Anda di halaman 1dari 4

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Diagnosa Teori Hukum Pembangunan dalam pembentukan peraturan perundang-


undangan Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS)
Hukum merupakan bagian dari karya cipta manusia yang dimanfaatkan untuk
menegakkan martabat manusia. Manusia tidak menghamba kepada abjad dan titik koma
yang terdapat dalam undang-undang sebagai buah perwujudan nalar, akan tetapi hukum
yang menghamba kepada kepentingan manusia untuk menegakkan nilai-nilai
kemanusiaan. Hukum tidak hanya merupakan sebuah produk rasio, akan tetapi hukum
adalah bagian dari intuisi. Relevansinya dengan nilai dasar kebangsaan adalah
mewujudkan konsepsi keadilan yang beradab, seperti sila kedua pancasila.1
Dalam kaitannya dengan fungsi kaidah hukum, Sudikno Mertokusumo mengatakan
bahwa fungsi kaidah hukum pada hakekatnya adalah untuk melindungi kepentingan
manusia. Kaidah hukum bertugas mengusahakan keseimbangan tatanan didalam
masyarakat dan kepastian hukum agar tujuan hukum tercapai, yaitu ketertiban
masyarakat.2 Agar kepentingan manusia terlindungi, maka hukum harus dilaksanakan.
Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara normal, damai, akan tetapi dapat terjadi
juga karena pelanggaran hukum. Hukum yang dilanggar itulah yang harus ditegakkan.
Melalui penegakan hukum tersebut, hukum menjadi kenyataan.3
Dalam teori Hukum Pembangunan yang dibuat oleh Prof. Mochtar Kusumaatmadja,
pengertian hukum tidak hanya sebatas sebagai pencipta ketertiban atau menjaga
keseimbangan tatanan masyarakat, namun hukum juga menjadi pengarah kegiatan
manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembaharuan dan pembangunan tersebut. Oleh
karena itu, diperlukan suatu sarana berupa aturan hukum yang berbentuk tidak tertulis dan
sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Lebih jauh, Prof. Mochtar
Kusumaatmadja berpendapat bahwa pengertian hukum sebagai sarana (instrument) lebih
luas daripada hukum sebagai alat (tool), karena:4

1
Laksanto Utomo, Penerapan Hukum Progresif dalam Penemuan Hukum oleh Hakim untuk Menciptakan
Keadilan, dalam Refleksi dan Rekonstruksi Ilmu Hukum Indonesia, Yogyakarta: Thafa Media dan Asosiasi
Sosiologi Hukum Indonesia Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Undip, 2012, hlm. 284
2
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum: Sebuah Pengantar, Yogyakarta: Liberty, 1996, hlm. 4
3
Ibid, hlm. 11
4
Shidarta, Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks Ke-Indonesiaan, Jakarta: CV Utomo, 2006, hlm. 411
1. Di Indonesia, peranan perundang-undangan dalam proses pembaharuan
hukum lebih menonjol, misalnya apabila dibandingkan dengan Amerika
Serikat yang menempatkan yurisprudensi (khusus putusan the Supreme Court)
pada tempat lebih penting.
2. Konsep hukum sebagai “alat” akan mengakibatkan hasil yang tidak jauh
berbeda dengan penerapan legisme sebagaimana pernah diadakan pada zaman
Hindia Belanda, dan di Indonesia terdapat sikap yang menunjukkan kepekaan
masyarakat untuk menolak penerapan konsep seperti itu.
3. Apabila pengertian “hukum” ini termasuk pula hukum internasional, maka
konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat telah diterapkan jauh
sebelum konsep ini diterima secara resmi sebagai landasan kebijakan hukum
nasional.

Lebih lanjut, Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum merupakan suatu


alat untuk memelihara ketertiban dalam masyarakat, mengingat fungsinya sifat hukum
pada dasarnya adalah konservatif. Artinya, hukum bersifat memelihara dan
mempertahankan yang telah tercapai.5 Fungsi demikian diperlukan dalam setiap
masyarakat, termasuk masyarakat yang sedang membangun, karena di sini terdapat hasil-
hasil yang harus dipelihara, dilindungi, dan diamankan. Akan tetapi, dalam masyarakat
yang sedang membangun, dimana berarti masyarakat yang mengalami perubahan secara
cepat, hukum tidak cukup memiliki fungsi demikian saja. Ia juga harus dapat membantu
proses perubahan masyarakat tersebut. Pandangan kolot tentang hukum yang
menitikberatkan fungsi pemeliharaan ketertiban dalam arti statis serta menekankan sifat
konservatif dari hukum, menganggap bahwa hukum tidak dapat memainkan suatu
peranan yang berarti dalam proses pembaharuan.6
Selanjutnya, tujuan lain hukum adalah tercapainya keadilan yang berbeda-beda isi dan
ukurannya, menurut masyarakat dan perkembangan zaman. Keadilan tersebut tidak dapat
dicapai tanpa adanya ketertiban dan kepastian hukum. Untuk mencapai ketertiban,
diusahakan adanya kepastian hukum dalam pergaulan manusia di masyarakat, karena
tidak mungkin manusia dapat mengembangkan bakat dan kemampuan yang diberikan
Tuhan kepadanya secara optimal, tanpa adanya ketertiban dan kepastian hukum.7 Fungsi
5
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan (Kumpulan Karya Tulis), Bandung:
Alumni, 2002, hlm. 14
6
Ibid.
7
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional, Bandung: Bina
Cipta, 2002, hlm. 13
hukum dalam masyarakat yang sedang membangun tidak cukup hanya untuk menjamin
ketertiban dan kepastian hukum. Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum diharapkan
agar berfungsi lebih daripada itu, yakni sebagai sarana pembangunan masyarakat (law is
a tool of social engineering) dengan pokok-pokok pikiran sebagai berikut:8

