Anda di halaman 1dari 12

DILALAH

A. DILALAH LAFZIYAH DAN GHAIRU LAFZIYAH MENUEURT ULAMA


HANAFIYAH
Dalalah atau dalalah secara bahasa berarti petunjuk. Sedangkan secara istilah
ulama ushul al-Fiqh.

‫الداللة هى مايدل اللفظ من معىن‬


Artinya: “Dalalah adalah suatu pengertian yag ditunjuki oleh lafazh.”

‫الداللة هى مايقتضيه اللفظ عند اإلطالق‬


Artinya: “Dalalah merupakan sesuatu yang dikehendaki oleh lafazh ketika diucapkan
secara mutlak.”
Menurut Ulama Hanafiyah, sebagai pedoman untuk menggali dan
memahami lafazh-lafazh al-nash tersebut dapat dilakukan dengan melalui
pemahaman dalalah lafzhiyah dan dilâlah ghairu lafzhiyah.
Menurut Ulama Hanafiyah, sebagai pedoman untuk menggali dan
memahami lafazh-lafazh al-nash tersebut dapat dilakukan dengan melalui
pemahaman dalalah lafzhiyah dan dilâlah ghairu lafzhiyah. Ulama Hanafiyah
membagi dilalah menjadi dua macam, yaitu dilalah lafzhiyah dan dilalah ghairu
lafzhiyah.

1. Dilalah lafzhiyah

Ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah lafzhiyah terbagi
menjadi empat macam, yaitu :

a. Dilalah ibarah atau ibarat nash


Mengandung arti bahwa makna yang dimaksud, langsung dapat dipahami dari lafaz
yang disebutkan, apakah dalam bentuk penggunaan menurut asalnya (nash) atau
bukan menurut asalnya (zhahir).
1) Menurut Abu Zahrah:
‘‘Ibarah Nash adalah makna yang dapat dipahami dari lafazh, baik itu lafazh zharir
atau lafazh nash, atau baik itu lafazh muhkam atau bukan muhkam.”

1
2) Menurut Syaykh al-Khudlariy:
“Ibarah Nash itu lafazh dan artinya adalah petunjuk lafazh atas makna yang
dimaksudkan, baik yang dimaksudkan itu makna asli atau bukan asli.”1
Dapat disimpulkan bahwa ‘ibarah nash mengandung lafazh yang tersusun
dari dua maksud hukum, yakni maksud hukum yang asli (hukum yang mula-mula
dipakai) dan maksud hukum bukan asli (taba’iy = ikutan). ‘Ibarah nash mengandung
makna yang segera dapat dipahami dari susunan lafazhnya.

Contoh, firman Allah dalam surat an-Nisa : 3 :

ِ‫إِ ْن خِفْتُمْ أالاَّ تُقْسِطُوا فِي اليَتَا مَى فاا نْكِحُوا مَا طاا بَ لاكُمْ مِنَ ا لنَِّسَا ء‬
َ‫مَثْنَى وَ ثُالا ثا وَ رُ بَا ع‬
Artinya. Jika kamu takut tidak akan berlaku adil dalam hal anak yatim maka
kawinilah perempuan yang kamu senangi sebanyak dua orang, tiga orang
atau empat orang.

Maksud dari ayat tersebut secara langsung yaitu bolehnya mengawini


perempuan sampai empat orang, bila terpenuhi syarat adil. Di samping memberi
petunjuk secara jelas dan langsung, ayat ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa
perkawinan itu hukumnya mubah.

b. Dilalah isyarah atau isyarah al-nash


Yaitu lafaz yang diungkapkan memberi arti pada sesuatu maksud, namum tidak
menurut apa yang secara jelas disebutkan dalam lafaz itu. Lafaznya menunjukkan
pada suatu arti tertentu, tapi arti tersebut bukan merupakan maksud semula dari lafaz
tersebut.2

Contoh, firman Allah dalam surat Ali-Imran : 159 :

1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 ( Jakarta : Prenada Media Group, 2008 ), hlm.136
2
Ibid., h.138.

2
ِ‫فاا ْعفُ عُنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لاهُم وَشَا وِرْ هُمْ فِي األَمْر‬
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.

