BAB II
TEORI TENTANG KEDUDUKAN MAHKAMAH AGUNG DAN KONSEP
AKAD PEMBIAYAAN IJARAH MULTI JASA DALAM SISTEM
EKONOMI SYARIAH
1
Sanyoto, ‘Penegakan Hukum Di Indonesia’, Dinamika Hukum, 8.3 (2008), 1.
30
2
Viswandro, dkk. Mengenal Profesi Penegak Hukum, 1st edn (Yogyakarta: Medd Prees
Digital, 2015), 197.
3
Viswandro, dkk, Mengenal Profesi Penegak Hukum, 198.
31
4
Viswandro, dkk, Mengenal Profesi Penegak Hukum, 200.
5
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegak Hukum, 1st edn
(Jakarta: Rajawali Pers, 2012), 5.
6
Laurensius Arliman S, Penegaka Hukum Dan Kesadaran Masyarakat, ed. by 1
(Yogyakarta: Deeppublish, 2015), 15.
32
1. Kepastian Hukum
Kepastian hukum, sebagaimana peribahasa hukum “Fiat juslitia et
perereat moudus” yang artinya hukum harus ditegakan meskipun dunia ini
runtuh. Kepastian hukum menginginkan hal seperti ini. Kepastian hukum adalah
tempat berlindung pencari keadilan (Yustisiabel) dari tindakan sewenang-
7
Laurensius Arliman. S, Penegakan Hukum Dan Kesadaran Masyarakat, 16.
8
Satjipto Rahardjo.tt, Masalah Penegakan Hukum (Bandung: Sinar Baru), 15.
9
‘No Title’, Digilib, Unila, 2011 <http://digilib.unila.ac.id/9079/12/Bab 2.pdf> diakses
pada 8 Februari 2019, Pukul: 12.09.
33
wenang, artinya setiap orang akan dapat memperoleh apa yang diharapkan oleh
masyarakatnya.10
Mengharapkan akan adanya kepastian hukum yang lebih tertib dalam
masyarakat. Dengan sifatnya yang hanya membuat suatu aturan hukum memberi
petunjuk kepada kita apa yang benar apa yang tidak Kepastian hukum dapat
diwujudkan oleh hukum. Hukum harus memberi manfaat atau kegunaan bagi
masyarakat karena hukum adalah untuk manusia. Jangan sampai keresahan
dalam masyarakat justru timbul karena hukumnya dilaksanakan dan ditegakan.
2. Kemanfaatan Hukum
Masyarakat modern yang menjadikan hukum sebagai mediator untuk
memediasi kepentingannya ketika terjadi perbenturan antara kepentingan yang
satu dengan yang lainnya, secara sederhana dapat dipahami bahwa hukum
merupakan sebagai solusi atas masalah yang muncul dalam masyarakat. Hal ini
senada dengan pendapat Roscou Pound sebagaimana di kutip oleh Fauzi
Iswari,11 yang mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah untuk melindungi
kepentingan manusia (law as tool of social engineering). Selanjutnya jika kita
meminjam istilah Aristoteles, manusia sebagai makhluk sosial (zoon politicon)
dalam kehidupannya, ia sering terlibat kepentingan yang satu dengan yang
lainnya.
Hukum merupakan pranata sosial yang hidup di masyarakat guna
mengontrol kehidupan di tengah-tengah masyarakat (social control). Menurut
Muladi sebagaimana dikutip oleh M. Harun,12 bahwa hukum mempunyai
peranan untuk menciptakan kedamaian, dan kedamaian itu merupakan konsep
yang menjamin keselarasan antara ketertiban yang bersifat lahiriah dan
ketentraman yang bersifat bathiniah. Hukum tidak lagi dilihat sebagai refleksi
kekuasaan semata-mata, tetapi juga harus memancarkan perlindungan terhadap
10
Sobirin Anshori, Abdul Ghofur dan Malian, Membangun Hukum Indonesia, 1st edn
(Yogyakarta: Kreasi Total Media, 2008), 87.
11
Fauzi Iswari, ‘Unsur Keadilan Dalam Penegakan Hukum Terhadap Pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) Di Indonesia’, Pagaruyuang, Law Journal, 1.1 (2017), 126.
12
M. Harun, ‘Reformulasi Kebijakan Hukum Terhadap Penegakan Hukum Pidana Pemilu
Dalam Menjaga Kedaulatan Negara.’, Jurnal Rechts Vinding, 5.1 (2016), 112.
34
13
Bonarsius Saragih, ‘Berkeadilan Yang Dilakukan Oleh Polri (Telaah Filsafat Hukum)’,
Jurnal Wawasan Hukum, 22.1 (2010).
14
Satjibto Rahardjo, Masalah Penegak Hukum, 20.
15
Yohanes Suhardin, ‘Fenomena Mengabaikan Keadilan Dalam Penegakan Hukum’,
Mimbar Hukum, 21.2 (2009).
35
adalah merealisasikan atau mewujudkan keadilan. Jika tujuan akhir hukum adalah
keadilan. Maka segala usaha yang terkait dengan hukum mutlak harus diarahkan
untuk menemukan sebuah sistem hukum yang paling cocok dan sesuai dengan
prinsip keadilan. Hukum harus terjalin erat dengan keadilan, hukum adalah undang-
undang yang adil, bila suatu hukum konkrit, yakni undang-undang bertentangan
dengan prinsip-prinsip keadilan, maka hukum itu tidak bersifat normatif lagi dan
tidak dapat dikatakan sebagai hukum lagi. Undang-undang hanya menjadi hukum
bila memenuhi prinsip-prinsip keadilan. Dengan kata lain, adil merupakan unsur
konstitutif segala pengertian tentang hukum”.
Keadilaan adalah unsur konstitutif dari hukum. Karnanya, menegakan
keadilan adalah tugas etis manusia. Menurut Huijbers ada beberapa alasan mengapa
keadilan menjadi unsur konstituitif hukum. Pertama, tindakan dengan
memperlihatkan keadilan yang nyata di dalamnya selalu dibela pemerintah negara
manapun. Kedua, Undang-undang seringkali dianggap sebagai undang-undang
yang telah usang dan tidak berlaku lagi jika tidak sesuai dengan prinsip-prinsip
keadilan. Dan ketiga, suatu pemerintahan bertindak di luar wewenangnya dengan
bertindak tidak adil, dan tidak sah secara hukum. Sebagaimana telah dikutip oleh
Fauzi Iswari dalam bukunya Unsur Keadilan Dalam Penegakan Hukum.16
Secara prinsip hukum diciptakan untuk memberikan kepercayaan kepada
masyarakat terhadap kepentingan berbeda yang dimiliki manusia satu dengan
manusia lain dengan tujuan untuk mewudkan kesejahteraan. Hukum secara
komprehensif mengatur tindak tanduk aktifitas manusia, baik hubungan manusia
dengan manusia, manusia dengan badan hukum, maupun manusia dengan alam.
Melalui hukum diharapkan dapat terjalin pencapaian cita dari manusia sebagai
subjek hukum, sebagaimana dikatakan oleh Gustav Radburch yang dikutip oleh
Suwardi Sagama,17 bahwa hukum dalam pencapaiannya tidak boleh lepas dari
keadilan, kepastian dan kemanfaatan. Eksistensi hukum yang dimaksud ialah baik
16
Fauzi Iswari , Unsur Keadilan dalam Penegakan Hukum…, 129.
17
Suardi Sagama, ‘Analisis Kosep Keadilan, KEKepastian Hukum Dan Kemanfaatan
Dalam Pengelolaan Lingkungan’, Mazahib, 15.1 (2016).
36
18
Laurensius arliman. S, Penegakan Hukum dan Kesadaran Masyarakat, 40-41.
37
19
Sanyoto, ‘Penegakan Hukum Di Indonesia’, 6.
20
https://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_agama_di_Indonesia di akses pada tanggal 21
Februari 2019, pukul 11.46 WIB
21
Jaenal Aripin, Jejak Langkah Peradilan Agama Di Idonesia, 1st edn (Jakarta: Kencana,
2013), 314.
38
serambi masjid. Keadaan ini dapat dijumpai di semua wilayah swapraja Islam di
seluruh Nusantara. Peradilan Agama sebagai wadah, dan hukum Islam sebagai
muatan atau isi pokok pegangan dalam menyelesaikan dan memutus perkara, tidak
dapat dipisahkan sehingga kebanyakan kerajaan menempatkan jabatan keagamaan,
penghulu dan atau hakim, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan
pemerintahan umum. Pengadilan Agama memiliki posisi sebagai penghulu kraton
yang mengurus keagamaan Islam dalam semua aspek kehidupan.22
VOC pada masa pemerintahannyaingi menghapus Pengadilan Agama dan
menggantinya dengan hukum yang berlaku di negara Belanda. Namun karena tidak
menerapkan hukum Islam kelembagaan ini tidak dapat berjalan dengan baik.
Usaha-usaha seperti ini telah dilakukan oleh VOC sejak awal Belanda dating ke
Nusantara. Seperti ada tahun 1830 Pemerintah Belanda menempatkan Peradilan
Agama di bawah pengawasan “landraad” (pengadilan negeri). Putusan Pengadilan
Agama baru dapat dijalankan setelah diperintahkan oleh Landdraad.
