1. Dilalah lafzhiyah
Ialah yang menjadi dalil adalah lafaz menurut lahirnya. Dilalah lafzhiyah terbagi
menjadi empat macam, yaitu :
1
2) Menurut Syaykh al-Khudlariy:
“Ibarah Nash itu lafazh dan artinya adalah petunjuk lafazh atas makna yang
dimaksudkan, baik yang dimaksudkan itu makna asli atau bukan asli.”1
Dapat disimpulkan bahwa ‘ibarah nash mengandung lafazh yang tersusun
dari dua maksud hukum, yakni maksud hukum yang asli (hukum yang mula-mula
dipakai) dan maksud hukum bukan asli (taba’iy = ikutan). ‘Ibarah nash mengandung
makna yang segera dapat dipahami dari susunan lafazhnya.
ِإِ ْن خِفْتُمْ أالاَّ تُقْسِطُوا فِي اليَتَا مَى فاا نْكِحُوا مَا طاا بَ لاكُمْ مِنَ ا لنَِّسَا ء
َمَثْنَى وَ ثُالا ثا وَ رُ بَا ع
Artinya. Jika kamu takut tidak akan berlaku adil dalam hal anak yatim maka
kawinilah perempuan yang kamu senangi sebanyak dua orang, tiga orang
atau empat orang.
1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 ( Jakarta : Prenada Media Group, 2008 ), hlm.136
2
Ibid., h.138.
2
ِفاا ْعفُ عُنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لاهُم وَشَا وِرْ هُمْ فِي األَمْر
Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu.
إِناَّ الاَّذِ يْنَ َيأْ ُكلُوْ نا أامْوَالا اليَتَا مَى ُظلْمًا إِنََّمَا َيأْ ُكلُوْ نا فِي بُطُو نِهِمْ نَا رًا
Bahwasanya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sesungguhnya ia memakan api diperutnya.
3
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih ( Jakarta: Pustaka Amani, 2003), hlm.208
3
Dari ayat tersebut dapat dipahami keharaman para penerima wasiat untuk
memakan harta anak yatim secara zalim. Keharaman untuk memakannya dan
keharaman membakar, mencerai-beraikan dan merusak dengan segala cara
terhadap harta anak yatim. Karena semua itu sama dengan memakan harta anak
yatim secara zalim, artinya merusak harta orang yang lemah dan tidak mampu
menolak aniaya. Dalam hal ini pengertian yang tak terucap sama dengan yang
terucap.4
وَا ْسأالِ الْقارْ َيتَ الاَّتِيْ كُنََّا فِيْهَا وَ الْعِيْرَ الاَّتِيْ أاقَْبلْنَا فِيْهَا
Tanyailah kampung tempat kita berada dan kafilah kita bertemu dengannya.
Menurut zhahir ungkapan ayat tersebut ada yang kurang, karena
bagaimana mungkin bertanya pada “kampung” yang bukan makhluk hidup. Oleh
karena itu perlu memunculkan suatu kata agar ungkapan dalam ayat itu menjadi
benar. Kata yang perlu dimunculkan adalah “penduduk” sebelum kata
“kampung”, sehingga menjadi “penduduk kampung”, yang dapat ditanya dan
memberi jawaban. Selain itu, juga dianggap perlu memunculkan kata “orang-
orang” sebelum kata “kafilah”, sehingga menjadi “orang-orang dalam kafilah”,
yang memungkinkan memberikan jawaban. Para ahli ushul membagi dilalah al-
iqtidha dari segi keharusan memunculkan kata yang tidak tersebut menjadi tiga,
yaitu :
Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran suatu ucapan atau kalimat
secara hukum. Contoh, hadis Nabi yang berbunyi :
4
Ibid., h. 211
4
آل صِيَا مَ لِمَنْ لامْ يِبِْيتِ النَِّيََّةا
Tiada puasa bagi orang yang tidak mempermalamkan niat.
Tidak mungkin untuk dikatakan “tidak ada puasa” karena orang itu ternyata
sudah menahan diri dari segala yang harus ditahan dalam puasa. Sedangkan
yang namanya puasa itu adalah menahan diri. Karenanya, untuk kebenaran
ucapan dalam hadis Nabi itu secara hukum perlu dimunculkan kata “sah”. Jadi,
yang tidak ada itu, adalah hukum sahnya puasa bukan puasa itu sendiri.
