Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH

TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP SYIQAQ

DISUSUN OLEH :

NAMA : MUAMMAR ZAMZAMY (2012020016)

PRODI : HUKUM EKONOMI SYARIAH

SEMESTER : III

MATA KULIAH : FIQH MUNAKAHAT

DOSEN PENGAMPU : MUHAJIR, S,Ag.L.L.M

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)

TAHUN AKADEMIK 2021/2022


KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-
Nya tentu penulis tidak akan sanggup untuk meyelesaikan makalah ini dengan
baik. Shalawat dan salam semoga terlimpah curahan kepada baginda tercinta kita
yaitu Nabi besar Muhammad SAW yang kita nanti-nanti syahfa’atnya di akhirat
nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan rahmat-
Nya kita diberikan sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis dapat
menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas mata kuliah fiqh munakahat
dengan judul ‘Tinjauan Hukum Islam Terhadap Syiqaq”.
Penulis tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna
dan masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan di dalamnya. Untuk itu
penulis mengharapkan kritik serta sasran dari pembaca untuk makalh ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang baik lagi. Kemudian apabila
banyak terdapat kesalahan pada makalah ini penulis mohon maaf yang sebesar-
besarnya.

Langsa, 18 Desember 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................................... i


BAB I................................................................................................................................ ii
PENDAHULUAN............................................................................................................ 1
A. Latar Belakang .................................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah ............................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan................................................................................................. 1
BAB II .............................................................................................................................. 2
PEMBAHASAN .............................................................................................................. 2
A. Pengertian Syiqaq ....................................................................................... 2
B. Dasar Hukum Dan Sebab-Sebab Syiqaq .................................................. 5
BAB III ................................................................................................................. 11
PENUTUP ............................................................................................................ 11
A. KESIMPULAN ......................................................................................... 11
B. SARAN ...................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 12

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Salah satu asas perkawinan yang disyari’atkan adalah perkawinan untuk
selama-lamanya yang diliputi oleh rasa kasih sayang dan saling mencintai. Dalam
sebuah perkawinan kebahagiaan dalam keluarga keinginan yang diharapkan
semua manusia, dan semua itu akan terasa disaat sebuah keluarga menjalankan
apa yang menjadi kewajiban dan hak masing-masing baik suami ataupun istri
dalam sebuah keluarga.

Melaksanakan kehidupan suami istri memungkinkan terjadi salah paham


antara keduanya, ataupun tidak saling mempercayai antara suami istri tersebut.
Keadaan itu ada kalanya dapat diselesaikan sehingga hubungan suami istri baik
kembali dan ada kalanya tidak dapat diselesaikan atau di damaikan, bahkan
kadang-kadang menimbulkan kebencian, pertengkaran yang terus menerus antara
keduanya, hal tersebut bisa terjadi karena peran dan fungsi mereka khususnya
bagi suami ataupun istri sudah tidak melaksanakan apa yang menjadi tangung
jawab mereka masing-masing.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Yang Dimaksud Dengan?
2. Bagaimana Dasar Hukum dan Sebab-sebab Dari Syiqaq?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk Mengetahui Apa pengertian syiqaq
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Dasar Hukum dan Sebab-sebab Syiqaq

