Anda di halaman 1dari 15

NAMA KELOMPOK : MALEAKHI SAMUEL PASALLI 18C10132

ANDREAS NDORI WANGGE 18C10088


TUGAS : HUKUM ADAT 01

HUKUM ADAT KELUARGA

A. PENGERTIAN

Hukum adat keluarga/hukum kekerabatan adalah kaidah-kaidah hukum yang


mengatur hubungan-hubungan hukum yang ditimbulkan oleh hubungan biologis. Hubungan
kekeluargaan ini mempunyai tempat yang sangat penting karena merupakan faktor/dasar
dalam susunan persekutuan hukum/masyarakat hukum, hukum perkawinan, dan hukum
waris. Dalam hal Keturunan adalah hubungan leluhur, artinya ada hubungan antara seorang
dengan orang lain Keturunan merupakan elemen yang esensial serta mutlak bagi suatu
clan/suku ataupun suatu kerabat yang menginginkan dirinya tidak punah, untuk melanjutkan
keberlangsungan generasinya. Dalam hal silsilah keluarga adalah bagan yang
menggambarkan dengan jelas garis keturunan dari seorang atau suami/istri baik yang lurus
ke atas, ke bawah maupun yang menyimpang. Silsilah dibuat untuk mengetahui hubungan
kekeluargaan yang ada di antara para warga keluarga yang bersangkutan. Dalam hal
Adopsi Motif pengangkatan anak bertujuan untuk melanjutkan keturunan, melanjutkan dan
memelihara/mengurus harta, pemeliharaan agar mendapatkan kedudukan yang lebih baik,
adapun bentuk adopsi yaitu Adopsi langsung yaitu penangkatan anak yang ditujukan untuk
keperluan hukum, Adopsi tidak langsung yaitu pengangkatan anak tri, anak menantu yang
dilakukan melalui perkawinan.

B. PENJELASAN

Indonesia memiliki keragaman yang sanagat luas di tiap daerahnya, hal ini menjadi
landasan perbedaan norma-norma serta aturan aturan dalam penerapannya di berbagai
daerah yaitu ;

1. PERKAWINAN ENDOGAMI PERSPEKTIF HUKUM ADAT DAN HUKUM ISLAM


Dalam hukum perkawinan Islam dikenal sebuah asas yang disebut
selektivitas. Artinya, seseorang ketika hendak melangsungkan perkawinan terlebih
dahulu harus menyeleksi dengan seseorang yang boleh ia menikah dan dengan
seseorang yang ia terlarang untuk
menikah. Hal ini untuk menjaga agar perkawinan yang dilangsungkan tidak
melanggar aturan-aturan yang ada, terutama bila perempuan yang hendak dikawini
ternyata terlarang untuk dikawini; yang dalam Islam dikenal dengan istilah mahram
(orang yang
haram dikawini).Dalam hal larangan perkawinan; al-Qur’an memberikan aturan yang
tegas dan terperinci.Dalam QS.al-Nisa (4) ayat 22-24 Allah swt. berfirman yang
artinya “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu,
terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya perbuatan itu amat keji dan
dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (23) “Diharamkan atas kamu
(mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang
perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudarasaudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu istrimu (mertua); anak-
anak istrimu yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri, tetapi
jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak
berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) istri-istri anak kandungmu
(menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang
bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (24) “Dan (diharamkan juga kamu
mengawini) wanita yang bersuami, kecuali budak-budak yang kamu miliki (Allah
telah menetapkan hukum itu) sebagai ketetapan-Nya atas kamu; dan dihalalkan bagi
kamu selain yang demikian (yaitu) mencari istri-istri dengan hartamu untuk dikawini
bukan untuk berzina. Maka istri-istri yang telah kamu nikmati (campuri) di antara
mereka, berikanlah kepada mereka maharnya (dengan sempurna) sebagai suatu
kewajiban; dan tiadalah mengapa bagi kamu terhadap sesuatu yang kamu telah
saling merelakannya, sesudah menentukan mahar itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (Departemen Agama RI, 1418 H:81-82) Ayat ini
dengan tegas menjelaskan golongan perempuanperempuan yang haram untuk
dikawini. Perempuan itu adalah: ibu tiri, ibu kandung, anak kandung, saudara
kandung, seayah atau seibu, bibi dari ayah, bibi dari ibu, keponakan dari saudara
laki-laki, keponakan dari saudara perempuan, ibu yang menyusui, saudara
sesusuan, mertua, anak tiri dari istri yang sudah diajak berhubungan intim, menantu,
ipar (untuk dimadu), dan perempuan yang bersuami. Berdasarkan ayat ini dapat
dipahami bahwa ada empat kategori
perempuan yang haram untuk dikawini yaitu :
 karena ada hubungan darah
 karena hubungan persusuan
 karena ada hubungan perkawinan, baik yang dilakukan oleh ayah, diri sendiri,
atau anak
 karena status perempuan yang sudah kawin.Oleh karena itu, selain dari
perempuan-perempuan yang haram untuk dikawini seperti yang dijelaskan
dalam QS.al-Nisa (4) ayat 22-24, maka boleh untuk dikawini.

