Anda di halaman 1dari 10

BAB I

Landasan Teoretis Mengenai Ajaran Sifat Melawan Hukum

A. Norma-norma Materiil dan Hukum Pidana


Hukum sebagai kaidah sosial, tidak berarti bahwa pergaulan antar manusia dalam
masyarakat hanya diatur oleh hukum. Seperti pendapat Mochtar Kusumaatmadja “Selain
oleh hukum, kehidupan manusia dalam masyarakat selain dipedomani moral manusia
itu sendiri, diatur pula oleh agama, oleh kaidah-kaidah sosial, kesopanan, adat istiadat
dan kaidah-kaidah sosial lainnya. Antara hukum dan kaidah-kaidah sosial lainnya ini,
terdapat hubungan jalin menjalin yang erat, yang satu memperkuat yang lainnya.
Adakalanya hukum tidak sesuai atau serasi dengan kaidah-kaidah sosial lainnya.” Dalam
bukunya penulis setuju dengan pendapat tersebut karena sesungguhnya dalam
kehidupan kita mengikuti kaidah-kaidah moral, agama , susila, kesopanan, adat
kebiasaam dan sosial berdasarkan keadaan hidup, pengetahuan atau kebutuhan hidup
yang sama. Kaidah-kaidah tersebut dapat menjadi tuntutan orang untuk berperilaku
atau menjadi norma-norma perilaku. Dalam penerapannya negaralah yang berhak untuk
menetapkan norma-norma perilaku mana yang akan dikukuhkan menjadi kaidah hukum
dengan mengingat kepentingan yang harus dilindungi , terutama intervensi dari pihak
lain, akan tetapi juga tidak semua kepentingan dapat dilayani oleh hukum.
Selain aturan yang diundangkan , haruslah tetap dikembangan aturan-aturan
yang tidak diundangkan yang terkadang dinilai lebih adil. Oleh karena itu aturan hukum
pidana harus cocok / berhubungan dengan norma perilaku yang terbanyak dianut.
Dalam praktik banyak aturan yang diundangkan dinilai kurang berhasil karena aturan
tersebut tidak didukung oleh masyarakat atau dinilai bertentangan dengan aturan yang
masih berlaku di masyarakat itu sendiri. Hal yang paling mencolok dari hukum pidana
adalah penegakan norma didalamnya ditentukan oleh asas legalitas, kemudian sifat
hukum pidana itu sendiri adalah codex sehingga dalam penegakannya hakim sering
menggali lagi keadilan dalam nilai-nilai masyarakat.

B. Asas Legalitas
Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 Ayat (1) Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: “Tiada suatu peristiwa dapat dipidana
selain dari kekuatan ketentuan undang-undang pidana yang mendahuluinya.” (Geen feit
is strafbaar dan uit kracht van een daaran voorafgegane wetteljke strafbepaling). Makna
Asas Legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1 Ayat (1) KUHP dirumuskan di dalam
bahasa Latin: ”Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali”, yang dapat
diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan: ”Tidak ada delik, tidak ada pidana
tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya”. Asas ini mengandung asas perlindungan
yang secara historis merupakan reaksi terhadap kesewenang-wenangan penguasa pada
zaman Ancien Regime serta jawaban atas kebutuhan fungsional terhadap kepastian
hukum.
Menurut pendapat penulis yang didasarkan atas perbedaan pendapat para ahli
tentang Asas Legalitas dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat dua kubu yang berbeda
dimana kubu pertama berpendapat bahwa kepentingan Negara dalam rangka
memelihara tata tertib dan inilah yang harus ditegakkan sedangkan pendapat kubu yang
kedua adalah mengenai segi perlindungan hukum bagi masyarakat.

