Oleh:
NPM: 5220220021
I. PENDAHULUAN
Sejak awal para founding father bangsa Indonesia telah memberikan konsep
matang berkaitan dengan tujuan dan cita bangsa Indonesia. Indonesia berdiri sebagai
sebuah negara dalam rangka untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki segenap suku
sebuah negara yang berlandaskan kepada hukum hal ini tercantum secara tegas
dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 yang menyebutkan “Negara
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai
atau biasa dikenal dengan supremacy of law. Sebelum dilakukan perubahan terhadap
UUD 1945, landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar
atas hukum, tercantum dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 sebelum
perubahan. Selain itu pernyataan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum juga
Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan dinyatakan ada tujuh kunci
pokok sistem pemerintahan Negara Indonesia. Jelas bahwa cita-cita Negara hukum
1
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Ps. 1 ayat (3). Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indnesia 1945.
2
Marjanne Termorshuizen, “The Consept Rule of Law”, JENTERA Jurnal Hukum, Edisi 3 tahun II, Jakarta, 2004,
Hal. 78.
(rule of law) yang tekandung dalam UUD 1945 bukanlah sekedar Negara yang
hukum yang adil (just law), yang didasarkan pada keadilan bagi rakyat. Konsep
rechtmatigheid.3
“perangkat hukum” itu sendiri sebagai sistem yang fungsional dan berkeadilan. Sistem
ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu perlu dibangun sistem hukum
menyebutkan bahwa negara hukum itu memiliki unsur-unsur dan asas-asas yang
valid dan menjadi identitas khusus. Scheltema setidaknya menyatakan terdapat lima
unsur yang wajib ada dalam negara hukum yakni : perlindungan Hak Asasi Manusia
the Law), berlakunya asas demokrasi, serta menempatkan pemerintah dan pejabat
sebagai pelayan masyarakat.5 Konsep serupa juga dikemukakan oleh Friedrich Julius
3
Soedjati Djiwantono, Setengah Abad Negara Pancasila, (Centre for Strategic and International Studies (CSIS),
Jakarta, 1955), Hal. 11
4
Jimly Asshiddiqie. “Makalah: Gagasan Negara Hukum Indonesia”. http://www.jimly.com/
/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf. Diakses Pada 13 Desember 2020.
5
Bernard Arief Sidharta (1), “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 3-Tahun
II, November (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2004), hal. 124-125
Stahl yang menyatakan bahwa negara hukum harus memenugi unsur utama seperti
asasi manusia menjadi syarat penting dalam sebuah negara hukum. Hak asasi
manusia tidak bisa dipisahkan dengan konsep negara hukum. Dalam konsep negara
modern, negara hukum menggambarkan cita dan upaya suatu bangsa dalam
menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa dalam melaksanakan penegakan hukum.
baru mengemuka pada tahun 1999 tatkala menandakan tumbangnya rezim orde baru
yang kental dengan corak otoritarianisme. Pada saat itu hak asasi manusia
berkembang menjadi isu krusial yang tidak hanya berdimensi nasional melainkan juga
internasional. Hal ini menyebabkan bahwa suatu negara tidak dapat lagi mengklaim
secara sepihak bahwa persoalan hak asasi manusia di wilayah negara mereka adalah
asasi manusia diakui sebagai nilai yang universal di mata hukum internasional.7
memperhatikan aspek hak asasi manusia. Institusi penegak hukum yang wilayah
tugasnya kerap dan langsung berkaitan dengan masalah hak asasi manusia adalah
Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Polri adalah menjalankan salah satu fungsi
6
Padmo Wahyono , Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: In-Hill Co, 1989), hal. 151
7
'B.H Marbun dan Chandra Gatama, Hak Asasi Manusia, Penyelenggara Negara yang Baik dan Masyarakat
Warga (Jakarta: HAM, 2000), hal. 141.
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
Sejak tanggal 1 April 1999 Polri terpisah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonsia
(ABRI), akan tetapi pemisahan tersebut dilakukan secara gradual. Pemisahan ini
oleh kepolisian akibat posisi dan prilaku kemiliteran yang selama ini meletakkan status
Polri di bawah garis komando ABRI. Pemisahan Polri dari ABRI ini merupakan
keharusan yang tidak dapat ditunda pada saat itu, hal ini semata-mata sebagai upaya
untuk meningkatkan peran Polri sebagai bagian dari sistem peradilan pidana (criminal
justice system) dan mendorong terjaganya tertib hukum, keamanan dan ketertiban
dalam masyarakat.9
menjadi lembaga penegak hukum yang bernafaskan sipil atau pendekatan terhadap
pemahaman yang utuh mengenai hak asasi manusia. Polri didorong untuk
tahu hakikat dan akar masalah terutama yang berkaitan dengan persoalan keamanan
2020 kemairin seakan menjadi pemantik penulis untuk mengambil tema tulisan ini
8
Republik Indonesia, Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 2 Tahun 2002, Ps 2.
