Anda di halaman 1dari 15

Makalah Hukum Keluarga dan Waris Adat

Sistem Perkawinan dan Bentuk Perkawinan

Kelompok 7
Nama : Tubagus Wahyu Ryan (3014
Aldi Fajar Ramadianto (3016210024)
Firdha Nadila (3016210122)

Fakultas Hukum Universitas Pancasila


Jakarta

i
Kata Pengantar

Alhamdulillah puji dan syukur selalu kami panjatkan kepada Allah SWT yang masih
memberi kesehatan, nikmat sehingga kami dapat menyelesaikan tugas pembuatan makalah ini
yang berjudul “Sistem Perkawinan dan Bentuk Perkawinan”.
Makalah ini sengaja dibuat untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum
Keluarga dan Waris Adat. Dalam makalah ini akan mengulas tentang sistem perkawinan dan
sifat perkawinan, dan juga kami akan membahas mengenai bentuk perkawinan ideal,
mrnyimpang dan dilarang dalam adat.
Kami mengucapkan banyak terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu serta
menolong kami dalam menyelesaikan makalah ini. Kami juga berharap semoga Allah memberi
yang terbaik atas makalah ini supaya bermanfaat bagi kita semua.
Dengan segala kekurangan dari makalah yang kami buat, kritik dan saran yang
konstruktif sangat diharapkan dari pembaca guna meningkatkan dan memperbaiki makalah ini.

1
Daftar Isi
Kata pengantar………………………………………………………………………….1
Daftar Isi…………………………………………………………………………..........2
Bab I Pendahuluan……………………………………………………………………...3
a. Latar belakang
b. Rumusan masalah
Bab II Pembahasan……………………………………………………………………..4-12
Bab III Penutup……………………………………………………………………......13
a. Kesimpulan…………………………………………………………………....13
b. Penutup………………………………………………………………………..13
Daftar Pustaka…………………………………………………………………….......14

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Secara umum definisi perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang
pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan YME. Perkawinan
adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat adat,
sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi juga orang tua
kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-masing.
Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya merupakan peristiwa penteng bagi
mereka yang masih hidup saja. Tetapi perkawinan juga merupakan peristiwa yang
sangat berarti serta yang sepenuhnya mendapat perhatina dan diikuti oleh arwah-
arwah para leluhur kedua belah pihak.

Dalam makalah ini kami akan membahas mengenai Sistem Perkawinan dan
Sifat Perkawinan dalam hukum adat, dan juga kami akan membahas Bentuk
Perkawinan yang ideal, Perkawinan yang menyimpang, dan juga dilarang dalam
hukum adat.

B. Rumusan Masalah
1. Apa hubungan antara sistem kekeluargaan dengan sistem perkawinan
dalam adat?
2. Apa saja sifat perkawinan dalam hukum adat?
3. Apa saja bentuk pekawinan ideal, menyimpang dan dilarang dalam
hukum adat?

BAB II
3
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan

Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam


kehidupan masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua
mempelai, tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan
keluarga mereka masing-masing. Dalam hukum adat perkawinan itu bukan hanya
merupakan peristiwa penteng bagi mereka yang masih hidup saja. Tetapi
perkawinan juga merupakan peristiwa yang sangat berarti serta yang sepenuhnya
mendapat perhatina dan diikuti oleh arwah-arwah para leluhur kedua belah pihak.

1. Sistem Perkawinan

Menurut hukum adat, sistem perkawinan ada 3 macam yaitu:

a. Sistem Endogami
Dalam sistem ini orang hanya diperbolehkan kawin dengan seorang dari
suku keluarganya sendiri. Sistem perkawinan ini kini jarang terjadi di Indonesia.
Menurut Van Vollenhoven hanya ada satu daerah saja yang secara praktis
mengenal sistem endogamy ini, yaitu daerah Toraja.
Tetapi sekarang, di daerah ini pun sistem ini kan lenyap dengan sendirinya
kalau hubungan daerah itu dengan daerah lainnya akan menjadi lebih mudah, erat
dan meluas. Sebab sistem tersebut di daerah ini hanya terdapat secara praktis saja;
lagi pula endogamy sebetulnya tidak sesuai dengan sifat susunan kekeluargaan
yang ada di daerah itu, yaitu parental.
b. Sistem Exogami
Dalam sistem ini, orang diharuskan menikah dengan suku lain. Menikah
dengan suku sendiri merupakan larangan. Namun demikian, seiring berjalannya
waktu, dan berputarnya zaman lambat laun mengalami proses perlunakan
sedemikian rupa, sehingga larangan perkawinan itu diperlakukan hanya pada
lingkungan kekeluargaan yang sangat kecil saja. Sistem ini dapat dijumpai di
daerah Gayo, Alas, Tapanuli, Minangkabau, Sumatera Selatan, Buru dan Seram.
c. Sistem Eleutherogami

