Anda di halaman 1dari 9

A.

PENJELASAN TENTANG ADAT DAN HUKUM ADAT PERKAWINAN


Adat adalah aturan, kebiasaan-kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari suatu
masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai dan dijunjung serta dipatuhi
masyarakat pendukungnya. Di Indonesia aturan-aturan tentang segi kehidupan manusia
tersebut menjadi aturan-aturan hukum yang mengikat yang disebut hukum adat.
Dengan ini, hukum adat perkawinan ialah ikatan hidup bersama antara seorang pria
dan wanita, yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya
kehidupan persekutuan atau clannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian upacara
adat.

Van Gennep menamakan semua upacara perkawinan sebagai ”Rites De Passage”


(upacara peralihan) yang melambangkan peralihan status dari masing masing mempelai yang
tadinya hidup sendiri sendiri berpisah setelah melampaui upacar yang disyaratkan menjadi
hidup bersatu sebagai suami istri, merupakan somah sendiri, suatu keluarga baru yang berdiri
serta mereka bina sendiri.
Rites De Passage terdiri atas 3 tingkatan :
1. Rites De Separation yaitu upacara perpisahan dari status semula.
2. Rites De Marga yaitu upacara perjalanan kestatus yang baru.
3. Rites D’agreegation yaitu upacara penerimaan dalam status yang baru.

Mengenai perkawinan para ahli antropologi budaya yang menganut teori evolusi
seperti Herbert Spencer mengemukakan proses perkawinan itu melalui lima tingkatan.
Kelima proses tingkatan itu adalah sebagai berikut:
1) Promisquithelt : tingkat perkawinan sama dengan alam binatang lakilaki dan
perempuan kawin dengan bebas.
2) Perkawinan gerombolan yaitu perkawinan segolongan orang laki-laki dengan
segolongan orang perempuan.
3) Perkawinan matrilineal yakni perkawinan yang menimbulkan bentuk garis
keturunan perempuan.
4) Perkawinan patrilineal yakni anak-anak yang lahirkan masuk dalam
lingkungan keluarga ayahnya.
Perkawinan parental yaitu perkawinan yang memungkinkan anak-anak mengenal kedua
orang tuanya
Menurut Stinnett (dalam Turner & Helms, 1987) terdapat berbagai alasan yang
mendasari mengapa seseorang melakukan Perkawinan. Alasan-alasan tersebut antara lain:
1. Komitmen
2. One-to-one relationship
3. Companionship and sharing
4. Love
5. Kebahagiaan
6. Legitimasi hubungan seks dan anak
Dalam sebuah perkawinan perlu adanya fungsi-fungsi yang harus dijalankan dan bila
fungsi-fungsi tersebut tidak berjalan atau tidak terpenuhi maka tidak ada perasaan bahagia
dan puas pada pasangan. (Soewondo, dalam 2001) . Duvall & Miller (1985) menyebutkan
setidaknya terdapat enam fungsi penting dalam perkawinan, antara lain :
1. Menumbuhkan dan memelihara cinta serta kasih sayang
2. Menyediakan rasa aman dan penerimaan
3. Memberikan kepuasan dan tujuan
4. Menjamin kebersamaan secara terus-menerus
5. Menyediakan status sosial dan kesempatan sosialisasi
6. Memberikan pengawasan dan pembelajaran tentang kebenaran

B. FAKTOR PENYEBAB PERBEDAAN UPACARA PERKAWINAN


Faktor yang paling mempengaruhi ialah faktor kebudayaan yang dianut oleh daerah
tersebut. Seperti daerah Minangkabau yang dimana sistem yang digunakan adalah
sistem matrilineal. Dengan sistem ini, perempuan yang mempunyai kekuasaan yang lebih
dibandingkan kaum pria. Dimana perempuan memiliki hak waris dan garis keturunannya
mengikuti garis ibu. Dan ada juga sistem parental yang dianut oleh Jawa dan Kalimantan
yaitu kedudukan pihak laki-laki dan perempuan sama, atau sederajat. Dimana pihak
perempuan mempunyai hak yang sama dalam berbagai hal di dalam rumah tangga. Misalnya
pembagian hak waris.
Selain faktor kebudayaan yang mempengaruhi, faktor yang tak kalah mempengaruhi
mengapa perkawinan di setiap daerah itu berbeda adalah faktor geografis. Masyarakat yang
tinggal di pedalaman tata cara perkawinannya akan terlihat lebih kental dengan adat mereka
yang masih asli berdasarkan turunan dari nenek moyang mereka karena belum dipengaruhi
oleh budaya luar.
Faktor selanjutnya adalah faktor ekonomi masyarakat. Pada umumnya masyarakat yang
kurang mampu tata cara perkawinannya akan dibuat lebih sederhana dibandingkan dengan
orang yang latar belakang ekonominya mampu cenderung memilih upacara perkawinan yang
terkesan mewah sehingga dari segi ekonomi akan menelan biaya yang cukup banyak.
Faktor-faktor inilah yang mempengaruhi mengapa perkawinan disetiap daerah berbeda-
beda.
C. Hukum Adat Perkawinan di Minangkabau

