Anda di halaman 1dari 85

29

BAB II
TEORI TENTANG KEDUDUKAN MAHKAMAH AGUNG DAN KONSEP
AKAD PEMBIAYAAN IJARAH MULTI JASA DALAM SISTEM
EKONOMI SYARIAH

A. Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Agung Dalam Penyelesaian


Sengketa Ekonomi Syariah
A.1. Konsep Penyelesaian Sengketa
Tujuan dari penegakan hukum adalah untuk meningkatkan kepastian
hukum dan ketertiban dalam masyarakat. Penegakan tersebut dilakukan dengan
melakukan hal-hal seperti menertibkan tugas, fungsi, dan wewenang lembaga-
lembaga yang bertugas menegakkan hukum sesuai proporsi ruang lingkup masing-
masing, juga berdasarkan sistem kerjasama yang baik untuk mendukung tujuan
yang akan dicapai. Pola penegakan hukum juga dipengaruhi oleh tingkat
perkembangan masyarakat tempat hukum diberlakukan, karena pengorganisasian
penegak hukumnya juga semakin kompleks dan sangat birokratis dalam masyarakat
modern yang bersifat rasional dan memiliki tingkat spesialisasi dan differensiasi
yang tinggi. Apabila 5 pilar hukum yaitu instrumen hukumnya, aparat penegak
hukumnya, faktor warga masyarakatnya yang terkena lingkup peraturan hukum,
faktor kebudayaan atau legal culture, faktor sarana dan fasilitas yang dapat
mendukung pelaksanaan hukum berjalan denga baik maka menurut Kajian
sistematis terhadap penegakan hukum dan keadilan secara teoritis dinyatakan
efektif.1
Di Indonesian penegakan hukum, selain dipengaruhi oleh kultur hukum
masyarakat juga dipengaruhi oleh penegak hukum. Tugas penegakan hukum
dilaksanakan oleh lembaga yudhikatif. Maka mengetahui peranan Mahkamah
Agung dalam penyelesaian sengketa sebagai lembaga yudhikatif tertinggi negara
sangat perlu. Dalam hal ini khususnya sengketa ekonomi syariah yang berada dalam

1
Sanyoto, ‘Penegakan Hukum Di Indonesia’, Dinamika Hukum, 8.3 (2008), 1.
30

wewenang Pengadilan Agama, yeng merupakan lembaga peradilan di bawah


Mahkamah Agung.

A.1.a. Pengertian Penegakan Hukum


J.H logemann mengemukakan sebagaimana dikutip oleh Viswandro dan
kawan-kawan2 dalam buku Mengenal Profesi Penegak Hukum, “umum telah
menyepakati, bagaimanapun juga hukum itu memiliki hubungan dengan
masyarakat. Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk
berlakunya atau berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman
prilaku dalam lalu lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan hukum
bermasyarakat dan bernegara”.
Jika diperhatikan dari segi subjek yang dapat melakukan penegakan hukum
adalah subjek dalam arti luas dan subjek dalam arti sempit. Subjek hukum dalam
arti luas, penegakan hukum melibatkan semua subjek hukum dalam setiap
hubungan hukum. Siapa saja termasuk masyarakat yang melakukan perbuatan
normatif atau tidak melakukan atau melakukan sesuatu berdasarkan hukum norma
yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakan aturan hukum.3
Dalam artian sempit penegakan hukum itu hanya diartikan sebagi upaya
aparatur negara seperti jaksa, hakim, polisi, dan advokad. Untuk memastikan suatu
aturan hukum berjalan sebagaiman mestinya. Dalam upaya penegakan hukum
tersebut apabila diperlukan aparatur penegak hukum diizinkan untuk menggunakan
daya paksa, seperti kekuatan dalam tindakan kepolisian.
Dari uraian diatas masyarakat dimasukan kedalam penegak hukum secara
umum, sebagai pendukung terlaksananya penegakan hukum oleh penegak hukum
dalam arti sempit, yaitu jaksa, hakim, polisi dan advokad. Polisi berupaya sebagai
penegak hukum pada barisan depan dan hakim sebagai penegak hukum dibarisan
akhir. Keempat penegak hukum ini diatur dalam undang-undang negara. Undang-
undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisisan Negara Republik Indonesia.

2
Viswandro, dkk. Mengenal Profesi Penegak Hukum, 1st edn (Yogyakarta: Medd Prees
Digital, 2015), 197.
3
Viswandro, dkk, Mengenal Profesi Penegak Hukum, 198.
31

Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.


Undang-undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokad. Dan Undang-undang
Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.4
Penegakan hukum adalah proses pemungsian norma-norma hukum secara
nyata sebagai pedoman prilaku atau hubungan-hubungan hukum dalam lingkungan
masyarakat berbangsa dan bernegara. Menurut Soerjono Soekanto5 ruang lingkup
istilah penegak hukum sangat luas, karena mencakup mereka yang secara langsung
dan tidak langsung berkecimpung dibidang penegak hukum. Penegak hukum
merupakan warga masyarakat yang mempunyai hak dan kewajiban tertentu, yakni
menegakan, dalam arti melancarkan penegakan hukum.
Menurut Jimly Asshiddiqy, “penegak hukum pertama-tama dapat dilihat
sebagai unsur manusia dengan kualitas, kualifikasi, dan kultur kerjanya masing-
masing. Kedua penegak hukum dapat juga dilihat sebagai institusi, badan atau
organisasi dengan kualitas birokrasinya masing-masing”. Bekerjanya aparatur
penegak hukum secara institusional, merupakan suatu amanah yang diberikan
undang-undang kepada masing-masing lembaga tersebut. Untuk dapat
melaksanakan semua tugas-tugasnya dengan baik dan benar. Dalam pengertian
bahwa kegiatan penegakan hukum harus dilakukan secara adil dan bertanggung
jawab, atau dikenal juga dengan istilah good govermace. Sehingga masyarakat
dapat merasakan dampak nyata dari penegakan hukum tersebut, dengan terciptanya
ketentraman bagi seluruh masyarakat.
Friedmaan mengemukakan bahwa penegak hukum adalah merupakan salah
satu komponen sistem hukum. Sebagaimana dikutip oleh Aulorensius Arliman S.6
“The moving parts, so to speak of the machine courts are simple and obvious…”
jika diterjemahkan secara bebas berarti: “unsur penggerak agar lembaga hukum
dapat bergerak secara mudah dan jelas…” dalam bahasa yang lebih mudah
Friedmann menggambarkan lembaga penegak hukum sebagai “motor penggerak”

4
Viswandro, dkk, Mengenal Profesi Penegak Hukum, 200.
5
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum, 1st edn
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 5.
6
Laurensius Arliman S, Penegaka Hukum Dan Kesadaran Masyarakat, ed. by 1
(Yogyakarta: Deeppublish, 2015), 15.
32

yang memungkinkan sistem hukum dapat bergerak secara nyata dalam


masyarakat.7
Menurut Satjipto Raharjo, tt. 8 “Penegakan Hukum merupakan suatu usaha
untuk mewujudkan ide-ide kepastian hukum, kemanfaatan sosial dan keadilan
menjadi kenyataan. Proses perwujudan ketiga ide inilah yang merupakan hakekat
dari penegakan hukum”.
Penegakan hukum dapat diartikan pada penyelenggaraan hukum oleh
petugas penegakan hukum dan setiap orang yang mempunyai kepentingan dan
sesuai kewenangannya masing-masing menurut aturan hukum yang berlaku.
Dengan demikian penegakan hukum merupakan suatu sistem yang menyangkut
suatu penyerasian antara lain dan kaidah serta perilaku nyata manusia. Kaidah-
kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau
tindakan yang dianggap pantas atau seharusnya, perilaku atau sikap tindak itu
bertujuan untuk menciptakan, memelihara, mempertahankan kedamaian.9

A.1.b. Unsur-unsur Penegakan Hukum


Penagakan hukum adalah proses untuk mewujudkan keinginan hukum, agar
bisa diterapkan dalam realita kehidupan bermasyarakat. Penegakan hukum tentunya
harus memuat keadilan, dalam melindungi setiap kepentingan manusia. Setiap
orang mengharapkan kepastian hukum, sebagai perlindungan dari perbuatan
semena-mena atas hak-hak mereka. Dalam penegakan hukum secara umum ada 3
unsur yang harus dipenuhi, yaitu:

1. Kepastian Hukum
Kepastian hukum, sebagaimana peribahasa hukum “Fiat juslitia et
perereat moudus” yang artinya hukum harus ditegakan meskipun dunia ini
runtuh. Kepastian hukum menginginkan hal seperti ini. Kepastian hukum adalah
tempat berlindung pencari keadilan (Yustisiabel) dari tindakan sewenang-

7
Laurensius Arliman. S, Penegakan Hukum Dan Kesadaran Masyarakat, 16.
8
Satjipto Rahardjo.tt, Masalah Penegakan Hukum (Bandung: Sinar Baru), 15.
9
‘No Title’, Digilib, Unila, 2011 <http://digilib.unila.ac.id/9079/12/Bab 2.pdf> diakses
pada 8 Februari 2019, Pukul: 12.09.
33

wenang, artinya setiap orang akan dapat memperoleh apa yang diharapkan oleh
masyarakatnya.10
Mengharapkan akan adanya kepastian hukum yang lebih tertib dalam
masyarakat. Dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum memberi
petunjuk kepada kita apa yang benar apa yang tidak Kepastian hukum dapat
diwujudkan oleh hukum. Hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi
masyarakat karena hukum adalah untuk manusia. Jangan sampai keresahan
dalam masyarakat justru timbul karena hukumnya dilaksanakan dan ditegakan.

2. Kemanfaatan Hukum
Masyarakat modern yang menjadikan hukum sebagai mediator untuk
memediasi kepentingannya ketika terjadi perbenturan antara kepentingan yang
satu dengan yang lainnya, secara sederhana dapat dipahami bahwa hukum
merupakan sebagai solusi atas masalah yang muncul dalam masyarakat. Hal ini
senada dengan pendapat Roscou Pound sebagaimana di kutip oleh Fauzi
Iswari,11 yang mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk melindungi
kepentingan manusia (law as tool of social engineering). Selanjutnya jika kita
meminjam istilah Aristoteles, manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon)
dalam kehidupannya, ia sering terlibat kepentingan yang satu dengan yang
lainnya.
Hukum merupakan pranata sosial yang hidup di masyarakat guna
mengontrol kehidupan di tengah-tengah masyarakat (social control). Menurut
Muladi sebagaimana dikutip oleh M. Harun,12 bahwa hukum mempunyai
peranan untuk menciptakan kedamaian, dan kedamaian itu merupakan konsep
yang menjamin keselarasan antara ketertiban yang bersifat lahiriah dan
ketentraman yang bersifat bathiniah. Hukum tidak lagi dilihat sebagai refleksi
kekuasaan semata-mata, tetapi juga harus memancarkan perlindungan terhadap

10
Sobirin Anshori, Abdul Ghofur dan Malian, Membangun Hukum Indonesia, 1st edn
(Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008), 87.
11
Fauzi Iswari, ‘Unsur Keadilan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) Di Indonesia’, Pagaruyuang, Law Journal, 1.1 (2017), 126.
12
M. Harun, ‘Reformulasi Kebijakan Hukum Terhadap Penegakan Hukum Pidana Pemilu
Dalam Menjaga Kedaulatan Negara.’, Jurnal Rechts Vinding, 5.1 (2016), 112.
34

hak-hak dasar (asasi) warga negara.


Hukum belum dapat disebut sebagai hukum, apabila hukum tidak pernah
dilaksanakan. Bentuk hukum terutama dapat dilihat melalui kaidah-kaidah yang
dirumuskan secara eksplisit. Di dalam kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan
hukum terkandung tindakan-tindakan yang harus dilaksanakan, seperti
penegakan hukum. Oleh karena itu, masalah pokok dalam hukum selain
masalah pembentukan hukum juga masalah penegakan hukum.13
Prof. Satjipto Raharjo, 14 menyatakan bahwa : “keadilan memang salah satu
nilai utama, tetapi tetap disamping yang lain-lain, seperti kemanfaatan (utility,
doelmatigheid). Oleh karena itu didalam penegakan hukum, perbandingan antara
manfaat dengan pengorbanan harus proporsional”.
3. Keadilan Hukum
Keadilan adalah tujuan hukum yang paling utama, bahkan sebagian
berpendapat bahwa keadilan adalah tujuan satu-satunya. Membicarakan keadilan
sangat rumit, karena keadilan bisa bersifat subjektif dan bisa individualistis, artinya
tidak bisa disama ratakan. Karena adil bagi si A belum tentu adil oleh si B. Oleh
karen itu untuk membahas rumusan keadilan yang lebih komprehensif, mungkin
lebih obyaktif kalau dilakukan atau dibantu dengan pendekatan disiplin ilmu lain
seperti filsafat, sosiologi dan lain-lain. Sedangkan kata-kata “rasa keadilan”
merujuk kepada berbagai pertimbangan psikologis dan sosiologis yang terjadi
kepada pihak-pihak yang terlibat, yaitu terdakwa, korban, dan pihak lainnya. Rasa
keadilan inilah yang memberikan hak “diskresi” kepada para penegak hukum untuk
memutuskan “agak keluar” dari pasal-pasal yang ada dalam regulasi yang menjadi
landasan hukum
Menurut teori etis, sebagaimana dikutip oleh Yohanes Suhardin,15 “hukum
semata-mata bertujuan keadilan. Isi hukum ditentukan oleh perilaku kita yang etis
tentang yang adil dan tidak. Dengan kata lain, menurut teori ini tujuan hukum

13
Bonarsius Saragih, ‘Berkeadilan Yang Dilakukan Oleh Polri (Telaah Filsafat Hukum)’,
Jurnal Wawasan Hukum, 22.1 (2010).
14
Satjibto Rahardjo, Masalah Penegak Hukum, 20.
15
Yohanes Suhardin, ‘Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam Penegakan Hukum’,
Mimbar Hukum, 21.2 (2009).
35

adalah merealisasikan atau mewujudkan keadilan. Jika tujuan akhir hukum adalah
keadilan. Maka segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan
untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling cocok dan sesuai dengan
prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-
undang yang adil, bila suatu hukum konkrit, yakni undang-undang bertentangan
dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan
tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum
bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Dengan kata lain, adil merupakan unsur
konstitutif segala pengertian tentang hukum”.
Keadilaan adalah unsur konstitutif dari hukum. Karnanya, menegakan
keadilan adalah tugas etis manusia. Menurut Huijbers ada beberapa alasan mengapa
keadilan menjadi unsur konstituitif hukum. Pertama, tindakan dengan
memperlihatkan keadilan yang nyata di dalamnya selalu dibela pemerintah negara
manapun. Kedua, Undang-undang seringkali dianggap sebagai undang-undang
yang telah usang dan tidak berlaku lagi jika tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan. Dan ketiga, suatu pemerintahan bertindak di luar wewenangnya dengan
bertindak tidak adil, dan tidak sah secara hukum. Sebagaimana telah dikutip oleh
Fauzi Iswari dalam bukunya Unsur Keadilan Dalam Penegakan Hukum.16
Secara prinsip hukum diciptakan untuk memberikan kepercayaan kepada
masyarakat terhadap kepentingan berbeda yang dimiliki manusia satu dengan
manusia lain dengan tujuan untuk mewudkan kesejahteraan. Hukum secara
komprehensif mengatur tindak tanduk aktifitas manusia, baik hubungan manusia
dengan manusia, manusia dengan badan hukum, maupun manusia dengan alam.
Melalui hukum diharapkan dapat terjalin pencapaian cita dari manusia sebagai
subjek hukum, sebagaimana dikatakan oleh Gustav Radburch yang dikutip oleh
Suwardi Sagama,17 bahwa hukum dalam pencapaiannya tidak boleh lepas dari
keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Eksistensi hukum yang dimaksud ialah baik

16
Fauzi Iswari , Unsur Keadilan dalam Penegakan Hukum…, 129.
17
Suardi Sagama, ‘Analisis Kosep Keadilan, KEKepastian Hukum Dan Kemanfaatan
Dalam Pengelolaan Lingkungan’, Mazahib, 15.1 (2016).
36

hukum yang bersifat pasif (peraturan perundang-undangan) maupun bersifat aktif


(hakim di pengadilan).
Dalam membicarakan unsur-unsur penegak hukum, tidak dapat diabaikan
lingkungan tempat hukum tersebut ditegakkan. Unsur-unsur yang terlibat dalam
pengak hukum dibagi kedalam dua golongan, yaitu unsur yang memiliki
keterlibatan dekat dan unsur yang memiliki keterlibatan agak jauh. Dengan
mengambil badan pembuat undang-undang dan polisi sebagai wakil, konsep yang
digunakan yaitu penegakan hukum sudah dimulai sejak peraturan hukum
ditetapkan. Penegakan hukum adalah proses mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi nyata. Keinginan-keinginan hukum adalah pemikiran-pemikiran
pembuat undang-undang yang dituangkan dalam bentuk peraturan-peraturan
hukum. Penegakan hukum menjangkau pula pada proses pembuatan hukum.
Pemikiran pembuat hukum yang dituangkan dalam aturan itu akan mempengaruhi
pula bagaimana peraturan itu dijalankan. Kenyataannya, proses penegakan hukum
memuncak pada pelaksanaannya oleh penegak hukum, dan ini sangat dipengaruhi
oleh lingkungan tempat hukum tersebut di tegakan. 18

A.1.c. Proses Penegakan Hukum di Pengadilan Agama


Aktivitasnya peradilan sebagai salah satu institusi penegak hukum tidak
terlepas dari hukum yang telah dibuat dan disediakan oleh badan pembuat hukum.
Dalam aktivitas hukum ini peradilan dan pengadilan memiliki perbedaan, salah
satu dri keduanya lebih menunjukan kepada proses mengadili, yaitu peradilan,
sedangkan pengadilan adalah suatu lembaga dalam proses tersebut, selain itu
Lembaga-lembaga seperti kepolisian, kejaksaan dan advokat juga terlibat dalam
prosese tersebut. Berjalannya proses peradilan tersebut berhubungan erat dengan
perkara perdata atau pidana sebagai substansi yang diadili, keterlibatan lembaga-
lembaga dalam proses peradilan secara penuh hanya terjadi pada saat mengadili
perkara pidana. Dalam perkembangannya terbentuklah beberapa badan peradilan
dalam lingkup Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan

18
Laurensius arliman. S, Penegakan Hukum dan Kesadaran Masyarakat, 40-41.
37

Tata Usaha Negara, Peradilan perpajakan dimana masing-masing mempunyai


kewenangan untuk mengadili perkara sesuai dengan kewenangan masing-masing
peradilan tersebut.19
Peradilan Agama sebagaimana Namanya berwenang mengadili perkara
perdata agama yakni :20 Perkawinan, yang melingkupi, pencegahan perkawinan,
izin poligami, pembatalan perkawinan, penolakan perkawinan oleh Pegawai
Pencatat Nikah (PPN), kelalaian kewajiban suami/istri, cerai gugat, cerai talak,
penguasaan anak / hadhanah, harta bersama, hak-hak bekas istri, nafkah anak oleh
ibu, pencabutan kekuasaan orang tua, pengesahan anak atau pengangkatan anak,
perwalian, pencabutan kekuasaan wali, penunjukan orang lain sebagai wali, asal
usul anak, itsbat nikah, ganti rugi terhadap wali, izin kawin, penolakan kawin
campuran, dispensasi kawin dan wali adhal.
Selain itu juga Pengadilan Agama berwenang untuk mengadili perkara
dibideng: ekonomi Syariah, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf,
zakat/Infaq/Shodaqoh, P3HP / Penetapan ahli waris, Perkara lain yang ditetapkan
undang-undang
Dengan masuknya agama Islam ke Indonesia yang dibawa langsung oleh
para saudagar dari negara Arab sekitar abad ke 1 H atau abad ke 7 M. masyarakat
mulai menjalankan aturan-aturan dan ajaran-ajaran islam dalam kehidupan sehari-
hari. Yang ana ajaran adan aturan-aturan tersebut bersumber dari fikih Islam. Sejak
itu pula, kekuasan Pengadilan Agama mengalami pasang surut. Adakalanya
kekuasaan dan wewenang Pengadilan Agama seuai dengan ajaran Islam. Namun
adakalanya pula kekuasaan tersebut dipengaruhi dan dibatasi oleh penguasa yang
berlaku atau kelompok-kelompok tertentu, sehingga kekuasaannya melemah. 21
Pada masa kerajan-kerajaan Islam Pengadilan Agama seringkali disebut
Pengadilan Serambi. Karena diselenggarakan oleh para penghulu yang merupakan
pejabat administrasi kemasjidan setempat dan sidang-sidangnya biasa dilakukan di

19
Sanyoto, ‘Penegakan Hukum Di Indonesia’, 6.
20
https://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_agama_di_Indonesia di akses pada tanggal 21
Februari 2019, pukul 11.46 WIB
21
Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama Di Idonesia, 1st edn (Jakarta: Kencana,
2013), 314.
38

serambi masjid. Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di
seluruh Nusantara. Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai
muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak
dapat dipisahkan sehingga kebanyakan kerajaan menempatkan jabatan keagamaan,
penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan
pemerintahan umum. Pengadilan Agama memiliki posisi sebagai penghulu kraton
yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan.22
VOC pada masa pemerintahannyaingi menghapus Pengadilan Agama dan
menggantinya dengan hukum yang berlaku di negara Belanda. Namun karena tidak
menerapkan hukum Islam kelembagaan ini tidak dapat berjalan dengan baik.
Usaha-usaha seperti ini telah dilakukan oleh VOC sejak awal Belanda dating ke
Nusantara. Seperti ada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan Peradilan
Agama di bawah pengawasan “landraad” (pengadilan negeri). Putusan Pengadilan
Agama baru dapat dijalankan setelah diperintahkan oleh Landdraad.
Contoh lain adalah Staatsblad 1937 Nomor 116 yang semakin mengurangi
kompentensi Pengadilan Agama masaIah wakaf dan waris diserahkan kepada
Pengadilan Negeri,khususnya di Jawa dan Madura. Alasan yang dijadikan dalih
oleh pemerintah Belanda adalah Hukum Islak terlalu berpengaruh terhadap
masyarakat di Jawa dan Madura. Kondisi seperti ini terus berlangsung sampai
dengan lahirnya Undang-Undang 1974 tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun.23
Menurut Munawir Sjadzali. 1991, Dalam buku “Landasan Pemikiran
Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia”
sebagaimana dikutip oleh Tjun Surjaman,24 “Dengan diberlakukannya teori
receptie pemerintah Belanda mulai mengganti undang-undang yang diberlakukan
di Indonesia. Tahun 1919, misalnya pemerintah Belanda mengganti undang-undang
dari Regeeringsreglement (RR) menjadi Indische Staatsregeling (IS). Tahun 1937
keluar Stbl. 1937 Nomor 116 yang membatasi wewenang Pengadilan Agama hanya

