Anda di halaman 1dari 11

Nama: Rifky Izzulhaq Marza

NIM: 210510059

Kelas: Hukum Keluarga dan Waris III-B

Resume

1. Sistem Kekeluargaan/kerabatan Matrilineal

Pengertian Matrilineal

Matrilineal adalah sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari pihak ibu saja.
Anak kemudian akan terhubung dengan sang ibu termasuk terhubung dengan kerabat ibu,
berdasarkan kepada garis keturunan perempuan secara unilateral.

Konsekuensi sistem kekerabatan ini adalah menarik keturunan dari garis ibu yang
dipandang sangat penting. Dalam urusan warisan orang-orang dari garis keturunan ibulah yang
akan mendapatkan porsi lebih banyak dibanding dari garis bapak.

Sistem kekerabatan ini kemudian dapat dijumpai pada masyarakat Minangkabau serta
Semando. Anak yang menghubungkan diri dengan ibunya berdasarkan garis keturunan
perempuan.

Dalam masyarakat matrilineal, keturunan menurut garis ibu sendiri dipandang sangat
penting, sehingga akan menimbulkan hubungan pergaulan kekeluargaan yang jauh lebih
meresap pada para keluarga dengan keturunan menurut garis ibu. Di Indonesia Sistem
kekerabatan ini berlaku kepada masyarakat minangkabau.

Matrilineal pada Suku Minangkabau

Di Indonesia tak banyak suku yang menganut sistem kekerabatan ini. Namun Salah satu
suku penganut sistem matrilineal yang masih bertahan adalah suku Minangkabau. Keberadaan
suku Minangkabau mendominasi provinsi Sumatera Barat dengan populasi yang besar.

Berikut ini beberapa sistem matrilineal yang dianut suku Minangkabau

1. Melakukan Pernikahan Eksogami


Pada sistem matrilineal, adat di Minangkabau tak mendukung terjadinya perkawinan
antarsuku. Sekalipun berasal dari nagari (satu desa atau daerah) yang berbeda namun memiliki
suku yang sama, maka perkawinan itu tetap dipandang sebagai hal yang tidak baik.

Adat Minangkabau kerap mengkhawatirkan terjadinya kerusakan garis kesukuan jika


terjadi perkawinan di antara dua orang yang berasal dari suku yang sama. Bagi yang akhirnya
melanggar ketentuan ini umumnya akan mendapatkan sanksi sosial, seperti dikucilkan dari
masyarakat.

Berkaitan dengan pernikahan eksogami, tak jarang laki-lakilah yang kemudian diberikan
mahar. Posisi laki-laki dengan kondisi demikian ini akan membuat mereka disebut sebagai
orang jemputan. Setelah menikah, seorang laki-laki akan menjadi “tamu” sebab mereka
kemudian akan tinggal di rumah keluarga istrinya.

2. Generasi yang dilahirkan akan berpengaruh pada ukuran rumah Gadang yang dihuni

Rumah Gadang menjadi pusaka dan menjadi tempat diadakannya berbagai acara-acara
penting mulai dari upacara kelahiran hingga pesta perkawinan. Jika seorang laki-laki telah
berkeluarga, maka rumah Gadang yang ditempati oleh saudara perempuan bersama suami
serta anak-anak mereka.

Pengembangan rumah juga akan menyesuaikan kepada kebutuhan anak perempuan.


Semakin banyak isinya, maka akan semakin besar pula ukuran rumahnya. Perempuan juga
memegang peran sentral pada struktur kekeluargaan.

Pada umumnya, tidak ditemukan keterlantaran karena pada setiap generasi dan
kelompok memang memiliki peran yang sama pentingnya. Bagi masyarakat Minangkabau,
hidup bersama keluarga besar adalah sama dengan mendapatkan perlindungan yang besar dari
keluarga tersebut.

Orangtua memiliki tanggung jawab kepada kelangsungan hidup anak, sementara anak-
anak bertanggung jawab pada keluarga dengan usia lanjut. Jika dua ketentuan tersebut tidak
berjalan, maka tanggung jawab kemudian akan dialihkan ke anggota keluarga saparuik.
Jika tidak juga, maka akan diambil alih oleh anggota keluarga sajurai, dan seterusnya
hingga ke tingkat keluarga yang lebih tinggi

3. Nama Keturunan Ditarik dari Salah Satu Pihak

Matrilineal merupakan istilah yang menyebut sistem kekerabatan yang menarik garis
keturunan dari pihak perempuan (ibu), baik pada anak laki-laki atau anak perempuan. Mereka
kemudian menyandang suku pada namanya sesuai dengan suku yang dimiliki oleh sang ibu.

