Anda di halaman 1dari 8

TUGAS MATA KULIAH TEORI HUKUM

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Ade Maman Suherman, S.H., M.Sc.


Oleh : Padang Kusumo (E2A021047)

1. (Sociological Jurisprudence) analisis pendapat tentang pemecatan 57


ASN KPK dikaitkan dengan sosiologi hukum.
Teori Sociological Jurisprudence yaitu “Hukum yang baik adalah hukum
yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Adanya
keseimbangan aturan hukum formal dengan hukum yang hidup di
masyarakat, atau kepentingan penguasa kepada masyarakat”.

Jawaban:
Menurut saya, pemecatan yang dilakukan oleh KPK terhadap 57
anggotanya yang berstatus pegawai KPK karena tidak lolos Tes Wawasan
Kebangsaan (TWK) merupakan tindakan sewenang-wenang KPK. Karena
semestinya tidak perlu terjadi. Walaupun 57 pegawai KPK tersebut tidak
lolos menjadi ASN KPK, harusnya KPK masih dapat mempertimbangkan
hal lainnya seperti misalnya tetap menjadikan mereka pegawai non-ASN.
Namun muncul sebuah harapan bagi 57 mantan pegawai KPK.
Didasarkan pada putusan Mahkamah Agung (MA) yang menyebut tindak
lanjut dari hasil TWK diserahkan kepada pemerintah. Selain itu, hasil
pemeriksaan Ombudsman RI menemukan adanya mal administrasi saat
penyelenggaraan asesmen.
Sementara itu, hasil penyelidikan Komnas HAM menunjukkan ada 11
jenis pelanggaran hak asasi dalam pelaksanaan TWK. Komnas HAM juga
merekomendasikan agar Presiden Jokowi memulihkan status pegawai KPK
yang dinyatakan tidak memenuhi syarat menjadi ASN. Presiden juga
diminta untuk melakukan evaluasi menyeluruh terhadap proses TWK. Dan
kabar terbaru 57 mantan pegawai KPK telah diminta POLRI untuk masuk
menjadi ASN POLRI.
2. (Roscoe Pound) analisis UU yang bertujuan untuk membangun
rekayasa sosial masyarakat (Isinya apa, tujuannya apa).
Teori yang dikemukakan oleh Roscoe Pound yaitu “hukum harus dipandang
sebagai lembaga kemasyarakatan yang berfungsi untuk memenuhi
kebutuhan sosial. Hukum sebagai suatu konsep yang dapat dikembangkan
sedemikian rupa untuk dijadikan alat rekayasa sosial”.

Jawaban:
Dalam Undang-undang Nomer 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan dijelaskan bahwa peraturan perundang-
undangan dibentuk dan ditujukan kepada masyarakat (rekayasa sosial).
Dengan kekuatan mengikatnya, peraturan perundang-undangan dapat
memberikan suatu kewajiban kepada masyarakat untuk melakukan sesuatu.
Peraturan perundang-undangan dalam sistem demokrasi tidak hanya sebagai
produk yang dibentuk oleh lembaga perwakilan yang dipilih langsung oleh
rakyat. Namun juga dibentuk pula bersama dengan masyarakat, karena
lembaga perwakilan di dalam sistem demokrasi dapat menjadi kekuatan
oligarki yang membawa akibat pada kondisi masyarakat yang tidak
melegitimasi atau tidak mengakui produk hukum yang telah dihasilkan oleh
lembaga perwakilan yang dipilih sendiri oleh rakyat.
Oleh karena itu, untuk membentuk peraturan perundang-undangan
yang memiliki legitimasi atau akar sosial yang kuat guna meminimalisir
adanya penolakan terhadap peraturan perundang-undangan yang telah
diundangkan maka dalam proses pembentukan peraturan perundang-
undangan memberikan hak kepada masyarakat untuk memberikan masukan
serta memberikan akses kepada masyarakat untuk melakukan aktivitas
tersebut.
Hak masyarakat ini telah diatur dalam Pasal 28 D Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjelaskan bahwa
setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil.

