Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH KECIL KEDUA MATA KULIAH POLITIK HUKUM

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Politik Hukum


Dosen Pengampu:
Prof. Dr. Satya Arinanto, S.H., M.H.
Dr. Syamsuddin Radjab, S.H., M.H.
Dr. Fatmawati, S.H., M.H

Oleh:

Muhammad Bardan Salam

NPM: 5220220021

Nomor Urut Presensi: 21

PROGRAM MAGISTER ILMU HUKUM

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA


QUO VADIS PARADIGMA HAK ASASI MANUSIA DALAM

LINGKUP PENEGAKAN HUKUM OLEH POLRI

Muhammad Bardan Salam

I. PENDAHULUAN

Sejak awal para founding father bangsa Indonesia telah memberikan konsep

matang berkaitan dengan tujuan dan cita bangsa Indonesia. Indonesia berdiri sebagai

sebuah negara dalam rangka untuk mewujudkan kemerdekaan hakiki segenap suku

dan bangsa yang mendiami nusantara. Selanjutnya, Indonesia dideklarasikan sebagai

sebuah negara yang berlandaskan kepada hukum hal ini tercantum secara tegas

dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 yang menyebutkan “Negara

Indonesia adalah negara hukum”.1

Ketentuan dalam pasal tersebut menjadi landasan konstitusional bahwa

Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, hukum ditempatkan sebagai

satu-satunya aturan main dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

atau biasa dikenal dengan supremacy of law. Sebelum dilakukan perubahan terhadap

UUD 1945, landasan konstitusional bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar

atas hukum, tercantum dalam pembukaan dan batang tubuh UUD 1945 sebelum

perubahan. Selain itu pernyataan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum juga

dapat dilihat dalam penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan.2

Dalam penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan dinyatakan ada tujuh kunci

pokok sistem pemerintahan Negara Indonesia. Jelas bahwa cita-cita Negara hukum

1
Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Ps. 1 ayat (3). Indonesia.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indnesia 1945.
2
Marjanne Termorshuizen, “The Consept Rule of Law”, JENTERA Jurnal Hukum, Edisi 3 tahun II, Jakarta, 2004,
Hal. 78.
(rule of law) yang tekandung dalam UUD 1945 bukanlah sekedar Negara yang

berlandaskan sembarang hukum. Hukum yang didambakan bukanlah hukum yang

ditetapkan semata-mata atas dasar kekuasaan, yang dapat menuju atau

mencerminkan kekuasaan mutlak atau otoriter. Hukum yang demikian bukanlah

hukum yang adil (just law), yang didasarkan pada keadilan bagi rakyat. Konsep

rechtsstaat mengutamakan prinsip wetmatigheid yang kemudian menjadi

rechtmatigheid.3

Selanjutnya, dalam konteks negara hukum Indonesia, Jimly Asshiddiqie

mengungkapkan bahwa gagasan negara hukum dibangun dengan mengembangkan

“perangkat hukum” itu sendiri sebagai sistem yang fungsional dan berkeadilan. Sistem

tersebut dikembangkan dengan menata suprastruktur dan infrastruktur institusi politik,

ekonomi dan sosial yang tertib dan teratur, serta dibina dengan membangun budaya

dan kesadaran hukum yang rasional dan impersonal dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Untuk itu perlu dibangun sistem hukum

(law making) dan penegakan hukum yang sesuai.4

Kemudian Menurut Shceltema sebagaimana dikutip oleh Arief Sidharta

menyebutkan bahwa negara hukum itu memiliki unsur-unsur dan asas-asas yang

valid dan menjadi identitas khusus. Scheltema setidaknya menyatakan terdapat lima

unsur yang wajib ada dalam negara hukum yakni : perlindungan Hak Asasi Manusia

(human dignity), adanya kepastian hukum, berlakunya persamaan (Equality before

the Law), berlakunya asas demokrasi, serta menempatkan pemerintah dan pejabat

sebagai pelayan masyarakat.5 Konsep serupa juga dikemukakan oleh Friedrich Julius

3
Soedjati Djiwantono, Setengah Abad Negara Pancasila, (Centre for Strategic and International Studies (CSIS),
Jakarta, 1955), Hal. 11
4
Jimly Asshiddiqie. “Makalah: Gagasan Negara Hukum Indonesia”. http://www.jimly.com/
/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf. Diakses Pada 13 Desember 2020.
5
Bernard Arief Sidharta (1), “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, Jurnal Hukum Jentera, Edisi 3-Tahun
II, November (Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan, 2004), hal. 124-125
Stahl yang menyatakan bahwa negara hukum harus memenugi unsur utama seperti

mengakui perlindungan hak asasi manusia, adanya pemisahan kekuasaan

berdasarkan trias politica, pemerintah menjalankan kewenangannya berdasarkan

undang-undang serta terdapat peradilan administrasi negara.6

Kedua pandangan di atas menunjukan bahwa penghormatan terhadap hak

asasi manusia menjadi syarat penting dalam sebuah negara hukum. Hak asasi

manusia tidak bisa dipisahkan dengan konsep negara hukum. Dalam konsep negara

modern, negara hukum menggambarkan cita dan upaya suatu bangsa dalam

mencapai kesejahteraan, dan keadilan. Perlindungan hak asasi manusia selalu

menjadi tolak ukur kemajuan suatu bangsa dalam melaksanakan penegakan hukum.