C. Nilai Relatif Undang-undang


Dari undang-undang orag dapat melihat apa yang menjadi tujuan hukum dan
kepentingan-kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-
undang.Dari undang-undang pula orang dapat melihat hal yang boleh maupun tidak
boleh dilakukan , serta dapat juga dilihat mengenai apa saja akibat hukum dari suatu
perbuatan yang melanggar undang-undang itu.
D. Sifat Melawan Hukum Sebagai Unsur
Sifat melawan hukum dalam hukum pidana merupakan hal pokok yang harus
ada/mutlak dalam setiap rumusan tindak pidana. Kata melawan hukum adalah kata yang
sudah baku digunakan untuk menterjemahkan kata dari bahasa Belanda onrechtmatige
atau wederrechtelijk, atau dari bahasa Inggris unlawful. Dengan demikian, onrechmatige
atau wederrechtelijk atau unlawfulness dapat diterjemahkan sifat melawan hukum atau
bersifat melawan hukum. Terminologi wederrechtelijk lebih sering digunakan dalam
bidang hukum pidana, sedangkan onrechtmetige dalam bidang hukum perdata.
Sehingga tindak pidana (strafbaar feit) dalam hukum pidana pada intinya adalah feit
yang wederrechtelijk atau perbuatan yang melawan hukum.
Keberadaan ajaran sifat melawan hukum secara formil tidak menjadi persoalan
karena ini secara eksplisit menjadi unsur dari suatu pasal, sehingga untuk menentukan
apakah seseorang itu melakukan sesuatu yang melawan hukum atau tidak, cukup
apabila orang itu melihat apakah perbuatan itu telah memenuhi semua unsur yang
terdapat dalam rumusan delik atau tidak. Sifat melawan hukum materiil mengandung 2
(dua) pandangan, pertama dari sudut perbuatannya yang mengandung arti melanggar
atau membahayakan kepentingan hukum yang hendak dilindungi oleh pembuat undang-
undang dalam rumusan delik, dan kedua dari sudut sumber hukumnya, dimana sifat
melawan hukum mengandung pertentangan dengan asas kepatutan, keadilan, dan
hukum yang hidup di masyarakat.

E. Arti Melawan Hukum


1. Belanda
Seperti telah dikemukakan bahwa arti melawan hukum di bidang hukum pidana,
menurut Van Bemmelen, tidak ada bedanya dengan arti melawan hukum di bidang
hukum perdata, seperti termuat dala pasal 1401 BW (pasal 1365 KUHP).
Perkembangan dalam bidang hukum perdata ini sangat besar pengaruhnya bagi
hukum pidana.
Dari sejarahnya, pasal tersebut meminjam pasal 1382 code civil Prancis yang
berbunyi: “Tout fait quelconque de i’homme, qui cause un dommage, oblige celui par
la faute duguel il est arrive, a reparer”. Teks pasal 1401 BW Belanda berbunyi: “Eike
onrechtmatige daad, waardoor aan een ander schade wordt toegebrachtstelt
dengene door wiens schuld die schade veroorzaakt is in de verplichting om dezelfde
te goeden ”, atau dalam terjemahan Subekti, pasal 1365 KUHPerdata berbunyi: “Tiap
perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain,
mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti
kerugian tersebut. Dengan membandingkan kedua pasal tersebut, terlihat langsung
bahwa teks bahasa Belanda berisikan ketentuan onrechtmatige daad yang tidak ada
dalam contoh Prancis”.
Pendapat pertama, yang disebut berpandangan sempit mengatakan bahwa yang
dimaksud melawan hukum adalah apabila perbuatan itu bertentangan dengan hak
subjektif seseorang (hetzij met eens anders subjectief recht), atau bertentangan
dengan kewajibannya sendiri menurut Undang-Undang (hetzij met desdaders eigen
wettelijke plicht). Jadi, sebagai dasar adalah hak seseorang yang berdasarkan
undang-undang atau kewajiban seseorang menurut UndangUndang. Mengenai
pengertian melawan hukum ini terdapat dua pendapat yang saling bertentang
mengenai hal ini.
Karena itu, menurut Hoffman menyimpulkan bahwa melawan hukum, menurut
pandangan ini, adalah bertentangan dengan Undang-Undang. Suatu Perbuatan yang
tidak bertentangan dengan Undang-Undang, walaupun juga dapat bertentangan
dengan sesuatu yang menurut pergaulan kemasyarakatan adalah tidak patut, tidak
merupakan perbuatan melawan hukum.
Pendapat kedua, yang berpandangan luas, diperkenalkan pertama kali oleh
Molengraaff, yang menyatakan bahwa seseorang melakukan perbuatan melawan
hukum: “Wie anders handelt, dat in het maatschappelijk verkeer den eenenmensch
tegenover den ander betaamt, anders dan men met het oog op zijn medeburgers
behoort te behandelen”. (seseorang yang berbuat kepada orang lain, yang tidak patut
menurut lalu lintas pergaulan masyarakat).
2. Indonesia
Di Inodnesia ajaran Belanda masih berakar kuat dalam kehidupan hukum kita.
Hal ini terjadi dalam bidang hukum pidana dan juga hukum perdata. Sifat melawan
hukum dalam hukum pidana lebih sempit dibandingkan dengan sifat melawan
hukum dalam bidang hukum lain karena dalam hukum pidana sifat melawan hukum
suatu perbuatan bukan hanya ditinjau dari sudut perundang-undangan saja tetapi
juga sudut materiil.
Pengertian sifat melawan-hukum materie dianut oleh yurisprudensi korupsi:
“ bahwa menurut_kepatutan dalam masyarakat khususnya dalam perkara-
perkara tindak pidana korupsi , apabila seorang pegawai negeri menerima fasilitas
yang berlebihan serta keuntungan lainnya dari seorang lain dengan maksud
menggunakan kekuasaannya atau wewenangnya yang melekat pada jabatannya
secara menyimpang, hal itu sudah merupakan "perbuatan melawan-hukum", karena
menurut kepatutan perbuatan itu merupakan perbuatarn yang tercela atau
perbuatan vana menusuk perasaan masyarakat banyak"
Adapun secara umum arti melawan-hukum adalah "tanpa kewenangan yang
melekat padanya ataupun tanpa dia berhak melakukan demikian.

