Anda di halaman 1dari 12

Supremasi Hukum Antara Ekspetasi Dan Realita Di Republik Indonesia

Oleh : Satria Arya WIdyadhana

I. PENDAHULUAN

Secara umum, Supremasi Hukum merupakan sebuah prinsip demokrasi liberal yang
mewujudkan ide-ide,gagasan-gagasan, seperti konstitusionalisme dan pemerintah dengan
kekuasaan terbatas. Supremasi hukum berupaya untuk menegakkan dan memposisikan
hukum pada tingkat yang paling tinggi dalam suatu negara

Supremasi hukum hanya dikenal dalam negara hukum. Di dunia ini, ada 2 bentuk negara
hukum, yaitu negara hukum Rechtstaat dan negara hukum The Rule of Law. Secara
substantif, negara hukum Rechtstaat dan negara hukum The Rule of Law memiliki persamaan
yang mendasar dalam ciri dan karakternya karena meletakan hukum sebagai landasan
berpijak atau pedoman berbangsa dan bernegara. Negara hukum Rechtstaat sering ditemukan
pada negara-negara yang menganut tradisi Eropa Kontinental, dipelopori oleh Julius Stahl.

Unsur-unsur utama negara hukum formal/klasik meliputi : (Riawan Tjandra, 2014:3)

1. Pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia,


2. Penyelenggaraan negara harus di dasarkan atas teori trias politica supaya menjamin
terlindungnya hak-hak asasi manusia tersebut,
3. Penyelenggaraan pemerintah di dasarkan atas undang-undang (wetmatig bestuur),
4. Apabila dalam pelaksanaan kewenangannya pemerintah melanggar hak-hak asasi
manusia warga negara, maka harus ada pengadilan administrasi yang
menyelesaikannya.

Sedangkan, pada negara-negara yang bercorak Anglo Saxon, konsep negara hukumnya
dipengaruhi oleh The Rule of Law yang diperkenalkan oleh AV.Dicey, yang meliputi 3
(unsur, yaitu :

1. Supremasi dari hukum, artinya bahwa yang mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam
negara adalah hukum (kedaulatan hukum),
2. Persamaan kedudukan hukum bagi setiap orang
3. Konstitusi itu tidak merupakan sumber dari hak-hak asasi manusia dan jika hak-hak
asasi manusia itu diletakan dalam konstitusi itu hanya sebagai penegasan bahwa hak
asasi manusia itu dilindungi.

1
Dari penjelasan tentang konsep negara hukum di atas, sangat jelas bahwa apapun bentuknya
negara itu, hukum menjadi sesuatu yang teramat sangat penting.

Melalui hukum segala tindakan akan dapat berjalan dengan baik dan ada kontrol yang
baik pula. Indonesia sebagai negara hukum yang terbesar, telah lama membangun hukumnya
dengan menyesuaikan diri dengan perkembangan peradaban hukum modern. Terutama pasca
reformasi, bila kita hendak membandingkan pertumbuhan hukum dari era orde lama, orde
baru dan era reformasi, maka era reformasi lebih pesat pertumbuhannya. Terbukti dengan
banyaknya peraturan perundangan-undangan yang di buat. Disamping perkembangan di
dalam negeri, Indonesia juga melakukan ratifikasi terhadap berbagai macam konvensi
Internasional, sekaligus menggagas berbagai macam aturan di kanca internasional.

