Anda di halaman 1dari 20

BAB I

Pendahuluan

1.1 Latar Belakang Masalah

Sumber hukum islam yang disepakati ulama’ adalah al Qur’an, Hadits, Ijma’.
Qiyas. Jumhur ulama’ menyepakati keempat sumber hukum ini. Namun demikian
masih terdapat beberapa ulama’ yang tidak sepakat terhadap kehujahan qiyas dengan
beberapa alasan.

Seiring perjalan waktu, perkembangan teknologi dan pengetahuan begitu pesat


terjadi, sehingga muncul banyak permasalahan-permasalahan baru yang terkadang
tidak cukup dengan keempat sumber hukum di atas. Atas dasar demikian muncul
setelahnya beberapa metode istinbath hukum yang pada kelanjutannya diklaim
sebagai sumber hukum yang dipercaya. Kemunculan sumber hukum yang baru tidak
serta-merta diterima keabsahannya, sehingga tidak heran pro dan kontra tetap
bermunculan bahkan hingga saat ini. Terlepas dari pro konta yang terjadi, jika melihat
dari situasi dan kondisi masa ini modifikasi terhadap hukum islam merupakan sebuah
keniscayaan.

Di antara sumber hukum yang baru itu adalah istihsan. Istihsan yang
merupakan dalil syariat yang prinsip dasarnya adalah kebaikan untuk umat, tentunya
sangat dibutuhkan untuk setidaknya meredam permasalahan-permasalahan baru yang
terjadi. Karena jika tetap berpegang pada sumber hukum yang empat dengan
fanatisme buta, otomatis agama akan ditinggalkan karena tidak bisa mewadahi
permasalahan-permasalahan baru yang terjadi.

Metode yang ditawarkan istihsan cukup konflek kendati tetap membutuhkan


pengembangan-pengembangan yang signifikan. Jamal Ma’mur Asmani misalnya
memandang bahwa istihsan merupakan keniscayaan untuk menerapkannya pada masa
ini, hal itu mencakup seluruh bidang kehidupan (sosial, politik, ekonomi, budaya dan
lain sebagainya) tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak bertentangan
dengan syariat agama.

1
Dalam makalah sederhana ini, penulis akan membahas tentang istihsan, hal itu
terkait dengan definisi dan pro kontra yang terjadi terhadapnya. Tidak ketinggalan
pula kita akan mengkaji tentang pentingnya istihsan dalam kehidupan sekarang ini,
yang mana kita temukan banyak sekali permasalahan-permasalahan kontemporer
yang membutuhkan ijtihad hukum yang baru.

1.2 Ruusan Masalah

Adapun rumusan masalah berdasarkan latar belakang masalah di atas adalah sebagai
berikut:
1. Apakah pengertian Istihsan?
2. Apakah dasar hukum Istihsan?
3. Bagaimanakah sejarah metode Istihsan?
4. Apa sajakah macam-macam Istihsan?
5. Bagaimanakah kedudukan Istihsan sebagai Sumber Hukum Islam?
6. Apakah alasan para ulama tidak Berhujjah pada Istihsan?

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan dari penulisan makalah ini, sebagai berikut:
1. Mengetahui pengertian Istihsan.
2. Mengetahui dasar hukum Istihsan.
3. Mengetahui sejarah metode Istihsan.
4. Mengetahui macam-macam Istihsan.
5. Mengetahui kedudukan Istihsan sebagai sumber hukum Islam.
6. Mengetahui Alasan Para ulama tidak berhujjah pada Istihsan.

2
BAB II
Pembahasan

2.1 Pengertian Istihsan

Pertama: secara etimology istihsan adalah kata bentukan (musytaq) dari al-hasan (apapun
yang baik dari sesuatu). Istihsan sendiri kemudian berarti “kecenderungan seseorang pada sesuatu
karena menganggapnya lebih baik, dan ini bisa bersifat lahiriah (hissiy) ataupun maknawiah,
meskipun hal itu dianggap tidak baik oleh orang lain”. [1]

Kedua: secara terminology kata istihsan para ulama ushul fiqih mempunyai definisi yang
berbeda-beda, seperti yang ada dibawah ini:

1. Mengunggulkan dalil yang satu dari dalil yang lainnya yang ada. Atau Mengamalkan dalil
yang paling kuat di antara dua dalil. Artinya adalah meninggalkan pemikiran (qiyas) terhadap
hukum sebuah masalah dengan mengambil dalil yang paling khusus.[2]

2. Menghindar dari proses qiyas. Seperti diperbolehkan masuk ke kolam renang dengan tanpa
memperhitungkan penetapan harga tertentu, padahal dalam proses qiyas bahwa pembayaran
itu harus mempunyai standart yang jelas.[3]

3. Mengambil kemaslahatan yang bersifat parsial dan meninggalkan dalil yang bersifat umum/
menyeluruh. [4]

4. Meninggalkan salah satu ijtihad yang tidak mencakup seluruh lafazhnya karena pertimbangan
yang lebih kuat darinya.[5]

5. Ungkapan tentang pengkhususan qiyas dengan dalil yang lebih kuat darinya.[6]

6. Memprioritaskan untuk meninggalkan tuntutan sebuah dalil dengan cara pengkecualian,


rukhsoh dan mu’arodloh karena sebagian tuntutannya bertentangan. [7]

7. Sesuatu yang di anggap baik oleh seorang mujtahid berdasarkan akalnya. [8]

Secara etimologi, istihsan berarti “menyatakan dan meyakini baiknya sesuatu” tidak ada
perbedaan pendapat dikalangan ulama Ushul Fiqih dalam mempergunakan lafal istihsan. Adapun
pengertian istihsan menurut istilah, sebagaimana disebutkan oleh Abdul Wahab Khalaf.