Di Indonesia sendiri, penghormatan dan perbincangan tentang hak asasi manusia

baru mengemuka pada tahun 1999 tatkala menandakan tumbangnya rezim orde baru

yang kental dengan corak otoritarianisme. Pada saat itu hak asasi manusia

berkembang menjadi isu krusial yang tidak hanya berdimensi nasional melainkan juga

internasional. Hal ini menyebabkan bahwa suatu negara tidak dapat lagi mengklaim

secara sepihak bahwa persoalan hak asasi manusia di wilayah negara mereka adalah

urusan domestik semata. Masyarakat internasional berhak bersuara dikarenakan hak

asasi manusia diakui sebagai nilai yang universal di mata hukum internasional.7

Sehingga dalam lingkup penegakan hukum di Indonesia juga wajib

memperhatikan aspek hak asasi manusia. Institusi penegak hukum yang wilayah

tugasnya kerap dan langsung berkaitan dengan masalah hak asasi manusia adalah

Kepolisian Republik Indonesia (Polri). Polri adalah menjalankan salah satu fungsi

6
Padmo Wahyono , Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: In-Hill Co, 1989), hal. 151
7
'B.H Marbun dan Chandra Gatama, Hak Asasi Manusia, Penyelenggara Negara yang Baik dan Masyarakat
Warga (Jakarta: HAM, 2000), hal. 141.
pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,

penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.8

Sejak tanggal 1 April 1999 Polri terpisah dari Angkatan Bersenjata Republik Indonsia

(ABRI), akan tetapi pemisahan tersebut dilakukan secara gradual. Pemisahan ini

tentunya memiliki harapan akan meningkatnya profesionalitas, kemandirian polisi dari

kecenderungan intervensi politik, serta mempersempit ruang penggunaan kekerasan

oleh kepolisian akibat posisi dan prilaku kemiliteran yang selama ini meletakkan status

Polri di bawah garis komando ABRI. Pemisahan Polri dari ABRI ini merupakan

keharusan yang tidak dapat ditunda pada saat itu, hal ini semata-mata sebagai upaya

untuk meningkatkan peran Polri sebagai bagian dari sistem peradilan pidana (criminal

justice system) dan mendorong terjaganya tertib hukum, keamanan dan ketertiban

dalam masyarakat.9

Artinya semangat pemisahan tersebut adalah dalam rangka mendorong Polri

menjadi lembaga penegak hukum yang bernafaskan sipil atau pendekatan terhadap

kehidupan bermasyarakat. Sehingga seharusnya seluruh aparat kepolisian memiliki

pemahaman yang utuh mengenai hak asasi manusia. Polri didorong untuk

menjalankan tugasnya dengan tidak menggunakan cara kekerasan. Tugas Polri

dijalankan dengan lebih mengedepankan cara-cara seperti mendengarkan, mencari

tahu hakikat dan akar masalah terutama yang berkaitan dengan persoalan keamanan

yang dihadapi oleh masyarakat.10

Peristiwa penembakan aparat Polri terhadap 6 Anggota pada 7 Desember

2020 kemairin seakan menjadi pemantik penulis untuk mengambil tema tulisan ini

8
Republik Indonesia, Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 2 Tahun 2002, Ps 2.
9
Aulia Nur, Abdul Muntholib, dan Andy Suryadi, “Dinamika Integrasi dan Pemisah Polri dari ABRI tahun 1961-
2002”, Journal of Indonesian History Edisi 8 Volume II, (Semarang: Unibersitas Negeri Semarang, 2019), hal.
110-111.
10
Satjipto Rahardjo, Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial dan Kemasyarakatan, (Jakarta: Kompas,
2007), hal 53.
untuk mengetahui lebih mendalam sejauh mana implementasi Polri untuk menjamin

hak asasi manusia dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, melalui Tugas

Makalah Kecil Kedua Mata Kulia Politik Hukum ini penulis mencoba untuk

mengurai persoalan paradigma hak asasi manusia dalam penegakan hukum oleh

Polri.

II. Rumusan Masalah

A. Bagaimana Hukum Indonesia Menjamin Perlindungan Hak Asasi Manusia

Dalam Penegakan Hukum Oleh Polri ?

B. Bagaimana Implementasi Perlindungan Hak Asasi Manusia oleh Polri Dalam

Menjalankan Tugasnya?

III. Analisis

A. Perlindungan Hak Asasi Manusia Dalam Lingkup Penegakan Hukum

Oleh Polri

Sebelumnya, penulis telah menyinggung bahwa konsep negara hukum

(Rechsstaat) sangat berkaitan erat dengan hadirnya rezim perlindungan hak asasi

manusia. Todung Mulya Lubis menyatakan bahwa meskipun tampaknya tidak ada

masalah tentang konsitusionalitas rechsstaat, akan tetapi implementasinya masih

diragukan. Pemerintah baik rezim lalu maupun sekarang memiliki interpretasi

rechsstaat yang agak sempit. Apalagi rechsstaat berada di bawah konsep yang lebih

besar yang disebut staatside integralistik yang muncul di bawah rezim Orde Baru.