2. PERKAWINAN ADAT MINANGKABAU


Minang atau Minangkabau adalah kelompok kultur etnis yang menganut
sistem adat yang khas, yaitu sistem kekeluargaan menurut garis keturunan
perempuan yang disebut sistem matrilineal. Dalam budaya Minangkabau,
perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam siklus kehidupan dan
merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam membentuk kelompok kecil
keluarga baru penerus keturunan. Bagi masyarakat Minangkabau yang beragama
Islam, perkawinan dilakukan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan. Minangkabau sering lebih dikenal sebagai bentuk
kebudayaan daripada sebagai bentuk negara atau kerajaan yang pernah ada dalam
sejarah. Hal itu mungkin karena dalam catatan sejarah yang dapat dijumpai hanyalah
hal pergantian nama kerajaan yang menguasai wilayah itu. Tidak ada suatu catatan
yang dapat memberi petunjuk tentang sistem pemerintahan yang demokratis dengan
masyarakatnya yang ber-stelsel matrilineal serta tidak ada catatan sejarah kelahiran
sistem matrilineal ini sebagaimana yang dikenal orang seperti sekarang. Dalam adat
budaya Minangkabau, perkawinan merupakan salah satu peristiwa penting dalam
siklus kehidupan dan merupakan masa peralihan yang sangat berarti dalam
membentuk kelompok kecil keluarga baru penerus keturunan. Bagi lelaki Minang,
perkawinan juga menjadi proses untuk masuk lingkungan baru, yaitu pihak keluarga
istrinya. Sementara bagi keluarga pihak istri, menjadi salah satu proses dalam
penambahan anggota di komunitas Rumah Gadang mereka. Dalam prosesi
perkawinan adat Minangkabau, biasa disebut baralek, mempunyai beberapa tahapan
yang umum dilakukan. Dimulai dengan maminang (meminang), manjapuik marapulai
(menjemput pengantin pria), sampai basandiang (bersanding di pelaminan). Setelah
maminang dan muncul kesepakatan manantuan hari (menentukan hari pernikahan),
kemudian dilanjutkan dengan pernikahan secara Islam yang biasa dilakukan di
masjid, sebelum kedua pengantin bersanding di pelaminan. Dalam hal batas umur
untuk melangsungkan perkawinan, hukum adat pada umumnya tidak mengatur
tentang batas umur untuk melangsungkan perkawinan, dimana hukum adat
membolehkan perkawinan di usia berapapun. Pada masyarakat yang menganut
sistem matrilineal seperti di Minangkabau, masalah perkawinan adalah masalah
yang dipikul oleh mamak (paman). Seorang mamak (paman dari pihak ibu)
peranannya yang sangat besar sekali terhadap kemenakannya yang akan
melakukan perkawinan. Dalam susunan masyarakat matrilineal Minangkabau,
seorang anak yang dilahirkan menurut hukum adat hanya akan mempunyai
hubungan hukum dengan ibunya. Dengan demikian, anak akan menjadi atau masuk
klan/suku ibunya sedangkan terhadap ayahnya anak secara lahiriah tidak
mempunyai hubungan apaapa walaupun secara alamiah dan rohaniah mempunyai
hubungan darah. Begitu pula sebaliknya, seorang ayah tidak akan mempunyai
keturunan yang menjadi anggota keluarganya. Oleh sebab itu, seorang ayah tidak
perlu bertanggung jawab terhadap istri dan anak-anaknya untuk memelihara
anakanak dan membesarkannya, juga wewenang untuk mengawinkan. Hubungan-
hubungan pewarisan terjalin dengan ibu beserta mamak dari anak-anak tersebut
sebagai kehidupan modern yang berpengaruh dari kebudayaan barat. Keadaan ini
telah banyak mengalami perubahan. Perubahan mamak rumah dalam lingkungan
kemenakannya yang menyangkut kehidupan keluarga telah diserahkan mamak
(saudara laki-laki dari ibu) rumah kepada ipar/menantu dari pihak laki-laki (urang
sumando). Pola perkawinan mereka bersifat eksogami. Kedua belah pihak atau
salah satu pihak dari yang menikah itu tidak lebur ke dalam kaum kerabat
pasangannya. Oleh karena menurut struktur masyarakat mereka setiap orang adalah
kaum dan suku mereka masingmasing yang tidak dapat dialihkan. Setiap orang tetap
menjadi warga kaumnya masingmasing, meskipun telah diikat perkawinan dan telah
beranak-pinak. Anak yang lahir akibat perkawinan itu menjadi anggota kaum sang
istri, sehingga ayah tidak perlu bertanggung jawab terhadap kehidupan anakanaknya
bahkan terhadap rumah tangganya. Kelihatannya hubungan mereka sangat rapuh,
tetapi para istri mempunyai daya pemikat yang khusus, yaitu resep kuno “cinta
melalui perut suami” dengan kepintarannya memasak di samping itu para istri
pantang mengeluh kepada suaminya sehingga para suami tidak mempunyai beban
pikiran yang berat di rumah tangganya. Tata Cara Perkawinan Masyarakat Adat
Minangkabau dibagi menjadi 2 yaitu ;
 Perkawinan Menurut Kerabat Perempuan yaitu, ialah perkawinan anak
kemenakan dengan anak kemenakan besan atau ipar yang telah lama putus
karena kematian.
 Perkawinan Menurut Kerabat Laki-Laki yaitu , Seorang anak kemenakan laki-
laki yang matang untuk menikah senantiasa merisaukan pikiran kaum
kerabatnya. Kalau tidak ada orang yang datang meminang, pertanda bahwa
pihaknya tidak mendapat penghargaan layak dari orang lain. Memang pihak
mereka dapat mengambil prakarsa untuk memancing pinangan, tetapi andai
kata pancingan itu tidak mengena akan menambah jatuhnya harga diri
mereka.