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Syiqaq
Syiqaq secara bahasa berarti perselisihan, percekcokan, dan permusuhan.
Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing antara suami dan istri. Kamal
Muchtar, peminat dan pemerhati hukum Islam dari Indonesia, pengarang buku
Asas-Asas Hukum Islam tentang Perkawinan,mendefinisikannya sebagai
perselisihan sebagai perselisihan antara suami dan istri yang didamaikan oleh dua
orang hakam.1 Untuk mengatasi kemelut rumah tangga yang meruncing antara
suami dan istri agama Islam memerintahkan agar diutuskan dua orang hakam
(jurudamai). Pengutusan hakam ini bermaksud untuk menelusuri sebab-sebab
terjadinya syiqaq dan berusaha mencari jalan keluar guna memberikan
penyelesaian terhadap kemelut rumah tangga yang dihadapi oleh kedua suami istri
tersebut.2 Syiqaq merupakan perselisihan yang berawal dan terjadi pada kedua
belah pihak suami dan istri secara bersama-sama.3
Kata Syiqaq berasal dari bahasa arab “al-syaqq” yang berarti sisi,
perselisihan (Al-khilaf), perpecahan, permusuhan (al-adawah), pertentangan atau
persengketaan. Syiqaq secara bahasa berarti perselisihan, percekcokan, dan
permusuhan. Perselisihan yang berkepanjangan dan meruncing antara suami dan
istri. Menurut istilah masalah perselisihan antara suami dan istri yang didamaikan
oleh dua orang hakam.

Untuk mengatasi kemelut rumah tangga yang meruncing antara suami


dan istri, agama Islam memerintahkan agar diutuskan dua orang hakam (juru
damai). Pengutusan hakam ini bermaksud untuk menelusuri sebab-sebab

1
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT Intermasa, 1997), hlm.1708

2
Ibud

3
Shalih bin Ghonim As-Sadlan, Kesalahan-Kesalahan Istri, (Jakarta : Pustaka Progresif, 2004), Hlm. 3.

2
terjadinya syiqaq dan berusaha mencari jalan keluar guna memberikan
penyelesaian terhadap kemelut rumah yang dihadapi oleh kedua suami istri
tersebut.4

Ada beberapa pandangan tentang syiqaq, ada yang berpendapat bahwa


dikatakan bila perselisihannya itu mengandung unsur membahayakan suami istri
dan terjadi pecahnya perkawinan, sedangkan bila tidak mengandung usnsur-unsur
yang membahayakan dan belum sampai pada tingkat darurat, maka hal tersebut
belum dikatakan syiqaq. Kajian fiqh munakahat menerangkan bahwa syiqaq
termasuk dalam kategori berakhirnya suatu perkawinan, hal ini adakalanya
disebabkan oleh kehendak hakim. Dalam konteks hukum Islam formal, istri
mendapat posisi yang setara dengan suami, kesetaraan itu terwujud dalam posisi
istri yang dapat mengajukan gugatan perceraian. Akibat gugatan perceraian dari
istri akan terjadi kemungkinan penggugat (istri) tetap minta diceraikan tetapi
tergugat (suami) tetap tidak mau menceraikan, dan tidak dapat di proses melalui
pembatalan nikah (fasakh) atau pelanggaran ikatan suci perjanjian perkawinan
(ta’liq thalaq), atau tergugat bersedia dengan jalan cerai dengan mengajukan
imbalan (khulu). Akan tetapi istri tidak mau membayar tebusan (iwadh) dari
gugatan khulu dan dinyatakan sebagai kasus syiqaq.

Menurut Wahbah Al-Zuhaily, kronologi perjalanan suatu rumah tangga


dapat dikatakan sebagai syiqaq sehingga membutuhkan adanya pengangkatan
hakamain, secara tahapannya melalui beberapa fase yaitu :

(1) Mu’asyarah bi al-ma’ruf, adanya itikad baik dan upaya sungguh-


sungguh kedua belah pihak menciptakan hubungan yang baik.
(2) Al-shabru, yaitu kesabaran dan upaya bertahan menghadapi ujian
yang timbul sebagai akibat perkawinan termasuk sikap pasangan
yang nusyuz.
(3) Tahammul al-adza, adalah situasi seorang suami dengan pantang
menyerah menanggung beban fisik dan mental dalam