Minangkabau sering lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan daripada sebagai bentuk
negara atau kerajaan yang pernah ada dalam sejarah. Hal itu mungkin karena dalam catatan
sejarah yang dapat dijumpai hanyalah hal pergantian nama kerajaan yang menguasai wilayah
itu. Masyarakat Minangkabau memandang perkawinan sebagai suatu peristiwa yang sangat
penting, artinya karena perkawinan tidak hanya menyangkut kedua calon mempelai saja
tetapi juga menyangkut orang tua dan seluruh keluarga dari kedua belah pihak.

Perkawinan adat Minangkabau merupakan salah satu dari sekian banyak perkawinan
di Indonesia yang memiliki tata upacara yang unik. Selain unik, perkawinan tradisi
Minangkabau juga dikenal dengan kemewahan serta kemegahannya yang dimunculkan dari
warna pelaminan yang bernuansa emas dan perak serta warna merah yang melambangkan
kesemarakan.
Perkawinan di Minangkabau menggunakan ketentuan syara’ (Agama) dan
adat, masyarakat Minangkabau mempunyai syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi
oleh kedua belah pihak yang melakukan perkawinan, diantaranya :
1. Kedua calon mempelai harus beragama islam
2. Kedua calon mempelai tidak sedarah atau tidak berasal dari suku yang sama,
kecuali persukuan itu berasal dari nagariatau luhak yang lain.
3. Kedua calon mempelai dapat saling menghormati dan menghargai orang tua
dan keluarga kedua belah pihak.
4. Calon suami (marapulai) harus sudah mempunyai sumber penghasilan untuk
dapat menjamin kehidupan keluarganya.

Menurut A.A. Navis, Minangkabau lebih kepada kultur etnis dari suatu rumpun
melayu yang tumbuh dan besar karena sistem monarki serta menganut sistem adat yang khas,
yang dicirikan dengan system adat yang mengikuti garis keluarga si perempuan yang disebut
system matrilineal. Masyarakat minang menjadi penganut system matrilineal terbesar di
dunia.

Sistem matrilenial mempunyai 8 (delapan ciri) yaitu :

1. Keturunan dihitung menurut garis ibu mereka, yaitu setiap orang laki-laki dan perempuan,
menarik garis keturunannya keatas hanya melalui penghubung- penghubung yang perempuan
saja, yaitu setiap orang yang menarik garis keturunan ibu dari ibunya yaitu neneknya, dan
dari nenek itu kepada ibu dari nenek dan begitulah seterusnya. Ditinjau dari hal tersebut
diatas menurut sistem kekerabatan Minangkabau yang bercorak Matrilineal itu seseorang
lakilaki tidak mempunyai keturunan yang menjadi anggota keluarganya.

2. Suku terbentuk menurut garis ibu kesatuan atas dasar keturunan di Minangkabau disebut
suku.Timbulnya hubungan kekerabatan yang disebut suku bermula dari orang yang berada
dalam satu kesatuan suku yaitu bahwa mereka berasal dari ibu yang sama yaitu ibu yang
pertama kali datang dan tinggal ditempat itu untuk membina keluarga dan kehidupannya.

3. Tiap orang diharuskan kawin dengan orang diluar sukunya pola perkawinan masyarakat
Minangkabau bersifat eksogami (perkawinan antara etnis, suku yang berbeda) suku yang
artinya bahwa seseorang tidak boleh mengambil jodoh dari kelompok sukunya hal ini
disebabkan karena orang satu suku itu disebut badunsanak (bersaudara) perkawinannya akan
melahirkan anak-anak yang tidak mungkin lagi dibedakan antara anak-anak dan kemenakan
selain itu perkawinan sesuku itu tidak akan menimbulkan pembauran dengan suku lain.

4. Pembalasan dendam merupakan suatu kewajiban bagi seluruh suku, orang satu suku
disebut badunsanak (bersaudara). Apabila seseorang anggota suku diserang oleh suku lain
maka seluruh anggota suku yang kena serang akan melakukan pembalasan serentak kepada
suku yang menyerang.

