Hukum adat keluarga/hukum kekerabatan adalah kaidah-kaidah hukum yang
mengatur hubungan-hubungan hukum yang ditimbulkan oleh hubungan biologis. Hubungan kekeluargaan ini mempunyai tempat yang sangat penting karena merupakan faktor/dasar dalam susunan persekutuan hukum/masyarakat hukum, hukum perkawinan, dan hukum waris. Dalam hal Keturunan adalah hubungan leluhur, artinya ada hubungan antara seorang dengan orang lain Keturunan merupakan elemen yang esensial serta mutlak bagi suatu clan/suku ataupun suatu kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, untuk melanjutkan keberlangsungan generasinya. Dalam hal silsilah keluarga adalah bagan yang menggambarkan dengan jelas garis keturunan dari seorang atau suami/istri baik yang lurus ke atas, ke bawah maupun yang menyimpang. Silsilah dibuat untuk mengetahui hubungan kekeluargaan yang ada di antara para warga keluarga yang bersangkutan. Dalam hal Adopsi Motif pengangkatan anak bertujuan untuk melanjutkan keturunan, melanjutkan dan memelihara/mengurus harta, pemeliharaan agar mendapatkan kedudukan yang lebih baik, adapun bentuk adopsi yaitu Adopsi langsung yaitu penangkatan anak yang ditujukan untuk keperluan hukum, Adopsi tidak langsung yaitu pengangkatan anak tri, anak menantu yang dilakukan melalui perkawinan.
B. PENJELASAN
Indonesia memiliki keragaman yang sanagat luas di tiap daerahnya, hal ini menjadi landasan perbedaan norma-norma serta aturan aturan dalam penerapannya di berbagai daerah yaitu ;
1. PERKAWINAN ENDOGAMI PERSPEKTIF HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM
Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut selektivitas. Artinya, seseorang ketika hendak melangsungkan perkawinan terlebih dahulu harus menyeleksi dengan seseorang yang boleh ia menikah dan dengan seseorang yang ia terlarang untuk menikah. Hal ini untuk menjaga agar perkawinan yang dilangsungkan tidak melanggar aturan-aturan yang ada, terutama bila perempuan yang hendak dikawini ternyata terlarang untuk dikawini; yang dalam Islam dikenal dengan istilah mahram (orang yang haram dikawini).Dalam hal larangan perkawinan; al-Qur’an memberikan aturan yang tegas dan terperinci.Dalam QS.al-Nisa (4) ayat 22-24 Allah swt. berfirman yang artinya “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (23) “Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudarasaudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak- anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (24) “Dan (diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu; dan dihalalkan bagi kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Departemen Agama RI, 1418 H:81-82) Ayat ini dengan tegas menjelaskan golongan perempuanperempuan yang haram untuk dikawini. Perempuan itu adalah: ibu tiri, ibu kandung, anak kandung, saudara kandung, seayah atau seibu, bibi dari ayah, bibi dari ibu, keponakan dari saudara laki-laki, keponakan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui, saudara sesusuan, mertua, anak tiri dari istri yang sudah diajak berhubungan intim, menantu, ipar (untuk dimadu), dan perempuan yang bersuami. Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa ada empat kategori perempuan yang haram untuk dikawini yaitu : karena ada hubungan darah karena hubungan persusuan karena ada hubungan perkawinan, baik yang dilakukan oleh ayah, diri sendiri, atau anak karena status perempuan yang sudah kawin.Oleh karena itu, selain dari perempuan-perempuan yang haram untuk dikawini seperti yang dijelaskan dalam QS.al-Nisa (4) ayat 22-24, maka boleh untuk dikawini.
2. PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU
Minang atau Minangkabau adalah kelompok kultur etnis yang menganut sistem adat yang khas, yaitu sistem kekeluargaan menurut garis keturunan perempuan yang disebut sistem matrilineal. Dalam budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru penerus keturunan. Bagi masyarakat Minangkabau yang beragama Islam, perkawinan dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Minangkabau sering lebih dikenal sebagai bentuk kebudayaan daripada sebagai bentuk negara atau kerajaan yang pernah ada dalam sejarah. Hal itu mungkin karena dalam catatan sejarah yang dapat dijumpai hanyalah hal pergantian nama kerajaan yang menguasai wilayah itu. Tidak ada suatu catatan yang dapat memberi petunjuk tentang sistem pemerintahan yang demokratis dengan masyarakatnya yang ber-stelsel matrilineal serta tidak ada catatan sejarah kelahiran sistem matrilineal ini sebagaimana yang dikenal orang seperti sekarang. Dalam adat budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil keluarga baru penerus keturunan. Bagi lelaki Minang, perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yaitu pihak keluarga istrinya. Sementara bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam penambahan