Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

TENTANG

HUKUM PERKAWINAN DALAM SISTEM HUKUM ADAT

Dosen Pengampu:
KHAIRIL ANWAR M.IRKH

Di Susun Oleh :
NISA ANDRIANI 182221369

PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA


JURUSAN SYARIAH DAN EKONOMI ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI BENGKALIS
TAHUN 2022 M/1443 H
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT Yang Maha Esa yang telah melimpahkan
rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga kami dapat  menyelesaikan makalah bertema
“Hukum Perkawinan dalam Sistem Hukum Adat”.
Dalam menyelesaikan makalah ini, kami mendapatkan begitu banyak bimbingan dari
berbagai pihak, untuk itu saya mengucapkan banyak terimakasih kepada siapa saja yang
membantu dalam menyelesaikan makalah ini.
Mudah-mudahan makalah ini dapat memberikan manfaat dalam segala bentuk belajar
mengajar, Sehingga dapat mempermudah pencapaian tujuan pendidikan nasional. Namun
makalah ini masih belum sempurna, oleh karena itu saya mengharap kritik dan sarannya yang
akan menjadikan makalah ini lebih baik.

Bengkalis, 09 September 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..........................................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................................ii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah.........................................................................................................2
C. Tujuan...........................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Pengertian Perkawinan Adat........................................................................................3
B. Dasar Perkawinan Menurut Hukum Adat....................................................................4
C. Bentuk dan Sistem Perkawinan Adat...........................................................................5
D. Perkawinan Dalam Hukum Adat..................................................................................9
E. Percerain dalam Hukum Adat.......................................................................................12

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan ...................................................................................................14
B. Saran.............................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perkawinan adalah perilaku mahluk ciptaan yang maha Esa agar kehidupan di
alam dunia berkembang biak. Oleh karena manusia sebagai salah satu mahluk hidup
yang berakal, maka perkawinan merupakan salah satu budaya yang beraturan yang
mengikuti perkembangan budaya manusia dalam kehidupan masyarakat. Dalam
masyarakat sederhana budaya perkawinannya sederhana, sempit dan tertutup, dalam
masyarakat yang maju (modern) budaya perkawinannya maju, luas dan terbuka. Aturan
tata tertib perkawinan sudah ada sejak masyarakat sederhana yang dipertahankan
anggota-anggotamasyarakat dan para pemuka masyarakat adat dan atau para pemuka
agama.
Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan sebuah negara yang memiliki
berbagai macam budaya dan suku. Keragaman budaya dan suku tersebut menyebabkan
Indonesia memiliki aturan dan hukum yang berbeda di daerah tertentu. Perbedaan
aturan dan hukum di daerah tertentu itulah yang membuat Indonesia menggunakan
system hukum majemuk, dengan menggunakan 3 hukum, yaitu hukum Barat/Belanda,
hukum Islam, dan Hukum Adat.
Pada makalah ini, kami akan membahas tentang hukum adat yang hukumnya
berasal dari nenek moyang kita. Hukum adat ini bersifat tidak tertulis dan dapat
berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakatnya. Setiap suku di Indonesia
mempunyai hukum adat yang berbeda-beda. Namun pada dasarnya hal yang diatur oleh
hukum adat pada masing-masing suku adalah sama, yaitu mengenai perkawinan, waris,
tanah , benda, perikatan, dan lain-lain. Namun pada makalah ini kami akan membahas
tentang perkawinan dalam hukum adat.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yaitu sebagai berikut:
1) Apakah yang dimaksud dengan Perkawinan Adat?
2) Jelaskan Dasar Perkawinan Menurut Hukum Adat?
3) Jelaskan Bentuk dan Sistem Perkawinan Adat?
4) Jelaskan Perkawinan dalam Hukum Adat?
5) Jelaskan Perceraian dalam Hukum Adat?

