Anda di halaman 1dari 5

SESI 4

Hallo Selamat Pagi

Definisi asas legalitas, terdapat kesamaan pandangan di antara para ahli hukum pidana bahwa
pengertian asas legalitas adalah tiada perbuatan dapat dipidana kecuali atas dasar kekuatan
ketentuan pidana menurut undang-undang yang sudah ada terlebih dahulu (Hiariej, 2007: 124).
Ketentuan ini sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP adalah defenisi baku dari
asas legalitas.

Makna yang terkandung dalam asas legalitas antara lain:

1. Nullum crimen, noela poena sine lege praevia, artinya tidak ada perbuatan pidana,
tidak ada pidana tanpa undang-undang sebelumnya. Konsekuensi dari makna ini
adalah ketentuan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
2. Nullum crimen, nulla poena sine lege certa, artinya tidak ada perbuatan pidana, tidak
ada pidana tanpa aturan undang-undang yang jelas. Konsekuensi selanjutnya dari
makna ini adalah bahwa rumusan perbuatan pidana harus jelas sehingga tidak bersifat
multi tafsir yang dapat membahayakan bagi kepastian hukum.
3. Nullum crimen, nulla poena sine lege scripta, artinya tidak ada perbuatan pidana,
tidak ada pidana tanpa undang-undang tertulis. Konsekuensi dari makna ini adalah
semua ketentuan pidana harus tertulis secara eksplisit.
4. Nullum crimen, noela poena sine lege stricta, artinya tidak ada perbuatan pidana,
tidak ada pidana tanpa undang-undang yang ketat. Atau tidak memperbolehkan
analogi, supaya tidak menimbulkan perbuatan pidana baru.

ASAS LEGALITAS PADA KUHP DAN PADA RUU KUHP YANG TERBARU

Asas legalitas dalam konteks hukum pidana nasional biasanya dituangkan dalam undang-
undang dasar suatu negara dan di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana masing-
masing negara.

Di Indonesia sendiri, asas legalitas dalam konstitusi baru dimasukkan dalam amandemen
kedua UUD 1945. Pasal 281 ayat (1) menyebutkan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak
disiksa, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di
hadapan hukum dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah
hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun". Sementara itu,
dalam Pasal 28J ayat (2) menyatakan, “Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap
orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan
maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan
kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan
moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat
demokratis" (Mahkamah Konstitusi Republik Indoneisa, 2003: 35-36).

Hal tersebut menunjukkan adanya pembatasan berlakunya asas legalitas dalam hal terjadinya
perubahan peraturan peruandang-undangan, hal demikian pun terdapat dalam Kitab Undang-
undang hukum pidana di beberapa negara termasuk Indonesia.
Di Indonesia sendiri dalam perkembangannya pembatasan terhadap asas legalitas tidak hanya
menyangkut perubahan peraturan perundang-undangan tetapi juga menyangkut sumber
hukum. Lebih jelas, dapat dilihat dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
yang sampai saat ini masih menjadi pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia. Apabila kita merujuk kepada Rancangan KUHP (RUU KUHP) di Indonesia
tampaknya asas legalitas tidak berlaku secara absolut.

Jaminan fidusia sekarang diatur dalam UU No.42/1999 yang baru mulai efektif diberlakukan sejak
tanggal 30 September 2000. Jaminan fidusia merupakan lembaga jaminan yang berkembang seiring
dengan kesulitan yang dialami oleh debitur dalam hal benda yang dijadikan jaminan harus
diserahkan kepada kreditur seperti yang terdapat pada jaminan gadai. Dengan demikian, dalam
jaminan fidusia meskipun terdapat objek yang sama dengan gadai, yaitu benda bergerak, namun
benda tersebut tidak perlu diserahkan kepada kreditur, tetapi cukup kepemilikannya saja secara
kepercayaan yang diserahkan kepada kreditur.

Seperti jaminan kebendaan lainnya, jaminan fidusia memiliki memiliki keistimewaan untuk
didahulukan pelunasan hutangnya dari kreditur-kreditur lainnya. Sedangkan objek yang dapat
dijadikan jaminan fidusia adalah benda bergerak dan benda tidak bergerak yang tidak dapat dibebani
dengan hipotik atau hak bangunan. Berdasarkan hal tersebut objek jaminan fidusia tidak hanya
benda bergerak, tetapi termasuk benda tetap yang tidak dapat dibebani hipotik dan hak tanggungan.