F. Yurisprudensi
Dari uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas, ternyata bahwa Undang-
undang tidak cukup memuaskan bagi para penegak hukum dan pencari keadilan.
Terutama bagi hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, tidak dapat menemukan
keadilan hanya dalam undang-undang, tetapi ia juga tidak dapat untuk tidak
menerapkan undang-undang Karena itu, dalam putusan-putusan hakim sering
ditemukan kaidah-kaidah baru sebagai hasil menyampingkan suatu ketentuan peraturan
perundang-undangan. Putusan-putusan demikian yang telah mempunyai kekuatan
hukum yang tetap, apalagi telah diikuti oleh putusan-putusan berikutnya; disebut
yurisprudensi.
Pertimbangan hakim yang menjadi dasar suatu putusan pengadilan, apalagi yang
telah dikukuhkan sebagai yurisprudensi tetap, adalah jawaban terhadap ketidak
berhasilan pembuat undang-undang memberikan kejelasan maksudnya dalam suatu
naskah undang-undang, apalagi apabila dikaitkan dengan tuntutan keadilan yang
seharusnya tercermin dari naskah undang-undang. Ada dua alasan mengapa
yurisprudensi memegang peranan yang sangat besar di Indonesia. Pertama,
yurisprudensi erat kaitannya dengan pemba- haruan hukum dan pembinaan hukum,
seperti dikatakan Mochtar Kusumaatmadja: Walaupun perundang-undangan merupakan
teknik utama untuk melaksanakan pembaharuan hukum, pemba- haruan kaidah-kaidah
dan azas serta penemuan arah atau bahan bagi pembaharuan kaidah demikian juga
menggu- nakan sumber-sumber hukum lain yaitu keputusan badan-badan peradilan
(yurisprudensi), sedangkarn tulisan sarjana hukum yang terkemuka disebut pula sebagai
sumber tambahan. Kedua, Supomo menyatakan: Di Indonesia, hakim tidak terikat oleh
putusan-putusan hakim yang telah ada, akan tetapi, dalam praktek pengadilan, sebagai
dalam praktek Pengadilan negara-negara Eropa, hakim bawahan sangat memperhatikan
putusan-putusan hakim atasan dengan adanya kemungkinan permohonan banding dan
kasasi. Berhubungan dengan itu, yurisprudensi dari hakim atasan merupakan sumber
penting untuk menemukan hukum objektif jang harus diselenggarakan oleh para hakim
Betapapun ada kebebasan bagi hakim pidana untuk melakukan interpretasi,
menurut pendapat penulis, harus dicapai melalui interpretasi dari rumusan delik
dengarn mengingat pada tujuan norma, yakni kepentingan konkret atau idil yang hendak
dilindungi. Kenyataan di negara kita, seperti akan dibuktikan nant, hakim-hakim pidana
kita sangat mempedomani yurisprudensi yang ada, sering bahkan tanpa mengkaj
terlebih dahulu dengan kasus konkret yang dihadapinya dengan kaidah yang akan
menjadi acuannya. Akan tetapi, dipihak lain harus diakui bahwa para hakim kita
dihadapkan pada situasi untuk mengisi kekosongan hukum sebagai akibat ketiadaan
peraturan hukum

