A. Pengertian
Hukum dan kebudayaan adalah bagian yang tak terpisahkan. Kebudayaan adalah
suatu komponen penting dalam kehidupan masyarakat, khususnya struktur sosial. Secara
sederhana kebudayaan dapat diartikan sebagai suatu cara hidup atau dalam bahasa Inggrisnya
disebut ways of life. Keduanya menuntun hidup bermasyarakat dalam menciptakan
ketertiban menuju kedamaian hidup yang dicita-citakan. Tanpa hukum yang dibudayakan
sangat sulit mewujudkan kehidupan bersama yang bermanfaat karena dapat saja terjadi
ketidakteraturan.
Paul Scholten juga mempunyai pendapat tentang arti kesadaran hukum. Paul
Scholten menyatakan bahwa: Kesadaran hukum adalah kesadaran yang ada pada setiap
manusia tentang apa hukum itu atau apa seharusnya hukum itu, suatu kategori tertentu dari
hidup kejiwaan kita dengan mana kita membedakan antara hukum dan tidak hukum
(onrecht), antara yang seyogyanya dilakukan dan tidak dilakukan.
2. Budaya Hukum (Legal Culture) Dan Pengaruhnya Terhadap Penegakan Hukum Indonesia
Reformasi hukum dan keadilan bukan masalah yang sederhana. Reformasi bidang
hukum tidak hanya berarti reformasi peraturan perundang-undangan, tetapi mencakup
reformasi sistem hokum secara keseluruhan, yaitu reformasi materi/substansi hukum, struktur
hukum dan budaya hukum. Penegakan hukum dan keadilan merupakan serangkaian proses
yang cukup panjang dan melibatkan berbagai komponen masyarakat. Komponen struktur
adalah bagian-bagian yang bergerak dalam suatu mekanisme.
Komponen substansi merupakan hasil aktual yang diterbitkan oleh sistem hukum dan
meliputi kaidah-kaidah hukum yang tidak tertulis. Sedangkan komponen kultur, adalah nilai
dan sikap yang mengikat sistem hukum itu secara bersama dan menghasilkan suatu bentuk
penyelenggaraan hukum dalam budaya masyarakat secara keseluruhan. Komponen kultur
memegang peranan yang sangat penting dalam penegakan hukum khususnya hukum pidana.
Ada kalanya tingkat penegakan hukum pada suatu masyarakat sangat tinggi karena didukung
oleh kultur masyarakat, misalnya melalui partisipasi masyarakat yang sangat tinggi pula
dalam usaha melakukan pencegahan kejahatan, melaporkan dan membuat pengaduan atas
terjadinya kejahatan di lingkungannya dan bekerja sama dengan aparat penegak hukum
dalam usaha penanggulangan kejahatan, meskipun komponen struktur dan substansinya tidak
begitu baik dan bahkan masyarakat tidak menginginkan prosedur formal itu diterapkan
sebagaimana mestinya.
Ada kalanya, suatu komponen struktur dan substansi sangat baik atau dapat dikatakan
modern, dalam kenyataannya tidak selalu menghasilkan output penegakan hukum yang
tinggi, karena kultur masyarakat tidak mendukung prosedur formal yang telah ditetapkan.
Pada hal penegakan hukum akan selalu berinteraksi dan berinterelasi dengan lingkungan
sosialnya. Pelaksanaan penegakan hukum akan dapat mencapai tujuan sebagaimana telah
ditentukan melalui fungsi dari bekerjanya proses dan kekuatan-kekuatan dalam masyarakat,
yaitu kekuatan sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Pengaruh di luar hukum yang
menimbulkan pluralisme dalam penegakan hukum pidana telah dikaji oleh Joseph Goldstein.
Penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilakukan, sebab para penegak
hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana antara lain mencakup aturan-aturan
penangkapan, penahanan, dan sebagainya. Menurut Goldstein, harapan itu tidak realistik
karena adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, dan sebagainya,
yang kesemuanya itu mengakibatkan keharusan dilakukannya discretions. Dan yang tersisa
adalah «Actual Enforcement». Adanya klasifikasi penegakan hukum di atas karena
penegakan hukum tidak akan dapat berjalan begitu saja hanya dengan mengandalkan
komponen struktur dan substansi, karena terdapat asumsi bahwa peraturan perundang-
undangan tidak lengkap mengatur tingkah laku manusia.
