Anda di halaman 1dari 15

Perbedaan Antara Ilmu Hukum Pidana Dengan Kriminologi (Materi 1)

Kriminologi merupakan suatu ilmu sosial yang mempelajari kejahatan dari sisi sosial atau dengan
istilah non normative discipline, dalam kriminologi juga mempelajari manusia dengan norma -
norma sosial tertentu untuk mengetahui gejala - gejala sosial atas kejahatan yang terjadi di
lingkungan masyarakat. Sedangkan hukum Pidana (criminal law) adalah ilmu normatif yang
mempelajari aturan kejahatan atas tindakan - tindakan yang disebut dalam (KUHP) berupa
kejahatan atau pelanggaran yang dapat dikenai hukuman pidana.

Pengertian Hukum Pidana


• Menurut Moeljatno hukum pidana merupakan keseluruhan hukum yg berlaku di suatu negara yg
berisi dasar-dasar yang mengatur ketentuan tentang perbuatan yang dilarang dan disertai ancaman
pidana bagi siapa yang melakukan dapat dikenakan sanksi pidana dan dengan cara yang sudah
ditentukan

Pembagian Hukum Pidana


• Hukum Pidana terbagu menjadi 2 yaitu hukum pidana materil dan hukum pidana formil
Hukum pidana materil merupakan asas-asas perbuatan yg dilarang dan diperintahkan dan juga
sanksi pidana sedangkan hukum pidana formil yang melaksanakan hukum pidana materil dan dan
proses beracara dalam SPP
• Hukum Pidana Nasional, lokal dan internasional (berdasarkan wilayah berlakunya)
• Hukum Pidana yg dikodifikasikan (Umum) – Hukum Pidana yg tidak dikodifikasikan (Khusus)
•Hukum pidana tertulis dan tidak tertulis

• Tujuan hukum pidana adalah untuk melindungi kepentingan orang perseorangan atau hak asasi
manusia dan masyarakat. Tujuan hukum pidana di Indonesia harus sesuai dengan falsafah Pancasila
yang mampu membawa kepentingan yang adil bagi seluruh warga negara. Dengan demikian hukum
pidana di Indonesia adalah mengayomi seluruh rakyat Indonesia. [1]
• Fungsi Hukum Pidana secara umum Hukum pidana merupakan salah satu bagian dari hukum, oleh
karena itu fungsi hukum pidana juga sama dengan fungsi hukum pada umumnya, yaitu untuk
mengatur hidup kemasyarakatan atau untuk menyelenggarakan tata dalam masyarakat. [2]
Teori-teori pemidanaan (Materi 2)
• Teori Absolut yang lahir pada aliran klasik dalam hukum pidana diamana penbalasan merupakan
legitimasi pemidanaan dan negara berhak menjatuhkan pidana karena penjahat, Pembalasan
subjektif merupakan pembalasan kepada kesalahan pelaku sedangkan pembalasan objektif
merupakan pembalasan terhadap perbuatan pelaku
• Teori Relatif sebagai dasar pemidanaan merupakan upaya menegakkan ketertiban masyarakat dan
tujuan pidana untuk mencegah kejahatan, pencegahan umum agar tidak ada yang melakukan
kejahatan, agar tidak lagi mengulangi kejahatan dengan memberi rasa takut sebagai paksaan
psikologis kepada pelaku
•Teori Gabungan merupakan gabungan pembalasan dan ketertiban masyarakat, keduanya
merupakan titik berat pada pidana yaitu pembalasan dan perlindungan masyarakat untuk
melindungi ketertiban hukum
• Teori Kontemporer
a. Teori Efek Jera Lafave, pidana sebagai deterrence effect agar pelaku kejahatan tidak lagi
mengulangi perbuatannya
b. Teori Edukasi, pidana sebagai edukasi kepada masyarakat mengenai mana perbuatan yang baik
dan mana perbuatan yang dilarang
c. Teori Rehabilitasi, pidana sebagai rehabilitasi kepada pelaku tindak kejahatan harus dibenahi ke
yang lebihbaik, agar dapat diterima kembali dimasyarakat oleh kdan tidak lagi mengulangi
perbuatan jahat
d. Teori Pengendali Sosial Lafave, pidana sebagai pengendalian sosial, agar tidak berbahaya dan
merugikan masyarakat, pelaku harus diisolasi dan masyarakat harus dilindungi
e. Teori Keadilan Restoratif, pidana untuk memulihkan keadilan, restorative justice sebagai
pendekatan penyelesaian perkara dengan melibatkan langsung semua yang terlibat untuk mencari
penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan bukan
pembalasan