3. (Benyamin Cardozo) mencari muatan lokal atau sejarah adat istiadat


yang memiliki pengaruh dan diadopsi kedalam peraturan perundang-
undangan.
Aplikasikan teori ini yang terjadi dalam per undang-undangan indonesia.
Teori yang dikemukakan oleh Benyamin Cardozo yaitu “hukum sebagai
kaidah yang perkembangannya sangat bergantung pada komponen-
komponen di luarnya. Logika, sejarah, adat istiadat, pedoman perilaku yang
benar, hakikatnya merupakan kekuatan-kekuatan yang berpengaruh besar
terhadap perkembangan hukum”.

Jawaban:
Indonesia sebagai negara yang mempunyai keberagaman dalam
bidang hukumnya, dimana ada tiga hukum yang keberadaannya diakui dan
berlaku yaitu hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Pada prakteknya
masih banyak masyarakat yang menggunakan hukum adat dalam mengatur
kegiatan sehari-harinya serta dalam menyelesaikan suatu permasalahan.
Tiap wilayah di Indonesia mempunyai tata hukum adatnya masing-masing
untuk mengatur kehidupan bermasyarakat yang beraneka ragam yang
sebagian besar hukum adat tersebut tidak dalam bentuk aturan yang tertulis.
Hukum adat tersebut berkembang mengikuti perkembangan
masyarakat dan tradisi rakyat yang ada. Hukum adat merupakan endapan
kesusilaan dalam masyarakat yang kebenarannya mendapatkan pengakuan
dalam masyarakat tersebut. Dalam perkembangannya, praktek yang terjadi
dalam masyarakat hukum adat keberadaan hukum adat sering menimbulkan
pertanyaan-pertanyaan apakah aturan hukum adat ini tetap dapat digunakan
untuk mengatur kegiatan sehari-hari masyarakat dan menyelesaikan suatu
permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat hukum adat.
Padahal negara kita juga mempunyai aturan hukum yang dibuat oleh
badan atau lembaga pembuat undang-undang dan peraturan perundang-
undangan lainnya. Antara hukum adat dengan hukum negara mempunyai
daya pengikat yang berbeda. Walaupun secara konstitusional bersifat sama
tetapi terdapat perbedaan pada bentuk dan aspeknya.
Hukum adat ini secara resmi telah diakui keberadaannya oleh negara
tetapi penggunaannya terbatas. Merujuk pada pasal 18B ayat (2) UUD 1945
dimana menyebutkan “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang
masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”
yang berarti bahwa negara mengakui keberadaan hukum adat serta hak
konstitusionalnya dalam sistem hukum Indonesia.
Diatur dalam Pasal 3 UUPA “Pelaksanaan hak ulayat dan hak-hak
yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat, sepanjang menurut
kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan
kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa
serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-
peraturan lain yang lebih tinggi.”
Masalah yang sering timbul adalah dalam hal pengakuan hak ulayat
atau kepemilikan hak atas tanah. Hak ulayat yaitu hak penguasaan atas tanah
masyarakat hukum adat yang dalam ketentuan peraturan perundang-
undangan diakui oleh negara dimana dalam teorinya hak ulayat dapat
mengembang (menguat) dan mengempis (melemah) sama juga halnya
dengan hak-hak perorangan dan ini pula yang merupakan sifat istimewa
hak-hak atas tanah yang tunduk pada hukum adat, “semakin kuat kedudukan
hak ulayat maka hak milik atas tanah itu semakin mengempis tetapi apabila
semakin kuat hak milik itu maka keberadaan hak ulayat itu akan berakhir”.
Dengan telah diakuinya hak-hak kesatuan masyarakat hukum adat
tetapi masih banyak permasalahan yang terjadi di daerah-daerah Indonesia.
Karena banyak penggunaan tanah ulayat yang berakhir sengketa karena
tidak sesuai dengan seharusnya. Hal itu timbul karena para investor
seharusnya berurusan langsung dengan masyarakat adat sebagai pemilik hak
ulayat untuk melaksanakan suatu perjanjian. Tetapi kenyataannya malah
investor tersebut mendapatkan tanahnya melalui pemerintah yang
mengakibatkan masyarakat adat selaku pemilik protes karena mengapa
melakukan kegiatan investor ditanah mereka. Timbul juga sebuah kerugian
sebagai efek samping dari terjadinya sengketa karena tanah tersebut dalam
status quo sehingga tidak dapat digunakan secara optimal dan terjadilah
penurunan kualitas SDA yang bisa merugikan banyak pihak.
Negara sebagai pemberi sebuah jaminan kepastian hukum adat
terhadap masyarakat hukum adat dengan diberlakukannya UU No.5 Tahun
1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria (UUPA) diharapkan dapat
mengurangi terjadinya sengketa dan memberikan keadilan untuk masyarakat
adat. Karena dalam pasal 3 UUPA menyebutkan bahwa hukum tanah
nasional bersumber pada hukum adat seharusnya secara otomatis hak-hak
ulayat tersebut diakui tetapi dalam prakteknya tidak. Jangan sampai
terjadinya tumpang tindih aturan yang berakibat kaburnya kepemilikan serta
penguasaan dan pengelolaan oleh masyarakat adat dalam tatanan hukum
Indonesia karena tidak adanya kepastian kedudukan tersebut.