3. PERKAWINAN ADAT DAYAK NGAJU
Masyarakat Dayak Ngaju memahami bahwa perkawinan yang luhur dan suci
adalah perkawinan yang sesuai dengan tatanan adat, yaitu melalui tahapan-tahapan
seperti: Bisik Kurik dan Hakumbang Auh, Mamanggul, Maja Misek dan pemenuhan
hukum adat perkawinan (Jalan hadat). Carol dan Melvin mengatakan bahwa
beberapa tahapan yang dilakukan sebelum perkawinan ini merupakan salah satu
bentuk upacara dan perayaan dari suatu perkawinan yang resmi. Mengenai status
sosial yang dimaksud, Koentjaraningrat mengatakan bahwa dalam beberapa
masyarakat terdapat istilah “lapisan sosial takresmi,” artinya: “anggota masyarakat
tidak mempunyai kesadaran atau konsepsi yang jelas tentang seluruh susunan
pelapisan dan kelas-kelas dalam masyarakat mereka . . . kecuali hanya dengan
sebutan-sebutan yang kabur seperti kaum atasan, kaum terpelajar, golongan
menengah, . . .dsb.”188 Berdasarkan pemahaman ini, nampak jelas bahwa dalam
masyarakat Dayak Ngaju, sebelum adanya penghapusan mengenai perbudakan
(bab III, 1.5), lapisan sosial yang berlaku bersifat resmi. Namun, pada masa
sekarang hal itu sudah tidak seketat dulu dan terlihat tidak jelas, sebutan- sebutan
yang diberikan kabur. Walau demikian, biasanya anggota masyarakat tahu siapa
yang mereka pandang lebih tinggi dari mereka, dan siapakah orang yang mereka
pandang lebih rendah dari mereka; dan mereka tahu benar bagaimana mereka
bersikap terhadap orang-orang tersebut.189 Sebab itu, dalam masyarakat Dayak
Ngaju hampir tidak pernah terdengar keluhan mengenai pemberian jalan hadat.
Karena pihak laki-laki sebagai pihak pemberi cukup tahu dan menyadari kepada
siapa, dan keturunan dari mana dia memberikan barang-barang tersebut. Sebaliknya
pihak perempuan pun menyadari siapa, dan keturunan dari mana laki- laki yang akan
menikah dengannya. Hal itu tentunya sudah diketahui sebelum mereka memutuskan
untuk menikah. Karena itu, biasanya orang tua selalu mengarahkan dan
membimbing anak-anaknya dalam memilih pasangannya. Akan dilihat bagaimana
kehidupan keluarganya, asal usulnya, kualitas dan pendidikan orang itu. Dalam
masyarakat Dayak Ngaju, persyaratan jalan hadat terdiri dari 16 sampai 17 butir.
Persyaratan ini mutlak dan itu tidak bisa dirubah. Biasanya yang sering mendapat
perhatian secara khusus adalah palaku dan panginan jandau (biaya pesta), karena
jumlah yang dibayarkan lebih besar dibanding syarat-syarat yang lain. Untuk Palaku,
dibayar dengan 5 (lima) pikul garantung (gong).
Jumlah berat barang hadat tersebut, berpedoman pada Palaku ayun indu je
bawi (Palaku yang dimiliki ibu calon mempelai wanita). Namun dalam hal
pembayarannya berbeda, karena disesuaikan dengan nilai materi sekarang.
Biasanya Palaku diberikan dari harta kekayaan orang tua calon mempelai laki-laki
kepada calon mempelai perempuan, sebagai bentuk berkah dan restu orang tua.
Sedangkan untuk panginan jandau, jumlah yang dibayarkan tergantung kesepakatan
bersama. Namun sebenarnya, jumlah yang dibayar tidaklah terlalu besar jika pesta
itu dilaksanakan dengan sederhana, cukup di rumah mempelai wanitanya, seperti
yang dilakukan para orang tua jaman dahulu. Tidak perlu di gedung atau harus acara
yang mewah dan makanan istimewa. Karena yang terpenting adalah doa restu dari
keluarga maupun masyarakat.
Jika dianalisis, barang –barang adat yang diberikan dalam jalan hadat ini
bersifat flexibel; dalam arti sesuai dengan keadaan jaman perkawinan itu
dilaksanakan, dan kemampuan dari pihak laki-laki. Disini terlihat bahwa masyarakat
Dayak Ngaju memiliki aturan yang pada satu pihak tegas dan mutlak, dalam arti tidak
dapat ditoleransi. Namun dipihak lain ada aturan-aturan yang longgar, tidak kaku;
dalam pengertian dapat ditoleransi sesuai dengan kemampuan. Sifat toleran yang
tinggi, tidak memaksakan kehendak sendiri kepada pihak lain, menyebabkan hingga
sejauh ini, tidak ada keluhan mengenai pemenuhan adat. Yang penting adalah niat
hati dan kesungguhan dari masing-masing pihak. Konsep mengenai perjanjian
perkawinan sebagai suatu hukum yang mengikat bagi suami istri ini, jika dikaitkan
dengan teori Michael P. Johnson, maka konsep inilah yang dimaksud sebagai
Structural Commitment atau komitmen struktural, yang turut mempengaruhi
keputusan seseorang untuk tetap bertahan dalam suatu perkawinan. 194 Karena
walaupun tidak ada larangan secara ketat mengenai perceraian, pada dasarnya
masyarakat Dayak Ngaju tidak menyetujui adanya hal itu. Reaksi dari
ketidaksetujuan ini, akan terlihat dari tekanan sosial dari pihak keluarga, teman dan
masyarakat. Demikian juga proses birokrasi melalui Lembaga Adat Dayak, dan
prosedur hukum perceraian yang sulit akan menghabiskan waktu serta biaya.
Perjanjian perkawinan masih terus dipertahankan karena didalamnya mengandung
nilai-nilai budaya, nilai kesetiaan, nilai moral, termasuk nilai kekerabatan. Perjanjian
perkawinan dapat dilihat sebagai antisipasi jika terjadi hal- hal yang tidak diinginkan
dalam perkawinan atau paling tidak meminimalisir tindakan perceraian dalam
kehidupan masyarakat di kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah.