Sejarah Umum KUHP di Indonesia (Materi 3)


KUHP di Indonesia mempunyai nama asli wetboek van strafrech voor nederlandsch indie (W.v.S),
merupakan titah raja atau Koninklijk Besluit (K.B), pada 15 Oktober 1915. Titah raja tersebut
berlaku di Indonesia ketika penjajahan Belanda, sehingga dengan titah raja tersebut terjadi dualistis
dalam sistem hukum di Indonesia.
Dualistis sistem yang terjadi mempunyai pengertian bahwa bagi orang
Eropa berlaku satu sistem hukum Belanda, yakni titah raja atau Koninklijk Besluit (K.B), dan bagi
orang bumi putra berlaku hukum pidana adat. Hukum yang berlaku bagi orang Eropa tersebut
merupakan aturan yang berasaskan hukum Belanda kuno dan hukum Romawi. Kemudian hukum
yang berlaku bagi orang bumi putra sendiri merupakan hukum yang tertulis dan tidak tertulis namun
sebagian besar tidak tertulis [3]

Sumber Hukum Pidana di Indonesia


a. KUHP
b. UU Tipikor, UU Terorisme, UU Money Laundering
c. UU Perbankan, UU Perpajakan
d. Hukum Pidana Adat di Bali

Hukum Pidana Adat


Hukum adat merupakan hukum dan nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat
sebagai hukum tidak tertulis ataupun hukum kebiasaan, hukum ini tidak mengenal pemisahan
terhadap hukum pidana dengan hukum perdata dan tidak ada perbedaan prinsip dalam penyelesaian
pelanggaran hukum adat. Jika terjadi pelanggaran, para fungsionaris hukum yang berwenang
mengambil tindakan konkret, baik atas inisiatif sendiri atau berdasarkan pengaduan pihak yang
dirugikan

Pengertian asas legalitas (Materi 4)


•Asas Legalitas secara eksplisit tercantum dalam Pasal1ayat(1) KUHP "tiada suatu perbuatan boleh
dihukum, melainkan atas kekuatan ketentuan pidana dalam undang-undang yang ada terdahulu
daripada perbuatan itu”
• Asas legalitas, yakni asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang. Dalam
bahasa latin, dikenal sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenalli yang
artinya lebih kurangnya adalah tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu.
[4]
Makna yang terkandung dalam asas legalitas
•Pertama,suatu tindak pidana harus dirumuskan dalam peraturan perundang- undangan. karena jika
perbuatan tersebut tidak tercantum dalam undang- undang sebagai suatu tindak pidana maka tidak
dapat dijatuhi dipidana dan adanya larangan menggunakan analogi dalam membuat perbuatan
menjadi suatu tindak pidana sebagaimana yang telah dirumuskan dalam undang-undang
•Kedua, peraturan perundang-undangan harus ada sebelum tindak pidana terjadi. adanya
konsekuensi seperti hukum pidana tidak boleh berlaku retroaktif

• Fungsi asas legalitas diantaranya untuk melindungi Undang-undnag pidana dan melindungi
masyarakat dari kekuasaan tanpa batas pemerintah dan fungsi instrumentasi dalam batas yang
ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah tegas-tegas diperbolehkan