Contoh lain adalah Staatsblad 1937 Nomor 116 yang semakin mengurangi
kompentensi Pengadilan Agama masaIah wakaf dan waris diserahkan kepada
Pengadilan Negeri,khususnya di Jawa dan Madura. Alasan yang dijadikan dalih
oleh pemerintah Belanda adalah Hukum Islak terlalu berpengaruh terhadap
masyarakat di Jawa dan Madura. Kondisi seperti ini terus berlangsung sampai
dengan lahirnya Undang-Undang 1974 tentang Perkawinan Nomor 1 Tahun.23
Menurut Munawir Sjadzali. 1991, Dalam buku “Landasan Pemikiran
Politik Hukum Islam dalam Rangka Menentukan Peradilan Agama di Indonesia”
sebagaimana dikutip oleh Tjun Surjaman,24 “Dengan diberlakukannya teori
receptie pemerintah Belanda mulai mengganti undang-undang yang diberlakukan
di Indonesia. Tahun 1919, misalnya pemerintah Belanda mengganti undang-undang
dari Regeeringsreglement (RR) menjadi Indische Staatsregeling (IS). Tahun 1937
keluar Stbl. 1937 Nomor 116 yang membatasi wewenang Pengadilan Agama hanya
22
https://www.pa-tahuna.go.id/pages/sejarah-pengadilan-agama diakses pada tanggal 27
Februari 2019, pukul 13.58 WIB
23
Zuhriah Erfaniah, Peradilan Agama Indonesia: Sejarah, Konsep, Dan Praktik Di
Pengadilan Agama, 2014.
24
Tjun Surjaman, Hukum Islam Di Indonesia: Pemikiran Dan Praktek, 1st edn (Bandung:
Remaja Rosdakarya), 46.
39
25
Undang-Undang, Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung,
Pasal 1 Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
26
“Undang-Undang, Republik Indonesia, Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Pasal 2, Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang ini. Di antara Pasal 3 dan Pasal 4 disisipkan pasal baru yakni Pasal 3A, yang berbunyi
sebagai berikut: Pasal 3A : Di lingkungan Peradilan Agama dapat diadakan pengkhususan
pengadilan yang diatur dengan Undang-Undang. Pasal 4 : (1)Pengadilan agama berkedudukan di
ibu kota kabupaten/kota dan daerah hukumnya meliputi wilayah kabupaten/kota, (2).Pengadilan
tinggi agama berkedudukan di ibu kota provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi.
Pasal 5: (1).Pembinaan teknis peradilan, organisasi, administrasi, dan finansial pengadilan dilakukan
oleh Mahkamah Agung dan (2) Pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara. Pasal 11 : (1).Hakim
pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman, (2).Syarat dan tata cara
pengangkatan, pemberhentian, serta pelaksanaan tugas hakim ditetapkan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 12 : (1).Pembinaan dan pengawasan umum terhadap hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah
Agung, (2).Pembinaan dan pengawasan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh
mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara”.
41
1945, serta terdapat penambahan pasal 52A yaitu tentang Pengadilan agama
memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam penentuan awal bulan pada tahun
Hijriyah, yaitu kewanangan baru Peradilan Agama.
Dengan bersumber pada Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkmah Agung sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 5
Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 9,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4359) dan Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1989 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3400) serta Undang- undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
8,Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4338);
kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilanuntuk menegakkan hukum dan keadilan sehingga
perwujudan lembaga peradilan yang bersih dan berwibawa dalam memenuhi rasa
keadilan dalam masyarakat sangat diperlukan. Dengan berlakuknya Perubahan
Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989, yaitu Undang-undang Nomor
50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama.27 sesuai dengan perkembangan hukum di
Indonesia Perjalanan sejarah perundang-undang Peradilan Agama terus berlanjut,
27
“Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, Pasal 1 Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: 1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang
yang beragama Islam, 2. Pengadilan adalah pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama di
lingkungan peradilan agama, 3. Hakim adalah hakim pada pengadilan agama dan hakim pada
pengadilan tinggi agama, 4. Pegawai Pencatat Nikah adalah pegawai pencatat nikah pada kantor
urusan agama, 5. Juru Sita dan/atau Juru Sita Pengganti adalah juru sita dan/atau juru sita pengganti
pada pengadilan agama, 6.Mahkamah Agung adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 7.
Komisi Yudisial adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, 8.Pengadilan Khusus adalah pengadilan yang mempunyai
kewenangan untuk memeriksa, mengadili, dan memutus perkara tertentu yang hanya dapat dibentuk
dalam salah satu lingkungan badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung yang diatur
dalam undang-undang. 9.Hakim ad hoc adalah hakim yang bersifat sementara yang memiliki
keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang”.
42
28
Deni KamaluddinYusup. Model Upaya Hukm Penyelesaian Senketa…,20014,
43
29
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim Bebasis Nilai-Nilai Hukum
Dan Rasa Keadilan Yang Hidup Dalam Masyarakat, 1st edn (Depok: Kencana, 2018) 85.
44
Adapun dari aspek kekuatan putusan hakim juga memiliki tiga kekuatan,
pertama kekuatan Eksekutorial, yaitu pihak yang tidak menaatinya secara sukarela
kekuatan hukum ini dapat dipaksakan dengan bantuan hukum. Kedua perlu
diperhatikan bahwa menurut pengertian Undang-undang putusan hakim adalah
sebagai dokumen akta autentik, sehingga selain memiliki kekuatan pembuktian
mengikat (antara pihak yang berperkara) , ia juga memiliki kekuatan “ke-luar”.
Kekuatan ke tiga yang melekat pada putusan hakim adalah kekuatan untuk
“menangkis” suatu gugatan baru yang sama dengan gugatan perkara sebelumnya,
yaitu sesuai asas “neb is in idem” dalam perkara yang sama tidak dijatuhkan
putusan lagi. 30
Sebagaimana disebutkan dalam Undag-undang nomor 4 tahun 2004 pasal 4
ayat (3), dalam memeriksa perkara dan menjatuhkan putusan hakim harus obyektif
dan tidak boleh memihak. ” Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh
pihak lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal
sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”31
Dan kemudian ditegaskan kembali dalam pasal 3 ayat (2) Undang Undang
Nomor 48 tahun 2009 “Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak
lain di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal sebagaimana
dimaksud dalam Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”32
Untuk menjamin azas ini, pihak yang diadili bisa mengajukan kepada
hakim yang akan mengadili perkaranya, keberatan yang disertai dengan alasan-
alasan terhadap, hal ini disebut juga hak ingkar (recusatie, wraking).33
Dalam penjelasan pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 tahun 2009
disebutkan bahwa:” Yang dimaksud dengan "kemandirian peradilan" adalah bebas
30
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 89.
31
Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman diakses melalui
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_4_04.htm Pada tanggal 15 Februari 2019, puku 15.15
32
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, di akses melalui
http://hukum.unsrat.ac.id/uu/uu_4_04.htm pada tanggga 15 Februari 2019 pukul 15.15
33
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman (Tinjauan Tentang Kemandirian
Kekuasaan Kehakiman Setelah Dikeluarkannya UU No.48 Tahun 2009)’, Media.Neliti
<https://media.neliti.com/media/publications/23192-ID-politik-hukum-kekuasaan-kehakiman-
tinjauan-tentang-kemandirian-kekuasaan-kehakim.pdf>.
45
dari segala bentuk tekanan, baik fisik maupun psikis. Suatu pengadilan yang bebas
dan tidak dipengaruhi merupakan syarat yang indespensable bagi negara hukum.
Bebas berarti tidak ada campur tangan atau turun tangan dari kekuasaan eksekutif
dan legislatif dalam menjalankan fungsi yudisial”.
Selain dengan cara membangun sistem tindakan yang bersifat represif untuk
menjamin kekuasaan kehakiman membangun sistem pencegahan juga sangat
penting. Baik yang dapat mempengaruhi sistem kehakiman secara langsung
ataupun tidak langsung.34
Demi menjaga impartiality dan fairness dalam dalam proses dan putusan
pengadilan, pencegahan secara langsung dapat dilakukan dengan cara larangan
untuk mencampuri proses maupun putusan hakim. Karna adanya campur tangan
akan menimbulkan biasa pada keduanya. Bahwa pada putusan yang belum
memiliki kekuatan hukum tetap masih memungkinkan adanya upaya hukum
banding dan kasasi (upaya hukum biasa) yang masih menunda eksekusi juga
peninjauan kembali (upaya hukum luar biasa) yang tidak menunda eksekusi.35
“Menurut Prof. Bagir Manan36 yang mengutip pendapat Prof. Gerhard
Robbers (An Indrodeection to Jerman Law) menyebutkan ada dua makna yang
terkandung dalam kebebasan hakim. Pertama: tidak seorangpun, khususnya
pemerintah atau pejabat administrasi dapat menentukan hukuman yang mesti
dijatuhkan hakim. Kedua: pelaksanaan tugas-tugas peradilan tidak boleh
menimbulkan konsekuensi atas pribadi hakim”.
Dalam pengambilan putusan oleh hakim sangat dipengaruhi oleh berbagai
faktor, menurut Loeby Luqman sebagaiman dikutip oleh Jonaedi Efendi diantara
faktor yang mempengaruhi pengambilan sebuah putusan oleh hakim, Pertama:
faktor-faktor yang berhubungan denga suku agama dan Pendidikan (Raw input).
Kedua: faktor yang berhubungan dengan pekerjaan dan Pendidikan formal
(instrumental input). Ketiga: faktor yang berpengaruh dalam kehidupan hakim
seperti, lingkungan tempat tinggal, organisasi dan sebagainya (Enviromental input).