anggota di komunitas Rumah Gadang mereka. Dalam prosesi perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai (menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan), kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di masjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Dalam hal batas umur untuk melangsungkan perkawinan, hukum adat pada umumnya tidak mengatur tentang batas umur untuk melangsungkan perkawinan, dimana hukum adat membolehkan perkawinan di usia berapapun. Pada masyarakat yang menganut sistem matrilineal seperti di Minangkabau, masalah perkawinan adalah masalah yang dipikul oleh mamak (paman). Seorang mamak (paman dari pihak ibu) peranannya yang sangat besar sekali terhadap kemenakannya yang akan melakukan perkawinan. Dalam susunan masyarakat matrilineal Minangkabau, seorang anak yang dilahirkan menurut hukum adat hanya akan mempunyai hubungan hukum dengan ibunya. Dengan demikian, anak akan menjadi atau masuk klan/suku ibunya sedangkan terhadap ayahnya anak secara lahiriah tidak mempunyai hubungan apaapa walaupun secara alamiah dan rohaniah mempunyai hubungan darah. Begitu pula sebaliknya, seorang ayah tidak akan mempunyai keturunan yang menjadi anggota keluarganya. Oleh sebab itu, seorang ayah tidak perlu bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya untuk memelihara anakanak dan membesarkannya, juga wewenang untuk mengawinkan. Hubungan- hubungan pewarisan terjalin dengan ibu beserta mamak dari anak-anak tersebut sebagai kehidupan modern yang berpengaruh dari kebudayaan barat. Keadaan ini telah banyak mengalami perubahan. Perubahan mamak rumah dalam lingkungan kemenakannya yang menyangkut kehidupan keluarga telah diserahkan mamak (saudara laki-laki dari ibu) rumah kepada ipar/menantu dari pihak laki-laki (urang sumando). Pola perkawinan mereka bersifat eksogami. Kedua belah pihak atau salah satu pihak dari yang menikah itu tidak lebur ke dalam kaum kerabat pasangannya. Oleh karena menurut struktur masyarakat mereka setiap orang adalah kaum dan suku mereka masingmasing yang tidak dapat dialihkan. Setiap orang tetap menjadi warga kaumnya masingmasing, meskipun telah diikat perkawinan dan telah beranak-pinak. Anak yang lahir akibat perkawinan itu menjadi anggota kaum sang istri, sehingga ayah tidak perlu bertanggung jawab terhadap kehidupan anakanaknya bahkan terhadap rumah tangganya. Kelihatannya hubungan mereka sangat rapuh, tetapi para istri mempunyai daya pemikat yang khusus, yaitu resep kuno “cinta melalui perut suami” dengan kepintarannya memasak di samping itu para istri pantang mengeluh kepada suaminya sehingga para suami tidak mempunyai beban pikiran yang berat di rumah tangganya. Tata Cara Perkawinan Masyarakat Adat Minangkabau dibagi menjadi 2 yaitu ; Perkawinan Menurut Kerabat Perempuan yaitu, ialah perkawinan anak kemenakan dengan anak kemenakan besan atau ipar yang telah lama putus karena kematian. Perkawinan Menurut Kerabat Laki-Laki yaitu , Seorang anak kemenakan laki- laki yang matang untuk menikah senantiasa merisaukan pikiran kaum kerabatnya. Kalau tidak ada orang yang datang meminang, pertanda bahwa pihaknya tidak mendapat penghargaan layak dari orang lain. Memang pihak mereka dapat mengambil prakarsa untuk memancing pinangan, tetapi andai kata pancingan itu tidak mengena akan menambah jatuhnya harga diri mereka. 3. PERKAWINAN ADAT DAYAK NGAJU Masyarakat Dayak Ngaju memahami bahwa perkawinan yang luhur dan suci adalah perkawinan yang sesuai dengan tatanan adat, yaitu melalui tahapan-tahapan seperti: Bisik Kurik dan Hakumbang Auh, Mamanggul, Maja Misek dan pemenuhan hukum adat perkawinan (Jalan hadat). Carol dan Melvin mengatakan bahwa beberapa tahapan yang dilakukan sebelum perkawinan ini merupakan salah satu bentuk upacara dan perayaan dari suatu perkawinan yang resmi. Mengenai status sosial yang dimaksud, Koentjaraningrat mengatakan bahwa dalam beberapa masyarakat terdapat istilah “lapisan sosial takresmi,” artinya: “anggota masyarakat tidak mempunyai kesadaran atau konsepsi yang jelas tentang seluruh susunan pelapisan dan kelas-kelas dalam masyarakat mereka . . . kecuali hanya dengan sebutan-sebutan yang kabur seperti kaum atasan, kaum terpelajar, golongan menengah, . . .dsb.”188 Berdasarkan pemahaman ini, nampak jelas bahwa dalam masyarakat Dayak Ngaju, sebelum adanya penghapusan mengenai perbudakan (bab III, 1.5), lapisan sosial yang berlaku bersifat resmi. Namun, pada masa sekarang hal itu sudah tidak seketat dulu dan terlihat tidak jelas, sebutan- sebutan yang diberikan kabur. Walau demikian, biasanya anggota masyarakat tahu siapa yang mereka pandang lebih tinggi dari mereka, dan siapakah orang yang mereka pandang lebih rendah dari mereka; dan mereka tahu benar bagaimana mereka bersikap terhadap orang-orang tersebut.189 Sebab itu, dalam masyarakat Dayak