Mulai dari nenek moyang hingga generasi yang baru lahir, anak-anak Minangkabau
umumnya tidak akan menggunakan suku dari pihak ayah. Karena hal inilah, kelahiran seorang
anak perempuan disambut dengan sangat baik sebab kelak ia akan menjadi penerus garis
keturunan sukunya.

4. Harta Warisan Digunakan Kolektif

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, masyarakat Minangkabau kemudian memiliki


hubungan yang sangat erat dengan kerabatnya. Kuatnya hubungan ini sendiri dilandasi oleh
tujuan serta berbagai kepentingan bersama, yaitu berupa kepemilikan atas rumah dan tanah.

Jadi, meskipun perempuan berperan besar dalam kesukuan, bukan berarti perempuan
akan mendapatkan kuasa penuh pada harta warisan atau pusaka di keluarganya. Masyarakat
Minangkabau memiliki filosofi Adat Basandi Syarak, Syarak Basandi Kitabullah. Maknanya,
selain berpegang teguh kepada adat, masyarakat Minangkabau juga akan menjadikan ajaran
Islam sebagai pedoman dalam kehidupan termasuk dalam pembagian harta warisan.

Masyarakat Minangkabau pada umumnya juga menganut pewarisan dari mamak (paman
atau saudara laki-laki ibu) kepada kemenakan. Dari pembagian harta warisan ini biasanya harta
warisan akan digunakan secara bersama-sama oleh sang penerima warisan dengan anggota
keluarga yang lain. Bisa dibilang, harta warisan kemudian tidak bisa dibagi dan harus tetap utuh
karena milik bersama.

5. Ada beberapa hubungan antara perempuan dan laki-laki di dalam sistemnya


Sistem matrilineal yang dianut suku Minangkabau kemudian menyebabkan perempuan
serta laki-laki akan mendapat sebutan yang berbeda. Perbedaan itu sendiri tergantung pada
jenis hubungan yang terjalin.

2. Sistem Kekeluargaan/kekerabatan patrilinear

Pengertian Patrilineal

Patrilineal adalah suatu adat masyarakat yang mengatur alur keturunan berasal dari pihak
ayah. Kata ini sering kali disamakan dengan patriarkat atau patriarki, meskipun pada dasarnya
artinya berbeda. Patrilineal berasal dari dua kata Bahasa Latin, yaitu pater yang berarti ayah,
dan linea yang berarti garis.

Hukum susunan kekerabatan yang patrilineal maka sistem pertalian darah lebih
diutamakan adalah garis keturunan ayah dan pada umumnya berlaku adat perkawinan dengan
pembayaran jujur, dimana setelah perkawinan istri masuk kedalam kerabat suaminya.
Kemudian jika tidak mempunyai keturunan berlaku adat pengangkatan anak laki–laki. Anak
laki–laki adalah penerus keturunan baik yang ditarik dari satu bapak asal, sedang anak
perempuan dipersiapkan untuk menjadi anak orang lain yang akan memperkuat keturunan
orang lain.

Patrilineal pada suku Bali

Bali yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, hukum kekeluargaannya berdasarkan


patriarchaat. Dalam masyarakat yang demikian biasanya terdapat cara perkawinan, dimana si
wanita sesudahnya kawin, keluar meninggalkan rumah asalnya (kawin keluar = kawin tanpa
keceburin) untuk kemudian tinggal pada suaminya, hingga si anak karena itu masuk pada
golongan keluarga (clan) bapaknya .

Akan tetapi di Bali terdapat juga cara perkawinan yang sebaliknya, yaitu si suami sesudah
kawin datang dan tinggal pada si isteri dan melepaskan hubungan dengan keluarga asalnya.
Perkawinan demikian disebut perkawinan “nyeburin” yang berakibat si anak masuk golongan
keluarga ibunya. Tampaknya lembaga ini bertentangan dengan azas patriachaat dalam hukum
kekeluargaan di Bali, tetapi menurut Gde Panetje jika ditinjau lebih mendalam tidaklah
demikian karena jika diingat bahwa si wanita yang dikawin keceburin secara di atas,
memperoleh hak-hak sebagai anak lelaki, juga dalam hal pewarisan, sedang hak si suami yang
demikian sama dengan hak seorang isteri.