22
https://www.pa-tahuna.go.id/pages/sejarah-pengadilan-agama diakses pada tanggal 27
Februari 2019, pukul 13.58 WIB
23
Zuhriah Erfaniah, Peradilan Agama Indonesia: Sejarah, Konsep, Dan Praktik Di
Pengadilan Agama, 2014.
24
Tjun Surjaman, Hukum Islam Di Indonesia: Pemikiran Dan Praktek, 1st edn (Bandung:
Remaja Rosdakarya), 46.
39

pada masalah perkawinan. Sedangkan masalah waris diserahkan kepada Pengadilan


Umum”.
Tataran peradilan nasional khususnya Peradilan Agama, mulai mengalami
perubahan setelah Indonesia merdeka. Hal ini bertitik tolak pada kostitusi dengan
juga memperhatikan perkembangan aspirasi dan tataran masyarakat secara luas.
Rujukan yang dijakan sebagai dasar perubahan ini adalah UUD 1945 pasal 24 dan
25. Sedangkan dalam artikulasi politik dari berbagai kekuatan politik melalui infra
struktur dan supra struktur politik dalam mewujudkan kehidupan bermasyarakat
dan bernegara tercermin perkembangan aspirasi masyarakat.
melalui Peraturan Pemerintah Nomor 5/SD/1946 Pembinaan Peradilan
Agama diserahakan kepada Kementrian Agama yang semula berada di tangan
Kementrian Kehakiman. Tahun 1948 Peradilan agama pernah dimasukan Peradilan
Umum (Peradilan Negeri) dengan dikeluar Undang-undang Nomor 19 tahun 1948.
Namun, karena tidak sesuai dengan kesadaran hukum masyarakat Indonesia
peraturan ini tidak pernah berlaku. Tahun 1951 pemerintah tetap mempertahankan
eksistensi Peradilan Agama dan menghapus Peradilan Swapraja dan Peradilan Adat
dengan berlakunaya Undang-undang Darurat Nomor 1 Tahun 1951. Kemudian
dilanjutkan dengan pemberlakuan Undang-undang yang mengatur pembentukan
Peradilan Agama di luar Jawa dan Kalimantan Selatan yaitu undang-undang
Nomor 45 Tahun 1957. Selanjutnya eksistensi Peradilan Agama baru di akui dan
sejajar dengan lembaga di Indonesia setelah tahun 1964 peemerintah
mengeluarkan Undang-undang Nomor 19 tentang Pokok Kekuasaan Kehakim dan
dirubah pada tahun 1979 dengan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Di era reformasi agar segala kebijakan yang menyangkut kewenangan
peradilan Agama dan untuk menghindarkan agar tidak terjadi tumpang tindih
kebijakan pada lingkungan peradilan juga untuk melaksanakan amanat dari Undang
Undang Dasar 1945 bangsa Indonesia berupaya untuk mengadakan peradilan satu
atap, khususnya Peradilan Agama, yang selama ini berada dibawah Departemen
40

Kehakiman dan Kementrian Agama dan Mahkamah Agung. Upaya penyatuan


lingkungan peradilan adalah 25
Tujuan Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk wujudkan
ketertiban dalam tata kehidupan bangsa, negara, dan masyarakat, yang bersih
bersih, makmur, dan berkeadilan berdasarkan kepada Pancasilan dan Undang
Undang Dasar 1945. Berlakunya Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang
Peradilan Agama.26 Yang sebelumnya diatur oleh Undang-undang Nomor 7 Tahun
1989, tentang Peradilan Agama. Diterangkan Pengadilan Agama merupakan
lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan
kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan
hukum dan keadilan.
Ketentuan Peradilan Agama sebagaimana diatur dalam Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan kebutuhan hukum masyarakat dan kehidupan ketatanegaraan
menurut Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, maka
perlu membentuk Undang-undang tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor
7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dengan bersumber pada Pasal 20, Pasal
21, Pasal 24, dan Pasal 25 Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

25
Undang-Undang, Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung,
Pasal 1 Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
26
“Undang-Undang, Republik Indonesia, Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Pasal 2, Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan pasal baru yakni Pasal 3A, yang berbunyi
sebagai berikut: Pasal 3A : Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan
pengadilan yang diatur dengan Undang-Undang. Pasal 4 : (1)Pengadilan agama berkedudukan di
ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota, (2).Pengadilan
tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
Pasal 5: (1).Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan
oleh Mahkamah Agung dan (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Pasal 11 : (1).Hakim
pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman, (2).Syarat dan tata cara
pengangkatan, pemberhentian, serta pelaksanaan tugas hakim ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 12 : (1).Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah
Agung, (2).Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara”.
41

1945, serta terdapat penambahan pasal 52A yaitu tentang Pengadilan agama
memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun
Hijriyah, yaitu kewanangan baru Peradilan Agama.
Dengan bersumber pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkmah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359) dan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3400) serta Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
8,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4338);
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilanuntuk menegakkan hukum dan keadilan sehingga
perwujudan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa
keadilan dalam masyarakat sangat diperlukan. Dengan berlakuknya Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yaitu Undang-undang Nomor
50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.27 sesuai dengan perkembangan hukum di
Indonesia Perjalanan sejarah perundang-undang Peradilan Agama terus berlanjut,

27
“Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Pasal 1 Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang
yang beragama Islam, 2. Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di
lingkungan peradilan agama, 3. Hakim adalah hakim pada pengadilan agama dan hakim pada
pengadilan tinggi agama, 4. Pegawai Pencatat Nikah adalah pegawai pencatat nikah pada kantor
urusan agama, 5. Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita pengganti
pada pengadilan agama, 6.Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 7.
Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 8.Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk
dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur
dalam undang-undang. 9.Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki
keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang”.
42

dimana keberadaam Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan


Agama sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dan ketatanegaraan menurut Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dengan bersumber kepada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, dan Pasal 25
Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945, Undang-Undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1985 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3316) sebagaimana diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 3,
Tambahan Lembaran Negara Repulik Indonesia Nomor 4958), Undang-undang
Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3400) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4611) dan Undang-
undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5076).
Penyelesaian perkara di Pengadilan Agama, dimulai dari penyelidikan pada
tingkat pertama, kemudian berlanjut pada tingkat banding. Dan dapat dilakukan
pengecekan kembali oleh Mahkamah Agung, bila terjadi kekeliruan dalam
penerapan hukum, baik pada tingkat pertama ataupun pada tingkat banding.
Penalaran hukum bagi hakim menurut Arief Sidharta sebagaimana
dikutip oleh Deni Kamaludin Yusup28 dalam jurnalnya, memiliki 6 landasan utama

28
Deni KamaluddinYusup. Model Upaya Hukm Penyelesaian Senketa…,20014,
43

yang harus diperhatikan, sebagai berikut: “Mengidentifikasi fakta- fakta untuk


menghasilkan suatu struktur (peta) kasus yang diyakini oleh hakim sebagai kasus
yang riil terjadi; Menghubungkan struktur kasus tersebut dengan sumber-sumber
hukum yang relevan sehingga perbuatan hukum dapat ditetapkan dalam
peristilahan yuridis; Menyeleksi sumber hukum dan aturan hukum yang relevan
untuk kemudian mencari tahu kebijakan yang terkandung di dalam aturan hukum
itu sehingga dihasilkan struktur aturan yang koheren; Menghubungkan struktur
aturan dengan struktur kasus; Mencari alternatif penyelesaian yang mungkin;
Memilih salah satu alternatif untuk kemudian diformulasikan sebagai putusan
akhir”.
kemudian fakta hukum ini dapat dikualifisir, yang mana hakim
menentukan hubungan dalil/peristiwa yang telah dibuktikan terhadap hukum.
Hakim dapat menilai dalil/peristiwa yang telah terbukti ataupun yang tidak
terbukti dengan peraturan perundang-undangan sebagai hukum materiil atau
disebut juga dengan istilah mencari penerapan hukum yang tepat terhadap
dalil/peristiwa yang telah dikonstatir. Tahap akhirnya hakim mengkonstituir,
artinya hakim menetapkan hukum (constitutum). Hakim menjatuhkan putusan
menurut hukum terhadap petitum maupun posita yang telah diajukan oleh para
pihak kepadanya, yang kemudian terwujud dalam amar putusan.

A.1.d. Penentuan Hukum Oleh Hakim


Putusan hakim atau pengadilan memiliki sesuatu yang intrinsic berada di
dalamnya. Dilihat dari segi sifatnya, putusan hakim dikelompokan kedalam tiga
kelompok, pertama putusan yang bersifat menerangkan, semata untuk
menerangkan keadaan hukum (Declaratoir), yang kedua putusan yang bersifat
meniadakan dan menimbulkan suatu sifat hukum yang baru (Constitutive), dan
yang ketiga yaitu putusan yang bersifat menetapkan suatu hubungan hukum disertai
penetapan penghukuman pada satu pihak (Condemnatoir).29

29
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim Bebasis Nilai-Nilai Hukum
Dan Rasa Keadilan Yang Hidup Dalam Masyarakat, 1st edn (Depok: Kencana, 2018) 85.
44

Adapun dari aspek kekuatan putusan hakim juga memiliki tiga kekuatan,
pertama kekuatan Eksekutorial, yaitu pihak yang tidak menaatinya secara sukarela
kekuatan hukum ini dapat dipaksakan dengan bantuan hukum. Kedua perlu
diperhatikan bahwa menurut pengertian Undang-undang putusan hakim adalah
sebagai dokumen akta autentik, sehingga selain memiliki kekuatan pembuktian
mengikat (antara pihak yang berperkara) , ia juga memiliki kekuatan “ke-luar”.
Kekuatan ke tiga yang melekat pada putusan hakim adalah kekuatan untuk
“menangkis” suatu gugatan baru yang sama dengan gugatan perkara sebelumnya,
yaitu sesuai asas “neb is in idem” dalam perkara yang sama tidak dijatuhkan
putusan lagi. 30
Sebagaimana disebutkan dalam Undag-undang nomor 4 tahun 2004 pasal 4
ayat (3), dalam memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan hakim harus obyektif
dan tidak boleh memihak. ” Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh
pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal
sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”31
Dan kemudian ditegaskan kembali dalam pasal 3 ayat (2) Undang Undang
Nomor 48 tahun 2009 “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak
lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”32
Untuk menjamin azas ini, pihak yang diadili bisa mengajukan kepada
hakim yang akan mengadili perkaranya, keberatan yang disertai dengan alasan-
alasan terhadap, hal ini disebut juga hak ingkar (recusatie, wraking).33
Dalam penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009
disebutkan bahwa:” Yang dimaksud dengan "kemandirian peradilan" adalah bebas

30
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 89.
31
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman diakses melalui
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_4_04.htm Pada tanggal 15 Februari 2019, puku 15.15
32
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di akses melalui
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_4_04.htm pada tanggga 15 Februari 2019 pukul 15.15
33
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman (Tinjauan Tentang Kemandirian
Kekuasaan Kehakiman Setelah Dikeluarkannya UU No.48 Tahun 2009)’, Media.Neliti
<https://media.neliti.com/media/publications/23192-ID-politik-hukum-kekuasaan-kehakiman-
tinjauan-tentang-kemandirian-kekuasaan-kehakim.pdf>.
45

dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis. Suatu pengadilan yang bebas
dan tidak dipengaruhi merupakan syarat yang indespensable bagi negara hukum.
Bebas berarti tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif
dan legislatif dalam menjalankan fungsi yudisial”.
Selain dengan cara membangun sistem tindakan yang bersifat represif untuk
menjamin kekuasaan kehakiman membangun sistem pencegahan juga sangat
penting. Baik yang dapat mempengaruhi sistem kehakiman secara langsung
ataupun tidak langsung.34
Demi menjaga impartiality dan fairness dalam dalam proses dan putusan
pengadilan, pencegahan secara langsung dapat dilakukan dengan cara larangan
untuk mencampuri proses maupun putusan hakim. Karna adanya campur tangan
akan menimbulkan biasa pada keduanya. Bahwa pada putusan yang belum
memiliki kekuatan hukum tetap masih memungkinkan adanya upaya hukum
banding dan kasasi (upaya hukum biasa) yang masih menunda eksekusi juga
peninjauan kembali (upaya hukum luar biasa) yang tidak menunda eksekusi.35
“Menurut Prof. Bagir Manan36 yang mengutip pendapat Prof. Gerhard
Robbers (An Indrodeection to Jerman Law) menyebutkan ada dua makna yang
terkandung dalam kebebasan hakim. Pertama: tidak seorangpun, khususnya
pemerintah atau pejabat administrasi dapat menentukan hukuman yang mesti
dijatuhkan hakim. Kedua: pelaksanaan tugas-tugas peradilan tidak boleh
menimbulkan konsekuensi atas pribadi hakim”.
Dalam pengambilan putusan oleh hakim sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, menurut Loeby Luqman sebagaiman dikutip oleh Jonaedi Efendi diantara
faktor yang mempengaruhi pengambilan sebuah putusan oleh hakim, Pertama:
faktor-faktor yang berhubungan denga suku agama dan Pendidikan (Raw input).
Kedua: faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan Pendidikan formal
(instrumental input). Ketiga: faktor yang berpengaruh dalam kehidupan hakim
seperti, lingkungan tempat tinggal, organisasi dan sebagainya (Enviromental input).

34
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman , 5
35
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman , 5
36
Bagir Manan, ‘Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi
Dengan Komisi Yudisial (Suatu Pertanyaan).’, Varia Peradilan JKAHI, 2006.
46

Faktor ini diuji kembali oleh Teddy Asmara pada tahun 1990 untuk disertasinya, ia
mendapatkan proposisi bahwa begitu kompleksnya faktor-faktor yang
mempengaruhi putusan hakim, terutama yang berhubungan dengan ekonomi.37
Selain faktor tersebut, faktor lainnya yang juga sangat mempengaruhi
putusan hakim adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
faktor yang berasal dari internal hakim (SDM) itu sendiri, seperti rekrutmen hakim,
Pendidikan hakim, kesejahteraan hakim dan yang terpenting adalah moralitas
hakim itu sendiri. Faktor eksternal yaitu faktor timbul dari luar diri hakim, seperti
penguasa politik, manusia yang powerfull dalam masyarakat, dengan
mempertimbangkan segala imbalan yang akan didapatnya, baik berupa materil atau
jabatan.38
Oleh karenanya, moralitas seorang hakim sangat penting dalam penetapan
sebuah keputusan, karena hakim sebagai penegak hukum adalah pribadi yang
otoritarin dan memiliki kepribadian yag demokratis, yang penuh dengan impati.
Yang mungkin akan mempengaruhi putusannya. Hakim yang menjatuhkan
hukuman, kaitannya dengan kepribadian hakim, tidak lepas dari otoritas yang ada,
cara berfikir konvensionalisme, kesetian pada otoritas dan agresi otoritarian.
Sehingga aspek kepribadian hakim ini sangat berpengaruh dalam penentuan sebuah
putusan. Seorang filusuf Taverne mengungkapkan “berikan saya seorang jaksa
yang jujur dan cerdas, berikan saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka
dengan undang-undang yang paling burukpun saya akan menghasilkan putusan
yang adil.” 39

37
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 90.
38
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 92.
39
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 93.
47

Skema II.1
Putusan Hakim

A.2. Konsep dan Teori Kompetensi Lembaga Pengadilan


Dalam Undang-undang Dasar 1945 setelah amandemen disebutkan bahwa;
“kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan Lembaga Peradilan yang ada di bawahnya,
dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, Peradilan
Tata Usaha Negara dan oleh Mahkamah Konstitusi”.40
Ini berbeda dengan Undang Undang Dasar sebelum amandemen, yang
mengatur bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung
dan badan kehakiman dilingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer, Peradilan Tata Usaha Negara. Saat ini Peradilan di Indonesia selain
dijalankan oleh Mahkamah Agung Bersama empat Lembaga Peradilan di
bawahnya, juga dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. Kedudukan Mahkamah
Agung tetap sama, baik sebelum atau setelah amandemen Undang Undang Dasar
1945. Yaitu sebagai puncak dari badan-badan peradilan di keempat lingkungan

40
Yodi Martono Wahyunadi, ‘Kompetensi Pengadilan TUN Dalam Sistem Peradilan Di
Indonesia’, Mahkamah Agung, 2013, 64.
<https://www.mahkamahagung.go.id/assets/majalah/Majalah_MA_Edisi2/files/assets/basic-
html/page64.html>.
48

peradilan. Keempat badan peradilan tersebut masing-masing memiliki badan


peradilan (pengadilan) di tingkat pertama dam banding.41
Sebagaimana disebutkan dalam ketentuan Undang Undang Dasar 1945
Pasal 24 (1) bahwa Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
badan kehakiman lainnya berdasarkan undang-undang. Indonesia adalah Negara
yang berdasarkan hukum (rechtstaat) danbukan hanya berdasarkan kekuasaan
belaka (machstaat). Sebagaimana disebutkan dalam Penjelasan umum Undang
Undang Dasar 1945, Dalam penjelasan selanjutnya ditentukan pemerintah
berdasarkan atas system hukum dasar atau konstitusional, tidak bersifat absolut atau
kekuasaan tidak terbatas.42
Adapun salah satu ciri negara hukum adalah: “adanya kekuasaan kehakiman
yang merdeka. Dengan demikian sejalan dengan ketentuan bahwa negara Indonesia
adalah negara hukum, dimana salah satu prinsip penting negara hukum adalah
jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari
pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan
hukum dan keadilan. Dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 14 tahun
1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 1
menentukan kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia. Hal tersebut
lebih dipertegas lagi setelah amandemen ketiga Undang Undang Dasar 1945, di
mana dalam Pasal 24 (l) ditentukan bahwa: kekuasaan Kehakiman merupakan
kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan
hukum dan keadilan”.43
Dalam perkembangannya ketentuan kemandirian kekuasaan kehakiman
tersebut pada saat diundangkannya Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman belum dapat dilaksanakan, hal

41
Yodin artono Wahyunadi, ‘Kompetensi Pengadilan’, 64.
42
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman (Tinjauan Tentang Kemandirian
Kekuasaan Kehakiman Setelah Dikeluarkannya UU No.48 Tahun 2009)’, Media.Neliti,1.
<https://media.neliti.com/media/publications/23192-ID-politik-hukum-kekuasaan-kehakiman-
tinjauan-tentang-kemandirian-kekuasaan-kehakim.pdf>.
43
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman’, 1.
49

tersebut disebabkan karena menurut ketentuan Pasal 11 ayat (1) ditentukan bahwa:
badan-badan yang melakukan peradilan tersebut dalam pasal 10 ayat (1) yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara, organisatoris, administrative dan finansial ada dibawah kekuasaan masing-
masing departemen yang bersangkutan. Sehingga peluang campur tangan pihak-
pihak diluar kekuasaan kehakiman (dalam hal ini pemerintah) baik secara langsung
maupun tidak langsung sangat terbuka yang akibatnya menimbulkan ketidakadilan.
Selanjutnya dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, ada perubahan yang
cukup signifikan, khususnya dalam hal organisasi, administrasi dan finansiil hakim
di semua lingkungan peradilan berada di bawah satu atap yaitu Mahkamah Agung,
sehingga diharapkan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah ataupun pihak lain (yang berperkara) dan
putusannya akan memenuhi rasa keadilan. Selanjutnya dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan
penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2004.44
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh apapun atau siapapun di luar
kekuasaan kehakiman. Sudikno Mertokusumo45 mengatakan: “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas dari campur
tangan pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan
peradilan demi terselenggaranya negara hukum. Kebebasan kekuasaan kehakiman,
yang penyelenggaraanya diserahkan kepada badan-badan peradilan, merupakan
salah satu ciri khas negara hukum. Pada hakikatnya kebebasan ini merupakan sifat
pembawaan dari pada setiap peradilan. Hanya batas dan isi kebebasannya
dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya”.

44
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman’, 1.
45
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 2002),
20.
50

Secara lebih terperinci negara hukum memiliki ciri-ciri; hak asasi manusia
dan warga negara mendapat jaminan; terdapat pembagian kekuasaan dalam negara;
pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus mendasarkan atas
hukum baik tertulis maupun tidak tertulis; dan Adanya kekuasaan kehakiman yang
merdeka.46
Sejalan dengan ketentuan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum,
dimana salah satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana disebutkan dalam pasal
1ayat (1) “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Jelaslah
bahwa, kekuasaan kehakiman di Indonesia merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.47
Hal tersebut lebih dipertegas lagi setelah amandemen ketiga pada tahun
2001 dan amandemen keempat tahun 2002 atas Undang Undang Dasar 1945,
sehingga pasal 24 berbunyi:
1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.
2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang.