Praktik check and balance, pemisahan kekuasaan, independensi peradilan, due

process of law dan judicial review, belum banyak dihargai di negara yang lebih
bercorak staatside integralistik. Seluruh pengertian tentang rechsstaat dihadapkan

pada ancaman yang sangat serius.11

Oleh karena itu, jaminan hak asasi manusia berada pada situasi yang tidak

menguntungkan. meskipun beberapa perbaikan telah dilakukan melalui peraturan

baru, masa depan mereka akan selalu tunduk pada interpretasi dari staatside

integralistik. Kini rezim sudah berganti yang diawali dengan reformasi, reformasi

segala bidang termasuk penegakan hukum yang berbasis perlindungan hak asasi

manusia. Sejatinya istilah hak asasi manusia merupakan istilah yang relatif baru, dan

mulai menjadi bahsa sehari-hari semenjak Perang Dunia ke -II dan pembentukan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Istilah tersebut menggantikan istilah natural

rights yang sebelumnya digunakan berdasarkan konsep hukum alam. Prof. Satya

Arinanto dalam bukunya Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia

merangkum mengenai keseluruhan generasi hak asasi manusia yang didapatka dari

berbagai keterangan ahli serta peraturan hukum internasional.

Setidaknya terdapat sekurang-kurangnya empat generasi hak asasi manusia

yang dikenal secara universal. Generasi Pertama, berkaitan dengan prinsip integritas

manusia, kebutuhan dasar manusia, dan prinsip kebebasan sipil dan politik. Generasi

Kedua, mencakup upaya pemenuhan kebutuhan untuk mengejar kemajuan ekonomi,

sosial dan kebudayaan. Generasi Ketiga, mencakup persamaan hak atau kesematan

yang sama dalam menikmati pembangunan. Generasi Keempat, menyatakan bahwa

perlindungan hak asasi manusia tidak hanya terbatas pada konteks hubungan vertikal

11
Satya Arinanto, Politik Hukum 2, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2018) hal. 208, sebagaimana
mencantumkan Todung Mulya Lubis, “In Search of Human Right: Legal Polictical Dilemmas of Indonesia’s New
Order, 1966-1990, ( A Dissertation Doctor of University of California, California, 1990).
antara penguasa dengan masyarakat melainkan juga hubungan horizontal antar

sesama masyarakat.12

Prof. Mahfud MD menyatakan bahwa setidaknya ada dua tujuan utama

dibentuknya konstitusi di berbagai negara, yang pertama untuk mengatur mengenai

lembaga-lembaga negara dan wewenanganya. Sedangkan tujuan yang kedua adalah

untuk mengatur tentang perlindungan atas hak-hak asasi manusia.13 Sehingga

menjadi menjadi sangat penting untuk mencantumkan pengaturan mengenai

perlindungan hak asasi manusia dalam sebuah konstitusi. Undang-Undang Dasar

1945 (UUD 1945) sebagai konstitusi negara Indonesia telah empat kali mengalami

perubahan. Pada saat amandemen yang kedua pada tanggal 18 Agustus 2000, UUD

1945 menambahkan Bab XA yang menjadi bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia.

Dalam konteks makalah ini, Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 menjadi sangat penting

untuk dipahami. Ketentuan dalam pasal tersebut menyatakan bahwa setiap warga

negara Indonesia memiliki hak untuk hidup hak untuk tidak disiksa, hak untuk

kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak

untuk diakui sebagai pribadi dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar

hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam

keadaan apapun.

Selanjutnya dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945 menyatakan bahwa

Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah

tanggung jawab negara, terutama pemerintah. Konstitusi telah mengkehendaki

negara untuk mengemban tanggung jawab terhadap pemenuhan dan perlindungan

hak asasi manusia. Negara dalam hal ini adalah pemerintah, dan Polri termasuk

12
Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata
Negara Universitas Indonesia, 2018), hal 81-83.
13
Mahfud MD, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001), hal. 72.
menjadi bagian dari pemerintah Indonesia yang mengemban tugas untuk menjaga

keamanan dan ketertiban. Oleh karena itu mengikuti semangat reformasi Polri pada

akhirnya harus memisahkan diri dari ABRI dalam rangka menciptakan pendekatan

penegakan hukum yang lebih humanis dan membangun paradigma hak asasi

manusia. Secara internal, Polri mengartikan pemisahan tersebut sebagai upaya

pemandirian POLRI dengan melakukan perubahan pada 3 aspek, yaitu :14

1. Aspek Struktural: Meliputi perubahan kelembagaan kepolisian dalam

ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan.

2. Aspek Instrumental: Mencakup filosofi (visi, misi dan tujuan), doktrin,

kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.

3. Aspek Kultural: Meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem

pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, dan sistem

operasional.