4
Dahlan Abdul Aziz, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta : Intermasa, 1997), hal 1708

3
melaksanakan kewajibannya sebagai penyedia biaya hidup,
pendidikan, pembinaan terhadap istrinya.
(4) Al-wa’zhu, upaya suami memberikan nasihat kepada istrinya
tentang hukum-hukum berumah tangga yang ideal menurut syari’at
Islam dengan hikmah dan kebijaksanaan.
(5) Al-Hajr, upaya suami dengan cara membatasi komunikasi terhadap
istri.
(6) Al-dharb al-yasir, upaya tegas suami terhadap istri yang pula
berupa fisik yang wajar.
(7) Irsal al-hakamain, upaya mediasi antar keluarga kedua belah pihak
dengan pengangkatan hakamain.
Tahapan di atas memberikan gambaran bahwa yang berhak pertama kali
untuk mendamaikan keduanya adalah pribadi masing-masing suami istri, jika
perselisihan masih berlanjut dan makin meruncing, maka melibatkan pihak
keluarha, jika belum berhasil untuk mewujudkan perdamaian, maka seorang
hakim dari lembaga pengadilan yang bisa ,merekatkan kembali hubungan rumah
tangganya. Sampai saat ini fungsi hakam pada pengadilan agama berjalan secara
limitif yakni hanya pada perkara yang mempunya alasan syiqaq, hal itu pun jarang
sekali dilakukan mengingat lembaga hakam tidak bersifat imperatif (keharusan),
melainkan bersifat pelembagaan, terserah kepada majelis hakim tentang perlu
tidaknya mengangkat hakam.5 Arti pengangkatan hakam bukan merupakan suatu
keharusan pada setiap perkara perceraian yang mempunyai alasan syiqaq,
melainkan bersifat kasuistik.
Adapun bentuk-bentuk dari syiqaq diantaranya sebagai berikut :
(1) Istri tidak memenuhi kewajiban suami
(2) Tidak memuaskan hasrat seksual suami, melakukan pisah ranjang
dan menolak untuk menanggapi panggilannya
(3) Keluar dari rumah tanpa seizin suami atau tanpa hak syar’i
(4) Tidak mampu mengatur keuangan
5
A. Muktii Arto, Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, (Jakarta : Pustaka Pelajar, 1996), hal
213

4
(5) Meninggalkan kewajiban-kewajiban agama atau sebagainya
(6) Seorang suami tidak memenuhi kewajiban istri
(7) Ketidak mampuan suami menafkahi keluarganya
(8) Suami tidak pengertian kepada istri

B. Dasar Hukum Syiqaq dan Sebab-sebab Syiqaq


(1). Dasar Hukum Syiqaq

Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa ayat 35

Artinya :

“Dan jika kamu khawatirkan ada persenhketaan antara keduanya maka


kirimlah seorang hakam dari kaluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. Jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi tunjuk kepada suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui Lagi Maha Mengenai.” (Q.S An-Nisa : 35)

Berdasarkan firman Allah SWT tersebut, jika terjadi kasus syiqaq antara
suami istri, maka diutus seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari
pihak istri yang mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab ‘musabab
tentang terjadinya syiqaq serta berusaha mendaikannya. Atau mengambil prakarsa
putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baiknya.6
Mengenai masalah kewenangan yang dimiliki oleh kedua hakam, para ulama
berselisih pendapat bahwa tugas kedua hakam tersebut hanya sebagai juru damai
saja, bukan berwenang untuk menceraikan ikatan perkawinan. Sedangkan

6
Rahmat Hakin, Hukum Perkawinan Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), hal 41

5
menurut pendapat Imam Malik karena keduanya telah ditunjuk oleh pengadilan
agama, kedua hakam tersebut juga mempunyai kewenangan dimana kekuasaannya
sebagaimana yang dimiliki oleh pengadilan agama, yaitu berwenang untuk
menceraikannya, baik dalam bentuk memaksakan untuk perceraian dalam bentuk
talak ataupun dalam bentuk Khulu’ (talak tebus).7