“Mengatakan hukum merupakan “sarana pembaharuan masyarakat”


didasarkan kepada anggapan bahwa adanya keteraturan atau ketertiban
dalam usaha pembangunan dan pembaharuan itu merupakan suatu yang
diinginkan atau dipandang perlu. Anggapan lain yang terkandung dalam
konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan adalah bahwa hukum dalam
arti kaidah atau peraturan hukum memang bisa berfungsi sebagai alat
(pengatur) atau sarana pembangunan dalam arti penyalur arah kegiatan
manusia ke arah yang dikehendaki oleh pembangunan dan pembaharuan.”
Pada bagian lain, Mochtar Kusumaatmadja juga mengemukakan bahwa hukum yang
memadai harus tidak hanya memandang hukum tersebut sebagai suatu perangkat kaidah
dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus
mencakup pula lembaga (institution) dan proses (processes) yang diperlukan untuk
mewujudkan hukum itu ke dalam kenyataan. Pengertian hukum diatas menunjukkan
bahwa untuk memahami hukum secara holistik, tidak hanya terdiri dari asas dan kaidah,
tetapi juga meliputi lembaga dan proses. Keempat komponen hukum itu bekerja sama
secara integral untuk mewujudkan kaidah dalam kenyataannya dalam arti pembinaan
hukum yang pertama dilakukan melalui hukum tertulis berupa peraturan perundang-
undangan.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (selanjutnya disebut


RUU P-KS) merupakan sebuah produk hukum yang menjadi terobosan atas upaya
penghapusan segala bentuk kekerasan seksual. Komisi Nasional Anti Kekerasan
Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mencatat, dalam kurun waktu 10 (sepuluh)
tahun terakhir, jumlah kekerasan seksual terhadap perempuan semakin bertambah setiap
tahun. Kekerasan yang dimaksud yakni tidak sebatas pada kekerasan secara seksual,
namun juga fisik dan pskis yang terjadi di wilayah domestik, publik, maupun dalam relasi
antar warga negara.9

8
Mochtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, dan Pembinaan Hukum Nasional, Bandung: Binacipta, 1995,
hlm. 13
9
Komnas Perempuan, Lembar Fakta dan Poin Kunci Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2019.
https://www.komnasperempuan.go.id/read-news-lembar-fakta-dan-poin-kunci-catatan-tahunan-komnas-
perempuan-tahun-2019. Diakses pada Sabtu, 12 Desember 2020
Dengan maraknya kasus kekerasan seksual di Indonesia, khususnya bagi kaum
perempuan, diperlukan sebuah peraturan khusus yang mengatur mengenai Kekerasan
Seksual. Ide awal RUU P-KS telah dimulai sejak 2012. Pada 23 Agustus 2016, Komnas
Perempuan bersama dengan Forum Pengada Layanan (FPL) secara resmi menyerahkan
Naskah Akademik dan RUU P-KS kepada Ketua Komite III Dewan Perwakilan Daerah
Republik Indonesia (DPD RI). Pada saat itu juga, Dewan Perwakilan Rakyat Republik
Indonesia (DPR RI) menerima Naskah Akademik dan RUU P-KS dan menjadikannya
sebagai Undang-Undang inisiatif dari DPR yang telah ditandatangani oleh 70 anggota
DPR.10
RUU P-KS merupakan suatu upaya pembaharuan hukum dalam mengatasi berbagai
persoalan terkait dengan Kekerasan Seksual. Pembaharuan dalam bentuk hukum ini
memiliki tujuan sebagai berikut:11
1. Melakukan pencegahan terhadap terjadinya peristiwa kekerasan seksual.
2. Mengembangkan dan melaksanakan mekanisme penanganan, perlindungan,
dan pemulihan yang melibatkan masyarakat dan berpihak kepada korban, agar
korban dapat malampaui kekerasan yang ia alami dan menjadi penyintas.
3. Memberi keadilan bagi korban kejahatan, melalui pidana dan tindakan tegas
bagi pelaku kekerasan seksual.

Apabila dikaitkan dengan teori Hukum Pembangunan, maka pembentukan RUU P-KS
merupakan salah satu bentuk konsep hukum sebagai sarana pembaharuan masyarakat.
Berangkat dari adanya permasalahan mengenai kekerasan

10
Rahmawati, Maidina, dan Supriyadi Widodo Eddyono, RUU DPR Versus DIM Pemerintah: Melihat Posisi DPR
dan Pemerintah Atas Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Jakarta: ICJR,
2017, hlm. 27
11
Komnas Perempuan dan Forum Pengadaan Layanan, Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang Tentang
Penghapusan Kekerasan Seksual, Jakarta: Komnas Perempuan, 2017, hlm. 9

Anda mungkin juga menyukai