Menurut kalangan pemerhati reformasi kepolisian, menggarisbawahi bahwa

pemisahan (kemandirian) Polri dari TNI bukan merupakan tujuan, tapi sebagai

langkah dimulainya reformasi Polri. Tujuan reformasi kepolisian adalah membangun

kepolisian sipil yang profesional dan akuntabel dalam melayani masyarakat sesuai

dengan menjunjung tinggi norma-norma demokrasi, menghormati HAM dan hukum

internasional lainnya.15 Reformasi ini kemudian disempurnakan dengan lahirnya

Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

(UU Polri). Dalam Pasal 4 UU Polri secara tegas menyatakan bahwa Polri dibentuk

dalam rangka mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya

keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya

14
IDSPS, “Reformasi Kepolisian Republik Indonesia” Jurnal IDSPS (Seri 6), Edisi No. 6 Tahun 2008, hal.. 1.
15
Ibid. hal 2.
perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta terbinanya

ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Dalam menjalankan tugasnya, Polri diberikan wewenang untuk melakukan

tindakan penyelidikan dan penyidikan dengan beberapa syarat yang cukup tegas

yakni diantaranya tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum serta menghormati

hak asasi manusia.16 Ketentuan mengenai penghormatan terhadap hak asasi

manusia ini juga kembali dimuat dalam Pasal 19 UU ayat (1) Polri yang menyatakan

bahwa “Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat Kepolisian Negara

Republik Indonesia senantiasa bertindak berdasarkan norma hukum dan

mengindahkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak

asasi manusia.” Tak cukup sampai disitu beberapa Peraturan Kapolri dan produk

hukum lainnya juga mengatur secara tegas mengenai penghormatan hak asasi

manusia dalam lingkup penegakan hukum oleh Polri.

Polri dihadapkan pada tugas yang sangat serius, yaitu sebagai salah satu

lembaga negara penegak hukum yang harus melakukan perlindungan terhadap hak

asasi manusia. Terutama pasca keluarnya Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009

yang memberikan aturan tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi

Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Keputusan ini merupakan langkah maju dari Polri dalam upaya pemajuan,

perlindungan dan penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Secara mendasar peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 yang terdiri dari 64

pasal ini dibuat, agar seluruh jajaran Polri dapat menghormati, melindungi, dan

menegakkan hak asasi manusia dalam menjalankan tugas dan fungsinya (huruf c.

16
Republik Indonesia, Undang-Undang tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, UU No. 2 tahun 2002,
Ps. 16 ayat (2) huruf a dan e.
konsideran Menimbang). Dalam pasal 2 disebutkan, maksud dari Peraturan ini antara

lain:

1. Sebagai pedoman dasar implementasi prinsip dan standar hak asasi manusia

dalam setiap penyelenggaraan tugas Polri.

2. Menjelaskan prinsip-prinsip dasar HAM agar mudah dipahami oleh seluruh

anggota Polri dari tingkat terendah sampai yang tertinggi dalam pelaksanaan

tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia.

Inti dalam peraturan ini adalah panduan agar polisi menerapkan prinsip dan

standar HAM dalam tugasnya. Dalam pasal 3 disebutkan ada 12 prinsip hak asasi

manusia yang harus diemban oleh Polri, yakni (1) perlindungan minimal, (2) melekat

pada manusia, (3) saling terkait, (4) tidak dapat dipisahkan, (5) tidak dapat dibag,i (6).

Universal, (7) fundamental, (8) keadilan, (9) kesetaraan/persamaan hak, (10)

kebebasan, (11) non-diskriminasi, (12) perlakuan khusus bagi kelompok yang

memiliki kebutuhan khusus (affirmative action).

Sedangkan HAM yang termasuk dalam cakupan tugas Polri diatur dalam Pasal

7, yang terdiri dari 8 hak yaitu (a). hak memperoleh keadilan (b). hak atas kebebasan

pribadi (c).hak atas rasa aman (d). hak bebas dari penangkapan sewenang-wenang,

hak bebas dari penghilangan secara paksa, (e). hak khusus perempuan, (f).hak

khusus anak, (g). hak khusus masyarakat adat, (h). hak khusus kelompok minoritas,

seperti etnis, agama, penyandang cacat, orientasi seksual.17

Bagian terbanyak dalam peraturan ini adalah mengatur tentang standar

perilaku petugas/anggota Polri dalam penegakkan hukum dan tindakan kepolisian.

Standar petugas polisi dalam penegakkan hukum adalah wajib mematuhi ketentuan

17
Kapolri, Peraturan Kapolri tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam
Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perkapolri No. 8 Tahun 2009, Ps. 7.
berperilaku (Code of Conduct) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 huruf h. Antara

lain: menghormati dan melindungi martabat manusia dalam melaksanakan tugasnya,

tidak boleh menggunakan kekerasan, kecuali dibutuhkan untuk mencegah kejahatan

membantu melakukan penangkapan terhadap pelanggar hukum atau tersangka

sesuai dengan peraturan penggunaan kekerasan; tidak boleh menghasut, tidak boleh

menyiksa, melindungi tahahan, tidak korupsi,harus menghormati hukum.

Secara prinsipil tujuan dari pemberlakuan peraturan Kapolri ini antara lain

adalah sebagai berikut:

1. untuk menjamin pemahaman prinsip dasar HAM oleh seluruh jajaran Polri agar

dalam melaksanakan tugasnya senantiasa memperhatikan prinsip-prinsip

HAM

2. untuk memastikan adanya perubahan dalam pola pikir, bersikap, dan bertindak

sesuai dengan prinsip dasar HAM

3. untuk memastikan penerapan prinsip dan standar HAM dalam segala

pelaksanaan tugas Polri, sehingga setiap anggota Polri tidak ragu-ragu dalam

melakukan tindakan

4. untuk dijadikan pedoman dalam perumusan kebijakan Polri agar selalu

mendasari prinsip dan standar HAM.