Asas legalitas dalam konteks hukum pidana nasional


Dalam negara hukum asas legalitas merupakan tiang penyangga bagi negara tersebut. Tanpa asas
legalitas ini rechstaats tidak akan berdeda dengan maachstaats dan tidak akan tercapai kepastian
hukum. Hukum Pidana di Indonesia secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Sejak diundangkan dengan UU nomor 8
Tahun 1981, terbukti bahwa KUHP dan KUHAP tidak mampu lagi menjadi "kitab suci" dalam
hukum pidana di Indonesia, berbagai Kejahatan muncul Serta masyarakat berkembang dengat
cepat. [5]

Penemuan Hukum dan Metodenya (Materi 5)


◦ Menurut Sudikno Mertokusumo Proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum
lainnya yang ditugaskan untuk penerapan peraturan hukum umum pada peristiwa konkrit, Hakim
tidak dapat menangguhkan ataupun menolak menjatuhkan putusan, bahkan menolak perkara,
dengan alasan karena hukumannya tidak tepat, hakim dapat Membentuk hukum ketika hukumnya
tidak lengkap agar terputusnya suatu perkara, dapat dilakukan dengan menggali nilai-nilai hukum
yang berkembang di masyarakat yang akan menjadi dasar untuk mengambil keputusan dan dapat
menjadi hukum oleh hakim berikutnya (yurisprudensi) Bisa dilaku dengan cara penafsiran dan
analogi
Penafsiran dan analogi dalam hukum pidana asas umum dalam penafsiran
• Proporsionalitas Adalah Keseimbangan antara cara dan tujuan dari suatu undang-undang
•Subsidiairitas agar pemecahan menjadi yang paling sedikit mendapat kerugian maka memunculkan
beberapa alternatif dan dipilih yang paling sedikit resiko
• Relevansi dimana pemberlakuan hukum pidana yang mempersoalkan penyimpangan perilaku
sosial yang pantas mendapatkan reaksi maupun koreksi dari hukum pidana
• Kepatutan yaitu menguji logika hukum
• Indubioproreoikater apabila mendapat keragu-raguan harus memilih ketentuan atau penjelasan
yang paling menguntungkan terdakwa
• Exceptiofrimatvim legisin casibus nonex ceptisa apabila melakukan penyimpangan aturan umum
maka harus diartikan secara sempit
•Titulusestlex & rubricaestlex merupakan judul perundang-undangan yang menentukan dan bagian
perundang-undangan
•Asas materil terhadap aturan tidak tertulis merujuk pada nilai sosial ,hakim memperhatikan asas
tersebut apabila asas tersebut telah diakui dalam dunia hukum melalui penbuktian dalam doktrin
atau yurisprudensi

Metode dalam penafsiran (interpretasi)


• Interpretasi Gramatikal ketentuan undang-undang yang ditafsirkan dengan menguraikannya
melalui bahasa umum sehari-hari
•Interpretasi Sistematis atau logis ketentuan perundang-undangan ditafsirkan dengan
menghubungkan dengan peraturan hukum atau undang-undang lain dengan seluruh sistem hukum
•Interpretasi Historis penafsiran ditafsirkan menurut terjadinya dengan cara meneliti sejarah
terjadinya perundang-undangan dan juga sejarah hukum
•interpretasi Telelogis atau Sosiologis undang-undang ditafsirkan sesuai tujuan pembentuk undang-
undang dari bunyi undang-undang tersebut dan juga memperhitungkan konteks kenyataan
kemasyarakatan yang aktual
•Menurut Sudikno Mertokusumo Interpretasi Restriktif menjelaskan suatu ketentuan undnag-
undang denga mempersempit ruang lingkup dimana arti suatu peraturan dengan bertitik tolak pada
artinya menurut bahasa dan Interpretasi Ekstensif yang melampaui batas pengertian menurut
interpretasi gramatikal
Penafsiran dan analogi dalam hukum pidana (Materi 6)
•Locus delicti merupakan tempat terjadinya tindak pidana yang menentukan hukum pidana dapat
diberlakukan atau tidak dan menentukan kompetensi pengadilan untuk mengadili
• Asas Teritorialitet, Pasal 2 KUHP "Aturan hukum pidana dalam perundang-undangan Indonesia
berlaku bagi setiap orang yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah Indonesia.” Kemudian
diperluas Pasal 3 KUHP, contoh lain seperti asas personalitet, asas perlindungan, dan asas
universalitet