Dalam konteks hukum perkawinan di Indonesia, aturan tentang syiqaq


yang tercantum dalam pasal 76 Undang-undang No 5 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Undang-undnag No 7 Tahun 1089 tentang Peradilan Agama
beserta penjelasannya menyatakan bahwa bila gugatan perceraian didasarkan atas
alasan syiqaq yaitu perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri,
maka selain harus mendengar keterangan saksi, juga harus mengangkat hakamain
untuk medamaikan suami istri tersebut. Dalam pasal 76 ayat (2) pada kalimat
“dapat” mengangkat hakam, ini berarti pengangkatan hakam merupakan tindakan
kasuistik yaitu tergantung pada pendapat atau penilaian hakim. Sekalipun ada
permintaan dari salah satu pihak atau dari kedua belah pihak, semuanya
tergantung pada pendapat atau penilaian hakim atas permasalahan yang mana
lebih mendatangkan maslahat dalam penyelesaian perkara yang sedang diperiksa.
Jika Islah atau damai dapat diperkirakan bisa lebih mudah dicapai melalui hakam,
kemungkinan pengangkatan hakam bisa berubah menjadi wajib.

Syiqaq atau biasanya disebut perselisihan yang tajam yang terus menerus
antara suami istri sehingga pernikahan tidak dapat dipertahankan lagi. Alasan
mengapa syiqaq ini banyak terjadi menurut hukum Islam dan Undnag-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 adalah karena komulasi dari permasalahan-permasalahan
yang ada dirumah tangga, adanya perbedaan watak yang amat sukar
dipertemukan, masing-masing suami istri bertahan pada wataknya, sama-sama
tidak mau mengalah sehingga kehidupan rumah tangga penuh dengan ketegangan-
ketegangan yang tidak kunjung reda. Sedangkan alasan-alasan perceraian syiqaq
pada umumnya yaitu moral, meninggalkan kewajiban, kawin dibawah uur,

7
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam, (Jakarta : PT Karya Unipress, 1974), HAL 78

6
penganiayaan, dihukum, cacat biologis, adanya pihak ketiga, tidak adanya
keharmonisan dalam rumah tangga.

Kurangnya pengetahuan agama menjadi salah satu faktor


terjadinya syiqaq dalam rumah tangga, karena pada hakekatnya agama telah
mengatur kehidupan manusia termasuk urusan rumah tangga. Bahkan agama telah
memberikan solusi untuk menghadapi syiqaq, perselisihan, dan pertentangan yang
di mulai dari seorang istri. Sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an Surat An-
Nisa ayat 34 :

Artinya :

“Dan terhadap istri yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka beri


pengajaran dia, dan pisahkanlah tempat tidurnya, dan pukulah dia, maka jika dia
telah taat kepada kamu maka janganlah kamu aniaya dia (cari-cari jalan untuk
menyalahkannya), bahwa sesungguhnya Allah maha tinggi dan maha besar”.

Begitu juga dengan suami, apabila syiqaq, perselisihan, dan pertentangan


yang di mulai dari suami. Agama memberikan solusi untuk menghadapinya. Hal
ini juga di tegaskan dalam Q.S An-Nisa ayat : 128

7
Artinya :

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz dari suaminya, maka
tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia menurut tabiatnya
kikir, Dan jika kamu bergaul dengan istrimu secara baik dan memelihara dirimu
(dari nusyuz dan sikap tak acuh) maka sesungguhnya Allah maha mengetahui apa
yang kamu kerjakan”.

Ayat diatas merupakan salah satu pembelajaran untuk dapat


menyelesaikan suatu masalaah dalam rumah tangga. Ditinjau dari intensitas
kecenderungan laki-laki dan perempuan untuk terlibat dalam suatu lingkaran
syiqaq rumah tangga, maka perempuan lebih rentan untuk mengalami syiqaq. Hal
ini disebabkan perempuan ketika telah menikah, mereka sanggup untuk
menyerahkan diri secara total pada pasangannya. Hal inilah yang mendorong
mereka untuk mengorientasikan seganap perhatiannya untuk menjaga dan
mempertahankan kehidupan rumahtangganya. Sehingga perempuan lebih
dominasi oleh prasangka dan kecurigaan yang pada akhirnya dapat memicu
terjadinya syiqaq ketika terdapat sesuatu hal yang dianggap tidak biasa atau dapat
mengancam keutuhan rumah tangganya.8