4
Sistem eleutherogami berbeda dengan kedua sistem di atas, yang memiliki
larangan-larangan dan keharusan-keharusan. Eleutherogami tidak mengenal
larangan-larangan maupun keharusan-keharusan tersebut.
Larangan-larangan yang terdapat dalam sistem ini adalah larangan yang
berhubungan dengan ikatan kekeluargaan yang menyangkut nasab (keturunan),
seperti kawin dengan ibu, nenek, anak kandung, cucu, juga dengan saudara
kandung, saudara bapak atau ibu. Atau larangan kawin dengan musyahrah (per-
iparan), seperti kawin dengan ibu tiri, mertua, menantu, anak tiri. Sistem ini dapat
dijumpai hampir di seluruh masyarakat Indonesia, termasuk Jawa.

2. Sifat Perkawinan

Di sebagian besar daerah Indonesia berlaku adat kebiasaan bahwa upacara


perkawinan dilakukan di tempat keluarga mempelai wanita, meskipun adakalanya
dilakukan di tempat keluarga mempelai pria. Mengenai tempat tinggal suami istri
setelah upacara perkawinan, dalam hokum adat dikenal berbagai macam cara
tergantung sifat perkawinannya :

1. Perkawinan patriokal, perkawinan yang menyebabkan kedua


mempelai setelah melangsungkan upacara perkawinan kemudian bertempat tinggal
sementara atau untuk selamanya pada keluarga pengantin pria (antara lain di
Batak).

2. Perkawinan matrilokal, perkawinan yang menyebabkan kedua


mempelai setelah melangsungkan upacara perkawinan kemudian bertempat tinggal
sementara atau untuk selamanya pada keluarga pengantin wanita (anatara lain
terdapat di Minangkabau dan Lampung/semenda negeriken)

3. Bentuk Perkawinan Ideal, Menyimpang, dan Dilarang


3.1 Perkawinan Ideal
1. Perkawinan Jujur
Perkawinan jujur atau perkawinan dengan pemberian (pembayaran) uang
(barang) jujur, pada umumnya berlaku dilingkungan masyarakat hukum adat yang
mempertahankan garis keturunan bapak (lelaki). Contoh : Gayo, Batak, Nias,
Lampung, Bali, Timor, Maluku). Pemberian Uang/barang jujur dilakukan oleh
pihak kerabat (marga/suku) calon suami kepada pihak kerabat calon Istri, sebagai