Teori dalam menetapkan locus delicti


• Teori Perbuatan Materil dimana terjadinya tindak pidana ditentukan pada perbuatan jasmaniah
yang diwujudkan oleh pelaku dan dapat diterapkan pada delik formil
• Teori Instrumen dimana tempat alat yang digunakan dalam melakukan tindak pidana yang dapat
diterapkan pada kejahatan yang modus operasinya canggih atau lintas batas
•Teori Akibat diterapkan pada delik materiil (menitikberatkan pada akibat dari tindak pidananya)

Ekstradisi
• Ekstradisi adalah proses hukum berdasarkan perjanjian, hubungan timbal balik, rasa hormat, atau
hukum nasional, di mana satu negara memberikan atau mengirimkan ke negara lain, seseorang yang
didakwa atau dihukum karena tindak kejahatan terhadap hukum negara yang meminta yang
melanggar hukum pidana internasional agar diadili atau dihukum di negara peminta sehubungan
dengan kejahatan yang dinyatakan dalam permintaan. [6]

Prinsip-prinsip dalam Ekstradisi


a. Asas kejahatan ganda (Double criminality)
b. Asas kekhususan (Speciality)
c. Asas tidak menyerahkan pelaku kejahatan politik (No extradition of political criminal)
d. Asas tidak menyerahkan warga negara (No extradition of national)
e. Asas ne bis in idem atau non bis in idem
f. Asas Daluwarsa (Lapse of time)
Pengertian tindak pidana (Materi 7)
• Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu
strafbaarfeit. Walaupun istilah ini terdapat dalam Wvs Belanda maupun berdasarkan asas
konkordasi istilah tersebut juga berlaku pada WvS Hindia Belanda (KUHP). Tetapi tidak ada
penjelasan resmi tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit. Oleh karena itu, para ahli hukum
berusaha untuk memberikan arti dan istilah itu, namun hingga saat ini belum ada keseragaman
pendapat tentang apa yang dimaksud dengan strafbaarfeit. [7]

Aliran monistis dan aliran dualistis


•Aliran Monistis dimana semua syarat digunakan untuk menjatuhkan pidana sebagai unsur tindak
pidana. dalam aliran ini unsur yang melekat pada perbuatannya tidak akan dipisahkan, dengan unsur
yang melekat pada pelaku tindak pidana (pertanggungjawaban dalam hukum pidana)
• Aliran Dualistis yang memisahkan tindak pidana dengan pertanggungjawaban pidana agar
mempermudah penuntutan terhadap pelaku tindak pidana dalam hal pembuktian

Subjek Hukum Tindak Pidana


• Penjelasan resmi (Memori van Toelichting) tindak pidana hanya dapat dilakukan oleh manusia
menurut sistem KUHP yang berlaku saat ini adalah:
1. Kata “barang siapa”
2. Jenis pidana dalam pasal 10 KUHP
3. Kesalahan pada terdakwa
• RUU HP versi siap disahkan subjek tindak pidana tidak hanya manusia saja, melainkan korporasi
juga. Pasal 45 ayat (1), pengertian korporasi merupakan kumpulan orang atau kekayaan yang
terorganisasi baik yang badan hukum maupun tidak badan hukum

Jenis-Jenis tindak pidana


Kejahatan (mala in se) perbuatan yg sejak awal telah dirasa suatu ketidakadilan krena bertentangan
dgn kaidah, Pelanggaran (mala prohibita) merupakan perbuatan yang ditetapkan oleh undang-
undnag suatu ketidakadilan (bersifat wetsdelicten), Tindak Pidana Formil yang dirumuskan dengan
menitikberatkan pada perbuatan yang dilarang, Tindak Pidana Materil, yg perumusannya pada
akibat yg dilarang, Tindak Pidana Dolus yang dilakukan dengan sengaja, Tindak Pidana Culpa yang
dilakukan dengan kelalaian, Tindak Pidana aduan yang baru akan dilakukan penuntutan apabila ada
pengaduan korban,Tindak Pidana BukanAduan bisa dituntut walaupun tidak ada pengaduan dari
korban, Delicta Commissionis perbuatan yg dilarang tidak melakukan perbuatan yg diwajibakan
oleh undang-undang, Delicta Commissionis per omissionem commissa dimana kelalaian terhadap
suatu kewajiban yang menimbulkan akibat