46
Teuku Saiful Bahri Johan, Hukum Tata Negara Dan Hukum Administrasi Negara Dalam
Tataran Reformasi Ketatanegaraan Indonesia, 1st edn (Yogyakarta: Deeppublish, 2018), 287.
47
Teuku Saiful Bahri Johan, Hukum Tata Negara…, 2018, 287.
51

Selanjutnya dalam penjelasan pasal 24 Undang Undang Dasar 1945


disebutkan : Kekuasaan Kehakiman ialah kekuasaan merdeka artinya terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubung dengan itu harus diadakan jaminan
dalam undang-undang tentang kedudukannya para hakim.48
Semua badan peradilan, dari tingkat tertinggi sampai tingkat terendah pada
dasarnya adalah alat perlengkapan negara, karena badan-badan tersebut bertindak
dan memutus untuk dan atas nama negara. Dalam praktek ketatanegaraan di
Indonesia, hanya badan peradilan tertinggi (Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi) yang digolongkan sebagai alat perlengkapan negara. Sebagai
konsekuensi, semua badan peradilan adalah badan yang bersifat dan diatur secara
ketatanegaraan (staatsrechtelijk).49
Selain kedudukan yang bersifat ketatanegaraan ada beberapa sifat lain
kekuasaan kehakiman, Pertama: kekuasaan kehakiman adalah badan yang merdeka
lepas dari campur tangan kekuasaan lain. Segala bentuk campur tangan terhadap
kekuasaan kehakiman dilarang. Bahkan ketentuan dasar di masa kolonialpun
menegaskan mengenai jaminan kemerdekaan ini ( Pasal.137 IS). Di lain pihak tidak
ada penegasan serupa bagi lembaga negara atau alat perlengkapan negara yang lain.
Bahkan dalam hubungan dengan lembaga-lembaga negara yang lain, untuk
lembaga negara di luar kekuasaan kehakiman lebih ditonjolkan hubungan
pengawasan dari pada jaminan independensi.
Kedua : hubungan kekuasaan kehakiman dengan alat perlengkapan negara
yang lain, lebih mencerminkan azas pemisahan kekuasaan, dari pada pembagian
kekuasaan. Kalaupun diciptakan hubungan, maka hubungan itu hanya bersifat
cheks and balances, atau hubungan prosedural tertentu dalam lingkup yang bersifat
ketatanegaraan yang tidak menyentuh penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Di
pihak lain hubungan antar alat perlengkapan negara yang bukan kekuasaan
kehakiman lebih mencerminkan hubungan pembagian kekuasaan dari pada
pemisahan kekuasaan.50

4848
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman’, 4.
49
Herri Swantoro, Harmonisasi Keadilan Dan Kepastian Dalam Peninjauan Kembali, 1st
edn (Depok: Prenada Media Group, 2017), 39.
50
Herri Swantoro, Harmonisasi Keadilan…, 2017, 39.
52

A.3. Fungsi, Wewenang dan Kedudukan Mahkamah Agung


Fungsi dan wewenang Mahkamah Agung sebagai sebuah lembaga
kehakiman Negara menurut Undang-undang adalah untuk: Memeriksa dan
memutus permohonan kasasi, Sengketa tentang kewenangan mengadili,
Permohonan peninjauan kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap, dan memutus permohonan kasasi terhadap putusan
pengadilan tingkat banding atau tingkat akhir dari semua lingkungan peradilan;
dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung membatalkan putusan atau penetapan
pengadilan-pengadilan dari semua lingkungan peradilan. Melakukan pengawasan
tertinggi terhadap penyelengaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam
menjalankan kekuasaan kehakiman. Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para
hakim di semua lingkungan peradilan dan memiliki wewenang untuk meminta
keterangan tentang teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan; Berwenang
memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada
pengadilan di semua lingkungan peradilan. Mahkamah Agung dan pemerintah
melakukan pengawasan atas penasihat hukum dan notaris. Mahkamah Agung dapat
memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta
maupun tidak kepada lembaga tinggi negara yang lain. Dan Mahkamah Agung juga
berwenang meminta keterangan dari dan memberikan petunjuk kepada pengadilan
di semua lingkungan peradilan sebagai pelaksanaan ketentuan-ketentuan pasal 25
Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 tentang ketentuan-ketentuan pokok
kekuasaan kehakiman.51
Fungsi Mahkamah Agung sebagai pengawas internal tugas hakim dalam
proses peradilan adalah untuk: Melakukan pengawasan tertinggi terhadap
penyelengaraan peradilan di semua lingkungan peradilan dalam menjalankan
kekuasaan kehakiman. Mengawasi tingkah laku dan perbuatan para hakim di semua
lingkungan peradilan dalam menjalankan tugasnya. Memiliki wewenang untuk
meminta keterangan tentang teknis peradilan dari semua lingkungan peradilan; dan

51
Kevin Angkuow, ‘Fungsi Mahkamah Agung Sebagai Pengawas Internal Tugas Hakim
Dalam Lembaga Peradilan’, Lex Administratum, 2.2 (2014).
53

Memberi petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada


pengadilan di semua lingkungan peradilan. Sebagaimana dilansir dalam situs
Mahkamah Agung,52 bahwa setidaknya, jika dirinci Fungsi Mahkamah Agung yang
harus dijanlankannya terbagi kedalam enam point di bawah ini:
1. Fungsi Peradilan
a. Sebagai Pengadilan Negara Tertinggi, Mahkamah Agung merupakan pengadilan
kasasi yang bertugas membina keseragaman dalam penerapan hukum melalui
putusan kasasi dan peninjauan kembali. Menjaga agar semua hukum dan
undang-undang diseluruh wilayah negara Republik Indonesia diterapkan secara
adil, tepat dan benar.
b. Disamping tugasnya sebagai Pengadilan Kasasi, Mahkamah Agung berwenang
memeriksa dan memutuskan pada tingkat pertama dan terakhir semua sengketa
tentang kewenangan mengadili dan permohonan peninjauan kembali putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (Pasal 28, 29,30,33
dan 34 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985). Semua
sengketa yang timbul karena perampasan kapal asing dan muatannya oleh kapal
perang Republik Indonesia berdasarkan peraturan yang berlaku (Pasal 33 dan
Pasal 78 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985)
c. Erat kaitannya dengan fungsi peradilan ialah hak uji materiil, yaitu wewenang
menguji/menilai secara materiil peraturan perundangan dibawah Undang-
undang tentang hal apakah suatu peraturan ditinjau dari isinya (materinya)
bertentangan dengan peraturan dari tingkat yang lebih tinggi (Pasal 31 Undang-
undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).

2. Fungsi Pengawasan
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya
peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang
dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar
dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan,

52
https://www.mahkamahagung.go.id/id/tugas-pokok-dan-fungsi
54

tanpa mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara


(Pasal 4 dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14
Tahun 1970).
Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan; terhadap pekerjaan
Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan Pejabat Pengadilan dalam
menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan tugas pokok Kekuasaan
Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa, mengadili, dan menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan meminta keterangan tentang hal-hal
yang bersangkutan dengan teknis peradilan serta memberi peringatan, teguran dan
petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-
undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985). Mahkamah Agung juga
melakukan pengawasan terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang
menyangkut peradilan (Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14
Tahun 1985).

3. Fungsi Mengatur
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup
diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk
mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal
79 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985). Mahkamah Agung dapat membuat
peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara
yang sudah diatur Undang-undang.

4. Fungsi Nasihat
Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985). Mahkamah Agung
memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka
pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung
55

Nomor 14 Tahun 1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar


Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung
diberikan kewenangan untuk memberikan pertimbangan kepada Presiden selaku
Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi. Namun demikian, dalam memberikan
pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi sampai saat ini belum ada peraturan
perundang-undangan yang mengatur pelaksanaannya.
Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi
petunjuk kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka
pelaksanaan ketentuan Pasal 25 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung).

5. Fungsi Administratif
Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan
finansial sampai saat ini masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan,
walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah
dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berwenang
mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja
Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).

6. Fungsi Lain-lain
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2)
Undang-undang Nomor 14 tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan
wewenang lain berdasarkan Undang-undang.
Mahkamah Agung merupakan lembaga tinggi negara sebagaimana yang
tercantum dalam Ketetapam Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia
56

Nomor III/MPR/1978 dan merupakan lembaga peradilan tertinggi dari semua


lembaga peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh
pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Mahkamah Agung membawahi 4
badan peradilan yaitu Peradilan Umum, Peradilan Militer, Peradilan Agama, dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Sejak amandemen Ke-3 Undang Undang Dasar 1945
kedudukan Mahkamah Agung tidak lagi menjadi satu-satunya puncak kekuasaan
kehakiman, dengan berdirinya Mahkamah Konstitusi pada tahun 2003 puncak
kekuasaan kehakiman menjadi 2, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi,
namun tidak seperti Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi tidak membawahi
suatu badan peradilan.
Pada penyelenggaraan kekuasaan, Mahkamah Agung berkedudukan
sebagai pengadilan negara tertinggi. Mahkamah Agung sebagai lembaga kekuasaan
kehakiman mempunyai fungsi mengatur sehingga menimbulkan suatu kewenangan
untuk menerbitkan Surat Edaran Mahkamah Agung dan Peraturan Mahkamah
Agung (PERMA). Kewenangan Mahkamah Agung membuat PERMA ini, semata-
mata harus dan hanya bersifat pelengkap, dalam arti PERMA tersebut merupakan
penyempurnaan atau pelengkap terhadap peraturan perundangundangan yang ada.
Oleh karena itu, tidak dibenarkan bagi Mahkamah Agung untuk menerbitkan
PERMA yang memuat tentang kebijakan umum yang tidak memiliki sandaran dan
kaitannya dengan perundang-undangan yang telah dikeluarkan DPR dan Presiden.
Kedudukan PERMA diatur dalam Pasal 79 Undang-undang Nomor 14
Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA). PERMA, berdasarkan undang-
undang tersebut berperan untuk mengisi kekosongan hukum terhadap materi yang
belum diatur dalam undang-undang. MA sebagai lembaga yudikatif diberikan
kewenangan yang bersifat atributif untuk membentuk suatu peraturan. Kewenangan
ini dibatasi dalam penyelenggaraan peradilan. Paragraf pertama penjelasan Pasal
79 Undang-undang Mahkamah Agung menjelaskan bahwa apabila dalam jalannya
peradilan terdapat kekurangan atau kekosongan hukum dalam suatu hal, Mahkamah
57

Agung memiliki wewenang membuat peraturan untuk mengisi kekurangan atau


kekosongan tersebut.53

A.4. Kedudukan dan Wewenang Mahkamah Agung Dalam Penyelesaian


Sengketa Ekonomi Syariah
Kasasi berasal dari kata Casser yang artinya memecah. Lembaga kasasi
berasal dari Prancis, ketika suatu putusan pengadilan dibatalkan demi mencapai
keadilan. Mulanya, kewenangan itu ada di tangan raja dan beserta dewannya yang
disebut Conseil du Roi. Setelah revolusi yang meruntuhkan kerajaan Perancis,
dibentuk suatu badan khusus yang tugasnya menjaga kesatuan penafsiran hukum,
badan yang menjembatani antara undang-undang dan jabatan kehakiman. Lembaga
kasasi itu kemudian diaplikasikan di Belanda yang kemudian masuk ke Indonesia.
Pada asasnya Lembaga kasasi dibentuk atas dasar pertimbangan, jika terjadi
kesalahan penerapan hukum, atau hakim telah melampaui kekuasaan
kehakimannya. Hada Djenawi Tahir dalam bukunya telah menyampaikan, sebagai
mana dikutip oleh Jonaedi Efendi54 kasasi merupakan upaya hukum terhadap
putusan banding yang telah dijatuhkan oleh pengadilan banding/tinggi.55
Dari ketentuan pasal 28 ayat (1) huruf a jo. Pasal pasal 43 ayat (1) dan pasal
44 ayat (1) Mahkamah Agung jo. Pasal 24A ayat (1) Undang Undang Dasar 1945,
dikaitkan dengan pasal 30 ayat (1) Undang-undang Mahkamah Agung dapat ditarik
pengertian yuridis dan teknis: Mahkamah Agung memiliki wewenang untuk
memeriksa dan memutus permohonan kasasi pada peradilan tingkat kasasi terhadap
putusan atau penetapan pengadilan tingkat terakhir dari semua lingkungan
peradilan yang ada di bawah Mahkamah Agung. Dalam pemeriksaan kasasi pada
pengadilan tingkat kasasi, Mahkamah agung melakukan koreksi atas kesaalahan
yang dilakukan oleh peradilan bawahan, (the correct errors by inferiors court or
trial court) baik mengenai kesalahan proses, fakta, atau penerapan hukum dengan

53
Nelly Mulia Husma, ‘Kewenangan Pengaturan Mahkamah Agung (Kajian Yuridis
Terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan
Kembali Putusan Praperadilan)’, Syariah Kuala Law Journal, 1.1 (2017) <https://doi.org/2549-
174>, 5.
54
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 92.
55
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 93.
58

cara membatalkan (annulment), mengubah keputusan (reversal) atau mengulangi


pemeriksaan perkara (review) itu sehingga putusan pengadilan dibawah Mahkamah
Agung tersebut tidak mengandung kesewenangan (arbitrary).56
Pemeriksaan kasasi pada hakikatnya bukanlah pemeriksaan tingkat ketiga.
Kasasi adalah membatalkan atau memecah, kasasi merupakan upaya hukum
terhadap putusan-putusan yang diberikan pengadilan tinggi terhadap perkara-
perkara pidana atau perdata, agar dicapai kesatuan dalam menjalankan peraturan-
peraturan dan perundang-undangan. Kasasi dapat diajukan oleh pihak-pihak, yaitu
terdakwa atau penuntut umum. Pihak-pihak ini mengajukan perohonan ke
Mahkamah Agung, maka pembatalan putusan pada tingkat kasasi mempengaruhi
keputusan yang diminta kasasi. Selain itu kasasi juga bisa diminta oleh jaksa, demi
kepentingan hukum. Jaksa menyempaikan permohonan tertulis kepada Mahkamah
Agung. Kasasi demi kepentingan hukum ini tidak memberi pengaruh terhadap
putusan pengadilan yang telah dijatuhkan.
Landasan hukum pengecekan kasasi oleh Mahkamah Agung terdapat di
dalam beberapa peraturan perundang-undangan:57 a). Pasal 24 A Undang Undang
Dasar 1945. Ketentuan Mahkamah Agung yang memeriksa perkara kasasi adalah
kekuasaan yang konstitusional berdasarkan pasal 24A ayat (1) Undang Undang
Dasar 1945 yang berbunyi:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang
dan mempunyai wewenang lainnya, yang diberikan oleh undang-undang.”
Berdasarkan pasal 24 A ayat (1) di atas diketahui bahwa salah satu
wewenang konstitusional Mahkamah Agung yang diberikan oleh Undang Undang
Dasar 1945 sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman adalah menangani perkara
pada tingkat kasasi. Pada Undang Undang Dasar 1945 yang lama, sebelum
dilakukan amandemen, kekuasaaan kehakiman hanya dibahas dalam pasal 24 dan
25 saja. Kedua pasal di atas tidak menegaskan fungsi Mahkamah Agung untuk
mengadili pada tingkat kasasi. Baru setelah dilakukan amandemen ke empat yang

56
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 93.
57
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 93-97.
59

disahkan pada tanggal 10 Agustus tahun 2002, ditambahkan pasal 24A yang
menegaskan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi”.
b). Pasal 20 Undang Undang Nomor 48 tahun 2009. Pasal 20 Undang-
undang Nomor 48 tahun 2009 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 4 tahun
2004 dan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970, tentang kekuasaan kehakiman
diterbitkan pada 29 Oktober 2009 mengatur beberapa penegasan: Pasal 20 ayat (1)
mengemukakan bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi
(highest state court) dari keempat lingkungan peradian, yaitu Peradilan Umum,
Peradila Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Dan Pasal 20
ayat (2) huruf a menegaskan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung,
dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai lembaga peradilan tertinggi negara,
“mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir, oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung”
Apa yang digariskan pada pasal 24A ayat (1) Undang-undang Dasar
ditegaskan kembali pada pasal 20 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 yang mengatakan: Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tinggi negara
memiliki wewenang (macht/power) mengadili perkara pada tingkat kasasi terhadap
putusan yang dijatuhkan pada tingkat terakhir (in the last instance) dari semua
lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Letak perbedaan antara dua pasal
ini adalah pada ketentuan terakhir pasal 20 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor
4 tahun 2004 yang lebih spesifik, karena menjelaskan 2 hal. Pertama: menggariskan
perkara yang dapat diadili pada tingkat kasasi hanya yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh peradila di bawah Mahkamah Agung. Kedua: putusan yang dapat
diperiksa oleh Mahkmah Agung adalah semua putusan yang bersumber dari
lembaga peradilan di bawahnya.
c). Pasal 28 dan pasal 30 Undang-undang Mahkamah Agung. Pada pasal 28
ayat (1) dirumuskan tugas dan wewenang Mahkamah Agung, yakni berwenang
memeriksa dan memutus permohonan kasasi. Menurut pasal 28 ayat (1) Undang-
undang Mahkamah Agung ini dideskripsikan tugas dan wewenang Mahkamah
Agung yang terdiri dari:
60

1) Memeriksa dan memutuskan permohonan kasasi.


2) Memeriksa dan memutuskan sengketa tentang kewenangan mengadili (SKM).
3) Memeriksa dan memutus permohonan meninjau kembali keputusan pengadilan
yang telah berkekuatan hukum tetap.
Pasal 30 ayat (1) undang-undang Mahkamah Agung mengaitkan dan
mempertautkan tugas dan wewenang Mahkmah agung mengadili permohonan
kasasi dengan aspek:Pertama: aspek alasan atau syarat kasasi di sebutkan secara
limitatif pada pasl 30 ayat (1) tersebut. Kedua: aspek pembatalan putusan yang di
permohonkan kasasi apabila permohonan tersebut tidak memenuhi syarat-syarat
yang dideskripsikan pada pasal 30 ayat (1) tersebut.
d)Penjelasan umum angka 2 Undang-undang Mahkamah Agung. Pada
penjelasan umum angka 2 alenia pertama Undang-undang Mahkamah Agung,
deskripsi dan wewenang Mahkamah Agung diperluas dari apa yang ada pada pasal
28 ayat (1) undang-undang Mahkamah Agung. Penjelasan ini mengatakan bahwa
Mahkamah Agung sebagai pelaksana kekuasaan kehakiman diberi kekuasan dan
kewenangan untuk :
1) Memeriksa dan memutus:
a. Permohonan kasasi
b. Sengketa kewenangan mengadili
c. Permohonan meninjau kembali putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap
2) Memberi pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga tinggi negara,
baik diminta ataupun tidak.
3) Memberi nasihat hukum kepada presiden selaku kepala negara, untuk pemberian
atau penolakan grasi.
4) Menguji secara materil hanya untuk peraturan-peraturan perundang-undangan di
bawah undang-undang.
5) Melaksanakan tugas lain sesuai undang-undang.
Berdasarkan penjelasan umum ini, dapat dilihat salah satu tugas dan
kewenangan pokok Mahkamah agung adalah memeriksa dan memutus permohonan
kasasi pada peradilan tingkat kasasi.
61

Perubahan UUD 1945 yang membawa perubahan mendasar mengenai


penyelengaraan kekuasaan kehakiman, membuat perlunya dilakukan perubahan
secara komprehensif mengenai Undang-undang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan
kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan
dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari
keadilan.
Konsekuensi dari undang-undang Kekuasaan Kehakiman adalah pengalihan
organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Sebelumnya, pembinaan Peradilan Agama berada di bawah Direktorat Pembinaan
Peradilan Agama, Departemen Agama. Terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004,
organisasi, administrasi, dan finansial Peradilan Agama dialihkan dari Departemen
Agama ke Mahkamah Agung. Peralihan tersebut termasuk peralihan status
pembinaan kepegawaian, aset, keuangan, arsip/dokumen, dan anggaran menjadi
berada di bawah Mahkamah Agung.58
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 semua peradilan
yang berada dibawah kekuasaan Negara Republik Indonesia berada ditangan
Mahkmah Agung Republik Indonesia. Dimana kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka yang dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, dan lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, serta oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Mahkamah
Agung sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 sudah
tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan menurut
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dengan bersumber
pada Pasal 20, Pasal 21, Pasal 24, Pasal 24A, Pasal 24B, dan Pasal 25 Undang
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.59

58
https://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_agama_di_Indonesia di akses pada tanggal 21
Februari 2019, pukul 11.46 WIB
59
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam Di Indonesia (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2002), 168.
62

Pada prinsipnya penegakan hukum hanya dilakukan oleh kekuasaan


kehakiman (judicial Power) yang secara konstitusional lazim disebut badan
yudikatif (Pasal 24 UUD 1945). Dengan demikian, maka yang berwenang
memeriksa dan mengadili sengketa hanya badan peradilan yang bernaung di bawah
kekuasaan kehakiman yang berpuncak di Mahkamah Agung. Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 14 Tahun 1970 secara tegas menyatakan bahwa yang berwenang
dan berfungsi melaksanakan peradilan hanya badan-badan peradilan yang dibentuk
berdasarkan undang-undang. Di luar itu tidak dibenarkan karena tidak memenuhi
syarat formal dan official serta bertentangan dengan prinsip under the authority of
law.60
Amandemen Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 memberikan wewenang
kekuasaan Peradilan Agama bertambah luas, yang semula sebagaimana diatur
dalam Pasal 49 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 hanya bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : a) perkawinan, b) kewarisan,
wasiat dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, dan c) wakaf dan
shadaqah. Dengan adanya amandemen Undang-Undang tersebut, maka ruang
lingkup tugas dan wewenang Peradilan Agama diperluas. Berdasarkan Pasal 49
huruf (i) Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Pengadilan Agama bertugas dan
berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara ditingkat pertama
antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang Ekonomi Syariah yang
meliputi: a) bank syariah, b) lembaga keuangan mikro syariah, c) asuransi syariah,
d) reasuransi syariah, e) reksa dana syariah, f) obligasi syariah dan surat berharga
berjangka menengah syariah, g) sekuritas syariah, h) pembiayaan syariah, i)
pegadaian syariah, j) dana pensiun lembaga keuangan syariah, dan k) bisnis syariah.
Dalam penjelasan Pasal tersebut antara lain dinyatakan: “Yang dimaksud dengan
“antara orang-orang yang beragama Islam” adalah termasuk orang atau badan
hukum yang dengan sendirinya menundukkan diri dengan sukarela kepada hukum

60
Erie Hariyanto, ‘Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia’, Iqtishadia, 1.1
(2014),53.
63

Islam mengenai hal-hal yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama sesuai


ketentuan pasal ini.”61
Sebagai sebuah lembaga peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung, maka setiap putusan Pengadilan Agama dapat dicek, dikoreksi atau dikaji
ulang oleh Mahkamah Agung. Dengan kata lain Mahkamah Agung berhak untuk
menyelesaikan sengketa ekonomi syariah pada tingkat akhir, atau menerima
permohonan kasasi terhadap sengketa ekonomi syariah.

