Anda di halaman 1dari 9

UJIAN AKHIR SEMESTER KEBIJAKAN HUKUM PIDANA

OLEH:

DIVA AULIA (B10020242)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA ( E )

DR. USMAN, S.H., M.H.

ELIZABETH SIREGAR, S.H.M.H.

DHENY WAHYUDHI, S.H., M.H

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS JAMBI

2022
Soal

1. Jelaskan dengan contoh kasus perbedaan antara kriminalisasi dengan

dekriminalisasi ?

Kriminalisasi berasal dari kata kriminal, artinya jahat. Kriminalisasi membuat

suatu proses yang tadinya tidak jahat menjadi jahat dan bisa dihukum pidana.

Kriminalisasi ini hanya bisa dilakukan oleh pemerintah dan DPR melalui produk

undang-undang maupun peraturan daerah. Sedangkan dekriminalisasi merupakan

kebalikan dari kriminalisasi. Suatu perbuatan tadinya merupakan perbuatan pidana,

menjadi tidak dipidana. Mengutip buku yang ditulis oleh Prof. Jacob Elfinus

Sahetapy, Eki mengatakan dekriminalisasi terbagi menjadi dua. Bisa dilakukan di

level legislasi, artinya, tadinya suatu perbuatan pidana diatur di undang-undang,

kemudian undang-undangnya diubah dan perbuatan itu tidak lagi menjadi ketentuan

pidana.

Kedua, dekriminalisasi dalam level praktik. Undang-undangnya ada, tetapi

masyarakat sudah menganggap itu bukan sebagai tindak pidana lagi. Contohnya, di

KUHP ada ketentuan pidana terhadap petugas medis yang memperlihatkan alat-alat

kontrasepsi. Namun seiring berjalannya waktu, peraturan itu dianggap sudah tidak

relevan lagi. Jadi, walaupun peraturannya masih ada, tapi dalam tataran praktik,

perbuatan ini sudah dianggap bukan lagi sebagai perbuatan yang melanggar hukum.

2. Bagaimanakah konsep Rancangan Undang-Undang KUHAP ditinjau dari

aspek politik hukum pidana untuk mewujudkan keadilan, jelaskan


Penyelenggaraan hukum yang tidak konsisten tidak akan membuat masyarakat

mau mengandalkannya sebagai perangkat kaidah yang mengatur kehidupan bersama.

Konsistensi dalam penyelenggaraan hukum itulah yang kita sebut kepastian hukum.

Dengan mengacu pada pemikiran tersebut di atas maka dapatlah direka lebih

rinci tentang apa itu hukum. Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma

berisikan petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari kehendak manusia

tentang bagaimana seharusnya masyarakat itu dibina dan kemana harus diarahkan.

Oleh karena itu pertama-tama hukum itu mengandung rekaman dari ide-ide yang

dipilih oleh masyarakat tempat hukum itu diciptakan. Ide-ide ini adalah ide mengenai

keadilan.

Namun masyarakat tidak hanya ingin melihat keadilan diciptakan dalam

masyarakat dan kepentingan-kepentingannya dilayani oleh hukum, juga

menginginkan agar dalam masyarakat ada peraturan-peraturan yang menjamin

kepastian dalam hubungan mereka satu sama lain. Dalam kehidupannya masyarakat

berkembang, demikian juga kepentingan-kepentingannya, sehingga memerlukan

perlindungan yang lebih mumpuni bagi kehidupannya. Dengan demikian hukumpun

memerlukan perubahan-perubahan bagi melayani perlindungan kepentingan-

kepentingan itu. Perkembangan hukum harus memenuhi pola-pola yang sudah ada

dalam masyarakat, sehingga tidak justru menghambat perlindungan itu sendiri. saat

ini sedang menghadapi saat perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana kita,

dari KUHP yang berasal dari negeri Belanda melalui azas konkordansi, men jadi

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana nasional. konsep RUU KUHP tersebut dengan

konteks dan tantangan yang kini dihadapi oleh masyarakat Indonesia pasca Orde

Baru. Analisis yang akan diketangahkan disini adalah, apakah penyusunan RUU

KUHP diletakkan sebagai bagian penting dari program Reformasi. Dengan


meletakkan arah hukum pidana dalam konteks program Reformasi, maka pilihan-

pilihan terhadap perbuatan-perbuatan yang diformulasikan dapat dihukum/tindak

pidana/delik (kriminalisasi) dan mana yang bukan (dekriminalisasi) ditentukan oleh

tujuan yang ingin dicapai tersebut.Kalau ditinjau dari perspektif politik hukum/penal

policy, kriminalisasi pada hakekatnya merupakan kebijakan untuk mengangkat

sesuatu perbuatan yang semula bukan tindak pidana menjadi suatu tindak pidana.