Dengan berlakunya Peraturan Kapolri ini secara langsung “memaksa” seluruh

aparat polisi wajib memahami instrumen internasional tentang standar minimal

perlindungan warga negara yang mengatur secara langsung dan tidak langsung

tentang hubungan anggota Polri dengan HAM. Ada 19 intrumen internasional yang

wajib dipahami oleh setiap anggota Polri, antara lain:

a. Kovenan Internasional tentang Hak Sipil Politik (ICCPR);


b. Kovenan Internasional tentang Hak Sosial Ekonomi, Sosial dan Budaya;

c. Konvensi Internasional Tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi

Rasial Tahun 1965;

d. Konvensi mengenai Penghapusan segala bentuk Diskriminasi terhadap

Perempuan (CEDAW) Tahun 1981;

e. Konvensi Menentang Penyiksaan, Perlakuan atau Hukuman Lain yang

Kejam, Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat (CAT) Tahun 1984;

f. Konvensi Hak-hak Anak (CRC) Tahun 1990;

g. Konvensi Perlindungan Semua Orang dari Penghilangan Paksa Tahun 2006.

h. Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 34/169 tentang Etika

Berperilaku Bagi Penegak Hukum (Code of Conduct for Law Enforcement);

i. Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 43/174 Tahun 1988 tentang

Prinsip Perlindungan semua Orang Dalam Segala Bentuk Penahanan atau

Pemenjaraan;

j. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 37/194 Tahun

1982 tentang Prinsip-prinsip Etika Kedokteran Dalam Melindungi Tahanan;

k. Resolusi Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 45/110 Tahun

1990 tentang Peraturan Standar Minimum untuk Tindakan Non-Penahanan

(“Tokyo Rule”);

l. Peraturan Standar Minimum Perserikatan Bangsa-Bangsa Tahun 1985 Untuk

Pelaksanaan Peradilan Anak;

m. Deklarasi tentang Prinsip-prinsip Keadilan Bagi Korban Kejahatan dan

Penyalahgunaan Kewenangan Tahun 1985;

n. Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Kaum Perempuan

Tahun 1993;
o. Deklarasi tentang Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun

1993;

p. Deklarasi Pembela Hak Asasi Manusia Tahun 1998;

q. Pencegahan dan Penyelidikan Efektif terhadap Pelaksanaan Hukuman Mati

di Luar Proses Hukum, Sewenang-wenang dan Sumir (1989/65, Mei Tahun

1989).

r. Pedoman Universal Pemulihan Hak Korban Pelanggaran HAM Berat (United

Nation Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and

Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law

and Serious Violation of International Humanitarian Law) Tahun 2005; dan

s. Prinsip-prinsip Dasar Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Penggunaan

Kekuatan dan Senjata Api oleh Aparat Penegak Hukum (United Nation Basic

Principles on the Use of Force and Firearms by Law Enforcement) Tahun

1980.

Selain itu pada tahun 2010 juga telah dibuat Prosedut Tetap Kapolri No. 1

Tahun 2010 tentang Penanggulangan Anarki. Dalam Protap tersebut terdapat

langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam rangka menangani aksi unjuk rasa

ataupun situasi disaat masyarakat tak terkendali. Misalnya pertama personil polri

harus mengenalkan diri dahulu sebagai anggota kepolisian, yang kedua melalukan

himbauan, kemudian melaporkan terhadap pimpinan apabila situasi makin tak

terkendali dan membutuhkan keputusan tegas, kemudian melakukan tembakan

peringatan dalam hingga sampai melakukan tembakan terhadap pelaku dengan

catatan tembakan hanya melumpuhkan bukan membunuh.18

18
Kapolri, Prosedur Tetap Kapolri tentang Penanggulangan Anarki, Protap Kapolri No. 1 Tahun 2010.
Baik Protap Kapolri maupun Peraturan Kapolri lebih berfungsi sebagai

panduan dan moral binding. Pada akhirnya tegak atau tidaknya peraturan ini sangat

tergantung dari panggilan nurani tiap pejabat dan personil Polri itu sendiri. Harapan

terbesar demi terwujudnya profesionalisme dan kredibilitas polisi, maka peraturan ini

bisa diterapkan. Masyarakat, terutama media massa, wajib turut serta

menyebarluaskan dan menjadi pengawas untuk menjamin peraturan ini ditegakkan,

untuk menjamin bahwa polri tidak melanggar HAM masyarakat yang dilindunginya.

Jika semakin banyak masyarakat tahu dan paham tentang peraturan ini, maka akan

sangat membantu upaya pemajuan, perlindungan dan penegakkan HAM oleh Polri.