5. Kekuasaan didalam suku menurut teori terletak ditangan ibu. Tetapi jarang kali digunakan
karena fungsi ibu yang sebenarnya ialah sebagai pelanjut keturunan dan embank puro
(pemegang kas dan pembendaharaan rumah gadang).

6. Sebenarnya berkuasa adalah saudara laki-laki sebelah ibu saudara laki-laki sebelah ibu
yaitu kakak atau adik laki laki dari ibu yang dituakan.

7. Pola menetap setelah perkawinan bersifat matrilokal, artinya setelah melangsungkan


perkawinan suami dengan anak dan istri diam dirumah keluarga pihak istri, tetapi ia (suami)
tetap sebagai orang luar.

8. Hak hak pusaka (harta benda dan gelar) diwariskan oleh mamak kepada kemenakan, dari
saudara laki-laki sedarah (kakak atau adik ibu yang dituakan dalam rumah) ibu kepada anak
dari saudara perempuan.
Teori yang dikemukakan oleh Van den Berg, hukum adat yang berlaku pada masyarakat
Minangkabau adalah hukum Islam. Sehingga perkawinan pun harus berdasarkan hukum
Islam, namun pada kenyataannya tidak demikian. Hal ini terlihat pada sistem kekerabatan
Minangkabau yang terkenal dengan sistem matrilineal.

Dalam budaya Minangkabau, dikenal juga yang namanya pantangan perkawinan. Pantangan
perkawinan ini telah bersifat universal, dimana pun terjadi, misalnya perkawinan pantang dan
perkawinan sumbang, yaitu :

a. Perkawinan pantang ialah ; perkawinan yang merusak sitem adat mereka, yaitu
perkawinan yang setali darah menurut stelsel matrilini.
b. Perkawinan sumbang, ialah perkawinan yang dapat merusak kerukunan social
masyarakat, yaitu :
1) mengawini kaum kerabat, saudara dekat, tetangga yang telah diceraikan
2) memper-madukan wanita sekerabat
3) Mengawini orang yang tengah dalam pertunangan
4) Mengawini anak tiri saudara kandungnya.
Sanksi terhadap pelaku perkawinan pantang, yaitu :
a) Membubarkan perkawinan
b) Hukum buang, diusir, dikucilkan
c) Hukuman denda dan meminta maaf kepada semua pihak melalui suatu
perjamuan dengan memotong seekor atau dua ekor ternak

Dalam melaksanakan suatu perkawinan, masyarakat Minangkabau yang beragama islam


tidak hanya dapat berpedoman pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, melainkan juga perlu mempedomani perkawinan menurut aturan-aturan hukum
agama dan hukum adat sesuai dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang menyatakan bahwa
“perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaannya itu”. Di samping hukum agama juga perlu mempedomani hukum adat yang
berlaku di daerah Minangkabau.

Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yaitu
pihak keluarga istrinya. Sementara bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam
penambahan anggota di komunitas Rumah Gadang mereka. Prosesi perkawinan adat
Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan.
Yang dimulai dengan:

a. Maresek
penjajakan pertama sebagai permulaan dari rangkaian tata-cara pelaksanaan
pernikahan. Sesuai dengan sistem kekerabatan di Minangkabau yaitu matrilineal,
pihak keluarga wanita mendatangi pihak keluarga pria. Lazimnya pihak keluarga yang
datang membawa buah tangan berupa kue atau buah-buahan.

b. Maminang (Meminang),
Keluarga calon mempelai wanita mendatangi keluarga calon mempelai pria untuk
meminang. Bila pinangan diterima, maka akan berlanjut ke proses bertukar tanda
sebagai simbol pengikat perjanjian dan tidak dapat diputuskan secara sepihak. Acara
ini melibatkan orangtua, ninik mamak dan para sesepuh dari kedua belah pihak.

c. Mahanta Siriah
Calon mempelai pria mengabarkan dan mohon doa restu tentang rencana pernikahan
kepada mamak-mamak-nya, saudara-saudara ayahnya, kakak-kakaknya yang telah
berkeluarga dan para sesepuh yang dihormati. Hal yang sama dilakukan oleh calon
mempelai wanita, yang diwakili oleh kerabat wanita yang sudah berkeluarga dengan
cara mengantar sirih.