Sesuatu yang harus dimunculkan untuk kebenaran suatu ungkapan atau kalimat
secara akal. Contoh, firman Allah dalam surat al-‘Alaq : 17 :
Sesuatu yang harus dimunculkan untuk sahnya ucapan secara hukum. Contoh,
firman Allah dalam surat al-baqarah : 178 :
5
adalah “diyat”. Sehingga ungkapan ayat itu sebenarnya adalah :”orang yang
diberi maaf kepadanya sesuatu (pelaksanaan qishash) maka ikutilah yang
demikian secara patut dan berikanlah diyat kepadanya secara baik.5
Yang dimunculkan itu adalah “sebuah kata”. Misalnya kata “sah” dalam
sabda Nabi Muhammad SAW.
5
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 ( Jakarta: Prenada Media Group, 2008 ). Hlm. 145-146
6
2. Dilalah ghairu lafzhiyah
Ialah yang menjadi dalil bukan melalui lafaz menurut lahirnya. Dilalah ini terbagi
menjadi empat macam, yaitu :
ْوَألِبَوَ يْهِ لِكُلَِّ وَاحِد مِنْهُمَاالسَُّ ُدسُ مِمََّا تَرَ كَ إِنْ كاا نا لاهُ وَلادٌ فاإِنْ لام
ُيَكُنْ لاهُ وَلادٌ وَوَرِثاهُ أابَوَا هُ افِلأُ مَِّهِ الثَُُّلث
Untuk dua orang ibu bapak masing-masing mendapat seperenam bila pewaris
meninggalkan anak. Bila ia tidak meninggalkan anak sedangkan yang
mewarisinya adalah ibu bapaknya, maka untuk ibunya adalah sepertiga.
Ibarat nash dari ayat tersebut ialah bila ahli waris hanya dua orang ibu bapak,
maka ibu menerima sepertiga. Meskipun dalam ayat ini tidak disebutkan hak
ayah, namun dari ungkapan ayat ini kita dapat memahami bahwa hak ayah adalah
sisa dari sepertiga, yaitu dua pertiga.
7
penjelasan atau melarang perbuatan yang salah. Keadaan diamnya itu memberikan
izin untuk berbuat.6
6
Ibid., h. 151
8
Yaitu penunjukan lafaz menurut apa yang yang diucapkan atas hukum menurut
apa yang disebut dalam lafaz itu. Contoh, firman Allah dalam surat an-Nisa : 23:
ْوَرَبَا ئِبُكُمُ الالاَّ تِيْ فِي حُجُوْ رِ كُمْ مِنْ نِسَا ئِكُمُ الالاَّ تِيْ دَ َخلْتُم
(Diharamkan atasmu mengawini) anak-anak tiri yang berada dalam asuhanmu
dari istri-istri yang telah kamu gauli.
Ayat ini menurut manthuqnya menunjukkan haramnya menikahi anak tiri yang
berada di bawah asuhan suami dari istri yang telah digauli. Apa yang ditunjuk
disini jelas terbaca dalam apa yang tersurat dalam ayat tersebut.
b. ghairu sharikh (tidak jelas) adalah manthuq yang penunjukannya timbul dari
“wadh’iyah iltizhamiyah”. Manthuq ghairu sharikh terbagi menjadi dua
macam, yaitu :
1) Dilalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukan (dilalah)nya dimaksud
oleh pembicara, ada dua macam yaitu :
a) Dilalah iqtidha’
b) Dilalah ima’ yaitu petunjuk yang mengisyaratkan sesuatu. Misalnya
sabda Nabi kepada seorang Arab pedesaan yang melaporkan kepada
beliau bahwa ia telah menggauli istrinya di siang hari bulan
Ramadhan. Nabi bersabda, “Merdekakanlah hamba sahaya”
Ucapan Nabi tersebut memberi isyarat bahwa kejadian itulah yang
menjadi illat untuk hukum yang disebutkan. Seandainya tidak menjadi
illat, maka penyertaan sifat dengan dengan hukum itu menjadi sia-sia.
Hal yang demikian tidak mungkin terjadi pada “pembuat hukum”
yang bijaksana.
9
2) Dilalah manthuq ghairu sharikh yang penunjukan (dilalah)nya tidak
dimaksud oleh pembicara hanya terbatas pada satu bentuk yang disebut
dilalah isyarah.