3
‫اقله فى انقدع استسنائي حكم الى كلى حكم عن او خفى قياس مقتصنى الى جلى قياس عن المجتهد عدول هو‬
‫العدول هذ لديه رجع‬

Artinya : “Istihsan adalah berpindahnya seorang mujtahid dari ketentuan qiyas jali
(yang jelas) kepada ketentuan qiyas Khafi (yang samar), atau ketentuan yang kulli (umum)
kepada ketentuan yang sifatnya istisna’i (pengecualian), karena menurut pandangan
mujtahid itu adalah dalil (alasan) yang lebih kuat yang menghendaki perpindahan tersebut.”

Dari pengertian tersebut jelas bahwa istihsan ada dua, yaitu sebagai berikut:

1. Menguatkan Qiyas Khafi atas qiyas jali dengan dalil. Misalnya, menurut ulama
Hanafiyah bahwa wanita yang sedang haid boleh membaca Al-Qur’an berdasarkan
istihsan, tetapi haram menurut qiyas.

 Qiyas : wanita yang sedang haid itu di qiyaskan kepada orang junub dengan illat
sama-sama tidak suci. Orang junub haram membaca Al-Qur’an, maka orang yang
Haid haram membaca Al-Qur’an.

 Istihsan : haid berbeda dengan junub karena haid waktunya lama. Oleh karena itu,
wanita yang sedang haid dibolehkan membaca Al-Qur’an, sebab bila tidak, maka
haid yang panjang itu wanita tidak memperoleh pahala ibadah apapun, sedang
laki-laki dapat beribadah setiap saat.

2. Pengecualian sebagai hukum kulli dengan dalil. Misalnya, jual beli salam (pesanan)
berdasarkan istihsan diperbolehkan. Menurut dalil kulli, syariat melarang jual beli yang
barangnya tidak ada pada waktu akad. Alasan istihsan ialah manusia berhajat kepada akad
seperti itu dan sudah menjadi kebiasaan mereka.

Definisi istihsan Menurut Imam Abu Al Hasan al Karkhi ialah penetapan hukum
dari seorang mujtahid terhadap suatu masalah yang menyimpang dari ketetapan hukum yang
diterapkan pada masalah-masalah yang serupa, karena ada alasan yang lebih kuat yang
menghendaki dilakukannya penyimpanagan itu.

Definisi istihsan menurut Ibnul Araby ialah memilih meninggalkan dalil, mengambil
ruksah dengan hukum sebaliknya, karena dalil itu berlawanan dengan dalil yang lain pada
sebagian kasus tertentu.

4
Sementara itu, Ibnu Anbary, ahli Fiqih dari Madhab Maliky memberi definisi
istihsan bahwa istihsan adalah memilih menggunakan Maslahat Juziyyah yang berlawanan
dengan Qiyas Kully. Istihsan merupakan sumber hukum yang banyak dalam terminology dan
istinbath hukum oleh dua imam madhab, yaitu imam Malik dan imam Abu Hanifah. Tapi
pada dasarnya imam Abu Hanifah masih tetap menggunakan dalil qiyas selama masih
dipandang tepat.

Dari berbagai definisi diatas, dapat difahami bahwa pada hakikatnya istihsan itu
adalah keterkaitan dengan penerapan ketentuan hukum yang sudah jelas dasar dan kaidahnya
secara umum baik dari nash, ijma atau qiyas, tetapi ketentuan hukum yang sudah jelas ini
tidak dapat diberlakukan dan harus dirubah karena berhadapan dengan persoalan yang khusus
dan spesifik.

Dari uraian pengertian istihsan diatas, kita dapat melihat bahwa inti dari istihsan
adalah ketika seorang mujtahid lebih cenderung dan memilih hukum tertentu dan
meninggalkan hukum yang lain disebabkan satu hal yang dalam pandangannya lebih
menguatkan hukum kedua dari hukum yang pertama dan hal ini selalu berdasarkan atas
adanya dalil syar’i.

Proses istihsan tersebut harus memiliki sandaran. Sehingga kemudian ada pendapat
bahwa sesungguhnya makna istihsan itu hanya ada dua. Definisi yang sahih dan disepakati
dan definisi yang batal dan disepakati kebatalannya. Dan definisi yang terakhir dapat
dinyatakan sebagai definisi yang batal, karena istihsan adalah proses pemikiran terhadap
adanya beberapa dalil dan proses pemikiran tanpa mengikut sertakan dalil syariat islam.

Dan berikut ini adalah penjelasan tentang perbedaan pengertian istihsan yang benar
dan yang salah:

1. Istihsan termasuk lafazh mujmal (universal), sehinggga tidak dibenarkan menganggap


kemutlakan hukumnya atas dasar benar dan salah.

2. Apabila istihsan ditetapkan dan dijadikan sebagai proses istinbath hukum oleh seorang
mujtahid, maka hal ini adalah pengertian istihsan yang benar.

3. Apabila seorang mujtahid menolak istihsan dalam menggunakannya sebagai istinbath hukum
dan mencaci maki yang menggunakannya, maka hal ini adalah memberikan pengertian
istihsan yang salah.

5
4. Telah disepakati kewajiban penggunaan istihsan dalam pengertian yang benar sebagai
istinbath hukum dan tidak ada pertentangan kewajiban penggunaan dalil yang lebih unggul
diantara beberapa dalil yang ada, tetapi hanya sebatas perbedaan dalam memberikan uraian
pengertian istihsan.