Ngaju hampir tidak pernah terdengar keluhan mengenai pemberian jalan hadat. Karena pihak laki-laki sebagai pihak pemberi cukup tahu dan menyadari kepada siapa, dan keturunan dari mana dia memberikan barang-barang tersebut. Sebaliknya pihak perempuan pun menyadari siapa, dan keturunan dari mana laki- laki yang akan menikah dengannya. Hal itu tentunya sudah diketahui sebelum mereka memutuskan untuk menikah. Karena itu, biasanya orang tua selalu mengarahkan dan membimbing anak-anaknya dalam memilih pasangannya. Akan dilihat bagaimana kehidupan keluarganya, asal usulnya, kualitas dan pendidikan orang itu. Dalam masyarakat Dayak Ngaju, persyaratan jalan hadat terdiri dari 16 sampai 17 butir. Persyaratan ini mutlak dan itu tidak bisa dirubah. Biasanya yang sering mendapat perhatian secara khusus adalah palaku dan panginan jandau (biaya pesta), karena jumlah yang dibayarkan lebih besar dibanding syarat-syarat yang lain. Untuk Palaku, dibayar dengan 5 (lima) pikul garantung (gong). Jumlah berat barang hadat tersebut, berpedoman pada Palaku ayun indu je bawi (Palaku yang dimiliki ibu calon mempelai wanita). Namun dalam hal pembayarannya berbeda, karena disesuaikan dengan nilai materi sekarang. Biasanya Palaku diberikan dari harta kekayaan orang tua calon mempelai laki-laki kepada calon mempelai perempuan, sebagai bentuk berkah dan restu orang tua. Sedangkan untuk panginan jandau, jumlah yang dibayarkan tergantung kesepakatan bersama. Namun sebenarnya, jumlah yang dibayar tidaklah terlalu besar jika pesta itu dilaksanakan dengan sederhana, cukup di rumah mempelai wanitanya, seperti yang dilakukan para orang tua jaman dahulu. Tidak perlu di gedung atau harus acara yang mewah dan makanan istimewa. Karena yang terpenting adalah doa restu dari keluarga maupun masyarakat. Jika dianalisis, barang –barang adat yang diberikan dalam jalan hadat ini bersifat flexibel; dalam arti sesuai dengan keadaan jaman perkawinan itu dilaksanakan, dan kemampuan dari pihak laki-laki. Disini terlihat bahwa masyarakat Dayak Ngaju memiliki aturan yang pada satu pihak tegas dan mutlak, dalam arti tidak dapat ditoleransi. Namun dipihak lain ada aturan-aturan yang longgar, tidak kaku; dalam pengertian dapat ditoleransi sesuai dengan kemampuan. Sifat toleran yang tinggi, tidak memaksakan kehendak sendiri kepada pihak lain, menyebabkan hingga sejauh ini, tidak ada keluhan mengenai pemenuhan adat. Yang penting adalah niat hati dan kesungguhan dari masing-masing pihak. Konsep mengenai perjanjian perkawinan sebagai suatu hukum yang mengikat bagi suami istri ini, jika dikaitkan dengan teori Michael P. Johnson, maka konsep inilah yang dimaksud sebagai Structural Commitment atau komitmen struktural, yang turut mempengaruhi keputusan seseorang untuk tetap bertahan dalam suatu perkawinan. 194 Karena walaupun tidak ada larangan secara ketat mengenai perceraian, pada dasarnya masyarakat Dayak Ngaju tidak menyetujui adanya hal itu. Reaksi dari ketidaksetujuan ini, akan terlihat dari tekanan sosial dari pihak keluarga, teman dan masyarakat. Demikian juga proses birokrasi melalui Lembaga Adat Dayak, dan prosedur hukum perceraian yang sulit akan menghabiskan waktu serta biaya. Perjanjian perkawinan masih terus dipertahankan karena didalamnya mengandung nilai-nilai budaya, nilai kesetiaan, nilai moral, termasuk nilai kekerabatan. Perjanjian perkawinan dapat dilihat sebagai antisipasi jika terjadi hal- hal yang tidak diinginkan dalam perkawinan atau paling tidak meminimalisir tindakan perceraian dalam kehidupan masyarakat di kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah.
4. PERKAWINAN MATRIARKI PADA MASYARAKAT HINDU BALI
Bagi masyarakat Hindu Bali perkawinan merupakan hubungan yang bersifat sakral dan suci antara pria dengan wanita dalam menjalankan dharma bahktinya sebagai manusia yang utuh. Ini berarti bahwa, secara ideal perkawinan akan dianggap sah dan legal secara hukum dan adat apabila disetujui oleh kedua mempelai, direstui dan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak, serta disaksikan secara niskala serta dilaksanakan melalui prosesi upacara adat. Hubungan yang bersifat sakral dan suci ini mesti dilandasi oleh rasa cinta untuk mewujudkan swadarmaning manusa lan swadarmaning pianak (kewajiban manusia untuk meneruskan kehidupan dan kewajiban seorang anak) (Surupa, 2002). Bagi seorang anak yang tidak mampu melanjutkan keturunan keluarga dan menjalankan kewajiban, diyakini orang tuanya tidak akan mendapatkan tempat yang baik ketika meninggal. Kondisi ini menyebabkan perkawinan, selain bermakna sebagai Sebuah hak sekaligus sebagai sebuah kewajiban yang harus dijalankan seorang anak dalam menersukan keturunan. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua anak mampu melaksanakan kewajibannya sebagai seorang anak yang berkewajiban untuk meneruskan keturunan, yang disebabkan karena hukum perkawinan patriarhi yang mengharuskan hanya seorang anak laki-laki yang boleh menjadi penerus keturunan dan ahli waris keluarga. Anak perempuan hanya mempunyai hak atas harta kekayaan keluarga selama mereka masih muda saja. Ketika mereka sudah mulai bersuami secara otomatis tidak mempunyai hak untuk menikmati dan memperoleh warisan dari keluarganya, kecuali atas dasar kesukarelaan keluarganya. Dalam masyarakat adat di Bali, status hukum suami-istri serta anakanak dalam keluarga sangat ditentukan oleh bentuk perkawinanmya. Apakah suami-istri itu dan anak- anaknya berkedudukan hukum di keluarga pihak suami ataukah di keluarga pihak istri sangat dipengaruhi oleh bentuk perkawinan yang dipilih. Undangundang perkawinan tidak mengatur mengenai bentuk-bentuk perkawinan ini. Namun, persoalan mengenai bentukbentuk perkawinan ini sama sekali tidak dapat diabaikan dalam keseluruhan sistem perkawinan yang berlaku bagi umat Hindu di Bali. Status atau kedudukan hukum seseorang di dalam keluarga sangat penting artinya dalam hukum adat Bali karena akan mempengaruhi hak (swadikara) dan kewajiban (swadharma) orang tersebut dalam keluarga dan masyarakat (banjar/desa pakraman). Swadharma dan swadikara dalam keluarga misalnya menyangkut tanggungjawab pemeliharaan terhadap anak atau pemeliharaan terhadap orang tua di masa tuanya, hak dan kewajiban terhadap harta warisan, tanggung jawab terhadap pemeliharaan dan kelangsungan serta pemujaan terhadap tempat persembahyangan keluarga (sanggah/merajan) di mana roh leluhur disemayamkan, dan lain-lain. Tanggung jawab kemasyarakatan menyangkut tanggung jawab sebagai anggota kesatuan masyarakat hukum adat (banjar/desa pakraman, subak, dadia), baik dalam bentuk ayahan (kewajiban kerja), pawedalan/papeson (urunan berupa uang atau barang), dan lain-lain. Pada masyarakat Bali dikenal beberapa kelompok kekerabatan yang dibedakan berdasarkan bentuknya. Kelompok kekerabatan pertama, disebut kuren yaitu ikatan suami istri yang terjadi akibat hubungan perkawinan. Satu kuren berarti sepasang suami istri termasuk anak- anaknya. Dalam bentuk perkawinan matriarki ini, suami yang berstatus sebagai pradana dilepaskan hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya selanjutnya masuk dalam keluarga kepurusa istrinya. bentuk perkawinan matrilokal (nyeburin) ini sebagai penghargaan terhadap perempuan Bali karena dengan diangkat statusnya sebagai sentana rajeg, perempuan yang kawin kaceburin sekaligus menjadi ahli waris dari harta orang tuanya.
5. Pernikahan Adat Bugis Di Jambi
Dalam perkembangannya, masyarakat Bugis tidak hanya berdomisili di daerah Sulawesi saja akan tetapi telah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia, salah satunya adalah ke Desa Simbur Naik, Kec. Muaro Sabak, Kab Tanjung Jabung Timur. Di Desa Simbur Naik. Orang-orang Bugis membentuk komunitas tersendiri, dengan berbagai adat dan tradisi termasuk memelihara adat perkawinan yang masih berlaku sampai sekarang. Kalau dilihat secara spesifik dan mendalam lagi akan ditemukan beberapa praktek adat yang terkesan melenceng dari Syari’at Islam, sekurang-kurangnya terkesan ada ketentuan-ketentuan yang menyulitkan masyarakat untuk menunaikan ajaran agamanya. Hal ini seperti adat masyarakat Simbur Naik, Kecamatan Muaro Sabak, Jambi Dalam pernikahan contohnya, ada ketentuan adat yang mensyaratkan seorang suami harus memberikan suatu pemberian adat yang dikenal dengan doi’ menre’ yang jumlahnya sesuai dengan kesepakatan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan, di samping kewajibannya untuk memberikan mahar sebagaimana yang diatur dalam Islam. Hal itu sudah menjadi inheren (melekat) dalam kehidupan masyarakat Bugis yang tidak dapat dipisahkan dari tradisi mereka. Masih banyak lagi kesepakatan-kesepakatan yang lain yang sesuai dengan adat yang sudah ditentukan oleh mereka seperti mahar nikah harus berupa sebidang tanah yang luasnya satu hetar dan sekurang- kurangnya 5 dan 20 m (5 lebar 20 panjang) dan ini adalah mahar yang mesti ada dan kedudukan tanah tersebut harus jelas supaya bisa diketahui oleh pihak perempuan. Pada umumnya setiap ada lingkungan yang sudah dimasuki ajaran Islam sudah terdapat norma yang mengatur kehidupan masyarakat yang bersangkutan dengan hukum Islam meskipun dalam bentuk yang tidak tertulis yang disebut adat. Adat secara bahasa berarti kebiasaan dan secara syar’i diartikan dengan apa yang sudah dikenal dan dipraktekkan oleh manusia, baik berupa perkataan, perbuatan atau meninggalkan sesuatu perbuatan.8 Definisi senada juga dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa adat adalah sesuatu oleh manusia telah dijadikan kebiasaan yang telah digemari dalam kehidupan mereka, Penerimaan adat tersebut di atas didasarkan pada pemakaian bahwa sesuatu yang telah dilakukan oleh seluruh masyarakat atau sebagiannya dan telah menyatu dalam kehidupan sehari hari adalah baik selama tidak dinyatakan lain oleh hukum, sesuatu dianggap baik oleh masyarakat maka baik juga menurut Allah Swt. Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa secara umum Islam bisa menerima kebiasaan yang berlaku di dalam masyarakat selama tidak menyalahi norma-norma yang menyalahi syar’i. Pengakuan hukum Islam terhadap adat tersebut sesuai dengan kaedah fiqh. Oleh karena itu adat istiadat dapat menjadi salah satu sumber (skunder) dalam hukum Islam. Dengan demikian pemberian doi’ menre’ yang terdapat dalam upacara perkawinan adat Bugis di Desa Simbur Naik uga diterima oleh hukum Islam yang tidak diterima adalah sesuatu yang ditambah-tambah yang sebenarnya tidak termasuk dalam lingkungan adat sehingga memberatkan dan mempersulit bagi pihak pria untuk melaksanakan sunnah Rasullah yaitu melakukan pernikahan. Doi’ menre’ termasuk dalam struktur dari norma adat yang disebut (ade’, assiamaturaseng) yang telah mengakar jauh sebelum Islam datang, doi’ menre’ adalah syarat bagi berlangsungnya akad nikah. Selanjutnya melihat definisi doi’ menre’ dalam pernikahan adat Bugis adalah uang pesta dalam pernikahan dan jumlahnya tidak mengikat: persoalan doi menre’ dalam hukum Islam masuk dalam hal yang tahsiniyyah walaupun menurut adat doi menre’ masuk dalam katagori syarat dalam pernikahan adat. Jadi, adat dalam hal ini berada di bawah hukum syar’i dan sebuah syarat yang bisa membatalkan yang halal dalam syar’i tidak diterima. Tentang hukum doi’ menre’ menurut hukum Islam adalah mubah (boleh) karena kedudukanya adalah sebagai hibah. Pemberian doi menre’ dalam pernikahan adat Bugis merupakan persyaratan (kewajiban) adat bukan berdasarkan syar’i. Jadi, menurut hukum Islam orang boleh memberikan atau tidak memberikan doi menre.
6. STATUS LAKI - LAKI DAN PEWARISAN DALAM PERKAWINAN NYENTANA
Khusus masyarakat Hindu di Bali, yang sistem pewarisannya bersifat patrilineal (garis kebapakan) perkawinan yang dilakukan harus benar-benar memperhatikan sistem adat yang berlaku. Banyak kasus Bali seorang anak laki-laki kehilangan hak mewarisnya karena melakukan perkawinan yang dinilai bertentangan dengan adat yang berlaku yakni akibat melakukan perkawinan nyentana. Perkawinan nyentana yakni perkawinan dimana seorang laki-laki ikut dalam keluarga istrinya, tinggal dirumah istri dan semua keturunannya menjadi milik pihak keluarga istri. Pembahasan mengenai hukum adat waris tidak tedepas dari tiga kata kunci yang menjadi unsur-unsur pewarisan, yaitu : pewaris, harta warisan, dan ahli waris. Dalam aspek-aspek inilah akan dilihat asas-asas hukum adat waris yang berlaku bagi semua orang Bali. Status laki laki dalam sistem perkawinan nyentana di Bali adalah sebagai penerus keturunan pada keluarga istri, memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan laki laki pada umumnya pada keluarga tersebut. Hak dan kewajiban tersebut sebagaimana layaknya kepala keluarga pada umumnya, Hak waris dalam perkawinan nyentana di Bali dapat dikatakan hapus hak waris dari keluarga laki-laki, karena laki laki yang melakukan perkawinan nyentana memiliki hak dan kewajiban sebagai penerus keturunan pada keluarga istri.
7. PERKAWINAN SEMARGA MASYARAKAT MIGRAN BATAK MANDAILING DI
YOGYAKARTA Masyarakat Batak yang sistem kekerabatannya patrilineal dengan sistem perkawinan exogami memiliki ketentuan adat istiadat yang masih satu marga dilarang melangsungkan perkawinan, karena keyakinan yang melakukan perkawinan semarga masih memiliki hubungan darah. Masyarakat Batak yang menikah akan mengetahui marga apa saja yang boleh dinikahi, serta menganggap semarga itu bersaudara. Pada dasarnya, dalam adat perkawinan semarga dilarang dalam masyarakat Batak Mandailing karena dianggap sedarah dan masih mempertahankannya namun, di pihak lain terdapat masyarakat Batak Mandailing yang cenderung mengubah larangan perkawinan semarga. Masyarakat Batak Mandailing menganggap perkawinan semarga itu sah saja asalkan saling mencintai. Selain faktor cinta, perkawinan semarga juga dipengaruhi oleh faktor agama, ekonomi, pendidikan, perkembangan zaman dan kurangnya pengetahuan budaya Batak. Masyarakat Batak yang melakukan perkawinan semarga menganggap perkembangan penduduk yang semakin bertambah sehingga tidak mungkin lagi semarga itu sedarah, dan orang yang memiliki marga yang sama tidak berarti mereka adalah saudara. Faktor yang paling menonjol dalam perkawinan semarga adalah faktor agama, larangan perkawinan semarga tidak ada dalam hukum Islam, karena saudara semarga tidak termasuk dalam orang-orang yang haram dinikahi menurut al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dikatakan perkawinan semarga berhukum mubah asalkan bukan saudara dekat. Perkawinan semarga merupakan suatu perubahan sosial keluarga dalam masyarakat Batak Mandailing. Perubahan sosial dalam perkawinan semarga Batak Mandailing yang sekarang ini mengubah sistem perkawinan exogami menjadi sistem perkawinan eleutherogami yang tidak mengenal adanya larangan atau keharusan sebagaimana halnya dalam sistem perkawinan exogami atau sistem perkawinan endogami. 