Dari ayat tersebut dapat dipahami kewajiban mewujudkan sekelompok orang


yang menjadi teladan umat dan untuk diajak musyawarah dalam urusan umat.3

c. Dilalah al-dilalah atau dilalah al-nash


Yaitu penunjukkan oleh lafaz yang tersurat terhadap apa yang tersirat di balik
lafaz itu.
Dilalah al-dilalah terbagi menjadi dua, yaitu :
1) Hukum yang akan diberlakukan pada kejadian yang tidak disebutkan dalam
nash, keadaannya lebih kuat dibandingkan dengan kejadian yang ada dalam
nash. Contoh, firman Allah dalam surat al-isra’ : 23 :

‫فاالا تَقُلْ لاهُمَا أُفَّ وَ الا تَنْهَرْ هُمَا‬


Janganlah kamu ucapkan kepada dua orang ibu bapakmu ucapan “ah” dan
janganlah kamu bentak keduanya.
Ibarat dari nash ini menunjukkan tidak bolehnya mengucapkan kata-kata kasar
dan menghardik ibu bapak. Hukum “tidak boleh” itu berlaku pula pada
perbuatan “memukul orang tua” secara lebih kuat, karena sifat menyakiti yang
menjadi alasan larangan pada pengucapan kasar lebih kuat pada perbuatan
“memukul”.
2) Hukum yang akan diberlakukan pada kejadian yang tidak disebutkan dalam
nash, keadaannya sama dengan kejadian yang ada dalam nash-nya. Contoh,
firman Allah dalam surat an-Nisa : 10 :

‫إِناَّ الاَّذِ يْنَ َيأْ ُكلُوْ نا أامْوَالا اليَتَا مَى ُظلْمًا إِنََّمَا َيأْ ُكلُوْ نا فِي بُطُو نِهِمْ نَا رًا‬
Bahwasanya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sesungguhnya ia memakan api diperutnya.

3
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih ( Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm.208

3
Dari ayat tersebut dapat dipahami keharaman para penerima wasiat untuk
memakan harta anak yatim secara zalim. Keharaman untuk memakannya dan
keharaman membakar, mencerai-beraikan dan merusak dengan segala cara
terhadap harta anak yatim. Karena semua itu sama dengan memakan harta anak
yatim secara zalim, artinya merusak harta orang yang lemah dan tidak mampu
menolak aniaya. Dalam hal ini pengertian yang tak terucap sama dengan yang
terucap.4

d. Dilalah al-iqtidha’ atau iqtidha al-nash


Adalah dalam suatu ucapan ada suatu makna yang disengaja tidak disebutkan
karena adanya anggapan bahwa orang akan mudah mengetahuinya, namun dari
susunan ucapan itu terasa ada yang kurang sehingga ucapan itu dirasakan tidak
benar kecuali bila yang tidak tersebut dinyatakan. Contoh, firman Allah dalam
surat Yusuf : 82 :

‫وَا ْسأالِ الْقارْ َيتَ الاَّتِيْ كُنََّا فِيْهَا وَ الْعِيْرَ الاَّتِيْ أاقَْبلْنَا فِيْهَا‬
Tanyailah kampung tempat kita berada dan kafilah kita bertemu dengannya.
Menurut zhahir ungkapan ayat tersebut ada yang kurang, karena
bagaimana mungkin bertanya pada “kampung” yang bukan makhluk hidup. Oleh
karena itu perlu memunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi
benar. Kata yang perlu dimunculkan adalah “penduduk” sebelum kata
“kampung”, sehingga menjadi “penduduk kampung”, yang dapat ditanya dan
memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata “orang-
orang” sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi “orang-orang dalam kafilah”,
yang memungkinkan memberikan jawaban. Para ahli ushul membagi dilalah al-
iqtidha dari segi keharusan memunculkan kata yang tidak tersebut menjadi tiga,
yaitu :

 Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran suatu ucapan atau kalimat
secara hukum. Contoh, hadis Nabi yang berbunyi :

4
Ibid., h. 211

4
‫آل صِيَا مَ لِمَنْ لامْ يِبِْيتِ النَِّيََّةا‬
Tiada puasa bagi orang yang tidak mempermalamkan niat.
Tidak mungkin untuk dikatakan “tidak ada puasa” karena orang itu ternyata
sudah menahan diri dari segala yang harus ditahan dalam puasa. Sedangkan
yang namanya puasa itu adalah menahan diri. Karenanya, untuk kebenaran
ucapan dalam hadis Nabi itu secara hukum perlu dimunculkan kata “sah”. Jadi,
yang tidak ada itu, adalah hukum sahnya puasa bukan puasa itu sendiri.

 Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran suatu ungkapan atau kalimat
secara akal. Contoh, firman Allah dalam surat al-‘Alaq : 17 :

ً‫افلْيَدْ عُ نَا دِيَة‬


Hendaklah ia memanggil rombongannya.
Secara lahir yang dipanggil dalam ungkapan ayat di atas adalah “rombongan”.
Tetapi akal tidak membenarkan menggunakan kata “memanggil” untuk
rombongan, karena rombongan itu sesuatu yang tidak berakal dan tidak mungkin
menjawab panggilan. Secara akal dapat diketahui bahwa ada yang tersembunyi
dalam ucapan ini, yaitu kata “orang” di depan kata “rombongan”, sehingga
ungkapannya menjadi : “panggilah orang yang ada dalam rombongannya”.

 Sesuatu yang harus dimunculkan untuk sahnya ucapan secara hukum. Contoh,
firman Allah dalam surat al-baqarah : 178 :

‫فاا تَِّبَا عٌ بِا ملاعْرُ ْوفِ وَأا دَاءٌ إِلايْهِ بِإِحْسَا ن‬


Maka ikutilah apa yang patut dan bayarkanlah kepadanya secara baik.
Ayat itu adalah sesudah firman-Nya :

ٌ‫مَنْ عَفاى َعلايْهِ شَيْئ‬


Orang yang diberi maaf kepadanya sesuatu.
Ayat tersebut menyatakan apa yang harus diberikan secara patut setelah
ia diberi maaf atas seuatu. Yang dimaksud disini adalah pelaksanaan qishash.
Untuk sahnya ayat ini secara hukum harus ada yang dimunculkan, dalam hal ini

5
adalah “diyat”. Sehingga ungkapan ayat itu sebenarnya adalah :”orang yang
diberi maaf kepadanya sesuatu (pelaksanaan qishash) maka ikutilah yang
demikian secara patut dan berikanlah diyat kepadanya secara baik.5

Ditinjau dari segi bentuk yang harus dimunculkan untuk kebenaran


suatu lafaz secara hukum, dilalah iqtidha dibagi menjadi dua, yaitu:

 Yang dimunculkan itu adalah “sebuah kata”. Misalnya kata “sah” dalam
sabda Nabi Muhammad SAW.

ِ‫آلصَآل ةِ لِمَنْ لامْ يَقْرَ أْفِيْهَا بِفاا تِحَةِ الْكِتَاب‬


Tiada shalat bagi orang yang tidak membaca surat al-Fatihah dalam
shalat.
Dalam hadis disebutkan “tiada shalat”. Meniadakan shalat yang telah
terlaksana tentu tidak mungkin, karena sudah berlalu. Jadi yang harus
dimunculkan supaya ucapan dalam hadis di atas benar, adalah kata “sah”,
sehingga menjadi : “Tidak sah shalat (meskipun ia telah berlangsung) bila
dalam shalat itu tidak membaca al-fatihah.
 Yang dimunculkan adalah suatu peristiwa hukum. Misalnya si A mengatakan
kepada si B,”wakafkanlah kebunmu itu untuk (atas nama) saya dengan
bayaran 10 juta rupiah.”
Jika si B mewakafkan tanahnya tentu yang akan mendapat pahala adalah si B.
Dalam hal ini, si A tidak dapat menyuruh si B mewakafkan tanah miliknya
dengan harapan agar pahala wakaf itu untuk si A yang menyuruh, karena
yang dapat diwakafkan adalah milik sendiri. Agar perbuatan wakaf itu sah
secara hukum, perlu dimunculkan suatu perbuatan hukum, yaitu jual beli
kebun. Jadi susunan ucapan si A menjadi “Juallah kebunmu kepada saya
seharga 10 juta rupiah, kemudian tolong diwakafkan untuk dan atas nama
saya.” Si B menjawab, “Saya jual kebun saya kepada si A seharga 10 juta
rupiah dan saya mewakafkan kebun itu untuk dan atas nama si A.”