Teori Causalitet (Hubungan kausalitas) (Materi 8)


• Dalam common law, untuk memahami kausalitas maka ada dua proses yang dilalui. Proses
pertama adalah membuktikan perbuatan yang menimbulkan akibat yang dilarang dan tahap kedua
adalah membuktikan pertanggungjawaban pidana pelaku. Tahap pertama biasa disebut dengan
penyebab faktual (factual cause/cause in fact) sementara tahap kedua lebih dikenal dengan istilah
penyebab hukum (legal cause). [8]
• Untuk mengatasi kesulitan dalam memecahkan causalitet: Teori Conditio Sine Quanon, Teori
Generalisasi dan Teori Individualisasi

Teori conditio Sine qua non, Teori yang menyatakan musabab adalah setiap syarat yang tidak dapat
dihilangkan untuk timbulnya akibat. oleh karena itu setiap syarat mempunyai nilai yang sama.

Teori generelisasi, teori ini menyatakan bahwa musabab adalah syarat menurut kejadian yg normal
yang dapat menimbulkan akibat. dimana hanya mencari satu dari sekian banyak sebab
secara Subjektif sebab adalah tindakan yang dapat dibayangkan dapat menimbulkan akibat.
Sedangkan secara objektif sebab adalah perilaku umum yang wajar apabila perbuatan tersebut
menimbulkan akibat.

Teori individualisasi
Menurut Brickmayer dari berbagai macam syarat, dicari syarat yang paling utama menentukan
suatu akibat dan yang memberikan pengaruh paling besar terhadap timbulnya akibat.
Melawan Hukum (Materi 9)
Perbuatan melawan hukum adalah suatu perbuatan atau tidak berbuat sesuatu yang mengakibatkan
timbulnya kerugian bagi orang lain tanpa sebelumnya ada suatu hubungan hukum, kewajiban mana
ditujukan terhadap setiap orang pada umumnya dan dengan tidak memenuhi kewajibannya tersebut
dapat diminta suatu ganti rugi. Perbuatan melawan hukum (Onrechmatige daad) diatur dalam Pasal
1365 B.W. Pasal ini menetapkan bahwa perbuatan yang melawan hukum mewajibkan orang yang
melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah timbul kerugian, untuk membayar
kerugian itu. [9]

• PandanganFormil Melawan hukum bukan merupakan unsur mutlak perbuatan pidana.


• Pandangan Materil melawan hukum dikatakan mutlak sebagai unsur perbuatan pidana
•Pandangan Tengah sifat ini mutlak jija disebutkan dalam delim, apabila tidak melawan hukum
hanya tada dari suatu delik

Sifat Melawan Hukum


• Sifat Melawan Hukum Umum, sebagai elemen dimana perbuatan tersebut dapat dipidana
• Sifat Melawan Hukum Khusus, kata “melawan hukum”tercantum dalam rumusan delik yang
menjadi syarat tertulis suatu perbuatan dapat dipidana
• Sifat Melawan Hukum Formil dimana semua unsur-unsur rumusan delik telah dipenuhi
• Sifat Melawan Hukum Materil yang bertentangan dengan hukum tidak tertulis atau hukum yang
hidup dalam masyarakat, asas-asas kepatutan atau nilai-nilai keadilan dan kehidupan sosial dalam
masyarakat