1
C. Tujuan
Adapun tujuan pembuatan makalh ini yaitu sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui pengertian Perkawinan Adat
2) Untuk mengetahui Dasar Perkawinan Menurut Hukum Adat
3) Untuk mengetahui Bentuk dan Sistem Perkawinan Adat
4) Untuk mengetahui Perkawinan dalam Hukum Adat
5) Untuk mengetahui Perceraian Dalam Hukum Adat

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan Adat


Perkawinan adat adalah ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita,
yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya
kehidupan
persekutuan atau clannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian upacara adat.
Van Gennep menamakan semua upacara perkawinan sebagai “Rites De Passage”
(upacara peralihan) yang melambangkan peralihan status dari masing-masing mempelai
yang tadinya hidup sendiri sendiri berpisah setelah melampaui upacara yang disyaratkan
menjadi hidup bersatu sebagai suami istri, merupakan somah sendiri, suatu
keluarga baru yang berdiri serta mereka bina sendiri.1
Rites De Passage upacara peralihan tersebut terdiri atas ͵ tingkatan, yaitu:
1. Rites De Separation yaitu upacara perpisahan dari status semula.
2. Rites De Marga yaitu upacara perjalanan kestatus yang baru.
3. Rites D’agreegation yaitu upacara penerimaan dalam status yang baru.

Dalam hukum adat, perkawinan bukan merupakan urusan pribadi dari orang yang
melakukan perkawinan, tetapi juga menjadi urusan keluarga, suku, masyarakat, dan
kasta.
Perkawinan berarti pemisahan dari orang tuanya dan untuk seterusnya melanjutkan garis
hidup orang tuanya. Dalam suku, perkawinan merupakan suatu usaha yang menyebabkan
terus berlangsungnya suku tersebut dengan tertibnya. Dalam masyarakat (persekutuan),
perkawinan merupakan sutu peristiwa penting yang mengakibatkan masuknya warga
baru
yang ikut mempunyai tanggung jawab penuh terhadap persekutuannya. Dalam kasta,
perkawinan adalah peristiwa penting, karena kasta dalam masyarakat (dahulu) sering
mempertahankan kedudukannya dengan mengadakan tertib perkawinannya sendiri.
Perkawinan dalam arti perikatan adat ialah perkawinan yang mempunyai akibat
hukum terhadap hokum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Akibat
hukum ini telah ada sejak sebelum adanya perkawinan, misalnya adanya hubungan
1
Yulia,2016. Buku Ajar HUKUM ADAT.Sulawesi. Unimal Press.hlm.49.

3
pelamaran yang merupakan “rasan sanak” (hubungan anak-anak, bujang-gadis) dan
“rasan
tuha” (hubungan antara orang tua keluarga dari para calon suami istri). Setelah terjadinya
ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajiban orang tua (termasuk anggota
keluarga/kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat
dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan, dan
kelanggengan dari kehidupan anak-anak mereka yang terikatdalam perkawinan.
Oleh karena itu, perkawinan adat memiliki arti yang penting masyarakat dan
disertai dengan upacara-upacara adat, agar kedua mempelai bahagia mengarungi hidup
berkeluarga sampai akhir hayatnya. Upacara-upacara yang dilakukan melambangkan
adanya perubahan satus hidup berpisah dengan keluarga induk dan membentuk keluarga
yang baru. Prosesi kegiatan dalam perkawinan adat yang telah dilakukan secara terus
menerus sehingga menjadi suatu hukum perkawinan adat. Hukum Perkawinan adat
adalah
kebiasaan atau tingkah laku masyarakat adat dalam melakukan upacara perkawinan yang
kemudian kebiasaan tersebut dijadikan hukum positif yang tidak tertulis dan hanya
berlaku dalam masyarakat tertentu dan mempunyai sangsi didalamnya.

B. Dasar Perkawinan Menurut Hukum Adat


Dalam masyarakat hukum adat, hukum perkawinan adat mempunyai asas-asas yang
menjadi parameter masyarakat yang masing-masing daerah mempunyai aturan sendiri
dan berbeda-beda sesuai kebiasaan setempat. Asas- asas perkawinan dalam hukum adat,
yaitu:2
1. Asas Keadatan dan kekerabatan
Perkawinan dalam hukum adat bukan sekedar mengikat secara individual, akan
tetapi juga mengikat masyarakat adat dalam arti masyarakat komunal punya tanggung
jawab dalam urusan perkawinan warganya. Oleh itu, perkawinan dalam hal ini sangat
ditentukan kehendak kerabat dan masyarakat adat. Kehendak yang dimaksud ialah
mulai dari pemilihan pasangan, persoalan Dzjujurdz dan persoalan-persoalan lainnya.
Asas inilah sebenarnya yang mendasari dari asas-asas perkawinan dalam hukum adat.
2. Asas Kesukarelaan/Persetujuan
Dalam hukum adat calon mempelai tidak mempunyai otoritas penuh untuk
menyatakan kerelaan/perse tujuan perkawinan. Perkawinan harus didasarkan pada
2
Ibid.,hlm:52-54.