Menurut suatu riwayat dari imam Syafi‟i,”Pernah datang dua orang


suami istri kepada Ali r.a dan beserta mereka ikut pula beberapa orang lainnya.
Ali menyuruh mereka untuk mengutus seorang hakim. Kemudian berkata kepada
keduanya, “Kamu tentu tahu, apa yang wajib kamu lakukan. Apabila kamu
berpendapat bahwa kamu dapat mendamaikan mereka, cobalah lakukan. Dan jika
kamu berpendapat bahwa keduanya lebih baik bercerai, perbuatlah,”9

8
Eva Meizara Puspita Dewi Basti, Konflik Perkawinan Model Penyelesaian Konflik pada pasangan
suami Istri, No 1 Volume II (Desember), 43-44

9
Ibnu Mas‟ud dan Zainal Abidin. Fiqih Madzhab Syafi‟i Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat
(Jakarta: Cv Pustaka Setia, 2000), 336

8
Ulama berbeda pendapat dalam menentukan kedudukan orang yang
diangkat menjadi hakam tersebut. Saah satu riwayat dari Imam Ahmad yang juga
menjadi pegangan bagi „Atha‟ dan salah satu pendapat dari Imam al-Syafi‟iy,
menurut satu hikayat dari al-Hasan dan Abu Hanifah, mengatakan bahwa
kedudukan dua orang hakam itu adalah sebagai wakil dari suami istri. Dalam
kedudukan ini dua orang hakam tersebut hanya berwenang untuk mendamaikan
kedua suami istri itu dan tidak berwenang untuk menceraikan keduanya kecuali
atas izin dan persetujuan dari kedua suami istri. Alasan yang dikemukakan oleh
golongan ini adalah bahwa kehormatan yang dimiliki istri menjadi hak bagi
suami, sedangkan harta yang dimiliki suami menjadi hak bagi istri; keduanya
telah dewasa dan cerdas; oleh karena itu pihak lain tidak dapat berbuat sesuatu
atas keduanya kecuali seizin keduanya.10

Namun, jumhur ulama memegang pendapat pertama berdasarkan firman


Allah Ta‟ala, “Maka utuslah seorang penengah dari keluarga suami dan seorang
penengah dari keluarga istri.” Lalu keduanya disebut hakam. Tugas hakam ialah
menetapkan keputusan tanpa suatu keharusan adanya kerelaan pihak yang
dihukumi. Inilah menurut zahir ayat. Ibnu Abdul Ber berkata,”Para ulama sepakat
bahwa apabila dua penengah berselisih pendapat, maka pendapat penengah yang
satu tidak boleh dijadikan keputusan.”11

(2). Sebab-sebab Syiqaq

Sebab-sebab terjadinya syiqaq antara lain, adanya kemungkinan


timbulnya kasus dimana suami dipenjarakan seumur hidup dalam jangka waktu
yang lama atau dia hilang dan tidak diperoleh kabar apapun tentangnya. Sehingga
tidak bisa memberi nafkah kepada istrinya, maka dalam keadaan demikian dapat
terjadi syiqaq. Jika seorang istrinya menginginkan perceraian, tetapi jika tidak,
maka ikatan perkawinan itu tetap berlangsung. Apabila salah seorang dari