9
Aulia Nur, Abdul Muntholib, dan Andy Suryadi, “Dinamika Integrasi dan Pemisah Polri dari ABRI tahun 1961-
2002”, Journal of Indonesian History Edisi 8 Volume II, (Semarang: Unibersitas Negeri Semarang, 2019), hal.
110-111.
10
Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan, (Jakarta: Kompas,
2007), hal 53.
untuk mengetahui lebih mendalam sejauh mana implementasi Polri untuk menjamin
hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, melalui Tugas
Makalah Kecil Kedua Mata Kulia Politik Hukum ini penulis mencoba untuk
mengurai persoalan paradigma hak asasi manusia dalam penegakan hukum oleh
Polri.
Menjalankan Tugasnya?
III. Analisis
Oleh Polri
(Rechsstaat) sangat berkaitan erat dengan hadirnya rezim perlindungan hak asasi
manusia. Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa meskipun tampaknya tidak ada
rechsstaat yang agak sempit. Apalagi rechsstaat berada di bawah konsep yang lebih
besar yang disebut staatside integralistik yang muncul di bawah rezim Orde Baru.
process of law dan judicial review, belum banyak dihargai di negara yang lebih
bercorak staatside integralistik. Seluruh pengertian tentang rechsstaat dihadapkan
Oleh karena itu, jaminan hak asasi manusia berada pada situasi yang tidak
baru, masa depan mereka akan selalu tunduk pada interpretasi dari staatside
integralistik. Kini rezim sudah berganti yang diawali dengan reformasi, reformasi
segala bidang termasuk penegakan hukum yang berbasis perlindungan hak asasi
manusia. Sejatinya istilah hak asasi manusia merupakan istilah yang relatif baru, dan
mulai menjadi bahsa sehari-hari semenjak Perang Dunia ke -II dan pembentukan
rights yang sebelumnya digunakan berdasarkan konsep hukum alam. Prof. Satya
Arinanto dalam bukunya Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia
merangkum mengenai keseluruhan generasi hak asasi manusia yang didapatka dari
yang dikenal secara universal. Generasi Pertama, berkaitan dengan prinsip integritas
manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik. Generasi
sosial dan kebudayaan. Generasi Ketiga, mencakup persamaan hak atau kesematan
perlindungan hak asasi manusia tidak hanya terbatas pada konteks hubungan vertikal
11
Satya Arinanto, Politik Hukum 2, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2018) hal. 208, sebagaimana
mencantumkan Todung Mulya Lubis, “In Search of Human Right: Legal Polictical Dilemmas of Indonesia’s New
Order, 1966-1990, ( A Dissertation Doctor of University of California, California, 1990).
antara penguasa dengan masyarakat melainkan juga hubungan horizontal antar
sesama masyarakat.12
1945 (UUD 1945) sebagai konstitusi negara Indonesia telah empat kali mengalami
perubahan. Pada saat amandemen yang kedua pada tanggal 18 Agustus 2000, UUD
1945 menambahkan Bab XA yang menjadi bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia.
Dalam konteks makalah ini, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menjadi sangat penting
untuk dipahami. Ketentuan dalam pasal tersebut menyatakan bahwa setiap warga
negara Indonesia memiliki hak untuk hidup hak untuk tidak disiksa, hak untuk
kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak
untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar
hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam
keadaan apapun.
Selanjutnya dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa
hak asasi manusia. Negara dalam hal ini adalah pemerintah, dan Polri termasuk
12
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia, 2018), hal 81-83.
13
Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), hal. 72.
menjadi bagian dari pemerintah Indonesia yang mengemban tugas untuk menjaga
keamanan dan ketertiban. Oleh karena itu mengikuti semangat reformasi Polri pada
akhirnya harus memisahkan diri dari ABRI dalam rangka menciptakan pendekatan
penegakan hukum yang lebih humanis dan membangun paradigma hak asasi
pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, dan sistem
operasional.
pemisahan (kemandirian) Polri dari TNI bukan merupakan tujuan, tapi sebagai
kepolisian sipil yang profesional dan akuntabel dalam melayani masyarakat sesuai
(UU Polri). Dalam Pasal 4 UU Polri secara tegas menyatakan bahwa Polri dibentuk
14
IDSPS, “Reformasi Kepolisian Republik Indonesia” Jurnal IDSPS (Seri 6), Edisi No. 6 Tahun 2008, hal.. 1.