4. (Jeremias Bentham) analisis peraturan yang regulasinya tentang


peningkatan kesejahteraan atau peningkatan hukum ekonomi.
Teori yang dikemukakan Jeremias Bentham yaitu “Baik buruknya hukum
harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan
hukum itu. Suatu ketentuan hukum baru dapat dinilai baik, jika akibat yang
dihasilkan dari penerapannya adalah kebaikan, kebahagiaan sebesar-
besarnya, dan mengurangi penderitaan”.

Jawaban:
Menghadapi tantangan di depan untuk dapat keluar dari middle
income trap dan meraih cita-cita menjadi Indonesia Maju. Dibutuhkan
reformasi struktural agar pertumbuhan ekonomi dapat dipacu lebih tinggi
lagi. Dalam menjalankan transformasi struktural, meningkatkan investasi
dan mengakselerasi pertumbuhan ekonomi, pemerintah telah mengesahkan
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Terlepas pro
kontra yang ada di masyarakat. Faktanya UU ciptaker sudah diundangkan.
Di antara aturan turunan dari UU Cipta Kerja yang bertujuan untuk
mendorong investasi adalah Perpres Nomor 10 Tahun 2021 yang mengatur
tentang Daftar Prioritas Investasi. Pemerintah telah menetapkan lebih dari
1.700 bidang usaha terbuka untuk penanaman modal, 245 bidang usaha
prioritas, 89 bidang usaha yang dialokasikan untuk kemitraan dengan
Koperasi dan UMKM, serta 46 bidang usaha dengan persyaratan tertentu.
Pemerintah juga menawarkan berbagai insentif fiskal dan non fiskal kepada
Investor yang menanamkan dananya pada bidang usaha prioritas.
Perjuangan untuk membangkitkan ekonomi dari pandemi COVID-19 masih
harus terus berlanjut. Investasi menjadi salah satu kunci dalam mewujudkan
pembangunan ekonomi yang berkelanjutan. Sehingga manfaat UU ciptaker
masih perlu dibuktikan efektivitas nya dalam beberapa waktu ke depan.

5. (David Kairys) Analisis tentang pasal dalam UU cipta kerja yang


dianggap mementingkan kapitalis.
Teori yang dikemukakan oleh David Kairys yaitu “Mewarisi kritik marxis
terhadap hukum liberal yang hanya dianggap melayani sistem kapitalisme”.