Senada dengan itu, dikatakan oleh Wicipto Setiadi bahwa “Reformasi telah menjadikan
hukum sebagai sesuatu yang “supreme” dalam penyelenggaraan negara. Supremasi hukum
menghendaki dalam menyelesaikan setiap permasalahan, hukumlah yang harus dijadikan
pegangan sebagai satu-satunya ukuran sehingga penegakan supremasi hukum tidak perlu
mengabaikan perhatian terhadap aspek pembangunan lainnya. (Bunga Rampai Komisi
Yudisial Republik Indonesia dengan tulisan berjudul “Arti Penting Lembaga-Lembaga
Hukum di Indonesia dalam Merespon Perubahan Sosial”, diakses tanggal 3 Februari
2016).Secara yuridis formal ketentuan bahwa Indonesia adalah negara hukum dapat
ditemukan dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, berbunyi “ Negara Indonesia adalah negara hukum”. Negara hukum yang dimaksud
adalah negara yang menegakan supremasi hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan,
dan tidak ada kekuasaan yang tidak dipertanggungjawabkan (akuntabel). (Sekretariat Jenderal
MPR RI 2013: 67-68).Gustav Radbruch menyebut bahwa tujuan hukum, pertama-tama
memprioritaskan keadilan, disusul kemanfaatan, dan terakhir kepastian hukum.

Dalam konteks pembicaraan tentang supremasi hukum di negara hukum, ada pertanyaan
sederhana, “Apakah di Republik Indonesia ini, hukum sudah diletakan sebagai
supremasi hukum ?Keraguan demikian bukan tanpa sebab, mengingat kita mengklaim diri
sebagai negara hukum tetapi kenyataannya banyak hal yang tidak bisa diselesaikan dengan
hukum. Tujuan hukum yang ideal itu sangat sukar digapai. Dikotomi ini menjadi bahan
pemikiran banyak pihak termasuk mahasiswa khususnya mahasiswa fakultas hukum. Saya
sebagai mahasiswa fakultas hukum sangat prihatin dengan keadaan ini, selama ini terjadi
banyak perselingkuhan hukum, permainan hukum yang pragmatis. Bahkan sudah menjadi

2
rahasia publik, di kalangan masyarakat luas dikenal istilah “hukum di Indonesia ini tajam
ke bawah dan tumpul ke atas”. Adagium ini merupakan reaksi atas ketidakadilan,
ketidakpastian dan ketidakmanfaatan penyelenggaraan hukum dimana melindungi kaum elit
dan kepentingan-kepentingannya sedangkan mencekik rakyat jelata. Saya melihat berbagai
persoalan ini muncul karena 3 (tiga) hal yaitu (1). Politik hukum pembentukan undang-
undang, (2). Perilaku aparat negara, (3). partisipasi publik, ketiga hal ini akan dijelaskan di
bagian pembahasan.

II. Pembahasan
A. Politik Hukum Pembentukan Undang-Undang
Kebanyakan masalah di Republik Indonesia ini tidak bisa dipungkiri sumbernya dari
undang-undang. Mungkin kita bertanya, mengapa harus undang-undang yang
disalahkan ? bukankah undang-undang adalah kesepakatan bersama, ia adalah aturan bagi
kehidupan kita semua ? Jawaban sederhananya, bahwa jika diteliti banyak undang-
undang negara republik Indonesia Tumpul keatas dan tajam kebawah, sebab ia digunakan
sebagian orang (kaum elit) untuk mencapai tujuan pribadinya. Melansir istilah
Prof.Dr.Sahetapy, sebelum RUU itu, disahkan menjadi undang-undang, ia “sudah
berselingkuh” di Senayan. Senayan adalah tempat kumpulan para DPR yang bertugas
membuat undang-undang. Oleh karena undang-undang itu berselingkuh maka segala hal
yang buruk dan kejam maupun keji terjadi.
Dalam sejarah bangsa Indonesia ini ada undang-undang yang melanggar hak asasi
manusia, ada undang-undang yang sangat diskriminatif, ada undang-undang yang tidak
jelas isinya, ada undang-undang yang melarang kaum tertentu “berkembang biak”, ada
undang-undang yang penuh tipu daya politik, ada undang-undang yang bertentangan
dengan UUD 1945 dan Pancasila, dan saling bertentangan satu dengan yang lainnya. Itu
adalah keadaan-keadaan yang pernah di hadapi bangsa Indonesia ini. Lalu pertanyaan
kita, kenapa bisa begitu ? Karena selama ini kita belum meletakan hukum sebagai
supremasi. Seharusnya hukum diciptakan untuk melindungi hak-hak atau kepentingan
semua masyarakat tetapi kenyataannya tidak juga seperti itu. Politik hukum yang
terbangun hanyalah kamuflase untuk memasukan kebutuhan-kebutuhan kaum elit
maupun konglomerat-konglomerat. Maka, undang-undang Indonesia lebih banyak berbau
kapitalis.
Apa penyebabnya ? Untuk menjawab pertanyaan sederhana ini penting dikemukakan
bahwa, “dalam pembentukan undang-undang dibedakan antara politik pembentukan

