Anda di halaman 1dari 76

TAFSIR AYAT THAHARAH

A. Surat an-Nisa’ ayat 43


1. Ayat dan terjemahannya
 
  
 
  
    
  
   
   
   
  
 
  
 
 
  
   
 
Artinya: Hai orang-orang yang beriman janganlah kalian
mendekati shalat sedang kalian dalam keadaan mabuk sampai kalian
mengetahui(sadar) apa yang kalian katakan dan janganlah pula (kamu
mendekati masjid) dalam keadaan junub kecuali sekedar lewati jalan saja
sampai kalian mandi, Dan apabila kalian sakit atau dalam perjalanan
atau selesai buang air besar atau menyentuh wanita kemudian kalian
tidak menemukan air maka bertayammumlah dengan debu yang suci

1
kemudian usaplah wajahmu dan kedua tangan kalian. Sesungguhnya allah
maha pengampun.
2. Tafsir Mufradat
a. ‫سكارى‬ = mabuk
b. ‫جنبا‬ = junub/keluar air mani
c. ‫ = عابري سبيل‬orang bepergian/ pengembara, pelancong
d. ‫الغائط‬ = kotoran, tahi, tinja (berak)
e. ‫ = المستم النساء‬jimak/ bersetubuh
f. ‫ = صعيدا طيبا‬debu yang suci (ibn qatibah)

3. Asbabun Nuzul
Diriwayatkan oleh imam tirmidzi dari Ali Ibn Abi Thalib “
bahwasaanya ia pernah berkata: yang Artinya: Abdurrahman ibn auf
pernah membuat makan untuk kita, ia mengundang kami dan memberikan
kami minuman khamr, kemudian saya mengambil khamr itu, dan
datanglah waktu shalat lalu mereka mengajukanku sebagai imam
kemudian aku membaca ‫ ونحن نعبد ما تعبدون‬,‫( قل يا أيها الكافرون أعبد ما تعبدون‬hai
orang-orang kafir aku menyembah tuhan ytang kamu sembah, dan kita
menyembah tuhan yang kalian sembah). Ali ibn abi thalib berkata, Maka
turunlah ayat
‫يأيها الذين أمنوا التقربواالصلوة وأنتم سكرى حتى تعلموا ما تقول‬
( Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mendekati shalat
dalam keadaan mabuk sampai kamu mengetahui apa yang kamu ucapkan).
Dari hadis di atas telah dijelaskan bahwa asbabun nuzul ayat ini
karena setelah meminum khamr sahabat Ali Ibn Abi Thalib salah
membaca bacaan ayat al-Qur’an hingga membuat makna al-Qur’an
melenceng jauh dari arti yang sebenarnya.1
Menurut al-Fakhru al-Razi” para sahabat tidak meminum khamr di
waktu-waktu shalat, kemudian ketika mereka telah selesai mengerjakan
shalat mereka meminumnya. Kemudian diwaktu pagi mereka sudah tidak

1
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap,Semarang, Toha Putra ,1978. Hlm., 46.

2
mabuk lagi(sadar dari mabuknya). Lalu turunlah ayat al-Qur’an dalam
surat al-Maidah yang menjelaskan keharaman khamr secara mutlak.
‫تنبوه لعلّك ْم‬
ْ ْ‫من عمل الّشيْطان فاج‬ ْ ‫خمر‬
ْ ‫والميْسر واأل ْنصاب‬
ْ ‫واأل ْزالم رجْ س‬ ْ ‫أمنوا إنّما ْال‬
ْ ‫يأيّهاالّذين‬
ْ ‫ت ْف‬
‫لحون‬
Hai orang-orang yang beriman sesungguhnya arak, judi, mengundi
nasib, anak panah adalah najis dari perbuatan syeitan, maka jauhilah agar
kalian menang.
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa turunya ayat,, wala
junuban illa abiri sabilin hatta tagh tasilu(janganlah pula hampiri
masjid) sedang kamu dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja,
hingga kamu mandi) (Q.S> an-nisa: 43) berkenaan dengan seorang yang
junub di dalam perjalananya, lalu ia bertayammum dan terus shalat. Ayat
ini turun sebagaiu petunjuk bagi orang yang berhadas dalam
perjalananya.(diriwayatkan oleh al-Faryabi, ibn Abi Hatim, dan Ibnul
Mundzir yang bersumber dari Ali.
“ Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa al-Asla’ Ibn Syarik
dalam keadaan junub diperjalanan bersama Rasulullah SAW. Pada waktu
itu malam sangat dingin. al-Asla tidak berani mandi dengan air dingin,
takut kalau-kalau mati atau sakit. Hal itu disampaikan kepada Rasulullah
SAW. Lalu turunlah ayat tersebut di atas sebagai tuntunan bagi orang-
orang yang takut kena bahaya kedinginan kalau ia mandi. ( diriwayatkan
oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Asla’ Ibn Syarik).2
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa pintu rumah sebagian
golongan Ansar ada yanyg melalui masjid. Ketika mereka junub dan tidak
mempunyai air, mereka tidak bisa mendapatkan air kecuali melalui
masjid. Maka Allah menurunkan ayat tersebut di atas yang mnembolehkan
orantg junub melewati masjid.
4. Tafsir ayat/ muqaranah
Syeikh Muhammad Ali Shabun dalam menjelaskan ayat di atas
ada lima penafsiran:

2
M. Sarani, Mabadi Ilmu Fiqih, Banjarmasin, TB. Murni,1373. Hlm., 5.

3
a. Ta’bir ini menjelaskan larangan mendekati(menjalankan) shalat dalam
keadaan mabuk. Larangan dengan lafadz janganlah kamu mendekati
shalat padahal kamu sedang mabuk” lebih tajam dari pada
menggunakan “janganlah kamu shalat padahal kamu sedang mabuk”.
karena ketika diharamkan mendekati shalat maka menjalankan shalat
lebih berat dalam laranganya. Seperti firman tentang zina, dengan
“janganlah kamu mendekati zina” dan “janganlah kamu mendekati
harta anak yatim, kecuali dengan cara yang baik. Abu su’ud berkata:
diarahkanya larangan ini untuk mendekati shalat, padahal yang
dimaksud adalah larangan mengerjakan shalat itu sendiri, adalah lil
mubalaghah(sebagai larangan yang keras). Adapula orang berpendapat
bahwa yang dimaksud larangan disitu ialah larangan mendekati masjid.
Namun pendapat ini terbantah oleh kalimat ‫“ حتى تعلموا ما تقولون‬sehingga
kamu menyadari apa yang kamu ucapkan.
b. Tahapan larangan minum khamr dengan metode yang bijaksana
ditempuh oleh al-Qur’an al-Karim itu adalah bukti yang jelas atas
agungnya syariat islam. sebab orang arab biasa meminum khamr
seperti meminum air tawar biasa. Sehingga seandainya khamr itu
diharamkan seketika, niscaya berat bagi mereka untuk
meninggalkanya .
c. Ta’lil (alasan) dengan lafadz hatta ta’lamuu maa taquuluu
memberikan isyarat yang halus bahwa sebaiknya orang yang shalat itu
khusyu’ dengan mengetahui apa yang diucapkan dari bacaan al-
Qur’an, dzikr, tasybih, dan tahmid). Lalu Allah melarang shalat bagi
orang mabuk karena ia tidak mengetahui apa yang dibaca, maka ketika
mushalli yang tenggelam dalam kepentingan dunia itu tidak
mengetahui sudah berapa rakaat ia shalat, dan apa yang dibacanya?
Maka orang ini seperti mabuk. untuk itu sebagian ulama’ menafsiri
lafadz sakran (mabuk) dengan mabuk karena tidur, dan kantuik, dari

4
sisi makna memang bagus, akan tetapi jauh dari penafsiran serta tidak
sesuai dengan asbabun nuzul.3
d. Metode al-Qur’an menggunakan kata-kata kinayah yang kurang baik
kalau diucapkan terus terang. Ini merupakan salah satu tata cara al-
Qur’an untuk membimbing umatnya untuk mengikuti petunjuk al-
Qur’an ketika mengajak bicara. Al-Qur’an mengkinayahkan hadas
dengan mendatangkan lafadz ghaith(buang air). Sedangkan ghaith
adalah tempat yang menjorok ke dalam bumi yang ditujukan manusia
untuk menyelesaikan hajatnya(buang air besar/kecil) agar tertutup serta
tidak terlihat dari pandangan mata. Kemudian makna itu menjadi
makna hakikat hadas karena banyak digunakan sedangkan lafadz
mulamatu al-nisaa itu kinayah dari makna ghisyyaan(bergumul) dan
mujama’ah(persetubuhan). sebab lafadz jima’ tidak baik dijelaskan
maka al-qur’an menggunakan dengan kinayah(‫) أو لمستم النساء‬
e. Dalam al-bahrul muhith dikatakan: dalam ayat ini pada umumnya
dipakai dhamir mukhattab (kata ganti orang yang diajak bicara) yang
bercampur dengan dhamir ghaib (kata ganti orang ketiga/dia). Yang
mukhattab seperti ‫ وإن كنتم مرضى‬dan ‫ أو لمستم النساء‬sedang yang ghaib ‫أو‬
‫ جا ء أحد منكم‬alangkah indahnya dhamir ghaib yang dipaki setelah
disebut kinayah tentang buang air, karena ia tidak suka menyandarkan
hal yang seperti itu kepada mukhatab. Kemudian dihilangkanya yang
seperti itu lalu pindah ke ghaib. Dan ini adalah pengawasan yang
paling indah dan bentuk pembicaraan yang paling baik. Adapun sakit
bepergian, dan bercampur dengan wanita itu tidak menjijikkan kalau
disebut dengan langsung maka kalimat tersebut dengan secara
langsung
f. Diriwayatkan bahwa para sahabat pernah beprgian bersama Nabi
SAW., lalu kalung Aiyah hilang, kemudian Nabi sendiri mencarinya
bersama dengan sahabat, sedang mereka tidak membawa air, kemudian
Abu Bakar marah kepada Aisyah seraya berkata: kamu sudah

3
Ibid, Hlm., 40.

5
merepotkan Rasulullah SAW dan orang-orang yang bersamanya
sedang mereka tidak membawa air? Maka turunlah ayat ini. Maka
setelah mereka selesai shalat dengan bertayammum dan ingin
melanjutkan perjalanan mereka membangunkan unta lalu mereka
menemukan kalung tersebut dibawah unta. Maka Usaid Ibn Hudhair
berkatabukankah ini pertama kalinya barakah buatmu hai Abu Bakar,
Allah merahmatimu hai Aisyah. Demi Allah tidak turun perkara yang
kau benci kecuali Allah telah menjadikan bagimu dan kaum muslimin
kebaikan dan kelapangan.
5. Hikmah yang terkandung
Kebanyakan para mufassir yaitu madzhab Abi Hanifah (madzhab
hanafi), berpendapat bahwa yang dimaksud dengan shalat dalam ayat
adalah hakikat dari shalat itu sendiri sedangkan menurut madzhab Syafi’ii
yang dimaksud shalat adalah tempat-tempat yang digunakan untuk shalat
yaitu masjid.4
Dengan melihat lafadz berikutnya yaitu .‫ حتى تعلموا ما تقولون‬,
pendapat pertama ini memberikan makna ‫”التقربواالصلوة وأنتم سكرى‬
janganlah kamu mendekati hakikat shalat”.
Karena tidak ada ucapan yang disyariatkan di dalam masjid yang
dilarang diucapkan oleh orang mabuk. Sedangkan shalat didalamnya ada
ucapan yang diperintahkan diucapkan seperti membaca surat, do’a, dzikir
yang dilarang diucapkan bagi orang mabuk.
Sedangkan madzhab yang kedua memberikan alasan bahwa sifat
jauh dan dekat itu lebih menunjukkan suatu benda yang bisa dirasa oleh
indera. Maka madzhab yang kedua lebih menunjuk arti masjid jika melihat
lafadz yang berikutnya ‫ إال عابرى سبيل حتى تغتسلوا‬yang menggunakan sighat
ististna’. Sedangkan Abu Hanifah memaknai ‫ عابرى سبيل‬sebagai
Musafir(orang yang bepergian) yang tidak menemukan air maka ia
tayammum dan shalat.

