B. Asas Legalitas
Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana
selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit
is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). Makna
Asas Legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP dirumuskan di dalam
bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat
diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada pidana
tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Asas ini mengandung asas perlindungan
yang secara historis merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa pada
zaman Ancien Regime serta jawaban atas kebutuhan fungsional terhadap kepastian
hukum.
Menurut pendapat penulis yang didasarkan atas perbedaan pendapat para ahli
tentang Asas Legalitas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua kubu yang berbeda
dimana kubu pertama berpendapat bahwa kepentingan Negara dalam rangka
memelihara tata tertib dan inilah yang harus ditegakkan sedangkan pendapat kubu yang
kedua adalah mengenai segi perlindungan hukum bagi masyarakat.
F. Yurisprudensi
Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, ternyata bahwa Undang-
undang tidak cukup memuaskan bagi para penegak hukum dan pencari keadilan.
Terutama bagi hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, tidak dapat menemukan
keadilan hanya dalam undang-undang, tetapi ia juga tidak dapat untuk tidak
menerapkan undang-undang Karena itu, dalam putusan-putusan hakim sering
ditemukan kaidah-kaidah baru sebagai hasil menyampingkan suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan. Putusan-putusan demikian yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, apalagi telah diikuti oleh putusan-putusan berikutnya; disebut
yurisprudensi.
Pertimbangan hakim yang menjadi dasar suatu putusan pengadilan, apalagi yang
telah dikukuhkan sebagai yurisprudensi tetap, adalah jawaban terhadap ketidak
berhasilan pembuat undang-undang memberikan kejelasan maksudnya dalam suatu
naskah undang-undang, apalagi apabila dikaitkan dengan tuntutan keadilan yang
seharusnya tercermin dari naskah undang-undang. Ada dua alasan mengapa
yurisprudensi memegang peranan yang sangat besar di Indonesia. Pertama,
yurisprudensi erat kaitannya dengan pemba- haruan hukum dan pembinaan hukum,
seperti dikatakan Mochtar Kusumaatmadja: Walaupun perundang-undangan merupakan
teknik utama untuk melaksanakan pembaharuan hukum, pemba- haruan kaidah-kaidah
dan azas serta penemuan arah atau bahan bagi pembaharuan kaidah demikian juga
menggu- nakan sumber-sumber hukum lain yaitu keputusan badan-badan peradilan
(yurisprudensi), sedangkarn tulisan sarjana hukum yang terkemuka disebut pula sebagai
sumber tambahan. Kedua, Supomo menyatakan: Di Indonesia, hakim tidak terikat oleh
putusan-putusan hakim yang telah ada, akan tetapi, dalam praktek pengadilan, sebagai
dalam praktek Pengadilan negara-negara Eropa, hakim bawahan sangat memperhatikan
putusan-putusan hakim atasan dengan adanya kemungkinan permohonan banding dan
kasasi. Berhubungan dengan itu, yurisprudensi dari hakim atasan merupakan sumber
penting untuk menemukan hukum objektif jang harus diselenggarakan oleh para hakim
Betapapun ada kebebasan bagi hakim pidana untuk melakukan interpretasi,
menurut pendapat penulis, harus dicapai melalui interpretasi dari rumusan delik
dengarn mengingat pada tujuan norma, yakni kepentingan konkret atau idil yang hendak
dilindungi. Kenyataan di negara kita, seperti akan dibuktikan nant, hakim-hakim pidana
kita sangat mempedomani yurisprudensi yang ada, sering bahkan tanpa mengkaj
terlebih dahulu dengan kasus konkret yang dihadapinya dengan kaidah yang akan
menjadi acuannya. Akan tetapi, dipihak lain harus diakui bahwa para hakim kita
dihadapkan pada situasi untuk mengisi kekosongan hukum sebagai akibat ketiadaan
peraturan hukum
G. De Schutznorm Teorie
Hakim tidak mungkin untuk menghindarkan diri dari kewajiban untuk melakukan
penafsiran, sebagai akibat tidak jelasnya kata-kata undang-undang. Untuk
menghindarkan penafsiran ekstensif dalam memberi arti sifat melawan hukum yang
dapat menimbulkan goyahnya asas kepastian hukum, maka akan diketengahkan de
schutznorm theorie, suatu teori yang belum mendapatkan banyak perhatian di
Indonesia.