3
undang-undang (wetgevingspolitiek), yaitu penetapan tujuan dan perumusan isi peraturan-
peraturan, mengenai substansi atau muatannya, dan teknik pembentukan undang-undang
(wetgevingstechniek), yaitu bagaimana tata cara (teknis) menyusun undang-undang,
sehingga susunannya sistematis, isinya logis, konsisten, tidak bertentangan satu sama lain,
sederhana dan jelas bahasanya, serta seberapa dapat mencakup kurun waktu yang panjang
(futuristik atau antisipatif). (Sudikno Mertokusumo 2012:29). Politik pembentukan
undang-undang kita belum menetapkan tujuan dan merumuskan isi yang sungguh-
sungguh seperti yang diharapkan. Apabila membaca dasar pertimbangan dalam sebuah
undang-undang, saya menganggapnya hanya sebagai sebuah wacana atau isapan jempol
saja, karena pelaksanaanya jauh dari rangkaian kalimat-kalimat cantik tersebut.
Misalnya :uu no. 28 tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas
dari korupsi, kolusi, dan nepotisme, kenyataannya KKN makin banyak pejabat-pejabat
negara korupsi. Ada uu no. 35 tahun 2014 tentang perubahan atas undang-undang nomor
23 tahun 2002 tentang perlindungan anak, di dalam masyarakat, ribuan bahkan jutaan
anak yang tidak mendapatkan hak-hak khusus sebagai anak. Pelanggaran hak asasi anak
marak terjadi. Anak diperkosa, dieksploitasi tenaganya layaknya orang dewasa, masa-
masa bahagianya direnggut habis. Mengutip kasus kemarin sedang hot,yaitu seorang guru
pondok pesantren bernama herry wirawan yang melakukan pencabulan kepada 12
santriwatinya,dia hanya dikenakan hukuman penjara. Padahal kasusnya sendiri itupun
sudah termasuk pelanggaran HAM..

Foto pelaku herry wirawan

4
Lainnya lagi, uu no. 39 tahun 1999 tentang hak asasi manusia, apakah pelanggaran
HAM sudah diusut negara ini dengan baik, buktinya tidak. Ada uu no. 13 tahun 2003
tentang ketenagakerjaan, di dalam maupun luar negeri para pekerja diperlakukan tidak
adil oleh majikannya. DPR selaku lembaga yang berwenang dalam membuat undang-
undang dan juga selaku wakil rakyat malah tidak berada di pihak rakyat. Mereka tidak
mendengarkan aspirasi rakyat tetapi aspirasi parpolnya atau golongannya untuk mencapai
kepentingannya. Kalau keadaan terus seperti ini maka hukum hanyalah alat rekayasa
untuk mencapai tujuan kelompok tertentu. Jadi, politik pembentukan undang-undang
Republik Indonesia ini masih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
beberapa pihak. Pembentuk undang-undang membuka banyak celah yang berujung
penyalahgunaan undang-undang itu sendiri.
B. Perilaku Aparat Negara
Perilaku berarti tanggapan atau reaksi individu terhadap rangsangan atau
lingkungan. Menurut saya, banyak pejabat negara di Republik Indonesia ini, dalam
posisi yang tinggi dan memiliki kewenangan yang tinggi berperilaku tidak
sebagaimana seorang pejabat negara atau negarawan. Untuk contoh: di era orde baru,
hukum dijadikan alat untuk menindas yang lemah. Memenjarakan orang tanpa proses
hukum yang sewajar-wajarnya (due process of law). Pasca reformasi ini juga banyak
pejabat atau aparat negara yang belum memahami secara bulat makna pejabat atau
aparat negara itu. Menurut saya, sebuah negara tidak bisa berkembang dengan baik,
kita tidak bisa menghasilkan peraturan maupun kebijakan yang benar kalau perilaku
aparat negara itu ambruk. Permasalahan yang melekat dalam perilaku aparat negara
ini menurut saya karena 2 (dua) faktor, yaitu :
1. Perilaku intern (diri sendiri)
Perilaku intern adalah perilaku yang berkaitan dengan diri sendiri dan segala yang
diperlihatkan bersumber dari pejabat yang bersangkutan. Beberapa hal bisa
dijadikan patokan dalam mengukur kualitas seorang pejabat, antara lain :
 Kepemimpinan (Leadership)
Sekarang ini, rata-rata kepemimpinan pemimpin kita belum baik.
Bayangkan pemimpin yang tidak beres, bagaimana mungkin bisa
membawa negara ini ke arah yang lebih baik. Belum lama, Setya Novanto
sebagai Ketua DPR RI 2014-2019 tersangkut sebuah kasus etik sekaligus