Yang diatur oleh undang-undang adalah manusia yang mempunyai perbedaan dalam
mentalitas, latar belakang budaya,pendidikan, dan sebagainya. Perbedaan persepsi
masyarakat terhadap ketentuan perundang-undangan akan menimbulkan akibat bahwa
penegakan hukumnya juga berbeda antara kelompok masyarakat tertentu dan kelompok
masyarakat lain. Dewan Adat yang menangani masalah ini menjatuhkan Reaksi Adat, yang
mengharuskan Amutayo dan Enta membayar tiga ekor sapi. 28 Februari 1995, menjatuhkan
putusan menghukum Terdakwa I dan II dengan pidana penjara selama 3 bulan.
3. Pengaruh Budaya Hukum Terhadap Penengakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Dalam
Pendidikan Indonesia
Indonesia sudah mempunyai beberapa institusi dengan bertugas melaksanakan
penegakan aturan. Didalam bentuk sistem peradilan pidana pada Indonesia, polisi dan jaksa,
hakim dan lembaga permasyarakatan mempunyai kiprah yang sangat penting dalam
membentuk atau menciptakan penegak-penegak aturan yang lebih optimal pada sistem
peradilan pidana pada Indonesia yang terintegrasi. Dalam memberantas tindak pidana
korupsi, lembaga pemerintah sudah membangun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),
BPK, BPKP, dan Komisi Ombudsman dan pula sudah melibatkan berbagai institusi pada
memutus mata rantai tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia.
Budaya hukum adalah tanggapan umum yang sama dari masyarakat tertentu terhadap
gejala-gejala hukum. Tanggapan itu merupakan kesatuan pandangan terhadap nilai-nilai dan
perilaku hukum. Jadi suatu budaya hukum menunjukkan tentang pola perilaku individu
sebagai anggota masyarakat yang menggambarkan tanggapan (orientasi) yang sama terhadap
kehidupan hukum yang dihayati masyarakat bersangkutan. Diketahuinya budaya hukum
masyarakat setempat merupakan bahan informasi yang penting, artinya untuk lebih mengenal
susunan masyarakat setempat, sistem hukum, konsepsi hukum, norma-norma hukum dan
perilaku manusia. Budaya hukum bukan merupakan budaya pribadi melainkan budaya
menyeluruh dari masyarakat tertentu sebagai satu kesatuan sikap dan perilaku.
Dalam praktek kehidupan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat, secara mendasar
(grounded dogmatic) dimensi kultur seyogianya mendahului dimensi lainnya, karena di
dalam dimensi budaya itu tersimpan seperangkat nilai (value system). Selanjutnya sistem
nilai ini menjadi dasar perumusan kebijakan (policy) dan kemudian disusul dengan
pembuatan hukum (law making) sebagai rambu-rambu yuridis dan code of conduct dalam
kehidupan masyarakat sehari-hari, yang diharapkan akan mencerminkan nilai-nilai luhur
yang dimiliki oleh bangsa yang bersangkutan. Menurut tujuan kebijakan strategis, yang
penting adalah sejauhmana lembaga perumus kebijakan dan penyusun peraturan hukum
secara konsisten tetap mengacu kepada sistem nilai yang filosofis itu agar setiap garis
kebijakan dan aturan hukum yang tercipta dinilai akomodatif dan responsif terhadap aspirasi
masyarakat, secara adil dengan perhatian yang merata. Kearifan politis dengan pendekatan
kultural seperti ini menjadi tuntutan konstitusional seluruh rakyat Indonesia yang struktur
sosialnya penuh keanekaragaman, pluralis dan heterogen, beragam-ragam sub etnik, agama,
adat istiadat dan unsur-unsur kulturalnya Masyarakat Indonesia itu adalah Bhineka Tunggal
Ika, berbeda dalam kesatuankesatuan yang berisi berbagai perbedaan, maka selain pandangan
hidup yang nasional, akan terdapat pandangan hidup setempat atau segolongan yang bersifat
lokal. Sistem hukum lokal ini menunjukkan mekanisme dari seperangkat fungsi dan peranan
yang saling bertautan dalam proses hukum yang berkesinambungan dari masa lampau,
sekarang dan akan dating dengan mengikuti perilaku manusia dalam kehidupan masyarakat.