5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 ( Jakarta: Prenada Media Group, 2008 ). Hlm. 145-146

6
2. Dilalah ghairu lafzhiyah
Ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Dilalah ini terbagi
menjadi empat macam, yaitu :

a. Kelaziman dari menyebutkan sesuatu untuk menetapkan hukum terhadap yang


tidak disebutkan.
Bila dalam suatu lafaz disebutkan hukum secara tersurat, maka dibalik yang
tersurat itu dapat diketahui pula hukum lain meskipun tidak tersurat dalam lafaz
itu. Contoh, firman Allah dalam surat an-Nisa : 11 :

ْ‫وَألِبَوَ يْهِ لِكُلَِّ وَاحِد مِنْهُمَاالسَُّ ُدسُ مِمََّا تَرَ كَ إِنْ كاا نا لاهُ وَلادٌ فاإِنْ لام‬
ُ‫يَكُنْ لاهُ وَلادٌ وَوَرِثاهُ أابَوَا هُ افِلأُ مَِّهِ الثَُُّلث‬
Untuk dua orang ibu bapak masing-masing mendapat seperenam bila pewaris
meninggalkan anak. Bila ia tidak meninggalkan anak sedangkan yang
mewarisinya adalah ibu bapaknya, maka untuk ibunya adalah sepertiga.

Ibarat nash dari ayat tersebut ialah bila ahli waris hanya dua orang ibu bapak,
maka ibu menerima sepertiga. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak
ayah, namun dari ungkapan ayat ini kita dapat memahami bahwa hak ayah adalah
sisa dari sepertiga, yaitu dua pertiga.

b. Dilalah (penunjukkan) keadaan diamnya seseorang yang fungsinya adalah untuk


memberi penjelasan.
Seseorang yang diberi tugas untuk memberi penjelasan atas sesuatu, namun ia
dalam keadaan tertentu diam saja memberikan petunjuk atas sesuatu. Begitu pula
seseorang yang diberi tugas untuk melarang suatu perbuatan tapi suatu ketika ia
menyaksikan perbuatan yang dilarang itu dilakukan orang,namun ia diam saja.
Diamnya itu memberi petunjuk atas suatu hukum. Dalam hal ini adalah izin untuk
melakukan perbuatan itu. Sebab jika perbuatan itu dilarang, tentu ia tidak akan
tinggal diam waktu melihat perbuatan tersebut, karena ia bertugas memberikan

7
penjelasan atau melarang perbuatan yang salah. Keadaan diamnya itu memberikan
izin untuk berbuat.6

c. Menganggap diamnya seseorang sebagai berbicara untuk menghindarkan


penipuan.
Pada bentuk ini diamnya belum berarti apa-apa, tetapi masih diperlukan
ucapannya. Meskipun dalam hal ini hanya diam, tetapi diamnya itu sudah dapat
dianggap berbicara.
Misalnya seorang wali (orang yang melindungi anak di bawah umur) bersikap
diam saat orang yang berada di bawah perwaliannya melakukan tindakan yang
bertalian dengan hartanya, seperti jual beli. Orang yang berada di bawah
perwaliannya baru sah tindakannya bila secara jelas diizinkan oleh walinya, tidak
hanya diam. Namun karena jual beli itu sudah berlangsung dan kalau tidak
mendapat persetujuan dari walinya, tentu tindakan itu tidak dianggap sah yang
akan merugikan pihak lain.

d. Dilalah sukut (penunjukan diam) yang menyatakan ma’dud (sesuatu yang


terbilang) namun telah biasa dibuang untuk menghindarkan penunjangnya
ucapan jika disebutkan.
Contohnya dalam penyebutan angka-angka atau bilangan. Dalam tata bahasa Arab
bila seseorang berkata ‫( مائة وصا ع من ارز‬seratus dan satu gantang beras). Dalam
pemakaian bahasa Arab yang lengkap mestinya dijelaskan dengan ucapan : ‫مائة‬
‫(صاع صاع‬seratus gantang dan satu gantang) untuk maksud bilangan 101 gantang.
Namun telah terbiasa membuang kata “gantang” yang pertama dalam rangka
menhindarkan panjangnya ucapan.