Oleh karena itu kalau akan melakukan kriminalisasi dalam rangka politik hukum,

maka kita harus melihat konteks dan tantangan yang tumbuh dalam kurun waktu

kebijakan itu dilaksanakan. Konteks dan tantangan yang dulu (saat RUU KUHP

dibuat) adalah situasi transisi, yaitu interval waktu dari sistem politik yang otoriter ke

sistem politik yang sepenuhnya belum selesai terbentuk (apakah akan menuju

demokrasi atau tidak).

3. Jelaskan perbedaan antara social defence policy dengan social welfare policy,

jelaskan

Kebijakan sosial atau Social policy pada dasarnya adalah upaya mencapai

kesejahteraan serta perlindungan bagi seluruh rakyat Indonesia sesuai dengan cita –

cita bangsa Indonesia yang tercantum jelas dalam pembukaan UUD 1945. Oleh sebab

itu dalam upaya mencapai tujuan tersebut maka dibuatlah kebijakan kesejahteraan

rakyat (Social Welfare) dan kebijakan perlindungan rakyat (sosial defence), dalam hal

ini juga menyangkut penegakan hukum (Law Enforcement) yang otomatis meliputi

kebijakan hukum (Criminal Policy), dan dalam upaya perwujudanya terdapat dua

metode yang dikenal upaya penal dan upaya non penal. Di sisi lain pemerintah negara

Indonesia juga berupaya memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan


bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,

perdamaian abadi dan keadilan sosial. Dengan demikian upaya pemerintah negara

Indonesia disamping melindungi masyarakat (social defence), sekaligus mewujudkan

kesejahteraan masyarakat (social welfare) dan upaya demikian merupakan tujuan

nasional.

4. Bagaimanakah pelaksanaan politik hukum pidana dalam pembangunan

politik hukum nasional?

Dalam melaksanakan pembangunan hukum, hal penting yang harus

diperhatikan adala hukum harus dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan

sistem yang di dalamnya terdapat elemen kelembagaan, elemen materi hukum, dan

elemen budaya hukum. Hukum Nasional adalah kesatuan hukum yang dibangun

untuk mencapai tujuan Negara yang bersumber dari falsafah dan konstitusi negara, di

dalam kedua hal itulah terkandung tujuan, dasar, dan cita hukum negara Indonesia.

Semua tentang hukum nasional yang hendak dibangun, haruslah merujuk kepada

keduanya, dengan demikian upaya reformasi hukum, akan sangat tergantung kepada

reformasi konstitusi. Bila konstitusi yang dibangun masih memberi peluang bagi

lahirnya sebuah otoritarianisme, maka tidaklah akan lahir sebuah hukum nasional

yang demokratis.

Politik hukum nasional meliputi pembaharuan hukum (ius constituendum),

pelaksanan huku (ius constitutum) dan penegasan fungsi pelaksana hukum serta

meningkatkan kesadaran hukum (legal culture). Politik Hukum Pidana, Merupakan

sesuatu arah dan kebijakan yang baru ( progres ) dalam menyikapi serta

menanggulangi kejahatan kejahatan dan pelanggaran pidana, yang marak dan selalu
berkembang seiring semakin dewasanya kehidupan manusia, dalam ber interaksi

sosial dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kejahatan

kejahatan atau pelanggaran nasional maupun trans-nasional

5. RKUHP Nasional akan segera disahkan akan tetapi masih ada beberapa pasal

yang masih diperdebatkan, sebutkan pasal dan perbuatan apa saja yang masih

diperdebatkan tersebut dan Jelaskan pula pendapat saudara?

Isu yang masih diperdebatkan:

1. Korupsi (Pasal 604) Dalam pasal 604, korupsi di RKUHP justru dilengkapi

hukuman yang lebih ringan dibanding UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak

Pidana Korupsi atau UU Tipikor. Dalam Pasal 604 RKUHP, disebutkan seorang

koruptor dihukum minimal penjara dua tahun dan minimal denda Rp10 juta.

Sementara dalam Pasal 2 UU Tipikor yang memiliki rumusan sama persis, hukuman

penjara itu minimal empat tahun dan denda minimal Rp1 miliar.