5. Telah disepakati keharaman penggunaan istihsan dalam pengertian yang salah sebagai
istinbath hukum. Menurut ijma’ ulama bahwa tidak diperbolehkan memberikan pernyataan
dengan mengatas namakan perintah dan larangan Allah tanpa menggunakan dalil yang jelas
dan shahih, apalagi jika dalam menetapkan hukum tersebut hanya mengandalkan logika dan
perasaan tanpa ada dalil. [9]

Misalnya adalah pendapat yang dari Imam Ahmad bin Hanbal yang menyatakan
tayammum itu wajib dilakukan pada setiap waktu shalat atas dasar Istihsan, sedangkan jika
menurut metode qiyas maka tayammum mempunyai kedudukannya yang sama dengan berwudhu,
dan tidak diwajibkan lagi berwudlu dengan menggunakan air pada setiap waktu shalat, kecuali
jika batal wudhunya. Hal ini mempunyai arti bahwa, tayammum menurut kacamata qiyas
seharusnya tidak perlu dilakukan pada setiap waktu shalat, namun atas dasar Istihsan Imam
Ahmad memandang ia wajib dilakukan setiap waktu shalat berganti walau tidak batal
wudlunya.[10]

2.2 Dasar hukum Istihsan

Para ulama yang mempertahankan istihsan mengambil dalil dari Al- Qur’an dan
Sunnah yang menyebutkan kata istihsan dalam pengertian denotatif (lafal yang seakar dengan
istihsan) seperti Firman Allah Swt dalam surah Al-Zumar: 18

‫ احسنه فيتبعون القول يستمعون الذين‬.‫ هللا هدهم الذين اولئك‬. ‫االلبابز اولو هم واولئك‬

Artinya: “Yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di
antaranya. mereka Itulah orang-orang yang Telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah
orang-orang yang mempunyai akal”. (QS. Az-Zumar: 18)

Ayat ini menurut mereka menegaskan bahwa pujian Allah bagi hambaNya yang
memilih dan mengikuti perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk
sesuatu yang disyariatkan oleh Allah.

‫ربكم من اليكم انزل ما احسن واتبعوا‬

6
Artinya: ”Dan turutlah (pimpinan) yang sebaik-baiknya yang telah diturunkan
kepadamu dari Tuhanmu”….(QS. Az-Zumar : 55)

Menurut mereka, dalam ayat ini Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang
terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa Istihsan adalah
hujjah.

Hadits Nabi saw:

‫س ِل ُمونََ َرأَى فَ َما‬ َ ‫ّللاِ ِع ْن ََد فَ ُه ََو َح‬


ْ ‫س ًنا ا ْل ُم‬ َ ‫سَِيئ ًا َرأ َ ْوا َو َما َح‬
ََ َ‫سن‬ َ ‫ّللاِ ِع ْن ََد فَ ُه ََو‬
ََ َ‫سيِئ‬
َ .

Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di sisi
Allah adalah baik dan apa-apa yang dipandang sesuatu yang buruk, maka disisi Allah adalah
buruk pula”.

Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan Istihsan.

Contoh istihsan macam pertama: Menurut Madzhab Hanafi: bila seorang


mewaqafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwaqafkannya itu hak
pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dan sebagainya. Hal ini ditetapkan
berdasar istihsan.Menuryt qiyas jali hak-hak tersebut tidak mungkin diperoleh, karena
mengqiyaskan waqaf itu dengan jual beli.Pada jual beli yang penting ialah pemindahan hak
milik dari penjual kepada pembeli.Bila waqaf diqiyaskan kepada jual beli, berarti yang
penting ialah hak milik itu.Sedang menurut istihsan hak tersebut diperoleh dengan
mengqiyaskan waqaf itu kepada sewa-menyewa.Pada sewa-menyewa yang penting ialah
pemindahan hak memperoleh manfaat dari pemilik barang kepada penyewa barang.Demikian
pula halnya dengan waqaf.Yang penting pada waqaf ialah agar barang yang diwaqafkan itu
dapat dimanfaatkan.Sebidang sawah hanya dapat dimanfaatkan jika memperoleh pengairan
yang baik. Jika waqaf itu diqiyaskan kepada jual beli (qiyas jali), maka tujuan waqaf tidak
akan tercapai, karena pada jual beli yang diutamakan pemindahan hak milik. Karena itu perlu
dicari ashalnya yang lain, yaitu sewa-menyewa. Kedua peristiwa ini ada persamaan ‘illatnya
yaitu mengutamakan manfaat barang atau harta, tetapi qiyasnya adalah qiyas khafi.Karena
ada suatu kepentingan, yaitu tercapainya tujuan waqaf, maka dilakukanlah perpindahan dari
qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

7
Contoh lain adalah mengenai sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang
burung gagak dan sebagainya adalah suci dan halal diminum. Hal ini ditetapkan dengan
istihsan. Menurut qiyas jali sisa minuman binatang buas, seperti anjing dan burung-burung
buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur
binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan
mulutnya, sehingga air liurnya masuk ke tempat minumnya.Menurut qiyas khafi bahwa
burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang huas.Mulut binatang buas terdiri
dari daging yang haram dimakan, sedang mulut burung buas merupakan paruh yang terdiri
atas tulang atau zat tanduk dan tulang atau zat tanduk bukan merupakan najis.Karena itu sisa
minum burung buas itu tidak bertemu dengan dagingnya yang haram dimakan, sebab diantara
oleh paruhnya, demikian pula air liurnya.Dalam hal ini keadaan yang tertentu yang ada pada
burung buas yang membedakannya dengan binatang buas.Berdasar keadaan inilah ditetapkan
perpindahan dari qiyas jali kepada qiyas khafi, yang disebut istihsan.