• Sifat Melawan Hukum Materil dalam Fungsinya yang Negatif Apabila suatu perbuatan memenuhi
unsur delik namun tidak bertentangan dengan keadilan di masyarakat, maka tidak dapat dipidana
• Sifat Melawan Hukum Materil dalam Fungsinya yang Positif dimana jika perbuatan tersebut
tercela namun tidak diatur dalam undang-undang tetapi tidak sesuai rasa keadilan dan norma-norma
maka akan tetap dipidana
Pertanggung jawaban pidana (Materi 10)
• Asas Kesalahan pidana tanpa kesalahan (geen straf zonder schuld), Asas Kesalahan merupakan
dasar dari pertanggungjawaban pidana, Pertanggungjawaban pidana dimana suatu keadaan psikis
sehingga penerapan ketentuan pidana dari sudut umum dan prioadi dianggap patut
• Pertanggungjawaban pidana diartikan sebagai diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada
perbuatan pidama dan secara subjektifmemenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya
itu. [10]
• Elemen terpenting dari pertanggungjawaban pidana adalah kesalahan sebagai keseluruhan syarat
untuk adanya pencelaan pribadi kepada pelaku tindak pidana, Kesalahan itu mengandung segi
psikologis dan segi yuridis. Segi psikologis merupakan dasar untuk mengadakan pencelaan yang
harus ada terlebih, baru kemudian segi yang kedua untuk dipertanggungjawabkan dalam hukum
pidana. Dasar kesalahan yang harus dicari dalam psikis orang yang melakukan perbuatan itu sendiri
dengan menyelidiki bagaimana hubungan batinnya itu dengan apa yang telah diperbuat. [11]

• Elemen Kesalahan:
(1) Kemampuan bertanggung jawab;
(2) Hubungan psikis pelaku dengan perbuatan yang dilakukan; dan
(3) Tidak ada alasan penghapus pertanggungjawaban pidana (alasan pembenar dan alasan pemaaf).

Kemampuan bertanggung jawab


1. Kemampuan bertanggung jawab atau dapat di pertanggung jawabkan dari pembuat
2. Adanya perbuatan melawan hukum yaitu sikap psikis pelaku yang berhubungan dengan
kelakuannya, yaitu disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai
3. Tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggungjawaban pidana bagi si
pembuat. [12]

• Pasal 44 KUHP dirumuskan secara negatif:


Ayat (1) Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya,
disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit maka tidak
dipidana.”
Kesengajaan (Materi 11)
Kesengajaan (dolus/opzet) merupakan bagian dari kesalahan. Kesengajaan pelaku mempunyai
hubungan kejiwaan yang lebih erat terhadap suatu tindakan dibanding dengan kelalaian (culpa).
Karenanya ancaman pidana pada suatu kesengajaan jauh lebih berat, apabila dibandingkan dengan
kelalaian. Sengaja berarti menghendaki dan mengetahui apa yang ia perbuat atau dilakukan. KUHP
tidak menerangkan mengenai arti atau definisi tentang kesengajaan atau dolus intent opzet. [13]

• Teori kehendak kesengajaan dimana kehendak yang diarahkan pada terwujudnya perbuatan
sebagaimana dirumuskan dalam undang-undang
• Teori pengetahuan Kesengajaan dimana kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsur-unsur
yang diperlukan menurut rumusan undang-undang.

Jenis kesengajaan
• Kesengajaan dimana pelaku memang bermaksud menimbulkan akibat yang dilarang oleh undang-
undang, ia menghendaki perbuatan tersebut dan akibatnya
• Kesengajaan sebagai kepastian bertujuan mencapai akibat yang ingin didapat, namun terjadi pula
akibat yang tidak kita dikehendaki hal tersebut terjadi sebagai syarat untuk mencapai akibat yang
dikehendaki diawal
• Kesengajaan sebagai kemungkinan dimana telah menyadari kemungkinan adanya akibat yang
dilarang dan kemudian akibat itu benar-benar terjadi.