4
Muqarrabin, Fiqih Awam, Demak, Media Ilmu,1997

6
Hikmah mandi setelah junub adalah bahwa jinabah menimbulkan
ketegangan tyerhadfap urat syaraf sehingga hal itu berpengaruh terhadap
seluruh tubuh dan menimbulkan kelemahan yang bisa dihilanhgkan oleh
mandi dengan air.
Agama menyuruh manusia melaksanakan shalat dalam keadaan
mengetahui, memahami, merenungkan al-qur’an dan ingat. Hal ini
tergantung pada keadaan sadar dan meninggalkna mabuk-mabukan.
Sebagaimana juga menuntut agar badan bersih dan bersemangat, yaitu
dilakukan dengan jalan menghilangkan kotoran setelah berjunub.
Apa sebab-sebab yang memperbolehkan untuk bertayammum
a. Sakit
Sakit yang memperbolehkan untuk bertayammum adalah sakit
yang membahayakan diri akan bertambah parah bila menggunakan air.
Sedangkan orang yang menemukan air di dalam sumur yang sangant
dalam sehingga sulit untuk mendapatkanya hukumnya seperti tidak ada
air. Berdasarkan hadis dari Jabir RA berkata: “kami pernah keluar
dalam perjalanan seorang lelaki dari kita tertimpa batu sehingga
terluka kepalanya, kemudia ia ihtilam(bermimpi mengeluarkan
sperma) lalu bertanya kepada para sahabatnya: apakah kalian
menemukan ruhsah(keringanan) terhadap permasalahanku dalam
bertayammum?, lalu mereka berkata: kami tidak menemukan ruhsah
bagimu sedangkan kau mampu menggunakan air, orang itu mandi lalu
mati, maka ketika kami telah sampai kepada nabi lalu beliau berkata:
kalian membunuhnya, maka allah akan membunuh kalian, kecuali
mereka bertanya ketika mereka tidak mengetahuinya? Karena
sesungguhnya obat dari kelemahan adalah meminta”.
b. Bepergian jika tidak menemukan air
c. Setelah berak( buang hajat) jika tidak menemukan air
d. Mulamasat( bersetubuh/ bersentuhan) jika tida ka air

B. Al-Maidah Ayat 6

7
1. ayat dan artinya
 
   
 
  
 
  
   
   
    
    
  
  
  
 
  
    
   
  
  
 
Artinya :“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak
melaksanakan shalat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke
siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai kedua mata
kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam
perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah
dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan
(debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak
membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmatNya bagimu, agar kamu
bersyukur.” (QS. Al-Maidah 5:6)
2. Munasabah Ayat

8
a. QS. An-Nisa’ (4) Ayat 43
 
  
  
   
    
   
   
    
  
  
  
  
   
   

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat,
sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa
yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu
dalam keadaan junub, terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu
mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang
dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan,
Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu
dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu.
Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun”. (QS. An-
Nisa’ 4:43)
b. QS. Al-Baqarah (2) Ayat 222
  
    
   
  
  

9
   
    
  
 
“Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
"Haidh adalah suatu kotoran". Oleh karena itu, jauhilah istri pada
waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka
suci. Apabila mereka telah suci, campurilah mereka sesuai dengan
(ketentuan) yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang betobat dan menyukai orang yang
menyucikan diri.” QS. Al-Baqarah (2:222)
3. Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa kalung ‘Aisyah ra. telah
jatuh dan hilang di suatu lapangan dekat kota Madinah. Rasulullah SAW.
memberhentikan untanya lalu turun, untuk mencarinya kemudian istirahat
hingga tertidur di pangkuan ‘Aisayah ra. . Tiada lama kemudian datanglah
Abu Bakar menampar ‘Aisyah ra. sekerasnya seraya berkata: “Kamulah
yang menahan manusia karena sebuah kalung”. Kemudian Nabi SAW.
terbangun dan tibalah waktu Shubuh. Beliau mencari air tapi tidak
mendapatkannya, maka turunlah ayat ini (S.5:6).5 Maka berkatalah Usaid
bin Mudlair: “Allah telah memberi berkah bagi manusia dengan sebab
keluarga Abu Bakar”.6 Ayat ini mewajibkan berwudlu atau tayammum
sebelum sholat. Diriwayatkan oleh al-Bukhari dari ‘Amr bin al-Harts dari
Abdurrahman bin al-Qasim dari bapaknya yang bersumber dari ‘Aisyah ra.
7

Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa setelah terjadi peristiwa


kehilangan kalung ‘Aisyah ra. yang menimbulkan fitnah yang besar, pada
suatu ketika dalam suatu peperangan beserta Rasulullah SAW, kalung

5
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqih Imam Ja’far Shadiq. Terjemahan. Jakarta, Dar al-
Jawad,1984, Hlm., 48.
6
Ibnu Qosim Al-Gazzi, Hasiyah Asy-Syekh Ibrahim Al-Baijuuri, Baerut: Dar Al-Fikr,
2005. Juz 1 Hlm, 34.
7
Sabiq sayid, Fiqih Sunah 1, Bandung, Al-Ma’arif,1937. Hlm., 165.

10
‘Aisyah jatuh lagi, sehingga orang-orang terhalang pulang karena perlu
mencari kalung yang hilang itu. Berkatalah Abu Bakar kepada ‘Aisyah:
“wahai anakku tiap-yipa perjalanan kau selalu menjadi balak dan
menjengkelkan orang lain”. Maka Allah menurunkan ayat ini (S.5:6) yang
membolehkan tayamum, sehingga Abu Bakar berkata: “sesungguhnya kau
membawa berkah”. Diriwayatkan oleh at-Thabarani dari ‘Ubbad bin
Abdullah bin Zubair yang bersumber dari ‘Aisyah.
Dalam pada itu al Suyuthi memberikan keterangan bahwa ada dua
hal yang patut dicatat berkenaan dengan azbabun nuzul di atas.
a. Hadits al-Bukhari dari riwayat Amr bin al Harts dengan jelas
menyatakan bahwa ayat tayamum yang diriwayatkan dalam berbagai
hadits ialah ayat al Maidah, dan banyak riwayat lagi yang
mengemukakan ayat tayamum tanpa menyebutkan sumber suratnya.
Menurut Ibnu Abdilo Bar riwayat seperti itu midlal karena tidak jelas
ayat yang mana dari kedua ayat itu yang dimaksud oleh aisyah. Ibnu
Abdil Bar tidak mendapatkan dalilyang memperkuat hadits itu.
b. Menurut Ibnu Batthal riwayat itu berkenaan dengan ayat dalam suarat
An-nisa, dengan alasan, ayat al Maidah diberi ayat wudhu, dan ayat di
surat An-nisa tidak disebut sebut ayat wudhu, jadi bisa ditujukan ayat
ini khusus untuk tayamum.
c. Menurut al-Wahidi, hadits Bukhari ini juga merupakan dalil azbabun
nuzul bagi ayat an-Nisa sehingga tidak sah lagi dianggap lebih berat
benarnya oleh al Bukhari sebagai azbabun nuzulnya ayat al Maidah itu.
Ini lah jalan keluar yang dikemukakan oleh al-Wahidi dalam
menetapkan azbabun nuzul dari ayat tersebut.
d. Hadits Bukhari ini menunjukkan bahwa wudhu telah diwajibkan
kepada umat islam sebelum turun ayat ini. Oleh karena itu mereka
merasa berkeberatan untuk berhenti di tempat yang tidak ada air itu,

11
hingga Abu Bakar mengatakan kepada ‘Aisyah bahwa dia membawa
berkah (tegasnya membolehkan tayamum).8
e. Menurut Ibnu Abdil Bar bahwa ahli sejarah peperangan telah maklum,
bahwa sesungguhnya Rasulullah SAW. selalu berwudhu untuk sholat
(sejak mulai sholat difardhukan), dan tidak ada yang membantahnya
kecuali yang bodoh atau pembangkang. Adapun hikmah turun ayat
perintah wudhu yang didahului dengan amalnya ialah agar supaya
fardhunya wudhu diperkuat dengan turunya ayat.
f. Menurut yang lainnya, boleh jadi awal ayat itu diturunkan lebih dahulu
berkenaan dengan fardhu wudhu, dan sisanya diturunkan kemudian
berkenaan dengan tayamum di dalam riwayat tersebut di atas.
g. Menurut As Suyuthi, yang pertama itu yang benar karena fardhunya
wudhu itu ditetepkan di Mekkah bersamaan dengan fardhunya shalat,
padahal ayat ini Madaniyah. 9
4. Penafsiran
Dari sini, ayat ini mengajak dan menuntun: Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, yakni telah berniat
dan membulatkan hati untuk melaksanakan shalat, sedang saat itu kamu
dalam keadaan tidak suci atau berhadas kecil, maka berwudhulah, yakni
basuhlah muka kamu seluruhnya dan tanagn kamu ke siku, yakni
sampai dengan siku, dan sapulah, sedikit sebagian atau seluruh kepala
kamu dan basuhlah atau sapulah kedua kaki-kaki kamu sampai dengan
kedua mata kaki, dan jika kamu junub, yakni keluar mani dengan sebab
apapun dan atau berhalangan shalat bagi wanita maka mandilah, yakni
basahilah seluruh bagian badanmu.10
Setelah menjelaskan cara bersuci wudhu dan mandi dengan
menggunakan air, lalu dijelaskan cara bersuci jika tidak mendapatkan air
atau tidak dapat menggunakannya. Penjelasan itu adalah dan jika kamu

8
Muhammad Dainuri, Kajian Kitab Kuning Terhadap Ajaran Islam, Magelang. Sinar Jaya
Offset,1996. Hlm., 18-19.
9
Muhammad Arsyad Al-Banjari, Sabilal Muhtadin, Surabaya: Bina Ilmu juz 1, Hlm 17.
10
Muhammad Arsyad Al-Banjari, Ibid., 21.

12
sakit, yang menghalangi kamu menggunakan air, karena khawatir
bertambah penyakit atau memperlambat kesembuhan kamu atau dalam
perjalanan yang dibenarkan agama dalam jarak tertentu, atau kembali dari
tempat buang air (kakus) setelah selesai membuang hajat, atau menyentuh
perempuan, yakni terjadi pertemuan dua alat kelamin, lalu kamu tidak
memperoleh air, yakni tidak dapat menggunakan, baik karena tidak ada
atau tidak cukup, tau karena sakit, maka bertayamumlah dengan tanah
yang baik, yakni suci. Untuk melaksanakan tayamum sapulah muka kamu
dan tangan kamu dangan tanah itu. Allah Yang Maha Kaya dan Kuasa itu
tidak menghendaki untuk menjadikan atas kamu sedikitpun, karena itu
disyari’atkanNya kemudahan-kemudahan untuk kamu, karena Dia hendak
membersihkan kamu lahir dan batin denagan segala macam ketetapnNya,
baik yang kamu ketahui hikmahnya maupun tidak dan agar Dia
menyempurnakan nikmatNya bagi kamu, dengan meringankan apa yang
kamu menyulitkan kamu, memberi izin dan atau mengganti kewajiban
dengan sesuatu yang lebih mudah supaya kamu bersyukur.
Firman-Nya: ) ‫ ) اذا قنتم الى الصالة‬apabila kamu telah akan
mengerjakan shalat, menunjukkan perlunyan niat bersuci guna sahnya
wudhu, karena kalimat telah akan mengerjakan berarti adanya tujuan
mengerjakan, dan tujuan itu adalah niat, dan niat yang dimaksud adalah
untuk melaksanakan shalat, bukan untuk membersihkan diri atau
semacamnya, baik diucapkan atau tidak
Firman-Nya: ( ‫ ) فا غسلوا‬basuhlah, berarti mengalirkan air pada
anggota badan yang dimaksud. Sementara ulama menambahkan keharusan
menggosok anggota badan saat mengalirkan air.
Firman-Nya : ( ‫ ) وايديكم الى المرافق‬dan tangan kamu sampai dengan
siku, dapat dipahami dalam arti sempit dan luas. Para ulama berbeda
pendapat tentang kata ila, apakah itu berarti sampai, sehingga siku-siku
termasuk yang wajib dibasuh atau tidak. Mayoritas ulama berpendapat
bahwa siku-siku wajib dibasuh. Karena itu terjemahan di atas menyatakan

13
sampai dengan sunah Rasul SAW pun menginformasikan beliau berwudhu
dengan tangan bersama dengan siku beliau.
Firman-Nya: ( ‫ ) وامسحوا برءوسكم‬sapulah kepala kamu. Setelah
disepakati ulama tentang wajibnya menggunakan air ke kepala, mereka
berbeda pendapat tentang batas minimal yang wajib.
Firma-Nya: ( ‫ ) برءوسكم‬dengan kepala kamu, dan karena kepala
disapu yakni tidak harus dibasuh dan dicuci, maka cukup disapu dengan
air walau hanya dengan sedikit air.
Firman-Nya: ( ‫ ) فامسحوا بوجو هكم وايديكم منه‬maka sapulah mukamu
dan tanganmu dengan tanah itu, menunjukkan bahwa dalam bertayamum
hanya wajah dan tangan ynag harus disapu dengan tanah, apapun sebab
bertayamum dan tujuannya apakah sebagai pengganti wudhu atau mandi.
5. Analisa
Ahmad Bukhori dan Muslim juga meriwayatkan hadits dari Abu
Hurairah yang intinya menyatakan bahwa Allah SWT. tidak akan
menerima sholat salah seorang dari kamu yang berhadas sampai dia
berwudhu.11 Hadits tersebut menunjukkan bahwa kaum muslimin pada
zaman nabi tidak selalu berwudhu untuk setiap kali mengerjakan sholat
kalaupun nabi SAW. sendiri tidak disebut-sebut berwudhu setiap kali
hendak menegakkan sholat, itu semata-mata menunjuk pada suatu
kebiasaan yang baik, tidak merupakan suatu kewajiban. Sebab, paling
tidak pada peristiwa pembebasan kota Mekkah, nabi sendiri dihadapan
orang banyak pernah menegakkan beberapa sholat dengan hanya sekali
berwudhu. Sunnah nabi ini mengidentifikasi kebolehan satu kali berwudhu
untuk sejumlah sholat, tentu saja selama orang yang bersangkutan belum
berhadas atau tidak batal wudhunya. 12
Dari keterangan di atas dapatlah diketahui bahwa melakukan wudhu
untuk setiap kali sholat pada dasarnya merupakan keharusan (‘azimah),
dan itulah yang paling afdhal. Namun demikian kewajiban berwudhu

