Anda di halaman 1dari 3

DELIK ADAT MINANGKABAU

Di Minangkabau masih dikenal adanya aturan tentang hukum pidana adat, yang terdapat
dalam Undang-Undang Nan Duopuluah. Undang-Undang Nan Duopuluah ini terbagi atas dua
bagian, yaitu Undang-Undang Nan Salapan dan Undang-Undang Nan Duobaleh. Undang-
Undang Nan Salapan menentukan perbuatan kejahatan, dan Undang-Undang Nan Duobaleh
menjelaskan tanda bukti yang melanggar Undang-Undang Nan Salapan. Terdapat 8 (delapan)
bentuk perilaku yang disebutkan sebagai delik adat dalam Undang-Undang Nan Salapan, yakni:

1. Dago-dagi
Perbuatan pengacauan dengan desas-desus sehingga terjadi kehebohan, sedangkan
dagi ialah perbuatan menyebarkan fitnah sehingga merugikan orang lain.
2. Sumbang-salah
Perbuatan yang melakukan sesuatu tidak pada tempatnya atau bersalahan menurut
pandangan mata orang banyak, sedangkan salah ialah perbuatan yang melakukan zina.
3. Samun-sakal
Perbuatan merampok milik orang dengan cara melakukan pembunuhan,
sedangkan yang dimaksud dengan sakal ialah perbuatan merampok milik orang dengan
kekerasan atau aniaya. Pasal ini mempunyai sampirannya, yakni rabuik rampeh. Rabuik
(rebut) adalah perbuatan mengambil barang yang dipegang pemiliknya lalu
melarikannya, sedangkan rampeh (rampas) ialah perbuatan mengambil milik orang
dengan cara melakukan ancaman. Contoh perbuatan ini yang banyak terjadi adalah begal,
pencopetan, penodongan, dan sebagainya.
4. Maling-curi
Perbuatan mengambil milik orang dengan melakukan perusakan atas tempat
menyimpanannya, sedangkan curi ialah perbuatan mengambil milik orang lain pada
waktu pemiliknya sedang lengah
5. Tikam-bunuh
Tikam ialah perbuatan yang melukai orang dan bunuh ialah perbutan yang
menghilangkan nyawa orang dengan menggunakan kekerasan.
6. Kicuh-kecong dan tipu-tepok
Kicuah ialah perbuatan penipuan yang mengakibatkan kerugian orang lain,
sedangkan kicang ialah perbuatan pemalsuan yang dapat merugikan orang lain. Pasal ini
mempunyai sampirannya, yakni umbuak umbai, umbuak ialah perbuatan penyuapan pada
seseorang yang dapat merugikan orang lain, sedangkan umbai ialah perbuatan membujuk
seseorang agar sama-sama melakukan kejahatan.
7. Upeh-racun
Upeh ialah perbuatan yang menyebabkan seseorang menderita sakit setelah
menelan makanan atau minuman yang telah diberi ramuan yang berbisa atau beracun,
sedangkan racun adalah sejenis obat makanan atau minuman yang telah diberi ramuan
berbisa atau beracun yang bisa menyebabkan orang menderita sakit atau bisa sampai
meninggal.
8. Siar-bakar
Siar adalah perbuatan membuat api yang mengakibatkan milik orang lain sampai
terbakar, sedangkan baka adalah perbuatan membakar barang orang yang sampai hangus
dan habis dengan api yang besar.1
Dari kedelapan bentuk delik adat dalam Undang-Undang Nan Salapan tersebut diatas, yang
cenderung masih mendapatkan perhatian dari para penguasa adat hanyalah “sumbang salah” dan
“dago dagi”. Sementara perilaku yang lain adalah perilaku-perilaku yang sudah ada
bandingannya dalam KUHP, sehingga perbuatan tersebut diadili atas dasar ketentuan KUHP.2
Delik Sumbah-salah masih banyak terjadi di masyarakat Minangkabau. Baik anak muda,
dewasa bahkan yang tua pun juga melakukannya. Zina dalam islam tidak sekedar diartikan
sebagai ‘hubungan seksual’ saja. Akan tetapi lebih sempit dari itu perbuatan mendekatinya saja
juga disebut zina, seperti zina mata, zina hati, zina tangan, dan sebagainya. Contohnya perbuatan
yang banyak dilakukan oleh muda mudi sekarang yang tidak malu lagi naik motor berduaan
sambil berangkulan, dan sebagian orang tuanya, atau orang tuanya pun tak sanggup untuk
melarangnya. Apalagi memberi sanksi kepadanya.

1
Mardoni, "Undang-Undang Nan Salapan", diakses dari :
https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/bpnbsumbar/undang-undang-nan-salapan. (Diakses 22 Maret 2019)
2
Elwi Danil, Konstitusionalitas Penerapan Hukum Adat dalam Penyelesaian Perkara Pidana, Jurmal Konstitusi,
Vol. 9, No.3, 2012, hlm.586
Dalam masyarakat Minangkabau yang komunal, pertama kali yang berhak memberi
sanksi atau hukuman kepada seseorang yang melanggar delik adalah kaum atau sukunya. Jadi
setiap suku harus bertanggung jawab terhadap tingkah laku anggotanya. Apabila salah seorang
anggota kaum melakukan pelanggaran maka pihak yang pertama kali memikul hukuman adalah
kaum keratanya sendiri, sedangkan si pelaku pelanggaran diberi hukuman oleh kerabatnya
sendiri sesuai dengan perbuatan yang telah dilakukan berdasar kemufakatan anggota kaum
secara bersama. Sanksi setelah pelaksanaan hukum formal dapat berupa sanksi yang paling
ringan (dicemooh) sampai sanksi yang paling berat (diusir), hal ini tergantung jenis delik yang
dilanggar.3
Banyak kasus yang diadili oleh Kerapatan Adat Nagari (KAN) di Minangkabau yang
dapat digunakan untuk membuktikan bahwa hukum pidana adat itu masih eksis. Pada tahun
1998, KAN Talago Gunung Kecamatan Baringin memutuskan seorang warga bernama Jamalis
bersalah melakukan perbuatan “sumbang-salah” karena memasuki rumah seorang perempuan
yang bukan muhrimnya. Sanksi dari perbuatan sumbang-salah nya pun berupa pengusiran dari
daerahnya. Dari contoh kasus pelanggaran delik tersebut, terungkap bahwa di tengah adanya
tekanan yang sangat kuat bagi pemberlakuan asas legalitas, hukum pidana adat masih tetap eksis
dan dipraktikkan oleh pemangku adat dalam kehidupan masyarakat adat. Bahkan di beberapa
daerah tertentu, praktik peradilan pidanapun ternyata masih menerapkan norma hukum pidana
adat sebagai dasar untuk menjatuhkan hukuman dalam perkara pidana.4
.

3
Mardoni, loc.cit.

4
Elwi Danil, op.cit, hlm.587

Anda mungkin juga menyukai