4
persetujuan orang tua dan anggota kerabat. Masyarakat adat dapat menolak kedudukan
suami atau istri yang tidak diakui oleh masyarakat adat setempat. Pelanggaran terhadap
asas ini dapat dikenakan sanksi dikeluarkan dari lingkungan kekerabatan masyarakat
adat, terlebih dalam masyarakat adat yang masih kental system kesukuaannya seperti
masyarakat adat Nusa Tenggara Timur.
3. Asas Partisipasi Kerabat dan masyarakat Adat.
Dalam perkawinan, partisipasi orang tua beserta kerabat dan masyarakat adat
sangatlah besar artinya. Partisipasi ini dimulai dari pemilihan calon mempelai,
persetujuan sampai pada kelanggengan rumah tangga mereka, secara langsung ataupun
tidak langsung orang tua beserta kerabat punya tanggung jawab moral terhadapnya.
4. Asas Poligami
Asas poligami dalam masyarakat adat sudah menjadi tradisi. Tidak sedikit adat
raja-raja, adat bangsawan baik yang beragama Hindu, Budha, Kristen dan Islam
mempunyai istri lebih dari satu bahkan puluhan. Masing-masing istri yang dipoligami
tersebut mempunyai kedudukan yang berbeda satu sama lain berdasarkan struktur
hukum adat setempat. Walaupun demikian, seiring dengan perkembangan jaman dan
lemahnya institusi adat serta perkembangan iklim hokum nasional, praktek poligami
dalam masyarakat adat sudah mulai ditinggalkan, kalaupun ada menyesuaikan dengan
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam agama. Dengan demikian, poligami dalam
hukum adat sudah teresepsi dalam hukum lainnya yang lebih kuat.
5. Asas Selektivitas
Asas selektivitas dalam hukum adat, pada pembahasan ini diarahkan pada
proses dan siapa yang berhak menentukan calon mempelai. Seperti yang sudah
dijelaskna di atas bahwa dalam hukum adat, orang tua, kerabat dan masyarakat adat
sangat berpengaruh dalam pemilihan calon mempelai. Dengan demikian, proses
memilih calon mempelai mempunyai sedikit banyak peran yang ditentukan oleh orang
tua beserta kerabat. Dalam proses pemilihan calon mempelai, diarahkan pada jenis
perkawinan yang dikehendaki dan menghindari perkawinan yang dilarang.

C. Bentuk dan Sistem Perkawinan Adat


Adapun bentuk-bentuk perkawinan,yaitu:3
1. Bentuk perkawinan berdasarkan arah persiapan

3
Soerjono Soekanto,1990. Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali.hlm.54-58.

5
a. Pertunangan. Tahapan sebelum perkawinan itu dilaksanakan, yang dimaksud tahap
tersebut adalah pertunangan. Tahap ini dilakukan awal kali pertem uan setelah ada
persetujuan antara kedua belah pihak (pihak keluarga pihak suami dan pihak
keluarga bakal istri) untuk mengadakan perkawinan, dan mempunyai sifat yang
mengikat. Tujuan dari pertunangan ini adalah untuk membatasi pergaulan kedua
belah pihak dan menjamin perkawinan akan berlangsung dalam waktu dekat.
b. Tanpa lamaran dan tanpa pertunangan. Ada beberapa corak perkawinan yang tidak
didahului oleh lamaran dan pertunangan. Corak perkawinan yang demikian
kebanyakan ditemukan dalam persekutuan yang bersifat patrilineal. Namun dalam
matrilineal dan patrilineal (garis ibu-bapak) juga ditemukan walaupun hanya
sedikit. Seperti di daerah Lampung, Kalimantan, Bali, Sulawesi Selatan. Mereka
mempunyai tujuan tersendiri diantaranya yaitu secara umum untuk membebaskan
diri dari berbagai kewajiban yang menyertai perkawinan dan pertunangan seperti
memberi hadiah.