5
kasus hukum yang dikenal “Papa Minta Saham”. SN mencatut nama
presiden RI Joko Widodo untuk meminta saham ke PT.Freeport Indonesia
yang berujung pengunduran dirinya. Seorang ketua DPR seperti SN ini
menunjukan suatu perilaku pemimpin yang buruk. Maka, kita bisa
memastikan bahwa di bawah kepemimpinannya, DPR benar-benar rusak,
tetapi untunglah dia mempunyai keberanian untuk mengundurkan diri.
Di lain pihak, seorang Susi Pudjiastuti Menteri Kelautan dan Perikan
bisa membawa kementeriannya ke peringkat terbaik di Kabinet Kerja. Ia
berani mengambil langkah terobosan baru yang revolusioner dan berbagai
cara lain yang mantap. Beribu kapal penangkap ikan yang tidak sesuatu
hukum (Illegal fishing) sudah ia ditenggelamkan. Dua contoh ini
menggambarkan situasi dan keadaan dimana kepemimpinan sangat vital
dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang.
Kalau seorang pemimpin tidak punya jiwa kepemimpinan ia tidak bisa
menjadi pemimpin yang baik. Pemimpin yang baik akan menempatkan
undang-undang di atas segalanya dalam bertindak. Kita melihat bahwa SN
tidak konsekuen dengan kedudukannya. Pada hal tugasnya adalah
membuat undang-undang tetapi Ia menerobos ke bidang eksekutif.
Pemahaman saya tentang kejadian ini adalah pejabat kita banyak yang
menyimpang dalam bekerja tidak berdasarkan hukum. Kecarutmarutan
dalam kepemimpinan berdampak kepada pelaksanaan aturan-aturan dan
penegakan hukum di negara ini.
 Keberanian mengambil keputusan
MKD DPR RI sampai saat ini belum membuat suatu putusan dalam
sidang pelanggaran etik Setya Novanto. Apakah ini merupakan
ketidakberanian mengambil keputusan ? Masalah ini pula yang dihadapi
negara kita. Sehingga penegakan hukum tidak berjalan dengan baik.
Bagaimana hukum bisa dijadikan sebagai panglima kalau pihak-pihak
yang dipercayakan untuk mengangkat martabat hukum itu selalu
melakukan tindakan menyimpang.