11
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap. Semarang, Karya Toha Putra, 1978. Hlm., 63.
12
Said Sabiq, Fiqh Sunnah 1, Bandung, Alma’arif, 1937 juz 1,

14
untuk setiap kali shalat itu hanya dibebankan kepada orang-orang yang
berhadas, tidak pada yang masih memiliki wudhu. Atau dengan kalimat
lain, melakukan wudhu untuk setiap kali sholat bagi orang yang tidak
berhadas lebih bersifat anjuran (mandub), bukan suatu keharusan.
Setelah Alah SWT menerangkan berbagai kewajuiban penggunaan
air dalam berwudhu dan mandi ketika bermaksud hendak menegakkan
sholat, Allah menerangkan bahwa kewajiab menggunakan air oleh orang
yang berwudhu ndan mandi junub itu terkait dengan dua. Pertama, air itu
sendiri memang ada. Kdua, orang yang bersangkutan memiliki
kemampuan untuk menggunakannya, karena sakit dan lain sebagainya,
maka baginya dibolehkan bertayamum. Atau dengan kalimat lain,
kewajiban bersuci (mandi dan wudhu) bergeser dari kewajiban
menggunakan air menjadi dibolehkan bertayamum.13
Lahiriah nash di atas membolehkan tayamum secara mutlak bagi
setiap orang yang sakit apaun. Hanya saja, sakit yang dibolehkan
bertayamum ialah sakit yang apabila terkena air akan semakain bertambah
penyakitnya seperti luka, kudis, dan lain-lainnya. Penyakit kulit yang
menurut perkiraan atau petunjuk dokter dikhawatirkan berbahaya.
Demikian pula halnya dengan sakit yang mengakibatkan si sakit tidak
merasa sanggup untuk berwudhu atau mandi denagn menggunakan air
dingin, seperti orang demam yang menggigil. Dengan demikian maka
penyakit atau sakit yang tidak membahayakan seseorang untuk berwudhu
dan mandi denagn menggunakan air, maka tidak dibenarkan bertayamum
hanya sekedar sakit flu, sakit gigi dan lainnya.
a. Pengertian Thaharah
Kata thaharah dalam bahasa Arab yang dapat diartikan bersuci
dari kotoran, baik kotoran yang bersifat hissy (inderawi) maupun
bukmi (secara umum)’ dalam istilah fiqih diartikan membersihkan
badan, pakaian dan tempat dari najissebelum kita melakukan
ibadahseperti shalat, thawaf dalam ibadah haji dan sebagainya. Hal ini

13
Moh. Rifa’i, Ilmu Fiqih Islam Lengkap,Semarang, Toha Putra ,1978. Hlm., 70-72.

15
tidak berarti bahwa bersuci itu hanya dilakukan ketika kita akan
melakukan ibadah saja, melainkan juga dalam segala waktu dan
keadaan. Karena bersuci atau thaharah hukumnya wajib. Adapun cara-
cara bersuci adalah sebagai berikut14:
1) Wudhu
Wudhu menurut bahasa berarti baik dan bersih sedangkan
menurut istilah syara’ wudhu adalah membasuh muka, dan kedua
tangan sampai siku, mengusap sebagian kepala, dan membasuh
kaki didahului dengan niat dan dilakukan dengan tertib. Perintah
wudhu diberikan kepada orang yang akan mengerjakan shalat, dan
menjadi salah satu dari syarat sahnya shalat dan ibadah lainnya.
Perintah berwudhu bersamaan dengan perintah shalat wajib lima
waktu sehari semalam.
2) Mandi
Dalam syari’at Islam mandi adalah meratakan air yang suci pada
seluruh badan dengan disertai niat. Dengan demikian niat
merupakan hal yang membedakan antara mandi biasa dengan mandi
wajib (janabah). Disyariatkannya mandi berdasar firman Allah
dalam al-Qur’an yang artinya: “apabila kamu sekalian dalam
keadaan junub maka mandilah” (QS. Al-Maidah:7)
Adapun cara melakukan mandi wajib adalah:
a) Membasuh kedua tangan dengan niat yang ikhlas karena Allah
b) Membersihkan kotoran yang ada pada badan
c) Berwudhu (membasuh anggota wudhu)
d) Menyiram rambut dengan air sambil menggosok dan
menyilanginya dengan jari
e) Menyiram seluruh badan sebelah kanan dan menggosoknya
dengan rata.
3) Tayammum

14
Muhammad Arsyad Al-Banjari, Ibid, hlm., 25.

16
Apabila seseorang junub atau seseorang akan mengerjakan
shalat, orang tersebut tidak mendapatkan airuntuk mandi atau untuk
wudhu, maka sebagai ganti untuk menghilangkan hadats besar atau
kecil tersebut dengan melakukan tayammum. Tayammum menurut
bahasa sama dengan qasad artinya menuju. Sedangkan menurut
pengertian syara’, tayammum adalah menuju kepada tanah untuk
menyapukan dua tangan dan muka dengan niat agar dapat
mengerjakan shalat.15
Dalam hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari
Imran bin Hushani, beliau berkata: “Kami beserta Rasulullah SAW
dalam suatu kepergian, maka melaksanakan shalat beserta orang
banyak. Maka tiba-tiba ada seorang yang menyendiri. Maka Nabi
bersabda: ”Apa yang menghalangimu untuk melaksanakan
shalat?” berkata oarang tersebut: “Kami mengalami janabat dan
tidak mendapatkan air” Nabi bersabda: ‘Pakailah debu (untuk
bertayammum) karena tayammum itu cukup untukmu” (HR. As-
Syaikhani) Dalam ayat di atas memberi pengertian bahwa:
a) Berwudhu di waktu hendak bershalat adalah wajib
b) Berwudhu itu wajib atas tiap-tiap yang hendak bershalat
walaupun tidak berhadas, jumhur Ulama’ berpendapat umum
ayat ini dihadapkan pada orang yang berhadas, mengingat
hadits yang mewajibkan wudhu terhadap yang berhadas
c) Wudhu diwajibkan sesudah nabi berada di Madinah
d) Wudhu hanya wajib untuk bershalat saja. Adapun berwudhu
untuk beberapa perbuatan lain diperoleh dari hadits

C. Al-Muddatstsir Ayat 4

  

15
Imam Taqiyuddin Abu Bakar, Kifayatul Akhyar, Surabaya, Bina Imam, 2003. Juz 1,
Hlm., 19.

17
”! Dan pakaianmu bersihkanlah“
Tafsir Ibnu Katsir. Ada yang mengatakan, bersihkanlah dari dosa dan
kemaksiatan. Ada juga yang mengatakan, yang dimaksud adalah
membersihkan kalbu. Diakatakan pula, cucilah pakaianmu dengan air, karena
orang-orang musyrik itu dahulu tidak pernah bersuci, maka Allah
memerintahkan beliau untuk bersuci dan membersihkan pakaiannya. Pendapat
inilah yang menjadi pegangan ibnu Jarir. Namun, ayat ini mencakup semua
penafsiran diatas, karena orang-orang Arab sering mengatakan hati dengan
pakaian.
Tafsir al-Qurthubi. Dalam menafsirkan ayat tersebut terdapat dalam
delapan pendapat. Hal itu dikaitkan dengan maksud makna tsiyab yaitu amal,
hati, nafs, jasad, keluarga, akhlak, addiin, dan pakaian zahir. Dalam buku
“Panduan Berislam :
Paket Dakwah” yang diterbitkan DPP Hidayatullah pada tahun 2001 di
halaman 54 disebtkan makna ta’wil ayat tersebut berdasar pengertian tsiyab
adalah :
a. Dan amalmu perbaikilah (pendapat Mujahid dan Ibnu Zaid).
b. Dan hatimu sucikanlah. Mawardi berkata, suci dari dosa dan maksiat serta
khianat.
c. Dan nafs(jiwa)-mu sucikanlah, yaitu dari dosa.
d. Dan jasadmu sucikanlah, yaitu dari beberapa maksiat zahir.
e. Dan keluargamu sucikanlah dari berbagai kesalahan dengan nasihat dan
pendidikan. Dikaitkan dengan surat al-Baqarah
AYAT IBADAH SHALAT

A. Q. S. Al-Isra : 78
1. Ayat dan Terjemahan
 
  
  

18
   
  

Artinya : Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir
sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) shubuh. Sesungguhnya
shalat shubuh itu disaksikan (oleh malaikat).
2. Tafsir Mufradat
َّ ‫دُلُ ْوكُ ال‬
‫ش ْمس‬ : Tergelincirnya matahari
‫س ُق الَّيْل‬
َ ‫َغ‬ : Kegelapan malam yang pekat
‫قُ ْر ٰانُ ْالفَجْ ر‬ : Shalat shubuh
3. Penafsiran Ayat
Ayat ini menjelaskan tentang waktu-waktu shalat wajib. Tegasnya
dirikanlah sembahyang lima waktu sejak tergelincir matahari yaitu
permulaan waktu zuhur dan matahari itu sesudah tergelincir di tengah hari
dari pertengahan siang akan condong terus ke Barat sampai dia terbenam.
Oleh sebab itu dalam kata “tergelincir matahari” termasuklah Zuhur dan
Ashar, sampai ke gelap gulita malam. Artinya apabila matahari telah
terbenam ke ufuk Barat, datanglah waktu Maghrib. Bertambah matahari
terbenam ke balik bumi hilanglah syafaq yang merah, maka seketika itu
masuklah waktu Isya.16
Kemudian disebutkanlah Quranul Fajri yang secara harfiah berarti
bacaan di waktu fajar, tetapi karena ayat ini berbicara dalam konteks
kewajiban shalat, maka semua penafsir Sunnah/Syi’ah menyatakan bahwa
yang dimaksud adalah shalat Shubuh. Penggunaan istilah khusus ini untuk
shalat fajar karena ia mempunyai keistimewaan tersendiri, yaitu disaksikan
malaikat.17 Sebagaimana sabda Rasul SAW : “Shalat shubuh itu

16
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Singapura : Kejaya Pnont Pte Ltd, 2007). Halaman 4100.
17
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta : Lentera Hati, 2001). Halaman 165.

19
disaksikan oleh para malaikat malam dan para malaikat siang”
(H.R.Tirmidzi).18
Shalat Shubuh disebut dengan Quranul Fajri karena, di waktu
Shubuh hening pagi itu dianjurkan membaca ayat-ayat Al-Quran agak
panjang dari waktu lain.19
4. Pokok Kandungan Ayat
a. Perintah untuk mendirikan shalat lima waktu
b. Petunjuk waktu-waktu shalat wajib
c. Informasi bahwa keutamaan shalat shubuh itu disaksikan malaikat
siang dan malaikat malam.

B. Q. S. Hud : 114
1. Ayat dan Terjemahan
  
 
    
     
 
Artinya : Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang
(pagi dan petang) dan pada bagian permulaan daripada malam.
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapuskan (dosa)
perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang
yang ingat.
2. Tafsir Mufradat
‫ُزلَفًا ّمنَ الَّيْل‬ : bagian dari awal malam
‫ط َرفَي النَّ َهار‬ َ : tepi siang, maksudnya Shubuh dan Ashar

18
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, (Mesir : Mustafa Al-Babi Al-Halabi,
1974). Halaman 161.
19
Hamka, Tafsir Al-Azhar,...Halaman 4100.