34
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman , 5
35
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman , 5
36
Bagir Manan, ‘Hubungan Ketatanegaraan Mahkamah Agung Dan Mahkamah Konstitusi
Dengan Komisi Yudisial (Suatu Pertanyaan).’, Varia Peradilan JKAHI, 2006.
46
Faktor ini diuji kembali oleh Teddy Asmara pada tahun 1990 untuk disertasinya, ia
mendapatkan proposisi bahwa begitu kompleksnya faktor-faktor yang
mempengaruhi putusan hakim, terutama yang berhubungan dengan ekonomi.37
Selain faktor tersebut, faktor lainnya yang juga sangat mempengaruhi
putusan hakim adalah faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah
faktor yang berasal dari internal hakim (SDM) itu sendiri, seperti rekrutmen hakim,
Pendidikan hakim, kesejahteraan hakim dan yang terpenting adalah moralitas
hakim itu sendiri. Faktor eksternal yaitu faktor timbul dari luar diri hakim, seperti
penguasa politik, manusia yang powerfull dalam masyarakat, dengan
mempertimbangkan segala imbalan yang akan didapatnya, baik berupa materil atau
jabatan.38
Oleh karenanya, moralitas seorang hakim sangat penting dalam penetapan
sebuah keputusan, karena hakim sebagai penegak hukum adalah pribadi yang
otoritarin dan memiliki kepribadian yag demokratis, yang penuh dengan impati.
Yang mungkin akan mempengaruhi putusannya. Hakim yang menjatuhkan
hukuman, kaitannya dengan kepribadian hakim, tidak lepas dari otoritas yang ada,
cara berfikir konvensionalisme, kesetian pada otoritas dan agresi otoritarian.
Sehingga aspek kepribadian hakim ini sangat berpengaruh dalam penentuan sebuah
putusan. Seorang filusuf Taverne mengungkapkan “berikan saya seorang jaksa
yang jujur dan cerdas, berikan saya seorang hakim yang jujur dan cerdas, maka
dengan undang-undang yang paling burukpun saya akan menghasilkan putusan
yang adil.” 39
37
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 90.
38
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 92.
39
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 93.
47
Skema II.1
Putusan Hakim
40
Yodi Martono Wahyunadi, ‘Kompetensi Pengadilan TUN Dalam Sistem Peradilan Di
Indonesia’, Mahkamah Agung, 2013, 64.
<https://www.mahkamahagung.go.id/assets/majalah/Majalah_MA_Edisi2/files/assets/basic-
html/page64.html>.
48
41
Yodin artono Wahyunadi, ‘Kompetensi Pengadilan’, 64.
42
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman (Tinjauan Tentang Kemandirian
Kekuasaan Kehakiman Setelah Dikeluarkannya UU No.48 Tahun 2009)’, Media.Neliti,1.
<https://media.neliti.com/media/publications/23192-ID-politik-hukum-kekuasaan-kehakiman-
tinjauan-tentang-kemandirian-kekuasaan-kehakim.pdf>.
43
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman’, 1.
49
tersebut disebabkan karena menurut ketentuan Pasal 11 ayat (1) ditentukan bahwa:
badan-badan yang melakukan peradilan tersebut dalam pasal 10 ayat (1) yaitu
Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha
Negara, organisatoris, administrative dan finansial ada dibawah kekuasaan masing-
masing departemen yang bersangkutan. Sehingga peluang campur tangan pihak-
pihak diluar kekuasaan kehakiman (dalam hal ini pemerintah) baik secara langsung
maupun tidak langsung sangat terbuka yang akibatnya menimbulkan ketidakadilan.
Selanjutnya dengan diundangkannya Undang-undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
kekuasaan Kehakiman yang menggantikan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman, ada perubahan yang
cukup signifikan, khususnya dalam hal organisasi, administrasi dan finansiil hakim
di semua lingkungan peradilan berada di bawah satu atap yaitu Mahkamah Agung,
sehingga diharapkan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara terlepas dari
pengaruh kekuasaan pemerintah ataupun pihak lain (yang berperkara) dan
putusannya akan memenuhi rasa keadilan. Selanjutnya dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman merupakan
penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 4 tahun 2004.44
Sebagaimana telah dijelaskan, bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan yang merdeka, terlepas dari pengaruh apapun atau siapapun di luar
kekuasaan kehakiman. Sudikno Mertokusumo45 mengatakan: “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang berdiri sendiri dan bebas dari campur
tangan pihak-pihak di luar kekuasaan kehakiman untuk menyelenggarakan
peradilan demi terselenggaranya negara hukum. Kebebasan kekuasaan kehakiman,
yang penyelenggaraanya diserahkan kepada badan-badan peradilan, merupakan
salah satu ciri khas negara hukum. Pada hakikatnya kebebasan ini merupakan sifat
pembawaan dari pada setiap peradilan. Hanya batas dan isi kebebasannya
dipengaruhi oleh sistem pemerintahan, politik, ekonomi dan sebagainya”.
44
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman’, 1.
45
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty, 2002),
20.
50
Secara lebih terperinci negara hukum memiliki ciri-ciri; hak asasi manusia
dan warga negara mendapat jaminan; terdapat pembagian kekuasaan dalam negara;
pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus mendasarkan atas
hukum baik tertulis maupun tidak tertulis; dan Adanya kekuasaan kehakiman yang
merdeka.46
Sejalan dengan ketentuan bahwa negara Indonesia adalah negara hukum,
dimana salah satu prinsip penting negara hukum adalah jaminan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan. Dengan
diundangkannya Undang-undang Nomor 14 tahun 1970 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana disebutkan dalam pasal
1ayat (1) “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan berdasarkan
Pancasila demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”. Jelaslah
bahwa, kekuasaan kehakiman di Indonesia merupakan kekuasaan yang merdeka
untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.47
Hal tersebut lebih dipertegas lagi setelah amandemen ketiga pada tahun
2001 dan amandemen keempat tahun 2002 atas Undang Undang Dasar 1945,
sehingga pasal 24 berbunyi:
1) Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.
2) Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan
peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum,
lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
3) Badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman diatur
dalam undang-undang.
46
Teuku Saiful Bahri Johan, Hukum Tata Negara Dan Hukum Administrasi Negara Dalam
Tataran Reformasi Ketatanegaraan Indonesia, 1st edn (Yogyakarta: Deeppublish, 2018), 287.
47
Teuku Saiful Bahri Johan, Hukum Tata Negara…, 2018, 287.
51
4848
Aris Priyadi, ‘Politik Hukum Kekuasaan Kehakiman’, 4.
49
Herri Swantoro, Harmonisasi Keadilan Dan Kepastian Dalam Peninjauan Kembali, 1st
edn (Depok: Prenada Media Group, 2017), 39.
50
Herri Swantoro, Harmonisasi Keadilan…, 2017, 39.
52
51
Kevin Angkuow, ‘Fungsi Mahkamah Agung Sebagai Pengawas Internal Tugas Hakim
Dalam Lembaga Peradilan’, Lex Administratum, 2.2 (2014).
53
2. Fungsi Pengawasan
Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya
peradilan di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang
dilakukan Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar
dengan berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan,
52
https://www.mahkamahagung.go.id/id/tugas-pokok-dan-fungsi
54
3. Fungsi Mengatur
Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup
diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk
mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970, Pasal
79 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985). Mahkamah Agung dapat membuat
peraturan acara sendiri bilamana dianggap perlu untuk mencukupi hukum acara
yang sudah diatur Undang-undang.
4. Fungsi Nasihat
Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37
Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985). Mahkamah Agung
memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka
pemberian atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung
55
5. Fungsi Administratif
Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan
Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1)
Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan
finansial sampai saat ini masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan,
walaupun menurut Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah
dialihkan dibawah kekuasaan Mahkamah Agung. Mahkamah Agung berwenang
mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan organisasi dan tata kerja
Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang
Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
6. Fungsi Lain-lain
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta
menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2)
Undang-undang Nomor 14 tahun 1985, Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan
wewenang lain berdasarkan Undang-undang.
Mahkamah Agung merupakan lembaga tinggi negara sebagaimana yang
tercantum dalam Ketetapam Majelis Permusyarawatan Rakyat Republik Indonesia
56
53
Nelly Mulia Husma, ‘Kewenangan Pengaturan Mahkamah Agung (Kajian Yuridis
Terhadap Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 Tentang Larangan Peninjauan
Kembali Putusan Praperadilan)’, Syariah Kuala Law Journal, 1.1 (2017) <https://doi.org/2549-
174>, 5.
54
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 92.
55
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 93.
58
56
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 93.
57
Jonaedi Efendi, Rekonstruksi Pertimbangan Hukum Hakim, 93-97.