5
tanda pengganti pelepasan mempelai wanita keluar dari kewargaan adat
persekutuan hukum bapaknya, indah dan masuk kedalam persekutuan hukum
suaminya.
Setelah perkawinan, maka isteri berada dibawah kekuasaan kerabat suami,
hidup matinya menjadi tanggung jawab kerabat suami, berkedudukan hukum dan
menetap diam dipihak kerabat suami. Begitu pula anak-anak dan keturunanya
melanjutkan keturunan suaminya, dan harta kekayaan yang dibawa isteri (Batak :
ragi-ragi, Hohas; Lampung : sessan, sansan) kedalam perkawinan kesemuanya
dikuasai oleh suami, kecuali ditentukan lain oleh pihak isteri.
Pada umumnya dalam bentuk perkawinan jujur berlaku adat “pantang
cerai”, jadi senang atau susah selama hidupnya isteri dibawah kekuasaan kerabat
suami. Jika suami wafat maka isteri harus melakukan perkawinan dengan saudara
suami (leviraat, Batak Toba : paraekhon, mangabia; Batak Karo : lakoman;
Sumatera Selatan : anggau; Lampung : semalang, nyikok, biwak). Jika isteri wafat
maka suami harus kawin lagi dengan saudara isteri (sororat, Toba : makkabia,
singkat rere; Karo : ganci habu; Pasemah : kawin tungkat; Lampung : nuket).
Dimasa sekarang apabila kawin ganti suami, atau kawin ganti isteri tidak dapat
dilakukan, karena para pihak yang bersangkutan tidak setuju, maka dapat diganti
orang diluar kerabat, namun orang yang dari luar itu harus tetap menggantikan
suami atau isteri yang wafat itu dalam kedudukan hukum adatnya.
Jadi pembayaran jujur tidak sama dengan “mas kawin” menurut hukum
Islam. Uang Jujur adalah kewajiban adat ketika dilakukan pelamaran yang harus
dipenuhi oleh kerabat pria kepada kerabat wanita untuk dibagikan pada tua-tua
kerabat (marga/suku) pihak wanita, sedang mas kawin adalah kewajiban agama
ketika dilaksanakan akad nikah yang harus dipenuhi oleh mempelai pria untuk
mempelai wanita (pribadi). Uang jujur tidak boleh dihutang sedang mas kawin
boleh dihutang.
2. Perkawinan Semanda
Perkawinan semanda pada umunya berlaku dilingkungan masyarakat adat
Matrilineal, dalam rangka mempertahankan garis keturunan pihak ibu (wanita),
merupakan kebalikan dari bentuk perkawinan jujur. Dalam perkawinan semenda,
calon mempelai pria dan kerabatnya tidak melakukan pemberian uang jujur
kepada pihak wanita malahan sebagaimana berlaku di Minangkabau berlaku adat
pelamaran dari pihak wanita kepada pihak pria.
Setelah perkawinan terjadi, maka suami berada dibawah kekuasaan kerabat
isteri dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan semanda
yang berlaku, apakah perkawinan semanda dalam bentuk “semenda raja-raja,

6
semanda lepas, semanda bebas, semanda nunggu, semanda ngangkit, semanda
anak dagang”.
Jika bentuk perkawinannya “semanda raja-raja” berarti suami isteri
berkedudukan sama (seimbang) baik dipihak isteri maupun dipihak suami; jika
“semanda lepas” berarti suami mengikuti tempat kediaman isteri (matrilokal); jika
”semanda bebas” berarti suami tetap pada kerabat orang tuanya sebagaimana di
Minangkabau ia hanya ”urang sumando”, jika “semanda nunggu” maka suami
isteri berkediaman dipihak kerabat isteri selama menunggu adik isteri (ipar)
sampai dapat mandiri; jika “semanda ngangkit” maka suami mengambil isteri
untuk dijadikan penerus keturunan pihak ibu suami dikarenakan ibu tidak
mempunyai keturunan anak wanita; jika “semanda anak dagang”, maka suami
tidak menetap ditempat isteri melainkan datang sewaktu-waktu, kemudian pergi
lagi seperti burung yang hinggap sementara, maka disebut juga “semanda burung”.
Didaerah Rejang Bengkulu perkawinan semanda dibedakan antara semanda
berdat dengan semanda tidak beradat. Semanda beradat adalah bentuk perkawinan
semanda dimana pihak pria membayar uang adat kepada kerabat wanita menurut
martabat adatnya. Semanda tidak beradat ialah pihak pria tidak membayar uang
adat, karena semua biaya perkawinan ditanggung pihak wanita, seperti semanda
temakep burung terbang (suami dianggap sebagai burung yang ditangkap),
semanda masen utang (suami mengabdi ditempat isteri sebagai pembayar hutang).
Didaerah Lampung beradat Pesisir terdapat istilah semanda mati tungu mati
manuk, dimana suami mengabdi ditempat isteri sebagai karyawan (tani) mirip
dengan “nyalindung ka gelung” di Pasundan; “semanda ngebabang”
(menggendong) atau “semanda ngisik”(memelihara) yang sama dengan semanda
menunggu; “semanda iring beli” sama dengan semanda mengabdi karena tidak
mampu membayar uang (adat) permintaan pihak isteri. Tetapi “semanda nabuh
beduk” berarti suami hanya datang pada isteri ketika bunyi beduk maghrib
berbunyi dan setelah beduk subuh suami pergi; bentuk semanda ini mirip dengan
bentuk perkawinan “manggil kaya” di Jawa. Dimana suami lebih kaya sedangkan
isteri miskin, dan isteri menjadi isteri kedua, ketiga atau keempat.
Bentuk perkawinan semanda tersebut banyak sudah tidak berlaku lagi
dimasa sekarang, terutama sejak berlakunya UU No.1 tahun 1974. Yang masih
berlaku adalah bentuk perkawinan semanda raja-raja, semanda nunggu, semanda
bebas, semanda ngangkit karena tidak ada penerus keturunan wanita atau dalam
masyarakat patrilineal “semanda negiken” (Lampung yang sama dengan
“nyentane” (Bali) untuk meneruskan keturunan laki-laki bagi keluarga yang tidak
mempunyai anak lelaki, sebagai penerus keturunan.