B. DILALAH DALAM PANDANGAN ULAMA SYAFI’IYAH


Dalam pandangan ulama syafi’iyah, dilalah dibagi menjadi dua macam yaitu
dilalah manthuq dan dilalah mafhum.
1. Dilalah Manthuq

6
Ibid., h. 151

8
Yaitu penunjukan lafaz menurut apa yang yang diucapkan atas hukum menurut
apa yang disebut dalam lafaz itu. Contoh, firman Allah dalam surat an-Nisa : 23:

ْ‫وَرَبَا ئِبُكُمُ الالاَّ تِيْ فِي حُجُوْ رِ كُمْ مِنْ نِسَا ئِكُمُ الالاَّ تِيْ دَ َخلْتُم‬
(Diharamkan atasmu mengawini) anak-anak tiri yang berada dalam asuhanmu
dari istri-istri yang telah kamu gauli.
Ayat ini menurut manthuqnya menunjukkan haramnya menikahi anak tiri yang
berada di bawah asuhan suami dari istri yang telah digauli. Apa yang ditunjuk
disini jelas terbaca dalam apa yang tersurat dalam ayat tersebut.

Dilalah manthuq terbagi menjadi dua, yaitu :


a. Manthuq sharikh ialah manthuq yang penunjukkannya itu timbul dari
“wadh’iyah muthabiqiyah” dan “wadhi’iyah tadhamminiyah”
Manthuq sharikh dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang
diistilahkan dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.

b. ghairu sharikh (tidak jelas) adalah manthuq yang penunjukannya timbul dari
“wadh’iyah iltizhamiyah”. Manthuq ghairu sharikh terbagi menjadi dua
macam, yaitu :
1) Dilalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukan (dilalah)nya dimaksud
oleh pembicara, ada dua macam yaitu :
a) Dilalah iqtidha’
b) Dilalah ima’ yaitu petunjuk yang mengisyaratkan sesuatu. Misalnya
sabda Nabi kepada seorang Arab pedesaan yang melaporkan kepada
beliau bahwa ia telah menggauli istrinya di siang hari bulan
Ramadhan. Nabi bersabda, “Merdekakanlah hamba sahaya”
Ucapan Nabi tersebut memberi isyarat bahwa kejadian itulah yang
menjadi illat untuk hukum yang disebutkan. Seandainya tidak menjadi
illat, maka penyertaan sifat dengan dengan hukum itu menjadi sia-sia.
Hal yang demikian tidak mungkin terjadi pada “pembuat hukum”
yang bijaksana.

9
2) Dilalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukan (dilalah)nya tidak
dimaksud oleh pembicara hanya terbatas pada satu bentuk yang disebut
dilalah isyarah.
2. Dilalah Mafhum
Yaitu apa yang dipahami dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan. Ada dua
macam mafhum, yaitu :
a. Mafhum Muwafaqah
Yaitu mafhum yang lafaznya menunjukan bahwa hukum yang tidak disebutkan
sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafaz. Mafhum Muwafaqah terbagi
menjadi dua, yaitu :
1) Mafhum aulawi yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan
lebih kuat atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa
yang disebutkan dalam lafaz. Misalnya firman Allah dalam surat al-isra’ ayat
23. memukul orang tua hukumnya haram sebagaimana haramnya
mengucapkan kata “uf”, karena sifat menyakiti dalam “memukul” lebih kuat
daripada sifat menyakiti dalam ucapan kasar (uf).
2) Mafhum musawi yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak
disebutkan dalam manthuq. Contoh, firman Allah dalam surat an-Nisa : 10 :