B. Penggunaan Kekerasan Oleh Polri Sebagai Bentuk Pelanggaran HAM.

Kematian 6 orang Anggota FPI dalam peristiwa yang terjadi pada 7 Desember

2020 seakan membuka tabir penegakan hukum oleh Polri yang masih penuh dengan

pendekatan kekerasan. Dengan dalil ‘Tindakan Tegas dan Terukur’ aparat Polri

seringkali berlindung dari kalimat sakti tersebut untuk melakukan penindakan yang

seringkali melangkahi Protap yang sudah ditetapkan oleh aturan hukum. Perbedaan

keterangan Polri pada saat Konferensi Pers 8 Desember 2020 dan Reka Adegan pada

13 Desember 2020 tentunya menimbulkan tanda tanya besar publik kepada Polri.

Situasi penggunaan kekerasan oleh Polri bukan baru kali ini saja terjadi. Pada saat

aksi demonstrasi Omnibus Law. Kontras melaporkan telah menerima 1500 aduan

dugaan kekerasan oleh Polri di seluruh Indonesia. Kontras juga melaporkan bahwa

pasca demonstrasi betapa sulitnya akses untuk melakukan pendampingan bagi

beberapa mahasiswa.19

19
Vitorio Mantalean, “Kontras Menerima 1.500 Laporan Kekerasan”,
https://megapolitan.kompas.com/read/2020/10/09/14024141/kontras-terima-1500-aduan-kekerasan-aparat-
selama-demo-tolak-uu-cipta?page=all diakses pada 13 Desember 2020.
Tidak hanya mahasiswa, bahan jurnalis sekalipun juga menjadi korban

kekerasan oleh polisi pada saat meliput demo omnibus law. Aliansi Jurnalis Indonesia

mencatat setidaknya 38 Jurnalis di seluruh Indonesia menjadi korban kekerasan.

Paling banyak terjadi di Jakarta dengan jumlah korban 8 jurnalis.20 Sementara itu

dalam lingkup tugas kepolisian yang lebih luas Kontras juga menemukan catatan

kekerasan yang dilakukan oleh aparat kepolisian.

Kontras menyatakan dalam kurun waktu Juni 2019 hingga Mei tahun 2020 telah

terjadi setidaknya 48 kasus penyiksaan yang dilakukan oleh oknum Polisi. Sebagian

besar korban yang mendapatkan penyiksaan tersebut merupakan berstatus warga

sipil maupun tersangka. Kontras kemudian melanjutkan bahwa 40 kasus penyiksaan

yang terjadi betujuan untuk mendapatkan pengakuan semata.21 Data di atas

menunjukan bahwa dalam proses penyelidikan dan proses penggalian informasi

dalam pengungkapan suatu tindak pidana rentan terjadi penyiksaan.

Selanjutnya dalam Laporan Tahunan hari Bhayangkara ke-74 oleh Kontras

ditemukan data yang lebih rinci lagi. Penyiksaan dilaporkan mayoritas terjadi di ranah

Polres dengan total 29 kasus, disusul Polsek 11 kasus, serta pada tingkat Polda yang

mencapai 8 kasus. Adapaun instrumen penyiksaan yang paling sering digunakan

adalah dengan menggunakan tangan kosong yang mencapai 35 kasus, diikuti dengan

benda keras 12 kasus, senjata api 7 kasus serta dengan menggunakan listrik hingga

4 kasus.22

20
Tim Katadata, “38 Jurnalis Jadi Korban Kekerasan Saat Liput Demo Omnibus Law”.
https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/10/19/38-jurnalis-jadi-korban-kekerasan-saat-liput-demo-
omnibus-law diakses pada 13 Desember 2020.
21
Kontras, “Laporan Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia Periode Juni 2019-Mei 2020”,
https://kontras.org/wp-content/uploads/2020/06/2406_laporan-penyiksaan_Final.pdf Diakses pada 13 Desember 2020,
halaman 10.
22
Kontras, “Tak Kenal Prioritas, Semua Diterabas: Laporan tahunan Hari Bhayangkara ke-74”, https://kontras.org/wp-
content/uploads/2020/06/2907_bhayangkara_Final-2.pdf diakses pada 13 Desember 2020, halaman 6.
Laporan mengenai dugaan kekerasan polisi juga datang dari Lembaga

Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Pada Juni 2020 LPSK telah menerima

permohonan perlindungan dari 45 korban penyiksaan dalam kurun waktu 3 tahun

terakhir. Dari 45 kasus tersebut ketika dibedah secara keseluruhan pelakunya

memiliki latar belakang aparat yang berwenang. Lebih tepatnya pelaku dari oknum

TNI sebanyak 39 orang, oknum Polri 20 orang dan 5 orang berasal dari petugas

lembaga pemasyarakatan. Kasus yang berkaitan dengan Polri rata-rata terjadi pada

saat proses pemeriksaan dan juga penyelidikan terhadap saksi maupun tersangka.23

Anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan dalam bukunya “14 Bulan Idham

Azis Bisa Apa?”. secara tegas menyampaikan kritik terhadap masih adanya tindakan

kekerasan yang dilakukan oleh aparat polisi meskipun dalam ruang lingkup

penegakkan hukum. Hinca menyesalkan kenapa tradisi kekerasan tersebut masih

saja terjadi, padahal ada pilihan bagi aparat Polri untuk melakukan pendekatan yang

lebih humanis dan menjunjung tinggi supremasi sipil.24 Dirinya menambahkan bahwa

Praktik ini sudahlah sangat usang, sudah saatnya ditinggalkan. Terlebih sekarang

sudah berkembang pesat konsep Restorative Justice yakni mengedepankan keadilan

bagi masyarakat yang terlibat dalam suatu tindak pidana baik itu terhadap korban,

saksi bahkan kepada tersangka. Prakti penyiksaan oleh aparat adalah warisan gaya

lama yang seharusnya kita sudah kita pendam lama sejak reformasi 1998.