59
disahkan pada tanggal 10 Agustus tahun 2002, ditambahkan pasal 24A yang
menegaskan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi”.
b). Pasal 20 Undang Undang Nomor 48 tahun 2009. Pasal 20 Undang-
undang Nomor 48 tahun 2009 sebagai pengganti Undang-undang Nomor 4 tahun
2004 dan Undang-undang Nomor 14 tahun 1970, tentang kekuasaan kehakiman
diterbitkan pada 29 Oktober 2009 mengatur beberapa penegasan: Pasal 20 ayat (1)
mengemukakan bahwa Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi
(highest state court) dari keempat lingkungan peradian, yaitu Peradilan Umum,
Peradila Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer. Dan Pasal 20
ayat (2) huruf a menegaskan kewenangan yang dimiliki oleh Mahkamah Agung,
dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai lembaga peradilan tertinggi negara,
“mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat
terakhir, oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung”
Apa yang digariskan pada pasal 24A ayat (1) Undang-undang Dasar
ditegaskan kembali pada pasal 20 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor 4 Tahun
2004 yang mengatakan: Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan tinggi negara
memiliki wewenang (macht/power) mengadili perkara pada tingkat kasasi terhadap
putusan yang dijatuhkan pada tingkat terakhir (in the last instance) dari semua
lingkungan peradilan yang berada di bawahnya. Letak perbedaan antara dua pasal
ini adalah pada ketentuan terakhir pasal 20 ayat (2) huruf a Undang-undang Nomor
4 tahun 2004 yang lebih spesifik, karena menjelaskan 2 hal. Pertama: menggariskan
perkara yang dapat diadili pada tingkat kasasi hanya yang diberikan pada tingkat
terakhir oleh peradila di bawah Mahkamah Agung. Kedua: putusan yang dapat
diperiksa oleh Mahkmah Agung adalah semua putusan yang bersumber dari
lembaga peradilan di bawahnya.
c). Pasal 28 dan pasal 30 Undang-undang Mahkamah Agung. Pada pasal 28
ayat (1) dirumuskan tugas dan wewenang Mahkamah Agung, yakni berwenang
memeriksa dan memutus permohonan kasasi. Menurut pasal 28 ayat (1) Undang-
undang Mahkamah Agung ini dideskripsikan tugas dan wewenang Mahkamah
Agung yang terdiri dari:
60
58
https://id.wikipedia.org/wiki/Peradilan_agama_di_Indonesia di akses pada tanggal 21
Februari 2019, pukul 11.46 WIB
59
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perbankan Islam Di Indonesia (Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 2002), 168.
62
60
Erie Hariyanto, ‘Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia’, Iqtishadia, 1.1
(2014),53.
63
B.1. Pembiayaan
B.1.a. Pengertian Pembiayaan
Dalam bahasa sehari-hari pembiayaan atau kredit sering diartikan sebagai
pinjaman uang yang pembayarannya dilakukan kemudian hari dengan cara cicilan
atau angsuran sesuai dengan perjanjian. Kredit menurut etimologi adalah
kepercayaan. Menurut Undang Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998
61
Erie Hariyanto, ‘Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di Indonesia’, 2014, 53.
62
Egha Ezar Junaeka Putra H, ‘Pembiayaan Multijasa (Akad Yang Seharusnya
Digunakan)’, Kompasiana, 2015
<https://www.kompasiana.com/junaeka/5583f957c9afbdf50b8b4567/pembiayaan-multijasa-akad-
yang-seharusnya-digunakan>.
64
dalam pasal 1 ayat 11 tentang perbankan, kredit adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau
kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan
pemberian bunga.63
Sedangkan pembiayaan dalam Lembaga Keuangan Syariah berdasarkan
Peraturan Bank Indonesia Nomor 8/21/PBI/2006 tentang Penilaian Kualitas Aktiva
Bank Umum yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah,
diartikan sebagai penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu
berupa: transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah, transakasi
sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya
bi al-tamlik, transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istisna,
transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qard, dan Transaksi sewa-
menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transakasi multi jasa.64
Pembiayaan atau financing adalah pendanaan yang diberikan oleh suatu
pihak kepada pihak lain untuk mendukung investasi yang telah direncanakan, baik
dilakukan sendiri maupun lembaga. Dengan kata lain pembiayaan adalah
pendanaan yang dikeluarkan untuk mendukung investasi yang telah direncanakan.
Dalam kaitannya dengan pembiayaan pada perbankan Islam atau istilah teknisnya
sebagai aktiva produktif. Aktiva produktif adalah penanaman dana Bank Islam baik
dalam Rupiah maupun valuta asing. Menurut Undang-undang Nomor 10 tahun
1998 tentang perbankan menyatakan pembiayaan adalah penyediaan uang atau
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan
antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil. Sedangkan menurut Kasmir,65 Pembiayaan adalah
penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan
persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan
63
https://www.hestanto.web.id/pengertian-pembiayaan/ diakses pada Tanggal 12 Maret
2019 jam 15:05
64
Wangsawidjadja, Pembiayaan Bank Syariahj (Jakarta: PT Gramedia, 2012), 191.
65
Kasmir, Dasar-Dasar Perbankan (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), 135.
65
pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.
Sedangkan Menurut Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan pasal 1 nomor 12, pembiayaan berdasarkan prinsip Syariah adalah
penyediaan uang atau tagihan berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara
lembaga keuangan dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk
mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan
imbalan atau bagi hasil.66
Sedangkan dalam Pasal 3 Butir 11 Undang-undang Nomor 10 tahun 1998
tentang perubahan atas Undang Undang Nomor 7 tahun 1992 tentang Perbankan,
kredit diartikan sebagai penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank
dengan pihak lain, yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya
setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.67
Dari uraian mengenai pengertian kredit dan pembiayaan ini dapat ditarik
suatu perbedaan dalam hal jenis transaksinya. Pembiayaan tidak menggunakan
transaksi yang berupa utang piutang dengan konsekwensi bunga, akan tetapi
menggunakan transaksi yang berupa sharing modal dengan sistem bagi hasil atau
transaksi jual beli dengan margin keuntungan dan sewa serta fee untuk transaksi
yang bersifat jasa. Secara lebih terperinci perbedaan antara kredit konvensional
dengan pembiayaan syariah dapat dilihat dalam matrik sebagai berikut:68
66
Sumar’in, Konsep Kelembagaan Bank Syariah, 1st edn (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2012),
80.
67
Rahadi Kristianto, ‘Konsep Pembiayaan Dengan Prinsip Syariah Dan Aspek Hukum
Dalam Pemberian Pembiayaan Pada PT Bank Rakyat (PERSERO) Tbk. Kantor Cabang Syariah
Semarang’, Law Reform, 5.1 (2010) <https://media.neliti.com/media/publications/110370-ID-
none.pdf>, 107.
68
Rahadi Kristianto, ‘Konsep Pembiayaan…, 2010, 107.
66
Tabel II.1
Pembiayaan
69
Abdul Rasyid, ‘Lembaga Pembiayaan Syariah Di Indonesia’, Business Law BBnus, 2016
<http://business-law.binus.ac.id/2016/01/27/lembaga-pembiayaan-syariah-di-indonesia/>.
67
70
http://macamistilah.blogspot.com/2017/05/pengertian-dasar-hukum-macam-macam-
dan.html diakses pada tanggal 15 Maret 2019 pukul 13.21 WIB.
68
71
Veithzal Rivai, Islamic Banking Sebuah Teori, Konsep, Dan Aplikasi, 1st edn (Jakarta:
Bumi Aksara, 2010), 686.
72
Muhamad Syafii Antonio, Bank Syariah: Suatu Pengenalan Umum, 1st edn (Depok:
Tazkia Institute, 2000), 165.
69
73
Muhammad Syafii Antonio, Bank Syariah.., 2000, 166
70
74
Dadan Muttaqien, Aspek Legal Lembaga Keuangan Syari'ah, 1st edn (Yogyakarta:
Sifiria Insania Press, 2009), 88.
75
Veithzal Rivai, Islamic Banking..., 2010, 683.
71
76
Binti Nur Asiyah, Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, 1st edn (Yogyakarta:
Kalimedia, 2015), 6.
77
Veithzal Rivai, Islamic Banking… 2010, 683.
78
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, 1st edn (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2013), 227.
72
79
Wangsawidjaja Z, Pembiayaan Bank Syariah, 1st edn (Jakarta: PT Gramedia, 2012), 201.
73
80
Rahadi Kristianto, 'konsep pembiayaan..', 2010, 108.
81
Syahliah Mahlan, ‘Analisis Pembiayaan Bank Syariah’,
https://www.academia.edu/9827212/ANALISIS_PEMBIAYAAN_BANK_SYARIAH
74
82
Syahliah Mahlan, ‘Analisis Pembiayaan Bank Syariah’,
https://www.academia.edu/9827212/ANALISIS_PEMBIAYAAN_BANK_SYARIAH
75
83
Muhammad, Manajemen Bank Syariah (Yogyakarta: UPP AMP YKPN), 261.
76
b. Pengadilan, dapat berupa Eksekusi Hak Tanggungan (HT) atas agunan, Eksekusi
agunan yang diikat secara Fidusia yang didaftarkan ke kantor Pendaftaran
Fidusia, dan Pelaporan pidana terhadap nasabah.
c. Melibatkan pihak kepolisian. Alternatif ini dilakukan apabila nasabah tidak
dapat dihubungi, Nasabah melarikan diri, Nasabah tidak mempunyai itikad baik
untuk menyelesaikan kewajibannya dan nasabah tidak bersedia menyerahkan
agunannya.84
B.2. Ijarah
B.2.a. Pengertian Ijarah
Menurut etimologi, ijarah adalah ( بیع المنفعةmenjual manfaat). Menurut
terminologi syara’. ijarah diterjemahkan sebagai jual-beli jasa (upah-mengupah),
mengambil manfaat tenaga manusia dan sewa-menyewa, mengambil manfaat dari
barang. Dalam arti luas, ijarah bermakna suatu akad yang berisi penukaran manfaat
sesuatu dengan jalan memberikan imbalan dalam jumlah tertentu. Menurut bahasa,
ijarah berarti upah atau ganti atau imbalan. Sedangkan lafaz ijarah mempunyai
pengertian umum yang meliputi upah atas pemanfaatan sesuatu benda atau imbalan
sesuatu kegiatan atau upah karena melakukan sesuatu aktivitas.85
Menurut Fatwa Dewan Syariah Nasional MUI Transaksi ijarah dilandasi
adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan perpindahan kepemilikan (hak
milik). Pada ijarah objek transaksinya adalah barang atau jasa dalam waktu tertentu
dengan pembayaran sewa (ujrah), tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan
barang itu sendiri. Akad ijarah diperuntukkan untuk memperoleh jasa pihak lain
guna melakukan pekerjaan tertentu melalui akad ijarah dengan pembayaran upah
(ujrah/fee).86
Sedangkan para ulama fikih mendefenisikan ijarah ini, dengan istilah yang
berbeda-beda:
84
http://eprints.walisongo.ac.id/6549/3/BAB%20II.pdf diakses pada tanggal 15 Maret
2019, pukul 13.43 WIB.