B. Konsep Akad Pembiayaan Ijarah Multi Jasa Dalam Sistem Ekonomi


Syariah
Dalam melakukan pembiayaan multi jasa, dalam konteks sewa-menyewa,
akan digunakan akad Ijarah. Akad ijarah secara teori berarti pemindahan hak guna
atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan kepemilikan (ownership/milkiyyah) atas barang tersebut. Secara
praktik, pembiayaan Ijarah dalam bank syariah dijelaskan dalam Pasal 19 ayat (9)
Undang-undang Nomor 21 tahun 2008 yang berbunyi “menyalurkan Pembiayaan
penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad
ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bi al-tamlik atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah”. Secara lebih rinci akan diuraikan
dalam pembahsan di bawah ini.62

B.1. Pembiayaan
B.1.a. Pengertian Pembiayaan
Dalam bahasa sehari-hari pembiayaan atau kredit sering diartikan sebagai
pinjaman uang yang pembayarannya dilakukan kemudian hari dengan cara cicilan
atau angsuran sesuai dengan perjanjian. Kredit menurut etimologi adalah
kepercayaan. Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998

61
Erie Hariyanto, ‘Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia’, 2014, 53.
62
Egha Ezar Junaeka Putra H, ‘Pembiayaan Multijasa (Akad Yang Seharusnya
Digunakan)’, Kompasiana, 2015
<https://www.kompasiana.com/junaeka/5583f957c9afbdf50b8b4567/pembiayaan-multijasa-akad-
yang-seharusnya-digunakan>.
64

dalam pasal 1 ayat 11 tentang perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.63
Sedangkan pembiayaan dalam Lembaga Keuangan Syariah berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,
diartikan sebagai penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berupa: transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transakasi
sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bi al-tamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istisna,
transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qard, dan Transaksi sewa-
menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transakasi multi jasa.64
Pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu
pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain pembiayaan adalah
pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.
Dalam kaitannya dengan pembiayaan pada perbankan Islam atau istilah teknisnya
sebagai aktiva produktif. Aktiva produktif adalah penanaman dana Bank Islam baik
dalam Rupiah maupun valuta asing. Menurut Undang-undang Nomor 10 tahun
1998 tentang perbankan menyatakan pembiayaan adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil. Sedangkan menurut Kasmir,65 Pembiayaan adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan

63
https://www.hestanto.web.id/pengertian-pembiayaan/ diakses pada Tanggal 12 Maret
2019 jam 15:05
64
Wangsawidjadja, Pembiayaan Bank Syariahj (Jakarta: PT Gramedia, 2012), 191.
65
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 135.
65

pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Sedangkan Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan pasal 1 nomor 12, pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah adalah
penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara
lembaga keuangan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil.66
Sedangkan dalam Pasal 3 Butir 11 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998
tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan,
kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.67
Dari uraian mengenai pengertian kredit dan pembiayaan ini dapat ditarik
suatu perbedaan dalam hal jenis transaksinya. Pembiayaan tidak menggunakan
transaksi yang berupa utang piutang dengan konsekwensi bunga, akan tetapi
menggunakan transaksi yang berupa sharing modal dengan sistem bagi hasil atau
transaksi jual beli dengan margin keuntungan dan sewa serta fee untuk transaksi
yang bersifat jasa. Secara lebih terperinci perbedaan antara kredit konvensional
dengan pembiayaan syariah dapat dilihat dalam matrik sebagai berikut:68

66
Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah, 1st edn (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012),
80.
67
Rahadi Kristianto, ‘Konsep Pembiayaan Dengan Prinsip Syariah Dan Aspek Hukum
Dalam Pemberian Pembiayaan Pada PT Bank Rakyat (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang Syariah
Semarang’, Law Reform, 5.1 (2010) <https://media.neliti.com/media/publications/110370-ID-
none.pdf>, 107.
68
Rahadi Kristianto, ‘Konsep Pembiayaan…, 2010, 107.
66

Tabel II.1
Pembiayaan

B.1.b. Dasar Hukum Pembiayaan


Lembaga pembiayaan (financing institution) di Indonesia mulai
berkembang dengan dikeluarkannya Paket Deregulasi 27 Oktober 1988 (Pakto 88)
dan Paket Deregulasi 20 Desember (Pakdes 88). Eksistensi lembaga pembiayaan di
Indonesia diatur berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 61 Tahun 1988 tentang
lembaga pembiayaan yang disempurnakan dengan Peraturan Presiden Republik
Indonesia Nomor 9 Tahun 2009 dan Keputusan Menteri Keuangan Nomor
1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan. Berdasarkan Pasal 1 butir (1) Peraturan Presiden Nomor 9 tahun 2009
yang dimaksud dengan lembaga pembiayaan adalah “badan usaha yang melakukan
kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan dana atau barang modal”.69
Sebagai suatu perbuatan hukum, pembiayaan konsumen tentunya
mempunyai dasar hukum sebagai pijakan para pihak dalam melakukan
perbuatannya, selain juga sebagai jaminan terlindunginya hak dan kewajiban
masing-masing pihak dalam pembiayaan konsumen tersebut. Dasar hukum dari
pembiayaan konsumen ini terbagi menjadi dua, yaitu dasar hukum substantil dan
dasar hukum administratif.

69
Abdul Rasyid, ‘Lembaga Pembiayaan Syariah Di Indonesia’, Business Law BBnus, 2016
<http://business-law.binus.ac.id/2016/01/27/lembaga-pembiayaan-syariah-di-indonesia/>.
67

Dasar Hukum pembiayaan konsumen adalah perjanjian di antara para pihak


berdasarkan asas kebebasan berkontrak, yaitu perjanjian antara lembaga finansial
sebagai kreditur dan pihak konsumen sebagai debitur. Sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) yang berbunyi :
“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya.”
Dalam arti bahwa sejauh perjanjian yang dibuat oleh para pihak tersebut
tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, maka perjanjian
yang dibuat oleh para pihak tersebut sah dan mengikat secara penuh.
Dasar hukum administratif pembiayaan konsumen pertama kali muncul
dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 61 tahun 1988 tentang lembaga
pembiayaan, dan Surat Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
1251/KMK.013/1988 tentang Ketentuan dan Tatacara Pelaksanaan Lembaga
Pembiayaan.
Dalam surat keputusan tersebut ditentukan bahwa salah satu kegiatan dari
lembaga pembiayaan adalah menyalurkan dana dengan sistem yang disebut
'Pembiayaan Konsumen'. Pembiayaan konsumen secara yuridis formal tidak tunduk
pada peraturan-peraturan yang mengatur tentang perbankan, karena lembaga
finansial berbeda dengan institusi perbankan, sehingga secara substantif yuridis
tidak layak diberlakukan peraturan perbankan kepada pembiayaan konsumen.
Sedangkan dalam konsep pembiayaan Syariah, beberapa landasan yang
dapat digunakan sebagai berikut:70
1. Peraturan OJK Nomor 28/POJK.05/2014 tentang Perizinan dan Kelembagaan
Perusaahn Pembiayaan.
2. Peraturan OJK Nomor 30/POJK.05/2014 tentang Tata Kelola Yang Baik Bagi
Perusahaan Pembiayaan.
3. Peraturan OJK Nomor 31/POJK.05/2014 tetang Penyelanggaraan Usaha
Pembiayaan Syariah

70
http://macamistilah.blogspot.com/2017/05/pengertian-dasar-hukum-macam-macam-
dan.html diakses pada tanggal 15 Maret 2019 pukul 13.21 WIB.
68

B.1.c. Jenis-jenis Pembiayaan


Sesuai dengan akad pengembangan produk, maka bank Islam memiliki banyak jenis
pembiayaan. Jenis-jenis pembiayaan pada dasarnya dapat dikelompokan menurut
beberapa aspek, diantaranya, Pembiayaan menurut jangka waktu, Pembiayaan
menurut jangka waktu dibedakan menjadi:71
1. Pembiayaan jangka pendek, pembiayaan yang dilakukan dengan waktu 1 bulan
sampai 1 tahun.
2. Pembiayaan jangka waktu menengah, pembiayaan yang dilakukan dengan
waktu 1 tahun sampai 5 tahun
Menurut Syafi’i Antonio dalam bukunya yang berjudul Bank Syariah,72 ia
menjelaskan pembiayaan merupakan salah salah satu tugas pokok lembaga
keuangan, yaitu pemberian fasilitas penyediaan dana untuk memenuhi kebutuhan
pihak-pihak yang merupakan defisit unit. Menurut sifat penggunaan, pembiayaan
dapat dibagi menjadi dua, yaitu pembiayaan produktif dan pembiayaan konsumtif.
Pembiayaan produktif adalah pembiayaan yang ditujukan untuk memenuhi
kebutuhan produksi, yaitu untuk peningkatan usaha, baik usaha produksi,
perdagangan maupun investasi. Dalam pembiayaan produktif dibedakan lagi
menjadi dua jenis, yaitu pembiayaan modal kerja dan pembiayaan investasi.
a. Pembiayaan modal kerja
Pembiayaan ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam meningkatkan
produksi secara kuantitatif (jumlah hasil produksi) dan secara kualitatif
(peningkatkan kualitas hasil produksi).
b. Pembiayaan Investasi
Berbeda halnya dengan pembiayaan modal kerja, pembiayaan investasi
merupakan pembiayaan yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan barang-

71
Veithzal Rivai, Islamic Banking Sebuah Teori, Konsep, Dan Aplikasi, 1st edn (Jakarta:
Bumi Aksara, 2010), 686.
72
Muhamad Syafii Antonio, Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, 1st edn (Depok:
Tazkia Institute, 2000), 165.
69

barang modal (capital goods) serta fasilitas-fasilitas yang erat kaintannya


dengan itu.
Yang kedua adalah Pembiayaan konsumtif, merupakan pembiayaan yang
ditujukan untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang akan habis digunakan untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan konsumsi dibedakan dibedakan atas
kebutuhan primer (pokok atau dasar) dan kebutuhan sekunder (tambahan).
Kebutuhan primer merupakan kebutuhan pokok, seperti makanan, minuman,
pakaian, dan tempat tinggal. Sedangkan yang berupa jasa seperti pendidikan dasar
dan pengobatan. Kebutuhan sekunder yang berupa barang seperti makanan,
minuman, pakaian, perhiasan, bangunan rumah, dan kendaraan. Sedangkan yang
berupa jasa seperti pendidikan, pelayanan kesehatan, pariwisata dan hiburan.73
Jenis pembiayaan di Lembaga Keuangan Syariah akan diwujudkan dalam
bentuk Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil, Pembiayaan dengan prinsip jual beli
dan pembiayaan dengan prinsip sewa menyewa.
a. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasil
Untuk jenis pembiayaan dengan prinsip ini meliputi, Pembiayaan mudharabah,
yaitu kerja sama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal)
menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola
(mudharib). Dan Pembiayaan musyarakah, yaitu kerja sama usaha antara dua
pihak atau lebih untuk satu usaha tertentu, dimana masingmasing pihak
memberikan kontribusi dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan
ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
b. Pembiayaan dengan prinsip jual beli
Untuk jenis pembiayaan dengan prinsip ini meliputi, Pembiayaan murabahah,
yaitu jual beli dengan harga pokok ditambah keuntungan yang diketahui.
Pembiayaan salam, yaitu pembelian barang yang diserahkan pada kemudian
hari, sedangkan pembayarannya dilakukan pada saat awal transaksi dilakukan.
Dan Pembiayaan istishna’, yaitu jual beli antara pemesan dan penerima pesanan,

73
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah.., 2000, 166
70

dimana spesifikasi dan harga barang disepakati diawal, sedangkan pembayaran


dilakukan secara bertahap sesuai kesepakatan.
c. Pembiayaan dengan prinsip sewa menyewa
Untuk jenis pembiayaan dengan prinsip ini meliputi, Pembiayaan ijarah, yaitu
akad pengalihan hak manfaat atau barang atau jasa melalui pembayaran upah
sewa, tanpa diikuti dengan pengalihan kepemilikan atas barang tersebut. Dan
Pembiayaan ijarah muntahiya bi al-tamlik, yaitu Pemindahan hak guna atas
barang dan jasa melalui pembayaran upah sewa dengan diikuti pemindahan
kepemilikan atas barang itu pada akhir masa kontrak.74

B.1.d. Tujuan Pembiayaan


Sebuah pembiaayan tentu memiliki tujuan utama dari pemberian
pembiayaan tersebut, diantara tujuan pemberian pembiayaan adalah:75
a. Mencari keuntungan (profitability), yaitu dengan tujuan untuk memperoleh
hasil dari pembiayaan yang disalurkan berupa keuntungan yang diraih dari bagi
hasil yang diperoleh dari usaha yang dikelola bersama nasabah.
b. Safety merupakan keamanan dari prestasi atau fasilitas yang diberikan harus
benar-benar terjamin sehingga tujuan profitability dapat tercapai tanpa ada
hambatan. Dalam kaitan profitabilitas dan keamanan, Lembaga Keuangan
cenderung memberikan pembiayaan kepada nasabah yang memiliki tingkat
kemampuan bayar, dan nasabah yang berpeluang memberikan keuntungan
terhadap lembaga keuangan tersebut.
Selain untuk mencari keuntungan dan safety, secara mikro pembiayaan
bertujuan untuk Memaksimalkan laba Setiap usaha yang dibuka memiliki tujuan
yaitu menghasilkan laba. Untuk dapat menghasilkan laba yang maksimal maka
memerlukan dukungan dana yang cukup. Dan meminimalkan resiko usaha yang
dilakukan agar mampu menghasilkan laba maksimal, maka pengusaha harus

74
Dadan Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keuangan Syari'ah, 1st edn (Yogyakarta:
Sifiria Insania Press, 2009), 88.
75
Veithzal Rivai, Islamic Banking..., 2010, 683.
71

mampu meminimalkan resiko yang mungkin timbul. Resiko kekurangan modal


usaha dapat diperoleh melalui pembiayaan.76
Selanjutnya yaitu Pendayagunaan sumber daya ekonomi. Sumber daya
ekonomi dapat dikembangkan dengan melakukan mixing antara sumber daya alam
dengan sumber daya manusia dan sumber daya modal. Jika ketiga sumber daya itu
tidak ada maka diperlukan pembiayaan. Dan terakhir bertuan untuk penyaluran
kelebihan dana. Dalam kehidupan masyarakat ada pihak yang kelebihan dana dan
ada pihak yang kekurangan dana. Dalam kaitannya dengan masalah dana maka
mekanisme pembiayaan dapat menjadi jembatan dalam penyeimbang dan
penyaluran kelebihan dana dari pihak yang kelebihan (surplus) kepada pihak yang
kekurangan dana.77

B.1.e. Fungsi Pembiayaan


Secara umum pembiayaan berfungsi untuk, meningkatkan daya guna uang,
menngkatkan daya guna barang, meningkatkan peredaran uang dan meningkatkan
gairah berusaha.78
a. Meningkatkan daya guna uang
Para penabung menyimpan uangnya di bank dalam bentuk giro, tabungan dan
deposito. Uang tersebut dalam persentase tertentu ditingkatkan kegunaannya
oleh lembaga keuangan guna suatu usaha peningkatan produktivitas.
b. Meningkatkan daya guna barang
Produsen dengan bantuan pembiayaan lembaga keuangan dapat mengubah
bahan mentah menjadi bahan jadi sehingga utility dari bahan tersebut meningkat,
misalnya peningkatan utility kelapa menjadi kopra dan selanjutnya menjadi
minyak kelapa.
c. Meningkatkan peredaran uang

76
Binti Nur Asiyah, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, 1st edn (Yogyakarta:
Kalimedia, 2015), 6.
77
Veithzal Rivai, Islamic Banking… 2010, 683.
78
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, 1st edn (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2013), 227.
72

Pembiayaan yang disalurkan melalui rekening-rekening koran pengusaha


menciptakan pertambahan peredaran uang giral dan sejenisnya seperti cek,
promes, wesel dan sebagainya. Melalui pembiayaan, peredaran uang kartal
maupun giral akan lebih berkembang karena pembiayaan menciptakan suatu
kegairahan berusaha sehingga pengguna uang akan bertambah baik secara
kualitatif apalagi secara kuantitatif.
d. Menimbulkan kegairahan berusaha
Setiap manusia adalah makhluk yang selalu melakukan kegiatan ekonomi, yaitu
berusaha untuk memenuhi kebutuhannya. Kegiatan usaha sesuai dengan
dinamikanya akan selalu meningkat, akan tetapi peningkatan kemampuannya
yang berhubungan dengan manusia lain yang mempunyai kemampuan. Karena
itu pulalah maka pengusaha akan selalu berhubungan baik untuk memperoleh
bantuan permodalan guna peningkatan usahanya.

B.1.f. Mekanisme Pengajuan Pembiayaan


Calon penerima pembiayaan dalam perbankan maupun koperasi wajib
memenuhi prosedur yang telah di tetapkan oleh pihak bank maupun koperasi.
Berikut beberapa prosedur yang harus dipenuhi oleh para calon debitur yaitu:
Mengisi formulir standar yang ditetapkan oleh bank maupun koperasi yang memuat
informasi tentang data diri. Seperti, Nama, tempat dan tanggal lahir, alamat serta
kewarganegaraan, nomor KTP dan NPWP. Alamat dan nomor telepon tempat
bekerja. Keterangan mengenai pekerjaan, Jumlah pembiayaan dan tujuan
pengunaan dana, specimen tanda tangan.79
Setelah itu calon nasabah harus mengumpulkan data diri berupa foto kopi
KTP suami istri (bagi yang sudah menikah), foto kopi surat nikah (bagi yang sudah
menikah), dan foto kopi Kartu Keluarga, Slip gaji dan surat keterangan kerja bagi
karyawan. Dan foto kopi rekening tabungan selama 6 bulan terakhir. Foto kopi
BPKB (bagi agunan yang berupa kendaraan) atau foto kopi sertifikat SHM/SHGB,
ataupun akte tanah.

79
Wangsawidjaja Z, Pembiayaan Bank Syariah, 1st edn (Jakarta: PT Gramedia, 2012), 201.
73

Proses pemberian pembiayaan yang baik dapat membantu meminimalkan


concentation risk. Untuk menghasilkan keputusan pembiayaan yang baik, seluruh
tahap dalam proses pemberian pembiayaan yang harus dilalui, seperti: Memahami
bisnis dan industri. Mewawancarai nasabah/anggota. Melakukan analisis
pembiayaan, termasuk analisis keuangan nasabah. Melakukan negoisasi. Menyusun
struktur pembiayaan sesuai dengan kebutuhan nasabah/anggota. Melakukan
dokumentasi secara layak. Dan Melakukan monitoring pembiayaan yang baik.80

B.1.g. Analisis Pembiayaan


Analisis pembiayaan merupakan langkah untuk realisasi pembiayaan di
suatu lembaga keuangan. Dalam memberikan pembiayaan kepada calon nasabah,
Lembaga Keuangan Syariah akan melakukan analisis terlebih dahulu untuk
meminimalkan adanya resiko.
Karena pemberian pembiayaan tidak lepas dari resiko seperti terjadinya
pembiayaan bermasalah yang dapat berpengaruh terhadap kinerja lembaga
keuangan tersebut. Pembiayaan bermasalah adalah suatu penyaluran dana yang
dilakukan oleh lembaga pembiayaan yang dalam pelaksanaan pembayaran
pembiayaan oleh nasabah itu terjadi hal-hal seperti pembiayaan yang tidak lancar,
pembiayaan yang debiturnya tidak memenuhi persyaratan yang dijanjikan, serta
pembiayaan tersebut tidak menepati jadwal angsuran. Sehingga hal-hal tersebut
memberikan dampak negatif bagi kedua belah pihak.81
Pembiayaan bermasalah merupakan salah satu resiko dalam suatu
pelaksanaan pembiayaan. Resiko pembiayaan merupakan resiko yang disebabkan
oleh adanya counterparty dalam memenuhi kewajibannya. Berkaitan dengan
pembiayaan di lembaga keuangan syariah, dalam melakukan penilaian permohonan
pembiayaan, bagian marketing harus memperhatikan beberapa prinsip utama yang
berkaitan dengan kondisi secara keseluruhan calon nasabah, sehingga bisa
mengurangi tingkat pembiayaan bermasalah. Adapun prinsip utama yang perlu

80
Rahadi Kristianto, 'konsep pembiayaan..', 2010, 108.
81
Syahliah Mahlan, ‘Analisis Pembiayaan Bank Syariah’,
https://www.academia.edu/9827212/ANALISIS_PEMBIAYAAN_BANK_SYARIAH
74

diperhatikan adalah dengan melakukan analisis pembiayaan. Beberapa pendekatan


analisis pembiayaan yang dapat dilakukan oleh lembaga keuangan syariah yaitu
dengan prinsip 5C :82
a. Character adalah lembaga keuangan mencermati secara teliti dan sungguh-
sungguh terkait dengan sifat atau karakter nasabah.
b. Capacity adalah lembaga keuangan menganalisis kemampuan nasabah
mengembalikan dan melunasi jumlah pinjaman yang diambil.
c. Capital adalah untuk mengukur kemampuan usaha nasabah dengan modal
sendiri. Semakin besar kemampuan modal berarti semakin besar porsi proyek
usaha yang di dukung oleh modal sendiri.
d. Colateral adalah lembaga keuangan dalam memberikan pembiayaan selalu
memperhatikan kuantitas dan kualitas jaminan yang dimiliki oleh peminjam.
e. Condition, yaitu lembaga keuangan perlu memperhatikan keadaan ekonomi dan
kelayakan usaha yang dijalankan oleh nasabah peminjam.
Jika dalam berjalannya waktu terjadi pembiayaan bermasalah maka
lembaga keuangan syariah akan melakukan upaya untuk menangani pembiayaan
bermasalah tersebut dengan melakukan upaya penyelamatan dan penyelesaian
pembiayaan bermasalah, agar dana yang telah disalurkan oleh lembaga keuangan
syariah dapat diterima kembali. Secara umum terdapat dua strategi yang dijalankan
sebagai upaya penyelesaian pembiayaan bermasalah, yaitu:
1. Stay strategy adalah strategi saat lembaga keuangan masih ingin
mempertahankan hubungan bisnis dengan nasabah dalam konteks waktu jangka
panjang. Stay strategy dapat dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Penagihan intensif
b. Rescheduling, yaitu memperkecil angsuran dengan memperpanjang waktu atau
akad dan margin baru. Rescheduling bisa dilakukan dengan memperpanjang
jangka waktu pembiayaan serta memperkecil jumlah angsuran. Dalam hal ini
nasabah diberikan keringanan yaitu jangka waktu pelunasan pembiayaan

82
Syahliah Mahlan, ‘Analisis Pembiayaan Bank Syariah’,
https://www.academia.edu/9827212/ANALISIS_PEMBIAYAAN_BANK_SYARIAH
75

diperpanjang dari waktu yang sudah ditentukan dalam akad, misalnya


memperpanjang jangka waktu pembiayaan dari 6 bulan menjadi 1 tahun.
c. Reconditioning, yaitu dengan cara mengubah berbagai persyaratan yang ada
seperti:83
1) Penundaan pembayaran margin sampai waktu tertentu. Dalam hal penundaan
pembayaran margin sampai waktu tertentu, maksudnya hanya margin yang dapat
ditunda pembayarannya, sedangkan pokok tetap harus dibayar seperti biasa.
2) Penurunan margin. Penurunan margin dimaksudkan agar lebih meringankan
beban nasabah. Sebagai contoh jika margin pertahun sebelumnya dibebankan
20% diturunkan menjadi 18%. Hal ini tergantung dari pertimbangan yang
bersangkutan.
3) Penurunan margin akan mempengaruhi jumlah angsuran yang semakin
mengecil, sehingga diharapkan dapat membantu meringankan nasabah.
4) Pembebasan margin. Dalam pembebasan margin diberikan kepada nasabah
dengan pertimbangan nasabah sudah tidak akan mampu lagi membayar
pembiayaan tersebut. Akan tetapi nasabah tetap mempunyai kewajiban untuk
membayar pokok pinjamannya sampai lunas.
d. Restructuring, yaitu dengan menambah jumlah pembiayaan dan
menambah equity.
2. Phase out strategy adalah strategi saat pada prinsipnya lembaga keuangan tidak
ingin melanjutkan hubungan bisnis lagi dengan nasabah yang bersangkutan
dalam konteks waktu yang panjang, kecuali bila ada faktor-faktor lain yang
sangat mendukung kemungkinan adanya perbaikan kondisi nasabah. Strategi
yang umumnya dijalankan adalah Soft approach dan hard approach. Apabila
soft approach tidak dapat menyelesaikan pembiayaan bermasalah yang terjadi,
maka akan ditempuh dengan cara hard approach yang melibatkan jalur hukum,
yaitu :
a. BASYARNAS (Badan Arbritase Syariah Nasional), penyelesaian terebut
dilakukan melalui keadaan setelah tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