6
 Integritas
Integritas diartikan mutu atau kewibawaan atau kejujuran. Integritas
sangat penting dipunyai oleh para pejabat atau aparat negara. Dalam
bekerja, seseorang yang memiliki integritas akan menjunjung tinggi
kebenaran dan keadilan.
 Etos kerja
Permasalahan yang cukup teknis adalah etos kerja. Etos kerja adalah
semangat kerja yang menjadi ciri khas dan keyakinan seseorang atau suatu
kelompok. Etos kerja ini yang belum banyak di miliki oleh pejabat RI.
Saat siding paripurna DPR kita bisa melihat banyak anggota DPR yang
tidak hadir dan hanya meninggalkan tanda tangan. Bagaimana bisa kita
berkesimpulan bahwa mereka ini bersemangat untuk bekerja bagi rakyat.
Pada hal mereka di gaji oleh rakyat. DPR bertugas untuk membentuk
undang-undang, hal ini bisa dilihat pada Pasal 20, Pasal 20A ayat (1),
Pasal 21, Pasal 22A Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Namun,
kenyataannya banyak RUU yang belum tuntas di bahas. Belum lagi
produk (UU) yang dihasilkan saling bertentangan dan lain sebagainya.
2. Perilaku ekstern (hubungan dengan pihak lain)
 Hubungan dengan rakyat pendukung / konstituen
Saya memandang penting untuk dikritisi tentang hubungan antara
aparat negara dengan rakyat. Kita bisa melihat bahwa aparat negara
sebelum menduduki jabatan publiknya ia adalah orang yang biasa seperti
rakyat umumnya. Kemudian, ada proses tersendiri yang di tempuh
sehingga ia mendapatkan tempatnya itu. Misalnya : DPR di pilih oleh
rakyat. Bagi saya, hubungan ini penting apalagi dalam negara demokrasi
atau negara hukum. Pendukung sebagai elemen penting dalam rangka
mencapai tujuan negara. Kedekatan emosional berdampak, di dengarnya
aspirasi dan harapan dari rakyat itu sendiri. Namun, disayangkan apabila
saat ini banyak pejabat publik yang tidak lagi mendengarkan suara rakyat.

 Hubungan antar lembaga

7
Dalam negara hukum di kenal doktrin Trias Politica yakni ajaran
tentang pembagian kekuasaan. Montesquieu dalam bukunya I’Esprit des
Louis (1978) yang terlihat banyak mendapat pengaruh dari pemikiran
Locke, mengatakan bahwa pembagian kekuasaan negara perlu dilakukan
atas 3 (tiga) macam, yaitu : (Riawan Tjandra 2012:2)
1. Kekuasaan legislatif, yang membentuk undang-undang,
2. Kekuasaan yudikatif, yang menjatuhkan hukuman atas kejahatan dan
yang memberikan putusan apabila terjadi perselisihan antara para
warga,
3. Kekuasaan eksekutif, yang melaksanakan undang-undang,
memaklumkan perang, mengadakan perdamaian dengan negara lain,
menjaga tata tertib, menindas pemberontakan dan lain-lain.

Pemisahan kekuasaan tersebut diperlukan untuk menjamin terlindunginya


hak asasi warga negara dan mencegah terulangnya kembali kekuasaan
yang absolut.

Adanya pembagian kekuasaan bukan memutus tali kerja sama antar


lembaga. Dalam konsep negara hukum modern, lembaga-lembaga negara
adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Supremasi hukum
akan terganggu bila antara lembaga-lembaga kekuasaan negara yang satu
dengan yang lain mempunyai konflik. Misalnya : KPK dan Polri ketika
terjadi percekcokan beberapa waktu lalu, penegakan hukum kita langsung
terganggu. Konsolidasi hubungan antar lembaga harus digalakan dalam
rangka menciptakan kesejahteraan masyarakat.

Urgensi bila ingin hubungan yang baik adalah mengetahui sistem dan
peran masing-masing. Aparat penegak hukum harus taat asas dan sistem.
Asas dan sistem terdapat dalam berbagai macam hukum atau peraturan
perundang-undangan dan kebijakan negara. Hanya kesetiaan dalam
bekerja, ketulusan dalam menyapa pihak lain maka akan tercipta hubungan
yang solid.