85
Helmi Karim, Fiqh Muamalah, 2nd edn (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997), 29.
86
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional No: 09/DSN-MUI/IV/2000
77
1) Menurut mazhab Hanafi, sebagaimana yang dikutip oleh M. Ali Hasan bahwa
ijarah adalah:
عقد على المنافع بعوض
“Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan”87
2) Menurut Malikiyah, sebagaimana yang dikutip oleh M. Ali Hasan bahwa ijarah
adalah “Nama bagi akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan
untuk sebagian yang dapat dipindahkan”.
Ulama Malikiyah sebagaiman dikutip oleh Wahbah Al-Zuhaili,
mendefinisikan ijarah : memberikan kepemilikan manfaat barang yang mubah dan
dalam kurun waktu tertentu dengan ongkos sewaan. Definisi ini juga terdapat dalam
Mazhab Hanabilah.
3) Menurut Ulama Syafiiyah
عقد على منفعة مقصودة معلو مة قا بلة للبذل واإل با حة بعوض معلوم
Ijarah akad atas suatu manfaat yang diketahui kebolehannya dengan
serah terima dan ganti yang manfaat kebolehannya.
4) Menurut Sayyid Sabiq ijarah adalah:
ومنه سمى الثواب أجرا،اإلجارة مشتقة من األجر وهو العواض
Ijarah di ambil dari kata “Ajrun” yaitu pergantian maka dari itu pahala
juga dinamakan upah.
5) Abdurrahman al – Jaziri mengemukakan :
اإلجارة في اللغة هي مصدر سماعي لفعل أجر على وزن ضرب وقتل فمضارعها يأجر وأجر بكسر الجیم
وضمها ومعنها الجزاء على العمل
Ijarah menurut bahasa merupakan mashdar sima’i bagi fi’il “ajara”
setimbang dengan kata “dharaba” dan “qatala”, maka mudhari’nya ya’jiru dan
ajir (dengan kasrah jim dan dhammahnya) dan maknanya adalah imbalan atas
suatu pekerjaan”.
6) Kemudian Abi Yahya Zakaria juga mengemukakan :
اإلجارة لغة اسم األجر
87
4 M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi Dalam Islam, 2004, 227.
78
Menurut Abi Yahya ijarah Ijarah secara bahasa disebut upah. Yaitu imbalan
dari suatu barang yang disewakan
7) Menurut Muhammad Al-Syarbini Al-Khatib, sebagaimana yang dikutip oleh
Hendi Suhendi88 bahwa ijarah adalah “Pemilikan manfaat dengan adanya
imbalan dan syarat- syarat.”
Jumhur ulama fikih berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan
yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka
melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil
susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, sebab semua itu bukan
manfaatnya, tetapi bendanya.89
Wahbah Zuhaili mengutip pendapat Ibnu Qayyim dalam I’lam Al-
Muwaqi’in bahwa manfaat sebagai asal ijarah sebagaimana ditetapkan ulama fikih
adalah asal fasid (rusak) sebab tidak ada landasannya, baik dari Al-Quran, As-
Sunah, Ijma’ maupun qias yang shahih. Menurutnya, benda yang mengeluarkan
suatu manfaat sedikit demi sedikit, asalnya tetap ada, misalnya pohon yang
mengeluarkan buah, pohonnya tetap ada dan dihukumi manfaat, sebagaimana
dibolehkan dalam wakaf untuk mengambil manfaat dari sesuatu atau sama juga
dengan barang pinjaman yang diambil manfaatnya.90
Dari beberapa pendapat ulama dan mazhab diatas tidak ditemukan
perbedaan yang mendasar tentang defenisi ijarah, tetapi dapat dipahami ada yang
mempertegas dan memperjelas tentang pengambilan manfaat terhadap benda atau
jasa sesuai dengan jangka waktu yang ditentukan dan adanya imbalan atau upah
serta tanpa adanya pemindahan kepemilikan.
Kalau diperhatikan secara mendalam defenisi yang dikemukakan oleh para
ulama mazhab di atas maka dapat dipahami bahwa unsur-unsur yang terdapat dalam
ijarah antara lain. Adanya suatu akad persetujuan antara kedua bela pihak yang
88
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah Membahas Ekonomi Islam Kedudukan Harta, Hak
Milik, Jual Beli, Bunga Bank Dan Riba, Musyarakah, Ijarah, Koperasi, Asuransi,Etika Bisnis Dan
Lain-Lain, 1st edn (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), 114-115.
89
Abdul Aziz Dahlan, ‘Ensiklopedi Hukum Islam’, 1st edn (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hooeve, 1996), 660.
90
Wahbah Zuhaili, ‘Fiqh Islam Wa Adillatuhu’, 1st edn (Bairut: Dar al- Fikr, 1989), 733-
734.
79
ditandai dengan adanya ijab dan Qabul, adanya imbalan tertentu, dan mengambil
manfaat, misalnya mengupah seseorang buruh untuk bekerja.
91
Al-quran, Surat Al-baqarah : 233
92
Al-Quran, Surat Al-Qasas, ayat 26
80
93
Fatwa Dewan Syariah Nasional No. 44/DSN-MUI/VII/2004
81
menyewa orang-orang musyrik saat darurat maupun tidak, sebab ini dapat
merendahkan martabat mereka.94
6. Hadis yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas R.a ia berkata:
احتجم النبى صل هللا علیه و:حدثنا ابن طاوس عن أبیه عن ابن عباس رضي هللا عنهما قال
سلم واعطى الحجام اجره )رواه البخاري
Hadis dari Ibnu Thawus dari ayanya dari Ibnu Abbas Ra dia berkata
bahwa Nabi Saw pernah mengupah seorang tukang bekam kemudian membayar
upahnya. Dari hadits di atas dapat dipahami bahwa Nabi menyuruh untuk
membayar upah terhadap orang yang telah dipekerjakan. Dari hal ini juga dapat
dipahami bahwa Nabi membolehkan untuk melakukan transaksi upah
mengupah.95
7. Hadis Riwayat Ibnu Majah
َ یر أَج َره قَب َل أَن يَ ِجف
ع َرقه َ قَا َل َرسول ّللا صلى هللا علیه وسلم أَعطوا األ َ ِج:عب ِد ّللاِ ب ِن ع َم َر قَا َل
َ عن
َ
()رواه ابن ماجه
Dari Abdillah bin Umar ia berkata: Berkata Rasulullah Saw: Berikan upah
kepada pekerja sebelum keringatnya kering. Hadis di atas menjelaskan tentang
ketentuan pembayaran upah terhadap orang yang dipekerjakan, yaitu Nabi sangat
menganjurkan agar dalam pembayaran upah itu hendaknya sebelum keringatnya
kering atau setelah pekerjaan itu selesai dilakukan.96
94
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, ‘Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-Bukhari’,
in Fathul Baari Syarah Shahih Bukhari, ed. by Amiruddin, 2nd edn (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007).
95
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani, ‘Fathul Baari Penjelasan Kitab Shahih Al-
Bukhari’,2007, 48-49.
96
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalat, 1st edn (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002).
82
97
http://www.nu.or.id/post/read/84810/definisi-dan-rukun-ijarah-sewa-menyewa-dalam-
islam diakses pada tanggal 20 Maret 2019, pukul 12:14 WIB
98
Rozalinda, Fiqh Muamalah Dan Aplikasinya Pada Perbankan Syariah, 1st edn (Padang:
Hayfa Press, 2005), 106.
83
99
Al-Quran Surat An-Nisa’ Ayat 29
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam…, 1989, 759.
100
101
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, 1st edn (Bandung: Pustaka Setia, 2004), 131.
102
Rachmat Syafe’i, Fiqih Muamalah, 2004, 133-134
103
Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu Muhammad Ibnu Rusyd, ‘Bidayah Al-Mujtahid Wa
Nihayatul Muqtashid’, 1st edn (Beirut: Dar al- Fikr, 1995), 185.
84
104
http://hukum.unsrat.ac.id/inst/dsn2000_9_ijarah.pdf, diakses pada tanggal 24 Maret
2019, pukul 20:21 WIB
86
105
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, 1st edn (Jakarta: Sinar Grafika,
2004), 57.
106
Chairuman Pasaribu, Hukum Perjanjian Dalam Islam, 2004, 59.
87
107
Abdul Rohman Ghazaly, Fiqih Muamalah, 1st edn (Jakarta: Kencana Premedia Group,
2010), 284.