83
Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Yogyakarta: UPP AMP YKPN), 261.
76

b. Pengadilan, dapat berupa Eksekusi Hak Tanggungan (HT) atas agunan, Eksekusi
agunan yang diikat secara Fidusia yang didaftarkan ke kantor Pendaftaran
Fidusia, dan Pelaporan pidana terhadap nasabah.
c. Melibatkan pihak kepolisian. Alternatif ini dilakukan apabila nasabah tidak
dapat dihubungi, Nasabah melarikan diri, Nasabah tidak mempunyai itikad baik
untuk menyelesaikan kewajibannya dan nasabah tidak bersedia menyerahkan
agunannya.84

B.2. Ijarah
B.2.a. Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah ‫( بیع المنفعة‬menjual manfaat). Menurut
terminologi syara’. ijarah diterjemahkan sebagai jual-beli jasa (upah-mengupah),
mengambil manfaat tenaga manusia dan sewa-menyewa, mengambil manfaat dari
barang. Dalam arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat
sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Menurut bahasa,
ijarah berarti upah atau ganti atau imbalan. Sedangkan lafaz ijarah mempunyai
pengertian umum yang meliputi upah atas pemanfaatan sesuatu benda atau imbalan
sesuatu kegiatan atau upah karena melakukan sesuatu aktivitas.85
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Transaksi ijarah dilandasi
adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak
milik). Pada ijarah objek transaksinya adalah barang atau jasa dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri. Akad ijarah diperuntukkan untuk memperoleh jasa pihak lain
guna melakukan pekerjaan tertentu melalui akad ijarah dengan pembayaran upah
(ujrah/fee).86
Sedangkan para ulama fikih mendefenisikan ijarah ini, dengan istilah yang
berbeda-beda:

84
http://eprints.walisongo.ac.id/6549/3/BAB%20II.pdf diakses pada tanggal 15 Maret
2019, pukul 13.43 WIB.
85
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, 2nd edn (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 29.
86
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 09/DSN-MUI/IV/2000
77

1) Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dikutip oleh M. Ali Hasan bahwa
ijarah adalah:
‫عقد على المنافع بعوض‬
“Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan”87
2) Menurut Malikiyah, sebagaimana yang dikutip oleh M. Ali Hasan bahwa ijarah
adalah “Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan
untuk sebagian yang dapat dipindahkan”.
Ulama Malikiyah sebagaiman dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili,
mendefinisikan ijarah : memberikan kepemilikan manfaat barang yang mubah dan
dalam kurun waktu tertentu dengan ongkos sewaan. Definisi ini juga terdapat dalam
Mazhab Hanabilah.
3) Menurut Ulama Syafiiyah
‫عقد على منفعة مقصودة معلو مة قا بلة للبذل واإل با حة بعوض معلوم‬
Ijarah akad atas suatu manfaat yang diketahui kebolehannya dengan
serah terima dan ganti yang manfaat kebolehannya.
4) Menurut Sayyid Sabiq ijarah adalah:
‫ ومنه سمى الثواب أجرا‬،‫اإلجارة مشتقة من األجر وهو العواض‬
Ijarah di ambil dari kata “Ajrun” yaitu pergantian maka dari itu pahala
juga dinamakan upah.
5) Abdurrahman al – Jaziri mengemukakan :
‫اإلجارة في اللغة هي مصدر سماعي لفعل أجر على وزن ضرب وقتل فمضارعها يأجر وأجر بكسر الجیم‬
‫وضمها ومعنها الجزاء على العمل‬
Ijarah menurut bahasa merupakan mashdar sima’i bagi fi’il “ajara”
setimbang dengan kata “dharaba” dan “qatala”, maka mudhari’nya ya’jiru dan
ajir (dengan kasrah jim dan dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan atas
suatu pekerjaan”.
6) Kemudian Abi Yahya Zakaria juga mengemukakan :
‫اإلجارة لغة اسم األجر‬

87
4 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, 2004, 227.
78

Menurut Abi Yahya ijarah Ijarah secara bahasa disebut upah. Yaitu imbalan
dari suatu barang yang disewakan
7) Menurut Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib, sebagaimana yang dikutip oleh
Hendi Suhendi88 bahwa ijarah adalah “Pemilikan manfaat dengan adanya
imbalan dan syarat- syarat.”
Jumhur ulama fikih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan
yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka
melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil
susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan
manfaatnya, tetapi bendanya.89
Wahbah Zuhaili mengutip pendapat Ibnu Qayyim dalam I’lam Al-
Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai asal ijarah sebagaimana ditetapkan ulama fikih
adalah asal fasid (rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dari Al-Quran, As-
Sunah, Ijma’ maupun qias yang shahih. Menurutnya, benda yang mengeluarkan
suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada, misalnya pohon yang
mengeluarkan buah, pohonnya tetap ada dan dihukumi manfaat, sebagaimana
dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaat dari sesuatu atau sama juga
dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnya.90
Dari beberapa pendapat ulama dan mazhab diatas tidak ditemukan
perbedaan yang mendasar tentang defenisi ijarah, tetapi dapat dipahami ada yang
mempertegas dan memperjelas tentang pengambilan manfaat terhadap benda atau
jasa sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah
serta tanpa adanya pemindahan kepemilikan.
Kalau diperhatikan secara mendalam defenisi yang dikemukakan oleh para
ulama mazhab di atas maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam
ijarah antara lain. Adanya suatu akad persetujuan antara kedua bela pihak yang

88
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah Membahas Ekonomi Islam Kedudukan Harta, Hak
Milik, Jual Beli, Bunga Bank Dan Riba, Musyarakah, Ijarah, Koperasi, Asuransi,Etika Bisnis Dan
Lain-Lain, 1st edn (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 114-115.
89
Abdul Aziz Dahlan, ‘Ensiklopedi Hukum Islam’, 1st edn (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hooeve, 1996), 660.
90
Wahbah Zuhaili, ‘Fiqh Islam Wa Adillatuhu’, 1st edn (Bairut: Dar al- Fikr, 1989), 733-
734.
79

ditandai dengan adanya ijab dan Qabul, adanya imbalan tertentu, dan mengambil
manfaat, misalnya mengupah seseorang buruh untuk bekerja.

B.2.b. Landasan Hukum Ijarah


Setiap akad atau transaksi dalam Islam harus dilandasi dengan dalil-dalil
yang bersumber dari sumber yang shahih, yaitu Al-Quran, As-Sunah, ijama’ dan
fatwa. Begitu juga dengan Ijarah, hukum pembolehan ijarah bersumber dari Al-
Quran, hadis ijma’ dan fatwa.
1. Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 233:
َّۡ َ‫ٱّللۡ َوٱعلَ ُم ٓواۡۡأ‬
ۡ‫ن‬ ََّۡ ۡۡ‫سلَّمتُمۡ َّمۡا ٓۡ َءات َيتُم ۡ ِبٱل َمع ُروفِۡ ۡ َوٱتَّقُوا‬
َ ۡ ‫علَي ُكمۡ ۡ ِإذَا‬
َ ۡ‫ح‬ ۡ َ َ‫ضعُ ٓواۡ ۡأَو َٰلَدَ ُۡكمۡ ۡف‬
َۡ ‫ل ۡ ُجنَا‬ ِ ‫و ِإنۡ ۡأ َ َردتُّمۡۡأَن ۡت َست َر‬...
َ
ِ ‫ٱّللۡ ِب َماۡتَع َملُونَۡۡ َب‬
ۡۡۡ‫صير‬ ََّۡ
Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, tidak dosa
bagimu apabila kamu memberikan pembayaranmenurut yang patut. Bertaqwalah
kepada Allah; dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan.91 Yaitu menyewa jasa wanita lain untuk menyusui anak.
2. Al-Quran Surat Al-Qasas Ayat 26:
ُّ ‫قَالَتۡ ِإحدَ َٰى ُه َماۡ َٰ َٓيأ َ َبتِۡٱستَۡٔٔ ِجر ُۖهُۡ ِإ َّنۡخَي َرۡ َم ِنۡٱستَۡٔٔ َجرتَ ۡٱلقَ ِو‬
ۡ ُۡۡ‫يۡٱۡلَمِ ين‬
Salah seorang dari wanita itu berkata , wahai bapakku ambillah ia sebagai
pekerja kita, karena orang yang paling baik untuk dijadikan pekerja adalah orang
yang kuat dan dapat dipercaya. 92 Pada ayat ini mengisyaratkan kebolehan ijarah
yang besifat jasa. Menyewa pekerja untuk melakuka suatu pekerjaan.
3. Al-Quran Surat al-Thalaq ayat 6:
َٰۡ ‫ض ُۡعۡلَ ٓۡۥهُۡأُخ َر‬
ۡ ۡۡ‫ى‬ ِ ‫ستُر‬
َ َ‫سرتُمۡۡف‬
َۡ ‫ُنۡ َوأتَمِ ُرواۡۡبَي َن ُكمۡبِ َمع ُروفُۖۡۡ َوإِنۡتَعَا‬ َ ‫ُنۡأ ُ ُج‬
َّۡ ‫وره‬ َّۡ ‫فَٔٔ اتُوه‬ َ ‫ۚۡفَإِنۡۡأَر‬...
َۡ ۡۡ‫ضعنَۡۡلَ ُكم‬
Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak) mu untukmu, Maka
berikanlah kepada mereka upahnya. Perintah untuk membayarkan upah kepada
ma’jur dalam ayat ini mengisyaratkan pada pensyariatan akad ijarah itu sendiri.
4. Hadis Nabi Saw riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-
Khudri, Nabi s.a.w. bersabda:
‫من استأجر أجیرا فلیعلمه أجره‬

91
Al-quran, Surat Al-baqarah : 233
92
Al-Quran, Surat Al-Qasas, ayat 26
80

“Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya.”93


5. Hadis Riwayat Bukhari
Para ulama mengemukakan alasan kebolehan ijarah berdasarkan hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhari sebagai berikut:
‫ ثم من بنى‬،‫ واستأجرالنبى صلى هللا علیه وسلم وأبو بكر رجال من بني الديل‬:‫عن عائشة رضي هللا عنها‬
‫ وهو على‬،‫ الماهر بالهداية قد غمس يمین حلف فى آل العاص بن وائل‬:‫ هاديا خريتا الخريت‬،‫عبد بن عدي‬
‫ فأتهما براحلتیهما صبیحة‬،‫ ووعداه غار ثور بعد ثالث لیال‬،‫ فدفعا إلیه راحلتیهما‬،‫ فأمناه‬،‫دين كفار قريش‬
‫ وهو طريق الساحل‬،‫ فأخذ بهم أسفل مكة‬،‫ والدلیل الديلي‬،‫ وانطلق معهما عامربن فهیرة‬،‫لیال ثالث فارتحال‬
( ‫)رواه البخاري‬
Hadis Riwayat Bukhari ini menjelaskan tentang tentang penjalannan hijran
Nabis Saw. Yang di sampaikan oleh Aisyah R.a, ia menuturkan bahwa Nabi SAW
dan Abu Bakar menyewa seorang laki-laki yang pintar sebagai penunjuk jalan dari
dari bani Ad-Dil, kemudian dari Bani Abdi bin Adi. Dia pernah terjerumus dalam
sumpah perjanjian dengan keluarga al-Ash bin Wail dan dia memeluk agama orang-
orang kafir Quraisy. Dia pun memberi jaminan keamanan kepada keduanya, maka
keduanya menyerahkan hewan tunggangan miliknya, seraya menjanjikan bertemu
di gua Tsur sesudah tiga malam/hari . Ia pun mendatangi keduanya dengan
membawa hewan tunggangan mereka pada hari di malam ketiga, kemudian
keduanya berangkat berangkat. Ikut bersama keduanya Amir bin Fuhairah dan
penunjuk jalan dari bani Dil, dia membawa mereka menempuh bagian bawah
Mekkah, yakni jalur pantai.
Dalam hadits di atas di jelaskan bahwa Nabi menyewa orang musyrik saat
darurat atau ketika tidak ditemukan orang Islam, dan Nabi mempekerjakan orang-
orang Yahudi Khaibar selama tiga hari. Dalam hal ini Imam Bukhari, tidak
membolehkan menyewa orang musyrik, baik yang memusuhi Islam (harbi)
maupun yang tidak memusuhi Islam (dzimmi), kecuali kondisi mendesak seperti
tidak didapatkan orang Islam yang ahli atau dapat melakukan perbuatan itu.
Sedangkan Ibnu Baththa mengatakan bahwa mayoritas ahli fikih membolehkan

93
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 44/DSN-MUI/VII/2004
81

menyewa orang-orang musyrik saat darurat maupun tidak, sebab ini dapat
merendahkan martabat mereka.94
6. Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas R.a ia berkata:
‫ احتجم النبى صل هللا علیه و‬:‫حدثنا ابن طاوس عن أبیه عن ابن عباس رضي هللا عنهما قال‬
‫سلم واعطى الحجام اجره )رواه البخاري‬
Hadis dari Ibnu Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas Ra dia berkata
bahwa Nabi Saw pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar
upahnya. Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk
membayar upah terhadap orang yang telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat
dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi upah
mengupah.95
7. Hadis Riwayat Ibnu Majah
َ ‫یر أَج َره قَب َل أَن يَ ِجف‬
‫ع َرقه‬ َ ‫ قَا َل َرسول ّللا صلى هللا علیه وسلم أَعطوا األ َ ِج‬:‫عب ِد ّللاِ ب ِن ع َم َر قَا َل‬
َ ‫عن‬
َ
(‫)رواه ابن ماجه‬
Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah Saw: Berikan upah
kepada pekerja sebelum keringatnya kering. Hadis di atas menjelaskan tentang
ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang dipekerjakan, yaitu Nabi sangat
menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya
kering atau setelah pekerjaan itu selesai dilakukan.96

B.2.c. Rukun dan Syarat Ijarah


Transaksi ijarah dapat dikatakan sah apabila rukun dan syaratnya telah
terpenuhi, berikut adalah rukun-rukun ijarah;
Menurut ulama Hanafiyah, rukun ijarah itu hanya satu, yaitu ijab ( ungkapan
menyewakan ) dan qabul (persetujuan terhadap sewa menyewa). Akan tetapi,
jumhur ulama mengatakaan bahwa rukun ijarah itu ada empat, yaitu : shigat( ijab
dan qabul), sewa atau imbalan, manfaat, dan orang yang berakad. Ulama Hanafiyah

94
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, ‘Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari’,
in Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, ed. by Amiruddin, 2nd edn (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007).
95
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, ‘Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-
Bukhari’,2007, 48-49.
96
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalat, 1st edn (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).
82

menyatakan bahwa orang yang berakad, sewa/imbalan, dan manfaat, termasuk


syarat-syarat ijarah, bukan rukunnya.
Pertama, shigat (kalimat yang digunakan transaksi) seperti perkataan pihak
yang menyewakan “Saya menyewakan mobil ini padamu selama sebulan dengan
biaya/upah satu juta rupiah.” Dan pihak penyewa menjawab “Saya terima.” Kedua,
ujrah (upah/ongkos/biaya). Ketiga, manfaat (Kemanfaatan barang atau orang yang
disewa). Keempat, al-muta’aqidin (pihak yang menyewa dan menyewakan).
Kelima, muktari/musta’jir (pihak yang menyewa).97
Masing-masing dari keempat rukun ini memiliki syarat yang harus
terpenuhi agar transaksi ijarah yang dilakukan bisa sah dan legal menurut syariat.
Syarat Shighat: Sebagaimana transaksi-transaksi yang lain, di dalam ijarah juga
disyaratkan shigat dari pihak penyewa dan pihak yang menyewakan dengan bentuk
kata-kata yang menunjukan terhadap transaksi ijarah yang dilakukan sebagaimana
contoh di atas. Syarat Ujrah/upah: Ujrah di dalam akad ijarah harus diketahui, baik
dengan langsung dilihat ataupun disebutkan kriterianya secara lengkap semisal
“seratus ribu rupiah”.
Syarat manfaat: harus mutaqawwamah (bernilai secara syariat),
maklum/diketahui, mampu diserahkan, manfaat dirasakan oleh pihak penyewa,
manfaat yang diperoleh pihak penyewa bukan berupa barang.98
Terakhir Syarat penyewa dan pihak yang menyewakan (al-muta’aqidin):
Baligh, berakal, tidak terpaksa. Menurut ulama syafiiyah dan Hanabillah, di
syariatkan telah baligh dan berakal. Tetapi menurut ulama Hanafiyah dan
Malikkiyah berpendapat bahwa kedua orang yang berakad tidak harus mencapai
usia baligh, tapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah,
namun, mereka mengatakan apabila seorang anak yang mumayyiz melakukan
ijarah terhadap harta atau dirinya, maka akad itu sah apabila disetujui oleh walinya.
Kedua belah pihak juga harus menyatakan kesediannya untuk melakukan
akad ijarah, sebagaimana firman Allah Swt dalam surat An-Nisa’ ayat 29:

97
http://www.nu.or.id/post/read/84810/definisi-dan-rukun-ijarah-sewa-menyewa-dalam-
islam diakses pada tanggal 20 Maret 2019, pukul 12:14 WIB
98
Rozalinda, Fiqh Muamalah Dan Aplikasinya Pada Perbankan Syariah, 1st edn (Padang:
Hayfa Press, 2005), 106.
83

َ ۡۡ‫لٓۡأَنۡت َ ُكونَۡۡتِ َٰ َج َرة‬


ۡ ۡۡ...ۡ‫عنۡت ََراضۡۡ ِمن ُك ۚۡم‬ ۡ َ ۡۡ‫َٰيَٓأَيُّ َهاۡٱلَّذِينَۡۡ َءا َمنُوا‬
ِۡ ِ‫لۡتَأ ُكلُ ٓواۡۡأَم َٰ َولَ ُكمۡبَينَ ُكمۡبِۡٱل َٰبَط‬
ۡ َّ ِ‫لۡإ‬
Perintah Allah Swt. Kepada orang beriman untuk menjalankan suatu
transaksi dengan saling ridho. Agar tidak saling memakan harta dengan cara yang
batil.99

B.2.d. Macam-macam Ijarah


Dari segi objeknya, akad ijarah dibagi para ulama fikih kepada dua macam:
Ijarah yang bersifat manfaat (sewa). Diantara Ijarah yang bersifat manfaat adalah
sewa-menyewa rumah, toko, dan kendaraan. Apabila manfaat itu merupakan
manfaat yang dibolehkan syara’ untuk digunakan, maka para ulama fikih sepakat
hukumnya boleh dijadikan objek sewa-menyewa.100
Ijarah yang bersifat pekerjaan (jasa). Ijarah yang bersifat pekerjaan ialah
memperkerjakan seseorang untuk melakukan suatu pekerjaan. Ijarah seperti ini
menurut para ulama fikih hukumnya boleh apabila jenis pekerjaan itu jelas dan
sesuai syari’at, seperti buruh pabrik, tukang sepatu, dan tani.101
Ijarah ‘ala al-‘amal (upah mengupah) terbagi kepada dua yaitu:102 Ijarah
Khusus; Yaitu ijarah yang dilakukan oleh seorang pekerja. Hukumnya orang yang
bekerja tidak boleh bekerja selain dengan orang yang memberinya upah. Seperti
pembantu rumah tangga. Ijarah Musytarak; Yaitu ijarah yang dilakukan secara
bersama-sama atau melalui kerjasama. Hukumnya dibolehkan bekerjasama dengan
orang lain. Contohnya para pekerja pabrik.
Adapun perbedaan spesifik antara jasa dan sewa adalah pada jasa tenaga
kerja, disyaratkan kejelasan karakteristik jasa yang diakadkan. Sedang pada jasa
barang, selain persyaratan yang sama, juga disyaratkan bisa dilihat (dihadirkan)
pada waktu akad dilangsungkan, sama seperti persyaratan barang yang diperjual
belikan.103

99
Al-Quran Surat An-Nisa’ Ayat 29
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam…, 1989, 759.
100
101
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, 1st edn (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 131.
102
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, 2004, 133-134
103
Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd, ‘Bidayah Al-Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid’, 1st edn (Beirut: Dar al- Fikr, 1995), 185.
84

B.2.e. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Tentang


Ijarah
Dalam tataran hukum Islam di Indonesia Fatwa Dewan Syariah Nasional
Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) adalah salah satu landasan hukum yang
sangat perlu untuk diperhatikan dalam berbagai transaksi terutama transaksi dalam
bidang ekonomi Syariah. Dalam pembiayaan ijarah Fatwa yang menjadi landasan
adalah Fatwa DSN 09/DSN-MUI/IV/2000: Pembiayaan Ijarah.
Dalam fatwa ini disebutkan rukun-rukun ijarah dan syarat yang harus
dipenuhi agar akad menjadi sah. Rukun-rukun yang disebutkan tersebut adalah:
Sighat Ijarah, yaitu ijab dan qabul berupa pernyataan dari kedua belah pihak yang
berkontrak, baik secara verbal atau dalam bentuk lain. Pihak-pihak yang berakad
(berkontrak): terdiri atas pemberi sewa/pemberi jasa, dan penyewa/pengguna jasa.
Dan obyek akad Ijarah, yaitu: manfaat barang dan sewa; atau manfaat jasa dan
upah. Objek ijarah tersebut harus memnuhi kriteria berikut ini:
1. Obyek ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2. Manfaat barang atau jasa harus bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam
kontrak.
3. Manfaat barang atau jasa harus yang bersifat dibolehkan (tidak diharamkan).
4. Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syari'ah.
5. Manfaat harus dikenali secara spesifik sedemikian rupa untuk menghilangkan
jahalah (ketidaktahuan) yang akan mengakibatkan sengketa.
6. Spesifikasi manfaat harus dinyatakan dengan jelas, termasuk jangka waktunya.
Bisa juga dikenali dengan spesifikasi atau identifikasi fisik.
7. Sewa atau upah adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS
sebagai pembayaran manfaat. Sesuatu yang dapat dijadikan harga (tsaman)
dalam jual beli dapat pula dijadikan sewa atau upah dalam Ijarah.
8. Pembayaran sewa atau upah boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang
sama dengan obyek kontrak.
9. Kelenturan (flexibility) dalam menentukan sewa atau upah dapat diwujudkan
dalam ukuran waktu, tempat dan jarak.
85

Untuk menjami berjalannya akad Ijarah dengan baik maka ddijelaskan


mengenai kewajiban dari masing-masing Lembaga Keuangan Syariah dan nasabah:
Kewajiban LKS sebagai pemberi manfaat barang atau jasa adalah menyediakan
barang yang disewakan atau jasa yang diberikan, menanggung biaya pemeliharaan
barang dan menjamin bila terdapat cacat pada barang yang disewakan.
Sedangkan kewajiban nasabah sebagai penerima manfaat barang atau jasa
adalah membayar sewa atau upah dan bertanggung jawab untuk menjaga keutuhan
barang serta menggunakannya sesuai akad (kontrak), menanggung biaya
pemeliharaan barang yang sifatnya ringan (tidak materiil). Dan jika barang yang
disewa rusak, bukan karena pelanggaran dari penggunaan yang dibolehkan, juga
bukan karena kelalaian pihak penerima manfaat dalam menjaganya, ia tidak
bertanggung jawab atas kerusakan tersebut.
Apabila salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya sengketa yang ditetapkan
oleh fatwa ini adalah dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah tidak
tercapai kesepakatan melalui musyawarah.104

B.2.f. Berakhirnya Ijarah


Pada dasarnya perjanjian sewa-menyewa merupakan perjanjian yang lazim,
di mana masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian itu tidak mempunyai
hak untuk membatalkan perjanjian itu (tidak mempunyai hak Fasakh), karena jenis
perjanjian termasuk kepada perjanjian timbal balik (muáwadhah). Ijarah akan
menjadi batal (fasakh) bila ada hal-hal sebagai berikut :
a. Cacatnya barang sewaan yang terjadi ditangan penyewa.
b. Rusaknya barang yang disewakan, seperti rumah menjadi runtuh dan
sebagainya. jika bentuk barang sewaan adalah benda tetapi (‘Iqar), ia wajib
menyerahkan
c. Rusaknya barang yang diupahkan (ma’jur ‘alaih), seperti baju yang diupahkan
untuk dijahitkan.