G. De Schutznorm Teorie
Hakim tidak mungkin untuk menghindarkan diri dari kewajiban untuk melakukan
penafsiran, sebagai akibat tidak jelasnya kata-kata undang-undang. Untuk
menghindarkan penafsiran ekstensif dalam memberi arti sifat melawan hukum yang
dapat menimbulkan goyahnya asas kepastian hukum, maka akan diketengahkan de
schutznorm theorie, suatu teori yang belum mendapatkan banyak perhatian di
Indonesia.
Menurut Teori schutznorm, meskipun perbuatan melawan hukum dari seseorang
menimbulkan kerugian pada orang lain, orang yang melakukan perbuatan melawan
hukum itu hanya diwajibkan untuk mngganti kerugian apabila norma yang dilanggar
khusus ditujukan untuk melindungi kepentingan hukum orang lain yang terlanggar.
Teori ini berasal dari Jerman yang dapat dilihat dari Pasal 823 BGB ayat 2 yang
berbunyi ; “Kewajiban-kewajiban yang sama yakni ganti rugi kena kepada mereka, yang
perbuatannya bertentangan dengan hukum yang bertujuan melindungi kepentingan
hukum orang lain”. Menurut pendukung teori ini, disamping adanya hubungan causal
antara perbuatan dan kerugian, juga harus ada hubungan causal lain yaitu antara sifat
melawan hukum dari perbuatan dan kerugian.
Teori ini bertujuan untuk memperbaiki persyaratan-persyaratan perbuatan
melawan hukum menurut kriteria arrest tahun 1919 yang terkenal itu sebab tanpa
koreksi orang akan takut terhadap tanggung jawab yang terlalu luas terhadap keugian
yang dibebankan kepada pihak ketiga.
Menurut Rutten, teori ini berangkat dari relativitas sifat melawan hukum, dalam
arti bahwa perbuatan A melanggar hak B, tetapi tanpa melanggar hak C . atau tegasnya
perbuatan A hanyalah melawan hukum dilihat dari kepentingan B saja. Ada
kemungkinan bahwa C menderita kerugian akibat perbuatan A tadi, karena itu C dapat
menuntut kerugian itu terhadap A walaupun perbuatan A tersebut hanya bersifat
melawan hukum terhadap B dan tidak terhadap C.
Menurut Teori Schutznorm, yang hendak dilindungi yaitu kepentingan hukum dan
norma hukum. Schutznorm tidak membatasi diri pada hukum tertulis (undang-undang)
tetapi juga terhadap norma-norma hukum yang tidak tertulis.
Pengembangan atau modifikasi teori Schutznorm dikemukakan oleh Demogue-
Besier, yang menitik beratkan bahwa hubungan kausal tidak saja antara perbuatan
melawan hukum yang materiel dengan kerugian yang ditimbulkannya, tetapi juga antara
unsur khusus dari perbuatan melawan hukum dengan kerugian itu. Jadi harus ada
perbuatan melawan hukum sebagai penyebab timbulnya suatu kerugian yang harus
dilihat secara keseluruhan. Kemudian, dengan mengasingkan unsur-unsur sifat melawan
hukum, diteliti apakah kerugian itu ditimbulkan oleh perbuatan itu kalau unsur itu
dihilangkan. Akan tetapi, kalau kerugian itu tanpa unsur melawan hukum dari perbuatan
hukum yang dimaksudkan, pembuat tetap bertanggungjawab.
Hal inilah rupanya yang menjadi keberatan Rutten yang menolak teori
Schutznorm karena konsekuensi dari dianutnya ajaran Demogue-Bessier, akan
menghasilkan kesimpulan behwa seorang pembuat yang melakukan perbuatan melawan
hukum akan tetap tidak pernah dapat dimintakan pertanggungjawabannya.
Dalam rangka teori schutznorm ini, timbul pertanyaan ; kepentingan hukum
apakah yang hendak dilindungi oleh hukum pidana?
Menurut Machielse dalam suatu catatan tentang kepentingan hukum yang
mengulang kembali pada sejarah pengertian kepentingan hukum menytakan : “Bahwa
dinamika dalam perkembangan pemikiran yang dinamis tentang kepntingan hukum
berhubungan erat dengan penilaian yang berubah-ubah yang dipertemukan oleh kedua
fungsi kepentingan hukum itu dalamtahun-tahun sebelumnya, yakni fungsi legitimasi
dan fungsi interpretatif. Fungsi yang melegitimasi berisikan bahwa pemerintah baru
boleh bertindak terhadap kebebasan warga jika dengan tindakan itu akan melindungi
kepentingan hukumnya. Fungsi interpretatif berisi bahwa dalam kepentingan hukum
terdapat faktor penting dengan penetapannya dalam undang-undang.
Menurut Birnbaum bahwa kepentingan hukum bukan suatu hak subjektif, tetapi
objek hukum, kepentingan hukum, yang dilanggar oleh tindak pidana dan objek tindak
pidana tidak terletak pada sesuatu yang ditemukan secara rasional, melainkan pada
sesuatu yang diciptakan oleh penilaian.
Menurut Von List kepentingan hukum merupakan pengertian yang ada dalam
perbatasan antara “formal logische Rechtwissenschaft en de Gesellschaftslehre” (formal
logis dari ilmu hukum dan ilmu kemasyarakatan). Oleh karena itu, kepentingan hukum
adalah kepentingan hidup, ini berati bahwa suatu kepentingan tidak dibuat oleh hukum
tetapi oleh kehidupan itu sendiri.
Tentang letak kepentingan hukum yang akan dilindungi, harus jelas terlihat dalam
perumusan undang-undang. Bagi undang-undang pidana menimbulkan akibat yang
sangat penting, artinya karena akan menimbulkan persoalan bagi penentuan sifat
melawan hukumnya.
Persoalan ini akan menimbulakan dua model perumusan delik yang
menyebabkan implikasi dari akibat-akibatnya, yaitu :
Model pertama, apabila kepentingan hukum yang dilindungi itu harus secara tegas
dicantumkan dalam perumusan undang-undang. Alasan pembenarnya apabila terjadi
pelanggaran terhadap kepentingan hukum ini, juga harus secara jelas dimuat dalam
ketentuan undang-undang yang bersangkutan.
Model kedua, apabila kepentingan hukum yang hendak dilindungi ini hanya secara
eksplisit saja, maka hal tersebut setidak-tidaknya dpat dimuat dalam bagian umum
(algemene deel) dari undang-undang tersebut.
Menurut Heijder dan Schaffmeister, suatu perbuatan yang tidak dilindungi oleh
norma kepentingan hukum yang dilanggar berada di luar perumusan delik, akan berarti
juga tidak memenuhi sifat melawan hukum segi hukum pidananya. Yang menurut
catatan Rammelink merupakan jalan keluar penerapan teori Schutznorm dalam hukum
pidana.
Di Indonesia teori Schutznorm belum mendapat perhatian. Hal ini disebabkan
karena perumusan kata-kata dalam undang-undang terlalu bersifat umum dengan
perumusan kata-kata yang dapat ditafsirkan secara sangat luas dan ganda. Selain itu
mungkin juga disebabkan karena hakim tidak menguasai perundang-undangan, karena
sistem perundang-undangan kita yang masih agak kacau dan terkesan tumpang tindih.
Sisa-sisa undang-undang dari Zaman Hindia Belanda yang masih ditulis dalam teks
bahasa aslinya atau pun karena sistem pendokumentasiannya.