Sejatinya dalam memahami pendekatan kekerasan oleh Polri ini kita perlu

melihat pendapat dari Herbert L. Packer. Beliau menyatakan dalam proses peradilan

pidana terdapat dua model yang saling berseberangan satu sama lain model tersebut

23
LPSK RI, Laporan Kinerja LPSK RI 2019-2020, disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Komisi III DPR RI, di
Jakarta, 15 September 2020.
24
Hinca IP Pandjaitan XIII, 14 Bulan Idham Azis Bisa Apa, (Jakarta: RM Books, 2020), halaman 42.
adalah Crime Control Model (CCM) serta Due Process Model.25 Kedua model ini

memudahkan setiap orang untuk memahami anatomi normatif dalam pelaksanaan

hukum pidana di suatu negara. Pakker menyatakan bahwa model CCM

menitikberatkan kepada efisiensi mencakup kecepatan, ketelitian dan daya guna

administratif di dalam memproses pelaku tindak pidana. Setiap penegakan hukum

harus dilakukan dengan cepat dan harus segera selesai. Bahkan Packer

menyebutkan bahwa doktrin yang digunakan dalam model ini adalah presumption of

guilt atau praduga bersalah.26

Doktrin di atas digunakan dalam rangka mengurangi sekecil mungkin adanya

perlawanan dari pihak lain yang dapat menghambat penyelesaian perkara.

Penerapan model CCM haruslah didukung dengan eksistensi kekuasaan yang

melakukan kontrol kuat terhadap setiap kejahatan dan pelaku kejahatan yang

dilaksanakan oleh pejabat kepanjangan tangan kekuasaan seperti polisi, jaksa serta

hakim. Proses penegakkan hukum harus dilaksanakan semaksimal mungkin

meskipun seringkali harus mengabaikan nilai-nilai hak asasi manusia.27

Jika kita memahami secara utuh pendekatan Crime Control Model di atas tentu

sangat akrab dengan praktik penegakkan hukum yang dilaksanakan oleh negara yang

bercorak otoritarianisme. Indonesia pernah mengalami fase tersebut tatkala masih

berada dalam naungan kolonial Belanda dan Jepang serta pada saat rezim orde baru

berkuasa selama 32 tahun. Dalam kedua fase tersebut sering ditemukan pendekatan

kekuasaan dalam melaksanakan penegakkan hukum, sehingga seringkali terjadi

penyiksaan dalam oleh aparat dalam prosesnya.

25
Herbert L Packer, The Limits of the Criminal Sanction, (California: Stanford-University Press, 1968), halaman 153.
26
Ibid.
27
Ibid.
Pada saat jaman kolonial, Henk Schulte Nordholdt seorang sejarawan

menyatakan bahwa Negara Hindia Belanda saat itu adalah negara yang penuh

dengan kekerasan. Sehingga fungsi polisi pada saat itu adalah sebagai perpanjangan

tangan pemerintah yang secara aktif menegakan rust en orde guna memajukan

kepentingan ekonomi dan kekuasaaan politiknya. Sehingga tak jarang masyarakat

Indonesia yang tidak bersalah pada saat itu ditangkap dan disiksa oleh aparat

kepolisian dalam rangka membungkam perlawanan.28

Pendekatan kekerasan ini berlanjut pada saat Presiden Soeharto berkuasa dan

menggantikan Presiden Soekarno. Pasca tragedi Pemberontakan G30SPKI banyak

orang-orang yang tidak memiliki kaitan langsung dengan kejadian tersebut diadili

secara tidak manusiawi bahkan hingga menyebabkan kematian tanpa proses

peradilan yang tepat. Banyak aktivis dan tahanan politik rezim Orde Baru yang dibui

hanya karena mengkritik pemerintahan Soeharto dan tak jarang proses penegakkan

hukum mereka dilakukan tanpa mengindahkan hak asasi manusia. Poin penulis

terhadap dua contoh di atas adalah bahwa praktik penyiksaan dalam suatu

penyelidikan dan penyidikan tindak pidana adalah warisan kelam dari masa lampau.

Masa dimana langit Indonesia masih dinaungi oleh payung otoritarianisme yang

begitu gelap. Masa dimana hak asasi manusia bukanlah menjadi hal utama, karena

masih berada dibawah kelanggengan kekuasaan.

IV. Penutup

Peraturan Hukum di Indonesia sejatinya telah mengatur mengenai

pelrindungan hak asasi manusia dalam lingkup penegakan hukum oleh Polri. Mulai

dari UUD 1945, UU Polri hingga Peraturan Kapolri sudah mencantumkan secara

28
Bonnie Triyani, “Polisi Zaman Kumpeni” https://historia.id/politik/articles/polisi-zaman-kumpeni-v2jZv/page/1 diakses
pada 13 Desember 2020.
tegas bahwa aparat Polri wajib menghormati hak asasi manusia dalam menjalankan

tugasnya. Akan tetapi peraturan tersebut tidak dapat berjalan efektif apabila

kesadaran moral dari seluruh jajaran Polri tidak maksimal.