Contoh istihsan macam kedua: Syara’ melarang seseorang memperjualbelikan atau


mengadakan perjanjian tentang sesuatu barang yang belum ada wujudnya, pada saat jual beli
dilakukan.Hal ini berlaku untuk seluruh macam jual beli dan perjanjian yang disebut hukum
kuIIi. Tetapi syara’ memberikan rukhshah (keringanan) kepada pembelian barang dengan
kontan tetapi barangnya itu akan dikirim kemudian, sesuai dengan waktu yang telah
dijanjikan, atau dengan pembelian secara pesanan (salam). Keringanan yang demikian
diperlukan untuk memudahkan lalu-lintas perdagangan dan perjanjian. Pemberian rukhshah
kepada salam itu merupakan pengecualian (istitana) dari hukum kulli dengan menggunakan
hukum juz-i, karena keadaan memerlukan dan telah merupakan adat kebiasaan dalam
masyarakat.

Yang berpegang dengan dalil istihsan ialah Madzhab Hanafi, menurut mereka
istihsan sebenarnya semacam qiyas, yaitu memenangkan qiyas khafi atas qiyas jali atau
mengubah hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan
berdasar ketentuan umum kepada ketentuan khusus karena ada suatu kepentingan yang
membolehkannya. Menurut mereka jika dibolehkan menetapkan hukum berdasarkan qiyas
jali atau maslahat mursalah, tentulah melakukan istihsan karena kedua hal itu pada
hakekatnya adalah sama, hanya namanya saja yang berlainan. Disamping Madzhab Hanafi,
golongan lain yang menggunakan istihsan ialah sebagian Madzhab Maliki dan sebagian
Madzhab Hambali.

8
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah
Madzhab Syafi’i.Istihsan menurut mereka adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan
keinginan hawa nafsu. Imam Syafi’i berkata: “Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia
telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang
berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT.” Dalam buku Risalah Ushuliyah
karangan beliau, dinyatakan: “Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti
orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa
arah itu adalah arah Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk
menentukan arah Ka’bah itu.”

Jika diperhatikan alasan-alasan yang dikemukakan kedua pendapat itu serta


pengertian istihsan menurut mereka masing-masing, akan jelas bahwa istihsan menurut
pendapat Madzhab Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafi’i. Menurut
Madzhab Hanafi istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan
berdasarkan hawa nafsu, sedang menurut Madzhab Syafi’i, istihsan itu timbul karena rasa
kurang enak, kemudian pindah kepada rasa yang lebih enak. Seandainya istihsan itu
diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan pengertian yang disepakati, tentulah
perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-Syathibi dalam kitabnya Al-
Muwâfaqât menyatakan: “orang yang menetapkan hukum berdasarkan istihsan tidak boleh
berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi haruslah berdasarkan hal-hal yang
diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT menciptakan syara’ dan sesuai
pula dengan kaidah-kaidah syara’ yang umum”.

2.3 Sejarah metode Istihsan

Penggunaan Istihsan tidak ditegaskan secara eksplisit dan terperinci dalam nash al-
Qur’an ataupun al-Sunnah, tetapi hal ini tidak menjadikan aplikasinya tidak ditemukan pada
masa sahabat Rasulullah SAW maupun tabi’in. Dan akan ditemukan penggunaan Istihsan di
kalangan para sahabat dan tabi’in secara umum termasuk dan tercakup dalam penggunaan
logika di kalangan mereka.

Penggunaan logika sendiri dibenarkan kedudukannya oleh Rasulullah SAW, seperti


dalam hadits Mu’adz bin Jabal r.a. Hal ini yang menjadikan para sahabat kemudian
menjadikannya sebagai salah satu rujukan ijtihad mereka. Penggunaan logika (ra’yu) tentu
saja dengan pemahamannya yang luas, termasuk di dalamnya metode qiyas, Istihsan, Istishab,
Sadd adz-Dzarî’ah, dan al-Mashlahah al-Mursalah. Ini harus menunjukkan adanya
pemahaman yang luas berkaitan dengan maqashid Syarî’ah. Seperti yang dikatakan oleh
9
Umar bin al-Khaththab r.a. : “Jauhilah ra’yu! Karena sesungguhnya para pemakai ra’yu itu
adalah musuh-musuh Sunnah. Mereka tidak lagi mampu memahami hadits-hadits dan berat
bagi mereka untuk meriwayatkannya, maka mereka pun mendahulukan ra’yu atasnya.”[11]
Dibalik dari ucapan Umar bin al-Khaththab ini ada pemahaman yang jelas bahwa tidak semua
ra’yu itu tercela, selama ia berjalan di atas jalan Syariat.

DR. Sya’ban Muhammad Ismail memberikan contoh al-Musyarrakah dengan


menggunakan proses istinbath hukum istihsan di masa sahabat. Dalam masalah ini, sebagian
sahabat mengikutsertakan saudara kandung (seibu-sebapak) mayit bersama saudara seibunya
dalam memperoleh bagian sepertiga dari warisan. Ini terjadi jika seorang istri wafat dan
meninggalkan seorang suami, seorang ibu, 2 saudara seibu dan beberapa saudara sekandung.
[12]

Demikianlah hingga akhirnya di masa para imam mujtahid, kata istihsan menjadi
semakin sering didengar, terutama dari Imam Abu Hanifah. Dimana dalam banyak
kesempatan, kata istihsan sering disandingkan dengan qiyas. Sehingga sering dikatakan:
“Secara qiyas seharusnya demikian, namun kami menetapkan ini berdasarkan istihsan.” [13]

2.4 Macam-macam Istihsan

Para ulama yang mendukung penggunaan istihsan membagi istihsan dalam terbagi
menjadi: istihsan dengan nash, ijma’, dhorurat, qiyas khafî, ‘urf, dan mashlahah. [25]

1. Istihsan dengan nash. Maknanya adalah meninggalkan hukum berdasarkan qiyas dalam suatu
masalah menuju hukum lain yang berbeda yang ditetapkan oleh al-Qur’an atau al-Sunnah.