H. Terminologi
Kata melawan hukum adalah kata yang sudah baku digunakan untuk
menterjemahkan kata dari bahasa Belanda onrechtmatige atau wederrechtelijk, atau
dari bahasa Inggris unlawful. Dengan demikian, onrechmatige atau wederrechtelijk atau
unlawfulness dapat diterjemahkan sifat melawan hukum atau bersifat melawan hukum.
Terminologi wederrechtelijk lebih sering digunakan dalam bidang hukum pidana,
sedangkan onrechtmetige dalam bidang hukum perdata. Sehingga tindak pidana
(strafbaar feit) dalam hukum pidana pada intinya adalah feit yang wederrechtelijk atau
perbuatan yang melawan hukum.
Penulis sendiri dalam tulisan ini menggunakan kata regtelijke diubah ke dalam
perkataan onrechtmatige melawan-hukum dengan alasan bahwa terminologi ini sudah
sangat umum dikenal dan dipakai. Terjemahan resmi KUHP menggunakan kata melawan-
hukum, misalnya, dalam Pasal-pasal 362, 372, 378, dan banyak lagi. Juga dalam
perundang-undangan khusus, seperti dalam Undang- Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi No.3 tahun 1971, kata melawan-hukum, dalam perumusan deliknya,
dimuat sebagai unsur. Selain itu hampir semua penulis buku- buku hukum pidana di
Indonesia menggunakan istilah ini. Perbedaan-perbedaan terjadi pada arti dari sifat
melawan-hukum ini, seperti telah terbukti dalam uraian-uraian di muka.

Anda mungkin juga menyukai