2. Alat Kontrasepsi (Pasal 414 dan 416) Pasal tersebut memuat terkait pemidanaan

kegiatan promosi atau mempertunjukkan tanpa diminta alat pencegahan

kehamilan/kontrasepsi (PDF). Aturan ini tertera dalam Pasal 414 RKUHP yang

berbunyi: “setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan,

menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah

kehamilan kepada anak dipidana dengan pidana denda paling banyak kategori I

(maksimal Rp1 juta).” Aturan ini dianggap kontradiktif dengan upaya

penanggulangan HIV. Sedangkan Pasal 416 RKUHP menyebutkan, pidana tersebut


dikecualikan bagi: petugas yang berwenang, mereka yang melakukannya untuk

kepentingan ilmu pengetahuan/pendidikan, dan relawan yang kompeten yang

ditugaskan pejabat yang berwenang.

3. Perzinaan (pasal 418) Dalam draf RKUHP, Pasal tersebut mengatur tentang

perzinaan yang mana ayat 1 menyebutkan laki-laki yang bersetubuh dengan seorang

perempuan yang bukan istrinya dengan persetujuan perempuan tersebut karena janji

akan dikawini kemudian mengingkari janji tersebut dipidana penjara paling lama 4

tahun atau denda paling banyak Kategori 3. Sementara ayat 2 disebutkan, dalam hal

tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kehamilan dan laki-

laki tersebut tidak bersedia mengawini atau ada halangan untuk kawin yang

diketahuinya menurut peraturan perundang-undangan di bidang perkawinan di pidana

penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak kategori 4.

4. Penghinaan Presiden (Pasal 218-220) Pasal ini juga dianggap bermasalah. Dalam

draf RKUHP tercantum Pasal 218 dan 219 tentang Penyerangan Kehormatan atau

Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 218 mengatakan setiap orang

yang dianggap "menyerang kehormatan" presiden dan wakil presiden bisa dipidana

maksimal 3,5 tahun atau denda Rp150 juta. Sementara Pasal 219 menyebut setiap

orang yang menyiarkan, mempertunjukkan atau menempelkan tulisan atau gambar

yang dianggap menyerang kehormatan dan martabat presiden dan wakil presiden di

depan publik, terancam hukuman paling lama empat tahun enam bulan atau denda

paling banyak kategori IV, yakni maksimal Rp150 juta. Sedangkan Pasal 220

menegaskan perbuatan itu baru menjadi delik apabila ada aduan dari presiden atau

wakil presiden. Hukuman lebih berat diberikan bagi yang menyiarkan hinaan tersebut.

Pada Pasal 219, disebutkan ancamannya adalah 4,5 tahun penjara.


5. Santet (Pasal 252) Seseorang dapat diancaman pidana terkait santet. Meaki dinilai

sulit dibuktikan, penjelasan soal pasal tersebut dimaksudkan untuk mengatasi

keresahan masyarakat yang ditimbulkan oleh praktik ilmu hitam (black magic), yang

secara hukum menimbulkan kesulitan dalam pembuktiannya. Ketentuan ini

dimaksudkan juga untuk mencegah secara dini dan mengakhiri praktik main hakim

sendiri yang dilakukan oleh warga masyarakat terhadap seseorang yang dituduh

sebagai dukun teluh (santet).

6. Aborsi (pasal 251, 470-472) Pasal 251, 470-472 RKUPH tentang tindakan pidana

aborsi dengan tanpa pengecualian, juga dinilai dapat mengkriminalisasi perempuan

korban pemerkosaan. Selain itu, petugas medis yang membantu aborsi juga terancam

dipidana.

7. Gelandangan (Pasal 432) Pasal 432 RKUHP tersebut menjelaskan bahwa setiap

orang yang bergelandangan di jalan atau di tempat umum yang mengganggu

ketertiban umum dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori I atau denda

Rp1 juta. Hal ini dianggap berseberangan dengan UUD 1945 yang menyatakan fakir

miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.

8. Unggas (pasal 278-279) Ketentuan ini tercantum dalam Pasal 548-549 KUHP dan

dimasukkan dalam draft RKUHP dalam Pasal 278-279. Bedanya hewan ternak pada

KUHP diubah menjadi unggas pada RKUHP. "Setiap orang yang membiarkan unggas

yang diternaknya berjalan di kebun atau tanah yang telah ditaburi benih atau tanaman

milik orang lain dipidana dengan pidana denda paling banyak Kategori II," bunyi
Pasal 278 KUHP.

Anda mungkin juga menyukai