Bila kita berbicara tentang hukum tentu semuanya sudah mengetahui bahwa hukum
tersebut dibuat untuk keperluan mengatur tingkah laku manusia, karena memang pada
dasarnya perilaku ataupun tingkah laku manusia memiliki sifat yang beragam, untuk sekedar
mengikat tingkah laku manusia dibentuklah apa yang dinamakan hukum, dengan adanya
hukum tersebut maka pada konsepnya tingkah laku manusia dapat dikontrol dan dapat
dikendalikan, perilaku manusia ini pada dasarnya memang tidak terlepas dari pola pikir dan
wujud budaya manusia itu sendiri, dalam arti bahwa segala yang dilakukannya adalah
berdasarkan budaya yang ada dalam masyarakat itu sendiri.
Dalam hal ini terlihat bahwa hukum positif, baik ketika dibentuk maupun pada saat
diterapkan dalam kasus-kasus konkret di lapangan, akan bersentuhan dengan faktor ruang
dan waktu. Faktor ruang menunjuk pada tempat (lokasi) tempat para subjek hukum berada
dan berinteraksi dengan sesama dan alam sekitarnya. Faktor waktu menunjuk pada kurun
masa tertentu pada saat subjek hukum ini hidup dan beraktivitas. Kedua faktor ini
membingkai aktivitas manusia sebagai mahluk individu dan mahluk sosial, sehingga faktor
ruang dan waktu ini dapat membentuk pola perilaku anggota-anggota masyarakat. Adat dan
kebiasaan adalah contoh dari pola perilaku orang-orang yang berada dalam ruang yang sama
pada kurun waktu tertentu. Kesamaan ini membentuk budaya.
C. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan yaitu deskriptif. Penelitian deskriptif adalah
metode penelitian yang berusaha menggambarkan objek atau subjek yang diteliti secara
mendalam, luas, dan terperinci. Penelitian deskriptif merupakan salah satu metode yang
dapat dipilih saat melakukan penelitian. Adapun pengertian deskriptif menurut Sugiyono
(2012: 29) adalah metode yang berfungsi untuk mendeskripsikan atau memberi gambaran
terhadap objek yang diteliti melalui data atau sampel yang telah terkumpul sebagimana
adanya, tanpa melakukun analisis dan membuat kesimpulan yang berlaku umum.
Menurut Hidayat syah, Penelitian deskriptif adalah “Metode penelitian yang
digunakan untuk menemukan pengetahuan yang sekuas-luasnya terhadap objek penelitian
pada suatu masa tertentu”.
Menurut Punaji Setyosari, ia menjelaskan bahwa Penelitian deskriptif adalah
“Penelitian yang bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan suatu keadaan,
peristiwa, objek apakah orang, atau segala sesuatu yang terkait dengan variabel-variebel yang
bisa dijelaskan baik dengan angka-angka maupun kata-kata”.
Menurut Sukmadinata (2006:72), menjelaskan Penelitian deskriptif adalah suatu
bentuk penelitian yang ditujukan untuk mendeskripsikan fenomena-fenomena yang ada, baik
fenomena alamiah maupun fenomena buatan manusia”.
Menurut Budiarto dalam Metode Penelitian deskriptif, ciri-ciri penelitian deskriptif
yaitu:
•Penelitian deskriptif merupakan penelitian kuantitatif dengan tujuan mendeskripsikan
variabel-variabel utama subjek studi, misalnya umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan,
status marital, sosial ekonomi, dan lain sebagainya sesuai tujuan penelitian.
•Penelitian deskriptif murni tidak membutuhkan kelompok kontrol sebagai pembanding
karena yang dicari perolehan gambaran tentang hal-hal yang berkaitan dengan permasalahan
yang dipilih.
•Hubungan sebab akibat hanya merupakan perkiraan berdasarkan tabel silang yang disajikan.
•Hasil penelitian disajikan sesuai dengan data yang diperoleh tanpa dilakukan analisis
mendalam.
•Penelitian deskriptif merupakan penelitian pendahuluan dan digunakan bersama-sama
dengan jenis penelitian lain.
•Pengumpulan data dilakukan dalam satu saat atau satu periode tertentu.
•Setiap subjek studi selama penelitian hanya diamati satu kali.
•Pengumpulan data dilakukan dengan pendekatan cross-sectional berupa sampling survei
atau data sekunder.
•Penelitian deskriptif dapat dilakukan pada wilayah terbatas, seperti desa atau kecamatan.