Anda di halaman 1dari 9

BAB I

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, kami telah dapat menyelesaikan tugas makalah pada pembahasan ini.
Tak lupa kami panjatkan syukur kepada Allah swt.yang telah memberikan kita semua nikmat,
sehingga kita dapat berkumpul kembali pada kesempatan ini di tempat yang sama yakni pada
mata kuliah Tarikh Tasyri dengan dosen pembimbing kita Bapak Drs. Ghufron Ihsan, MA.

Shalawat dan salam tak lupa pula kami hanturkan kepada Nabi Muhammad saw.yang
telah membawa umat manusia ke zaman yang sangat canggih terlepas dari zaman
kejahiliyahan. Serta keluarga dan para sahabat yang ikut memperjuangkan Islam, semoga
Allah swt.meridhoi mereka.

Kami menyadari bahwa makalah kami pasti ada kekurangan karna ibarat pepatah “Tak
ada gading yang tak retak” maka kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun untuk tulisan-tulisan kami yang akan dating.

Akhir kata, kami mohon maaf atas segala kekurangan dalam penulisan makalah ini.

Robbi Zidni Ilman war Zuqni Fahma

Jakarta, Maret 2009

Pemakalah

 Tarikh_Tasyri
-
PENDAHULUAN

Telah kita ketahui bahwa periodisasi pembentukan hukum Islam dalam sejarah tasyri ini
telah mengalami 4 periode;

1. Periode Rasulullah saw.


2. Periode Kibaru Sahabat
3. Periode Tadwin/Kodifikasi
4. Periode taklid

Setelah kita mengetahui bagaimana periode pertumbuhan dan pembentukan hukum


Islam yang berlangsung pada periode Rasulullah saw. Selama kurang lebih 22 tahun beberapa
bulan, maka pada makalah kali ini kita membahas periode selanjutnya yakni pada periode
kibarus sahabat.

Yaitu merupakan periode penjelasan pencerahan dan penyempurnaan yang berlangsung


sekitar tahun 11 H/623 M sampai akhir abad pertama 101 H/720 M.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai periode kibarus sahabat, mari sama-sama kita
simak pembahasan di bawah ini.

 Tarikh_Tasyri
-
BAB II

PEMBAHASAN

Periode tasyri yang pertama adalah periode Rasulullah saw.yang telah mewariskan
kepada umat Islam dua hal besar sebagai suatu undang-undang yang produknya dari teks-teks
hukum dalam al-Qur’an dan sunnah. Namun, tidak setiap muslim secara individu mampu
merujukkan seluruh persoalannya kepada materi undang-undang pokok tersebut bahkan tidak
sanggup memahami hukum-hukum yang ditunjuki nas-nas itu.

Setelah wafatnya Rasulullah saw.ini, para sahabat memikul beban perjuangan Islam.
Mereka menghadapi tugas yang sulit dan perkara-perkara yang belum pernah muncul pada
zaman Rasulullah saw.peristiwa dan kejadian itu semua membuat mereka sibuk untuk
mencari penyelesaian hukum-hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah. Tampak jelas bahwa
kedua produk tersebut belum menetapkan hukum masalah-masalah yang melanda kaum
muslim itu.1

Periode sahabat dimulai sejak wafatnya Rasulullah saw. Periode ini disebut periode
sahabat sebab kekuasaan perundang-undangan yang dimotori oleh para tokoh sahabat. Pada
periode ini telah terjadi interpretasi terhadap undang-undang (tasyri) dan terbukanya pintu-
pintu pengkajian hukum terhadap peristiwa yang tidak ada ketetapan hukumnya secara jelas.
Dan tokoh-tokoh sahabat memunculkan banyak persepsi dalam menginterpretasi teks-teks
hukum dalam al-Qur’an dan sunnah yang merupakan bahan referensi pandangan yuridis bagi
penafsiran. Dari para sahabat inilah timbul fatwa-fatwa hukum dalam berbagai problema
yang tidak ada ketetapan nasnya secara jelas yang kemudian dianggap sebagai dasar dalam
berijtihad dan mengistimbat suatu hukum.