Mengingat benda yang dijadikan jaminan berada di tangan debitur maka untuk lahirnya jaminan
fidusia, jaminan tersebut harus didaftarkan seperti halnya hak tanggungan. Pendaftaran jaminan
fidusia dilakukan pada kantor wilayah Departemen Hukum dan HAM setempat untuk selanjutnua
dikeluarkan sertifikat jaminan fidusia sebagai bukti adanya hak jaminan tersebut.
Bagi mereka yang mengalihkan benda yang dijadikan jaminan fidusia dapat dikenakan tuntutan
pidana berdasarkan Pasal 35 UU Jaminan Fidusia dengan pidana penjara minimal 1 tahun dan
maksimal 5 tahun dan denda minimal Rp. 10.000.000,- dan maksimal Rp. 100.000.000,-.

Dari kasus diatas didapati adanya perjanjian fudunsia antara pihak PT. Adira Finance dengan saudara
Betrand jaminan tersebut ialah satu unit motor dengan masa kredit selama 4 tahun, saudara
Betrand yang mana telah malakukan kewajibannya selama 2,5 tahun namun terhenti karena saudara
Betrand mengalami PHK sehingga ia menjual unit tersebut kepada rekannya yang seharusnya ia
masih berkewajiban membayar 1,5 tahun lagi.

Maka sesuai dengan ketentuan UU perbuatan saudara Betrand telah melanggar Pasal 35 UU
Jaminan Fidusia, yang mana seharusnya saudara Betrand melaksanakan pengalihan tersebut sesuai
dengan ketentuan Pasal 19 UU Jaminan Fidusia :

(1) Pengalihan hak atas piutang yang dijamin dengan fidusia mengakibatkan beralihnya demi hukum
segala hak dan kewajiban Penerima Fidusia kepada kreditor baru.

(2) Beralihnya Jaminan Fidusia sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) didaftrkan oleh kreditor baru
kepada Kantor Pendaftran Fidusia.
Sumber : HKUM4202/MODUL7

Hallo Selamat Siang

Undang - Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa hak asasi
manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai makluk Tuhan Yang Maha Esa
dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat.

Dalam kasus diatas pada prinsipnya semua kejahatan itu adalah pelanggaran HAM. Tapi tidak semua
pelanggaran HAM itu terkategorikan pelanggaran HAM yang berat. Jadi kasus Novel itu kasus murni
hukum, pelanggaran HAM dalam artian pelanggaran hukum, bukan pelanggaran HAM yang berat.
teror yang menimpa penyidik senior Novel Baswedan bukan termasuk pelanggaran HAM berat.
Sebab, satu tindakan dianggap pelanggaran HAM berat apabila telah terjadi penyalahgunaan
kekuasaan. Selain itu, ada genosida yang tersistematis. Dalam kasus ini, tidak gak ada hal tersebut
dilakukan. Terhadap kasus Novel bukan (pelanggaran HAM berat) dan tidak ada kaitannya dengan
kebijakan negara.

Sumber : HKUM4103/MODUL5

Hallo Selamat Siang

Perubahan sosial meupakan perubahan yang terjadi dalam kebudayaan masyrakat, perubahan sosial
mencangkup semua perubahan apa saja yang terjadi di masyarakat seperti, nilai, lembaga, struktuk,
jumlah penduduk, termasuk kebudayaan. Bahwa dalam masyarakat yang terdiri dari komponen
subsistem dalam magna fungsionalnya, akan turut pula mengalami perubahan terhadap pola
kemampuan yang lebih baik untuk menanggulangi permasalahan hidupnya, jika masyarakat
mengalami beberapa perubahan.

Dengan demikian, perspektif fungsionalisme yang dibentuk oleh Parson menegaskan proses
bertahanya sebuah sistem sosial harus ditunjang dengan yang disebut imperatif fungsional.
Imperatif tersebut terdiri atas Lantency, Integration, Goal Attaintment dan Adaptation (LIGA).
Diuraikan lebih kanjut keempat fungsi imperatif tersebut yaitu:

1. Adaptasi
Sebuah sistem ibarat makhluk hidup, artinya agar dapat terus berlangsung hidup sebuah sistem
harus dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan yang ada dan harus mampu bertahan ketika
situasi eksternal sedang tidak mendukung.

2. Goal (pencapaian)
Sebuah sistem harus memiliki suatu arah yang jelas yang dapat berusaha mencapai tujuannya.
Dalam hal ini sistem harus dapat mengatur, menentukan, dan memiliki sumber daya untuk
menetapkan dan mencapai tujuan yang bersifat kolektif.