15
Ibid. hal 2.
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya
tindakan penyelidikan dan penyidikan dengan beberapa syarat yang cukup tegas
yakni diantaranya tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum serta menghormati
manusia ini juga kembali dimuat dalam Pasal 19 UU ayat (1) Polri yang menyatakan
asasi manusia.” Tak cukup sampai disitu beberapa Peraturan Kapolri dan produk
hukum lainnya juga mengatur secara tegas mengenai penghormatan hak asasi
Polri dihadapkan pada tugas yang sangat serius, yaitu sebagai salah satu
lembaga negara penegak hukum yang harus melakukan perlindungan terhadap hak
asasi manusia. Terutama pasca keluarnya Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009
yang memberikan aturan tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi
Keputusan ini merupakan langkah maju dari Polri dalam upaya pemajuan,
Secara mendasar peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 yang terdiri dari 64
pasal ini dibuat, agar seluruh jajaran Polri dapat menghormati, melindungi, dan
menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya (huruf c.
16
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 2 tahun 2002,
Ps. 16 ayat (2) huruf a dan e.
konsideran Menimbang). Dalam pasal 2 disebutkan, maksud dari Peraturan ini antara
lain:
1. Sebagai pedoman dasar implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia
anggota Polri dari tingkat terendah sampai yang tertinggi dalam pelaksanaan
Inti dalam peraturan ini adalah panduan agar polisi menerapkan prinsip dan
standar HAM dalam tugasnya. Dalam pasal 3 disebutkan ada 12 prinsip hak asasi
manusia yang harus diemban oleh Polri, yakni (1) perlindungan minimal, (2) melekat
pada manusia, (3) saling terkait, (4) tidak dapat dipisahkan, (5) tidak dapat dibag,i (6).
Sedangkan HAM yang termasuk dalam cakupan tugas Polri diatur dalam Pasal
7, yang terdiri dari 8 hak yaitu (a). hak memperoleh keadilan (b). hak atas kebebasan
pribadi (c).hak atas rasa aman (d). hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang,
hak bebas dari penghilangan secara paksa, (e). hak khusus perempuan, (f).hak
khusus anak, (g). hak khusus masyarakat adat, (h). hak khusus kelompok minoritas,
Standar petugas polisi dalam penegakkan hukum adalah wajib mematuhi ketentuan
17
Kapolri, Peraturan Kapolri tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perkapolri No. 8 Tahun 2009, Ps. 7.
berperilaku (Code of Conduct) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf h. Antara
sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan; tidak boleh menghasut, tidak boleh
Secara prinsipil tujuan dari pemberlakuan peraturan Kapolri ini antara lain
1. untuk menjamin pemahaman prinsip dasar HAM oleh seluruh jajaran Polri agar
HAM
2. untuk memastikan adanya perubahan dalam pola pikir, bersikap, dan bertindak
pelaksanaan tugas Polri, sehingga setiap anggota Polri tidak ragu-ragu dalam
melakukan tindakan
perlindungan warga negara yang mengatur secara langsung dan tidak langsung
tentang hubungan anggota Polri dengan HAM. Ada 19 intrumen internasional yang
Pemenjaraan;
(“Tokyo Rule”);
Tahun 1993;
o. Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun
1993;
1989).
Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum (United Nation Basic
1980.
Selain itu pada tahun 2010 juga telah dibuat Prosedut Tetap Kapolri No. 1
langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam rangka menangani aksi unjuk rasa
ataupun situasi disaat masyarakat tak terkendali. Misalnya pertama personil polri
harus mengenalkan diri dahulu sebagai anggota kepolisian, yang kedua melalukan
18
Kapolri, Prosedur Tetap Kapolri tentang Penanggulangan Anarki, Protap Kapolri No. 1 Tahun 2010.
Baik Protap Kapolri maupun Peraturan Kapolri lebih berfungsi sebagai
panduan dan moral binding. Pada akhirnya tegak atau tidaknya peraturan ini sangat
tergantung dari panggilan nurani tiap pejabat dan personil Polri itu sendiri. Harapan
terbesar demi terwujudnya profesionalisme dan kredibilitas polisi, maka peraturan ini
untuk menjamin bahwa polri tidak melanggar HAM masyarakat yang dilindunginya.
Jika semakin banyak masyarakat tahu dan paham tentang peraturan ini, maka akan
sangat membantu upaya pemajuan, perlindungan dan penegakkan HAM oleh Polri.