7
Pada umumnya dalam bentuk perkawinan semanda kekuasaan pihak isteri
yang lebih berperanan, sedangkan suami tidak ubahnya sebagai istilah “nginjam
jago” (meminjam jantan) hanya sebagai pemberi bibit saja dan kurang tanggung
jawab dalam keluarga/rumah tangga.
3. Perkawinan Bebas (mandiri)
Bentuk perkawinan bebas atau perkawinan mandiri pada umunya berlaku
dilingkungan mesyarakat adat yang bersifat parental (keorang-tuaan), seperti
berlaku dikalangan masyarakat Jawa, Sunda, Aceh, Melayu, Kalimantan dan
Sulawesi dan dikalangan masyarakat Indonesia modern, dimana kaum keluarga
atau kerabat tidak banyak lagi campur tangan dalam keluarga/rumah tangga.
Bentuk perkawinan ini yang dikehendaki oleh Undang-undang No.1 tahun 1974,
dimana kedudukan dan hak suami dan isteri berimbang sama; suami adalah kepala
keluarga/rumah dan isteri adalah ibu keluarga/rumah tangga.
Setelah perkawinan suami dan isteri memisah (Jawa: mencar, mentas) dari
kekuasaan orang tua dan keluarga masing-masing dan membangun
keluarga/rumah tangga sendiri dan hidup mandiri (neolokal). Orang tua kedua
pihak hanya memberi bekal (sangu) bagi kelanjutan hidup rumah tangga kedua
mempelai dengan harta pemberian atau warisan sebagai harta bawaan kedalam
perkawinan mereka. Orang tua sebelum perkawinan hanya member nasihat,
petunjuk dalam memilih jodoh dan setelah perkawinan hanya mengawasi
kehidupan mereka berumah tangga.
Dilingkungan masyarakat parental bisa saja terjadi perkawinan ganti suami
apabila suami wafat, dimana isteri kawin lagi dengan saudara suami, atau terjadi
perkawinan ganti isteri apabila isteri wafat. Tetapi hal tersebut bukan merupakan
keharusan sebagaimana dalam masyarakat patrilineal atau matrineal, melainkan
suatu adat kebiasaan saja.
Begitu pula seperti dikalangan masyarakat Jawa ada kemungkinan masih
terjadi kehidupan keluarga/rumah tangga yang disebut “ngomahi” , dimana isteri
mengikuti kediaman suami karena suami lebih mampu, atau sebaliknya “tutburi”,
dimana suami mengikuti tempat kediaman isteri (matrilokal) dikarenakan isteri
lebih mampu, atau dalam istilah Banten “banteng manut ing sapi” (sapi jantan
mengikuti sapi betina), dikarenakan isteri mewarisi bangunan rumah dari orang
tuanya. Atau juga berlaku secara diam-diam bentuk perkawinan “manggil kaya’
seperti di jawa, dimana suami yang lebih kaya mengawini isteri yang miskin,
menjadi isteri selir gelap. Atau juga masih berlaku “nyalindung ka gelung” dimana
suami bergelung isteri, karena suami menjadi karyawan isteri yang kaya.

8
Adakalanya masih berlaku system “kawin gantung”, dimana perkawinan
sudah berlangsung antara suami isteri, tetapi belum bercampur, karena isteri atau
suami masih kecil, atau masih melanjutkan pelajaran mereka. Namun bentuk dan
system perkawinan demikian itu dilihat dari segi perundangan, merupakan
pelanggaran terhadap hukum perkawinan nasional.