4. PERKAWINAN MATRIARKI PADA MASYARAKAT HINDU BALI


Bagi masyarakat Hindu Bali perkawinan merupakan hubungan yang bersifat
sakral dan suci antara pria dengan wanita dalam menjalankan dharma bahktinya
sebagai manusia yang utuh. Ini berarti bahwa, secara ideal perkawinan akan
dianggap sah dan legal secara hukum dan adat apabila disetujui oleh kedua
mempelai, direstui dan disaksikan oleh keluarga kedua belah pihak, serta disaksikan
secara niskala serta dilaksanakan melalui prosesi upacara adat. Hubungan yang
bersifat sakral dan suci ini mesti dilandasi oleh rasa cinta untuk mewujudkan
swadarmaning manusa lan swadarmaning pianak (kewajiban manusia untuk
meneruskan kehidupan dan kewajiban seorang anak) (Surupa, 2002). Bagi seorang
anak yang tidak mampu melanjutkan keturunan keluarga dan menjalankan
kewajiban, diyakini orang tuanya tidak akan mendapatkan tempat yang baik ketika
meninggal. Kondisi ini menyebabkan perkawinan, selain bermakna sebagai Sebuah
hak sekaligus sebagai sebuah kewajiban yang harus dijalankan seorang anak dalam
menersukan keturunan. Namun, dalam kenyataannya, tidak semua anak mampu
melaksanakan kewajibannya sebagai seorang anak yang berkewajiban untuk
meneruskan keturunan, yang disebabkan karena hukum perkawinan patriarhi yang
mengharuskan hanya seorang anak laki-laki yang boleh menjadi penerus keturunan
dan ahli waris keluarga. Anak perempuan hanya mempunyai hak atas harta
kekayaan keluarga selama mereka masih muda saja. Ketika mereka sudah mulai
bersuami secara otomatis tidak mempunyai hak untuk menikmati dan memperoleh
warisan dari keluarganya, kecuali atas dasar kesukarelaan keluarganya. Dalam
masyarakat adat di Bali, status hukum suami-istri serta anakanak dalam keluarga
sangat ditentukan oleh bentuk perkawinanmya. Apakah suami-istri itu dan anak-
anaknya berkedudukan hukum di keluarga pihak suami ataukah di keluarga pihak
istri sangat dipengaruhi oleh bentuk perkawinan yang dipilih. Undangundang
perkawinan tidak mengatur mengenai bentuk-bentuk perkawinan ini. Namun,
persoalan mengenai bentukbentuk perkawinan ini sama sekali tidak dapat diabaikan
dalam keseluruhan sistem perkawinan yang berlaku bagi umat Hindu di Bali. Status
atau kedudukan hukum seseorang di dalam keluarga sangat penting artinya dalam
hukum adat Bali karena akan mempengaruhi hak (swadikara) dan kewajiban
(swadharma) orang tersebut dalam keluarga dan masyarakat (banjar/desa
pakraman). Swadharma dan swadikara dalam keluarga misalnya menyangkut
tanggungjawab pemeliharaan terhadap anak atau pemeliharaan terhadap orang tua
di masa tuanya, hak dan kewajiban terhadap harta warisan, tanggung jawab
terhadap pemeliharaan dan kelangsungan serta pemujaan terhadap tempat
persembahyangan keluarga (sanggah/merajan) di mana roh leluhur disemayamkan,
dan lain-lain. Tanggung jawab kemasyarakatan menyangkut tanggung jawab
sebagai anggota kesatuan masyarakat hukum adat (banjar/desa pakraman, subak,
dadia), baik dalam bentuk ayahan (kewajiban kerja), pawedalan/papeson (urunan
berupa uang atau barang), dan lain-lain. Pada masyarakat Bali dikenal beberapa
kelompok kekerabatan yang dibedakan berdasarkan bentuknya. Kelompok
kekerabatan pertama, disebut kuren yaitu ikatan suami istri yang terjadi akibat
hubungan perkawinan. Satu kuren berarti sepasang suami istri termasuk anak-
anaknya. Dalam bentuk perkawinan matriarki ini, suami yang berstatus sebagai
pradana dilepaskan hubungan hukumnya dengan keluarga asalnya selanjutnya
masuk dalam keluarga kepurusa istrinya. bentuk perkawinan matrilokal (nyeburin) ini
sebagai penghargaan terhadap perempuan Bali karena dengan diangkat statusnya
sebagai sentana rajeg, perempuan yang kawin kaceburin sekaligus menjadi ahli
waris dari harta orang tuanya.