Menurut Teori schutznorm, meskipun perbuatan melawan hukum dari seseorang
menimbulkan kerugian pada orang lain, orang yang melakukan perbuatan melawan
hukum itu hanya diwajibkan untuk mngganti kerugian apabila norma yang dilanggar
khusus ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum orang lain yang terlanggar.
Teori ini berasal dari Jerman yang dapat dilihat dari Pasal 823 BGB ayat 2 yang
berbunyi ; “Kewajiban-kewajiban yang sama yakni ganti rugi kena kepada mereka, yang
perbuatannya bertentangan dengan hukum yang bertujuan melindungi kepentingan
hukum orang lain”. Menurut pendukung teori ini, disamping adanya hubungan causal
antara perbuatan dan kerugian, juga harus ada hubungan causal lain yaitu antara sifat
melawan hukum dari perbuatan dan kerugian.
Teori ini bertujuan untuk memperbaiki persyaratan-persyaratan perbuatan
melawan hukum menurut kriteria arrest tahun 1919 yang terkenal itu sebab tanpa
koreksi orang akan takut terhadap tanggung jawab yang terlalu luas terhadap keugian
yang dibebankan kepada pihak ketiga.
Menurut Rutten, teori ini berangkat dari relativitas sifat melawan hukum, dalam
arti bahwa perbuatan A melanggar hak B, tetapi tanpa melanggar hak C . atau tegasnya
perbuatan A hanyalah melawan hukum dilihat dari kepentingan B saja. Ada
kemungkinan bahwa C menderita kerugian akibat perbuatan A tadi, karena itu C dapat
menuntut kerugian itu terhadap A walaupun perbuatan A tersebut hanya bersifat
melawan hukum terhadap B dan tidak terhadap C.
Menurut Teori Schutznorm, yang hendak dilindungi yaitu kepentingan hukum dan
norma hukum. Schutznorm tidak membatasi diri pada hukum tertulis (undang-undang)
tetapi juga terhadap norma-norma hukum yang tidak tertulis.
Pengembangan atau modifikasi teori Schutznorm dikemukakan oleh Demogue-
Besier, yang menitik beratkan bahwa hubungan kausal tidak saja antara perbuatan
melawan hukum yang materiel dengan kerugian yang ditimbulkannya, tetapi juga antara
unsur khusus dari perbuatan melawan hukum dengan kerugian itu. Jadi harus ada
perbuatan melawan hukum sebagai penyebab timbulnya suatu kerugian yang harus
dilihat secara keseluruhan. Kemudian, dengan mengasingkan unsur-unsur sifat melawan
hukum, diteliti apakah kerugian itu ditimbulkan oleh perbuatan itu kalau unsur itu
dihilangkan. Akan tetapi, kalau kerugian itu tanpa unsur melawan hukum dari perbuatan
hukum yang dimaksudkan, pembuat tetap bertanggungjawab.
Hal inilah rupanya yang menjadi keberatan Rutten yang menolak teori
Schutznorm karena konsekuensi dari dianutnya ajaran Demogue-Bessier, akan
menghasilkan kesimpulan behwa seorang pembuat yang melakukan perbuatan melawan
hukum akan tetap tidak pernah dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Dalam rangka teori schutznorm ini, timbul pertanyaan ; kepentingan hukum
apakah yang hendak dilindungi oleh hukum pidana?
Menurut Machielse dalam suatu catatan tentang kepentingan hukum yang
mengulang kembali pada sejarah pengertian kepentingan hukum menytakan : “Bahwa
dinamika dalam perkembangan pemikiran yang dinamis tentang kepntingan hukum
berhubungan erat dengan penilaian yang berubah-ubah yang dipertemukan oleh kedua
fungsi kepentingan hukum itu dalamtahun-tahun sebelumnya, yakni fungsi legitimasi
dan fungsi interpretatif. Fungsi yang melegitimasi berisikan bahwa pemerintah baru
boleh bertindak terhadap kebebasan warga jika dengan tindakan itu akan melindungi
kepentingan hukumnya. Fungsi interpretatif berisi bahwa dalam kepentingan hukum
terdapat faktor penting dengan penetapannya dalam undang-undang.