Setelah Nabi Muhammad wafat, telah terpilih Abu Bakar sebagai pengganti Nabi
Muhammad memimpin umat Islam. Ia kemudian digantikan Umar bin Khattab, lalu
diganti oleh Usman bin Affan, dan pengganti selanjutnya adalah Ali bin Abi Thalib.
Keempatnya dikenal dengan nama Khulafaur Rasyidin.

Sumber Hukum pada Periode Sahabat

1
Syekh Muhammad Ali As-sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam,
Jakarta : Akademika Presindo, 1996, hlm. 58

 Tarikh_Tasyri
-
1. al-Qur’an
2. Sunnah
3. Ijtihad sahabat

Apabila terjadi suatu peristiwa yang baru atau persengketaan, maka para ahli fatwa
mencari ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an. Apabila mereka mendapatkan ketetapan
hukumnya di dalam nas al-Qur’an itu, maka mereka menerapkan hukum tersebut. Akan
tetapi, apabila mereka tidak mendapatkan ketetapan hukumnya dalam al-Qur’an, maka
mereka mencari keterangan dalam sunnah. Dan kalau keterangan tentang ketetapan
hukumnya terdapat dalam sunnah, maka mereka melaksanakan hukum itu.

Selanjutnya kalau mereka tidak mendapatkan keterangan tentang ketetapan hukumnya


dalam al-Qur’an dan sunnah, maka mereka menempuh langkah dengan kekuatan ijtihad
untuk menetapkan hukumnya dengan cara menganalogikan terhadap peristiwa yang baru
terjadi itu dengan peristiwa yang sudah ada ketetapan hukumnya atau dengan sesuatu yang
dikehendaki oleh jiwa dan semangat tasyri’ Islam serta berdasar pada pertimbangan
kemaslahatan umat manusia.

 Al-Qur’an

Pada masa Rasulullah saw.al-Qur’an belum dikumpulkan dalam satu naskah


sebagaimana sekarang ini. Setelah khalifah Abu bakar memimpin pemerintahan dan terjadi
perang Yamamah2 yang menewaskan banyak para qurra, kemudian Umar mengusulkan
padanya untuk mengumpulkan al-Qur’an dalam satu mushaf lantaran khawatir hilang dengan
meninggalnya para qurra tersebut. Setelah itu Abu Bakar memanggil Zaid bin Tsabit agar
mengumpulkan al-Qur’an, maka kemudian Zaid bin Tsabit pun melaksanakannya.

Kemudian al-Qur’an yang telah dibukukan dalam satu mushaf itu disimpan di rumah
Abu Bakar sampai ia meninggal dunia. Kemudian di rumah Umar sampai ia meninggal
dunia, dan setelah itu di rumah Hafsah putri Umar.

Al-qur’an adalah rujukan pertama bagi para mufti (Ahli Fatwa). Apabila terjadi suatu
masalah, mereka cepat-cepat mencari hukumnya dalam al-Qur’an yang merupakan sumber
syariat. Para sahabat adalah orang-orang yang lebih mampu memahami al-Qur’an karena

2
Perang Yamamah adalah perang antara kaum muslimin dengan Bani Hunaifah yang
keluar dari Islam di bawah pimpinan Musailamah al-Kadzab

 Tarikh_Tasyri
-
diturunkan dengan bahasa mereka, dan mereka mengetahui sebab-sebab turunnya. Namun,
dengan demikian maka para sahabat tidaklah sama dalam memahaminya sesuai dengan
tingkat pemahaman yang dimilikinya. Pengetahuan mereka dalam ilmu kebahasaan berbeda-
beda. Dari sini dapat diketahui bahwa sahabat dalam derajat keilmuan tidaklah sama.

Pengaruh tasyri pada kodifikasi ini adalah bahwa pengutipan ayat-ayat yang berdimensi
hukum dalam al-Qur’an adalah mutawattir baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Artinya
semua ayat al-Qur’an itu berstatus qath’iyah al-wurud (pasti benar eksistensinya). Dari segi
ini tidak ada perbedaan pendapat di kalangan umat Islam.