‫إِناَّ الاَّذِ يْنَ َيأْ ُكلُوْ نا أامْوَالا اليَتَا مَى ُظلْمًا إِنََّمَا َيأْ ُكلُوْ نا فِي بُطُو‬
‫نِهِمْ نَا رًا‬
Bahwasanya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sesungguhnya ia memakan api diperutnya.
Manthuq ayat ini menunjukkan haramnya memakan harta anak yatim secara
aniaya. Ada yang tersirat di balik manthuq tersebut, yaitu haramnya
“membakar” harta anak yatim, karena meniadakan harta anak yatim itu
terdapat dalam memakan dan membakar harta. Kekuatan hukum haram pada
membakar sama dengan hukum haram pada memakan karena kesamaan
alasan meniadakan pada kedua keadaan tersebut.

10
b. Mafhum Mukhalafah
Yaitu mafhum yang lafaznya menunjukan bahwa hukum yang tidak disebutkan
berbeda dengan hukum yang disebutkan. Mafhum mukhalafah terbagi menjadi
beberapa bentuk, yaitu :
1) Mafhum al Washfi ( pemahaman dengan sifat ). Contoh, firman Allah dalam
surat an-nisa : 23 :

ْ‫وَ حَالا ئِلُ أابْنَا ئِكُمُ الاَّذِيْنَ مِنْ أاصْالا بِكُم‬


( dan diharamkan bagimu ) istri-istri anak kandungmu (menantu)
Mafhum sifatnya adalah istri anak-anak yang bukan kandung, seperti cucu
sesusuan.

2) Mafhum Ghayah (pemahaman dengan batas akhir) Contoh, firman Allah


dalam surat al-baqarah : 230 :

ُ‫فاإِنْ اطلاَّقاهَا فاالا تَحِلَُّ لاهُ مِنْ بَعْدُ حَتََّى تَنْكِحَ زَوْجًا غايْرَ ه‬
jika si suami mentalak istrinya (talak tiga), tidak halal bekas istri itu
untuknya hingga bekas istri itu mengawini laki-laki lain.
Mafhum Ghayahnya adalah jika istri tertalak tiga itu kawin dengan selain
suami yang telah mentalaknya.

3) Mafhum Syarat ( pemahaman dengan syarat ). Contoh, firman Allah dalam


surat al-thalaq : 6 :

ََّ‫وَأِنْ كُنََّ أُوْ االتِ حَمْلٍ افأانْفِقُوا َعلايْهِنََّ حَتََّى يَضَعْنَ حَ ْملاهُن‬
Jika perempuan (yang dicerai) itu dalam keadaan hamil maka berilah
mereka nafkah sampai mereka melahirkan anak.
Mafhum syaratnya yaitu jika istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil.7

4) Mafhum ‘adad (pemahaman dengan bilangan). Contoh,firman Allah dalam


surat an-nur : 2 :

7
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih ( Jakarta :Pustaka Amani, 2003), hlm. 221

11
‫ا لزََّا نِيَةُ وَا لزََّا نِي فاا ْجلِدُوْا كُلاَّ وَا حِد مِنْهُمَا مِا ئاةا َجلْدَة‬
Pezina perempuan dan pezina laki-laki pukullah masing-masing sebanyak
100 kali.
Manthuq ayat tersebut adalah menetapkan pukulan 100 kali untuk pezina
laki-laki dan perempuan. Mafhum ‘adadnya adalah tidak sahnya pukulan
terhadap pezina itu bila pukulannya lebih atau kurang dari 100 kali yang
ditentukan.

5) Mafhum al-laqab (pemahaman dengan julukan). Contohnya firman Allah


SWT

ِ‫مُحَمََّدُرَسُولُ ا هلل‬
Muhammad utusan Allah
Manthuq dari ucapan itu adalah menetapkan kerasulan untuk seseorang yang
bernama Muhammad bin Abdullah. Mafhum laqabnya adalah tidak
berlakunya kerasulan bagi orang selain Muhammad bin Abdullah. 8

8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 ( Jakarta:Prenada Media Group, 2008), hlm. 161-162

12

Anda mungkin juga menyukai