Diantara contohnya adalah:

Pertama: hukum wasiat, dalam prespektif qiyas maka wasiat tidak diperbolehkan,
karena hak kepemilikan tergantung pada waktu hilangnya kepemilikan (setelah
meninggalkanya orang yang berwasiat. Tetapi hal ini mendapat pengecualian dari nash:
[26]
Artinya: “sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya”.
Dan jika ada yang mengatakan: “hartaku ini aku sedekahkan”: hal ini jika memakai proses
qiyas menunjukkan keharusan mensedekahkan semua hartanya, tetapi jika memakai proses
istihsan maka menunjukkan membelanjakan hartanya dengan berzakat:

Artinya: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka”. [27]

10
Kedua: hukumnya orang yang lupa makan atau minum saat berpuasa, jika memakai
qiyas maka batal puasanya sebab ada sesuatu yang masuk ke lambung jika seseorang makan
atau minum. Tetapi ada pengecualian dari Rasulullah SAW:

َ‫س ًيا أ َ َك ََل َم ْن‬


ِ ‫صائِمَ َو ْه ََو نَا‬ َ ، ‫ّللاُ أ َ ْطعَ َم َهُ َف ِإنَ َما‬
َ ‫ص ْو َم َهُ فَ ْليُتِ ََم‬ ََ ‫سقَا َُه‬
َ ‫َو‬

Artinya: “barang siapa makan atau minum dalam keadaan lupa, maka wajib baginya
menyempurnakan puasanya, sesungguhnya Allah telah memberinya makan dan atau minum”.
[28]

2. Istihsan dengan ijma’. Maknanya adalah terjadinya sebuah ijma’ –baik yang sharih maupun
sukuti- terhadap sebuah hukum yang menyelisihi qiyas atau kaidah umum.

Di antara contohnya adalah masalah penggunaan kamar mandi umum (hammam)


tanpa adanya pembatasan waktu dan kadar air yang digunakan. Secara qiyas seharusnya hal
ini tidak dibenarkan, karena adanya ketidakjelasan (al-jahalah) dalam waktu dan kadar air.
Padahal para penggunanya tentu tidak sama satu dengan yang lain. Akan tetapi hal ini
dibolehkan atas dasar Istihsan pada ijma yang berjalan sepanjang zaman dan tempat yang
tidak mempersoalkan hal tersebut. [29]

3. Istihsan dengan ‘urf. Artinya meninggalkan apa yang menjadi konsekwensi qiyas menuju
hukum lain yang berbeda karena ‘urf yang umum berlaku –baik ‘urf yang bersifat perkataan
maupun perbuatan. Salah satu contoh Istihsan dengan ‘urf yang bersifat yang berupa
perkataan adalah jika seseorang bersumpah untuk tidak masuk ke dalam rumah manapun, lalu
ternyata ia masuk ke dalam mesjid, maka dalam kasus ini ia tidak dianggap telah melanggar
sumpahnya, meskipun Allah menyebut mesjid dengan sebutan rumah (al-bait) dalam firmal-
Nya:

Artinya: “Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang telah diperintahkan untuk


dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang”. [30]

Namun ‘urf yang berlaku di tengah masyarakat menunjukkan bahwa penyebutan kata
“rumah” (al-bait) secara mutlak tidak pernah digunakan untuk mesjid. Itulah sebabnya, orang
yang bersumpah tersebut tidak menjadi batal sumpahnya jika ia masuk ke dalam mesjid. [31]

4. Istihsan dengan dhorurat. yakni seorang mujtahid melihat ada suatu kedaruratan atau
kemaslahatan yang menyebabkan ia meninggalkan qiyas, demi memenuhi hajat yang darurat
itu atau mencegah kemudharatan.
11
Salah satu contohnya adalah ketika para ulama mengatakan bahwa seorang yang
berpuasa tidak dapat dikatakan telah batal puasanya jika ia menelan sesuatu yang sangat sulit
untuk dihindari; seperti debu dan asap. Maka jika benda-benda semacam ini masuk ke dalam
tenggorokan orang yang berpuasa, puasanya tetap sah dan tidak menjadi batal karena hal
tersebut. Dan ini dilandaskan pada istihsan dengan kondisi darurat (sulitnya menghindari
benda semacam itu), padahal secara qiyas seharusnya benda apapun yang masuk ke dalam
tenggorokan orang yang berpuasa, maka itu membatalkan puasanya. [32]

5. Istihsan dengan Qiyas Khafi. yakni seorang mujtahid melihat ada suatu kemaslahatan yang
menyebabkan ia meninggalkan qiyas jalî untuk mengunggulkan qiyas khafî.

Penggunaannya berkebalikan dengan qiyas jali, seperti wakaf tanah pertanian,


menurut qiyas jali: wakaf ini menyerupai akad penjualan perumahan dalam kepemilikan
penuh, maka termasuk didalamnya ini hak untuk tidak dilewati, dibuat jalan, istirahat minum
dan sebagainya. Sedangkan apabila menggunakan qiyas khafi: maka wakaf ini menyerupai
akad sewa, sehingga termasuk didalamnya masih ada hak untuk dilewati, dibuat jalan,
istirahat minum dan sebagainya.

6. Istihsan dengan mashlahah. Yakni jika ditemukan kemashlahatan yang berada dalam sebuah
permasalahan. Seperti wasiat yang dilakukan oleh mahjûr (orang yang dicegah atau larang
untuk membelanjakan hartanya). Menurut qiyas maka wasiat ini tidak diperbolehkan, karena
termasuk mendiamkan hartanya. Tetapi menurut kemashlahatan diperbolehkan adanya wasiat.
Karena wasiat jatuh saat orang yang mewasiatkan meninggal dunia. Hal ini untuk
memberikan kesempatan pada dia untuk mendapatkan pahala wasiat, tetapi meniadakan
kedhoruratan saat hidupnya.