104
http://hukum.unsrat.ac.id/inst/dsn2000_9_ijarah.pdf, diakses pada tanggal 24 Maret
2019, pukul 20:21 WIB
86

d. Terpenuhinya manfaat yang diakadkan, berakhirnya masa yang telah ditentukan


dan selesainya pekerjaan.
e. Menurut Hanafiyah, boleh fasakh Ijarah dari salah satu pihak, seperti yang
menyewa toko untuk dagang, kemudian dagangannya ada yang mencuri, maka
ia dibolehkan memfasakhkan sewaan itu.105
Jika Ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang
sewaan, jika barang itu dapat dipindahkan, ia wajib menyerahkannya kepada
pemiliknya, dan dalam keadaan kosong, jika barang sewaan itu tanah, ia wajib
menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong dari tanaman, kecuali bila
ada kesulitan untuk menghilangkannya. Para ulama fikih menyatakan bahwa akad
Ijarah akan berakhir apabila:
a. Apabila barang yang menjadi objek perjanjian merupakan barang yang bergerak,
seperti kendaraan.
b. Apabila obyek sewa menyewa dikualifikasikan sebagai barang tidak bergerak,
maka pihak penyewa berkewajiban mengembalikannya kepada pihak yang
menyewakan dalam keadaan kosong, maksudnya tidak ada harta pihak penyewa
di dalamnya, misal dalam perjanjian sewa menyewa rumah.
c. Jika yang menjadi obyek perjanjian sewa menyewa adalah barang yang
berwujud tanah, maka pihak penyewa wajib menyerahkan tanah kepada pihak
pemilik dalam keadaan tidak ada tanaman penyewa diatasnya.106

B.3. Multi Jasa


B.3.a. Pengertian Multi Jasa
Multi jasa terdiri dari dua kata, yaitu kata multi yang berarti banyak,
bermacam-macam dan kata jasa berarti perbuatan yang berguna atau bernilai bagi
orang lain, bermanfaat. Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 44/DSN-
MUI/VIII/2004, tentang pembiayaan multi jasa, bahwa salah satu bentuk pelayanan
jasa keuangan yang menjadi kebutuhan masyarakat adalah pembiayaan multi jasa,

105
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, 1st edn (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), 57.
106
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, 2004, 59.
87

yaitu pembiayaan yang diberikan Lembaga Keuangan Syariah (LKS) kepada


nasabah dalam memperoleh manfaat atas suatu jasa.107
Pembiayaan multi jasa adalah suatu kegiatan penyaluran dana dalam bentuk
pembiayaan akad ijarah, dalam penyaluran jasa keuangannya antara lain:
penyaluran jasa kesehatan, pendidikan, pernikahan dan lainlain. Dalam pemberian
pembiayaan multi jasa ini, bank syariah akan memperoleh imbalan jasa (ujrah) atau
fee (upah) menurut kesepakatan di awal dan dinyatakan dalam bentuk nominal
bukan persentase.108
Ijarah multi jasa biasanya digunakan untuk kepentingan-kepentingan jasa,
karena mudharabah dan musyarakah tidak bisa. Fatwa DSN MUI tentang
pembiayaan multi jasa merupakan upaya DSN MUI memberikan payunghukum
terhadap wilayah-wilayah yang tidak mudah. Sedangkan untuk memperhitungkan
ujrah/fee tidak ada batasnya, karena tidak ada ulama, ayat Al-Quran, Al-Hadis yang
membatasinya. Sehingga perhitungan ujrah/fee tergantung kesepakatan dan
kepatutannya. Hal tersebut merupakan cerminan kebijaksanaan Islam. Seperti
kaidah al ashlu al-muamal al ibahah. Menjadi penting adalah kesepakatan, saling
rela, tidak ada gharar, dan tidak ada penipuan. Dimana besarnya ujrah/fee tidak
boleh dikaitkan dengan besarnya tanggungan karena pekerjaannya hanya sekali.

B.2.b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ullama Indonesia Tentang


Multi Jasa
Landasan hukum yang digunakan dalam penerapan akad multi jasa di Indonesia
adalah Fatwa DSN 44/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Pembiayaan Multi jasa. Point-
point yang tercantum dalam fatwa tersebut dapat diringkas sebagai berikut:109
1. Pembiayaan multi jasa hukumnya boleh (jaiz) dengan menggunakan akad Ijarah
atau Kafalah.

107
Abdul Rohman Ghazaly, Fiqih Muamalah, 1st edn (Jakarta: Kencana Premedia Group,
2010), 284.
108
Serambi Indonesia, Hukum Transaksi Pembiayaan Multi Jasa, artikel diakses pada
tanggal 25 Maret 2019 pukul 20:37 WIB, dari www.serambinews.com
109
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fatwa DSN 44/DSN-
MUI/VIII/2004 Tentang Pembiayaan Multijasa, 2004.
88

2. Dalam hal LKS menggunakan akad ijarah, maka harus mengikuti semua
ketentuan yang ada dalam Fatwa Ijarah.
3. Dalam hal LKS menggunakan akad Kafalah, maka harus mengikuti semua
ketentuan yang ada dalam Fatwa Kafalah.
4. Dalam kedua pembiayaan multi jasa tersebut, LKS dapat memperoleh imbalan
jasa (ujrah) atau fee.
5. Besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal bukan dalam bentuk prosentase.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui
Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

C. Konsep Force majeure Dalam Hukum Ekonomi Syariah


C.1. Sengketa Ekonomi Syariah
Salah satu pemicu tingginya sengketa ekonomi syariah adalah tingginya
angka kredit macet di perbankan syariah.110 Strategi penyelesaian pembiayaan
bermasalah yang dilakukan berbankan melalui dua cara; pertama melanjutkan
hubungan dengan nasabah jika nasabah memiliki prospek usaha dan kooperatif.
Maka tahap yang akan ditempuh oleh perbankan adalah restruksi atas pembiayaan.
Strategi kedua dalam penanganan pembiayaan bermasalah adalah memutus
hubungan dengan nasabah. Hal ini dilakukan jika nasabah dinilai tidak koperatif
dan tidak memiliki prospek usaha. Maka penyelesaian sengketa dilakukan dengan
penyerahan agunan atau litigasi berupa penyerahan objek agunan dan laporan ke
pengadilan. 111
Dalam hukum penyelesaian sengketa perdata terutama bisnis dapat
dilakukan dengan cara non litigasi (penyelesaian sengketa diluar pengadilan)
ataupun litigasi (penyelesaian sengketa di pengadilan). Dalam Pasal 6 ayat 1
undang-undang nomor 30 tahun 1999, sebagaimana dikutip oleh Muhammad

110
Trisdayani Prasastinah Usanti, 'Penanganan resiko HukuM Bak Syariah', 2017, 101 .
111
Hatta Ali, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, 2018, 55
89

Rutabuz Zaman, 112 di jelaskan bahwa “sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang
didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi
di Pengadilan Negeri”. Alternatif penyelesaian sengketa ini dapat dilakukan melalui
lembaga arbitrase, mediasi atau lembaga alternatif lainnya.
Penyebab terjadinya sengketa ekonomi syariah adalah Perbuatan Melawan
Hukum (PMH) atau wanprestasi. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang
bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang.
Perbuatan yang menyebabkan orang lain menderita kerugian, mewajibkan siapa
yang bersalah karena menyebabkan kerugian itu harus mengganti kerugian tersebut
sebagaimana pada pasal 1365 KUH Perdata.113Sedangan Wanprestasi dapat
diartikan sebagai tidak terlaksannya prestasi karena kesengajaan atau kelalaian.114
Sebuah perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing sebagaimana yang telah diperjanjikan tanpa
ada pihak yang dirugikan. Namun adakalanya perjanjian tidak terlaksana dengan
baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. Adapun
yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau
kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan
dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. 115
Menurut Subekti wanprestasi dapat dibagi menjadi empat bentuk; tidak
melakukan yang disanggupi akad dilakukan dalam akad/perjanjian, melaksanakan
yang dijanjikan tapi tidak sebagaimana yang dijanjikan, terlambat dalam
melakukan apa yang telah disepakati dalam perjanjian, dan melakukan atau
mengerjakan sesuatu yang menurut akad tidak boleh untuk dilakukan.116

112
Muhammad Ruthabuz Zaman, 'Penyelesaian Sengketa Alternatif …', 2015, 21 .
113
P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, 1st edn (Jakarta: Interpranata
Mandiri, 2017), 3.
114
Hatta Ali. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, 2018, 108
115
Nindyo Pramono, Hukum Komersil, 2nd edn (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003),
221.
116
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 1985), 30.
90

Menentukan seorang nasabah wanprestasi tidaklah mudah. Banyak aspek


yang perlu diperhatikan dan dijadikan pertimbangan. Dalam menentukan masa
awal debitur dikatakan wanprestasi dapat dilihat dari awal waktu debitur tidak
melaksanakan isi perjanjian sebagaimana mestinya, sebagaimana dijelaskan dalam
KUHPedata: “Debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, atau dengan akta
sejenis itu, atau berdasarkan kekuatan dari perikatan sendiri, yaitu bila perikatan ini
mengakibatkan debitur harus dianggap Ialai dengan lewatnya waktu yang
ditentukan.” Bila tidak ditentukan batas waktunya maka diperlukan surat peringatan
(somasi) untuk menentukan nasabah wanpretasi.
Nasabah atau debitur yang telah dinyatakan wanprestasi dia akan dikenakan
sangsi membayar kerugian yang diderita kreditur, pembatalan perjanjian, peralihan
resiko, dan membayar biaya perkara apabila sampai diperkarakan dimuka hakim.
Nasabah juga dapat dituntut penggantian kerugian sebagaimana diterangkan dalam
KUH Perdata pasal 1243 “Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tak
dipenuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun telah
dinyatakan Ialai, tetap Ialai untuk memenuhi perikatan itu, atau jika sesuatu yang
harus diberikan atau dilakukannya hanya dapat diberikan atau dilakukannya dalam
waktu yang melampaui waktu yang telah ditentukan”
Yang dimaksud kerugian yang bisa dimintakan penggantian itu, tidak hanya
biaya-biaya yang sungguh-sungguh telah dikeluarkan (kosten), atau kerugian yang
sungguh-sungguh menimpa benda si berpiutang (schaden), tetapi juga berupa
kehilangan keuntungan (interessen), yaitu keuntungan yang didapat seandainya
siberhutang tidak lalai (winstderving). kerugian yang dapat dituntut adalah
kerugian yang ada kaitannya langsung dengan wanprestasi, atau yang memiliki
hubungan sebab akibat dengan wanprestasi. Menurut teori sebab akibat adequated
Veroorzaking (Von Kries), Menyatakan bahwa suatu peristiwa A adalah sebab dari
peristiwa B (peristiwa lain). Bila peristiwa A menurut pengalaman manusia yang
normal diduga mampu menimbulkan akibat (peristiwa B).117

117
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2005), 148.
91

Seorang debitur yang dituduh wanprestasi dapat membela dirinya, salah


satunya adalah dengan alasan overmach/force majeure/keadaan memaksa. nasabah
yang tidak mampu membuktikan dirinya tidak bersalah akan dinyatakan
wanprestasi, sebaliknya bagi debitur yang mampu membuktikan bahwa dia
mengalami force majeure. Keadaan memaksa adalah suatu keadaan yang terjadi
setelah dibuatnya perjanjian, yang menghalangi debitur untuk memenuhi
prestasinya, dimana debitur tidak dapat dipersalahkan dan tidak harus menanggung
resiko serta tidak dapat menduga pada waktu persetujuan dibuat. Keadaan memaksa
menghentikan bekerjanya perikatan dan menimbulkan berbagai akibat. Kreditur
tidak dapat lagi memintai pemenuhan prestasi, debitur tidak lagi dapat dinyatakan
wanprestasi, dan karenanya tidak wajib membayar ganti rugi, resiko tidak beralih
kepada debitur, Kreditur tidak dapat menuntut pembatalan pada persetujuan timbal-
balik.118
Menurut teori obyektif, debitur hanya dapat mengemukakan tentang
keadaan memaksa, jika pemenuhan prestasi bagi setiap orang mutlak tidak mungkin
dilaksanakan. Misalnya, penyerahan sebuah rumah tidk mungkin dilaksanakan
karena rumah tersebut musnah akibat bencana tsunami. Menurut teori subyektif
terdapat keadaan memaksa jika debitur yang bersangkutan mengingat keadaan
pribadinya tidak dapat memenuhi prestasinya. Misalnya, A pemilik industri kecil
harus menyerahkan barang kepada B, dimana barang-barang tersebut masih harus
dibuat dengan bahan-bahan tertentu, tanpa diduga bahan-bahan tersebut harganya
naik berlipat ganda, sehingga jika A harus memenuhi prestasinya ia akan menjadi
miskin. Dalam hal ini ajaran subyektif mengakui adanya keadaan memaksa. Akan
tetapi jika menyangkut industri besar maka tidak terdapat keadaan memaksa.

C.2. Prinsip Ta’zir Dalam Hukum Ekonomi Syariah


C.2.a. Pengertian dan Dalil-dalil Ta’zir
Yurisprodensi Islam Historis memberi penguasa Islam atau hakim-
hakimnya kekuasaan atau kebijaksanaan yang tersisa, apakah mempidanakan dan

118
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian (Jakarta: putra abadin, 1999), 18.
92

bagaimana menghukum apa yang mereka anggap perilaku tercela yang belum
tercantum dalam hudud dan jinayat (qisas). Formulasi hukum pidana yang telah
digariskan oleh para penguasa terdahulu patut menjadi pertimbangan demi
pengembangan dan pembaruan. Hanya saja garis besar dan tuntunan wewenang
ta’zir tersebut masih sangan samar dan dasarnya tidak valid karena sifatnya tidak
memadai upaya strukturisasi dan mengontrol Negara-negara modern yang
pluralistic.
Secara bahasa lafaz ta’zir berarti menolak dan melarang atau mencegah,
yang dengan adanya perbuatan keji dapat dihindarkan.119 Kata ta’zir berasal dari
kata ‫ عز ر‬yang sinonimnya ‫( ورد منع‬mencegah dan menolak), ‫( ادب‬mendidik), ‫عظم‬
‫( ووقر‬mengagungkan dan menghormati), dan ‫( ونص ۡر وقوي اعان‬menguatkan dan
menolong).120 Sedangkan secara istilah ada beberapa definisi yang dikemukan oleh
para ulama tentang ta’zir, diantaranya didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai
berikut: “ Ta’zir pemberian sanksi disiplin atas perbuatan dosa yang tidak
menhendaki berlakunya hudud”.121 Syaik Wahbah Zuhaili memberikan definisi
senada dengan definisi Al-Mawardi:
‫كفلرة ول فيها لحد جناية او معصية على المشروعة العقوبة‬
Ta’zir menurut istilah adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan
maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat.
Ta’zir berfungsi untuk melindungi undang-undang umum yang berlaku ditengah
masyarakat, dimana bentuk dan sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa
atau hakim.122 Ibrahim Unais dan kawan-kawan memberikan definisi ta’zir
menurut syara’ sebagai berikut:
‫ تاديب الشرعي ليبلغ الحد‬: ‫لتعزيرا شرعا‬
Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman pendidikan yang tidak mencapai
hukuman had syari.123

119
Ahmad Idris Syafii, ‘Fiqh Asy-Syafii’, in Fiqh, 585.
120
Ibrahim Unais, ‘Al-Mu’jam Al-Wasith,’ (Mesir: Dar at-Turas al-Arabi), 598.
121
Al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah, 2nd edn (Jakarta: Qisthi Pres, 2017), 405.
122
Wahbah Zuhaili, fiqhAl-Islam Wa Adillatuhu, 1989,765 .
123
Ibrahim Unais, Al-Mu’jam al-Wasith, tt, 598
93

Dari definisi-definisi yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa ta’zir


adalah suatu istilah untuk hukuman atas jarimah-jarimah yang hukumannya belum
ditetapkan oleh syara’. Di kalangan fuqaha, jarimah-jarimah yang hukumannya
belum ditetapkan oleh syara’ dinamakan dengan jarimah ta’zir. Jadi istilah ta’zir
bisa digunakan untuk hukuman dan bisa juga untuk jarimah (tindak pidana).
Dengan demikian ciri khas jarimah ta’zir adalah sebagai berikut:
1. Hukumannya tidak tertentu dan tidak terbatas, artinya hukuman tersebut belum
ditentukan oleh syara' dan ada batas minimal dan ada batas maksimal.
2. Penetapan hukuman tersebut adalah hak hakim .
Bisa dikatakan pula, bahwa ta’zir adalah suatu jarimah yang diancam
dengan hukuman ta’zir (selain had dan qishash diyat). Pelaksanaan hukuman ta’zir,
baik yang jenis larangannya ditentukan oleh nas atau tidak, baik perbuatan itu
menyangkut hak Allah atau hak perorangan, hukumannya diserahkan sepenuhnya
kepada hakim. Hukuman dalam jarimah ta’zir tidak ditentukan ukurannya atau
kadarnya, artinya untuk menentukan batas terendah dan tertinggi diserahkan
sepenuhnya kepada hakim (penguasa). Dengan demikian, syariah mendelegasikan
kepada hakim untuk menentukan bentuk-bentuk dan hukuman kepada pelaku
jarimah.124
Hukuman diberikan selain sebagai pembuat jera bagi yang dihukum, juga
sebagai upaya pencegahan. Hal itu pernah dijelaskan Emile Durkheim,
sebagaimana dikutip oleh Nurhayati,125 bahwa hukuman merupakan suatu cara
untuk mencegah berbagai pelanggaran terhadap aturan. Jadi jelas, bahwa hukuman
bertujuan untuk perbaikan kesalahan yang dilakukan seseorang serta memberi
motivasi sebagai upaya edukasi. Demikian halnya dengan ta’zir, dilakukan untuk
memberikan peringatan serta upaya pencegahan dari berbagai pelanggaran. Namun,
jarimah ta’zir dalam Al-Quran dan Hadis tidak ada yang menyebutkan secara
terperinci, baik dari segi bentuk maupun hukumnya.
Dasar hukum disyariatkannya sanksi bagi pelaku jarimah ta’zir adalah al-
ta’zir yadurru ma’a al-maslahah artinya hukum ta’zir didasarkan pada

124
Ibrahim Unais, Al-Mu’jam al-Wasith, tt, 598
125
Nurhayati, ‘Ta’zir Dalam Hukum Islam,’ Igilib.UINSbyd, 2016.
94

pertimbangan kemaslahatan dengan tetap mengacu kepada prinsip keadilan dalam


masyarakat. Menurut Sharbini al-Khatib, bahwa ayat Al-Quran yang dijadikan
landasan adanya jarimah ta’zir adalah :
1. Al-Quran surat Al-Fath ayat 8-9:
ۡۡۡ‫صيل‬ َ ُ ‫سو ِلِۦهۡ َوت ُ َع ِز ُرو ۡهُۡ َوتُ َوق ُِرو ۚۡهُۡ َوت‬
ِ َ ‫س ِب ُحو ۡهُۡبُك َر ٗۡةۡ َوأ‬ َِّۡ ‫ِيراۡ ِلتُؤمِ نُواۡۡ ِب‬
ُ ‫ٱّللۡ َو َر‬ َ َٰ َۡۡ‫سل َٰنَك‬
ٗ ‫ش ِهدٗ اۡ َو ُم َبش ِٗراۡ َونَذ‬ َ ‫ِإنَّۡا ٓۡأَر‬
Sesungguhnya Kami mengutus kamu (Muhammad) sebagai saksi, pembawa
berita gembira dan pemberi peringatan. Agar kamu semua beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya, menguatkan (agama)Nya, membesarkan-Nya. dan bertasbih
kepada-Nya di waktu pagi dan petang. Dari ayat di atas sebagian ulama
menterjemahkan watu’azziruhu sebagai upaya peneguhan agama yang tentunya
untuk mencapai ridha Allah SWT. Agama biasanya dipahami semata-mata
membicarakan urusan spiritual, karenanya ada ketegangan antara agama dan
hukum. Hukum utuk memenuhi kebutuhan sosial dan karenanya mengabdi kepada
masyarakat untuk mengontrolnya dan tidak membiarkannya menyimpang dari
kaedahnya, yaitu norma-norma yang ditentukan oleh agama. Sementara dalam
kaidah ushul fikih manusia sebagai pemegang amanah harus dapat membawa
kemaslahatan.126
2. Hadis Riwayat Bukhari Muslim
Mengenai hukuman ta’zir banyak terdapat dalam beberapa hadis antara lain
hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Burdah :
َ‫ ) الَ يجلَد فَوق‬:‫ّللا صلى هللا علیه وسلم يَقول‬ َ ‫اري ِ رضي هللا عنه أَنه‬
ِ َ ‫سمِ َع َرسو َل‬ ِ ‫ص‬َ ‫عن أ َ ِبي بردَة َ اَأل َ ن‬
َ
‫علَی ِه‬ ِ َ ‫ ِإال فِي َح ِد مِ ن حدو ِد‬, ٍ‫عش ََر ِة أَس َواط‬
َ ‫ّللا ) مت َف ٌق‬ َ
Dari Abu Burdah Al-Anshari Ra. katanya dia mendengar Rasulullah Saw
bersabda : “Sesorang tidak boleh didera lebih dari sepuluh kali, melainkan hukuman
yang telah nyata ditetapkan Allah, seperti hukuman bagi orang berzina dan
sebagainya. 127
Hadis ini menyebutkan ta’zir dengan hukuman yang belum
ditetapkan oleh Allah, dan memberikan Batasan hukuman terhadap jarimah yang
belum ada hukumnya.