8. PERKAWINAN MASYARAKAT SAMIN DALAM PANDANGAN HUKUM NEGARA Prosesi pernikahan masyarakat Kudus nonsamin pada umumnya yang membedakan dengan warga Samin Kudus berupa jika warga Samin tanpa pengeras suara, tanpa musik pengiring acara, tanpa dekorasi pelaminan penganten, tanpa pelaminan khusus (kemanten hanya duduk di kursi berbaris satu lajur bersama besan dan satu lajur untuk tuan rumah, tokoh Samin, dan saudara dekatnya), tanpa tenda tamu, tanpa undangan tertulis agar menyumbang dana (nonjok), hanya tersedia bangku, kursi, dan tikar untuk tamu. Kecuali bagi sebagian komunitas Samin yang berekonomi mapan, pelaksanaan perkawinan ditampilkan seni pertunjukan (nanggap) khas Jawa, seperti wayang kulit, kethoprak, dsb. Adapun perbedaan dari aspek syarat rukun perkawinan menurut kaca pandang hukum positif tidak adanya pegawai pencatat nikah, tidak ada batasan usia minimal. Sedangkan yang menyamakannya adalah adanya wali (orangtua), saksi (tamu undangan yang Samin dan nonsamin dan keluarganya), adanya kedua mempelai, adanya ijab-kabul, mahar (yang tidak dinyatakan secara terbuka di hadapan forum nyuwito), dan sekufu (seagama). Kokohnya masyarakat Samin Kudus melaksanakan perkawinan adat karena keberadaan tokoh dan orangtua Samin masih eksis dijadikan tauladan hidup bagi generasinya dalam nguri-uri budaya dan ajaran leluhurnya, Ki Samin Surosentiko. Kedudukan tokoh adalah sebagai bapak, hakim, dan pemimpin. Peran bapak diharapkan menyelesaikan permasalahan, memberi petunjuk, nasehat jika dilanda permasalahan. Sedangkan peran hakim adalah mengadili jika terjadi pelanggaran atas norma adat secara adil. Adapun peran pemimpin adalah upaya pendamai jika komunitas adatnya diganggu pihak/komunitas lain. Ketiga hal tersebut dapat dilaksanakan dengan baik oleh botohnya (tokoh adatnya). Tidak disertakannya peran negara (KUA atau Kantor Catatan Sipil) karena dalih bahwa Adam kawin dengan Hajar pun tidak menyertakan ’catatan tertulis’ (baca: surat nikah). Samin lebih mementingkan kenyamanan dan ketentraman berkeluarga, interaksi sosial, dan dengan pemerintah RI, tidak mempersoalkan ’surat’. Selama ini, argumen pentingnya surat nikah sebagai bentuk antisipasi negara dalam memfasilitasi warganya jika terjadi persengketaan. Dengan pencatatan nikah versi pemerintah agar mendapatkan kepastian hukum. Bagi masyarakat Samin, kepastian hukum diwujudkan dengan realisasi prinsip kesaminan dalam berperilaku, termasuk dalam perkawinan. Jika terjadi persengketaan keluarga, menyangkut perceraian dan pembagian harta warisan, cukup diselesaikan secara kekeluargaan dengan prinsip saling memahami dan menyadari. Hal ini didukung data yang telah diperoleh penulis, tidak ditemukan konflik perceraian dan pembagian harta warisan, apalagi bagi suami atau isteri nikah lagi dengan cara berbohong dengan statusnya yang telah nikah, tetapi mengaku belum nikah. Semua itu merupakan pesan moral bagi publik yang selalu mendewa-dewakan formalitas, kadangkala menafikan realitas kehidupan yang etis. Sebagaimana digambarkan warisan leluhurnya, Ki Samin, sebagai esensi Samin utuh yakni berprinsip untuk tidak drengki (membuat fitnah), srei (serakah), panasten (mudah tersinggung), dawen (mendakwa tanpa bukti), kemeren (iri hati), nyiyo marang sepodo (berbuat nista), dan bejok reyot iku sedulure yen gelem dindaku dulur (mengaku siapapun sebagai saudara). Sekaligus berpantangan dalam bedok (menuduh), colong (mencuri), pethil (mengambil barang yang masih menyatu dengan alam, seperti padi di sawah), jumput (mengambil barang yang tidak menyatu dengan alam, seperti beras), dan nemu (menemukan). Meskipun, warga Samin adalah manusia yang dibekali oleh Tuhannya (Yai) berupa akal dan nafsu, sehingga berpeluang menjadi orang yang taat prinsip atau tidak taat prinsip Samin. 