2. Bentuk perkawinan berdasarkan tata susunan kekerabatan


a. Dalam sifat susunan kekeluargaan matrilineal (garis keturunan ibu). Setelah kawin,
suami tetap masuk pada keluarganya sendiri. Pada prosesnya calon suami
dijemput dari rumahnya kemudian tinggal dan menetap di rumah keluarga istri,
tetapi anak-anak dan keturunannya masuk keluarga istri dan si ayah pada
hakikatnya tidak mempunyai kekuasaan terhadap anak-anaknya. Keadaan ini
disebabkan rumah tangga suami istri dan anak-anak keturunannya dibiayai dari
milik kerabat si istri.
b. Dalam sifat susunan kekeluargaan patrilineal (garis keturunan bapak). Sifat utama
dari perkawinan ini adalah dengan memberikan “jujur” oleh pihak laki-laki
kepada pihak perempuan sebagai lambing diputuskannya hubungan kekeluargaan
si istri dengan orang tuanya, nenek moyangnya dan singkatnya dengan kerabat dan
persekutuannya. Setelah perkawinan si istri masuk dalam lingkungan keluarga
suami begitu juga anak-anak keturunannya. Sistem jujur tersebut tidak lantas
kemudian dipahami sebagaimana yang difahami oleh para etnolog barat yaitu
sebagai “pembelian” tetapi menurut hukum adat yang murni, maka jujur
dimaksudkan sebagai suatu “penggantian” bahwa kedudukan gadis dalam
pengertian religio-magis-kosmis. Dalam menjaga kesimbangan dalam suatu
keluarga maka anak gadis yang dikawinkan diganti dengan suatu benda dalam
6
memaknai ‘religio-magis-kosmis’. Kawin jujur mengandung (tiga) pengertian,
yaitu pertama, pada sisi yuridis akan terjadi perubahan status, kedua, pada
sisi sosial “politis”, perkawinan tersebut akan mempererat hubungan antar kerabat,
hubungan kekeluargaan dan menghilangkan permusuhan, dan ketiga dari sisi
ekonomis, adanya pertukaran barang.
c. Dalam sifat susunan kekeluargaan parental (garis keturunan Keibu-Bapaan).
Setelah perkawinan baik si istri maupun suami menjadi milik keluarga bersama
begitu juga anak-anak dan keturunannya. Dalam sifat ini juga terdapat kebiasaan
berupa pemberian- pemberian dari pihak laki-laki terhadap pihak perempuan, tetapi
pemberian disini tidak mempunyai arti seperti jujur, mungkin dulu dasarnya seperti
jujur tetapi lebih banyak diartikan sebagai hadiah perkawinan. Hal demikian
banyak dijumpai di daerah Aceh, Jawa dan Sulawesi Selatan.

3. Bentuk perkawinan anak-anak.


Perkawinan ini dilakukan terhadap calon suami dan istri yang belum dewasa,
yang biasanya dilaksanakan menurut ketentuan (hukum) slam, sedang pesta dan
upacara menurut hukum adat ditangguhkan. Sebelum upacara perkawinan, suami
belum boleh melakukan hubungan suami istri, ditangguhkan sampai mereka dewasa
dan dilangsungkan pesta dan upacara menurut hukum adat.

4. Bentuk perkawinan permaduan.


Permaduan adalah ikatan perkawinan antara seorang pria dengan dua atau
lebih wanita dalam waktu bersamaan. Pada daerah yang mengenal lapisan
masyarakat, wanita yang dari lapisan tinggi (sama) dijadikan istri pertama dan wanita
yang dari lapisan bawah dijadikan istri (kedua dan seterusnya). Para istri yang dimadu
(selir), masing-masing beserta anaknya berdiam dan membentuk rumah berpisah satu
sama lain.