Nurhayati, Ta’zir dalam Hukum Islam, (digilib.UINSby, 2016), 25


126

Ibnu Hajar Al-Asqalany, ‘Terjemah Bulughul Maram’, in Bulughul Maram (Bandung:


127

CV. Penerbit Diponegoro, 2002), 576-577.


95

3. Hadis yang Riwayatkan oleh Aisyah :


َ َ‫عثَ َراتِ ِهم إِال اَلحدود‬ ِ ‫ ) أَقِیلوا ذَ ِوي اَل َهیئ َا‬:َ‫عن َها أَن اَلنبِي صلى هللا علیه وسلم قَال‬
َ ‫ت‬ َ ‫ي َّللا‬ َ ‫ض‬ ِ ‫شةَ َر‬
َ ِ‫عائ‬
َ ‫عن‬ َ ‫َو‬
) ‫ فَأ َ ِجد فِي‬,‫ فَیَموت‬,‫علَى أ َ َح ٍد َحدًّا‬
َ ‫ِیم‬َ ‫ ) َما كنت ِألق‬:َ‫علِي ٍ رضي هللا عنه قَال‬َ ‫عن‬ َ ‫ َو‬.‫ي‬ َ ‫ َوالن‬,َ‫َر َواه أَبو دَاود‬
ُّ ِ‫سائ‬
‫ي‬ ِ ‫ب الخَم ِر; فَإِنه لَو َماتَ َودَيته ) أَخ َر َجه اَلبخ‬
ُّ ‫َار‬ َ ‫َار‬
ِ ‫ ِإال ش‬,‫نَفسِي‬
Dari aisyah Ra. Nabi Saw. bersabda: “Ampunilah orang-orang yang baik
dari ketergelinciran (berbuat salah yang tidak disengaja) mereka, kecuali melanggar
had.” Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Nasa’i dan Baihaqi. Ali Ra. berkata: Aku tidak
menjalakan had kepada seseorang kemudian ia mati dan aku berduka cita, kecuali
peminum arak. Sesungguhnya jika ia mati, akan kubayar dendanya.

C.2.b. Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia Tentang


Ta’zir
Salah satu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN
MUI) adalah Fatwa tentang sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda
pembayaran. Prinsip yang digunakan oleh Dewan Syariah Nasional dalam fatwa
sanksi atas nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran adalah prinsip ta’zir.
Fatwa ini tertuang dalam Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 17/DSN-
MUI/IX/2000 tentang Sanksi atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda
Pembayaran. Fatwa ini berisikan enam point yang tertera pada bagian keputusan.
Enam point tersebut adalah:
Sanksi yang disebutkan dalam fatwa ini adalah sanksi yang dikenakan LKS
kepada nasabah yang mampu membayar, tetapi menunda-nunda pembayaran
dengan disengaja.
1. Nasabah yang tidak/belum mampu membayar disebut force majeure tidak boleh
dikenakan sanksi.
2. Nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran dan/atau mempunyai
kemauan dan itikad baik untuk membayar hutangnya boleh dikenakan sanksi.
3. Sanksi didasarkan pada prinsip ta’zir, yaitu bertujuan agar nasabah lebih
disiplindalam melaksanakan kewajiban.
4. Sanksi dapat berupa denda sejumlah uang yang besarnya ditentukan atas dasar
kesepakatan dan dibuat saat akad ditandatangani.
96

5. Dana yang berasal dari denda diperuntukan sebagai dana sosial.128


Dengan memperhatikan Fatwa ini DSN MUI juga telah mengeluarkan
Fatwa Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang ganti rugi )ta’widh). Isi fatwa
tersebut adalah:129
1. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang dengan sengaja atau
karena kelalaian melakukan sesuatu yang menyimpang dari ketentuan akad dan
menimbulkan kerugian pada pihak lain.
2. Kerugian yang dapat dikenakan ta'widh sebagaimana dimaksud dalam ayat 1
adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas.
3. Kerugian riil sebagaimana dimaksud ayat 2 adalah biaya-biaya riil yg
dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang seharusnya dibayarkan.
4. Besar ganti rugi (ta`widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian riil (real loss)
yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi tersebut dan bukan kerugian yang
diperkirakan akan terjadi (potential loss) karena adanya peluang yang hilang
(opportunity loss atau al-furshah al-dha-iah).
5. Ganti rugi (ta`widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) yang
menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna' serta murabahah dan
ijarah.
6. Dalam akad Mudharabah dan Musyarakah, ganti rugi hanya boleh dikenakan
oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam musyarakah apabila bagian
keuntungannya sudah jelas tetapi tidak dibayarkan.
Selain itu dalm fatwa ini ditambahkan beberapa ketentuan khusus yang
perlu diperhatikan oleh Lembaga Keuangan Syariah:
1. Ganti rugi yang diterima dalam transaksi di LKS dapat diakui sebagai hak
(pendapatan) bagi pihak yang menerimanya.
2. Jumlah ganti rugi besarnya harus tetap sesuai dengan kerugian riil dan tata
cara pembayarannya tergantung kesepakatan para pihak.

128
DSN-MUI, ‘Fatwa DSN-MUI Nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Nasabah Mampu
Yang Menunda-Nunda Pembayaran’.
129
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fatwa Ini DSN MUI
Juga Telah Mengeluarkan Fatwa Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi (Ta’widh).
(Jakarta, 2004).
97

3. Besarnya ganti rugi ini tidak boleh dicantumkan dalam akad.


4. Pihak yang cedera janji bertanggungjawab atas biaya perkara dan biaya lainnya
yang timbul akibat proses penyelesaian perkara.

C.2.c. Analisis Prinsip Ta’zir Dalam Hukum Ekonomi Syariah


Pada wilayah ta’zir ini sangat terbuka lebar untuk mengadopsi
perkembangan hukum pidana modern yang sedang berlaku di dunia. Al-
Jaziri menuliskan bahwa ta’zir ini memiliki lingkup kajian yang cukup luas, yang
memungkinkan hakim untuk menentukan segala bentuk jarimah yang tidak
disentuh oleh ḥad dan kafarah. Hanya saja dalam penerapan hukumannya,
hakim senantiasa harus menyesuaikan hukuman yang ditetapkan-apakah penjara,
cambuk, penyitaan dengan lingkungan (al-biáh) pelaku dan korban. Demikian
juga pernyataan Abdul Azizi Amir ahli hukum pidana Mesir, menyatakan bahwa
ruang lingkup tindak pidana ta’zir itu amat luas, baik yang berkaitan dengan hak
Allah Swt. maupun hak pribadi, sehingga tidak ada satu nash (ayat atau hadis) pun
yang menunjuk jumlah dan batasan jarimah ta’zir. Tentu saja, implikasinya
adalah posisi ijtihad hakim di wilayah ini menjadi mutlak penting.130
Sebagaimana dijelaskan dalam fatwa DSN MUI nomor 17 tahun 2000
tentang nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran bahwa konsep ta’zir
dalam Islam ini juga digunakan dalam penyelesaian perkara perdata. Hal ini
disebabkan karena kebebasan dan keluasan cakupan dari jarimah ta’zir ini.
Sengketa adalah timbulnya perbedaan kepentingan di antara para pihak berupa
perbedaan hak-hak dan kewajiban-kewajiban perdata, yang diatur dalam hukum
perdata materil, baik berupa wanprestasi ataupun perbuatan melawan hukum.
Menurut Soerjono Soekanto, sebagaimana dikutip oleh Sufiarina;131
“Sengketa ialah ketidakserasian antara pribadi-pribadi atau kelompok-kelompok
yang mengadakan hubungan karena hak salah satu pihak terganggu atau dilanggar”.
Berarti sengketa merupakan perbedaan kepentingan para pihak mengenai hak-hak

130
Azhari Akmal Tarigan, Ta’zir dan Wewenang Pemerintah Dalam Penerapannya,
(Ahkam, Volume 17, Number 1, 2017), 155
131
Sufiarina, ‘Urgensi Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi
Syariah’, Hukum Dan Pembangunan, 43.2 Maret-April 2013), 218.
98

dan kewajiban yang belum dapat diselesaikan. Secara umum, penegakan hukum
atas sengketa perdata dapat diselesaikan secara damai di luar pengadilan
(nonlitigasi) dengan cara negosiasi, mediasi dan arbitrase, atau melalui pengadilan
(litigasi) dengan cara mengajukan gugatan. Menurut Darwan Prints, gugatan adalah
suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk
melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita
oleh penggugat melalui putusan pengadilan.
Prof. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa gugatan itu adalah
tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri
(eigenrichting). Dengan demikian gugatan merupakan suatu permohonan yang
disampaikan kepada pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap
pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut.
Dalam hal gugatan kepada pengadilan selalu ada pihak penggugat atau para
penggugat, tergugat atau para tergugat dan turut tergugat atau para turut tergugat.
Cara penyelesaian sengketa lewat pengadilan tersebut diatur dalam hukum acara
perdata. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum
acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus
bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata.132
Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa objek dari pada ilmu hukum
acara perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan
mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materil dengan perantaraan
kekuasaan negara yang terjadi di pengadilan. Abdul Manan menyatakan bahwa
hukum acara perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara
mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak tergugat
mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim bertindak
baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim

132
Sufiarina, ‘Urgensi Pengadilan Agama..’, 2013, 218
99

memutus perkara yang diajukan oleh penggugat tersebut serta cara bagaimana
melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan
yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban yang telah diatur dalam hukum perdata
dapat berjalan sebagaimana mestinya, hukum acara perdata ini diharapkan para
pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh
pihak lain melalui pengadilan.133
Pasal 55 Undang-undang Perbankan Syariah sebagai undang-undang
menentukan Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang untuk
menyelesaikan sengketa perbankan syariah, namun demikian UU perbankan
syariah secara eksepsional memberikan kewenangan lain melalui perjanjian,
dimana sengketa perbankan syariah dapat ditangani dengan musyawarah, mediasi
perbankan, badan arbitrase Syariah Nasional atau lembaga arbitrase lain serta
melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.134
Perluasan Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama merupakan salah satu
kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam
sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Pengadilan Agama. Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Dengan demikian
keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang
beragama Islam. Setelah Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 diperbaharui dengan
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah,
hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan
agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat
dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 adalah ‚ Pengadilan Agama
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang

133
Sufiarina, ‘Urgensi Pengadilan Agama..”2013 ), 218.
134
Ahmad Khotibul Umam, ‘Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di
Indonesia’, Risalah, 1.1, 2.
100

beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam undang-


undang ini.135
Dalam memberikan kebijakan yang terstruktur dan sistematis, sebuah
institusi seringkali membuat peraturan yang menjadi pedoman pelaksanaan untuk
mengatur mekanisme kerjanya. Sebuah Lembaga keuanga syariah yang melayani
fasilitas dalam hal pembiayaan tentunya mempunyai aturan-aturan baku tentang
sistem dan mekanisme pembiayaan bagi anggotanya. Hal itu dilakukan dalam
upaya memberikan pelayanan yang memuaskan, akan tetapi terkadang aturan yang
diterapkan tidak dapat berlaku maksimal dan sesuai dengan harapan. Salah satu
persoalan yang membuat ketidakmaksimalan pelayanan itu disebabkan oleh
kurangnya kerjasama anggota dalam mengembalikan angsuran pembiayaan
seringkali terlambat, baik itu disengaja atau tidak. Dalam bingkai inilah sebuah
denda atau sanksi dirasa perlu dibuat dan diberlakukan.
Dalam hal ini fatwa DSN menyatakan bahwa denda boleh dikenakan
terhadap nasabah yang menunda pembayaran dengan sengaja. Sedangkan anggota
yang tidak atau belum mampu membayar disebabkan force majeure tidak boleh
dikenakan denda. Namun dalam hukum perdata Islam (hukum muammalat) tidak
diatur secara lebih khusus, sehingga dalam pandangan penyusun, persoalan ini
membuka peluang untuk mencari hukum yang sesuai dengan hukum Islam. Di satu
sisi hukum berlaku tegas namun disisi lain tidak terlalu memberatkan.136
Dalam muammalat disebutkan bahwa segala sesuatu dalam kerjasama
tergantung pada kesepakatan dan ketentuan yang dibuat dalam akad, dengan
persyaratan yang telah disepakati atas rela sama rela, tidak bertentangan dengan
maslahah (tidak merugikan atau membahayakan kedua belah pihak), dan tidak
bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunah. Umat Islam diperintahkan untuk
memenuhi perjanjian, transaksi, persyaratan dan menunaikan amanah. Jika
memenuhi perjanjian adalah perkara yang diperintahkan, maka memberlakukan
persyaratan tertentu (seperti denda) adalah sah. Hal ini berdasarkan hadits masyhur

135
Ahmad Khotibul Umam, ‘Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia’, 2016, 3.
136
Moch. Endang Djunaeni dan Maulana Yusuf, ‘Analisis Penerapan Denda Di Lembaga
Keuangan Syariah Perspektif Hukum Islam’, Al-Amwal, 9.2 (2017).
101

riwayat Abu Hurairah, bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “kaum muslimin


berkewajiban melaksanakan perysaratan yang telah disepakati “. Persyaratan yang
dimaksud hadis tersebut ialah kewajiban sesuatu yang pada asalnya memang mubah
, tidak wajib dan tidak pula haram. Segala sesuatu yang hukumnya mubah akan
berubah menjadi wajib, jika terdapat persyaratan. Dan kaum muslimin
berkewajiban memenuhi persyaratan yang telah disepakati bersama, kecuali
persyaratan yang menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.137
Oleh karena itu, ulama yang membolehkan denda menetapkan dua syarat.
Pertama, denda tersebut tidak boleh disyaratkan diawal akad, untuk
membedakannya dengan riba jahiliyyah (riba nasiah). Kedua, denda hanya
diberlakukan bagi orang yang mampu tapi menunda pembayaran. Denda tidak
berlaku bagi orang miskin atau orang yang sedang dalam kesulitan.138
Dalam Syariah Islam penyelesaian sengketa sangat dianjurkan melalui jalan
musyawarah dan perdamaian, namun jika perkara tersebut sudah tidak bisa
diselesaikan secara damai maka dapat diselesaikan melalui pengadilan. Dalam
penyelsaian sengketa perbankan syariah di pengadilan agama, hakim dalam hal ini
harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini sudah ada fatwanya, yaitu
fatwa Nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang
Menunda-nunda Pembayaran, namun keabsahan hukumnya hingga saat ini di
kalangan ulama masih kontroversial. 139
Disatu sisi pihak terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi
berupa denda sejumlah uang terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi
semacam itu dianggap mengandung unsur riba yang secara qat’i dilarang syariat
sementara hal mendasar yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional
justru unsur yang mengandung riba itu sendiri. Dipihak lain, terdapat ulama yang
mendukung pemberian sanksi semacam itu terhadap nasabah tersebut karena
beralasan untuk menegakkan maqasid asy-syariah. Berkaitan dengan hal itu jika
dihadapkan dengan kasus-kasus semacam itu hakim dituntut berhati-hati dan

137
Moch. Endang Djunaeni dan Maulana Yusuf, ‘Analisis Penerapan Denda..’, 2017,
138
Moch. Endang Djunaeni, Maulana Yusuf, ‘Analisis Penerapan Denda..’, 2017
139
Salim HS, Hukum Kontrak : Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak, 1st edn (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), 7.
102

secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan prinsip
syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan
khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.140 Mengatur keamanan
pelaksanaan ta’zir yang berbentuk denda ini Dewan Syariah Nasional telah
mengaturnya dalam fatwa nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi
(Ta’widh).
Pertimbangan-pertimbanagn yang diambil oleh Dewan Syariah Nasional
dalam metetapkan fatwa tersebut adalah sebagai berikut: bahwa lembaga keuangan
syariah (LKS) beroperasi berdasarkan prinsip syariah untuk menghindarkan praktik
riba atau praktik yang menjurus kepada riba, termasuk masalah denda finansial
yang biasa dilakukan oleh lembaga keuangan konvensional; namun demikian para
pihak yang melakukan transaksi dalam LKS terkadang mengalami resiko kerugian
akibat wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran oleh pihak
lain yang melanggar perjanjian; sedangkan syariat Islam melindungi kepentingan
semua pihak yang bertransaksi, baik nasabah maupun LKS, sehingga tidak boleh
ada satu pihak pun yang dirugikan hak-haknya. Kerugian yang benar-benar dialami
secara riil oleh para pihak dalam transaksi wajib diganti oleh pihak yang
menimbulkan kerugian tersebut. Maka karena masyarakat, dalam hal ini para pihak
yang bertransaksi dalam LKS meminta fatwa kepada DSN tentang ganti rugi akibat
penunda-nundaan pembayaran dalam kondisi mampu. Dalam upaya melindungi
para pihak yang bertransaksi, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang
ganti rugi )ta’widh) untuk dijadikan pedoman.141
Dengan mempertimbangkan ayat-ayat Al-Quran, hadis nabi Saw. Dan juga
pendapat ulama maka DSN MUI memutuskan fatwa sebagaimana telah dikutip
pada pembahasan Fatwa tentang ta’zir.

140
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan
Syariah, 1st edn (Yogyakarta: Politea Press, 2008), 6.
141
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fatwa Ini DSN MUI
Juga Telah Mengeluarkan Fatwa Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi (Ta’widh).
103

C.3. Force majeure Dalam Hukum Ekonomi Syariah


C.3.a. Pengertian Force majeure
Sebuah kontrak membentuk suatu entitas privat di antara para pihak di mana
masing-masing pihak memiliki hak secara yuridis untuk menuntut pelaksanaan
serta kepatuhan terhadap pembatasan-pembatasan yang telah disepakati oleh pihak
yang lain secara sukarela. Hubungan hukum yang lahir melalui kontrak tidak selalu
terlaksana maksud dan tujuannya, keadaan tersebut dapat terjadi akibat wanprestasi
baik itu dilakukan oleh kreditur maupun debitur, adanya paksaan, kekeliruan,
perbuatan curang, maupun keadaan yang memaksaan atau dikenal dengan force
majeure atau overmacht. Konsekuensi yang muncul dari keadaan ini menyebabkan
suatu perjanjian (kontrak) dapat dibatalkan dan yang batal demi hukum.142
Berkaitan dengan force majeure atau keadaan memaksa dan lazimnya
ditujukan terhadap suatu peristiwa yang berada di luar jangkauan manusia untuk
menghindar dari peristiwa tersebut, merupakan konsep hukum yang berasal dari
hukum Roma (vis motor cui resisti non potest) yang diadopsi dalam berbagai
macam sistem hukum. Doktrin dalam common law memaknai kata ini sebagai suatu
ketidakmampuan untuk melakukan sesuatu prestasi terhadap suatu kontrak, dengan
dianalogikan tetapi tidak identik dengan force majeure. Force majeure merupakan
salah satu konsep dalam hukum perdata dan diterima sebagai prinsip dalam hukum.
Mochtar Kusuma Atmadja menyatakan bahwa force majeure atau vis major dapat
diterima sebagai suatu alasan untuk tidak memenuhi pelaksanaan kewajiban karena
hilangnya/lenyapnya objek atau tujuan yang menjadi pokok perjanjian. Keadaan ini
ditujukan terhadap pelaksanaan secara fisik dan hukum, bukan dikarenakan hanya
kesulitan dalam melaksanakan kewajiban. Mieke Komar Kantaatmadja
memberikan pandangan senada yaitu:143
Perubahan suatu keadaan tidak terdapat pada waktu pembentukan
perjanjian. Perubahan tersebut perihal suatu keadaan yang fundamental bagi

142
Muhammad Rifqi dan Parman Komarudin Hidayat, ‘Tinjauan Hukum Kontrak Syariah
Terhadap Ketentuan Force Majeure Dalam Hukum Perdata’, Jurnal Ilmu Hukum Dan Pemikiran,
17.1 (2017).
143
Muhammad Rifqi dan Parman Komarudin Hidayat, ‘Tinjauan Hukum Kontrak Syariah
Terhadap Ketentuan Force Majeure..’, 2017
104

perjanjian tersebut. Perubahan tersebut tidak dapat diperkirakan sebelumnya oleh


para pihak. Akibat perubahan tersebut haruslah radikal, sehingga mengubah luas
lingkup kewajiban yang harus dilakukan menurut perjanjian itu.
Force majeure ( / ˌ f ɔːr s m ɑː ʒ ɜːr , - m ə ʒ ɜːr / Forss mah- ZHUR , -⁠mə-
ZHUR ; Perancis: [fɔʁs maʒœʁ] ) - atau vis utama ( Latin ) - yang berarti "superior
force ", juga dikenal sebagai cas fortuit (Prancis) atau casus fortuitus (Latin)"
kebetulan, kecelakaan tak terhindarkan ", adalah klausa umum dalam kontrak yang
pada dasarnya membebaskan kedua belah pihak dari pertanggungjawaban atau
kewajiban ketika peristiwa luar biasa atau keadaan di luar kendali para pihak,
seperti perang, pemogokan, kerusuhan, kejahatan, atau peristiwa yang dijelaskan
oleh istilah hukum tindakan Tuhan act of God ( badai, banjir, gempa bumi, letusan
gunung berapi, dll. ), mencegah satu atau kedua pihak dari memenuhi kewajiban
mereka berdasarkan kontrak. Dalam praktiknya, sebagian besar klausa force
majeure tidak memaafkan non-kinerja partai sepenuhnya, tetapi hanya
menangguhkannya selama durasi force majeure.144
Dalam bahasa Arab force majeure dikenal dengan istilah ‫القوة القاهرة‬
(kekuatan yang memaksa). Secara bahasa ‫ القوة‬berasal dari kata ‫ قوه – قوي‬yang
berarti memiliki kekuatan dan kemampuan untuk melakukan sesuatu. Sedangkan
‫ القاهرة‬berasal dari kata ‫ قهر‬dan masdarnya ‫ قهرا‬yang berarti menaklukan. Sedangkan
dalam istilah fikih islam, ulama terdahulu belum menggunakan istilah force
majeure. Tapi mereka telah menggunakan pemahaman dari force majeure ini dan
mengistilahkannya dengan “mengandung hubungan atau kaitan”. Mereka
mengatakan mustahil untuk melaksanakan akad yang bersifat mengikat untuk
kedua belah pihak jika salah satu pihaknya mengalami kondisi force majeure, yang
menghancurkan perikatan, dan kewajiban ini menjadi batal dan akad berakhir dari
pihak A sehingga akad menjadi fasakh. Dalam kondisi ini barang atau objek akad
mengandung kehancuran, baik keseluruhan ataupun sebagian,permanen atau