 Sunnah

Para sahabat apabila tidak menemukan hukum suatu kasus atau peristiwa yang baru
terjadi di dalam al-Qur’an, mereka beralih kepada sunnah dalam mencari hukum tersebut.
Ketika itu sunnah belum dibukukan, tapi hanya tersimpan dalam dada para sahabat.

Tidak diragukan lagi bahwa sunnah apabila shahih dan valid adalah datang dari
Rasulullah saw.ia harus diambil dan diamalkan sesuai dengan peranannya. Tetapi hadis-hadis
yang diperselisihkan mengenai cara penetapannya, beragam sanadnya, diriwayatkan
sekelompok orang banyak atau diriwayatkan oleh sedikit orang saja, diriwayatkan oleh orang
yang terpercaya atau perawi yang cacat, adalah memerlukan pembagian hadis-hadis tersebut
kepada: shahih, hasan, dhaif, dan pembagiannya kepada mutawatir dan ahad. Karenanya para
sahabat berselisih dalam penerimaannya.

Abu Bakar dan Umar tidak menerima hadis-hadis kecuali yang disaksikan dua orang
bahwa mereka berdua mendengarnya dari Rasulullah. Lain halnya dengan Ali bin Abu
Thalib, ia meminta sumpah dari orang yang meriwayatkan hadis kecuali terhadap Abu Bakar.

Kadangkala seorang sahabat menolak hadis dan tidak mengamalkannya, baik itu karena
menganggap lemah kepercayaan si perawi, karena ia mengetahui yang menasakhnya atau
karena pertentangannya dengan hadis yang lebih kuat menurut pendapatnya.

 Ijtihad

Dalam menghadapi perkembangan kehidupan, dengan berbagai persoalan yang


memerlukan penetapan hukum, namun tidak terdapat dalam Al Quran dan Sunnah, para

 Tarikh_Tasyri
-
sahabat melakukan ijtihad. Ada beberapa sahabat yang menentukan langkah-langkah dalam
berijtihad (Abu Bakar dan Umar). Pada periode ini ijtihad sahabat belum dibukukan.

Nilai fatwa mereka adalah sebagai pendapat individu yang kalau fatwanya benar, maka
ia datangnya dari Allah. Sedang kalau salah, itu merupakan kesalahan sendiri. Oleh karena
itu, tak seorang pun di antara mereka mengharuskan orang lain untuk mengikuti fatwanya.
Seringkali Umar berbeda pendapat dengan Abu Bakar. Argumentasi mereka mengindikasikan
atas adanya kebebasan dan indefedensi mereka dalam menari kemaslahatan dan mencegah
kerusakan.

Mereka berijtihad dengan bermodalkan pada bakat kemampuan dan penguasaan tentang
tasyri yang ada pada diri mereka. Mereka berijtihad dengan tetap memperhatikan dan
mempertimbangkan prinsip-prinsip hukum yang umum. Terkadang mereka juga
menganalogikan sesuatu yang tidak ada ketetapan hukumnya dalam nas kepada sesuatu yang
telah ada ketetapan hukumnya dalam nas. Demikian juga mereka menetapkan hukum dengan
pertimbangan kemaslahatan.

Pengaruh Tasyri’ yang Diwariskan Periode Sahabat

1. adanya interpretasi terhadap teks-teks yang berdimensi hukum dalam al-Qur’an dan
sunnah. Para sahabat memberikan interpretasi terhadap teks-teks (ayat-ayat hokum dan
hadis-hadis hukum) tersebut dalam rangka aktualisasinya pada kehidupan yang realitas.
Dengan demikian, interpretasi para sahabat inilah yang kemudian menjadi rujukan atau
acuan utama yang terpercaya dalam menafsirkan ayat-ayat dan hadis-hadis yang
berdimensi hukum, baik secara globalnya maupun dalam hal aktualitasnya dalam
kehidupan secara riil. Dapat kita lihat dalam tafsir Ibnu Abbas (68 H/689 M) dan tafsir
Muhammad Ibnu Jarir al-Thabariy (310 H/923 M).
2. adanya berbagai fatwa para sahabat mengenai suatu kejadian yang tidak ada ketetapan
hukumnya dalam al-Qur’an dan sunnah. Mereka berijtihad menetapkan hukumnya
dengan menggunakan metode istimbath al-ahkam. Dengan demikian pada awal periode
kodifikasi hadis, sebagian tokoh hadis membukukan fatwa-fatwa sahabat dalam berbagai
macam bab hukum bersama-sama dengan hadis Rasulullah saw. Berdalil dengan dasar
fatwa-fatwa para sahabat ini masih menjadi gelanggang perdebatan di kalangan imam
mujtahid, di antara mereka ada yang berani keluarkan dari fatwa-fatwa mereka, dan
sebagian lainnya ada juga yang berani berbeda pendapat dengan mereka.

