MONARCHIE DAN REPUBLIK Mengenai bentuk-bentuk negara, kita dewasa ini telah menjumpai suatu pembagian yang sudah lama yaitu: monarchie dan republik. Macchiavelli mengatakan bahwa bentuk-bentuk negara ialah kerajaan (monarchie) dan republik. Monarchie ialah pemerintahan dimana kekuasaan negara dipegang oleh “satu” orang yang menjalankan kekuasaan itu untuk kepentingan semua orang. Republik adalah berasal dari “Res Publika” yang berarti organisasi kenegaraan yang mengurus kepentingan bersama.
Jellinek dalam bukunya “Algemeine Staatslehre” mengatakan
bahwa perbedaan antara monarchie dan republik itu di dasarkan pada “cara pembentukan kehendak negara”. Lebih lanjut dijelaskan, bahwa untuk pembentukan kehendak negara itu ada dua macam kemungkinan, yaitu secara psicologis dan secara juridis. Pada kemungkinan pertama, yaitu dimana kehendak negara itu terjelma sebagai kehendak seseorang, disitu terdapat bentuk monarchi, sedangkan pada kemungkinan kedua, dimana kehendak negara itu menjelma sebagai kehendak yang berupa hasil dari suatu peristiwa yuris, maka disitu terdapat bentuk republik.
Jellinek melihat monarchie itu hanya dalam bentuk monarchi
absoluut, dimana monarch memegang kekuasaan absolut. Di samping monarchie absoluut ini masih ada monarchie konstitusionil, dalam hal ini kekuasaan monarch dibatasi oleh konstitusi. Dalam monarchie konstitusinil ini, tidak dapat dikatakan bahwa kehendak seorang raja adalah kehendak secara mutlak, sehingga perwujudan kehendak negara tidal lagi terletak dalam kekuasaan seoarang raja. Dalam negara monarchie, kehendak negara terwujud dalam kehendak raja selaku pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara. Dalam hal ini keputusan rajalah yang menentukan segala sesuatu dalam negara. Dalam negara berbentuk republik, kehendak negfara adalah hasil dari suatu peristiwa hukum. Dalam republik ini terdapat suatu badan yang mewakili sejumlah orang, sebagai pemegang kekuasaan (kedaulatan).
Badan ini mempunyai kepribadian tersendiri menurut hukum,
dan kehidupan badan ini terpisah dari kehidupan orang-orang yang duduk didalamnya. Keputusan-keputusan dalam badan ini dilahirkan menurut proses hukum sesuai dengan konstitusi negara, dan inilah yang merupakan kehendak wujud negara. (teori jellinek dalam hal monarchie dan republik) Berdasarkan kriteria sebagaimana yang telah disampaikan oleh jellinek, dalam perkembangannya kita temukan monarchie yang menurut jellinek berbentuk republik. Sebaliknya ada republik yang berbentuk monarchie. Contohnya di Inggris. Dalam hal ini kehendak negara tidak ditentukan oleh seorang raja sendiri, akan tetapi berdasarkan hasil keputusan musyawarah diparlemen (parlemen yang menyusun kabinet pemerintahan). Dalam hal ini menurut Jellinek, bahwa kehendak negara tidak ditangan raja dan tidak ada sifat kerajaan.
Meskipun demikian, Jellinek mengatakan bahwa Inggris adalah
tetap monarchie dengan alasan bahwa meskipun titik berat pemerintahan ada pada parlemen, tetapi kabinet itu adalah diangkat oleh raja sendiri, yakni ditunjuknya seorang dari pemimpin partai yang mendapat suara terbanyak dari majelis rendah untuk menjadi perdana menteri, yang kemudian mengangkat menteri-menteri yang dipilihnya dari partai yang mendapat suara terbanyak. Prof. Mr. Kranenburg tidak sepakat dengan apa yang dikemukakan oleh Jellinek. Kranenburg berpendapat, bahwa tidaklah demikian adanya seperti yang ada di Inggris. Apa yang terjadi adalah tidaklah demikian dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan, sebab fungsi ilmu pengetahuan adalah untuk mencari kebenaran sejati.