10
Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2009), 19

11
Muhammad Nasib AR-RIFA‟I. Kemudahan dari Allah: ringkasan Tafsir Ibnu Katsir (Jakarta: GemaInsani,
1999), 707

9
pasangan itu murtad, keluar dari Islam, maka secara hukum perkawinan itu dapat
dipisahkan dengan perceraian. Tetapi berdasarkan pendapat para ulama’ lain,
perkawinan itu secara otomatis ada perceraian. Sedangkan jika suatu pasangan itu
bukan muslim, lalu memeluk Islam maka perkawinan mereka dapat diteruskan.
Namun apabila hanya seorang dari mereka yang menerima Islam, maka
perkawinannya dapat dipisahkan tanpa adanya perceraian.
Bila istri yang memeluk Islamkalau perkawinannya batal dan dia mulai
melakukan masa iddah, kemudian andaikan mantan suaminya ikut memeluk Islam
sesame masa iddahnya itu, maka suamainya lah yang berhak menikahinya, jika
suaminya memeluk Islam, sedangkan istrinya seorang Nasrani, maka suaminya
boleh mengizinkan istrinya untuk tetap menganut agamanya. Tetapi bila suaminya
menerima Islam sedang sedangkan istrinya Tuang Sihir, akan tetapi seorang istri
tersebut segera memeluk Islam mengikuti suaminya, maka mereka dapat terus
berdampingan sebagai suami istri namun apabila wanitanya tidak menerima
Islam, maka segera saja pernikahan mereka bubar.

10
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Syiqaq merupakan perselisihan yang terjadi pada kedua belah pihak
antara suami istri secara bersama-sama. Ada beberapa pandangan tentang syiqaq,
ada yang berpendapat bahwa dikatakan bila perselisihannya itu mengandung
unsur membahayakan suami istri dan terjadi pecahnya perkawinan, sedangkan
bila tidak mengandung usnsur-unsur yang membahayakan dan belum sampai pada
tingkat darurat, maka hal tersebut belum dikatakan syiqaq.

Berdasarkan firman Allah SWT Al-Qur’an Suran An-Nisa ayat 35,


menjelaskan bahwa jika terjadi kasus syiqaq antara suami istri, maka diutus
seorang hakam dari pihak suami dan seorang hakam dari pihak istri yang
mengadakan penelitian dan penyelidikan tentang sebab ‘musabab tentang
terjadinya syiqaq serta berusaha mendaikannya. Atau mengambil prakarsa
putusnya perkawinan kalau sekiranya jalan inilah yang sebaik-baniknya. Sebab-
sebab terjadinya syiqaq antara lain, adanya kemungkinan timbulnya kasus dimana
suami dipenjarakan seumur hidup dalam jangka waktu yang lama atau dia hilang
dan tidak diperoleh kabar apapun tentangnya. Sehingga tidak bisa memberi
nafkah kepada istrinya, maka dalam keadaan demikian dapat terjadi syiqaq. Jika
seorang istrinya menginginkan perceraian, tetapi jika tidak, maka ikatan
perkawinan itu tetap berlangsung. Apabila salah seorang dari pasangan itu murtad,
keluar dari Islam, maka secara hukum perkawinan itu dapat dipisahkan dengan
perceraian.

B. SARAN
Kami sebagai penulis makalah ini menyarankan kepada pada pembaca
agar sudi kiranya untuk memberikan kritik dan sarannya terhadap makalah ini,
supaya kedepannya kami bisa memperbaiki dan tidak mengulangi kesalahan yang
sama lagi. Dan kami mohon maaf atas segala kekurangan dari makalah ini.

11
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Aziz, Dahlan, 1997, Ensiklopedia Hukum Islam, Jakarta :


Intermasa,

Arto, Muktii, 1996, Praktek Perdata Pada Pengadilan Agama, Jakarta :


Pustaka Pelajar

Hakin, Rahmat, 2000, Hukum Perkawinan Islam, Bandung : Pustaka


Setia

Muchtar, Kamal, 1974, Asas-asas Hukum Islam, Jakarta : PT Karya


Unipress

Puspita Dewi Basti, Eva Meizara, Konflik Perkawinan Model


Penyelesaian Konflik pada pasangan suami Istri, No 1 Volume II (Desember),

12

Anda mungkin juga menyukai