Selain itu, sifat kesengajaan juga terbagi menjadi dua berdasarkan sadar atau tidaknya si pelaku
melakukan tindak pidana yang melawan hukum, yaitu:
1. Sifat kesengajaan yang berwarna (gekleund) Teori ini dianut oleh Sevenbergen yang mengatakan:
Kesengajaan senantiasa ada hubungannya dengan dolus molus, yang berarti sengaja untuk berbuat
jahat (boos opzet), sehingga dalam kesengajaan harus adanya kesadaran mengenai sifat melawan
hukumnya perbuatan. Sifat kesengajaan yang berwarna menjelaskan bahwa harus ada hubungan
antara keadaan batin si pelaku dengan melawan hukum perbuatannya, dimana untuk adanya
kesengajaan, si pelaku perlu menyadari bahwa perbuatannya itu dilarang.
2. Sifat kesengajaan yang tidak berwarna (kleurloos) Teori ini dianut oleh Simons, Pompe, Jonkers,
dan M.v.T. Teori ini menyimpulkan bahwa cukuplah pelaku itu menghendaki perbuatan yang
dilarang dan tidak perlu
mengetahui perbuatannya itu dilarang. [14]

Kekeliruan (Materi 12)


• Kesengajaan dapat terjadi karena kekeliruan. Jenis perbuatan pidana yang dilakukan dengan
sengaja karena kekeliruan:
1. Kesesatan Fakta (feitelijke dwaling) kekeliruan yang dilakukan dengan tidak sengaja yang tertuju
pada salah satu unsur perbuatan pidana.
2. Kesesatan Hukum (rechtsdwaling) perbuatan yang mengira hal itu tidak dilarang oleh Undang-
Undang.
3. Error in Persona, Kekeliruan terhadap orang yang akan menjadi tujuan dari perbuatan pidana.
4. Error in Objecto, Kekeliruan terhadap objek yang hendak menjadi tujuan dari perbuatan pidana.
5. Aberratio Actus, Kekeliruan yang timbul karena hal-hal lain yang berbeda dengan tujuan awal

Sex vs Gender
Sex dimana penbagian antara jenis kelamun pada manusi yang telah terbentuk secara biologis yang
sudah melekat pada jenis kelamin tertentu dan tidak bisa dirubah atau ditukar karena seudah
menjadi kodrat saat diciptakan okeh tuhan
Gender adalah sifat yang sudah melekat pada wanita maupun pria yang terbebtuk secara sosial dan
cultural dan bisa saja ditukar antar gender dan dapat pula berubah dari waktu ke waktu maupun
tempat ke tempat lainnya

Manifestasi Ketidakadilan Gender


- Stereotipe dimana sebagai pelabelan atau penandaan yang tidak tepat dan bersifat subjektif
terhadap salah satu jenis kelamin
- Subordinasi dimana merupakan perendahan posisi/status sosial salah satu jenis kelamin
- Marginalisasi peminggiran salah satu jenis kelamin dalam akses & partisipasi publik
- Beban Berlebihan dimana beban yang tidak inbang terhadap tugas-tugas yang tidak proporsional
-Kekerasan perlakuan (serangan atau invasi) yang menyebabkan ketidaknyaman/ketidakamanan:
fisik, psikis, dan seksual

Kealpaan (Materi 13)


Prof. Satochid Kartanegara menjelaskan delik kealfaan atau sering disebut dengan istila hculpa dan
juga seiring disebut juga denga n Culpose Delictum yaitu tindak pidana yang berunsur kesengaja a
n. Culpuse delictum. Adalah delik yang mempunyai unsur kealfaan culpa atau kesalahan. Contoh
kasus yang terjadi pada pelanggaran pasal 359 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP. [15]

Culpa adalah suatu macam kesalahan yang kadang-kadang terjadinya hanya kebetulan belaka. Hal
ini diakui oleh Undang-undang dan oleh karena itulah maka oleh hukum pidana hanya di pidana
suatu culpa yang besar, yang oleh doktrin disebut “culpa levis” atau culpa levissima (lichte schuld)
tidaklah diancam pidana. Sebagai ukuranya, itulah dipakai perbandingan dengan orang lain yang
setingkat dari golonganya. Jurisprudensi di negeri belanda dan di Indonesia pun sudah menjadi tetap
membebaskan culpa levis itu. [16]

Culpa Subjektif dimana menitikberatkan pada keadaan individu. Sedangkan, Culpa Objektif
menitikberatkan pada perbuatan lahir secara objektif. Pada Pasal 360 KUHP) dan culpa yang tidak
sesungguhnya (pro parte dolus, pro parte culpa). Tindak pidana proparte dolus,proparte culpa adalah
tindak pidana yang perumusannya mengandung unsur kesengajaan dan kealpaan sekaligus dalam
satu pasal dengan ancaman pidana yang sama. Lihat Pada pasal 287, 480 KUHP.