3.2 Perkawinan Menyimpang


Adakalanya kawin jujur tidak dilakukan dan merupakan penyimpangan,
pelanggaran adat, illegal. Kawin jujur, dimana penjujurannya ditangguhkan, baik
dihutang maupun digadaikan.
Untuk meringankan pihak laki-laki dalam pembayaran jujur, lazim
diadakan dengan jalan ditangguhkan, digadaikan atau dihutangkan. Dalam
pengertian digadaikan, jujur itu tidak langsung berpindah kepihak perempuan,
tetapi dengan jalan menyebut sejumlah uang atau menjanjikan sejumlah hewan
besar. Pada suatu waktu akan ditebus oleh yang bersangkutan , bila kemudian
ternyata tidak mampu memenuhi janji, maka anak laki-laki yang akan member
jujur kepada ibunya sendiri.
Anak-anak yang lahir pada waktu interim ini, yaitu masa digadaikan atau pada
waktu masih berhutang, termasuk dalam clan bapaknya dan mewarisi pula
daripadanya.
Penyimpangan – penyimpangan lain, karena diperbolehkan adat semata-mata:
a. Di Lampung
Kawin tegak-tegi
Yaitu perkawinan antara anak perempuan dari clan yang bersistem
patrilineal dengan kemenakan laki-laki yang dijadikan anak angkat, agar menantu
laki-laki yang dijadikan anak angkat laki-laki itu, dapat menerima warisan yang
kelak diteruskan kepada cucunya. Menantu akan menjadi ahli waris bagi pewaris,
Namun terhadap keluarga biologisnya sendiri ia tidak akan menjadi ahli waris. Hal
tersebut terjadi karena ahli waris tidak boleh beda klan (endogami klan). Jadi
setelah kawin dengan si perempuan sang menantu seakan-akan menjadi satu klan
dengan pewaris. Yang diwariskan adalah harta warisan beserta gelar
kebangsawanan.
Kawin ambil anak

9
Dalam kekerabatan Patrilinial, tidak adanya anak laki-laki menyebabkan
punahnya keturunan (bruyat). Untuk menghindari hal tersebut, maka apabila sama
sekali tidak mempunyai anak, mereka dapat mengangkat anak laki-laki. Tetapi jika
mempunyai anak perempuan, maka anak tersebut dikawinkan dengan kawin ambil
anak (tanpa pembayaran uang jujur).
Perkawinan ambil anak (in lifhuwelijk) adalah perkawinan yang terjadi
dikarenakan hanya mempunyai anak wanita (tunggal), maka anak wanita itu
mengambil pria (dari anggota kerabat) untuk menjadi suaminya dan mengikuti
kerabat istri untuk selama perkawinannya guna menjadi penerus keturunan pihak
istri sehingga si istri tetap menjadi anggota clan semula.
Kawin jeng mirul
Yaitu perkawinan yang menyebabkan suami beralih menjadi anggota
kerabat istri karena suami dijadikan anak angkat. Sehingga suami menjadi wakil
mutlak bagi anak-anak nya untuk mengawasi harta peninggalan.
Menantu hanya mengelola/menjaga harta warisan pewaris (sebagai trustee)
sampai lahirnya anak laki-laki. Anak laki-laki dari menantu tersebut nantinya
yang akan menjadi ahli waris dari pewaris.
Kawin manginjam jago
Yaitu perkawinan dimana suami tidak beralih kedalam clan si istri. Suami
hanya ditoleransikan sebagai penyambung keturunan. Suami berkedudukan
sebagai orang menumpang, Anak-anaknya masuk clan ibunya
Dalam bentuk perkawinan Manginjam Jago (Nginjam Jaguk), kedudukan
suami lebih rendah daripada istrinya, karena semua hak dan kedudukan tetap
dikuasai mertua dan saudaranya yang laki-laki. Jadi, dalam sistem perkawinan ini,
suami hanya berfungsi untuk mendapatkan keturunan dan tidak mendapatkan apa-
apa (tidak mendapat warisan).
b. Di Pejang (Bengkulu)
Kawin semendo rajo-rajo
Merupakan bentuk perkawinan di mana suami dan istri bertindak sebagai
raja dan ratu yang dapat menentukan sendiri tempat kedudukan rumah tangga
mereka. Suami tidak ditetapkan untuk tinggal di pihak istri dan melepaskan
kekerabatannya. Kedudukan suami dan isteri seimbang, baik terhadap jurai
kekerabatan maupun suami, demikian pula terhadap harta kekayaan yang
diperoleh selama perkawinan. Dalam perkembangan sekarang Kawin Semendo
Rajo-Rajo terpecah lagi ke dalam empat bentuk perkawinan yang lazim terjadi di