5. Pernikahan Adat Bugis Di Jambi


Dalam perkembangannya, masyarakat Bugis tidak hanya berdomisili di
daerah Sulawesi saja akan tetapi telah menyebar ke berbagai wilayah Indonesia,
salah satunya adalah ke Desa Simbur Naik, Kec. Muaro Sabak, Kab Tanjung Jabung
Timur. Di Desa Simbur Naik. Orang-orang Bugis membentuk komunitas tersendiri,
dengan berbagai adat dan tradisi termasuk memelihara adat perkawinan yang masih
berlaku sampai sekarang. Kalau dilihat secara spesifik dan mendalam lagi akan
ditemukan beberapa praktek adat yang terkesan melenceng dari Syari’at Islam,
sekurang-kurangnya terkesan ada ketentuan-ketentuan yang menyulitkan
masyarakat untuk menunaikan ajaran agamanya. Hal ini seperti adat masyarakat
Simbur Naik, Kecamatan Muaro Sabak, Jambi Dalam pernikahan contohnya, ada
ketentuan adat yang mensyaratkan seorang suami harus memberikan suatu
pemberian adat yang dikenal dengan doi’ menre’ yang jumlahnya sesuai dengan
kesepakatan antara pihak laki-laki dengan pihak perempuan, di samping
kewajibannya untuk memberikan mahar sebagaimana yang diatur dalam Islam. Hal
itu sudah menjadi inheren (melekat) dalam kehidupan masyarakat Bugis yang tidak
dapat dipisahkan dari tradisi mereka. Masih banyak lagi kesepakatan-kesepakatan
yang lain yang sesuai dengan adat yang sudah ditentukan oleh mereka seperti
mahar nikah harus berupa sebidang tanah yang luasnya satu hetar dan sekurang-
kurangnya 5 dan 20 m (5 lebar 20 panjang) dan ini adalah mahar yang mesti ada
dan kedudukan tanah tersebut harus jelas supaya bisa diketahui oleh pihak
perempuan. Pada umumnya setiap ada lingkungan yang sudah dimasuki ajaran
Islam sudah terdapat norma yang mengatur kehidupan masyarakat yang
bersangkutan dengan hukum Islam meskipun dalam bentuk yang tidak tertulis yang
disebut adat. Adat secara bahasa berarti kebiasaan dan secara syar’i diartikan
dengan apa yang sudah dikenal dan dipraktekkan oleh manusia, baik berupa
perkataan, perbuatan atau meninggalkan sesuatu perbuatan.8 Definisi senada juga
dikemukakan oleh Hasbi Ash-Shiddieqy bahwa adat adalah sesuatu oleh manusia
telah dijadikan kebiasaan yang telah digemari dalam kehidupan mereka, Penerimaan
adat tersebut di atas didasarkan pada pemakaian bahwa sesuatu yang telah
dilakukan oleh seluruh masyarakat atau sebagiannya dan telah menyatu dalam
kehidupan sehari hari adalah baik selama tidak dinyatakan lain oleh hukum, sesuatu
dianggap baik oleh masyarakat maka baik juga menurut Allah Swt. Sebagaimana
telah dijelaskan di atas bahwa secara umum Islam bisa menerima kebiasaan yang
berlaku di dalam masyarakat selama tidak menyalahi norma-norma yang menyalahi
syar’i.
Pengakuan hukum Islam terhadap adat tersebut sesuai dengan kaedah fiqh.
Oleh karena itu adat istiadat dapat menjadi salah satu sumber (skunder) dalam
hukum Islam. Dengan demikian pemberian doi’ menre’ yang terdapat dalam upacara
perkawinan adat Bugis di Desa Simbur Naik uga diterima oleh hukum Islam yang
tidak diterima adalah sesuatu yang ditambah-tambah yang sebenarnya tidak
termasuk dalam lingkungan adat sehingga memberatkan dan mempersulit bagi pihak
pria untuk melaksanakan sunnah Rasullah yaitu melakukan pernikahan. Doi’ menre’
termasuk dalam struktur dari norma adat yang disebut (ade’, assiamaturaseng) yang
telah mengakar jauh sebelum Islam datang, doi’ menre’ adalah syarat bagi
berlangsungnya akad nikah. Selanjutnya melihat definisi doi’ menre’ dalam
pernikahan adat Bugis adalah uang pesta dalam pernikahan dan jumlahnya tidak
mengikat: persoalan doi menre’ dalam hukum Islam masuk dalam hal yang
tahsiniyyah walaupun menurut adat doi menre’ masuk dalam katagori syarat dalam
pernikahan adat. Jadi, adat dalam hal ini berada di bawah hukum syar’i dan sebuah
syarat yang bisa membatalkan yang halal dalam syar’i tidak diterima. Tentang hukum
doi’ menre’ menurut hukum Islam adalah mubah (boleh) karena kedudukanya adalah
sebagai hibah. Pemberian doi menre’ dalam pernikahan adat Bugis merupakan
persyaratan (kewajiban) adat bukan berdasarkan syar’i. Jadi, menurut hukum Islam
orang boleh memberikan atau tidak memberikan doi menre.

6. STATUS LAKI - LAKI DAN PEWARISAN DALAM PERKAWINAN NYENTANA


Khusus masyarakat Hindu di Bali, yang sistem pewarisannya bersifat
patrilineal (garis kebapakan) perkawinan yang dilakukan harus benar-benar
memperhatikan sistem adat yang berlaku. Banyak kasus Bali seorang anak laki-laki
kehilangan hak mewarisnya karena melakukan perkawinan yang dinilai bertentangan
dengan adat yang berlaku yakni akibat melakukan perkawinan nyentana.
Perkawinan nyentana yakni perkawinan dimana seorang laki-laki ikut dalam keluarga
istrinya, tinggal dirumah istri dan semua keturunannya menjadi milik pihak keluarga
istri. Pembahasan mengenai hukum adat waris tidak tedepas dari tiga kata kunci
yang menjadi unsur-unsur pewarisan, yaitu : pewaris, harta warisan, dan ahli waris.
Dalam aspek-aspek inilah akan dilihat asas-asas hukum adat waris yang berlaku
bagi semua orang Bali. Status laki laki dalam sistem perkawinan nyentana di Bali
adalah sebagai penerus keturunan pada keluarga istri, memiliki hak dan kewajiban
yang sama dengan laki laki pada umumnya pada keluarga tersebut. Hak dan
kewajiban tersebut sebagaimana layaknya kepala keluarga pada umumnya, Hak
waris dalam perkawinan nyentana di Bali dapat dikatakan hapus hak waris dari
keluarga laki-laki, karena laki laki yang melakukan perkawinan nyentana memiliki hak
dan kewajiban sebagai penerus keturunan pada keluarga istri.