Kematian 6 orang Anggota FPI dalam peristiwa yang terjadi pada 7 Desember
2020 seakan membuka tabir penegakan hukum oleh Polri yang masih penuh dengan
pendekatan kekerasan. Dengan dalil ‘Tindakan Tegas dan Terukur’ aparat Polri
seringkali berlindung dari kalimat sakti tersebut untuk melakukan penindakan yang
seringkali melangkahi Protap yang sudah ditetapkan oleh aturan hukum. Perbedaan
keterangan Polri pada saat Konferensi Pers 8 Desember 2020 dan Reka Adegan pada
13 Desember 2020 tentunya menimbulkan tanda tanya besar publik kepada Polri.
Situasi penggunaan kekerasan oleh Polri bukan baru kali ini saja terjadi. Pada saat
aksi demonstrasi Omnibus Law. Kontras melaporkan telah menerima 1500 aduan
dugaan kekerasan oleh Polri di seluruh Indonesia. Kontras juga melaporkan bahwa
beberapa mahasiswa.19
19
Vitorio Mantalean, “Kontras Menerima 1.500 Laporan Kekerasan”,
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/10/09/14024141/kontras-terima-1500-aduan-kekerasan-aparat-
selama-demo-tolak-uu-cipta?page=all diakses pada 13 Desember 2020.
Tidak hanya mahasiswa, bahan jurnalis sekalipun juga menjadi korban
kekerasan oleh polisi pada saat meliput demo omnibus law. Aliansi Jurnalis Indonesia
Paling banyak terjadi di Jakarta dengan jumlah korban 8 jurnalis.20 Sementara itu
dalam lingkup tugas kepolisian yang lebih luas Kontras juga menemukan catatan
Kontras menyatakan dalam kurun waktu Juni 2019 hingga Mei tahun 2020 telah
terjadi setidaknya 48 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh oknum Polisi. Sebagian
ditemukan data yang lebih rinci lagi. Penyiksaan dilaporkan mayoritas terjadi di ranah
Polres dengan total 29 kasus, disusul Polsek 11 kasus, serta pada tingkat Polda yang
adalah dengan menggunakan tangan kosong yang mencapai 35 kasus, diikuti dengan
benda keras 12 kasus, senjata api 7 kasus serta dengan menggunakan listrik hingga
4 kasus.22
20
Tim Katadata, “38 Jurnalis Jadi Korban Kekerasan Saat Liput Demo Omnibus Law”.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/10/19/38-jurnalis-jadi-korban-kekerasan-saat-liput-demo-
omnibus-law diakses pada 13 Desember 2020.
21
Kontras, “Laporan Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia Periode Juni 2019-Mei 2020”,
https://kontras.org/wp-content/uploads/2020/06/2406_laporan-penyiksaan_Final.pdf Diakses pada 13 Desember 2020,
halaman 10.
22
Kontras, “Tak Kenal Prioritas, Semua Diterabas: Laporan tahunan Hari Bhayangkara ke-74”, https://kontras.org/wp-
content/uploads/2020/06/2907_bhayangkara_Final-2.pdf diakses pada 13 Desember 2020, halaman 6.
Laporan mengenai dugaan kekerasan polisi juga datang dari Lembaga
Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pada Juni 2020 LPSK telah menerima
memiliki latar belakang aparat yang berwenang. Lebih tepatnya pelaku dari oknum
TNI sebanyak 39 orang, oknum Polri 20 orang dan 5 orang berasal dari petugas
lembaga pemasyarakatan. Kasus yang berkaitan dengan Polri rata-rata terjadi pada
saat proses pemeriksaan dan juga penyelidikan terhadap saksi maupun tersangka.23
Anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan dalam bukunya “14 Bulan Idham
Azis Bisa Apa?”. secara tegas menyampaikan kritik terhadap masih adanya tindakan
kekerasan yang dilakukan oleh aparat polisi meskipun dalam ruang lingkup
saja terjadi, padahal ada pilihan bagi aparat Polri untuk melakukan pendekatan yang
lebih humanis dan menjunjung tinggi supremasi sipil.24 Dirinya menambahkan bahwa
Praktik ini sudahlah sangat usang, sudah saatnya ditinggalkan. Terlebih sekarang
bagi masyarakat yang terlibat dalam suatu tindak pidana baik itu terhadap korban,
saksi bahkan kepada tersangka. Prakti penyiksaan oleh aparat adalah warisan gaya
lama yang seharusnya kita sudah kita pendam lama sejak reformasi 1998.
Sejatinya dalam memahami pendekatan kekerasan oleh Polri ini kita perlu
melihat pendapat dari Herbert L. Packer. Beliau menyatakan dalam proses peradilan
pidana terdapat dua model yang saling berseberangan satu sama lain model tersebut
23
LPSK RI, Laporan Kinerja LPSK RI 2019-2020, disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI, di
Jakarta, 15 September 2020.