Sistem kekerabatan patrilineal yang dianut masyarakat adat Bali mempengaruhi serta
sekaligus menentukan pewarisan. Hal ini terbukti, bahwa hanya anak laki-lakilah yang dianggap
sebagai ahli waris dalam pandangan hukum adat bali. Kenyataan ini selaras dengan pandangan
Wirjono Prodjodikoro yang menyatakan bahwa sifat warisan pada suatu masyarkat tertentu
berhubungan erat dengan sifat kekeluargaan dalam masyarakat itu.13 Hal ini yang membawa
konsekwensi bahwa hanya anak laki-lakilah yang dipandang sebagai ahli waris yang berhak
untuk mewarisi harta warisan yang ditinggalkan oleh si pewaris.

Anak perempuan mempunyai hak waris sangat terbatas. Bagian waris seorang anak
perempuan pada hakekatnya merupakan hak untuk menghasilkan belaka, karena anak
perempuan boleh memegang dan menghasili bagiannya itu selama ia setia tinggal di rumah
asalnya (tidak kawin), dan selama itu pun ia tidak boleh melakukan tindakan yang dianggap
sebagai tindakan pemilikan terhadap bagiannya dalam warisan itu kecuali atas hasilnya.
Sedangkan anak perempuan yang kawin tanpa keceburin (kawin keluar meninggalkan rumah
asalnya) harus melepaskan hak atas warisan orang tuanya untuk keuntungan ahli waris lainnya.

Penganut patrilineal, antara lain:

 Suku Minahasa

 Suku Rejang

 Suku Batak

 Suku Aceh

 Suku Gayo

 Suku Sangir
 Suku Nias

3. Sistem Kekeluargaan/kekerabatan Parental (Bilateral)

Pengertian Parental

Kekerabatan bilateral merupakan sistem kekerabatan yang ditarik dari garis keturunan
ayah dan ibu secara bersama-sama. Seorang anak otomatis menjadi anggota keluarga dari
pihak ayah maupun pihak ibu. Kelompok kekerabatan ini disebut dengan kinred.

Anak menghubungkan diri dengan kedua orangtuanya. Anak juga menghubungkan diri
dengan kerabat ayah-ibunya secara bilateral. Dalam sistem kekerabatan parental kedua orang
tua maupun kerabat dari ayah-ibu itu berlaku peraturan-peraturan yang sama baik tentang
perkawinan, kewajiban memberi nafkah, penghormatan, pewarisan. Dalam susunan parental
ini seorang anak hanya memperoleh semenda dengan jalan perkawinan, maupun langsung oleh
perkawinannya sendiri, maupun secara tak langsung oleh perkawinan sanak kandungnya,
kecuali perkawinan antara ibu dan ayahnya sendiri.Susunan sistem kekerabatan parental
berlaku pada masyarakat jawa, madura, Kalimantan dan sulawesi.

Pada sistem Parental Bilateral dimana garis keturunan mengikuti kedua belah pihak yaitu
ayah dan ibu seperti yang dipakai oleh masyarakat suku Jawa lebih diterima secara umum oleh
masyarakat karena tidak membeda-bedakan antara keluarga bapak dan keluarga ibu.
Kedudukan keluarga bapak dan keluarga ibu setara dan seimbang. Keturunan bilateral adalah
sistem garis keturunan keluarga dimana kerabat dari pihak ibu dan pihak ayah sama pentingnya
untuk ikatan emosional atau untuk transfer harta benda atau kekayaan. Ini adalah pengaturan
keluarga dimana keturunan dan warisan diwariskan secara merata melalui kedua orang tua.

Sistem kekerabatan parental dibagi 4, yaitu :

1. Ambilineal : Yaitu sistem yang menarik garis keturunan keluarga dari pihak ayah/ibu
secara bergantian.
2. Konsentris : Yaitu sistem kekerabatan yang menarik sistem hubungan keluarga. Contoh :
Suku Sunda yang mengenal istilah “Sabonndoroyot” yaitu keturunan dari nenek moyang
yang dihitung 7 generasi.
3. Primogenitur/prigogenitur : Yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis hubungan
keluarga dari ayah dan ibu yang usianya tertua saja (anak sulung). Contoh : Dalam
pembagian harta warisan hanya anak laki-laki atau perempuan sulung saja yang
mendapatkannya.
4. Ultimugenitur : Sistem kekerabatan yang menarik garis katurunan hubungan ayah / ibu
yang usianya muda saja (bungsu) jadi dalam pembagian warisan hanya anak laki-laki /
perempuan bungsu saja.