20
3. Penafsiran Ayat
Ayat ini mengajarkan laksanakanlah shalat dengan teratur dan
benar sesuai dengan ketentuan , rukun, syarat, dan sunnah-sunnahnya pada
kedua tepi siang, yakni apgi dan petang, atau Shubuh dan Zuhur dan Ashar
(diriwayatkan dari Al-Hasan Qatadah dan Ad-Dahak, bahwa yang
dimaksud ialah shalat Shubuh dan Ashar20, pendapat lain mengatakan
bahwa yang dimaksud dua tepi siang adalah shalat Shubuh dan Zuhur,
Ashar, Maghrib21) dan pada bagian permulaan dari malam yaitu Maghrib
dan Isya.22
Kata zulafan adalah bentuk jamak dari kata zulfah yaitu waktu-
waktu yang saling berdekatan. Tsa’labi mengatakan bahwa arti zulafan
ialah permulaan malam. Al-Akhfasy mengatakan arti zulafan ialah seluruh
saat-saat malam, tetapi beliau mengakui asal makna dari zulafan adalah
dekat. Memanglah Maghrib dan Isya itu masih permulaan dari malam.23
Innal hasanata yudzhibnas sayyiaat ditafsirkan yakni perbuatan-
perbuatan baik yang didasari oleh keimanan dan ketulusan akan dapat
membentengi diri seseorang sehingga dengan mudah ia dapat terhindar
dari keburukan-keburukan. Selain itu juga dapat ditafsirkan bahwa Allah
SWT mengampuni dosa-dosa kecil apabila seseorang telah mengerjakan
amal-amal shaleh.24 Sebagaimana yang tertuang dalam Q. S .An-Nisa : 31
yang artinya “Jika kamu menjauhi dosa-dosa besar diantara dosa-dosa
yang dilarang kamu mengerjakannya, niscaya Kami hapus kesalahan-
kesalahanmu, dan Kami masukkan kamu ke tempat yang mulia”. Juga
seperti yang disabdakan Rasul : “Dan iringilah keburukan dengan
kebaikan, sesungguhna kebaikan itu menghapus keburukan”.25
Al-hasanat ada yang memahaminya secara khusus yakni shalat dan
istighfar, tetapi pendapat yang lebih baik adalah yang memahaminya

20
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,...Halaman 184.
21
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 773.
22
Ibid,.
23
Hamka, Tafsir Al-Azhar,... Halaman 3562.
24
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 774.
25
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,...Halaman 187.

21
secara umum, yaitu seluruh kebajikan. Namun demikian kata sayyiaat
harus dipahami dalam bentuk khusus yakni, keburukan (dosa) kecil.26
4. Pokok Kandungan Ayat :
a. Perintah mendirikan shalat wajib dan petunjuk waktu-waktunya
b. Perintah untuk selalu berbuat baik karena dapat menghapus dosa
5. Asbabun Nuzul :
Seorang laki-laki telah melakukan dosa dengan memegang-megang
wanita dengan nafsu birahi saat dia sedang mengobati wanita itu. Lalu ia
merasa bersalah dan mengadukan hal itu pada Umar dan Abu Bakar, dan
mereka berdua menasihati bahwa hal tersebut dirahasiakan saja, sebab
Allah pun telah menutup rahasia itu. Namun karena masi merasa bersalah,
lalu ia datang kepada Rasul seraya berkata : ”Itulah kesalahanku yang aku
telah terlanjur melakukannya. Inilah aku ya Rasulullah ! Hukumah aku
bagaimana baiknya !”. Namun Rasul diam saja sehingga laki-laki itu
pergi dengan muka muram. Kemudian Rasulullah mengikutinya dan
dipanggilnya kembali laki-laki itu, lalu membacakan ayat ini.27

C. Q. S. Al-Baqarah : 238-239
1. Ayat dan terjemahan
 
 
  
  
  
  
  
   
  

26[11]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 774.
27[12]
Hamka, Tafsir Al-Azhar,... Halaman 3565.

22
Artinya : (238). Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah)
shalat wusthaa. Berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyuk. (239). Jika kamu dalam keadaan takut (bahaya), maka shalatlah
sambil berjalan atau berkendaraan. Kemudian apabila kamu telah aman,
maka sebutlah Allah (shalatlah), sebagaimana Allah telah mengajarkan
kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
2. Tafsir Mufradat :
ُ ‫َحاف‬
‫ظ ْوا‬ : melaksanakan shalat dari waktu ke waktu dengan
memenuhi segala syarat dan rukunnya
‫فَر َجا ًل‬ : maka berjalanlah
‫ُر ْك َبانًا‬ : berkendara
3. Asbabun Nuzul :
Zaid Ibnu Arqam menceritakan : Kami (para sahabat) sering
berkata-kata dalam shalat, dimana seorang dari kami berbicara kepada
kawannya yang berada di sampingnya dalam keadaan melaksanakan shalat
sehingga turunlah ayat ini. Kemudian Nabi SAW memerintahkan kami
agar berlaku tenang dan melarang kami berbicara. (H.R. Ahmad, Bukhari
dan Muslim).28
4. Pokok Kandungan dan Hukum dalam Ayat :
a. Perintah memelihara shalat wajib secara teratur
b. Perintah melakukan shalat dengan khusyu’,
Sebagaimana disabdakan Rasul SAW : “Sembahlah Allah
seolah-olah engkau melihat-Nya, dan jikka engkau tidak bisa melihat-
Nya maka sesungguhnya Allah melihatmu”.
c. Mengindikasikan bahwa shalat tidak boleh ditinggalkan dalam keadaan
apapun meskipun dalam keadaan berperang dan dihukumkan boleh
shalat dengan cara berjalan atau berkendara jika dalam keadaan
bahaya, namun keringanan itu hilang seiring dengan hilangnya sebab.
Ayat ini diapit oleh ayat-ayat yang membicarakan tetang
pernikahan, talak, cerai, iddah, ruju’ serta nafkah sehingga menimbulkan

28
Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi,...Halaman 145.

23
kebingungan karena munculnya ayat tentang shalat secara tiba-tiba.
Tentang ini Sayyid Quthub berkomentar : “Ketentuan-ketentuan yang
diceritakan Allah sebelum ayat ini, semuanya disatukan oleh ibadah
kepada Allah. Ibadah kepada-Nya dalam perkawinan, ibadah kepadanya
dalam hubungan seks dan meneruskan keturunan, ibadah kepada-Nya
dalam merujuk isteri atau menceraikan dengan baik sehingga dapat
dipahami bahwa ketentuan-ketentuan itu serupa dengan shalat dari segi
ketaatan kepada Allah SWT.”29

D. Q. S. An-Nisa : 101-103
1. Ayat dan Terjemahannya
  
  
   
   
 
  
 
   
   
  
  

 
  
 
  
  
29[14]
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah,...Halaman 625.

24
 
  
  
 

 
   
   
    
   
  
   
  
  
  
  
 
  
 
  
  
 
 
Artinya : 101. dan apabila kamu bepergian di muka bumi, Maka
tidaklah mengapa kamu men-qashar sembahyang(mu), jika kamu takut
diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah
musuh yang nyata bagimu. 102. dan apabila kamu berada di tengah-
tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-

25
sama mereka, Maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat)
besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang
shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan serakaat), Maka
hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh)
dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum bersembahyang,
lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap
siaga dan menyandang senjata. orang-orang kafir ingin supaya kamu
lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu
kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjata-
senjatamu, jika kamu mendapat sesuatu kesusahan karena hujan atau
karena kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah
telah menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.
103. Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah
di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. kemudian
apabila kamu telah merasa aman, Maka dirikanlah shalat itu
(sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.
2. Asbabun Nuzul
Asbabun nuzul ayat 101-102: diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Ali
beliau berkata: satu kaum dari Bani Najjar bertanya kepada Rasulullah
Saw., mereka berkata: “wahai Rasulullah, kami sedang dalam perjalanan,
maka bagaimana kami sholat?”. Maka turunlah ayat ( ‫ض‬ ْ ‫َوإِذَا ض ََر ْبت ُ ْم فِي‬
ِ ‫األر‬
ُ ‫ح أ َ ْن ت َ ْق‬
َّ ‫ص ُروا ِمنَ ال‬
‫صال ِة‬ ٌ ‫علَ ْي ُك ْم ُجنَا‬ َ ‫)فَلَي‬. Ayat (wahyu) terputus sampai di
َ ‫ْس‬
sini. Kemudian setelah hampir setahun setelah kejadian itu Nabi keluar
tuk berperang, dan ketika tiba waktu zuhur Nabi bersama para sahabatnya
melaksanakan sholat zuhur. Pada saat Nabi sedang sholat, kaum
Musyrikin berseru: “Sungguh memungkinkan bagi kalian untuk
menyerang Muhammad dan Shohabatnya dari belakang, apakah kalian
ingin menyerangnya?”. Kemudian salah seorang di antara mereka berkata:
“masih ada kelompok lain yang sama banyaknya dengan kelompok itu di

26
belakangnya”. Kemudian Allah pun menurunkan ayat ( ‫ِإ ْن ِخ ْفت ُ ْم أ َ ْن يَ ْفتِنَ ُك ُم‬

‫ )الَّ ِذينَ َكفَ ُروا‬sampai pada ayat (‫عذَابًا ُم ِهينًا‬


َ ).
3. Tafsir Mufradat
a. ‫ضربتم‬ : ‫سافرتم‬yang berarti melakukan perjalanan jauh atau
bepergian
b. ‫فليس عليكم جناح‬ : Kata-kata laisa ‘alaikum junahun itu berarti "tidak
berdosa" untuk menyingkirkan rasa was-was atau keberatan
mengqashar sholat karena tidak biasa dilakukan.
c. ‫ أن تقصروا‬: meng-qashor atau berarti meringkas, bisa meringkas 'adad
(jumlah), yakni dengan mengerjakan sholat yang empat rakaat menjadi
dua rakaat, dan bisa maksudnya qashrush sifat, yaitu meringankan
rukun-rukun sholat yang 2 rakaat itu, ketika dalam perjalanan dan saat
kondisi khauf (khawatir).
d. ‫وعلى جنوبكم‬ : ‫مضطجعين‬yang berarti dalam keadaan berbaring
atau dalam keadaan bagaimana pun jua.
4. Penafsiran :
Pada Ayat 101 ini merupakan dasar tentang bolehnya mengqashar
shalat dalam perjalanan baik dalam keadaan takut maupun tidak.
Sebagaimana yang disabdakan Rasul saat ditanyai tentang mengqashar
shalat jika tidak dalam keadaan takut : “Itu adalah sedekah yang
disedekahkan Allah kepada kamu. Maka, terimalah sedekah-Nya” (HR.
Muslim, Tirmidzi, Nasa’i dan lain-lain). Sedang yang menjadi syarat
adalah jarak dan waktu tempuh musafir. Mazhab Syafi’i dan Maliki
menilai bahwa jaraknya lebih dari 77 km, sedang mazhab Hanbali
berpendapat 115 km. Mazhab Syafi’i, Maliki dan Hanbali berpendapat
bahwa seseorang tidak lagi dinamai musafir jika berniat tinggal selama
empat hari atau lebih di tempat tujuannya, sedangkan Hanafi
membolehkan sampai 15 hari.30

30
Ibid...Hal 690.

27
Ayat 102 berisi tentang cara shalat dalam situasi bahaya. Mayoritas
ulama berpendapat bahwa imam melaksanakan shalat dengan setiap
kelompok satu rakaat, tetapi mereka berbeda pendapat tentang cara
pembagiannya, serta kapan imam salam.
Ayat 103 mewajibkan untuk selalu mengingat Allah SWT setiap
saat dalam segala keadaan, bahkan saat duduk, berdiri ataupun berbaring.
Kata mauquutan ditafsirkan bahwa setiap shalat mempunyai waktu dalam
arti ada masa ketika orang harus menyelesaikannya.31

AYAT IBADAH SHALAT SUNNAH

A. Definisi Shalat Sunnah


Shalat Tahajjud adalah shalat sunnah yang dikerjakan pada malam hari
sesudah mengerjakan shalat Isya sampai terbitnya fajar dan sesudah bangun
dari tidur, meskipun itu hanya sebentar. Hukum Shalat Tahajjud adalah
Sunnat Mu’akkad, yaitu sunnat yang sangat dianjurkan untuk dikerjakan,
karenanya maka Rasul SAW sangat menganjurkan kepada para umatnya
untuk senantiasa mengerjakan shalat Tahajjud. Karena dalam shalat Tahajjud
terdapat keutamaan dan keistimewaan yang besar sekali.
Beberapa dalil yang menyinggung keutamaan bangun pada dua pertiga
malam shalat tahajjud adalah Surat AL-MUZZAMMIL ayat 1 – 20. Berikut
salah Satu petikan dari surat AL-MUZZAMMIL AYAT 20:
Surat Ini menjelaskan bagaimana Allah memberi kita waktu waktu yang
kiranya paling tepat untuk memohon doa. Maha Benar ALLAH dengan
segala firmannya. Rasulullah SAW pun bersabda: “Kerjakanlah shalat
malam, karena shalat malam itu kebiasaan orang-orang yang shaleh sebelum
kamu dahulu, juga suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada TUHAN
kalian, juga sebagai penebus pada segala kejahatan (dosa) mencegah dosa
serta dapat menghindarkan penyakit dari badan (HR.Imam Tirmidji &
Ahmad)

31
Ibid,. Hal 693.

28
Dengan melaksanakan Sholat tahajud secara ikhlas karena Allah SWT
dan dengan rajin maka kita akan di mudahkan dalam menghadapi kehidupan
di jaman sekarang yaitu cara cepat kaya dan bahagia dengan shalat tahajud.
Allah SWT menegaskan bahwa orang yang shalat tahajud akan selalu
mempunyai sifat rendah hati dan ramah. Ketenangan yang merupakan
refleksi ketenangan jiwa dalam menjalani kehidupan sehari-hari di
masyarakat.