3. Integrasi
Sebuah sistem harus mengatur hubungan antara bagian yang menjadi komponennya. Sistem juga
harus dapat mengelola hubungan antara ketiga fungsi penting lainnya.
4. Latensy (pemeliharaan pola)
Sebuah sistem harus melengkapi, memelihara, dan memperbaiki pola-pola kultural yang
menciptakan dan menopang motivasi.

Setiap fungsi imperatif itu memegang peranan masing-masing berkat dukungan situasi yang dijaga
oleh masyarakat yang bersangkutan, Adaptasi dilaksanakan oleh organisme perilaku dengan cara
melaksanakan fungsi adaptasi yaitu dengan cara menyesuaikan diri dan mengubah lingkungan
eksternal. Sedangkan fungsi pencapaian tujuan atau goal attainment difungsikan oleh sistem
kepribadian dengan menetapkan tujuan sistem dan memobilisasi sumber daya untuk mencapainya.
Funsi integrasi dikalkukan oleh sistem sosial, dan laten difungsikan sistem kultural dengan
menyediakan seperangkat norma dan nilai yang memotivasi aktor untuk bertindak.

Sumber : SOSI4416/MODUL5

Hallo Selamat Siang

Bouganville memiliki rakyat, memiliki wilayah dan memiliki pemerintahan, sehingga tinggal satu
syarat lagi untuk menjadi sebuah negara yang bisa menjadi subyek hukum internasional yaitu
pengakuan dan bisa menjalin hubungan dengan negara lain. Jika melihat dari definisi istilah
pengakuan negara baru dalam hukum internasional adalah pernyataan /sikap dari suatu pihak untuk
mengakui eksistensi suatu entitas politik baru sebagai negara baru untuk menjadi subyek hukum
internasional dengan hak dan kewajiban yang melekat. Terdapat 3 teori yang menjelaskan tentang
pengakuan negara yaitu :
1. Teori Deklaratoir yaitu lahirnya suatu negara baru karena merupakan peristiwa/fakta yang
terlepas sama sekali dengan ketentuan hukum internasional sehingga pengakuan pihak lain
merupakan tindakan formalitas/penegasan/penerimaan terhadap fakta tersebut.
2. Teori Konstitutif yaitu lahirnya sebuah negara baru ketika bila telah diakui oleh negara lain
sehingga bila tidak ada negara lain yang mengakui lahirnya sebuah negara baru maka dianggap
negara baru tersebut bukan subyek hukum internasional
3. Teori Pengakuan Kolektif yaitu lahirnya sebuah negara baru bila telah memenuhi parameter-
parameter yang disusun oleh lembaga formal subyek hukum internasional.

Berdasarkan proses terbentuknya negara Bouganville dan unsur unsur negara sebagai subyek hukum
internasional sebagaian telah terpenuhi dan negara berdaulat yang memiliki sebelumnya yaitu
Papua Nugini telah mengakui dan rela menyerahkan kekuasaannya secara bertahap dimulai tahun
2023 dan sepenuhnya merdeka tahun 2027 maka pengakuan negara Bouganville dapat mengunakan
pendekatan Teori Deklaratoir yaitu ada tidaknya pengakuan tidak berpengaruh terhadap
pelaksanaan hak dan kewajiban suatu negara dalam hubungan internasional. Pada masa transisi
pengakuan negara Bouganville dapat diakui secara de facto sampai dengan tahun 2027 baru diakui
secara de jure. Pengakuan dari suatu negara ke negara lain dapat dilakukan secara de jure dan de
facto.

Pengakuan de jure adalah pengakuan yang diberikan suatu negara atas kedaulatan negara lain
dengan melakukan deklarasi bahwa negara atau pemerintahan tersebut sah berdiri dan pengakuan
diberikan berdasarkan hukum internasional yang berlaku. Pengakuan de jure dari suatu negara
terhadap negara lain ditandai oleh adanya hubungan diplomatik, melalui pendirian kedutaan dan
pertukaran duta besar.

Sementara pengakuan de facto hanya sebatas pengakuan fakta adanya negara tersebut atau
kenyataan bahwa wilayah tersebut diakui oleh suatu negara. Pengakuan de facto misalnya dengan
mengizinkan perdagangan ke wilayah negara tersebut, melakukan kegiatan kerjasama politik dan
militer, namun tanpa pengakuan de jure.

Anda mungkin juga menyukai