2.5 Kedudukan Istihsan

Penggunaan istihsan sebagai proses istinbath hukum menjadi masalah yang


diperselisihkan oleh para ulama. Berikut ini adalah kedudukan istihsan:

Pendapat pertama, menurut ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Hanabilah bahwa


[14]
istihsan dianggap sebagai proses istinbath hukum dan merupakan hujjah (dalil). Dasar
hukumnya adalah:

Pertama: Firman Allah SWT

12
Artinya: “Dan ikutilah Sebaik-baik apa yang telah diturunkan kepadamu dari
Tuhanmu”.[15]

Ayat ini menunjukkan bahwa Allah memerintahkan kita untuk mengikuti yang
terbaik, dan perintah menunjukkan bahwa ia adalah wajib. Dan di sini tidak ada hal lain yang
memalingkan perintah ini dari hukum wajib. Maka ini menunjukkan bahwa istihsan adalah
hujjah. [16]

Dan firman Allah SWT

Artinya: “Dan orang-orang yang menjauhi Thaghut (yaitu) tidak menyembah- nya
dan kembali kepada Allah, bagi mereka berita gembira; sebab itu sampaikanlah berita itu
kepada hamba- hamba-Ku, Yang mendengarkan Perkataan lalu mengikuti apa yang paling
baik di antaranya” [17]

Ayat ini menegaskan pujian Allah bagi hambaNya yang memilih dan mengikuti
perkataan yang terbaik, dan pujian tentu tidak ditujukan kecuali untuk sesuatu yang
disyariatkan oleh Allah.[18]

Kedua: Hadits Nabi SAW

‫س ِل ُمونََ َرأَى فَ َما‬ َ ‫ّللاِ ِع ْن ََد فَ ُه ََو َح‬


ْ ‫س ًنا ا ْل ُم‬ َ ‫س ِيئ ًا َرأ َ ْوا َو َما َح‬
ََ َ‫سن‬ َ ‫ّللاِ ِع ْن ََد فَ ُه ََو‬
ََ َ‫س ِيئ‬
َ

Artinya: “Apa yang dipandang kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka ia di
sisi Allah adalah baik.” [19]

Hadits ini menunjukkan bahwa apa yang dipandang baik oleh kaum muslimin dengan
akal-sehat mereka, maka ia pun demikian di sisi Allah. Ini menunjukkan kehujjahan istihsan.

Ketiga: Ijma’

Mereka mengatakan bahwa para ulama telah berijma’ dalam beberapa masalah yang
dilandasi oleh istihsan, seperti: Diperbolehkannya masuk ke dalam kolam renang tanpa ada
penetapan harga tertentu, penggantian air yang digunakan dan jangka waktu pemakaiannya.
[20]

13
Pendapat kedua, menurut ulama Syafi’iyahَ danَ Zhahiriyah bahwa istihsan tidak
[21]
dapat dijadikan proses istinbath hukum dan bukan merupakan hujjah (dalil). Dasar
hukumnya adalah:

Pertama: Firman Allah:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan
ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya)”. [22]

Ayat ini menunjukkan adanya kewajiban kembali kepada dalil nash al-Qur’an dan al-
Sunnah dalam menyelesaikan suatu masalah, dan istihsan tidak dianggap sebagai proses
merujuk kepada dalil nash al-Qur’an dan al-Sunnah. Dengan demikian, istihsan tidak dapat
dijadikan sebagai proses istinbath hukum. [23]

Ibn Hazm menyatakan: “Para sahabat telah berijma’ untuk tidak menggunakan ra’yu,
termasuk di dalamnya Istihsan dan qiyas. Umar bin al-Khathab radhiyallahu ‘anhu
mengatakan: ‘Jauhilah para pengguna ra’yu! Karena mereka adalah musuh-musuh Sunnah.’
..”.[24]

Para Jumhur ulama’ berbeda pendapat tentang kehujjahan istihsan, antara lain:

a. Jumhur ulama’ menolak berjhujjah dengan istihsan, sebab berhujjah dengan istihsan
berarti menetapkan hukum berdasarkan hawa nafsu;

b. golongan Hanafiyah membolehkan berhujjah dengan istihsan. Menurut mereka,


berhujjah dengan istihsan hanyalah berdalilkan Qiyas Khofy yang dikuatkan terhadap
Qiyas Jaly atau menguatkan satu Qiyas terhadap Qiyas lain yang bertentangan
dengannya berdasarkan dalil yang menghendaki penguatan itu. Atau berdalilkan
maslahat untuk mengecualikan sebagian dari hukum kully.

c. golongan Syafi’iyyah istihsan dengan alasan bahwa:

‫شرع فقد استحسن من‬

Artinya: “Barangsiapa yang berpegang kepada istihsan sesunggunya dia telah


membuat syariah (hokum)”.

14
Imam Syafi’I berpendapat bahwa berpegang kepada istihsan berarti memberi
peluang kepda orang-orang yang bukan ulama’ untuk membuat rumusan-rumusan
baru dalam syari’ah berdasarkan pertimbangan masing-masing.

2.6 AlasanَUlama’َYangَTidakَBerhujjahَDenganَIstihsan

Sanggahan Imam Syafi’i terhadap Istihsan. Imam Syafi’i membatalkan dalil Istihsan,
karena itu beliau menulis dalam pasal tersendiri dalam kitabnya Al-Umm dengan judul “ Ibthalul
Istihsan” (pembatalan dalil istihsan).