B. Ayat-ayat Sholat Tahajud


1. Ayat dan Terjemah
a. Al Muzzammil ayat 20

Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri


(sembahyang) kurang dari dua pertiga malam, atau seperdua malam
atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari orang-orang
yang bersama kamu. dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang.
Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan
batas-batas waktu-waktu itu, Maka Dia memberi keringanan
kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al
Quran. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang
yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari
sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi berperang di
jalan Allah, Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al Quran
dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah
pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. dan kebaikan apa saja
yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh
(balasan)nya di sisi Allah sebagai Balasan yang paling baik dan yang
paling besar pahalanya. dan mohonlah ampunan kepada Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Al-
Muzammil: 20)

29
b. Al Israa’ : 79

2. Asbabun Nuzul
a. Al Muzzammil ayat 20
Sholat malam ini mula-mula wajib, sebelum turun ayat ke 20 dalam
surat ini. setelah turunnya ayat ke 20 ini hukumnya menjadi sunat.
Diriwayatkan oleh al-Bazzar dan ath-Thabarani dengan sanad yang
lemah, yang bersumber dari Jabir bahwa ketika kaum Quraisy
berkumpul di gedung Darun Nadwah, mereka berkata satu sama
lainnya: “Mari kita carikan bagi Muhammad nama yang tepat dan
cepat dikenal orang.” Mereka berkata: Kaahin (dukun). Yang lainnya
menjawab: “Dia bukan dukun.” Yang lainnya berkata lagi: “Majnuun
(orang gila).” Yang lainnya menjawab: “Dia bukan orang gila.”
Mereka berkata lagi: “Saahir (tukang sihir)”. Yang lainnya menjawab:
“Dia bukan tukang sihir.” Kejadian ini sampai kepada Nabi saw
sehingga beliaupun menahan diri dengan berselimut dan berkerudung.
Maka datanglah malaikat Jibril menyampaikan wahyu, yaa ayyuhal
muzzammil (hai orang yang berselimut [Muhammad] dan yaa ayyuhal
muddatstsir (hai orang yang berkemul [berselimut]) (al-Muddatstsir: 1)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ini (Al-Muzammil: 1)
turun saat Nabi saw sedang berselimut dengan selimut
beludru.(diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari
Ibrahim an-Nakho’i.
Diriwayatkan oleh al-Hakim yang bersumber dari ‘Aisyah. Hadits
seperti ini diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Ibnu
‘Abbas dllbahwa setelah turun ayat ini (Al-Muzammil: 1-4), yang
memerintahkan agar kaum Muslimin bangun untuk melaksanakan
shalat selama kurang lebih setengah malam pada tiap-tiap malam, para
sahabat melaksanakannya dengan tekun. Kejadian ini berlangsung
selama setahun sehingga menyebabkan kaki mereka bengkak-bengkak.

30
Maka turunlah ayat berikutnya (Al-Muzammil: 20) yang memberikan
keringanan untuk bangun malam dan mempersingkat bacaan.

b. Al Israa’ : 79
Dan pada sebagian malam hari, shalat tahajjudlah kamu sebagai
suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Rabbmu
mengangkatmu ke tempat yang terpuji.
Allah yang Mahasuci lagi Mahatinggi berfirman kepada Rasul-
Nya, Muhammad saw, seraya menyuruhnya untuk mengerjakan shalat
wajib tepat pada waktunya.
Aqimish shalaata liduluukisy syamsi (“Dirikanlah shalat dari
sesudah matahari tergelincir.”) Ada yang berpendapat, yakni sesudah
matahari terbenam. Demikian yang dikemukakan oleh Ibnu Mas’ud,
Mujahid dan Ibnu Zaid.
Hasyim menceritakan, dari al-Mughirah, dari asy-Sya’bi, dari Ibnu
`Abbas: “Duluuk berarti tergelincirnya matahari.” Hal itu juga
diriwayatkan oleh Nafi’, dari Ibnu `Umar. Juga diriwayatkan oleh
Imam Malik dalam tafsirnya dari az-Zuhri, dari Ibnu `Umar. Dan
dikemukakan juga oleh Abu Barzah al-Aslami. Hal itu juga merupakan
riwayat dari Ibnu Mas’ud dan Mujahid. Demikian pula al-Hasan, adh-
Dhahhak, Abu Ja’far al-Baqir dan Qatadah mengatakan, juga menjadi
pilihan Ibnu Jarir.
Dengan demikian, di dalam ayat ini disebutkan waktu kelima
shalat wajib, yakni dalam firman-Nya: Aqimish shalaata liduluukisy
syamsi ilaa ghasaqil laili (“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari
tergelincir sampai gelap malam.”) Yakni gelap malam. Ada yang
menyatakan, diambil dari terbenamnya matahari itu waktu-waktu,
dhuhur, `ashar, maghrib dan `isya’.
Wa qur-aanal fajri (“Dan shalat fajar,”) yakni shalat subuh. Di
dalam hadits yang bersumber dari Rasulullah ditegaskan
kemutawatiran perbuatan maupun ucapan beliau yang merinci waktu-

31
waktu shalat tersebut sebagaimana yang sudah berlaku bagi kaum
muslimin sekarang ini, yang diajarkan dari generasi ke generasi, dari
waktu ke waktu, sebagaimana yang telah ditetapkan pada tempatnya
masing-masing. Segala puji bagi Allah.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi
bersabda: “Keutamaan shalat berjama’ah atas shalat sendiri adalah dua
puluh lima derajat. Para Malaikat malam dan Malaikat siang
berkumpul pada shalat Subuh.”
Abu Hurairah ra. berkata, jika kalian menghendaki bacalah: wa
qur-aanal fajri. Inna qur-aanal fajri kaana masy-Huudan (“Dan shalat
subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu di saksikan [oleh Malaikat].”)
Dalam kitab ash-Shahihain juga diriwayatkan melalui jalan Malik
dari Abu Hurairah, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Para Malaikat
malam dan Malaikat siang datang kepada kalian silih berganti, dan
mereka berkumpul pada shalat shubuh dan shalat `ashar. Kemudian
para Malaikat yang berada di tengah-tengah kalian itu naik. Lalu
mereka ditanya oleh Rabb mereka, yang Dia lebih mengetahui tentang
kalian, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku?’ Para
Malaikat itu menjawab: ‘Kami datang kepada mereka ketika mereka
tengah mengerjakan shalat dan kami tinggalkan mereka juga ketika
mereka tengah mengerjakan shalat.’”
`Abdullah bin Masud berkata: “Para penjaga (Malaikat) berkumpul
pada waktu shalat shubuh, lalu sebagian mereka ada yang naik ke
langit dan sebagian lagi tetap tinggal.”
Dan firman Allah Ta’ala: wa minal laili fataHajjad biHii naafilatal
laka (“Dan pada sebahagian malam hari, shalat tahajjudlah kamu
sebagai suatu ibadah tambahan bagimu.”) Allah memerintahkan
Rasululah untuk senantiasa qiyaamul lail (bangun malam) setelah
mengerjakan shalat wajib. Sebagaimana yang disebutkan dalam kitab
Shahih Muslim, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah bahwasanya beliau
pernah ditanya: “Shalat apakah yang paling baik setelah shalat wajib?

32
Maka beliau pun menjawab: “Shalat malam (tahajjud).”

Oleh karena itu, Allah Ta’ala menyuruh Rasul-Nya untuk bangun


malam setelah mengerjakan semua shalat wajib, karena shalat tahajjud
itu dikerjakan setelah tidur. Demikian yang dikemukakan oleh
‘Alqamah, al-Aswad, Ibrahim an-Nakha’i dan beberapa ulama lainnya.
Dan itu pula yang dipahami menurut pengertian bahasa Arab.
Rasulullah saw. mempunyai beberapa kemuliaan pada hari Kiamat
kelak yang tidak diperoleh seorang pun selain beliau, dan berbagai
kemuliaan yang tidak seorang pun menyamainya dalam kemuliaan
tersebut. Beliau adalah orang yang pertama kali dibelahkan bumi dan
dibangkitkan dengan menaiki kendaraan beliau menuju ke Mahsyar,
dan beliau mempunyai panji yang selain Adam as. berada di bawah
panji beliau.
Beliau juga mempunyai telaga yang paling banyak orang yang
mendatanginya. Selain itu, beliau juga mempunyai syafa’at yang
sangat agung di sisi Allah Ta’ala. Beliau akan datang untuk
menentukan keputusan pengadilan di tengah-tengah semua makhluk.
Hal itu berlangsung setelah umat manusia meminta syafa’at tersebut
kepada Adam, lalu Nuh, lalu Ibrahim, lalu Musa dan kemudian `Isa.
Masing-masing dari Nabi tersebut mengatakan: “Syafa’at itu bukan
menjadi hakku.” Sehingga mereka mendatangi Muhammad saw, maka
beliau berkata: “Aku memang yang berhak memberinya.”
Sebagaimana yang akan kami uraikan lebih lanjut dalam pembahasan
ini secara rinci, insya Allah.

33
AYAT IBADAH PUASA

A. Definisi Puasa
Puasa menurut pengertian bahasa adalah menahan diri, meninggalkan,
menutup diri dari segala sesuatu, baik dalam bentuk ucapan maupun
perbuatan, dari makanan atau minuman. 32
Puasa Ramadhan adalah salah satu rukun Islam yang diwajibkan atas
setiap muslim, baik laki-laki maupun perempuan. Puasa ini diwajibkan sekali
setahun selama sebulan, pada bulan Ramadhan.
Puasa itu pada mulanya diwajibkan sebagaimana umat-umat yang
dahulu pada tiap bulan selama tiga hari sejak zaman Nabi Nuh AS sehingga
dimansukhkan oleh Allah dengan puasa bulan Ramadhan. 33
Puasa Ramadhan mulai diwajibkan pada hari Senin, tanggal 2 Sya’ban
tahun ke-2 Hijriah. Ini berarti bahwa puasa Ramadhan mulai diwajibkan
setelah Nabi berhijrah ke Madinah. Sebelum diturunkan kewajiban berpuasa
itu tidak berarti bahwa mereka tidak pernah melakukan puasa. Ketika baru tiba
di Madinah, Rasulullah memerintahkan kaum Muslilmin untuk berpuasa 3
hari dalam sebulan. Namun setelah turunnya kewajiban berpuasa Ramadhan,
maka yang diwajibkan atas orang beriman hanyalah puasa Ramadhan. 34

B. Ayat
 
  
  
   
  
   
   
   
   
32
Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli, Jalaluddin Abd al-Rahman bin Abi Bakr
al-Suyuthi, Tafsir al-Qur’an al-Adzim “Tafsir Jalalain”, Surabaya: Dar-al ‘Abidin, Hlm. 26.
33
Ali al-Shabuni, Shofwat al-Tafasir, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid 1, Hlm. 123
34
Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 2005, Jilid 1, Hlm. 504

34
 
   
   
    
    
  
  
  
  
  
   
   
   
    
  
   
 
 
   
  
  
   
  
  
 
  
  
  
   
   
    
  
  
   
 
    
 
  
  
  
   

35
   
  
   
   
  
  
  


C. Terjemahan
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa
sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa,
(yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barangsiapa diantara kamu
ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang
lain. dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.
Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, Maka Itulah
yang lebih baik baginya. dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu
Mengetahui. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan
yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi
manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda
(antara yang hak dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu
hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa
pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu,
pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak
menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan
bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya
yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur. Dan apabila hamba-
hamba-Ku bertanya kepadamu tentang aku, Maka (jawablah), bahwasanya
Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila

36
ia memohon kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala
perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu
berada dalam kebenaran. Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa
bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah Pakaian bagimu, dan
kamupun adalah Pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu
tidak dapat menahan nafsumu, Karena itu Allah mengampuni kamu dan
memberi ma'af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa
yang Telah ditetapkan Allah untukmu, dan makan minumlah hingga terang
bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian
sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu
campuri mereka itu, sedang kamu beri'tikaf dalam mesjid. Itulah larangan
Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan
ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.35

D. Asbabun Nuzul
Al-Baqarah 184
Diterangkan oleh ibn sa’ad dalam thabaqatnya, dari Mujahid katanya:
ayat ini diturunkan mengenai majikan dari Qis bin Saib (yang sudah sangat
lanjut usia) “Dan bagi orang yang berat menjalankannya wajib membayar
fidyah yaitu memberi makan seorang miskin”(al-Baqarah : 184). Lalu ia
berbuka dan memberi makan seorang miskin untuk setiap hari Ramadhan
yang tidak dipuasakannya.
Al-Baqarah 186
Ibnu jarir al-tabbari dan ulama lain mengeluarkan hadits dari
muawiyyah bin haidah dari bapaknya, dari kakeknya, dia berkata: seorang
arab badui datang kepada Nabi SAW, kemudian dia bertanya: dekatkah tuhan
kita? Kalau dekat, Maka kita hendak berbisik dengan-Nya, ataukah jauh?