Secara formil dinyatakan bahwa Raja dapat menghentikan
perundang-undangan, akan tetapi formil, Raja tidak dapat menjalankan perundang-undangan tanpa bantuan Parlemen. Dengan Royal Proclamation saja, tidak bisa dibentuk peraturan perundang-undangan yang sifatnya mengikat, sedangkan hal tersebut sudah ditetepkan sejak abad ke -17. Leon Duguit, dalam bukunya “Traite de Droit Constitutionnel”, mengatakan: monarchie adalah bentuk pemerintahan dimana terdapat kepala negara yang turun temurun; sedangkan republik ialah apabila tidak terdapat kepala negara atau dimana kepala negara tidak berganti secara turun-temurun”.
Jadi, untuk menetukan apakah suatu negara berbentuk
monarchi atau republik didasarkan pada caranya menunjuk kepala negara (sebagaimana yang dikatakan oleh Duguit). Dalam perkembangannya vterdapat perubahan fungsi seorang Raja, dalam hal ini hanya sebagai penyandang gelar dengan titel Raja saja, seperti yag terjadi di inggris.penghormatan kepada seorang raja masih ada, akan tetapi kekuasaannya berangsur-angsur di tarik. Namanya masih menggunakan “King” dan negaranya masih disebut “kingdom”, akan tetapi kekuasaannya tidak lagi sebagai kekuasaan “The King”. Sebaliknya, di Amerika Serikat kekuasaan Presiden sebagai kepala negara Republik, jauh lebih besar jika dibandingkan dengan kekuasaan Raja di Inggris sebagai kepala negara. Di Amerika Serikat tidak terdapat sistim kabinet dengan responsibility of ministers (pertanggungjawaban menteri- menteri) seperti di negara-negara yag menganut sistem parlementer.
Di Amerika Serikat, putusan kehendak negara dalam bidang
eksekutif, pada taraf terakhir terletak ditangan seorang presiden. Dengan melihat kenyataan demikian, maka meurut Jellinek, maka Amerika serikat itu adalah lebih tepat disebut monarchie bukan republik, dan lebih tepat Amerika Serikat itu disebut monarchie daripada Inggris sebagai monarchie. Di samping bentuk negara yang telah disampaikan oleh Leon Duguit dan Jellinek (monarchie dan republik), ada lagi bentuk negara yang ketiga, yaitu yang dikenal dengan sebutan negara autokrasi terpimpin atau yang dikenal dengan istilah “autoritaren fuhrerstaat”. Pendapat bentuk negara yang ketiga ini dikemukakan oleh Koellreutter. Lebih lanjut di jelaskan, bahwa dalam tubuh monarchie dan republik dikuasai oleh asas, yaitu bahwa hakekat dari suatu monarchie terletak pada negara yang diperintah oleh suatu dinasti, jadi dengan sendirinya penunjukkan atau pengangkatan kepala negara menggunakan sistim pewarisan, turun temurun, maka dari itu monarchie dikuasai oleh asas ketidak samaan, dalam arti bahwa yang berhak dan dapat menduduki jabatan kepala negara adalah hanya keluarga dari suatu keturunan saja. Sedangkan dalam negara republik dikuasai oleh asas kesamaan, sebab penunjukan atau pengankatan kepala negaranya disini tidak mempergunakan sistem pewarisan atau stelsel pewarisan. Ini mengandung pengertian, bahwa pada asasnya setiap orang berhak menduduki jabatan kepala negara. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan, bahwa pada tipe negara yang ketiga ini adalah tipe negara campuran, yaitu campuran antara monarchie dan republik, dan masing-masing mempunyai sifat. Dikatakan mempunyai sifat monarchie dalam arti bahwa negara autoritaren fuhrerstaat ini juga dikuasai oleh asas ketidak samaan, hanya saja bahwa asas ketidak samaan dalam negara autoritaren fuhrerstaat ini maksudnya ialah bahwa penunjukan kepala negaranya tidak memakai asas seperti yang biasanya dipakai dalam pengankatan atau penunjukan kepala negara pada negara republik. Sedangkan di samping itu dikatakan juga memopunyai sifat republik dalam arti bahwa negara autoritaren fuhrerstaat ini juga dikuasai oleh asas kesamaan, hanya saja perbedaannya adalah bahwa