8
C. Partisipasi Publik
Dalam negara demokrasi partisipasi publik sangat diperlukan dalam rangka
mencapai tujuan negara. Pemerintah dapat mendengarkan masukan-masukan, cara
pandangan dan opini dari publik sehingga membantu pemerintah mengkonkritkan
rencana-rencana pemerintahan itu. Partisipasi publik sangat perlu karena di satu sisi
pemerintah bekerja untuk rakyat sehingga perlu mengenal kehendak rakyat, di sisi
yang lain kita adalah negara hukum lalu untuk mengawal legal atau tidak tindakan
sebuah pemerintahan. Menurut saya sangat penting intervensi dari publik terutama
untuk hal-hal yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat secara keseluruhan.
Misalnya : UU Terorisme yang mau di revisi itu harus juga mengikutsertakan rakyat
(LSM, Kelompok masyarakat) dan lain-lain.
Persoalan yang timbul ketika suatu pemerintahan tidak membuka diri untuk
rakyat adalah pemerintahan itu menjadi tidak bijak sana dalam mengambil keputusan.
Kita tahu pada BAB XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial,
Pasal 33 & 34 UUD 1945 sampai hari ini tidak ada hasilnya. Cabang-cabang produksi
kita yang vital di kuasai pihak asing, yang sejahtera hanyalah konglomerat dan elit
politik (hasil mencuri) juga sedangkan rakyat Indonesia (menengah ke bawah) dalam
keterpurukan. Katanya fakir miskin dan gelandangan di pelihara negara, buktinya
banyak yang disodomi, dipukul, dilecehkan dan lain sebagainya. Bagi orang-orang
yang peduli kepada mereka akan membelanya dan orang-orang yang tidak peduli
membiarkan saja, berharap di situlah pemerintah itu hadir.
Dalam membentuk peraturan memang seyogyanya rakyat terlibat jangan sampai
sebuah rancangan undang-undang akan memelihara kepentingan sebagai pihak saja.

9
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut saya supremasi hukum masih jauh antara harapan dan realita di Indonesia.
Meskipun kita adalah negara hukum tetapi kita mengkhianati hukum itu sendiri.
Pemerintah, Wakil Rakyat dan lembaga-lembaga yang menurut hukum ditugaskan untuk
menyelenggarakan pemerintahan, negara, menegakan hukum belum mampu
mengendalikan pengaruh di luar hukum yang meracuni hukum sehingga hukum menjadi
tidak berdaya. Kalau boleh dikatakan faktor non-teknis hukum yang memperhambat
supremasi hukum di Republik Indonesia ini. Kita menyayangkan pula, wakil rakyat tidak
bisa menyerap aspirasi rakyat dengan baik malah membuat gaduh suasana perpolitikan
menjadi gaduh seperti beberapa waktu lalu kita menyaksikannya dan disamping itu
banyak dari mereka hanya bekerja untuk partai politiknya saja. Di bidang legislasi sama
saja dengan penegakan hukum, segala yang dikerjakan oleh para aparatnya belum mampu
menempatkan hukum sebagai panglima (pedoman) sehingga terkesan “jalan buta” yang
ditempuh. Keresahan dan pertentangan masyarakat pun terlihat semakin memuncak
ketika banyak hal yang di luar konteks sengaja di korek cungkil dan akhirnya keadaan
semakin tidak terkendalikan. Sikap yang diambil pemimpin-pemimpin di Republik
Indonesia sebagian besar kaku, ragu-ragu dan pesimistis, akibatnya keputusan yang
dibuat mencla-mencle, tidak tepat sasaran alias tidak bermanfaat.
Selanjutnya saya menyimpulkan beberapa hal terkait keseluruhan tulisan ini,
sekaligus beberapa masukan-masukan, meliputi :
1. Persoalan yang kita hadapi sekarang ini ialah bagaimana di negara hukum, supremasi
hukum merupakan elemen yang paling penting dari pada elemen-elemen kehidupan
yang lain (politik, sosial-budaya, dll). Pemerintah, penyelenggara negara dan aparat
penegak hukum dan para pemangku kepentingan dalam Republik Indonesia harus
memposisikan hukum sebagai guidance bersama dalam berhubungan antara satu
dengan lainnya. Jikalau hukum sudah ditempatkan pada posisi yang tepat maka
bidang-bidang kehidupan yang lain akan bergerak dengan baik dan kemungkinan
besar akan sangat bermanfaat bagi masyarakat. Selama hukum di posisi yang salah
niscaya arah negara ini akan betul dan tujuan negara akan tercapai.