108
Serambi Indonesia, Hukum Transaksi Pembiayaan Multi Jasa, artikel diakses pada
tanggal 25 Maret 2019 pukul 20:37 WIB, dari www.serambinews.com
109
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fatwa DSN 44/DSN-
MUI/VIII/2004 Tentang Pembiayaan Multijasa, 2004.
88
2. Dalam hal LKS menggunakan akad ijarah, maka harus mengikuti semua
ketentuan yang ada dalam Fatwa Ijarah.
3. Dalam hal LKS menggunakan akad Kafalah, maka harus mengikuti semua
ketentuan yang ada dalam Fatwa Kafalah.
4. Dalam kedua pembiayaan multi jasa tersebut, LKS dapat memperoleh imbalan
jasa (ujrah) atau fee.
5. Besar ujrah atau fee harus disepakati di awal dan dinyatakan dalam bentuk
nominal bukan dalam bentuk prosentase.
Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau terjadi
perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiaannya dilakukan melalui
Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.
110
Trisdayani Prasastinah Usanti, 'Penanganan resiko HukuM Bak Syariah', 2017, 101 .
111
Hatta Ali, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, 2018, 55
89
Rutabuz Zaman, 112 di jelaskan bahwa “sengketa atau beda pendapat perdata dapat
diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa yang
didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi
di Pengadilan Negeri”. Alternatif penyelesaian sengketa ini dapat dilakukan melalui
lembaga arbitrase, mediasi atau lembaga alternatif lainnya.
Penyebab terjadinya sengketa ekonomi syariah adalah Perbuatan Melawan
Hukum (PMH) atau wanprestasi. Perbuatan melawan hukum adalah perbuatan yang
bertentangan dengan hak dan kewajiban hukum menurut undang-undang.
Perbuatan yang menyebabkan orang lain menderita kerugian, mewajibkan siapa
yang bersalah karena menyebabkan kerugian itu harus mengganti kerugian tersebut
sebagaimana pada pasal 1365 KUH Perdata.113Sedangan Wanprestasi dapat
diartikan sebagai tidak terlaksannya prestasi karena kesengajaan atau kelalaian.114
Sebuah perjanjian dapat terlaksana dengan baik apabila para pihak telah
memenuhi prestasinya masing-masing sebagaimana yang telah diperjanjikan tanpa
ada pihak yang dirugikan. Namun adakalanya perjanjian tidak terlaksana dengan
baik karena adanya wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak atau debitur.
Kata wanprestasi berasal dari bahasa Belanda, yang berarti prestasi buruk. Adapun
yang dimaksud wanprestasi adalah suatu keadaan yang dikarenakan kelalaian atau
kesalahannya, debitur tidak dapat memenuhi prestasi seperti yang telah ditentukan
dalam perjanjian dan bukan dalam keadaan memaksa. 115
Menurut Subekti wanprestasi dapat dibagi menjadi empat bentuk; tidak
melakukan yang disanggupi akad dilakukan dalam akad/perjanjian, melaksanakan
yang dijanjikan tapi tidak sebagaimana yang dijanjikan, terlambat dalam
melakukan apa yang telah disepakati dalam perjanjian, dan melakukan atau
mengerjakan sesuatu yang menurut akad tidak boleh untuk dilakukan.116
112
Muhammad Ruthabuz Zaman, 'Penyelesaian Sengketa Alternatif …', 2015, 21 .
113
P.N.H. Simanjuntak, Hukum Perdata Indonesia, 1st edn (Jakarta: Interpranata
Mandiri, 2017), 3.
114
Hatta Ali. Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah, 2018, 108
115
Nindyo Pramono, Hukum Komersil, 2nd edn (Jakarta: Pusat Penerbitan UT, 2003),
221.
116
Subekti, Hukum Perjanjian (Jakarta: Intermasa, 1985), 30.
90
117
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata (Jakarta: Intermasa, 2005), 148.
91
118
R. Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian (Jakarta: putra abadin, 1999), 18.
92
bagaimana menghukum apa yang mereka anggap perilaku tercela yang belum
tercantum dalam hudud dan jinayat (qisas). Formulasi hukum pidana yang telah
digariskan oleh para penguasa terdahulu patut menjadi pertimbangan demi
pengembangan dan pembaruan. Hanya saja garis besar dan tuntunan wewenang
ta’zir tersebut masih sangan samar dan dasarnya tidak valid karena sifatnya tidak
memadai upaya strukturisasi dan mengontrol Negara-negara modern yang
pluralistic.
Secara bahasa lafaz ta’zir berarti menolak dan melarang atau mencegah,
yang dengan adanya perbuatan keji dapat dihindarkan.119 Kata ta’zir berasal dari
kata عز رyang sinonimnya ( ورد منعmencegah dan menolak), ( ادبmendidik), عظم
( ووقرmengagungkan dan menghormati), dan ( ونص ۡر وقوي اعانmenguatkan dan
menolong).120 Sedangkan secara istilah ada beberapa definisi yang dikemukan oleh
para ulama tentang ta’zir, diantaranya didefinisikan oleh Al-Mawardi sebagai
berikut: “ Ta’zir pemberian sanksi disiplin atas perbuatan dosa yang tidak
menhendaki berlakunya hudud”.121 Syaik Wahbah Zuhaili memberikan definisi
senada dengan definisi Al-Mawardi:
كفلرة ول فيها لحد جناية او معصية على المشروعة العقوبة
Ta’zir menurut istilah adalah hukuman yang ditetapkan atas perbuatan
maksiat atau jinayah yang tidak dikenakan hukuman had dan tidak pula kifarat.
Ta’zir berfungsi untuk melindungi undang-undang umum yang berlaku ditengah
masyarakat, dimana bentuk dan sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada penguasa
atau hakim.122 Ibrahim Unais dan kawan-kawan memberikan definisi ta’zir
menurut syara’ sebagai berikut:
تاديب الشرعي ليبلغ الحد: لتعزيرا شرعا
Ta’zir menurut syara’ adalah hukuman pendidikan yang tidak mencapai
hukuman had syari.123
119
Ahmad Idris Syafii, ‘Fiqh Asy-Syafii’, in Fiqh, 585.
120
Ibrahim Unais, ‘Al-Mu’jam Al-Wasith,’ (Mesir: Dar at-Turas al-Arabi), 598.
121
Al-Mawardi, Ahkam Sulthaniyah, 2nd edn (Jakarta: Qisthi Pres, 2017), 405.
122
Wahbah Zuhaili, fiqhAl-Islam Wa Adillatuhu, 1989,765 .
123
Ibrahim Unais, Al-Mu’jam al-Wasith, tt, 598
93
124
Ibrahim Unais, Al-Mu’jam al-Wasith, tt, 598
125
Nurhayati, ‘Ta’zir Dalam Hukum Islam,’ Igilib.UINSbyd, 2016.
94
128
DSN-MUI, ‘Fatwa DSN-MUI Nomor 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Nasabah Mampu
Yang Menunda-Nunda Pembayaran’.
129
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fatwa Ini DSN MUI
Juga Telah Mengeluarkan Fatwa Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi (Ta’widh).
(Jakarta, 2004).
97
130
Azhari Akmal Tarigan, Ta’zir dan Wewenang Pemerintah Dalam Penerapannya,
(Ahkam, Volume 17, Number 1, 2017), 155
131
Sufiarina, ‘Urgensi Pengadilan Agama Sebagai Penyelesai Sengketa Ekonomi
Syariah’, Hukum Dan Pembangunan, 43.2 Maret-April 2013), 218.
98
dan kewajiban yang belum dapat diselesaikan. Secara umum, penegakan hukum
atas sengketa perdata dapat diselesaikan secara damai di luar pengadilan
(nonlitigasi) dengan cara negosiasi, mediasi dan arbitrase, atau melalui pengadilan
(litigasi) dengan cara mengajukan gugatan. Menurut Darwan Prints, gugatan adalah
suatu upaya atau tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk
melaksanakan tugas atau kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita
oleh penggugat melalui putusan pengadilan.
Prof. Sudikno Mertokusumo mengemukakan bahwa gugatan itu adalah
tuntutan hak yaitu tindakan yang bertujuan memberikan perlindungan yang
diberikan oleh pengadilan untuk mencegah perbuatan main hakim sendiri
(eigenrichting). Dengan demikian gugatan merupakan suatu permohonan yang
disampaikan kepada pengadilan yang berwenang tentang suatu tuntutan terhadap
pihak lain agar diperiksa sesuai dengan prinsip keadilan terhadap gugatan tersebut.
Dalam hal gugatan kepada pengadilan selalu ada pihak penggugat atau para
penggugat, tergugat atau para tergugat dan turut tergugat atau para turut tergugat.