35
Hamka, Tafsir al- Azhar juz II, Jakarta : Panji Masyarakat, 1982, hal 126-140

37
Maka kita hendak memanggil-Nya, kemudian Nabi diam sejenak, lalu turun
ayat “wa idza saalaka ‘ibadi ‘anni fa inni qarib... 36
Diriwayatkan seorang Baduwi bertanya, “Ya Rasulullah, Tuhan itu
dekat sehingga dapat berbisik kepada-Nya atau jauh sehingga harus kita
panggil?” Nabi SAW, diam sejenak, tiba-tiba Allah menurunkan ayat ini. (HR
Inbu Abi Hatim)
Sengaja Allah meletakkan ayat ini (Ayat 186) di tengah-tengah ayat
puasa, sebagai tuntunan anjuran supaya rajin berdoa ketika selesai bilangan
puasa bahkan pada tiap berbuka puasa, sebagaimana riwayat dari Abdullah bin
Amr RA. Yang mengatakan, “ saya mendengar Rasulullah bersabda
:’Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa ketika berbuka tersedia doa yang
tidak akan ditolak.’(HR Ibnu Majah dan Abu Dawud). 37
Al-Baqarah 187
Ahmad bin Hanbal, Abu Dawud, dan Hakim, mengeluarkan hadits dari
Mu’adz bin Jabal, dia berkata: mereka (para sahabat Nabi) makan, minum dan
berhubungan intim dengan istri-istrinya sebelum tidur, ketika telah tidur
mereka mencegahnya, kemudian ada yang bilang kepada seorang laki-laki dari
kaum anshor: qais bin shirmah telah shalat isya, kemudian dia tidur, belum
makan, belum pula minum hingga subuh, kemudian dia merasa payah, dan
Umar berhubungan intim dengan istrinya setelah ia tidur, kemudian datang
kepada Nabi SAW lalu menceritakan kejadian tersebut, lalu Allah
menurunkan ayat” uhilla lakum lailata al-shiyami al-rofatsu....
Ayat ini menunjukkan bahwa ketika diwajibkan berpuasa, lalu
mengalami permasalahan, maka para sahabat berijtihad dengan pendapatnya
secara lebih hati-hati dan lebih dekat kepada ketakwaan, sehingga turunlah
ayat ini.

E. Formulasi Rumusan Tafsir

36
Abi al-Qasim jarullah mahmud bin umar al-Zamahsyari al-khawarizmi, al-kassyaf an
haqaiqi al-tanzil wa ‘uyun al-aqawil fi wujuhi al-ta’wil, beirut: dar al-fikr, hlm. 515
37
Muhamad Ali Al-Shabuni, Tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Qur’an, Beirut: Dar Ibnu
Abbud, 2004, hlm. 137

38
‫فُ ِرضَ = ُكتِب‬
Artinya: diwajibkan/ difardhukan
" َ‫="لَعَلَّ ُك ْم تَتَّقُون‬ َّ ‫اصي فَ ِإنَّهُ يَ ْكسِر ال‬
‫شه َْوة ا َّل ِتي ِه َي َم ْب َد ُؤ َها‬ ِ َ‫ا ْل َمع‬
Artinya :( agar kamu bertaqwa) maksudnya menjaga dirimu dari maksiat,
kaena puasa itu dapat membendung syahwat yang menjadi pangkal dan biang
keladi maksiat itu.
ُ َ‫الصيَ ِام أ َ ْو ي‬
‫صو ُموا ُمقَد ًَّرا‬ َ ‫"أَيَّا ًما" نُ ِص‬
ِ ِ‫ب ب‬
Artinya :( beberapa hari) manshub sebagai maf’ul dan fi’il amar yang
bunyinya diperkirakan shiyam atau shaum.
‫ع َلى ا ْل ُم َكلَّ ِفين‬ ْ َ ‫سيَأْتِي َوقَ َّللَهُ ت‬
ً ‫س ِه‬
َ ‫يال‬ َ ‫" َم ْعدُودَات" أَ ْي قَ َالئِل أ َ ْو ُم َؤقَّتَات ِبعَ َد ٍد َم ْعلُوم َو ِه َي َر َمضَان َك َما‬
Artinya : Berbilang maksudnya yang sedikit atau ditentukan waktunya
dengan bilangan yang diketahui, yakni selama bulan ramadhan. Dikatakannya
yang sedikit untuk memudahkan bagi mukallaf.
ُ ‫"فَ َم ْن كَانَ ِم ْن ُك ْم" ِحين‬
‫ش ُهوده‬
(Maka barang siapa diantara kamu) yakni sewaktu kehadiran hari-hari itu
‫سفَر ا ْلقَصْر َوأَجْ َه َدهُ الص َّْوم ِفي ا ْلحَالَي ِْن فَأ َ ْف َط َر‬ َ ‫سفَر" أ َ ْي ُم‬
َ ‫سافِ ًرا‬ َ ‫" َم ِريضًا أ َ ْو‬
َ ‫علَى‬
(sakit atau dalam perjalanan) maksudnya perjalanan untuk waktu singkat,
bukan untuk merantau lama, dan sulit baginya untuk mengerjakan puasa
dalam kedua situasi tersebut lalu ia berbuka.
‫"فَ ِعدَّة" فَعَلَ ْي ِه ِعدَّة َما أ َ ْف َط َر‬
(maka hendaklah dihitungnya) berapa hari ia berbuka, lalu berpuasalah
sebagai gantinya.
‫علَى الَّ ِذينَ " ََل "يُ ِطيقُونَهُ" ِل ِكبَ ٍر أَ ْو َم َرض ََل يُ ْرجَى بُ ْر ُؤ ُه‬
َ ‫" َو‬
(dan bagi orang-orang yang tidak sanggup melakukannya) disebabkan usia
lanjut atau penyakit yang tak ada harapan untuk sembuh
ْ ‫"فِ ْديَة" ِه َي " َطعَام ِم‬
"‫س ِكين‬
(maka hendaklah membayar fidyah) yaitu (memberi makan orang miskin)
artinya sebanyak makanan seorang miskin tiap hari yaitu satu gantang (mud)
dari makanan pokok penduduk negeri.
" ‫"فَ َم ْن ش َِهدَ" َحض ََر‬
(maka barang siapa yang menyaksikan ) artinya hadir

39
‫سفَر فَ ِعدَّة ِم ْن أَيَّام أ ُ َخر" تَقَ َّد َم ِمثْله َوك ُِر َر ِلئ ََّال‬ َ ‫ص ْمهُ َو َم ْن كَانَ َم ِريضًا أ َ ْو‬
َ ‫علَى‬ ُ َ‫شهْر فَ ْلي‬ َّ ‫ِم ْن ُك ْم ال‬
‫يم َم ْن ش َِه َد‬ ْ ‫يُت َ َو َّهم َن‬
ِ ‫سخه بِت َ ْع ِم‬
(barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu,
Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa),
sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain)sebagaimana telah diterangkan terdahulu. Diulang-ulang agar jangan
timbul dugaan adanya naskh dengan diumumkannya “menyaksikan bulan”
‫اْل ْفضَاء‬
ِ ْ ‫الرفَث" ِب َم ْعنَى‬ ِ ‫"أ ُ ِح َّل لَ ُك ْم لَ ْيلَة‬
َّ ‫الص َيام‬
(dihalalkan bagimu pada malam hari puasa berkencan dengan istri-
istrimu)maksudnya mencampuri mereka.
ِ ‫"هُنَّ ِلبَاس لَ ُك ْم َوأ َ ْنت ُ ْم ِلبَاس لَ ُهنَّ " ِكنَايَة ع َْن تَعَانُقه َما أَ ْو احْ تِ َياج ُكل ِم ْن ُه َما إلَى ص‬
" ‫َاحبه‬
(mereka itu pakaian bagimu dan kamu pakaian bagi mereka) sindiran bahwa
kedua mereka saling membutuhkan dan bergantung.
‫"و ُكلُوا َواش َْربُوا" اللَّيْل كُله‬
َ
(makan dan minumlah) sepanjang malam itu
‫" َحتَّى َيتَ َب َّين" َي ْظهَر‬
(hingga nyata) atau jelas
‫صادِق بَيَان ِل ْل َخي ِْط ا ْألَ ْبيَض َوبَيَان‬
َّ ‫س َود ِم ْن ا ْلفَجْ ر" أ َ ْي ال‬ ْ َ ‫"لَ ُك ْم ا ْل َخيْط ْاألَ ْبيَض ِم ْن ا ْل َخيْط ْاأل‬
. ‫شبْه َما يَ ْبدُو‬ِ ‫س َود َمحْ ذُوف أ َ ْي ِم ْن اللَّيْل‬ ْ َ‫ْاأل‬
(bagimu benang putih dan benang hitam berupa fajar shadiq), sebagai
penjalasan bagi benang putih, sedangkan penjelasan bagi benang hitam
dibuang yaitu malam hari. Fajar itu tak ubahnya seperti warna putih
bercampur warna hitam yang memanjang dengan dua buah garis berwarna
putih dan hitam. 38

F. Tafsir Tiap Ayat


1) Ayat 183-184

38
Imam Jalaludin al-Mahally dan imam Jalaludin as-Suyuthi, Terjemah Tafsir Jalalain
Berikut Asbabun Nuzul , Bandung : Penerbit Sinar Baru, hal 96-100

40
Dalam ayat ini Allah memanggil umat beriman untuk berpuasa.
Kewajiban ini juga telah diwajibkan kepada umat-umat yang terdahulu
guna mencapai takwa yang sesungguhnya. Dalam puasa ada tuntunan
untuk mempersempit pengaruh setan. Sabda Nabi SAW.
Abdullah bin Umar mengatakan bahwa Rasulullah SAW, bersabda
: “Berpuasa bulan Ramadhan telah diwajibkan oleh Allah kepada umat-
umat sebelummu (Ahlul kitab).” (HR Ibnu Abi Hatim). 39
Kemudian diterangkan hukum puasa pada permulaannya, siapa
yang dalam keadaan sakit atau musafir, mereka tidak berpuasa, hanya saja
hars qadha menurut bilangan hari yang ia tidak puasa.
Adapun perubahan puasa yaitu ketika Nabi hijrah ke Madinah,
awalnya tiap bulan 3 hari, berpuasa Asyura juga. Kemudian turunlah ayat
yang mewajibkan puasa.
Wa’alalladzina yuthiqunahu, dalam tafsir jalalain, mengira-
ngirakan la pada lafadz yuthiqunahu, yakni ay la yuthiqunahu40 (bagi
orang yang tak mampu puasa). Tidak ada kepastian pembuangan la pada
lafadz tersebut, sebab sebenarnya makna yuthiqunahu adalah orang yang
mampu berpuasa namun disertai dengan sangat kepayahan/kesusahan,
seperti orang tua yang pikun, ibu hamil, menyusui, mereka sebenarnya
mampu berpuasa namun terasa berat lagi menambah beban. al-
Thoqoh merupakan sebutan bagi orang yang mampu melaksanakan
sesuatu dengan disertai kepayahan dan keberata
Ulama seakat bahwa musafir dengan tujuan ta’at (bukan maksiyat)
seperti haji, jihad, silaturrahmi, mencari kebutuhan kewajiban hidup,
berdagang, dan hal-hal lain yang diperbolehkan, baginya boleh tidak
berpuasa. Namun menurut madzhab hanafi bepergian tujuan maksiyat pun
boleh tidak berpuasa, sebab hakikat safar itu sendiri bukan perbuatan
maksiyat, akan tetapi maksiyat itu terjadi setelah bepergian(sampai tujuan)
atau ketika dalam perjalanannya, maka dari itu tidak menimbulkan efek

39
Ali al-Shabuni, Shofwat al-Tafasir, Beirut: Dar al-Fikr, Jilid 1, Hlm. 123
40
Wahbah Zuhaili, Tafsir Munir, Beirut: Dar al-Fikr, 2005, Jilid 1, Hlm. 504