Jawaban:
Kontroversi yang ditimbulkan oleh Omnibus Law atau UU Cipta
Kerja salah satunya adalah mencuatnya respon publik dikarenakan
pengesahannya yang mendadak. Muncul isu mengenai pertanahan,
ketenagakerjaan, dan juga UMKM. Namun, ada salah satu yang unpopular
issue, yakni terkait perizinan.
Perubahan pentinf terkait perizinan yang diatur dalam UU ini adalah
perombakan paradigma perizinan di Indonesia, utamanya perizinan
berusaha. Perubahan tersebut dari model berbasis izin biasa (license
approach) menjadi perizinan berbasis resiko (risk-based licensing).
Tujuannya untuk menyederhanakan perizinan berusaha di Indonesia.
Pendekatan seperti ini membuat pemerintah memberikan izin berdasarkan
tingkatan resiko dan ancaman lingkungan eksternal dari suatu kegiatan
usaha. Konsekuensinya, pemerintah memberikan kepercayaan kepada tiap
pelaku usaha untuk melakukan kegiatan usaha sesuai standar risiko yang
telah ditetapkan pemerintah.
Penerapan Perizinan Berbasis Risiko ditekankan pada perizinan
berusaha. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 6-12 UU Cipta Kerja (Dokumen
Final Paripurna DPR, Oktober 2020). Perizinan berbasis risiko dilakukan
berdasarkan penetapan tingkat resiko kegiatan usaha meliputi kegiatan
usaha berisiko rendah, menengah, dan tinggi. Bagi kategori Rendah, hanya
memerlukan Nomor Izin Berusaha (NIB) saja sebagai legalitas pelaksanaan
izin berusaha.
Untuk kategori menengah memerlukan NIB dan Sertifikat Standar.
Sedangkan terhadap Kategori Tinggi barulah memerlukan NIB dan izin.
Izin tersebut merupakan persetujuan Pemerintah Pusat untuk melaksanakan
kegiatan usaha yang wajib dipenuhi oleh pelaku usaha sebelum
melaksanakan kegiatan usahanya. Sehingga pemerintah juga harus membuat
indikator dan sekaligus klasifikasi usaha.
Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dalam Catatan
Terhadap Undang-Undang Omnibus Law /Cipta Lapangan Kerja
menyatakan bahwa pengaturan perizinan berbasis resiko tidak dapat
diterapkan dengan baik di Indonesia, karena penentuan resiko cenderung
subyektif, mudah diperdebatkan, serta memerlukan banyak data dalam
pemeringkatan resiko.
Ada beberapa ketentuan pengaturan dalam UU ini yang ditentukan akan
diatur lebih lanjut melalui peraturan pemerintah, Pasal 12 misalnya.
Peraturan Pemerintah merupakan produk hukum yang dikeluarkan oleh
pemerintah secara mandiri, tanpa adanya peran dari unsur/lembaga
perwakilan rakyat. Tentu hal ini menjadi masalah, karena tidak akan ada
keterlibatan masyarakat dalam membuat keputusan. Padahal, perizinan
usaha akan sangat berdampak pada masyarakat, misalnya terkait dengan
tanah dan lingkungan.
Potensi konflik kepentingan juga dapat memengaruhi pembentukan
peraturan pemerintah. Selain itu, dapat dilihat bahwa ada kontradiksi
sebenarnya. Satu sisi, UU ini dibuat dengan maksud untuk mengatasi
banyaknya peraturan saat ini. Namun di sisi lain, UU ini malah
mensyaratkan adanya berbagai aturan turunan. Walaupun sebenarnya ada
mekanisme pengujiannya ke MK dan MA jika terjadi pertentangan norma,
namun itu tetap membutuhkan proses yang lama untuk menyelesaikannya.
Hal tersebut jelas akan merugikan usaha yang telah berjalan, karena
harus menyesuaikan lagi dengan aturan yang baru. Seharusnya lebih detail
pengaturan telah diletakkan dalam UU Cipta Kerja sekaligus (tidak terkesan
terburu-buru dalam pembahasanya). Hal ini untuk menjamin keterwakilan
suara masyarakat serta lebih memberikan kepastian hukum.

Anda mungkin juga menyukai