Cara penyelesaian sengketa lewat pengadilan tersebut diatur dalam hukum acara
perdata. Wirjono Prodjodikoro menyatakan bahwa yang dimaksud dengan hukum
acara perdata adalah rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana
orang harus bertindak di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan harus
bertindak satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan
hukum perdata.132
Sudikno Mertokusumo, mengemukakan bahwa objek dari pada ilmu hukum
acara perdata ialah keseluruhan peraturan yang bertujuan melaksanakan dan
mempertahankan atau menegakkan hukum perdata materil dengan perantaraan
kekuasaan negara yang terjadi di pengadilan. Abdul Manan menyatakan bahwa
hukum acara perdata merupakan hukum yang mengatur tentang tata cara
mengajukan gugatan kepada pengadilan, bagaimana pihak tergugat
mempertahankan diri dari gugatan penggugat, bagaimana para hakim bertindak
baik sebelum dan sedang pemeriksaan dilaksanakan dan bagaimana cara hakim
132
Sufiarina, ‘Urgensi Pengadilan Agama..’, 2013, 218
99
memutus perkara yang diajukan oleh penggugat tersebut serta cara bagaimana
melaksanakan putusan tersebut sebagaimana mestinya sesuai dengan peraturan
yang berlaku, sehingga hak dan kewajiban yang telah diatur dalam hukum perdata
dapat berjalan sebagaimana mestinya, hukum acara perdata ini diharapkan para
pihak yang bersengketa dapat memulihkan hak-haknya yang telah dirugikan oleh
pihak lain melalui pengadilan.133
Pasal 55 Undang-undang Perbankan Syariah sebagai undang-undang
menentukan Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berwenang untuk
menyelesaikan sengketa perbankan syariah, namun demikian UU perbankan
syariah secara eksepsional memberikan kewenangan lain melalui perjanjian,
dimana sengketa perbankan syariah dapat ditangani dengan musyawarah, mediasi
perbankan, badan arbitrase Syariah Nasional atau lembaga arbitrase lain serta
melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.134
Perluasan Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama merupakan salah satu
kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara perdata tertentu bagi orang yang beragama Islam
sebagaimana yang dirumuskan dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 7 tahun 1989
tentang Pengadilan Agama. Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana
kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara perdata tertentu yang diatur dalam undang-undang ini. Dengan demikian
keberadaan Pengadilan Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang
beragama Islam. Setelah Undang-undang Nomor 7 tahun 1989 diperbaharui dengan
Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006, maka rumusan tersebut juga ikut berubah,
hal ini karena berkaitan dengan ruang lingkup kekuasaan dan wewenang pengadilan
agama bertambah. Dengan adanya perubahan tersebut maka rumusan yang terdapat
dalam pasal 2 Undang-undang Nomor 3 tahun 2006 adalah ‚ Pengadilan Agama
adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang
133
Sufiarina, ‘Urgensi Pengadilan Agama..”2013 ), 218.
134
Ahmad Khotibul Umam, ‘Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah Di
Indonesia’, Risalah, 1.1, 2.
100
135
Ahmad Khotibul Umam, ‘Hukum Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di
Indonesia’, 2016, 3.
136
Moch. Endang Djunaeni dan Maulana Yusuf, ‘Analisis Penerapan Denda Di Lembaga
Keuangan Syariah Perspektif Hukum Islam’, Al-Amwal, 9.2 (2017).
101
137
Moch. Endang Djunaeni dan Maulana Yusuf, ‘Analisis Penerapan Denda..’, 2017,
138
Moch. Endang Djunaeni, Maulana Yusuf, ‘Analisis Penerapan Denda..’, 2017
139
Salim HS, Hukum Kontrak : Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak, 1st edn (Jakarta:
Sinar Grafika, 2006), 7.
102
secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan prinsip
syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan
khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.140 Mengatur keamanan
pelaksanaan ta’zir yang berbentuk denda ini Dewan Syariah Nasional telah
mengaturnya dalam fatwa nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti Rugi
(Ta’widh).
Pertimbangan-pertimbanagn yang diambil oleh Dewan Syariah Nasional
dalam metetapkan fatwa tersebut adalah sebagai berikut: bahwa lembaga keuangan
syariah (LKS) beroperasi berdasarkan prinsip syariah untuk menghindarkan praktik
riba atau praktik yang menjurus kepada riba, termasuk masalah denda finansial
yang biasa dilakukan oleh lembaga keuangan konvensional; namun demikian para
pihak yang melakukan transaksi dalam LKS terkadang mengalami resiko kerugian
akibat wanprestasi atau kelalaian dengan menunda-nunda pembayaran oleh pihak
lain yang melanggar perjanjian; sedangkan syariat Islam melindungi kepentingan
semua pihak yang bertransaksi, baik nasabah maupun LKS, sehingga tidak boleh
ada satu pihak pun yang dirugikan hak-haknya. Kerugian yang benar-benar dialami
secara riil oleh para pihak dalam transaksi wajib diganti oleh pihak yang
menimbulkan kerugian tersebut. Maka karena masyarakat, dalam hal ini para pihak
yang bertransaksi dalam LKS meminta fatwa kepada DSN tentang ganti rugi akibat
penunda-nundaan pembayaran dalam kondisi mampu. Dalam upaya melindungi
para pihak yang bertransaksi, DSN memandang perlu menetapkan fatwa tentang
ganti rugi )ta’widh) untuk dijadikan pedoman.141
Dengan mempertimbangkan ayat-ayat Al-Quran, hadis nabi Saw. Dan juga
pendapat ulama maka DSN MUI memutuskan fatwa sebagaimana telah dikutip
pada pembahasan Fatwa tentang ta’zir.
140
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan
Syariah, 1st edn (Yogyakarta: Politea Press, 2008), 6.
141
Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Fatwa Ini DSN MUI
Juga Telah Mengeluarkan Fatwa Nomor 43/DSN-MUI/VIII/2004 Tentang Ganti Rugi (Ta’widh).
103
142
Muhammad Rifqi dan Parman Komarudin Hidayat, ‘Tinjauan Hukum Kontrak Syariah
Terhadap Ketentuan Force Majeure Dalam Hukum Perdata’, Jurnal Ilmu Hukum Dan Pemikiran,
17.1 (2017).
143
Muhammad Rifqi dan Parman Komarudin Hidayat, ‘Tinjauan Hukum Kontrak Syariah
Terhadap Ketentuan Force Majeure..’, 2017
104
144
https://en.wikipedia.org/wiki/Force_majeure, diakses pada tanggal 19 April 2019,
pukul 16:46 WIB
105
sementara, dan sama halnya dalam akad jual beli, sewa menyewa atau yang
lainnya.145
Force majeure atau yang sering diterjemahkan sebagai “keadaan memaksa”
merupakan keadaan dimana seorang debitur terhalang untuk melaksanakan
prestasinya karena keadaan atau peristiwa yang tidak terduga pada saat dibuatnya
kontrak, keadaan atau peristiwa tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan,
sementara debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk. Dalam hukum
perdata Indonesia force majeure di atur dalam KUH Pedata Pasal 1244, Pasal 1245
dan Pasal 1545.146
Pasal 1244 KUH Perdata menyebutkan :147 ” Dalam hal ini, kejadian-
kejadian yang merupakan force majeure tersebut tidak pernah terduga oleh para
pihak sebelumnya. Sebab, jika para pihak sudah dapat menduga sebelumnya akan
adanya peristiwa tersebut maka seyogianya hal tersebut harus sudah dinegosiasi di
antara para pihak”. Dengan perkataan lain, bahwa peristiwa yang merupakan force
majeure tersebut tidak termasuk ke dalam asumsi dasar (basic asumption) dari para
pihak ketika kontrak tersebut dibuat.
Pasal 1245 KUH Perdata :148 “Tidaklah biaya rugi dan bunga, harus
digantinya, apabila lantaran keadaan memaksa atau lantaran suatu kejadian tak
disengaja si berutang berhalangan memberikan atau berbuat sesuatu yang
diwajibkan, atau lantaran hal-hal yang sama telah melakukan perbuatan yang
terlarang”.
Pasal 1545 KUH Perdata:149 “Jika barang tertentu, yang telah dijanjikan
untuk ditukar musnah di luar kesalahan pemiliknya, maka persetujuan dianggap
145
Khalid Ali Sulaiman, ‘Al-Farqu Baina Quwah Al-Qahirah Wa Al-Quwah Al-Tharaí’,
Al-Majalah Al-Ardaniyah Fi Dirasat Al-IsLamiyah, 2 (2006)
<www.researchgate.net/publication/327766171_alfrq_byn_alqwt_alqahrt_wnzryt_alzrwf_altaryt_
drast_fqhyt_mqarnt_balqanwn>, 2.
146
Yuna Elis, ‘Force Majeure Dan Akibat Akibat Hukum’, Academia
<https://www.academia.edu/9857279/FORCE_MAJEURE_DAN_AKIBAT-
AKIBAT_HUKUMNYA?auto=download>.
147
‘Kitab Undang Undang Hukum Perdata’, in Buku III (Tentang Perikatan).
148
‘Kitab Undang Undang Hukum Perdata’, in Buku III (Tentang Perikatan).
149
‘Kitab Undang Undang Hukum Perdata’, in Buku III (Tentang Perikatan).
106
gugur dan pihak yang telah memenuhi persetujuan dapat menuntut kembali barang
yang telah ia berikan dalam tukar-menukar”.
Dari pemaparan 3 pasal KUH Perdata di atas dapat ditarik kesimpulan
bahwa Peristiwa tersebut dapat berupa hal yang menimpa pribadi debitur itu sendiri
(force majeuree subjektif) misalnya debitur ditimpa penyakit yang sangat berat
sehingga tidak dapat berprestasi lagi, atau yang merusak dan atau memusnahkan
objek kontrak yang dimaksudkan (force majeure objektif). Maka dalam hal ini,
debitur tidak dapat dianggap wanprestasi dan tidak dapat dituntut membayar ganti
rugi selama debitur tersebut tidak dalam keadaan beritikad buruk.