Masih sering terjadinya Kekerasan oleh aparat Polri dalam menjalankan

tugasnya menunjukan bahwa sejatinya tingkat kepatuhan hukum beberapa oknum

Polri masih kurang berkaitan dengan penghormatan hak asasi manusia. Reformasi

Polri nampaknya belum selesai, masih diperlukan upaya untuk menciptakan lembaga

Polri yang lebih humanis atau Polisi bercorakan sipil.


V. Daftar Pustaka

BUKU

Arinanto, Satya., Politik Hukum 2, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2018).

Arinanto, Satya., Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia,

(Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2018)

Djiwantono, Soedjati. Setengah Abad Negara Pancasila, (Centre for Strategic

and International Studies (CSIS), Jakarta, 1955)

Marbun, 'B.H. dan Gatama, Chandra., Hak Asasi Manusia, Penyelenggara

Negara yang Baik dan Masyarakat Warga (Jakarta: HAM, 2000)

MD, Mahfud., Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2001)

Packer, Herbert L., The Limits of the Criminal Sanction, (California: Stanford-

University Press, 1968),

Pandjaitan XIII, Hinca IP., 14 Bulan Idham Azis Bisa Apa, (Jakarta: RM Books,

2020),

Rahardjo, Satjipto., Membangun Polisi Sipil: Perspektif Hukum, Sosial dan

Kemasyarakatan, (Jakarta: Kompas, 2007)

Wahyono, Padmo., Pembangunan Hukum di Indonesia, (Jakarta: In-Hill Co,

1989)

JURNAL

IDSPS, “Reformasi Kepolisian Republik Indonesia” Jurnal IDSPS (Seri 6), Edisi

No. 6 Tahun 2008, hal.. 1.

Nur, Aulia. Muntholib, Abdul. dan Suryadi, Andy., “Dinamika Integrasi dan

Pemisah Polri dari ABRI tahun 1961-2002”, Journal of Indonesian


History Edisi 8 Volume II, (Semarang: Unibersitas Negeri Semarang,

2019), hal. 110-111

Sidharta, Bernard Arief, “Kajian Kefilsafatan tentang Negara Hukum”, Jurnal

Hukum Jentera, Edisi 3-Tahun II, November (Jakarta: Pusat Studi

Hukum dan Kebijakan, 2004), hal. 124-125.

Termorshuizen, Marjanne “The Consept Rule of Law”, JENTERA Jurnal

Hukum, Edisi 3 tahun II, Jakarta, 2004, Hal. 78.

PERATURAN PERUNDAN-UNDANGAN

Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945,

Ps. 1 ayat (3). Indonesia. Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indnesia 1945.

Republik Indonesia, Undang-Undang Kepolisian Negara Republik Indonesia,

UU No. 2 Tahun 2002.

Kapolri, Peraturan Kapolri tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi

Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Republik

Indonesia. Perkapolri No. 8 Tahun 2009.

Kapolri, Prosedur Tetap Kapolri tentang Penanggulangan Anarki, Protap

Kapolri No. 1 Tahun 2010.

DISERTASI

Lubis, Todung Mulya., “In Search of Human Right: Legal Polictical Dilemmas of

Indonesia’s New Order, 1966-1990, ( A Dissertation Doctor of University

of California, California, 1990).

INTERNET
Asshiddiqie. Jimly., “Makalah: Gagasan Negara Hukum Indonesia”.

http://www.jimly.com/ /Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf. Diakses

Pada 13 Desember 2020.

Vitorio Mantalean, “Kontras Menerima 1.500 Laporan Kekerasan”,

https://megapolitan.kompas.com/read/2020/10/09/14024141/kontras-

terima-1500-aduan-kekerasan-aparat-selama-demo-tolak-uu-

cipta?page=all diakses pada 13 Desember 2020.

Tim Katadata, “38 Jurnalis Jadi Korban Kekerasan Saat Liput Demo Omnibus

Law”. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2020/10/19/38-

jurnalis-jadi-korban-kekerasan-saat-liput-demo-omnibus-law diakses

pada 13 Desember 2020.

Kontras, “Laporan Situasi dan Kondisi Praktik Penyiksaan di Indonesia Periode

Juni 2019-Mei 2020”, https://kontras.org/wp-

content/uploads/2020/06/2406_laporan-penyiksaan_Final.pdf Diakses

pada 13 Desember 2020, halaman 10.

Kontras, “Tak Kenal Prioritas, Semua Diterabas: Laporan tahunan Hari

Bhayangkara ke-74”, https://kontras.org/wp-

content/uploads/2020/06/2907_bhayangkara_Final-2.pdf diakses pada

13 Desember 2020, halaman 6.

Bonnie Triyani, “Polisi Zaman Kumpeni” https://historia.id/politik/articles/polisi-

zaman-kumpeni-v2jZv/page/1 diakses pada 13 Desember 2020.

LAIN-LAIN

LPSK RI, Laporan Kinerja LPSK RI 2019-2020, disampaikan dalam Rapat

Dengar Pendapat Komisi III DPR RI, di Jakarta, 15 September 2020.

Anda mungkin juga menyukai