7. PERKAWINAN SEMARGA MASYARAKAT MIGRAN BATAK MANDAILING DI


YOGYAKARTA
Masyarakat Batak yang sistem kekerabatannya patrilineal dengan sistem
perkawinan exogami memiliki ketentuan adat istiadat yang masih satu marga
dilarang melangsungkan perkawinan, karena keyakinan yang melakukan perkawinan
semarga masih memiliki hubungan darah. Masyarakat Batak yang menikah akan
mengetahui marga apa saja yang boleh dinikahi, serta menganggap semarga itu
bersaudara. Pada dasarnya, dalam adat perkawinan semarga dilarang dalam
masyarakat Batak Mandailing karena dianggap sedarah dan masih
mempertahankannya namun, di pihak lain terdapat masyarakat Batak Mandailing
yang cenderung mengubah larangan perkawinan semarga. Masyarakat Batak
Mandailing menganggap perkawinan semarga itu sah saja asalkan saling mencintai.
Selain faktor cinta, perkawinan semarga juga dipengaruhi oleh faktor agama,
ekonomi, pendidikan, perkembangan zaman dan kurangnya pengetahuan budaya
Batak. Masyarakat Batak yang melakukan perkawinan semarga menganggap
perkembangan penduduk yang semakin bertambah sehingga tidak mungkin lagi
semarga itu sedarah, dan orang yang memiliki marga yang sama tidak berarti
mereka adalah saudara. Faktor yang paling menonjol dalam perkawinan semarga
adalah faktor agama, larangan perkawinan semarga tidak ada dalam hukum Islam,
karena saudara semarga tidak termasuk dalam orang-orang yang haram dinikahi
menurut al-Qur’an dan Sunnah. Dengan demikian dapat dikatakan perkawinan
semarga berhukum mubah asalkan bukan saudara dekat. Perkawinan semarga
merupakan suatu perubahan sosial keluarga dalam masyarakat Batak Mandailing.
Perubahan sosial dalam perkawinan semarga Batak Mandailing yang sekarang ini
mengubah sistem perkawinan exogami menjadi sistem perkawinan eleutherogami
yang tidak mengenal adanya larangan atau keharusan sebagaimana halnya dalam
sistem perkawinan exogami atau sistem perkawinan endogami.
8. PERKAWINAN MASYARAKAT SAMIN DALAM PANDANGAN HUKUM NEGARA
Prosesi pernikahan masyarakat Kudus nonsamin pada umumnya yang
membedakan dengan warga Samin Kudus berupa jika warga Samin tanpa pengeras
suara, tanpa musik pengiring acara, tanpa dekorasi pelaminan penganten, tanpa
pelaminan khusus (kemanten hanya duduk di kursi berbaris satu lajur bersama
besan dan satu lajur untuk tuan rumah, tokoh Samin, dan saudara dekatnya), tanpa
tenda tamu, tanpa undangan tertulis agar menyumbang dana (nonjok), hanya
tersedia bangku, kursi, dan tikar untuk tamu. Kecuali bagi sebagian komunitas Samin
yang berekonomi mapan, pelaksanaan perkawinan ditampilkan seni pertunjukan
(nanggap) khas Jawa, seperti wayang kulit, kethoprak, dsb. Adapun perbedaan dari
aspek syarat rukun perkawinan menurut kaca pandang hukum positif tidak adanya
pegawai pencatat nikah, tidak ada batasan usia minimal. Sedangkan yang
menyamakannya adalah adanya wali (orangtua), saksi (tamu undangan yang Samin
dan nonsamin dan keluarganya), adanya kedua mempelai, adanya ijab-kabul, mahar
(yang tidak dinyatakan secara terbuka di hadapan forum nyuwito), dan sekufu
(seagama). Kokohnya masyarakat Samin Kudus melaksanakan perkawinan adat
karena keberadaan tokoh dan orangtua Samin masih eksis dijadikan tauladan hidup
bagi generasinya dalam nguri-uri budaya dan ajaran leluhurnya, Ki Samin
Surosentiko. Kedudukan tokoh adalah sebagai bapak, hakim, dan pemimpin. Peran
bapak diharapkan menyelesaikan permasalahan, memberi petunjuk, nasehat jika
dilanda permasalahan. Sedangkan peran hakim adalah mengadili jika terjadi
pelanggaran atas norma adat secara adil. Adapun peran pemimpin adalah upaya
pendamai jika komunitas adatnya diganggu pihak/komunitas lain. Ketiga hal tersebut
dapat dilaksanakan dengan baik oleh botohnya (tokoh adatnya). Tidak disertakannya
peran negara (KUA atau Kantor Catatan Sipil) karena dalih bahwa Adam kawin
dengan Hajar pun tidak menyertakan ’catatan tertulis’ (baca: surat nikah).
Samin lebih mementingkan kenyamanan dan ketentraman berkeluarga,
interaksi sosial, dan dengan pemerintah RI, tidak mempersoalkan ’surat’. Selama ini,
argumen pentingnya surat nikah sebagai bentuk antisipasi negara dalam
memfasilitasi warganya jika terjadi persengketaan. Dengan pencatatan nikah versi
pemerintah agar mendapatkan kepastian hukum. Bagi masyarakat Samin, kepastian
hukum diwujudkan dengan realisasi prinsip kesaminan dalam berperilaku, termasuk
dalam perkawinan. Jika terjadi persengketaan keluarga, menyangkut perceraian dan
pembagian harta warisan, cukup diselesaikan secara kekeluargaan dengan prinsip
saling memahami dan menyadari. Hal ini didukung data yang telah diperoleh penulis,
tidak ditemukan konflik perceraian dan pembagian harta warisan, apalagi bagi suami
atau isteri nikah lagi dengan cara berbohong dengan statusnya yang telah nikah,
tetapi mengaku belum nikah. Semua itu merupakan pesan moral bagi publik yang
selalu mendewa-dewakan formalitas, kadangkala menafikan realitas kehidupan yang
etis. Sebagaimana digambarkan warisan leluhurnya, Ki Samin, sebagai esensi
Samin utuh yakni berprinsip untuk tidak drengki (membuat fitnah), srei (serakah),
panasten (mudah tersinggung), dawen (mendakwa tanpa bukti), kemeren (iri hati),
nyiyo marang sepodo (berbuat nista), dan bejok reyot iku sedulure yen gelem
dindaku dulur (mengaku siapapun sebagai saudara). Sekaligus berpantangan dalam
bedok (menuduh), colong (mencuri), pethil (mengambil barang yang masih menyatu