Berdasarkan ketiga pasal diatas juga dapat dipahami bahwa secara umum
ada tiga syarat diakuinya suatu peristiwa sebagai force majeure, yaitu: Peristiwa
yang menyebabkan terjadinya force majeure tersebut tidak diduga sebelumnya oleh
para pihak. Yang kedua Peristiwa yang menyebabkan terjadinya force majeure
tersebut terjadi diluar kesalahan para pihak. Dan yang ketiga Para pihak tidak dalam
keadaan beriktikad buruk. Apabila ketiga syarat force majeure diatas telah
terpenuhi, maka secara prinsip debitur tidak dapat dianggap wanprestasi karena
gagal melaksanakan kontraknya.150
Sedangkan menurut Rahmat S.S. Soemadipradja dalam bukunya,
“Penjelasan Hukum dalam Keadaan Memaksa (Syarat-syarat pembatalan
perjanjian yang disebabkan keadaan memaksa/force majeure)”, menyebutkan
unsur-unsur keadaan memaksa adalah sebagai berikut : Peristiwa yang tidak
terduga, tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada debitur, tidak ada itikad buruk
dari debitur, adanya keadaan yang tidak disengaja oleh debitur, keadaan itu
menghalangi debitur berprestasi, jika prestasi dilaksanakan maka akan terkena
larangan, keadaan di luar kesalahan debitur, debitur tidak gagal berprestasi
(menyerahkan barang), kejadian tersebut tidak dapat dihindari oleh siapa pun (baik
debitur maupun pihak lain). Dan debitur tidak terbukti melakukan kesalahan atau
kelalaian.151
150
Tommi Ricky Rosandy, ‘Force Majeure Dalam Kontrak Bisnis’, 2011 , 5,
<https://tommirrosandy.wordpress.com/2011/02/25/force-majeure-dalam-kontrak-bisnis/>.
151
Agri Chairunisa Isradjuningtias, ‘Force Majeur (Overmatch) Dalam Hukum Perjanjian
Indonesia’, Academia, 136.
107
<https://www.academia.edu/35697981/FORCE_MAJEURE_OVERMACHT_DALAM_HUKUM
_KONTRAK_PERJANJIAN_INDONESIA>.
152
Muhammad Rifqi dan Parman Komarudin Hidayat, ‘Tinjauan Hukum Kontrak Syariah
Terhadap Ketentuan Force Majeure..’, 2017, 35.
108
7. Kaidah Fikih
الضرر يزال
األصل في العقود والمعامالت الصحة حتى يقوم دلیل على البطالن والتحريم
Kaidah pertama “al-dharar yuzal” adalah kaidah yang lazim digunakan
sebagai landasan untuk menjelaskan bahwa Islam sangat memperhatikan
kemaslahatan. Begitupun dengan force Majeure yaitu suatu kondisi yang berada
diluar kendali manuasia. Kaidah kedua menjelaskan bahwa dalam transaksi Islam,
asal hukumnya adalah boleh, begitupun dengan mensyaratkan kondisi force
majeure dalam akad sebagai bentuk prefentif dari kondisi yang tidak terduga,
karena tidak ada dalil yang mengharamkannya.
8. Fatwa Majma Al-Fiqh Al-Islami
ويحق للقاضي أيضا أن يمهل: ( فقد جاء في القرار السابع ما نصه،وهذا ما قرره المجمع الفقهي اإلسالمي
وال يتضرر الملتزم له كثیرا بهذا اإلمهال،الملتزم إذا وجد أن السبب الطارئ قابل للزوال في وقت قصیر
Keputusan dari Dewan Fikih Islam )Majma’al-fiqh al-islami), dalam qarar
ketujuh yang berbunyi: (hakim berhak untuk meletakan kewajiban jika ditemukan
Force majeure, yang mungkin hilang dalam waktu singkat, dan hendaknya pihak
yang berkontrak tidak mengalami kemudaratan yang besar dengan pembatalan ini.
109
فإنه يجیز للقاضي تعديل العقد إذا كان في ذلك،وما ذهب إلیه القانون يوافق ما ذهب إلیه الفقه اإلسالمي
أو ألحدهما بشرط أن ال يتضرر المتعاقد اآلخر،مصلحة للمتعاقدين.
Undang-undang tersebut sejalan dengan fikih Islam, yang memungkinkan
hakim untuk mengubah kontrak jika itu untuk kepentingan kontraktor, atau salah
satunya asalkan kontraktor lain tidak dirugikan.153
9. Selanjutnya yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam penerapan kontak
force majeure adalah maqashid asy-syaria, yaitu hifdzu mall. Setiap muslim
memiliki kewajiban untuk menjaga hartanya dengan syarat harta tersebut adalah
harta yang hal, didapatkan dengan jalan halal dan dikeluarkan zakatnya. Lebih
jauh para ulama dalam penjagaan harta ini menerapkan ta’min atau asuransi,
yang dilandasi dengan akad takaful. Semua itu adalah bentuk preventif untuk
melindungi harta dari hal yang tidak diinginkan, salah satunya yaitu force
majeure. 154
Sedangkan dalam perundang-undangan Indonesia peraturan mengenai force
majeure ini diatur dalam KUH perdata. Walaupun jika dicermati pasal-pasal dalam
KUH Perdata mengenai hukum kontrak, ternyata tidak terdapat suatu pasal pun
yang mengatur force majeure secara umum untuk suatu kontrak bilateral
(prestasinya timbal balik). Sehingga tidak ada patokan yuridis secara umum yang
dapat dipakai dalam mengartikan apa yang dimaksud dengan force majeure itu.
Karena itu, untuk menafsirkan apa yang dimaksud dengan force majeure oleh KUH
Perdata ini, yang dapat dilakukan hanya menarik kesimpulan-kesimpulan umum
dari pengaturan-pengaturan khusus, yaitu pengaturan khusus tentang force majeure
yang terdapat dalam bagian pengaturan tentang ganti rugi, atau pengaturan resiko
akibat force majeure untuk kontrak sepihak ataupun dalam bagian kontrak-kontrak
khusus (kontrak bernama). Disamping tentunya menarik kesimpulan dari teori-teori
hukum tentang force majeure, doktrin dan yurisprudensi Berikut adalah beberapa
pasal yang membahas mengenai force majeure:155
153
’ ااا ااااااا, أركانها وشروطها: ‘نظرية الظروف الطارئة,/الدكتور أحمد الصويعي شلیبك,
2014.
154
Muhammad Rifqi dan Parman Komarudin Hidayat, ‘Tinjauan Hukum Kontrak
Syariah..’, 2017, 42.
155
‘Kitab Undang Undang Perdata’.
110
ataukah dia akan meminta pembatalan sewa-menyewa. Dalam kedua hal tersebut,
dia tidak berhak untuk meminta ganti rugi.”
156
Agri Chairunisa Isradjuningtias, ‘Force Majeur (Overmatch),- , 8.
157
Muhammad Rifqi dan Parman Komarudin Hidayat, ‘Tinjauan Hukum Kontrak
Syariah..’, 2017, 36.
112
Pasal 1243 mengatur tentang kewajiban ganti kerugian, jika debitur lalai
memberikan prestasi. Jika debitur lalai memenuhi kewajiban perikatannya, maka
debitur harus dihukum mengganti biaya, rugi, dan bunga apabila debitur tidak dapat
membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya kewajiban karena hal yang tidak
terduga. Agar debitur dapat mengemukakan adanya force majeure maka debitur
berkewajiban untuk membuktikan; Debitur tidak mempunyai kesalahan atas
timbulnya halangan prestasi, halangan itu tidak dapat diduga sebelumnya dan
debitur tidak menanggung resiko baik menurut undang-undang maupun ketentuan
perjanjian atau karena ajaran itikad baik harus menanggung resiko.
Yahya Harahap sebagaimana dikutip oleh Fariz Al-Hasni158 dalam tesisnya.
menjelaskan bahwa akibat hukumnya adalah sebagai berikut:
1. Membebaskan debitur dari membayar ganti rugi. Dalam hal ini, hak kreditur
untuk menuntut gugur untuk selama-lamanya. Jadi, pembebasan ganti rugi
sebagai akibat keadaan memaksa adalah pembebasan mutlak.
2. Membebaskan debitur dari kewajiban melakukan pemenuhan prestasi yang
diakibatkan keadaan memaksa relatif. Pembebasan itu pada umumnya hanya
bersifat menunda, selama keadaan force majeure masih menghalangi/merintangi
debitur melakukan pemenuhan prestasi. Bila keadaan memaksa hilang, kreditur
kembali dapat menuntut pemenuhan prestasi. Pemenuhan prestasi tidak gugur
selamalamanya, hanya tertunda, sementara keadaan memaksa masih ada.
Singkatnya, force majeure pada dasarnya memiliki tiga akibat hukum, yaitu
pembebasan ganti rugi sebagaimana dalam pasal 1244 KUH Perdata dan penundaan
pemenuhan prestasi kepada pihak debitur yang mengalami musibah. Beban Resiko
tidak berubah, terutama pada keadaan memaksa sementara. Kreditur tidak berhak
atas pemenuhan prestasi, tetapi sekaligus demi hukum bebas dari kewajibannya
untuk menyerahkan kontra prestasi, kecuali untuk yang disebut dalam Pasal 1460
KUH Perdata.
Ketiga akibat itu dibedakan menjadi dua macam : Akibat keadaan memaksa
absolut, dan akibat keadaan memaksa relatif, yaitu akibat hukum nomor 3.
158
Fariz Al-Hasni, ‘Force Majeure Dalam Kontrak Pembiayaan Bank Syariah’ (UIN
Sunan Kalijaga, 2017), 54.
113