatakan tidak
dapat diterima (Niet Onvankelijke Verklaard). Majelis menyimpulkan bahwa
masalah berkaitan dengan kedudukan objek sengketa sudah menyangkut materi
pokok perkara, sehingga tidak tepat dipertimbangkan dalam bagian eksepsi. Oleh
karena itu eksepsi Penggugat Intervensi tersebut haruslah dinyatakan ditolak.

Anda mungkin juga menyukai