5. Bentuk perkawinan ambil anak.


Perkawinan ini terjadi pada kekerabatan patrilineal, yaitu pihak laki-laki tidak
perlu membayar jujur, dengan maksud mengambil si laki-laki (menantunya) itu ke
dalam keluarganya agar keturunannya nanti menjadi penerus silsilah kakeknya.
Bentuk perkawinan ini juga bisa terjadi pada masyarakat semendo yang disebut

7
perkawinan semendo ambik anak, dalam rangka penerus silsilah menurut garis
perempuan.

6. Bentuk perkawinan mengabdi.


Perkawinan ini terjadi sebagai akibat adanya pembayaran perkawinan yang
cukup besar, sehingga pihak laki-laki tidak mampu membayarnya. Dalam bentuk ini
suami istri sudah mulai berkumpul, sedang pembayaran perkawinan ditunda dengan
cara bekerja untuk kepentingan kerabat mertuanya sampai jumlah pembayaran
perkawinan terbayar lunas.

7. Bentuk perkawinan meneruskan (sororat).


Perkawinan seorang duda (balu) dengan saudara perempuan mendiang
istrinya. Perempuan tersebut meneruskan fungsi istri pertama tanpa suatu pembayaran
(jujur). Perkawinan ini disebut kawin turun ranjang atau ngarang wulu (Jawa).

8. Bentuk perkawinan mengganti (leverat).


Perkawinan yang terjadi apabila seorang janda yang menetap di lingkungan
kerabat suaminya, kawin dengan laki -laki adik mendiang suaminya. Perkawinan ini
sebagai sarana perkawinan jujur, yang di Palembang dan Bengkulu dikenal dengan
kawin Anggau.

Dalam sistem perkawinan adat di Indonesia, terdapat 3 (tiga) sistem yang berlaku
di masyarakat, yaitu :4
1. Sistem Endogami
Endogami yaitu perkawinan dilakukan dalam lingkungan rumpun, antara
anggota yang satu lelaki dengan perempuan dari anggota yang lain tetapi perkawinan
tidak dilakukan di luar rumpun. Kawin endogamy merupakan suatu anjuran yang
beralasan pada kepentingan persatuan dalam hubungan antar keluarga, supaya dapat
mempertahankan tanah tetap menjadi milik lingkungan sendiri atau milik rumpun.
Sistem ini masih terlihat dalam masyarakat hokum adat di daerah Toraja, tetapi ini
bertentangan sekali dengan sifat susunan parental yang ada di daerah tersebut. Dalam
4
Bushar Muhammad,2000. Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita.hlm.58-59.

8
perkawinan ini, untuk anggota Gezin, yaitu anak-anak di Jawa dan Madura tidak ada
pembatasan apapun. Anggota gezin tersebut boleh kawin dengan siapa saja, asal
perkawinan yang hendak dilangsungkan tidak bertentangan dengan agama dan
kesusilaan.
2. Sistem Exogami
Dalam sistem ini orang diharuskan kawin dengan orang di luar sukunya
sendiri. Sistem ini banyak dijumpai di daerah Tapanuli, Alas Minangkabau.
3. Sistem Eleutherogami
Pada sistem ini, tidak mengenal larangan-larangan apapun atau batasan-
batasan wilayah seperti halnya pada endogami dan exogami. Sistem ini hanya
menggunakan
berupa larangan-larangan yang berdasarkan pada pertalian darah atau kekeluargaan
(nasab) turunan yang dekat seperti ibu, nenek, anak kandung, cucu dan saudara
kandung, saudara bapak atau ibu, seperti di dalam masyarakat hukum adat di Aceh.