Bentuk Perkawinan Parental

Pada masyarakat bilateral maka perkawinan melanjutkan termasuk dari pihak ayah
ataupun dari pihak ibu. Pada masyarakat bilateral ini tidak dapat dikenal personal tentang
eksogami ataupun endogami. Jadi larangan perkawinan itu lebih disebabkan oleh kayakinan
daripada oleh penetapan, hubungan sesuai jadi menurut hukum Islam yang dimaksud dengan
hubungan darah, hubungan ipar, hubungan sesusu. Jadi, pada masyarakat parental tidak ada
keharusan untuk eksogami atau endogami.

4. Perjanjian Perkawinan

Pengertian Perjanjian Perkawinan

Pengertian Perjanjian Perkawinan Perjanjian perkawinan yaitu, persetujuan yang dibuat


oleh kedua calon mempelai pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, dan masing-
masing berjanji akan mentaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu, yang disahkan oleh
pegawai pencatat nikah.

Secara teoritis perjanjian perkawinan bisa dibuat bermacam-macam mulai dari aturan
yang tercantum dalam BW, maupun Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974. Bila
seseorang mengadakan janji kemudian ada orang lain yang menyetujui janji tersebut serta
menyatakan pula suatu janji yang berhubungan dengan janji yang pertama, maka terjadilah
perikatan dua buah janji dari dua orang yang mempunyai hubungan antara yang satu dengan
yang lain.
Pengertian perjanjian perkawinan dapat diklasifikasikan menurut Undang-undang
perkawinan, Kompilasi hukum Islam dan KUH Perdata, yaitu:

a. Pengertian Perjanjian Perkawinan Menurut Undang-undang perkawinan No. 1 tahun


1974 dan Kompilasi hukum Islam.

Dalam Undang-undang Perkawinan No. 1 tahun 1974 pasal 29 menjelaskan bahwa:

1. Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atau persetujuan
bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh Pegawai pencatat
perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak
ketiga tersangkut.
2. Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum,
agama dan kesusilaan.
3. Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
4. Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat diubah, kecuali bila dari
kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan
pihak ketiga.

Dalam Kompilasi hukum Islam pasal 47 menyatakan bahwa:

1) Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan kedua calon mempelai dapat
membuat perjanjian tertulis yang disahkan Pegawai Pencatat Nikah mengenai
kedudukan harta dalam perkawinan.
2) Perjanjian tersebut dalam ayat (1) dapat meliputi percampuran harta pribadi dan
pemisahan harta pencaharian masing-masing sepanjang hal itu tidak bertentangan
dengan hukum Islam.
3) Di samping ketentuan dalam ayat (1) dan (2) di atas, boleh juga isi perjanjian itu
menetapkan kewenangan masing-masing untuk mengadakan ikatan hipotik atas harta
pribadi dan harta bersama atau harta syarikat.
b. Pengertian Perjanjian Perkawinan Menurut KUH Perdata.
Menurut Pasal 1313 KUH Perdata, “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan
mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.

Pasal 139 KUH Perdata menyatakan bahwa ”Dengan mengadakan perjanjian kawin, kedua
calon suami istri adalah berhak menyiapkan beberapa penyimpangan dari peraturan Undang-
undang sekitar persatuan harta kekayaan, asal perjanjian itu tidak menyalahi tata susila yang
baik atau tata tertib umum dan asal di indahkan pula segala ketentuan dibawah ini”. Dalam
aturan pasal 147 BW dinyatakan bahwa perjanjian perkawinan harus dibuat sebelum
perkawinan dilangsungkan dan perjanjian perkawinan harus dibuat dihadapan notaris. Jika
perjanjian perkawinan tidak dibuat dihadapan notaris maka perjanjian itu batal dari hukum.