1. Syari’at adalah nash dan kandungan nash (acuan kepada nash) melalui qiyas.

2. Banyak ayat yang memerintahkan agar taat kepada Allah dan Rasul-Nya, melarang
mengikuti hawa nafsu dan memerintahkan ketika terjadi pertentangan agar kembali kepada
kitabullah.

ْ ‫سو َل َوأ ُ ْو ِلي األ َ ْم ِر ِمن ُك ْم فَإِن تَنَازَ ْعت ُ ْم ِفي ش‬


‫َيءٍ فَ ُردُّوهُ ِإلَى‬ َّ ْ‫ّللاَ َوأ َ ِطيعُوا‬
ُ ‫الر‬ ‫َيا أَيُّ َها َّالذِينَ آ َمنُواْ أ َ ِطيعُواْ ه‬
59 :‫ النساء‬- ‫سو ِل‬
ُ ‫الر‬
َّ ‫ّللاِ َو‬
‫ه‬

3. Nabi Muhammad tidak pernah memberikan fatwa dengan jalan istihsan.

4. Nabi Muhammad tidak berkenan terhadap sahabat yang pergi ke daerah lain dan memberi
fatwa dengan jalan istihsan. Beliau mengecam perbuatan sebagian sahabat yang membakar
seorang musyrik yang berlindung di sebuah pohon.

5. Istihsan tidak memiliki batasan yang jelas, tidak pula memiliki kriteria yang bisa dijadikan
standar untuk membedakan antara haq dan bathil, sebagaimana halnya qiyas.

6. Seandainya istihsan boleh dipakai oleh seorang mujtahid, sementara ia tidak berpegang pada
nash atau mengacu pada nash, tetapi berpegang pada akal semata, niscaya istihsan boleh
dilakukan oleh orang yang tidak memehami Al-Qur’an dan Hadits.

15
BAB III
Penutup

3.1 Kesimpulan

Istihsan adalah salah satu metode istinbath hukum dengan menggunakan ra’yu telah
ditemukan bibit-bibit awalnya di masa sahabat Nabi SAW. Bahwa istihsan sesungguhnya
dapat dikatakan mewakili sisi kemudahan yang diberikan oleh Islam melalui syariatnya,
terutama istihsan yang dikaitkan dengan kondisi kedaruratan dan ‘urf. Lafazh Istihsan adalah
lafaz yang bersifat mujmal (universal), sehingga tidak boleh menetapkan hukum secara sah
atau batal berdasarkan istihsan dalam artian umum (bahasa). Sebuah konsep penalaran dalam
rangka penggunaan rasio secara lebih luas untuk menggali dan menemukan hukum sesuatu
kejadian yang tidak ditetapkan hokum dari sumber syariah yang tersurat (nash) atau sumber
hukum yang dipersamakan dengan qiyas dan dengan sandaran yang kuat. Penggunaan
istihsan dikalangan ulama yang menggunakanya sebagai sumber hukum hanya dalam arti
yang benar. Pengingkaran dan penolakan istihsan sebagai sumber hukum Islam dikalangan
ulama yang menolaknya adalah dalam arti/ makna yang batil. Yaitu hanya menggunakan akal
semata.

Istihan digunakan sebagai sumber hukum kelima menurut Mazhab Hanafi dan
Mazhab Imam Maliki. Istihsan adalah sumber hukum yang banyak dipakai dalam terminologi
dan istinbath hukum oleh dua Imam Madzhab, yaitu Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.
Bahkan Imam Malik menilai pemakaian istihsan merambah 90 % dari seluruh Ilmu Fiqh.

Imam Ibnu Araby membuat definisi hampir sama dengan Hanafy, yaitu “ Istihsan
adalah memilih meninggalkan dalil, dan mengambil rukhsoh dengan hukum sebaliknya,
karena dalil itu berlawanan dengan dalil lain pada sebagian kasus tertentu”

3.2 Kritik dan Saran

Demikian makalah yang kami buat, semoga dapat bermanfaat bagi pembaca. Apabila ada
saran dan kritik yang ingin di sampaikan, silahkan sampaikan kepada kami.

Apabila ada terdapat kesalahan mohon dapat mema'afkan dan memakluminya, karena kami
adalah hamba Allah yang tak luput dari salah khilaf, Alfa dan lupa.

Wabillah Taufik Walhidayah. Wassalamu'alaikum Wr. Wb.

16
Daftar Pustaka

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya Surabaya: PT Mahkota, 2004 M.

Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah al-Syaibanî, Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo: Muassasah
Qurtubah, tt.).

Amidy, Ali bin Muhammad al-, Al-Ihkam fî Ushûl al-Ahkam (Beirut: Dar Al-Kutub al-
‘Arabi, 1984).

Bukhari, Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-, Shahih Bukhari (Beirut: Dar Ibn Katsîr,
1407).

Ibn al-Qayyim, Muhammad bin Abu Bakar al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-Muwaqqi’în
‘an Rabb al-‘Alamîn (Beirut: Dar al-Jail, tt.).

Ibn Hazm, Muhammad bin Muhammad al-Zhahirî, Al-Ihkam fi Ushûl al-Ahkam (Beirut: Dar
al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.).

Ibn Manzhur, Muhammad bin Mukrim, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Shadr, tt.).

Ibn Qudamah Abdullah bin Ahmad al-Muqaddasi, Raudhah al-Nazhir wa Jannat al-Munazhir
(Riyadl: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399).

Ibn Taimiyyah, Ahmad bin Abdul Halîm, Majmû’ al-Fatawa (Mekkah: Maktabah al-Nahdlah
al-Hadîts, 1404).