10
dalam adat istiadat Suku Bangsa Rejang di Bengkulu. Keempat bentuk
perkawinan tersebut, yaitu Perkawinan Biasa, Perkawinan Sumbang, Perkawinan
Ganti Tikar (mengebalau), dan Kawin Paksa.
Dalam sistem perkawinan ini, kedudukannya sama dengan perkawinan
jujur hanya akibat hukumnya berbeda. Garis keturunan ditarik dari garis ayah dan
ibu dan akibat hukumnya sama dengan perkawinan bebas.
c. Di Semendo (Palembang Barat)
Kawin jurai dua negeri dua
Jurai yaitu keluarga yang sedapur, karena tiap-tiap wanita yang telah kawin
mendirikan tungku-tungku baru untuk memberi makan anak-anaknya. Sajurai,
yaitu mereka yang merasa bersatu karena berasal dari satu gaek atau ibu dari
nenek, yang membawa membawa masyarakat cenderung ke arah sistem bilateral.

3.3 Perkawinan Dilarang


Beberapa larangan dalam hukum perkawinan adat, sebagai berikut :
1 Karena hubungan kekerabatan, larangan perkawinan karena ikatan hubungan
kekerabatan dapat terlihat dalam hukum adat Batak yang bersifat asymmetrisch
connubium, dilarang terjadinya perkawinan antara laki-laki dengan perempuan
yang satu marga. Jika di Timor disebutkan bahwa dilarang terjadi perkawinan
terhadap anak yang bersaudara dengan ibu. Pada masyarakat adat Minangkabau
disebut bahwa laki-laki dan perempuan dilarang kawin apabila mereka satu suku.
2. Karena perbedaan kedudukan, Dilarangnya perkawinan karena alasan
perbedaan kedudukan terjadi pada masyarakat yang masih bertradisi feodalisme.
Misalnya seorang laki-laki dilarang melakukan perkawinan dengan perempuan
dari golongan rendah atau sebaliknya. Pada zaman sekarang, sudah banyak terjadi
perkawinan antara orang dari golongan bermartabat rendah dengan mereka yang
bermartabat tinggi, atau sebaliknya. Masalah perkawinan yang timbul dari
perbedaan kedudukan ini sering mengakibatkan adanya ketegangan dalam
kekerabatan. Namun jika dititik hukum adat bersifat luwes, maka tidak tertutup
kemungkinan berikutnya bagi penyelesaian masalah perkawinan tersebut secara
adat pula. Dalam hal ini yang sulit adalah penyelesaian masalah perkawinan yang
menyangkut keagamaan atau kepercayaan, seperti aturan dalam agama Hindu.
3. Karena perbedaan agama, perbedaan agama ini dapat terjadi menjadi
penghalang terjadinya suatu perkawinan antara laki-laki dengan perempuan,
seperti di daerah Lampung setiap warga adat harus menganut agama islam, bagi