24
Hinca IP Pandjaitan XIII, 14 Bulan Idham Azis Bisa Apa, (Jakarta: RM Books, 2020), halaman 42.
adalah Crime Control Model (CCM) serta Due Process Model.25 Kedua model ini
harus dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai. Bahkan Packer
menyebutkan bahwa doktrin yang digunakan dalam model ini adalah presumption of
melakukan kontrol kuat terhadap setiap kejahatan dan pelaku kejahatan yang
dilaksanakan oleh pejabat kepanjangan tangan kekuasaan seperti polisi, jaksa serta
Jika kita memahami secara utuh pendekatan Crime Control Model di atas tentu
sangat akrab dengan praktik penegakkan hukum yang dilaksanakan oleh negara yang
berada dalam naungan kolonial Belanda dan Jepang serta pada saat rezim orde baru
berkuasa selama 32 tahun. Dalam kedua fase tersebut sering ditemukan pendekatan
25
Herbert L Packer, The Limits of the Criminal Sanction, (California: Stanford-University Press, 1968), halaman 153.
26
Ibid.
27
Ibid.
Pada saat jaman kolonial, Henk Schulte Nordholdt seorang sejarawan
menyatakan bahwa Negara Hindia Belanda saat itu adalah negara yang penuh
dengan kekerasan. Sehingga fungsi polisi pada saat itu adalah sebagai perpanjangan
tangan pemerintah yang secara aktif menegakan rust en orde guna memajukan
Indonesia yang tidak bersalah pada saat itu ditangkap dan disiksa oleh aparat
Pendekatan kekerasan ini berlanjut pada saat Presiden Soeharto berkuasa dan
orang-orang yang tidak memiliki kaitan langsung dengan kejadian tersebut diadili
peradilan yang tepat. Banyak aktivis dan tahanan politik rezim Orde Baru yang dibui
hanya karena mengkritik pemerintahan Soeharto dan tak jarang proses penegakkan
hukum mereka dilakukan tanpa mengindahkan hak asasi manusia. Poin penulis
terhadap dua contoh di atas adalah bahwa praktik penyiksaan dalam suatu
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana adalah warisan kelam dari masa lampau.
Masa dimana langit Indonesia masih dinaungi oleh payung otoritarianisme yang
begitu gelap. Masa dimana hak asasi manusia bukanlah menjadi hal utama, karena
IV. Penutup
pelrindungan hak asasi manusia dalam lingkup penegakan hukum oleh Polri. Mulai
dari UUD 1945, UU Polri hingga Peraturan Kapolri sudah mencantumkan secara
28
Bonnie Triyani, “Polisi Zaman Kumpeni” https://historia.id/politik/articles/polisi-zaman-kumpeni-v2jZv/page/1 diakses
pada 13 Desember 2020.
tegas bahwa aparat Polri wajib menghormati hak asasi manusia dalam menjalankan
tugasnya. Akan tetapi peraturan tersebut tidak dapat berjalan efektif apabila
Polri masih kurang berkaitan dengan penghormatan hak asasi manusia. Reformasi
Polri nampaknya belum selesai, masih diperlukan upaya untuk menciptakan lembaga
BUKU
Packer, Herbert L., The Limits of the Criminal Sanction, (California: Stanford-
Pandjaitan XIII, Hinca IP., 14 Bulan Idham Azis Bisa Apa, (Jakarta: RM Books,
2020),
1989)
JURNAL
IDSPS, “Reformasi Kepolisian Republik Indonesia” Jurnal IDSPS (Seri 6), Edisi
Nur, Aulia. Muntholib, Abdul. dan Suryadi, Andy., “Dinamika Integrasi dan
PERATURAN PERUNDAN-UNDANGAN
Indnesia 1945.
Kapolri, Peraturan Kapolri tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi
DISERTASI
Lubis, Todung Mulya., “In Search of Human Right: Legal Polictical Dilemmas of
INTERNET
Asshiddiqie. Jimly., “Makalah: Gagasan Negara Hukum Indonesia”.
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/10/09/14024141/kontras-
terima-1500-aduan-kekerasan-aparat-selama-demo-tolak-uu-
Tim Katadata, “38 Jurnalis Jadi Korban Kekerasan Saat Liput Demo Omnibus
Law”. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/10/19/38-
jurnalis-jadi-korban-kekerasan-saat-liput-demo-omnibus-law diakses
content/uploads/2020/06/2406_laporan-penyiksaan_Final.pdf Diakses
LAIN-LAIN