 Tarikh_Tasyri
-
3. lahirnya partai politik yang berkaitan dengan persoalan khilafah dan khalifah yang
kemudian sangat berpengaruh pada proses pembentukan hokum dalam Islam. Partai
politik ini lahir setelah terbunuhnya khalifah Usman bin Affan (35 H/656 M) dan
dilantiknya Ali bin Abi Thalib menjadi khalifah (35 H/656 M). Dengan terpilihnya Ali bin
Abi Thalib menjadi khalifah mendapat tentangan keras dari Muawiyah bin Abi Sufyan
(w.60 H/665 M) gubernur Syam. Pertentangan mereka berpuncak pada perang Shiffin.
Perang Shiffin ini berakhir dengan diadakannya tahkim atau arbitrase. Konsekuensi dari
perang tersebut melahirkan tiga kelompok dan golongan di tubuh umat Islam, yaitu
Khawarij, Syiah dan ahl-Al-Sunnah wa al-Jama’ah yang kuantitasnya merupakan
mayoritas umat Islam.

Para Mufti yang Populer dari Kalangan Sahabat

Di Madinah:

1. Khulafaur Rasyidin (13 H-40 H/634 M-661 M)


2. Zaid bin Tsabit (45 H/666 M)
3. Ubay bin Ka’ab (21 H/642 M)
4. Abdullah bin Umar (73 H/694 M)
5. Aisyah (57 H/678 M)

Di Mekkah:

1. Abdullah bin Abbas (68 H/689 M)

Di Kuffah

1. Ali bin Abi Thalib (40 H/661 M)


2. Abdullah bin Mas’ud (32 H/653 M)

Di Bashrah

1. Anas bin Malik (93 H/714 M)


2. Abu Musa al-Asy’ary (44 H/665 M)

 Tarikh_Tasyri
-
Di Syam/Syiria

1. Muadz bin Jabal (18 H/639 M)


2. Ubbadah bin Shamit (34 H/655 M)

Di Mesir

1. Abdullah bin Amr bin Ash (65 H/686 M)

Sahabat yang terkenal aktif dalam fatwanya berjumlah sekitar 130 orang yang terdiri
atas laki-laki dan perempuan. Namun, yang lebih populer di antara mereka adalah yang
disebutkan nama-namanya di atas tadi.

BAB III

PENUTUP

 Tarikh_Tasyri
-
Masa al-Khulafa’ ar-Rasyidin (Empat Khalifah Besar) sampai pertengahan abad ke-l H.
Pada zaman Rasulullah SAW para sahabat dalam menghadapi berbagai masalah yang
menyangkut hukum senantiasa bertanya kepada Rasulullah SAW. setelah ia wafat, rujukan
untuk tempat bertanya tidak ada lagi. Oleh sebab itu, para sahabat besar melihat bahwa perlu
dilakukan ijtihad apabila hukum untuk suatu persoalan yang muncul dalam masyara’at tidak
ditemukan di dalam Al-Qur’an atau sunnah Rasulullah SAW. Ditambah lagi, bertambah
luasnya wilayah kekuasaan Islam membuat persoalan hukum semakin berkembang karena
perbedaan budaya di masing-masing daerah.

Sumber ijtihad pada periode ini ada tiga yaitu : (1) al-Qur’an, (2) sunnah, (3) dan ijtihad
sahabat.

DAFTAR PUSTAKA

As-Sayis, Muhammad Ali. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam. Jakarta:
Akademika Presindo. 1996

Khallaf, Abdul Wahab. Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam. Jakarta:
Rajawali Pers. 2002

 Tarikh_Tasyri
-

Anda mungkin juga menyukai