2. Dilalah Mafhum
Yaitu apa yang dipahami dari lafaz bukan menurut yang dibicarakan. Ada dua
macam mafhum, yaitu :
a. Mafhum Muwafaqah
Yaitu mafhum yang lafaznya menunjukan bahwa hukum yang tidak disebutkan
sama dengan hukum yang disebutkan dalam lafaz. Mafhum Muwafaqah terbagi
menjadi dua, yaitu :
1) Mafhum aulawi yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak disebutkan
lebih kuat atau lebih pantas dibandingkan dengan berlakunya hukum pada apa
yang disebutkan dalam lafaz. Misalnya firman Allah dalam surat al-isra’ ayat
23. memukul orang tua hukumnya haram sebagaimana haramnya
mengucapkan kata “uf”, karena sifat menyakiti dalam “memukul” lebih kuat
daripada sifat menyakiti dalam ucapan kasar (uf).
2) Mafhum musawi yaitu berlakunya hukum pada peristiwa yang tidak
disebutkan dalam manthuq. Contoh, firman Allah dalam surat an-Nisa : 10 :
إِناَّ الاَّذِ يْنَ َيأْ ُكلُوْ نا أامْوَالا اليَتَا مَى ُظلْمًا إِنََّمَا َيأْ ُكلُوْ نا فِي بُطُو
نِهِمْ نَا رًا
Bahwasanya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim,
sesungguhnya ia memakan api diperutnya.
Manthuq ayat ini menunjukkan haramnya memakan harta anak yatim secara
aniaya. Ada yang tersirat di balik manthuq tersebut, yaitu haramnya
“membakar” harta anak yatim, karena meniadakan harta anak yatim itu
terdapat dalam memakan dan membakar harta. Kekuatan hukum haram pada
membakar sama dengan hukum haram pada memakan karena kesamaan
alasan meniadakan pada kedua keadaan tersebut.
10
b. Mafhum Mukhalafah
Yaitu mafhum yang lafaznya menunjukan bahwa hukum yang tidak disebutkan
berbeda dengan hukum yang disebutkan. Mafhum mukhalafah terbagi menjadi
beberapa bentuk, yaitu :
1) Mafhum al Washfi ( pemahaman dengan sifat ). Contoh, firman Allah dalam
surat an-nisa : 23 :
ُفاإِنْ اطلاَّقاهَا فاالا تَحِلَُّ لاهُ مِنْ بَعْدُ حَتََّى تَنْكِحَ زَوْجًا غايْرَ ه
jika si suami mentalak istrinya (talak tiga), tidak halal bekas istri itu
untuknya hingga bekas istri itu mengawini laki-laki lain.
Mafhum Ghayahnya adalah jika istri tertalak tiga itu kawin dengan selain
suami yang telah mentalaknya.
ََّوَأِنْ كُنََّ أُوْ االتِ حَمْلٍ افأانْفِقُوا َعلايْهِنََّ حَتََّى يَضَعْنَ حَ ْملاهُن
Jika perempuan (yang dicerai) itu dalam keadaan hamil maka berilah
mereka nafkah sampai mereka melahirkan anak.
Mafhum syaratnya yaitu jika istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil.7
7
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fikih ( Jakarta :Pustaka Amani, 2003), hlm. 221
11
ا لزََّا نِيَةُ وَا لزََّا نِي فاا ْجلِدُوْا كُلاَّ وَا حِد مِنْهُمَا مِا ئاةا َجلْدَة
Pezina perempuan dan pezina laki-laki pukullah masing-masing sebanyak
100 kali.
Manthuq ayat tersebut adalah menetapkan pukulan 100 kali untuk pezina
laki-laki dan perempuan. Mafhum ‘adadnya adalah tidak sahnya pukulan
terhadap pezina itu bila pukulannya lebih atau kurang dari 100 kali yang
ditentukan.
ِمُحَمََّدُرَسُولُ ا هلل
Muhammad utusan Allah
Manthuq dari ucapan itu adalah menetapkan kerasulan untuk seseorang yang
bernama Muhammad bin Abdullah. Mafhum laqabnya adalah tidak
berlakunya kerasulan bagi orang selain Muhammad bin Abdullah. 8
8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid 2 ( Jakarta:Prenada Media Group, 2008), hlm. 161-162
12