D. Perkawinan dalam Hukum Adat


Di Indonesia upacara menurut hukum adat itu sangat beragam, mengingat adat di
indonesia sangat banyak dan masing-masing adat berbeda dengan adat yang lainya.
Untuk memudahkan pembahasan pada makala ini upacara perkawinan menurut hukum
adat akan mengambil salah satu contoh adat yang ada di Indonesia misalnya upacara
perkawinan adat Melayu Indragiri Hulu.
Masyarakat Melayu Indragiri Hulu amatlah kokoh memegang adat istiadat,
mereka mengkekalkan adat dan tradisi secara berkesinambungan. Pelaksanaan prosesi
perkawinan dalam adat Melayu merupakan keharusan yang mesti dilaksanakan oleh
orang Melayu sebagai masyarakat yang berbudaya. Prosesi pernikahan adat Melayu
memiliki tahapan- tahapan yang cukup panjang, karenanya tidak semua orang Melayu
melaksanakan Adat pernikahan tersebut dengan lengkap.
Di dalam melaksanakan suatu upacara perkawinan akan selalu mengacu
kepada tata upacara adat yang sudah di atur dan berlaku baik di tatanan istana maupun
di khalayak ramai yang disesuaikan pula dengan alur dan patutnya. Secara umum
bagian dari tata upacara adat perkawinan tersebut adalah sebagaimana di susun
sedemikian rupa. Prosesi pernikahan adat Melayu terdiri dari beberapa tahapan.
Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan orang Melayu Rengat. Di gelar dalam
beberapa tahap, yaitu merisik, meminang, antar belanja, menggantung, ijab qabul, tepung
9
tawar, berinai, berandam, khatam kaji, upacara langsung, berarak, membuka pintu,
bersanding, makan bersuap, makan hadap-hadapan, menyembah mertua, mandi kumbo
taman, makan nasi damai, dan upacara menyembah. Berikut penjelasan dan prosesi
5
pernikahan selengkapnya:

1. Merisik
Merisik adalah proses mengenali perempuan yang akan dijadikan istri. Proses
ini dilakukan secara bertahap oleh pihak keluarga laki-laki. Caranya dengan
mengirim orang tua laki-laki atau utusan untuk mencari informasi tentang calon istri,
menanyakan apakah anak perempuan tersebut sudah di tanggam atau di pinang
oleh orang lain, atau sudah mengikat janji dengan orang lain atau belum.
2. Meminang
Jika dalam proses merisik kedua keluarga bersepakat untuk menikahkan
kedua anaknya, maka tahap selanjutnya adalah meminang. Pada tahap ini, pihak
laki-laki mengirim utusan ke pihak perempuan untuk menyampaikan niat
menikah pihak laki-laki. Utusan yang di kirim biasanya orang-orangtua pilihan yang
bijak dan mengerti adat. Peminangan biasanya disampaikan dengan bahasa
pantun dan pepatah petitih serta diawali`dengan ritual tepak sirih Melayu.
3. Antar Belanja
Sembari menunggu hari pernikahan, pihak laki-laki melakukan tahap antar
belanja, yakni mengirimkan barang-barang tertentu, seperti uang atau cincin ke pihak
keluarga perempuan dengan tujuan membantu keluarga perempuan dalam
menggelar upacara perkawinan dan sebagai ikatan janji bahwa kedua keluarga akan
menikahkan anaknya.
4. Menggantung
Tahap ini di isi dengan menghias rumah (tengah rumah), pelaminan, tempat
tidur, dan tempat bersanding kedua pengantin kelak di rumah pengantin
perempuan. Kegiatan ini dilakukan oleh keluarga dan kerabat dibantu oleh tetangga
dan orang tertentu. Pada tahap ini pula, orangtua mempelai perempuan akan
melakukan ritual tepuk tepung tawar di setiap sudut tempat-tempat di atas.
5. Akad Nikah
Pelaksanaan akad nikah biasanya dilaksanakan pada malam hari. Setelah
rombongan mempelai pria datang beserta rombongan mereka disambut langsung
5
Afiq Budiawan.2021. Tinjauan al Urf dalam Prosesi Perkawinan Adat Melayu Riau. Jurnal An-Nahl,
Vol. 8, No. 2.hlm.121-124.