d. Babako-Babaki
Pihak keluarga dari ayah calon mempelai wanita ingin memperlihatkan kasih
sayangnya dengan ikut memikul biaya sesuai kemampuan yang dilaksanakan sebelum
akad nikah. Sesuai tradisi, calon mempelai wanita dijemput untuk dibawa ke rumah
keluarga ayahnya. Kemudian para tetua memberi nasihat

e. Malam Bainai
Bainai berarti melekatkan tumbukan halus daun pacar merah atau daun inai ke kuku-
kuku calon pengantin wanita. Calon mempelai wanita dengan memakai baju tokah
dan bersunting rendah dibawa keluar dari kamar diapit kawan sebayanya. Acara
mandi-mandi secara simbolik dengan memercikkan air harum tujuh jenis kembang
oleh para sesepuh dan kedua orang tua. Selanjutnya, kuku-kuku calon mempelai
wanita diberi inai

f. Manjapuik Marapulai (Menjemput Pengantin Pria),


Prosesi ini juga dibarengi pemberian gelar pusaka kepada calon mempelai pria
sebagai tanda sudah dewasa. Setelah prosesi sambah-mayambah dan mengutarakan
maksud kedatangan, barang-barang diserahkan. Calon pengantin pria beserta
rombongan diarak menuju kediaman calon mempelai wanita.

g. Penyambutan Di Rumah Anak Daro


Tradisi menyambut kedatangan calon mempelai pria di rumah calon mempelai wanita
lazimnya merupakan momen meriah dan besar yang diiringi bunyi musik tradisional
khas Minang yakni talempong dan gandang tabuk, serta barisan Gelombang Adat
timbal balik yang terdiri dari pemuda-pemuda berpakaian silat, serta disambut para
dara berpakaian adat yang menyuguhkan sirih.

Dan sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul


kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), kemudian dilanjutkan dengan
pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di masjid, sebelum kedua pengantin bersanding
di pelaminan.

Disamping menganut sistem eksogami dalam perkawinan, adat Minang juga


menganut paham yang dalam istilah antropologi disebut dengan sistem matri-local atau lazim
disebut dengan sistem uxori-local yang menetapkan bahwa marapulai atau suami bermukim
atau menetap disekitar pusat kediaman kaum kerabat istri, atau didalam lingkungan
kekerabatan istri. Namun demikian status pesukuan marapulai atau suami tidak berubah
menjadi status pesukuan istrinya. Status suami dalam lingkungan kekerabatan istrinya adalah
dianggap sebagai tamu terhormat, tetap dianggap sebagai pendatang. Sebagai pendatang
kedudukannya sering digambarkan secara dramatis bagaikan abu diatas tunggul, dalam arti
kata sangat lemah, sangat mudah disingkirkan. Namun sebaliknya dapat juga diartikan bahwa
suami haruslah sangat berhati-hati dalam menempatkan dirinya dilingkungan kerabat istrinya.
Dilain pihak perkawinan bagi seorang perjaka Minang berarti pula, langkah awal bagi dirinya
meninggalkan kampung halaman, ibu dan bapak serta seluruh kerabatnya, untuk memulai
hidup baru dilingkungan kerabat istrinya.

Bila terjadi perceraian, suamilah yang harus meninggalkan rumah istrinya. Sedangkan
istri tetap tinggal dirumah kediamannya bersama anak-anaknya sebagaimana telah diatur
hukum adat. Bila istrinya meninggal dunia, maka kewajiban keluarga pihak suami untuk
segera menjemput suami yang sudah menjadi duda itu, untuk dibawa kembali kedalam
lingkungan sukunya atau kembali ke kampung halamannya. Kenyataan ini dihayati dan
diterima dengan sadar oleh hampir seluruh warga Minang, baik mereka yang menempati
Rumah Gadang tradisional, maupun yang menempati rumah gedung modern, baik mereka
yang bermukim di kampung halaman, maupun mereka yang sudah merantau ke kota besar.

Menurut hukum adat Minangkabau bahwa orang dilarang kawin dengan orang dari suku yang
sama. Garis keturunan di Minangkabau ditentukan menurut garis keturunan ibu, garis
keturunan ibu yang menentukan suku seseorang. Masyarakat Minangkabau haruslah
mematuhi apa yang telah digaris bawahi oleh adat, Peran hukum adat selain dapat dilihat
dalam melaksanakan pada upacara adat, juga terlihat dari pelanggaran hukum adat yang
terjadi khususnya dalam perkawinan. Pelanggaran hukum adat tersebut seperti
melangsungkan perkawinan dengan satu kaum atau dalam istilah adat disebut kawin sasuku,
tentunya hal ini tidak akan membenarkan pernikahan tersebut berlangsung sebelum mereka
mendapat sanksi adat yang telah ditetapkan oleh pemangku adat.
DAFTAR PUSTAKA

1. https://www.academia.edu/11216861/Pernikahan_adat_di_Minangkabau
2. https://media.neliti.com/media/publications/275410-perkawinan-adat-minangkabau-
f56c5427.pdf
3.

Anda mungkin juga menyukai