41
apapun jika mendapat rukhsah qashar. Sebab orang tersebut sedikit
bertobat ketika mengingat nikmat Allah yang tercurah padanya yakni
kemurahan-Nya memperbolehkan ifthor, qashar, dan lain-lain.
Jika seseorang meninggalkan puasa karena ‘udzur/tidak, kemudian
ia tidak segera mengganti puasa tersebut di hari lain hingga datang
ramadlan berikutnya, maka menurut pendapat mayoritas ulama ia
terkena kafarat yakni memberi makanan terhadap orang miskin/fakir, 1
hari 1 mud.
Menurut imam Abu hanifah tidak ada kafarat baginya, karena
mengamalkan secara tekstual ayat “ fa’iddatun min ayyamin
ukhar. Sedangkan dalil yang dijadikan pegangan oleh jumhur ulama ialah
hadits yang diriwayatkan oleh imam al-Daruqutni dengan sanad shahih,
dari abi hurairah mengenai orang yang tidak mempedulikan ( jawa-
sembrono) dalam mengqadla puasa ramadlan hingga datang ramadlan
berikutnya, kemudian bersabda; orang tersebut sekarang (bulan ramadlan
ini) berpuasa bersama-sama dengan orang lain, dan nanti berpuasa
mengganti puasa yang pernah ia tinggalkan, dan memberi makanan pada
fakir miskin tiap 1 hari 1 mud.
2) Ayat 185
Ketetapan wajib puasa bagi orang mukim, yang sehat, sedang tidak
berpuasa hanya bagi orang sakit dan musafir, dan memberi makan itu
hanya bagi orang tua yang benar-benar tidak kuat berpuasa baru ia
memberi makan untuk tiap harinya kepada orang miskin.
Ibnu Umar juga menyatakan bahwa ayat 184 dimansukhkan oleh
ayat 185, Ibnu Abi Laila berkata : “ saya masuk ke tempat Atha’ di bulan
Ramadhan sedang ia makan, lalu Ibnu Abbas berkata, ‘Ayat 185
memansukhkan ayat 185 kecuali bagi orang tua yang tidak sanggup lagi
berpuasa maka boleh membayar fidyah untuk tiap hari memberi makan
seorang miskin.’
Kesimpulannya ayat 184 tetap mansukh terhadap orang sehat kuat
dan tidak musafir, adapun terhadap orang tua yang tidak kuat puasa boleh

42
mebayar fidyah memberi makan tiap hari pada seoarng miskin. Sebab
baginya tidak ada harapan untuk bisa kuat kembali.
Dalam ayat 185, Allah memuji bulan ramadhan yang terpilih untuk
turunnya Al-Qur’an, bahkan kita-kitab Allah yang diturunkan pada Nabi-
nabi juga diturunkan di bulan Ramadhan.
Perintah berbuka dalam bepergian itu sukarela. Hamzah bin Amr
al-Islami berkata, “Ya Rasulullah aku sering berpuasa, apakah aku boleh
berpuasa dalam bepergian ?” jawab Nabi SAW. “ Terserah kepadamu, jika
suka boleh berpuasa, jika tidak suka boleh berbuka”. ( Bukhari,
Muslim). 41
3) Ayat 187
Allah ta’ala telah menjadikan fajar batas bolehnya makan, minum dan
jimak bagi orang yang berpuasa, maka dijadikan dalil bahwa seorang yang
pada saat fajar itu berjanabat maka dia harus mandi dan meneruskan
puasanya, tanpa dosa, demikianlah pendapat dari empat mazhab dan
jumhurul ulama’, berdasarkan hadis riwayat Aisyah dan Ummu Salamah
RA, yang kedua-keduanya berkata, “Adanya Nabi SAW berpagi-pagi
janabat karena telah berjimak bukan ihtilam, kemudian langsung mandi
dan berpuasa. (HR Bukhari, Muslim)
G. Wujuh Al-Qiraat

1. Qiraah jumhur ulama (‫يُط ْيقُ ْونَه‬ َ‫علَى الَّذيْن‬


َ ‫) َو‬, sedangkan menurut qiraah

َ ُ‫ )ي‬padanan kata dari (‫ )يُ َكلَّفونه‬yang artinya


Ibnu Abbas adalah (‫ط َّوقُ ْونه‬

“yang dibebani/yang kenai kewajiban suatu hukum”. 42

2. Qiraah jumhur ulama (‫مسكين‬ ‫)فدية طعا ُم‬, sedangkan menurut qiraah Nafi’
bin Amir adalah (‫مساكين‬ ‫طعام‬ ‫)فدية‬ yaitu dengan

41
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Op. Cit. hlm..316
42
Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Menyelami Seluk Beluk Ibadah Dalam
Islam, Jakarta : Prenada Media, 2003, hlm. 211

43
membaca jamak kata (‫)مسكين‬, dan dengan menjadikan idhofahkata (‫)فدية‬

dengan kata (‫)طعام‬. 43

3. Qiraah jumhur ulama (‫ع‬ َ َ‫ت‬


َ ‫ط َّو‬ ‫)ف َم ْن‬, sedangkan menurut qiraah Hamzah

َ َ‫ت‬
ْ ‫ط َّو‬
dan Kisa’i adalah (‫ع‬ ‫)ف َم ْن‬ َ َ‫ ت‬dibacaJazm, dan dibaca
ْ ‫ط َّو‬
yaitu kata ‫ع‬

(‫ع‬ َ ‫ي‬
َ ‫ط َّو‬ ‫ )ف َم َّن‬sehingga kata ‫ع‬ َ ‫ ي‬adalah Mudhari’. 44
َ ‫ط َّو‬
4. Qiraah jumhur ulama (َ ‫العدّة‬ ‫) َولت ُ ْكملُ ْوا‬, sedangkan menurut qiraah Abu

Bakar dari Asim yaitu (‫)ولت ُ َك ّملُ ْوا‬45

H. Wujuh al-I’rab
1. Al-Baqarah 183
Huruf “kaf” berfungsi sebagai tasbih (permisalan) dan
merupakansifat dari masdar makhduf (masdar yang dihilangkan), dan
huruf “maa” adalah maa masdariyah sehingga taqdir jumlah diatas yaitu
diwajibkan atas kalian (orang-orang mukmin) sebagai kewajiban
sebagaimana yang telah kewajiban puasa orang-orang (umat) sebelum
kalian.
2. Al-Baqarah 184
Menurut Zujaj: “mansubnya dharf dalam jumlah diatas seakan
mengatakan bahwa diwajibkan bagi kalian di dalam hari-hari tersebut
menunaikan ibadah puasa”.
Sedangkan menurut al-Akbiri : “tidak diperkenankan
memansubkan dharf, kecuali kedudukannya sebagai maf’ul bih,
karena masdar apabila disifati maka tidak akan berfungsi. Sehingga
hendaknya takdir amil adalah makhduf ”.46
3. Al-Baqarah 184

43
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Terjemah Singkat Tafsir Ibnu Katsir, Surabaya :
PT Bina Ilmu, 1987, hlm. 313
44
Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Op. Cit. hlm. 212
45
Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, Jakarta : Pena Pundi Aksara, 2007, hlm. 29
46
Ibid, hlm. 34

44
Kata “an tasuumu” berada di posisi raf’ul mubtada’ dan kata “khaira”
merupakan khabarnya. Taqdirnya yaitu puasamu adalah lebih baik
bagimu. Dan kata “wa in kuntum ta’malun” merupakansyart yang
dihilangkan darinya jawab sebagai dalalah kata sebelumnya. 47
4. Al-Baqarah 185
Kata “as-Syahru” dibaca nasb, dan begitu pula huruf “ha” dalam jumlah
“falyasumhu”. Sehingga musafir yang menyaksikan datangnya bulan tetap
dimasukkan ke dalam arti kata “man”. 48

AYAT IBADAH SHOLAT SUNNAH

47
Ahmad Thib Raya dan Siti Musdah Mulia, Op. Cit. hlm. 216
48
Salim Bahreisy dan Said Bahreisy, Op. Cit. hlm. 313

45
AYAT IBADAH ZAKAT
A. Surat Al-Baqarah Ayat 267
1. Ayat dan terjemahannya
 
  
  
  
   
 
  
  
  
  
  
Artinya : “ Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan
Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa
yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu. dan janganlah kamu memilih
yang buruk-buruk lalu kamu menafkahkan daripadanya, Padahal kamu
sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata
terhadapnya. dan ketahuilah, bahwa Allah Maha Kaya lagi Maha
Terpuji.“ (QS. Al-Baqarah : 267)
2. Tafsir Mufradat
a. ‫ أنفقوا‬: kata infaq berasal dari akar kata nafaqa – yanfaqu – nafaqan –
nifaqan yang artinya “berlalu, habis, laris, ramai”. Kalimat nafaqa asy-
syai’u artinya sesuatu itu habis, baik habis karena dijual, mati atau
karena dibelanjakan.
b. ‫ طيبات‬: terambil dari kata thayyib yang artinya baik dan disenangi
(disukai); lawannya khabis yang berarti buruk dan dibenci (tak
disukai).
c. ‫ وال تيمموا‬: artinya: janganlah kamu bermaksud, menuju, menghendaki.

46
d. ‫ تغمضوا‬: artinya: meremehkan, memicingkan mata.
e. ‫ حميد‬: Maha Terpuji; maksudnya berhak mendapat pujian atas segala
nikmat-Nya yang besar.
3. Sabab an-Nuzul Ayat
Diriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi SAW memerintahkan umat
Islam agar mengeluarkan zakat fitrah sebanyak 1 (satu) sha’ kurma, lalu
datanglah seseorang membawa kurma berkualitas rendah. Maka turunlah
ayat tersebut (QS. 2: 267). Menurut al-Barra’, ayat ini turun berkenaan
dengan kaum Anshar. Ketika memetik (panen) kurma mereka
mengeluarkan beberapa tandan kurma, baik yang sudah matang maupun
yang belum matang, lalu digantung pada tambang di antara dua tiang
masjid Nabi yang diperuntukkan orang miskin dari kaum Muhajirin.
Syahdan, seorang laki-laki dengan sengaja mengeluarkan satu tandan
kurma yang kualitasnya sangat buruk. Ia mengira bahwa hal itu dibolehkan
mengingat sudah cukup banyak tandanan kurma yang tergantung. Maka
berkenaan dengan orang tersebut turunlah ayat yang artinya: “… dan
janganlah kamu memilih-milih yang buruk lalu kamu nafkahkan dari
padanya…”. Yakni, tandanan kurma bermutu sangat buruk yang
seandainya diberikan kepadamu, kamu tidak mau menerimanya.
Tidak ada perbedaan pendapat bahwa ayat di atas turun berkenaan dengan
peristiwa yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan lainnya, yaitu bahwa
seseorang datang membawa setandan kurma yang sangat buruk lalu
digantungkan di mesjid untuk dimakan fakir miskin. Maka turunlah ayat
yang artinya: “… dan janganlah kamu memilih-milih yang buruk lalu
kamu nafkahkan dari padanya…”.
4. Munasabah Dengan Ayat Sebelumnya
Pada ayat sebelumnya, Allah dengan bahasa yang indah namun
tegas, mengemukakan sifat dan niat yang harus disandang oleh seseorang
ketika berinfaq, seperti ikhlas karena Allah, niat membersihkan jiwa dan
menjauhi sifat riya’, serta sikap yang harus diperhatikan setelah berinfaq,
yaitu tidak menyebut-nyebut infaqnya dan tidak pula menyakiti

47
penerimanya. Itu semua merupakan pedoman yang berkenaan dengan
orang yang berinfaq dan cara bagaimana seharusnya ia berinfaq.
Pada ayat ini Allah menjelaskan pedoman yang harus diperhatikan
berkaitan dengan kualitas harta yang akan diinfakkan, yaitu bahwa harta
tersebut hendaknya merupakan harta terbaik dan paling dicintai, sehingga
dengan demikian pedoman tentang infaq dan penggunaan kekayaan pada
jalan Allah menjadi lengkap dan sempurna.
5. Penjelasan Pokok Kandungan Ayat
Kalau ayat-ayat sebelum ini berbicara tentang motivasi memberi
nafkah, baik tulus maupun tidak tulus, maka ayat ini menguraikan nafkah
yang diberikan serta sifat nafkah tersebut. Yang pertama digarisbawahinya
adalah bahwa yang dinafkahkan hendaknya yang baik-baik. Selanjutnya
dijelaskan bahwa yang dinafkahkan itu adalah dari hasil usaha sendiri dan
apa yang dikeluarkan Allah dari bumi.
Ibnu Qayyim berpendapat ada beberapa kemungkinan alasan
mengapa Allah hanya menyebutkan secara khusus dua jenis kekayaan
dalam ayat di atas, yaitu kekayaan yang keluar dari bumi dan harta niaga.
Kemungkinan yang pertama karena melihat kenyataan bahwa keduanya
merupakan jenis kekayaan yang umum dimiliki masyarakat pada saat itu.
Kemungkinan kedua adalah karena keduanya merupakan harta kekayaan
yang utama (pokok). Sedangkan jenis kekayaan yang lain sudah termasuk
di dalam atau timbul dari keduanya.
Hal ini karena istilah “usaha” mencakup segala bentuk perniagaan
dengan berbagai ragam dan jenis harta seperti pakaian, makanan, budak,
hewan, peralatan, dan segala benda lainnya yang berkaitan dengan
perdagangan. Sedangkan “harta yang keluar dari bumi” meliputi biji-
bijian, buah-buahan, harta terpendam (rikaz) dan pertambangan. Jelaslah
bahwa keduanya merupakan harta yang pokok dan dominan.
Allah melarang mengeluarkan (menginfakkan) dengan sengaja
harta yang buruk, berkualitas rendah, sebagaimana dorongan jiwa pada