Menurut Birnbaum bahwa kepentingan hukum bukan suatu hak subjektif, tetapi
objek hukum, kepentingan hukum, yang dilanggar oleh tindak pidana dan objek tindak
pidana tidak terletak pada sesuatu yang ditemukan secara rasional, melainkan pada
sesuatu yang diciptakan oleh penilaian.
Menurut Von List kepentingan hukum merupakan pengertian yang ada dalam
perbatasan antara “formal logische Rechtwissenschaft en de Gesellschaftslehre” (formal
logis dari ilmu hukum dan ilmu kemasyarakatan). Oleh karena itu, kepentingan hukum
adalah kepentingan hidup, ini berati bahwa suatu kepentingan tidak dibuat oleh hukum
tetapi oleh kehidupan itu sendiri.
Tentang letak kepentingan hukum yang akan dilindungi, harus jelas terlihat dalam
perumusan undang-undang. Bagi undang-undang pidana menimbulkan akibat yang
sangat penting, artinya karena akan menimbulkan persoalan bagi penentuan sifat
melawan hukumnya.
Persoalan ini akan menimbulakan dua model perumusan delik yang
menyebabkan implikasi dari akibat-akibatnya, yaitu :
Model pertama, apabila kepentingan hukum yang dilindungi itu harus secara tegas
dicantumkan dalam perumusan undang-undang. Alasan pembenarnya apabila terjadi
pelanggaran terhadap kepentingan hukum ini, juga harus secara jelas dimuat dalam
ketentuan undang-undang yang bersangkutan.
Model kedua, apabila kepentingan hukum yang hendak dilindungi ini hanya secara
eksplisit saja, maka hal tersebut setidak-tidaknya dpat dimuat dalam bagian umum
(algemene deel) dari undang-undang tersebut.
Menurut Heijder dan Schaffmeister, suatu perbuatan yang tidak dilindungi oleh
norma kepentingan hukum yang dilanggar berada di luar perumusan delik, akan berarti
juga tidak memenuhi sifat melawan hukum segi hukum pidananya. Yang menurut
catatan Rammelink merupakan jalan keluar penerapan teori Schutznorm dalam hukum
pidana.
Di Indonesia teori Schutznorm belum mendapat perhatian. Hal ini disebabkan
karena perumusan kata-kata dalam undang-undang terlalu bersifat umum dengan
perumusan kata-kata yang dapat ditafsirkan secara sangat luas dan ganda. Selain itu
mungkin juga disebabkan karena hakim tidak menguasai perundang-undangan, karena
sistem perundang-undangan kita yang masih agak kacau dan terkesan tumpang tindih.
Sisa-sisa undang-undang dari Zaman Hindia Belanda yang masih ditulis dalam teks
bahasa aslinya atau pun karena sistem pendokumentasiannya.
H. Terminologi
Kata melawan hukum adalah kata yang sudah baku digunakan untuk
menterjemahkan kata dari bahasa Belanda onrechtmatige atau wederrechtelijk, atau
dari bahasa Inggris unlawful. Dengan demikian, onrechmatige atau wederrechtelijk atau
unlawfulness dapat diterjemahkan sifat melawan hukum atau bersifat melawan hukum.
Terminologi wederrechtelijk lebih sering digunakan dalam bidang hukum pidana,
sedangkan onrechtmetige dalam bidang hukum perdata. Sehingga tindak pidana
(strafbaar feit) dalam hukum pidana pada intinya adalah feit yang wederrechtelijk atau
perbuatan yang melawan hukum.
Penulis sendiri dalam tulisan ini menggunakan kata regtelijke diubah ke dalam
perkataan onrechtmatige melawan-hukum dengan alasan bahwa terminologi ini sudah
sangat umum dikenal dan dipakai. Terjemahan resmi KUHP menggunakan kata melawan-
hukum, misalnya, dalam Pasal-pasal 362, 372, 378, dan banyak lagi. Juga dalam
perundang-undangan khusus, seperti dalam Undang- Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi No.3 tahun 1971, kata melawan-hukum, dalam perumusan deliknya,
dimuat sebagai unsur. Selain itu hampir semua penulis buku- buku hukum pidana di
Indonesia menggunakan istilah ini. Perbedaan-perbedaan terjadi pada arti dari sifat
melawan-hukum ini, seperti telah terbukti dalam uraian-uraian di muka.