9. PROSES PELAKSANAAN PERKAWINAN HUKUM ADAT SUKU DANI DIDISTRIK GUPURA KABUPATEN LANNY JAYA PAPUA Seorang pria yang pada awalnya ingin berkenalan dengan wanita harus membangun komunikasi dengan keluarga dekat wanita/atau orang tuanya.sebab, jika seorang pria yang berkenalan dengan wanita tidak membangun komunikasi dengan orang tua wanita/keluarga dekatnya dan sudah menjalani hubungan secara diam-diam tanpa diketahui orang tua/keluarga dekatnya selama satu bulan maka, si pria akan mendapatkan sanksi denda berupa binatang atau uang menurut adat suku dani. Jika kedua belah pihak keluarga sudah mengetahuinya maka, dari pihak laki- laki mendatangi pihak perempuan untuk melamar atau meminang perempuan itu menjadi istrinya atau dalam bahasa setempat Kwe nggino wagi. Tentang cara melamar atau meminang adalah dilakukan oleh pihak laki-laki yang di wakili oleh orang tuanya/keluarganya/sepupuhnya pada pihak keluarga wanita.Didalam masyarakathukum adat Suku Dani sendiri terdapat ketentuan bahwa perkawinan harus ijin terlebih dahulu kepada orang tua, karena orang tua lah yang nantinya akan melamar atau meminang pada orang tua si gadis. Jika tawaran pelamaran atau peminangan itu di terima maka, perempuan bersangkutan melakukan apa yang di sebut warga dani Bingga lakwi atau bingga lakarak, pada tahap ini, perempuan datang ke rumah laki-laki untuk memasak, lalu pergi. Tugas ini berlangsung lebih dari satu bulan.Apabila pihak perempuan merasa sudah waktunya untukmengetahui sikap orang tua pria maka, dilakukan upacara koeame wagarak atau perempuan datang untuk mendengar jawaban dari orang tua pria.Jika perempuan tersebut rajin dan cocok untuk jadi istri anak laki-lakinya, selanjutnya pihak orang tua menyampaikan persetujuan. Jalinan yang biasa di sebut suku Dani kwewonok ome wogi atau kwejipiwogi, pada tahap ini orang tua perempuan bersama keluarga dekatnya mengantar anaknya kepada orang tua laki-laki. Biasanya dilakukan dimalam hari dan diadakan acara potong babi, acara hiburan dengan sebuah lagu Iyara,lagu iyara adalah sebagai tanda bahwa kedua mempelai akan bersatu dan tinggal bersama sebagai suami istridan di selenggarakan pesta adat, sebelum perempuan di antar, orang tua perempuan menghias sendiri anaknya, seperti mengenakan Noken, Noken ini menggambarkan bahwa siperempuan tersebut bukan lagi Gadis dan siap menjadi istri atau ibu rumah tangga, kulit bia dan berbagai perlengkapan adat lain, setelah mengantar anaknya dan mengikuti acara adat yang diselenggarakan, orang tua perempuan pulang. Selanjutnya, orang tua laki-laki mendatangi orang tua perempuan untuk mendata semua jenis pengeluaran yang berkaitan dengan acara jalinan atau dalam bahasa setempatkwewonok ome wogiataukoejikopopiwogi, terutama biaya untuk periasan anak menantunya Jika perempuan tersebut rajin dan cocok untuk jadi istri anak laki-lakinya maka,sebelum melakukan acara pembayaran maskawin, pihak laki-laki akan mengundang keluarga pihak perempuan untuk membicarakan teknis pelaksanaan pembayaran maskawin. Dalam pembicaraan ada beberapa hal penting yang akan dibahas dan disepakati oleh kedua belah pihak anatara lain: tentang acara Pembayaran maskawin, Pemberian Noken kepada mempelai perempuan, hal ini menggambarkan bahwa siperempuan tersebut bukan lagi Gadis dan siap menjadi istri atau ibu rumah tangga, dan Penetapan tanggal pernikahan. Setelah menghasilkan kesepakatan antara kedua belah pihak maka, selanjutnya adalah melaksanakan acara. Dalam masyarakat suku dani biasanya menaru persembahan Babi satu ekor dari hasil pembayaran maskawin tersebut dan Pendeta atau Gembala akan mendoakan kedua mempelai atau kedua pasangan suami-istri tersebut agar perkawinan atau pernikahan itu sah menurut hukum adat masyarakat dani dan hukum keagamaan. Tradisi pernikahan masyarakat suku Dani tergolong unik, sebagian dari mereka tidak mau mencatatkan pernikahan mereka ke kantor catatan sipil maupun ke kantor urusan Agama karena, dimana menurut masyarakat suku Dani bahwa yang terpenting para toko adat atau kepala kampung, tokoh Agama dan masyarakat kampung sudah mengetahuinya bahwa si perempuan dan laki-laki itu sudah berstatus kawin. 10. PERKAWINAN COLONG SUKU ADAT OSING BANYUWANGI Menurut dari seorang informan selaku sesepuh adat masyarakat Osing di Desa Boyolangu Banyuwangi, menjelaskan bahwa dalam perkawinan colong yang ada di Desa Boyolangu mempunyai makna yang sangat sederhana dalam melaksanakan perkawinan. Karena menurut masyarakat Osing perkawinan colong ini tidak mengeluarkan banyak biaya dan juga tidak menggunakan peningset setelah perkawinan colong dilakukan. Sehingga mayoritas masyarakat Osing terutama di Desa Boyolangu Banyuwangi perkawinan colong ini sudah menjadi suatu tradisi di daerah tersebut. Perkawinan colong dilakukan apabila dua belah pihak sudah siap maka perkawinan tersebut dapat dilakukan. Tetapi perkawinan colong dapat dilakukan apabila usianya masing-masing kedua belah pihak telah mencukupi atau sesuai dengan ketentuan undang-undang yang telah tercantum dalam Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dalam perkawinan colong dapat terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat, perkawinan colong bukan hanya di daerah banyuwangi saja tetapi terdapat di daerahdaerah lain, misalnya di daerah lombok terdapat perkawinan colong tetapi lebih terkenal dengan sebutan perkawinan lari (merarik). Meskipun dalam perkawinan colong itu merupakan pelanggaran adat namun terdapat tata cara dalam menyelesaikannya. Pada umunya yang