Kedudukan Perjanjian Perkawinan

a. Kedudukan Perjanjian Perkawinan menurut KHI & Undang-undang Perkawinan tahun


1974. Dalam pasal 29, 47 (1) KHI disebutkan bahwa, Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak dapat mengadakan perjanjian tertulis
yang disahkan pegawai pencatat nikah mengenai kedudukan harta dalam perkawinan.

Perjanjian perkawinan mempunyai syarat sah, yaitu:

1. Tidak menyalahi hukum Syari’ah yang disepakati perjanjian yang dibuat itu tidak
bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat perkawinan. Jika syarat perjanjian yang
dibuat bertentangan dengan syari’at Islam atau hakikat perkawinan, apapun bentuk
perjanjian itu maka perjanjian itu tidak sah, tidak perlu diikuti, sedangkan akad nikahnya
sendiri sah. Dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk
menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut dan dengan sendirinya batal demi
hukum.
2. Harus sama ridha dan ada pilihan Masing-masing pihak rela atau ridha terhadap isi
perjanjian tersebut, dan tidak ada paksaan dari pihak manapun.
3. Harus jelas dan gamblang Bahwa isi dari perjanjian tersebut harus jelas apa yang
diperjanjikan, sehingga tidak menimbulkan kesalahpahaman di antara para pihak
tentang apa yang mereka perjanjikan di kemudian hari.
Kedudukan Perjanjian Perkawinan Menurut KUH Perdata.

Sumber perikatan yang terpenting adalah perjanjian, sebab dengan melalui perjanjian
pihak-pihak dapat membuat segala macam perikatan, sesuai dengan asas kebebasan
berkontarak yang terkandung dalam Buku III BW, tetapi seperti juga telah dikemukakan
kebebasan berkontrak tersebut bukan berarti boleh membuat perjanjian secara bebas,
melainkan harus memenuhi syarat-syarat tertentu untuk sahnya suatu perjanjian.

Dalam perjanjian yang sah syarat sahnya suatu perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata
yang mengemukakan empat syarat, yaitu:

1) Adanya kesepakatan kedua belah pihak.


2) Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum.
3) Adanya suatu hal tertentu.
4) Adanya sebab yang halal. Kedua syarat yang pertama disebut syarat subjektif karena
kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian sedangkan dua syarat terakhir
merupakan syarat objektif karena mengenai objek dari perjanjian.

5. Bubarnya perkawinan/perceraian

Pengertian bubarnya perkawinan

Perceraian merupakan kata yang terdiri dari cerai yang berarti pisah, mendapatkan
imbuhan per-an sehingga secara bahasa berarti putusnya hubungan suami isteri, talak, hidup
perpisahan antara suami isteri selagi kedua-duanya masih hidup. Undang-Undang Perkawinan
pada Pasal 38 dan KHI pada Pasal 113 menyatakan bahwa perceraian itu merupakan salah satu
sebab putusnya perkawinan.

Sedangkan menurut istilah agama talak dari kata “ithlaq”, artinya “melepaskan atau
meninggalkan”. Talak berarti melepaskan ikatan perkawinan atau bubarnya hubungan
perkawinan. Cerai talak adalah cerai yang dijatuhkan oleh suami terhadap isterinya, sehingga
perkawinan mereka menjadi putus. Seorang suami bermaksud menceraikan isterinya harus
lebih dahulu mengajukan permohonan ke Pengadilan Agama yang berkedudukan di wilayah
tempat tinggalnya.

Sedangkan cerai gugat adalah cerai yang didasarkan atas adanya gugatan yang diajukan
oleh isteri, agar perkawinan dengan suaminya menjadi putus. Seorang isteri yang bermaksud
bercerai dari suaminya harus lebih dahulu mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.

Akibat Hukum Perceraian

Dalam undang – undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan pasal 41 disebutkan
bahwa akibat dari perceraian yaitu :

1) Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak semata – mata
berdasarkan kepentingan anak, Bilamana ada perselisihan tentang anak maka
pengadilan yang akan memberi keputusan.
2) Bapak yang menanggung semua kebutuhan yang diperlukan oleh anak tersebut,
Bilamana pada kenyataannya bapak tidak sanggup memenuhi nafkah tersebut
pengadilan dapat menetapkan bahwa ibu ikut memikul biaya yang di tanggung basang
anak.
3) Pengadilan dapat mewajibkan kepada mentan suami untuk memberikan biaya
kehidupan dan/atau menemukan kewajiban bagi mantan isteri.

Anda mungkin juga menyukai