Jîzani, Muhammad bin Husain Bin Hasan al-, Ma’alim Ushûl al-Fiqh. (Madinah: Abu
Mahnadh al-Najdî, 1427).

Jurjani, Ali bin Muhammad bin Ali al-, Al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1405).

Muslim Abu Husain, Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih Muslim (Kairo: Dar Ali al-
Kutub, 1996).

Razi, Muhammad bin ‘Umar Abu Abdullah al-, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr, 1981).

Qarafî, Ahmad bin Idrîs bin Abdurrahman al-Shonhajî Syihabuddîn al-, Nafais al-Ushûl fi
Syarh al-Mahshûl (Arab Saudi: Maktabah Nazzar Musthofa al-Baz, 1998).

17
Syatibi, Ibrahîm bin Mûsa Abu Ishaq al-, Al-Muwafaqat fî Ushûl al-Syarî’ah (Mesir:
Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, tt.).

Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar (Kairo: Dar al-Kitab al-Jami’iy, 1415).

Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1999).

[1]
Ali bin Muhammad bin Ali al-Jurjani, Al-Ta’rifat (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1405),
hlm., 4. lihat: Muhammad bin Mukrim Ibn Manzhur, Lisan al-‘Arab (Beirut: Dar Shadr, tt.), Juz XIII,
hlm., 117.

[2]
Abdullah bin Ahmad bin Qudamah al-Muqaddasi, Raudhah al-Nazhir wa Jannat al-
Munazhir (Riyadl: Universitas Muhammad bin Sa’ûd, 1399), hlm., 162.

[3]
Ahmad bin Abdul Halîm Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatawa (Mekkah: Maktabah al-
Nahdlah al-Hadîts, 1404), Juz IV, hlm., 46.

[4]
Ibrahîm bin Mûsa Abu Ishaq al-Syatibi, Al-Muwafaqat fî Ushûl al-Syarî’ah (Mesir:
Maktabah al-Tijariyah al-Kubro, tt.), Juz IV, hlm., 205.

[5]
Ahmad bin Idrîs bin Abdurrahman al-Shonhajî Syihabuddîn al-Qarafî, Nafais al-Ushûl fi
Syarh al-Mahshûl (Arab Saudi: Maktabah Nazzar Musthofa al-Baz, 1998), Juz IX, hlm., 4126.

[6]
Ali bin Muhammad al-Amidy, Al-Ihkam fî Ushûl al-Ahkam (Beirut: Dar Al-Kutub al-
‘Arabi, 1984), Juz IV, hlm., 57.

[7]
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat, Juz IV, hlm., 208.

[8]
Ibn Qudamah, Raudhah al-Nazhir, Juz I, hlm., 163.

[9]
Muhammad bin Husain Bin Hasan al-Jîzani, Ma’alim Ushûl al-Fiqh. (Madinah: Abu
Mahnadh al-Najdî, 1427), hlm., 224.

[10]
Ibn Qudamah, Raudhah al-Nazhir, Juz I, hlm., 167.

18
[11]
Muhammad bin Abu Bakar bin al-Qayyim al-Jauziyah Abu Abdullah, I’lam al-
Muwaqqi’în ‘an Rabb al-‘Alamîn (Beirut: Dar al-Jail, tt.), Juz I, hlm., 55.

[12]
Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar (Kairo: Dar al-Kitab al-Jami’iy,
1415), Juz II, hlm., 29-31.

[13]
Ibid, Juz II, hlm., 48-50.

[14]
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat, Juz IV, hlm., 209. lihat: Ibn Qudamah, Raudhah al-Nazhir, Juz
I, hlm., 167.

[15]
Surat al-Zumar: 55.

[16]
Muhammad bin ‘Umar Abu Abdullah al-Razi, Mafatih al-Ghaib (Beirut: Dar al-Fikr,
1981), Juz VII, hlm., 246.

[17]
Surat al-Zumar: 17-18.

[18]
Ibn Qudamah, Raudhah al-Nazhir, Juz I, hlm., 167.

[19]
Ahmad bin Hanbal Abu Abdullah al-Syaibanî, Musnad Ahmad bin Hanbal (Kairo:
Muassasah Qurtubah, tt.), Juz I, hlm. 379.

[20]
Ibn Taimiyyah, Majmû’ al-Fatawa, Juz IV, hlm., 46.

[21]
Muhammad bin Muhammad bin Hazm al-Zhahirî, Al-Ihkam fi Ushûl al-Ahkam (Beirut:
Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, tt.), Juz VII, hlm., 975.

[22]
Surat al-Nisa’: 59.

[23]
Ibn Hazm, Al-Ihkam fi Ushûl al-Ahkam, Juz VII, hlm., 977.

[24]
Ibid, Juz V, hlm., 759.

[25]
Wahbah Zuhaili, Al-Wajîz fi Ushûl al-Fiqh (Beirut: Dar al-Fikr, 1999), hlm., 86-90.

[26]
Surat al-Nisa’: 12.

[27]
Surat al-Taubah: 103.

19
[28]
Muhammad bin Isma’il Abu Abdullah al-Bukhari, Shahih Bukhari (Beirut: Dar Ibn
Katsîr, 1407), Juz VII, hlm., 233. Muslim Abu Husain, Hajjaj al-Qusyairy al-Naisabury, Shahih
Muslim (Kairo: Dar Ali al-Kutub, 1996), Juz VII, hlm., 285.

[29]
Sya’ban Muhammad Isma’il, Ushul Fiqh al-Muyassar, Juz II, hlm., 82.

[30]
Surat al-Nûr: 36.

[31]
Al-Syatibi, Al-Muwafaqat, Juz IV, hlm., 117.

[32]
Ibid, Juz II, hlm., 85.

20

Anda mungkin juga menyukai