Pertanggung jawaban pidana korporasi (Materi 14)


Secara etimologi kata korporasi (Belanda: corporatie, Inggris: corporation, Jerman: corporation)
berasal dari kata corporatio dalam bahasa latin. Corporare sendiri berasal dari kata “corpus”
(Indonesia: badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian,
corporation itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan lain perkataan badan yang
dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan
manusia, yang terjadi menurut alam. [17]
Yan Pramadya Puspa menyatakan yang dimaksud dengan korporasi adalah suatu perseorangan yang
merupakan badan hukum; korporasi atau perseroan disini yang dimaksud adalah suatu perkumpulan
atau organisasi yang oleh hukum diperlukan seperti seorang manusia (persona) ialah sebagai
pengemban (atau pemilik) hak dan kewajiban memiliki hak menggugat ataupun digugat di muka
pengadilan. [18]

Teori pertanggungjawaban pidana korporasi


-Strict Liability (Pertanggungjawaban Mutlak) dimana pertanggungjawaban korporasi berdasarkan
bunyi undang-undang tanpa memandang siapa yang telah melakukakn kesalahan dimana unsur
kesalahan tidak harus dibuktikan

-carious Liability Theory (Teori Pertanggungjawaban Pengganti) dimana pertanggung jawaban


seseorang atas tindakan atau perbuatan yang dilakukan orang lain.

-The Identification Theory (Teori Identifikasi) disebut juga Direct Corporate Liability
(Pertanggungjawaban Langsung) dimana pertanggung jawaban langsung oleh korporasi yang mana
senior officers bertindak untuk langsung sebagai penanggung jawab, bukan hanya mewakili
korporasi.

-The Delegation Theory (Teori Delegasi) dimana pertanggung jawaban korporasi diperluas, tidak
hanya beberapa anggota yang betanggung jawab melainkan setiap orang yang memperoleh delegasi
dari board directors untuk melaksanakan kewenangan korporasi tersebut.

-Aggregation Theory (Teori Agregasi) di dalam teori ini memungkinkan adanya agregasi/kombinasi
perbuatan dan sikap batin atau mens rea (kesalahan) dari sejumlah orang-orang yang relevan dalam
lingkup perusahaan dianggap seakan-akan dilakukan oleh satu orang yang kemudian diatributkan
menjadi perbuatan dan sikap batin korporasi sehingga korporasi dapat dipertanggungjawabkan
dalam hukum pidana.

Sistem pertanggungjawaban pidana korporasi


-Pengurus korporasi sebagai pelaku dan pengurus yang bertanggung jawab
-Korporasi sebagai pelaku, pengurus yang bertanggung jawab
-Korporasi sebagai pelaku dan korporasi yang bertanggung jawab
Jenis-Jenis Korporasi
1. Korporasi Publik
Korporasi yang didirikan oleh pemerintah yang mempunyai tujuan untuk memenuhi tugas-tugas
administrasi di bidang urusan publik. Contoh : pemerintah kabupaten atau kota.
2. Korporasi Privat
Korporasi yang didirikan untuk kepentingan privat/pribadi, yang dapat bergerak di bidang
keuangan, industri, dan perdagangan. Korporasi privat ini sahamnya dapat dijual kepada
masyarakat, maka ditambah dengan istilah go public.
3. Korporasi Publik Quasi
Korporasi yang melayani kepentingan umum (Public Service). Contoh, PT Kereta Api Indonesia,
Perusahaan Listrik Negara, Pertamina,Perusahaan Air Minum.[19]

Anda mungkin juga menyukai