144
https://en.wikipedia.org/wiki/Force_majeure, diakses pada tanggal 19 April 2019,
pukul 16:46 WIB
105

sementara, dan sama halnya dalam akad jual beli, sewa menyewa atau yang
lainnya.145
Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa”
merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan
prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya
kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan,
sementara debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk. Dalam hukum
perdata Indonesia force majeure di atur dalam KUH Pedata Pasal 1244, Pasal 1245
dan Pasal 1545.146
Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan :147 ” Dalam hal ini, kejadian-
kejadian yang merupakan force majeure tersebut tidak pernah terduga oleh para
pihak sebelumnya. Sebab, jika para pihak sudah dapat menduga sebelumnya akan
adanya peristiwa tersebut maka seyogianya hal tersebut harus sudah dinegosiasi di
antara para pihak”. Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force
majeure tersebut tidak termasuk ke dalam asumsi dasar (basic asumption) dari para
pihak ketika kontrak tersebut dibuat.
Pasal 1245 KUH Perdata :148 “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus
digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak
disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang
terlarang”.
Pasal 1545 KUH Perdata:149 “Jika barang tertentu, yang telah dijanjikan
untuk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka persetujuan dianggap

145
Khalid Ali Sulaiman, ‘Al-Farqu Baina Quwah Al-Qahirah Wa Al-Quwah Al-Tharaí’,
Al-Majalah Al-Ardaniyah Fi Dirasat Al-IsLamiyah, 2 (2006)
<www.researchgate.net/publication/327766171_alfrq_byn_alqwt_alqahrt_wnzryt_alzrwf_altaryt_
drast_fqhyt_mqarnt_balqanwn>, 2.
146
Yuna Elis, ‘Force Majeure Dan Akibat Akibat Hukum’, Academia
<https://www.academia.edu/9857279/FORCE_MAJEURE_DAN_AKIBAT-
AKIBAT_HUKUMNYA?auto=download>.
147
‘Kitab Undang Undang Hukum Perdata’, in Buku III (Tentang Perikatan).
148
‘Kitab Undang Undang Hukum Perdata’, in Buku III (Tentang Perikatan).
149
‘Kitab Undang Undang Hukum Perdata’, in Buku III (Tentang Perikatan).
106

gugur dan pihak yang telah memenuhi persetujuan dapat menuntut kembali barang
yang telah ia berikan dalam tukar-menukar”.
Dari pemaparan 3 pasal KUH Perdata di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa Peristiwa tersebut dapat berupa hal yang menimpa pribadi debitur itu sendiri
(force majeuree subjektif) misalnya debitur ditimpa penyakit yang sangat berat
sehingga tidak dapat berprestasi lagi, atau yang merusak dan atau memusnahkan
objek kontrak yang dimaksudkan (force majeure objektif). Maka dalam hal ini,
debitur tidak dapat dianggap wanprestasi dan tidak dapat dituntut membayar ganti
rugi selama debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.
Berdasarkan ketiga pasal diatas juga dapat dipahami bahwa secara umum
ada tiga syarat diakuinya suatu peristiwa sebagai force majeure, yaitu: Peristiwa
yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut tidak diduga sebelumnya oleh
para pihak. Yang kedua Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure
tersebut terjadi diluar kesalahan para pihak. Dan yang ketiga Para pihak tidak dalam
keadaan beriktikad buruk. Apabila ketiga syarat force majeure diatas telah
terpenuhi, maka secara prinsip debitur tidak dapat dianggap wanprestasi karena
gagal melaksanakan kontraknya.150
Sedangkan menurut Rahmat S.S. Soemadipradja dalam bukunya,
“Penjelasan Hukum dalam Keadaan Memaksa (Syarat-syarat pembatalan
perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa/force majeure)”, menyebutkan
unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut : Peristiwa yang tidak
terduga, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, tidak ada itikad buruk
dari debitur, adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur, keadaan itu
menghalangi debitur berprestasi, jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena
larangan, keadaan di luar kesalahan debitur, debitur tidak gagal berprestasi
(menyerahkan barang), kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik
debitur maupun pihak lain). Dan debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau
kelalaian.151

150
Tommi Ricky Rosandy, ‘Force Majeure Dalam Kontrak Bisnis’, 2011 , 5,
<https://tommirrosandy.wordpress.com/2011/02/25/force-majeure-dalam-kontrak-bisnis/>.
151
Agri Chairunisa Isradjuningtias, ‘Force Majeur (Overmatch) Dalam Hukum Perjanjian
Indonesia’, Academia, 136.
107

Jika dilihat dari segi kemungkinan pelaksanaan prestasi dalam kontrak,


Force majeure dapat diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu:
1. Force majeure absolut. sebuah force majeure dikatakan bersifat absolut jika
sampai kapanpun suatu prestasi yang terbit dari kontrak tidak mungkin
dilakukan lagi. Misalnya jika barang yang merupakan objek dari kontrak
tersebut telah musnah akibat terbakar diluar kesalahan debitur.
2. Force majeure relatif. Maksudnya yaitu suatu force majeure dimana pemenuhan
prestasi secara normal tidak mungkin dilakukan, walaupun jika dipaksakan
masih mungkin dilakukan. Misalnya terhadap kontrak impor-expor dimana
setelah kontrak dibuat terdapat larangan impor atas barang itu. Dalam hal ini
barang tersebut tidak mungkin lagi diserahkan (diimpor), walaupun sebenarnya
masih dapat dikirim melalui jalan penyeludupan misalnya. Dalam hal ini dapat
dikatakan bahwa kontrak masih mungkin dilaksanakan, tetapi sudah tidak
praktis lagi. Hal ini juga biasa disebut dengan istilah impracticability
(ketidakpraktisan).152

C.3.b. Landasan Hukum Force majeure


1. Al-Quran Surat Al-Maidah Ayat: 1
ۡ
ۡ ...ۡ‫َٰيَٓأَيُّ َهاۡٱلَّذِينَۡۡ َءا َمنُ ٓواۡۡأَوفُواۡۡبِٱلعُقُو ِۚۡد‬
2. Al-Quran Surat Al-Isra’ Ayat : 34
ٗ ُٔٔۡ‫ۥۚۡ َوأَوفُواۡ ِبٱل َعه ُِۖدۡ ِإ َّنۡٱل َعهدَۡ َكانَ ۡ َمس‬...
ۡ ۡۡ‫ول‬
3. Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat : 194

ۡ َۡۡۡ‫ٱّللۡ َم َۡعۡٱل ُمتَّقِين‬ َّۡ َ ‫ٱّللۡ َوٱعلَ ُم ٓواۡۡأ‬


ََّۡ ۡ‫ن‬ ََّۡ ۡۡ‫علَي ُك ۚۡمۡ َوٱت َّۡقُوا‬ ِۡ ‫علَۡي ِۡهۡبِمِ ث‬
َٰۡ َ‫لۡ َماۡٱعتَد‬
َ ۡ‫ى‬ َ ۡۡ‫علَي ُكمۡۡفَٱعتَدُوا‬
َ ۡ‫ى‬ ِۡ ‫ۚۡفَ َم‬...
َٰۡ َ‫نۡٱعتَد‬
4. Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat :279-280
ۡ َۡۡۡ‫صدَّۡقُواۡۡخَيرۡۡلَّ ُكمۡۡ ِإنۡ ُكنتُمۡۡت َعلَ ُمون‬
َ َ ‫س َر ۚۡةۡ َوأَنۡت‬ َٰۡ َ‫لۡتُظلَ ُمونَۡۡ َو ِإنۡكَانَۡۡذُوۡعُس َرةۡۡفَنَظِ َرةۡۡ ِإل‬
َ ‫ىۡ َمي‬ ۡ َ ‫لۡت َظ ِل ُمونَۡۡ َو‬...
َۡ

<https://www.academia.edu/35697981/FORCE_MAJEURE_OVERMACHT_DALAM_HUKUM
_KONTRAK_PERJANJIAN_INDONESIA>.
152
Muhammad Rifqi dan Parman Komarudin Hidayat, ‘Tinjauan Hukum Kontrak Syariah
Terhadap Ketentuan Force Majeure..’, 2017, 35.
108

Dalam ayat-ayat di atas disebutkan bahwa seorang mukmin harus menepati


setiapa akad/kontrak yang telah disepakatinya. Dengan ketentuan, kontrak
tersebukan bukanlah kontrak yang menghalalkan yang haram atau menharamkan
yang halal. Pada surat Al-Baqarah Ayat: 194 diterangkan mengenai seseorang yang
menyebabkan aniaya, termasuk di dalamnya kerugian kepada orang lain dengan
sengaja, maka harus mengganti setiap kerugian yang telah dibuatanya. Sebaliknya
pada ayat: 279-280 diterangkan mengenai debitur yang berada dalam kondisi sulit,
maka kreditur diharuskan untuk memberi keringanan.
5. Hadis Nabi riwayat Ibnu Majah dari ‘Ubadah bin Shamit, riwayat Ahmad dari
Ibnu ‘Abbas, dan Malik dari Yahya:
‫ال ضرر وال ضرار‬
6. Hadis Nabi Saw., dari Ibnu Juraih bahwasanya Rasulullah Saw. Bersabda:
ٍ ‫ بِ َم تَأخذ َما َل أَخِ یكَ بِغَی ِر َح‬،‫ فَ َال يَحِ ُّل لَكَ أَن ت َأخذَ مِ نه شَیئًا‬،ٌ‫صابَته َجائِ َحة‬
‫ق؟‬ َ َ ‫ فَأ‬،‫لَو بِعتَ مِ ن أَخِ یكَ ث َ َم ًرا‬

7. Kaidah Fikih
‫الضرر يزال‬
‫األصل في العقود والمعامالت الصحة حتى يقوم دلیل على البطالن والتحريم‬
Kaidah pertama “al-dharar yuzal” adalah kaidah yang lazim digunakan
sebagai landasan untuk menjelaskan bahwa Islam sangat memperhatikan
kemaslahatan. Begitupun dengan force Majeure yaitu suatu kondisi yang berada
diluar kendali manuasia. Kaidah kedua menjelaskan bahwa dalam transaksi Islam,
asal hukumnya adalah boleh, begitupun dengan mensyaratkan kondisi force
majeure dalam akad sebagai bentuk prefentif dari kondisi yang tidak terduga,
karena tidak ada dalil yang mengharamkannya.
8. Fatwa Majma Al-Fiqh Al-Islami
‫ويحق للقاضي أيضا أن يمهل‬: (‫ فقد جاء في القرار السابع ما نصه‬،‫وهذا ما قرره المجمع الفقهي اإلسالمي‬
‫ وال يتضرر الملتزم له كثیرا بهذا اإلمهال‬،‫الملتزم إذا وجد أن السبب الطارئ قابل للزوال في وقت قصیر‬
Keputusan dari Dewan Fikih Islam )Majma’al-fiqh al-islami), dalam qarar
ketujuh yang berbunyi: (hakim berhak untuk meletakan kewajiban jika ditemukan
Force majeure, yang mungkin hilang dalam waktu singkat, dan hendaknya pihak
yang berkontrak tidak mengalami kemudaratan yang besar dengan pembatalan ini.
109

‫ فإنه يجیز للقاضي تعديل العقد إذا كان في ذلك‬،‫وما ذهب إلیه القانون يوافق ما ذهب إلیه الفقه اإلسالمي‬
‫ أو ألحدهما بشرط أن ال يتضرر المتعاقد اآلخر‬،‫مصلحة للمتعاقدين‬.
Undang-undang tersebut sejalan dengan fikih Islam, yang memungkinkan
hakim untuk mengubah kontrak jika itu untuk kepentingan kontraktor, atau salah
satunya asalkan kontraktor lain tidak dirugikan.153
9. Selanjutnya yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam penerapan kontak
force majeure adalah maqashid asy-syaria, yaitu hifdzu mall. Setiap muslim
memiliki kewajiban untuk menjaga hartanya dengan syarat harta tersebut adalah
harta yang hal, didapatkan dengan jalan halal dan dikeluarkan zakatnya. Lebih
jauh para ulama dalam penjagaan harta ini menerapkan ta’min atau asuransi,
yang dilandasi dengan akad takaful. Semua itu adalah bentuk preventif untuk
melindungi harta dari hal yang tidak diinginkan, salah satunya yaitu force
majeure. 154
Sedangkan dalam perundang-undangan Indonesia peraturan mengenai force
majeure ini diatur dalam KUH perdata. Walaupun jika dicermati pasal-pasal dalam
KUH Perdata mengenai hukum kontrak, ternyata tidak terdapat suatu pasal pun
yang mengatur force majeure secara umum untuk suatu kontrak bilateral
(prestasinya timbal balik). Sehingga tidak ada patokan yuridis secara umum yang
dapat dipakai dalam mengartikan apa yang dimaksud dengan force majeure itu.
Karena itu, untuk menafsirkan apa yang dimaksud dengan force majeure oleh KUH
Perdata ini, yang dapat dilakukan hanya menarik kesimpulan-kesimpulan umum
dari pengaturan-pengaturan khusus, yaitu pengaturan khusus tentang force majeure
yang terdapat dalam bagian pengaturan tentang ganti rugi, atau pengaturan resiko
akibat force majeure untuk kontrak sepihak ataupun dalam bagian kontrak-kontrak
khusus (kontrak bernama). Disamping tentunya menarik kesimpulan dari teori-teori
hukum tentang force majeure, doktrin dan yurisprudensi Berikut adalah beberapa
pasal yang membahas mengenai force majeure:155

153
‫’ ااا ااااااا‬,‫ أركانها وشروطها‬:‫ ‘نظرية الظروف الطارئة‬,/‫الدكتور أحمد الصويعي شلیبك‬,
2014.
154
Muhammad Rifqi dan Parman Komarudin Hidayat, ‘Tinjauan Hukum Kontrak
Syariah..’, 2017, 42.
155
‘Kitab Undang Undang Perdata’.
110

1. Pasal 1237 KUH Perdata


“Dalam hal adanya perikatan untuk memberikan suatu kebendaan tertentu, maka
sejak perikatan-perikatan dilahirkan, benda tersebut menjadi tanggungan pihak
kreditur.”
2. Pasal 1244 KUH Perdata:
“Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga, bila dia
tidak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak
tepat waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh suatu hal yang
tidak terduga, yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya, walaupun
tidak ada itikad buruk padanya.”
3. Pasal 1245 KUH Perdata:
“Tidak ada pergantian biaya, kerugian dan bungan, bila dalam keadaan memaksa
atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk
memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan atau melaksanakan suatu
perbuatan yang terlarang baginya”.
4. Pasal 1460 KUH Perdata:
“Jika kebendaan yang dijual itu berupa suatu barang yang sudah ditentukan,
maka barang ini sejak saat pembelian adalah atas tanggungan sipembeli,
meskipun penyerahannya belum dilakukan dan sipenjual berhak menuntut
harganya.”
5. Pasal 1545 KUH Perdata:
“jika suatu barang tertentu yang telah dijanjikan untuk ditukar musnah diluar
salah pemiliknya, maka kontrak dianggap gugur, dan siapa yang dari pihaknya
telah memenuhi kontrak, dapat menuntut kembali barang yang telah dia berikan
dalam tukar-menukar.”
6. Pasal 1553 KUH Perdata:
“Jika selama waktu sewa, barang yang disewakan sama sekali musnah karena suatu
kejadian yang tidak disengaja, maka kontrak sewa-menyewa tersebut gugur demi
hukum. jika barangnya hanya sebagian musnah, maka pihak penyewa dapat
memilih menurut keadaan apakah dia akan meminta pengurangan harga sewa,
111

ataukah dia akan meminta pembatalan sewa-menyewa. Dalam kedua hal tersebut,
dia tidak berhak untuk meminta ganti rugi.”

C.3.c. Akibat Hukum Force majeure


Akibat hukum dari keadaan memaksa (Force majeure), menurut pasal 1244
KUH Perdata adalah tidak perlunya debitur memenuhi prestasinya sebagaimana
ditentukan dalam perikatan, artinya debitur tidak perlu membayar ganti rugi.
Debitur melakukan kontra prestasi dan kreditur tidak berhak meminta kepada
debitur agar memenuhi prestasinya. Hal ini karena dengan keadaan memaksa,
debitur terlepas kewajibannya terhadap kreditur. Akibat keadaan memaksa yang
melepaskan hak kreditur dan kewajiban debitur disebut dengan akibat keadaan
memaksa relatif.156
Pasal 1244 menyatakan bahwa dalam hal debitur tidak dapat memenuhi
kewajiban perikatannya dengan baik maka ia bisa membebaskan diri dari tanggung
jawab kerugian, kalau ia berhasil membuktikan bahwa munculnya peristiwa yang
menghalangi prestasi sehingga debitur tidak dapat memenuhi kewajiban
perikatannya dengan baik atas bagaimana mestinya, tidak dapat diduga sebelumnya
dan ia pun tidak punya andil dalam munculnya peristiwa halangan itu.
Jika debitur pada waktu menutup perjanjian sudah menduga atau dapat
menduga, bahwa peristiwa yang menghalangi prestasi akan muncul, namun ia tetap
menutup perjanjian itu, dan apabila peristiwa tersebut benar-benar terjadi maka hal
tersebut patut untuk dipertanggungjawabkan kepada debitur. Jika debitur sudah
tahu atau patut menduga, bahwa perang akan segera meletus dan akan ada larangan
untuk memperdagangkan barang yang diperjanjikan mengakibatkan debitur tidak
dapat memenuhi kewajibannya. Dalam pasal 1444 KUH Perdata, debitur tidak
mempunyai kesalahan dalam peristiwa tersebut, tetapi kerugian harus dibebankan
kepada debitur.157

156
Agri Chairunisa Isradjuningtias, ‘Force Majeur (Overmatch),- , 8.
157
Muhammad Rifqi dan Parman Komarudin Hidayat, ‘Tinjauan Hukum Kontrak
Syariah..’, 2017, 36.
112

Pasal 1243 mengatur tentang kewajiban ganti kerugian, jika debitur lalai
memberikan prestasi. Jika debitur lalai memenuhi kewajiban perikatannya, maka
debitur harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila debitur tidak dapat
membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya kewajiban karena hal yang tidak
terduga. Agar debitur dapat mengemukakan adanya force majeure maka debitur
berkewajiban untuk membuktikan; Debitur tidak mempunyai kesalahan atas
timbulnya halangan prestasi, halangan itu tidak dapat diduga sebelumnya dan
debitur tidak menanggung resiko baik menurut undang-undang maupun ketentuan
perjanjian atau karena ajaran itikad baik harus menanggung resiko.
Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh Fariz Al-Hasni158 dalam tesisnya.
menjelaskan bahwa akibat hukumnya adalah sebagai berikut:
1. Membebaskan debitur dari membayar ganti rugi. Dalam hal ini, hak kreditur
untuk menuntut gugur untuk selama-lamanya. Jadi, pembebasan ganti rugi
sebagai akibat keadaan memaksa adalah pembebasan mutlak.
2. Membebaskan debitur dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi yang
diakibatkan keadaan memaksa relatif. Pembebasan itu pada umumnya hanya
bersifat menunda, selama keadaan force majeure masih menghalangi/merintangi
debitur melakukan pemenuhan prestasi. Bila keadaan memaksa hilang, kreditur
kembali dapat menuntut pemenuhan prestasi. Pemenuhan prestasi tidak gugur
selamalamanya, hanya tertunda, sementara keadaan memaksa masih ada.
Singkatnya, force majeure pada dasarnya memiliki tiga akibat hukum, yaitu
pembebasan ganti rugi sebagaimana dalam pasal 1244 KUH Perdata dan penundaan
pemenuhan prestasi kepada pihak debitur yang mengalami musibah. Beban Resiko
tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara. Kreditur tidak berhak
atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya
untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460
KUH Perdata.
Ketiga akibat itu dibedakan menjadi dua macam : Akibat keadaan memaksa
absolut, dan akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat hukum nomor 3.

158
Fariz Al-Hasni, ‘Force Majeure Dalam Kontrak Pembiayaan Bank Syariah’ (UIN
Sunan Kalijaga, 2017), 54.
113

Mengenai keadaan memaksa (Force majeure) yang absolut diartikan keadaan


memaksa/force majeure yang terjadi sehingga prestasi dari kontrak sama sekali
tidak mungkin dilakukan. Misalnya, barang yang merupakan objek kontrak
musnah. Sedangkan keadaan memaksa (Force majeure) yang relatif diartikan
keadaan memaksa (force majeure) di mana pemenuhan prestasi secara formal tidak
mungkin dilakukan, walaupun secara tidak normal masih mungkin dilakukan.
Jika terjadi force majeure, maka para pihak tidak boleh menuntut ganti rugi. Pasal
1244 Pasal 1245, Pasal 1553 ayat (2) KUH Perdata. Akan tetapi karena kontrak
yang bersangkutan menjadi gugur karena adanya force majeure, maka untuk
menjaga terpenuhinya unsur-unsur keadilan, pemberian restitusi atau quantum
merit tentu masih dimungkinkan. Dan resiko sebagai akibat dari force majeure,
beralih dari pihak kreditur kepada pihak debitur sejak saat seharusnya barang
tersebut diserahkan (vide Pasal 1545 KUH Perdata). Pasal 1460 KUH Perdata
mengatur hal ini secara tidak tepat (di luar sistem).

Anda mungkin juga menyukai