dimaksud perkawinan colong adalah bentuk perkawinan yang tidak didasarkan atas persetujuan lamaran orang tua, tetapi didasarkan kemauan sepihak atau kemauan kedua pihak yang bersangkutan. Lamaran dan persetujuan untuk perkawinan diantara kedua belah pihak orang tua terjadi setelah kejadian perkawinan colong.Salah satu bentuk pengumuman atau pemberitahuan kepada seluruh anggota masyarakat yang hadir disana bahwa telah terjadi sebuah peristiwa hukum yaitu perkawinan. Perbuatan hukum dari hukum adat perkawinan dalam kosmologi masyarakat adat Osing di Banyuwangi bahwa prosesi adalah sosialisasi dan saksi. Jadi, jika ada pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh perbuatan itu, maka segera melakukan tindakan hukum. Makna perkawinan menurut masyarakat osing nyata dalam prosesi nyadok atau nyurup. Pada masyarakat Osing yang prinsipnya kekerabatannya matrilineal atau parental perkawinan colong adalah pelanggaran adat yang melanggar kekuasaan orang tua tetapi sudah banyak terjadi bahwa kasus yang serupa diselesaikan dalam perundingan antara kedua belah pihak kerabat orang tua berangkutan atas dasar persetujuan untuk kawin di antara si perempuan dan si laki-laki yang melakukan kawin colong. Suatu perkawinan dapat dikatakan sah, apabila sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh adat Osing yang dipakai oleh masyarakat adat serta syarat administratif yang tercantum dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Dalam melakukan perkawinan colong sebelumnya ada kesepekatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan namun tanpa sepengetahuan dari dari keluarga si perempuan dalam melaksanakan kawin colong. Perkawinan colong dilakukan pada malam hari dan tidak ada orang yang mengetahuinya kecuali pihak yang akan melarikan dan pihak yang dilarikan serta keluarga dari pihak laki-laki. Setelah perkawinan colong dilakukan pada pihak laki- laki mengirim seorang colok minimal 2 orang kepada keluarga pihak perempuan. Dan pada saat itu juga untuk ditentukan tanggal dalam melaksanakan pernikahan apabila orang tua dari pihak perempuan menyetujuinya dan menerima dengan senang hati. Perkawinan colong tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, akan tetapi secara proses dan pelaksanaan perkawinan colong tidak melanggar aturan atau kaidah-kaidah yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam masyarakat hukum adat Osing Banyuwangi yang memiliki susunan kekerabatan parental/bilateral, dimana setelah kawin suami menjadi kerabat istri dan sebaliknya istri juga menjadi kerabat suami. Maka kedudukan anak dikaitkan dengan tujuan penerusan keturunan menurut garis bapak dan ibu. Anak yang dihasilkan dari suatu perkawinan colong tidak merubah kedudukan anak tersebut secara adat, anak tersebut masih berhak dalam mewaris dan meneruskan silsilah kekeluargaannya sesuai dengan garis keturunan bapak dan ibu. Anak yang dilahirkan dari suatu perkawinan colong dapat dikatakan anak yang sah dan berhak atas hak-haknya yang melekat dalam dirinya. Hal ini dikarenakan anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak yang lahir dari suatu perkawinan yang tidak sah hanya akan mempunyai hubungan keperdataan dengan ibunya. Barang-barang yang menjadi harta benda bersama menurut pandangan masyarakat Osing di Banyuwangi bahwa harta gono-gini diperoleh melalui harta campuran antara harta yang dibawa suami dan harta yang dibawa istri. Harta gono gini dalam perkawinan colong menjadi hak bersama suami istri walaupun mungkin yang mengelola hanya suami, tetapi peran istri yang mengurus rumah tangga dan anak di rumah cukup berarti dalam pembentukan harta gono gini. Apalagi istri yang hidupnya sederhana dan mampu mengelola harta benda yang dihasilkan oleh suami. Oleh karena itu, harta gono gini menjadi hak bersama. Jika terjadi perceraian, maka harus dibagi sama rata. Oleh karena itu, suami istri. Dengan melihat kondisi yang demikian itu umumnya para orang tua langsung saling membicarakan (berembug) dengan anaknya. Setelah itu, orang tuanya laki-laki segera mengutus dua orang saudaranya atau tetangganya untuk mendatangi rumah orang tua perempuan yang dibawa lari itu. Mereka yang diutus itu biasanya orang yang sudah terbiasa atau berpengalaman melakukan hal-hal semacam itu. Biasanya mereka ini adalah tokoh masyarakat seperti guru, pegawai atau orang yang dituakan. Orang yang disuruh ke rumah calon besan/calon mertua itu biasa disebut colok. Biasanya mereka datang kerumah orang tua yang kehilangan anaknya itu malam hari. Setelah sampai di rumah yang dituju dan dipersilahkan untuk duduk, kemudian mereka berdua mengenalkan diri dan silaturahmi. Kalau sekiranya dianggap cukup barulah mereka mengutarakan kedatangannya untuk melaporkan keberadaan anak perempuannya di rumah orang tua laki-laki pujaannya dengan kondisi baik-baik.