11
mereka yang tidak beragama islam tidak dapat diterima menjadi anggota warga
adat. Oleh karena itu, laki-laki dan perempuan yang beragama lain yang hendak
melangsungkan perkawinannya harus terlebih dahulu memasuki agama Islam.
Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan tidak menganut agama islam
berarti harus keluar dari pergaulan adat kekerabatan orang Lampung, karena
menurut hukum adat Lampung, perkawinan yang tidak dilaksanakan menurut
hukum islam adalah tidak sah.
Contoh dari Perkawinan yang dilarang dalam adat Batak :
Namarito
Namarito (ito), atau bersaudara laki-laki dan perempuan khusunya oleh
marga yang dinyatakan sama sangat dilarang untuk saling menikahi. Umpanya
seprti parsadaan Parna (kumpulan Parna), sebanyak 66 marga yang terdapat dalam
persatuan PARNA. Masih ingat dengan legenda Batak “Tungkot Tunggal
Panaluan“? Ya, disana diceritakan tentang pantangan bagi orangtua yang memiliki
anak “Linduak” kembar laki-laki dan perempuan. Anak “Linduak” adalah aib bagi
orang Batak, dan agar tidak terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, kedua anak
kembar tersebut dipisahkan dan dirahasiakan tentang kebeadaan mereka, agar
tidak terjadi perkawinan saudara kandung sendiri.
Dua Punggu Saparihotan
Dua Punggu Saparihotan artinya adalah tidak diperkenankan
melangsungkan perkawinan antara saudara abang atau adik laki-laki marga A
dengan saudara kakak atau adik perempuan istri dari marga A tersebut. Artinya
kakak beradik laki-laki memiliki istri yang ber-kakak/ adik kandung, atau 2 orang
kakak beradik kandung memiliki mertua yang sama.
Pariban Na So Boi Olion
Ternyata ada Pariban yang tidak bisa saling menikah, siapa dia sebenarnya?
Bagi orang Batak aturan/ ruhut adat Batak ada dua jenis untuk kategori Pariban Na
So Boi Olion, yang pertama adalah Pariban kandung hanya dibenarkan “Jadian”
atau menikah dengan satu Pariban saja. Misalnya 2 orang laki-laki bersaudara
kandung memiliki 5 orang perempuan Pariban kandung, yang dibenarkan untuk
dinikahi adalah hanya salah satu dari mereka, tidak bisa keduanya menikahi
pariban-paribannya. Yang kedua adalah Pariban kandung/ atau tidak yang berasal
dari marga anak perempuan dari marga dari ibu dari ibu kandung kita sendiri. Jika
ibu yang melahirkan ibu kita ber marga A, perempuan bermarga A baik keluarga
dekat atau tidak, tidak diperbolehkan saling menikah.
Marboru Namboru/Nioli Anak Ni Tulang

12
Larangan berikutnya adalah jika laki-laki menikahi boru (anak perempuan)
dari Namboru kandung dan sebaliknya, jika seorang perempuan tidak bisa
menikahi anak laki-laki dari Tulang kandungnya.

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Perkawinan adalah salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat adat, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut kedua mempelai, tetapi
juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudaranya, bahkan keluarga mereka masing-
masing. Dalam perkawinan kita dapat mengetahui mengenai sistem perkawinan yaitu
sitem eksogami, dan endogami. Dan dalam sifat perkawinan kita dapat mengetahui
terdapat sifat Patrilokal, dan Matrilokal dalam hukum adat.
Lalu dalam pembahasan mengenai bentuk perkawinan kita dapat mengetahui
bentuk – bentuk perkawinan dibagi tiga yaitu Perkawinan Jujur, Perkawinan Semendo,
dam Perkawinan Bebas. Kita jug dapat mengetahui mengenai Perkawinan Menyimpang
dan Dilarang dalam hukum adat. Seperti contoh Perkawinan Menyimpang di Lampung
yaitu Kawin tegak-tegi, dan Kawin ambil anak, sedangakn Perkawinan yang dilarang
karena beberapa faktor yaitu, karena hubungan kekerabatan, karena perbedaan
kedudukan, dan juga karena berbeda agama.

B. PENUTUP
Dengan mengucapkan Syukur Alhamdulilah akhirnya kami bisa menyelesaikan
tugas makalah hukum adat, demikianlah paparan yang dapat kami persembahkan
tentang hokum keluarga dan waris adat, kami mohon maaf apabila ada kesalahan
dalam makalah ini, kami juga mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya
membangun untuk makalah-makalah kami selanjutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

https://2011document.blogspot.co.id/2014/10/sifat-dan-sistem-perkawinan-adat.html

http://www.pengantarhukum.com/2014/05/hukum-perkawinan-adat-larangan-
perkawinan-dalam-hukum-perkawinan-adat.html

http://hakamabbas.blogspot.co.id/2014/03/macam-macam-sistem-perkawinan-adat.html

14

Anda mungkin juga menyukai