dengan alam, seperti padi di sawah), jumput (mengambil barang yang tidak menyatu
dengan alam, seperti beras), dan nemu (menemukan). Meskipun, warga Samin
adalah manusia yang dibekali oleh Tuhannya (Yai) berupa akal dan nafsu, sehingga
berpeluang menjadi orang yang taat prinsip atau tidak taat prinsip Samin.
9. PROSES PELAKSANAAN PERKAWINAN HUKUM ADAT SUKU DANI DIDISTRIK
GUPURA KABUPATEN LANNY JAYA PAPUA
Seorang pria yang pada awalnya ingin berkenalan dengan wanita harus
membangun komunikasi dengan keluarga dekat wanita/atau orang tuanya.sebab,
jika seorang pria yang berkenalan dengan wanita tidak membangun komunikasi
dengan orang tua wanita/keluarga dekatnya dan sudah menjalani hubungan secara
diam-diam tanpa diketahui orang tua/keluarga dekatnya selama satu bulan maka, si
pria akan mendapatkan sanksi denda berupa binatang atau uang menurut adat suku
dani. Jika kedua belah pihak keluarga sudah mengetahuinya maka, dari pihak laki-
laki mendatangi pihak perempuan untuk melamar atau meminang perempuan itu
menjadi istrinya atau dalam bahasa setempat Kwe nggino wagi. Tentang cara
melamar atau meminang adalah dilakukan oleh pihak laki-laki yang di wakili oleh
orang tuanya/keluarganya/sepupuhnya pada pihak keluarga wanita.Didalam
masyarakathukum adat Suku Dani sendiri terdapat ketentuan bahwa perkawinan
harus ijin terlebih dahulu kepada orang tua, karena orang tua lah yang nantinya akan
melamar atau meminang pada orang tua si gadis. Jika tawaran pelamaran atau
peminangan itu di terima maka, perempuan bersangkutan melakukan apa yang di
sebut warga dani Bingga lakwi atau bingga lakarak, pada tahap ini, perempuan
datang ke rumah laki-laki untuk memasak, lalu pergi. Tugas ini berlangsung lebih
dari satu bulan.Apabila pihak perempuan merasa sudah waktunya untukmengetahui
sikap orang tua pria maka, dilakukan upacara koeame wagarak atau perempuan
datang untuk mendengar jawaban dari orang tua pria.Jika perempuan tersebut rajin
dan cocok untuk jadi istri anak laki-lakinya, selanjutnya pihak orang tua
menyampaikan persetujuan. Jalinan yang biasa di sebut suku Dani kwewonok ome
wogi atau kwejipiwogi, pada tahap ini orang tua perempuan bersama keluarga
dekatnya mengantar anaknya kepada orang tua laki-laki. Biasanya dilakukan
dimalam hari dan diadakan acara potong babi, acara hiburan dengan sebuah lagu
Iyara,lagu iyara adalah sebagai tanda bahwa kedua mempelai akan bersatu dan
tinggal bersama sebagai suami istridan di selenggarakan pesta adat, sebelum
perempuan di antar, orang tua perempuan menghias sendiri anaknya, seperti
mengenakan Noken, Noken ini menggambarkan bahwa siperempuan tersebut bukan
lagi Gadis dan siap menjadi istri atau ibu rumah tangga, kulit bia dan berbagai
perlengkapan adat lain, setelah mengantar anaknya dan mengikuti acara adat yang
diselenggarakan, orang tua perempuan pulang. Selanjutnya, orang tua laki-laki
mendatangi orang tua perempuan untuk mendata semua jenis pengeluaran yang
berkaitan dengan acara jalinan atau dalam bahasa setempatkwewonok ome
wogiataukoejikopopiwogi, terutama biaya untuk periasan anak menantunya Jika
perempuan tersebut rajin dan cocok untuk jadi istri anak laki-lakinya maka,sebelum
melakukan acara pembayaran maskawin, pihak laki-laki akan mengundang keluarga
pihak perempuan untuk membicarakan teknis pelaksanaan pembayaran maskawin.
Dalam pembicaraan ada beberapa hal penting yang akan dibahas dan disepakati
oleh kedua belah pihak anatara lain: tentang acara Pembayaran maskawin,
Pemberian Noken kepada mempelai perempuan, hal ini menggambarkan bahwa
siperempuan tersebut bukan lagi Gadis dan siap menjadi istri atau ibu rumah tangga,
dan Penetapan tanggal pernikahan. Setelah menghasilkan kesepakatan antara
kedua belah pihak maka, selanjutnya adalah melaksanakan acara. Dalam
masyarakat suku dani biasanya menaru persembahan Babi satu ekor dari hasil
pembayaran maskawin tersebut dan Pendeta atau Gembala akan mendoakan kedua
mempelai atau kedua pasangan suami-istri tersebut agar perkawinan atau
pernikahan itu sah menurut hukum adat masyarakat dani dan hukum keagamaan.
Tradisi pernikahan masyarakat suku Dani tergolong unik, sebagian dari mereka tidak
mau mencatatkan pernikahan mereka ke kantor catatan sipil maupun ke kantor
urusan Agama karena, dimana menurut masyarakat suku Dani bahwa yang
terpenting para toko adat atau kepala kampung, tokoh Agama dan masyarakat
kampung sudah mengetahuinya bahwa si perempuan dan laki-laki itu sudah
berstatus kawin.
10. PERKAWINAN COLONG SUKU ADAT OSING BANYUWANGI
Menurut dari seorang informan selaku sesepuh adat masyarakat Osing di
Desa Boyolangu Banyuwangi, menjelaskan bahwa dalam perkawinan colong yang
ada di Desa Boyolangu mempunyai makna yang sangat sederhana dalam
melaksanakan perkawinan. Karena menurut masyarakat Osing perkawinan colong
ini tidak mengeluarkan banyak biaya dan juga tidak menggunakan peningset setelah
perkawinan colong dilakukan. Sehingga mayoritas masyarakat Osing terutama di
Desa Boyolangu Banyuwangi perkawinan colong ini sudah menjadi suatu tradisi di
daerah tersebut. Perkawinan colong dilakukan apabila dua belah pihak sudah siap
maka perkawinan tersebut dapat dilakukan. Tetapi perkawinan colong dapat
dilakukan apabila usianya masing-masing kedua belah pihak telah mencukupi atau
sesuai dengan ketentuan undang-undang yang telah tercantum dalam Undang-
Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Dalam perkawinan colong dapat
terjadi di suatu lingkungan masyarakat adat, perkawinan colong bukan hanya di
daerah banyuwangi saja tetapi terdapat di daerahdaerah lain, misalnya di daerah
lombok terdapat perkawinan colong tetapi lebih terkenal dengan sebutan perkawinan
lari (merarik). Meskipun dalam perkawinan colong itu merupakan pelanggaran adat
namun terdapat tata cara dalam menyelesaikannya.
Pada umunya yang dimaksud perkawinan colong adalah bentuk perkawinan
yang tidak didasarkan atas persetujuan lamaran orang tua, tetapi didasarkan
kemauan sepihak atau kemauan kedua pihak yang bersangkutan. Lamaran dan
persetujuan untuk perkawinan diantara kedua belah pihak orang tua terjadi setelah
kejadian perkawinan colong.Salah satu bentuk pengumuman atau pemberitahuan
kepada seluruh anggota masyarakat yang hadir disana bahwa telah terjadi sebuah
peristiwa hukum yaitu perkawinan. Perbuatan hukum dari hukum adat perkawinan
dalam kosmologi masyarakat adat Osing di Banyuwangi bahwa prosesi adalah
sosialisasi dan saksi. Jadi, jika ada pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh
perbuatan itu, maka segera melakukan tindakan hukum. Makna perkawinan menurut
masyarakat osing nyata dalam prosesi nyadok atau nyurup. Pada masyarakat Osing
yang prinsipnya kekerabatannya matrilineal atau parental perkawinan colong adalah
pelanggaran adat yang melanggar kekuasaan orang tua tetapi sudah banyak terjadi
bahwa kasus yang serupa diselesaikan dalam perundingan antara kedua belah pihak
kerabat orang tua berangkutan atas dasar persetujuan untuk kawin di antara si
perempuan dan si laki-laki yang melakukan kawin colong. Suatu perkawinan dapat
dikatakan sah, apabila sesuai dengan syarat yang ditentukan oleh adat Osing yang
dipakai oleh masyarakat adat serta syarat administratif yang tercantum dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974. Dalam melakukan perkawinan colong
sebelumnya ada kesepekatan antara pihak laki-laki dan pihak perempuan namun
tanpa sepengetahuan dari dari keluarga si perempuan dalam melaksanakan kawin
colong. Perkawinan colong dilakukan pada malam hari dan tidak ada orang yang
mengetahuinya kecuali pihak yang akan melarikan dan pihak yang dilarikan serta
keluarga dari pihak laki-laki. Setelah perkawinan colong dilakukan pada pihak laki-
laki mengirim seorang colok minimal 2 orang kepada keluarga pihak perempuan.
Dan pada saat itu juga untuk ditentukan tanggal dalam melaksanakan pernikahan
apabila orang tua dari pihak perempuan menyetujuinya dan menerima dengan
senang hati. Perkawinan colong tidak diatur secara khusus dalam Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, akan tetapi secara proses dan pelaksanaan
perkawinan colong tidak melanggar aturan atau kaidah-kaidah yang terdapat di
dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Dalam masyarakat
hukum adat Osing Banyuwangi yang memiliki susunan kekerabatan
parental/bilateral, dimana setelah kawin suami menjadi kerabat istri dan sebaliknya
istri juga menjadi kerabat suami. Maka kedudukan anak dikaitkan dengan tujuan
penerusan keturunan menurut garis bapak dan ibu. Anak yang dihasilkan dari suatu
perkawinan colong tidak merubah kedudukan anak tersebut secara adat, anak
tersebut masih berhak dalam mewaris dan meneruskan silsilah kekeluargaannya
sesuai dengan garis keturunan bapak dan ibu. Anak yang dilahirkan dari suatu
perkawinan colong dapat dikatakan anak yang sah dan berhak atas hak-haknya
yang melekat dalam dirinya. Hal ini dikarenakan anak yang sah adalah anak yang
dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Anak yang lahir dari
suatu perkawinan yang tidak sah hanya akan mempunyai hubungan keperdataan
dengan ibunya. Barang-barang yang menjadi harta benda bersama menurut
pandangan masyarakat Osing di Banyuwangi bahwa harta gono-gini diperoleh
melalui harta campuran antara harta yang dibawa suami dan harta yang dibawa istri.
Harta gono gini dalam perkawinan colong menjadi hak bersama suami istri walaupun
mungkin yang mengelola hanya suami, tetapi peran istri yang mengurus rumah
tangga dan anak di rumah cukup berarti dalam pembentukan harta gono gini.
Apalagi istri yang hidupnya sederhana dan mampu mengelola harta benda yang
dihasilkan oleh suami. Oleh karena itu, harta gono gini menjadi hak bersama. Jika
terjadi perceraian, maka harus dibagi sama rata. Oleh karena itu, suami istri. Dengan
melihat kondisi yang demikian itu umumnya para orang tua langsung saling
membicarakan (berembug) dengan anaknya. Setelah itu, orang tuanya laki-laki
segera mengutus dua orang saudaranya atau tetangganya untuk mendatangi rumah
orang tua perempuan yang dibawa lari itu. Mereka yang diutus itu biasanya orang
yang sudah terbiasa atau berpengalaman melakukan hal-hal semacam itu. Biasanya
mereka ini adalah tokoh masyarakat seperti guru, pegawai atau orang yang dituakan.
Orang yang disuruh ke rumah calon besan/calon mertua itu biasa disebut colok.
Biasanya mereka datang kerumah orang tua yang kehilangan anaknya itu malam
hari. Setelah sampai di rumah yang dituju dan dipersilahkan untuk duduk, kemudian
mereka berdua mengenalkan diri dan silaturahmi. Kalau sekiranya dianggap cukup
barulah mereka mengutarakan kedatangannya untuk melaporkan keberadaan anak
perempuannya di rumah orang tua laki-laki pujaannya dengan kondisi baik-baik.

Anda mungkin juga menyukai