asas kesamaan dalam negara autoritaren fuhrerstaat ini maksudnya ialah bahwa penunjukan atau pengankatan kepala negaranya tidak memakai asas seperti yang biasanya dipakai dalam penunjukan atau pengangkatan kepala negara pana monarchie. Jadi, dalam hal ini dapat disimpulkan, bahwa pengangkata negara dalam autoritaren fuhrerstaat tidak sama dengan penunjukan kepala negara pada negara monarchie maupun pada negara republik, melainkan berdasarkan pada pandangan autoritet negara, berdasarkan pada kemapuan memerintah serta kemampuan menguasai rakyatnya. Monarchie, Oligarchie dan Demokrasi Di samping bentuk-bentuk negara (monarchi dan republik sebagaimana yang dikemukakan oleh Leon Duguit dan Jellinek), ada juga bentuk negara lain, yaitu monarchi , oligarchie dan demokrasi. Pembagian-pembagian ini didasarkan pada “jumlah orang yang mem egang kekuasaan untuk menyelenggarakan kepentingan bersama dalam negara”. Monarchie ialah pemerintahan dimana kekuasaan negara dipegang oleh satu orang untuk kepentingan bersama. Oligarchie ialah pemerintahan dimana kekuasaan negara terletak di tangan beberapa orang. Aristokrasi ialah pemerintahan yang dikuasai oleh sejumlah kecil dari rakyat yang merupakan orang-orang terbaik dan menjalankan pemerintahan untuk kepentingan semua orang. Demokrasi ialah pemerintahan dimana kekuasaan negara terletak ditangan sejumlah besar dari rakyat dan menjalankan kekuasaan itu untuk kepentigan semua orang. Cyclus Polybios Polybios hidup antara tahun 208-120 SM. Polybios adalah seorang ahli sejarah junani, dan ahli politik. Polybios dikenal dengan rumusannya bahwa: bahwa tiap-tiap sebab yag sama akan menimbulkan hasil (akibat) yang sama juga. Rumusan ini kemudian selanjutnya dikenal dengan teorinya yang disebut “causaliteit principe”. Dengan dasar itu polybios berkata bahwa pertumbuhan dan perkembangan bentuk-bentuk pemerintahan suatu negara adalah merupakan suatu “cyclus”. Cyclus yang dimaksud adalah dengan ururtan: monarchie, oligarchie dan democratie. Pada permulaan teorinya, polybios mengatakan bahwa pada permulaan masyarakat yang sifatnya masih sederhana, tampillah seorang unggul lagi berani, lalu kemudian menundukkan pihak-pihak yang lemah, lalu kemudia dia diakui sebagai raja dalam kelompok tersebut. Karena sifatnya yang angkuh, melalaikan kepentingan rakyatnya berubah menjadi kekuasaan yang Tyrani. Karena sifat dendam dan kemarahan yang timbul sebagai akibat dari adanya Tyrani, timbullah pemberontakan untuk meruntuhkan tyrani yang telah bertindak sebagai tiran, maka muncullah bentuk aristokrasi, yang selanjutnya karena berbagai permosaalan dalam masyarakat menuju ke konsep oligarchie dan seterusnya kembali ke revolusi. Dalam perkembangannya, teori polybios ini kemudian mendapat tantangan dari beberapa ahli negara lainnya, diantaranya Kranenburg, yang menyatakan bahwa teori polybios hanya cocok untuk beberapa negara tertentu saja (Perancis, italia dan jerman). Dengan kesimpulan bahwa teori polybios tidak bisa dibuktikan dengan tepat, dalam hal ini dikatakan bahwa sejarah tidaklah mungkin akan terulang kembali sama persis dengan keadaan yang terdahulu, tidak juga sejarah negara. Dalam hal ini ada 2 koreksi: Pertama, bahwa pemerintahan dan kekuasaan bukan barang yang tidak dapat diubah, dan bahwa pemerintahan terdiri dari organ dan fungsinya yang memiliki keterkaitan. Kedua, karena kekuasaan itu bukan barang tetap yang tidak bisa diubah, tidak
Analisis Terhadap Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung masing – masing Nomor 03 Tahun 2008, Nomor KEP-033/A/JA/6/2008 dan No. 199 Tahun 2008 tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota dan/atau Anggota Pengurus Jamaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Warga Masyarakat