10
2. Agar hukum menjadi tidak salah tafsir dan macam lainnya, ia harus dituangkan dalam
bentuk yang jelas, misalnya undang-undang. Kita akan mengetahui bahwa hukum
yang dimaksudkan adalah peraturan perundang-undangan atau hukum positif. Suatu
undang-undang yang dibuat harus didasarkan pada kepentingan masyarakat bukan
kepentingan politik (pragmatis). Maka dalam prosesnya itu ditetapkanlah tujuan dari
undang-undang itu sendiri.
3. Hukum akan berjalan dengan baik apabila ada aparat negara, penegak hukum dan
penyelenggaran negara yang baik pula. Hukum hanya akan menjadi tinggal nama atau
perkataan belaka bila tidak dilaksanakan. Undang-undang tidaklah lebih dari sebuah
kumpulan kertas tebal bila tidak ada yang menggerakannya. Kehadiran aparat negara
sangat berarti dalam penegakan hukum. Aparat negara haruslah seorang yang berjiwa
negarawan bukan setia kawan, karena kepentingan publiklah yang didahulukan.
Aparat negara bukan orang-orang yang ragu dalam mengambil keputusan, jago
berbicara tapi nol dalam tindakan. Dalam rangka meningkatkan kualitas aparat bisa
direkayasa melalui pelatihan yang intensif : melatih kemampuan penguasaan bidang-
bidang aparat tersebut, pelatihan integritas, kepemimpinan dan kerja sama.
4. Publik ialah sebuah kelompok penting dalam kehidupan bernegara. Publik atau
masyarakat merupakan elemen yang tidak bisa terpisahkan dalam negara. Tidak ada
pemerintahan kalau tidak ada rakyat. Lalu apa peran publik ? Publik dalam sebuah
pemerintahan adalah pihak-pihak yang mempercayakan kepentingan –
kepentingannya diatur oleh penguasa (Pemerintah), oleh karena itu pemerintah
bekerja untuk rakyat. Dalam hal ini masyarakat memiliki peran untuk menilai atau
mengontrol suatu pemerintahan. Penting bagi sebuah pemerintahan menyertakan atau
membuka ruang yang lebar kepada masyarakat agar dapat berpartisipasi langsung
dalam proses pengambilan keputusan maupun penentuan arah negara. Cara-cara yang
bisa dilakukan yaitu mendengar pendapat, mengadakan Public education
(penyuluhan, seminar) dan lain-lain.

11
DAFTAR PUSTAKA

- Mertokusumo, Sudikno. 2011. Teori Hukum. Yogyakarta : Cahaya Atma Pustaka


- Sekretarial Jenderal MPR RI. 2013. Panduan Pemasyarakatan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia. Jakarta : Sekretariat Jenderal MPR RI
- Tjandra, Riawan. 2014. Hukum Sarana Pemerintahan. Yogyakarta : Cahaya Atma
Pustaka
- UUD 1945 & Amandemen Disertai Penjelasannya Secara Lengkap Dengan Bagian-
Bagian Yang Diamandemen Serta Proses Dan Perubahannya. Palito Media
- Sindonews(https://daerah.sindonews.com/read/627411/701/kenapa-hw-guru-
pesantren-tega-cabuli-santriwati-ini-penjelasan-ahli-1639422762)
* Paper sebagai syarat sebagai Volunteer di PBKH FH Univ. Atma Jaya Yogyakarta

12

Anda mungkin juga menyukai