10
masuk kedalam rumah mempelai wanita.Acara dimulai dengan upacara tukar
menukar tepak sirih dan juga memakan sirih yang disediakan dari masing-masing
mempelai. Kemudian dilanjut dengan acara ijab qobul oleh pengantin pria dan
upacara
tepuk tepung tawar oleh para tetua lelaki maupun perempuan dari pihak mempelai
laki-laki dan perempuan. Ketika ijab kobul berlangsung, seorang mempelai
perempuan
tidak bersamaan duduk dengan mempelai lakai-laki. Biasanya perempuan itu berada
di
dalam kamar. Sebab perempuan hanya mendengarkan saja dari jauh. Kemudian
Membaca Sighot Taklik mempertegas sekaligus mengikrarkannya di hadapan
orang ramai. Maknanya seorang suami berjanji akan mempergauli istrinya dengan
baik sesuai syariat Islam. dan berjanji bertanggung jawab untuk memenuhi nafkah
lahir dan batin.
6. Sombah Sujud
Dalam hal ini kedua pengantin bersujud sombah kepada kedua orang tua,
baik orang tua laki-laki maupun orang tua perempun, yang di dahuluioleh suami
bersujud kepada orang tua suamidi ikuti oleh istrinya dan begitu seterusnya kepada
kedua orang tua istri dan yang patut di sekitarnya.
7. Tepuk Tepung Tawar (Cecah Inai)
Tepuk tepung tawar ini sebagai simbol kebahagiaan. Tepuk tepung tawar
ini gunanya untuk masyarakat, jiran, tetangga yang belum sempat menepuk
tepung tawar agar masyarakat umum dan teman dapat menepuk tawari juga, sebab
sebelumnya secara simbolis sudah dilakukan oleh keluarga dekat, baik keluarga
dekat pihak pengantin lelaki maupun pengantin perempuan. tepuk tepung tawar
ini biasanya ada hiburan yang di sebut berzanji, atau rebana.
8. Pembacaan Doa Berdoa
Berdoa untuk kebaikan pengantin yang baru saja dinikahkan agar hidup
berumah tangga tetap sehat menjadi rumah tangga sakinah mawaddah dan rahmah
dari
Allah Swt. Yang memimpin doa ini boleh seorang KUA atau juga di pimpin oleh
ustadz lainnya yang telah di tunjuk oleh tuan rumah.
9. Makan Bersama

11
Dengan makan bersama ini menunjukkan bahwa remilah kedua mempelai menjadi
hidup baru. Di samping makan bersama ini masih ada lagi makan
secara simbolis yaitu seorang istri menyuapkan nasi kepada suaminya, dan
suami juga menyuapkan kepada istrinya. Artinya mereka berdua setia dan saling
menghormati dan saling mencintai. Sehingga setelah makan dan berumah
tangga tetap setia yang menjadi ukuran.

10. Sambutan Tuan Rumah


Setelah makan bersama ada juga membuat acara resmi dengan memberikan
sambutan sekaligus mempersilahkan para tamu undangan.
11. Bersanding
Ketika tuan rumah memberikan sambutannya berarti pengantin sudah
berada di pelaminan. Berdasarkan penjelasan tersebut prosesi perkawinan adat
Melayu Rengat terdiri atas prosesi pra Akad yakni dimulai dari pemilihan jodoh yang
dilakukan oleh para orang tua anak yang telah memiliki usia cukup untuk menikah.
Setelah mendapatkan orang yang cocok kemudian dilanjutkan dengan tradisi berisik
yaitu
mencari tahu tentang pribadi calon mempelai terutama akhlak, perilaku dan
kebiasaannya.
Selanjutnya prosesi menjarum yaitu keluarga pihak laki-laki mendatangi
kediaman pihak perempuan untuk menyatakan keinginan melamar perempuannya.
Setelah ada jawaban menerima, maka pihak laki-laki dating melamar. Pelaksanaan
akad nikah didahului dengan pertemuan antara wali, penghulu dan kedua calon
mempelai. Acara ini ditujukan untuk mengetahui kerelaan dari kedua belah pihak.
Acara terakhir yaitu berarak atau pesta. Acara pesta didahului dengan acara berarak
pihak laki-laki ke
kediaman perempuan untuk dipersandingkan di atas pelaminan sebagai tanda
pelaksanaan pesta perkawinan. Acara tersebut juga dapat disebut sebagai acara
walimahan.
E. Perceraian dalam Hukum Adat
Pada dasarnya kerabat dan masyarakat menginginkan agar perkawinan yang telah
dilangsungkan itu dapat bertahan sampai akhir hayat. Namun, dalam kenyataannya ada
terrjadi putusnya perkawinan atau perceraian dalam masyarakat. Dalam hukum adat,
12
secara umum hal-hal yang mendorong dan menjadi penyebab perceraian dari suatu
perkawinan adalah perzinahan, tidak memberi nafkah, penganiayaan, cacat
tubuh/kesehatan, dan perselisihan.
Ada juga hal-hal lain yang bersifat khusus sehingga terjadinya perceraian, yaitu:6
1. Adanya dorongan oleh kepentingan kerabat dan masyarakat di Batak misalnya, salah
satu alasan terjadinya perceraian adalah oleh karena hubungan yang tidak baik
dengan salah satu atau beberapa jabu dari kerabat suami yang menjadi serius dan
membawa
suasana yang memburuk antara seluruh kaum kerabat si suami. Selain itu, tidak
memperoleh keturunan dan suami meninggal dunia (minta cerai dari jabul asal
suaminya-Batak)
2. Karena kerukunan rumah tangga telah tidak dapat dengan sungguh-sunggu
dipertahankan lagi (Lampung).
3. Karena campur tangan pihak mertua sudah terlalu jauh dalam soal rumah tangga
mereka (Aceh).

6
Yulia,2016. Buku Ajar HUKUM ADAT.Sulawesi. Unimal Press.hlm.60.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Perkawinan adat adalah ikatan hidup bersama antara seorang pria dan wanita,
yang bersifat komunal dengan tujuan mendapatkan generasi penerus agar supaya
kehidupan
persekutuan atau clannya tidak punah, yang didahului dengan rangkaian upacara adat.
Dalam masyarakat hukum adat, hukum perkawinan adat mempunyai asas-asas
yang menjadi parameter masyarakat yang masing-masing daerah mempunyai aturan
sendiri dan berbeda-beda sesuai kebiasaan setempat. Asas- asas perkawinan dalam
hukum adat, yaitu: asas keadatan dan kekerabatan, asas kesukarelaan/persetujuan, asas
partisipasi kerabat dan masyarakat adat, asas poligami, dan asas selektivitas.
Adapun bentuk-bentuk perkawinan,yaitu: bentuk perkawinan berdasarkan arah
persiapan, bentuk perkawinan berdasarkan tata susunan kekerabatan, bentuk perkawinan
anak-anak, bentuk perkawinan permaduan, bentuk perkawinan ambil anak, bentuk
perkawinan mengabdi, bentuk perkawinan meneruskan (sororat), dan bentuk perkawinan
mengganti (leverat).
Dalam sistem perkawinan adat di Indonesia, terdapat 3 (tiga) sistem yang berlaku
di masyarakat, yaitu: Sistem Endogami, Sistem Exogami, dan Sistem Eleutherogami.
Dalam pelaksanaan upacara adat perkawinan orang Melayu Rengat. Di gelar
dalam beberapa tahap, yaitu merisik, meminang, antar belanja, menggantung, ijab qabul,
tepung tawar, berinai, berandam, khatam kaji, upacara langsung, berarak, membuka
pintu,
bersanding, makan bersuap, makan hadap- hadapan, menyembah mertua, mandi
kumbo taman, makan nasi damai, danupacara menyembah

14
B. Saran
Dalam penulisan ini tentu terjadi banyak kesalahan. Saran dan kritikan tentu
akan di tampung guna untuk meperbaiki kesalahan tersebut. Penulis menyadari bahwa
dalam pembuatan makalah ini belum semua penulis jelaskan dalam pembahasan diatas,
masih terdapat banyak kekurangan dari itu penulis akan menerima segala saran dan
masukan yang membangun.

DAFTAR PUSTAKA

Afiq Budiawan.2021. Tinjauan al Urf dalam Prosesi Perkawinan Adat Melayu Riau. Jurnal
An-Nahl, Vol. 8, No.2.
Bushar Muhammad,2000. Pokok-Pokok Hukum Adat, Jakarta, Pradnya Paramita.
Soerjono Soekanto,1990. Hukum Adat Indonesia, Jakarta: Rajawali.
Yulia,2016. Buku Ajar HUKUM ADAT.Sulawesi. Unimal Press.

15

Anda mungkin juga menyukai