48
umumnya yaitu menyimpan harta yang baik dan mengeluarkan harta
berkualitas rendah.
6. Pandangan Para ulama dan pakar
Menurut zahir ayat diatas, yang wajib mengelurkan zakat dari
segala barang tambang, baik berupa emas, perak atau lain – lain.
Menurut Imam Syafi’I : Dari ayat dia atas, zakat yang wajib di
keluarkan dari hasil bumi yaitu hanya emas dan perak saja, tidak yang lain
seperti minyak tanah, tembaga, besi dan sebagainya. Demikian juga dari
hasil pertanian, yang wajib di keluarkan hanyalah yang berupa biji yang
dijadikan makanan pokok dan tahan lama. Sedangkan dari buah – buahan
yang wajib dizakatkan hanyalah anggur dan tamar (korma)
Menurut Imam Abu Hanifah : Bahwa yang wajib di zakatkan itu
ialah segala barang logam yang dikeluarkan dari tanah, juga segala buah –
buahan dan biji – bijian yang dapat dimakan, baik sedikit atau banyak.
Wajib dikeluarkan sepersepuluh dari padanya.
7. Istinbat hukum
Bahwasanya apa yang keluar dari bumi dan dari hasil dari usaha
sendiri wajib dikeluarkan zakatnya. Hasil tambang emas dan tambang
perak, apabila sampai senisab wajib di keluarkan zakatnya pada waktu itu
juga dengan tidak di saratkan sampai setahun, seperti pada biji – bijian dan
buah – buahan. Zakatnya 1/40 (2½%). Sabda Rasulullah SAW yang
artinya : “…Bahwasanya Rasulullah SAW telah mengambil sedekah
(zakat nya) dari hasil tambang di negeri Qabaliyah”. Riwayat Abu Daud
dan Hakim. Dan pada hadits yang lain Rasulullah bersabda yang artinya
“…Pada emas dan perak, zakat keduanya seperempat puluh (1/40) (2½%).

B. Surat Al-Baqarah ayat 271


1. Ayat dan Terjemahanya
  
   

49
 
  
    
  
  

Artinya : “Jika kamu menampakkan sedekah(mu), maka itu adalah
baik sekali. dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada
orang-orang fakir, Maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu. dan
Allah akan menghapuskan dari kamu sebagian kesalahan-kesalahanmu;
dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Baqarah : 271)
2. Tafsir Mufradat
a. ‫ تبدوا‬: artinya: menampakkan.
b. ‫ تخفوها‬: artinya: menyembunyikan.
c. ‫ تؤتوها‬: artinya: memberikan.
d. ‫ يكفر‬: artinya: menghapuskan.
3. Asbabun nuzul ayat
Ayat ke 271 diturunkan sehubungan dengan Abu Bakar dan Umar
bin Khatthab. Pada suatu waktu Umar bin Khatthab menyedekahkan
separuh dari harta kekayaan nya kepada rasulullah untuk kepentingan
agama. Rasulullah SAW bersabda : Tidakkah engkau memikirkan anak
turun dan keluarga yang ada dibelakangmu, wahai Umar” Jawab Umar “
Aku sediakan buat mereka separuh dari harta kekayaanku”, sedangkan
Abu Bakar Shiddiq secara diam – diam telah menyeluruhkan seluruh harta
kekayaannya kepada Rasulullah SAW untuk kepentingan agama.
Rasuullah SAW bersabda kepadanya “Wahai Abu Bakar, tidakkah kamu
memikirkan keluarga dan anak turun yang ada dibelakangmu “. Jawab
Abu Bakar “Yang akan mencukupi keluargaku adalah Allah dan
Rasulullah”. Mendengar jawaban yang seperti itu Umar bin Khatthab
menangis seraya berkata “Demi Allah tebusanmu adalah ayah dan ibuku,

50
setiap aku berniat membuat kebajikan selalu saja kamu tandingi, wahai
Abu Bakar”. Ayat ini pada dasarnya memuji sikap Umar bin Khatthab
yang menyedekahkan harta kekayaannya dengan terang – terang agar di
contoh orang lain, dan kepada Abu Bakar yang menyedekahkan hartanya
secara rahasiah. Kedua perbuatan itu adalah sangat baik, yang patut diikuti
oelh setiap muslim.
4. Penjelasan Pokok Kandungan Ayat
Nafkah, baik yang wajib seperti zakat maupun yang sunnah
termasuk sedekah, bisa dinampakkan dan juga bisa dirahasiakan. Jangan
menduga ia baru diterima Allah bila dirahasiakan. Tidak!
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra. bahwa yang dimaksud dalam ayat ini
adalah sedekah tatawwu’ (sunnah). Adapun pada sedekah wajib/zakat
maka menampakkannya adalah lebih utama. Keikhlasan memang sesuatu
yang sangat rahasia bagi manusia, hanya Allah yang mengetahui kadarnya,
tapi itu bukan berarti hanya bersedekah secara rahasia yang ikhlas. Siapa
yang menyumbang dengan terang-terangan pun, keikhlasannya dapat tidak
kurang atau melebihi yang menyumbang dengan rahasia.
Mengumumkan sedekah dapat mendorong orang lain bersedekah
dan menutup pintu peasangka buruk yang menjerumukan penyangka ke
dalam dosa. Karena itu, jika kamu menampakkan sedekahmu maka itu
ialah baik sekali selama sedekah itu didasari keikhlasan dan bukan semata-
mata memilih yang buruk untuk diberikan. Dan jika kamu
menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka
menyembunyikan itu lebih baik bagimu, karena ini lebih mencegah
lahirnya riya’ dan pamrih, serta lebih memelihara air muka kaum fakir
yang menerima.
Dengan sedekah dari harta yang halal, dan memenuhi anjuran-
anjuran ayat-ayat yang lalu, Allah menghapus sebahagian bukan
seluruhnya kesalahan-kesalahan kamu yang bersifat dosa kecil, bukan dosa
besar dan bukan juga yang berkaitan dengan hak manusia dengan
masyarakat. Ini perlu digarisbawahi agar jangan timbul dugaan, bahwa

51
harta yang haram itu bila disedekahkan sebahagian sisanya akan menjadi
halal atau menghapus dosa.
5. Pandangan para ulama dan pakar
Al-Qurthubi berkata: Sebagian besar ulama berpendapat bahwa
ayat ini tentang shadaqah thathawwu’, sebab menyembunyikannya lebih
baik daripada menampakkannya, begitu juga dengan ibadah-ibadah
lainnya, menyembunyikan ibadah-ibadah sunnah lebih baik guna
menghindarkan terjadinya riya’, bukan seperti ibadah-ibadah wajib”.
Ibnu Katsir berkata: Ayat di atas adalah dalil yang menjelaskan
bahwa dirahasiakannya shadaqah lebih afdhal daripada ditampakkan,
sebab dia lebih jauh dari riya’, kecuali jika ada kemaslahatan yang lebih
kuat, seperti adanya orang lain yang mengikuti perbuatannya, maka dia
lebih baik dilihat dari sisi ini, jika tidak, maka yang lebih baik adalah
merahasiakannya”.
6. Istinbat Hukum
Nafkah, baik yang wajib seperti zakat maupun yang sunnah
termasuk sedekah, bisa dinampakkan dan juga bisa dirahasiakan.

52
AYAT IBADAH IDUL FITRI

53
AYAT HAJI DAN UMRAH

A. Al- Baqarah 158


1. Ayat dan tejemahan
  
 
    
  
   
    
   
 
Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi'ar
Allah[102]. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-
'umrah, Maka tidak ada dosa baginya[103] mengerjakan sa'i antara
keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan
kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri[104] kebaikan
lagi Maha mengetahui.
2. Asbabun Nuzul
Ayat ini turun disebabkan karena dua hal yaitu:
- Sebelum Islam, di bukit Shafa dan marwah itu terdapat berhala yang
selalu disembah oleh orang arab pada zaman jahiliyah. Oleh karena itu
umat muslim enggan melakukan sa’i.
- Setelah perintah Thawaf di ka’bah, mereka tidak mau melakukan sa’i
karena tidak disebutkan oleh Allah. Untuk menjawab keragu-raguan
itu maka Allah menurunkan ayat ini
3. Tafsir Ayat
- Kata ‫صفَا‬
َّ ‫ ال‬adalah bentuk mudzakkar karena dalam sejarah Adam pernah
berdiri di atas bukit itu dan ُ ‫ ال ّم ْر َوة‬adalah bentuk muannats karena Marwah pun
pernah berdiri dan berdoa di atas bukit itu. Shafa dan Marwah adalah bukit
yang tadinya berada sekitar 300 meter dari Masjidil Haram, namun kini
setelah perluasan masjidil Haram ia telah merupakan bagian dari mesjid
tersebut.
- Kata ‫ش َعائر‬ ُ yang berarti rasa, yakni tanda-tanda
َ seakar dengan kata ‫شعُ ْور‬
agama dan ibadah yang ditetapkan Allah. Dengan bersa’i sesuai dengan

54
tuntunannya maka seseorang mengedepankan dan memaklumkan tanda-tanda
agama Allah.
- Kalimat ‫ف به َما‬ َّ َ‫علَيْه اَ ْن ي‬
َ ‫ط َّو‬ َ ‫ فَالَ ُجنَا َح‬mengandung makna bahwa Selama sa’i
yang dilakukan sesuai dengan ketentuan Rasulullah SAW maka tidak ada
dosa. Ayat ini menjawab keragu-raguan umat Islam ketika itu.
4. Kandungan hukum
Melakukan sa’i antara Shafa dan Marwah adalah wajib bagi semua umat
muslim yang mengerjakan haji ataupun umrah. Karena Allah telah
menegaskan bahwa shafa dan Marwah adalah syiar atau tanda-tanda
keagungan Allah yang wajib dibuktikan dan disemarakkan. Dari Aisyah
Rasulullah bersabda:
“ Sesungguhnya Rasulullah SAW telah mengerjakan sa’i antara Shafa dan
Marwah. Karena itu maka tidak boleh seorangpun meninggalkan sa’i”
Namun, para ulama fiqih berbeda pendapat mengenai hal ini. Perbedaan
mereka antara lain
- Pendapat syafi’iyah dan malikiyah mengatakan bahwa sa’i adalah rukun
haji. Dan barang siapa yang meninggalkannya maka hajinya batal.
- Pendapat abu Hanifah dan Al-Tsauri mengatakan bahwa sa’i itu
hukumnya wajib dan barang siapa meninggalkannya maka wajib membayar
dam ( denda).
- Pendapat Imam Ahmad bin Hambali mengatakan bahwa sa’i itu sunnah
dan bagi yang meninggalkannya tidak dikenai sanksi apapun.
5. Hikmah dari kandungan ayat
Di antara hikmah yang dapat diambil dari kandungan ayat ini adalah:
- Menghidupkan kembali kenangan terhadap Adam dan Hawa, bapak dan
ibu manusia pertama yang wajib disyukuri
- Mengenang kembali peristiwa sejarah yang dialami siti Hajar, lambang
keuletan dan tawakkal dan juga Ismail yang sabar dan pasrah kepada
Allah.

55
B. Al Baqarah 196-200
1. Ayat dan Terjemahan

 
   
 
  
   
  
    
   
   
   
   
  
  
  
    
  
  
   
    
  
  
 
  
  
 
   
    
   
   
    
  
  
 
  

56
  
   
   
  
 
  
   
  
  
   
 
    
   
 
 
  
    
   
   
  

196. dan sempurnakanlah ibadah haji dan 'umrah karena Allah. jika kamu
terkepung (terhalang oleh musuh atau karena sakit), Maka (sembelihlah)
korban[120] yang mudah didapat, dan jangan kamu mencukur kepalamu[121],
sebelum korban sampai di tempat penyembelihannya. jika ada di antaramu yang
sakit atau ada gangguan di kepalanya (lalu ia bercukur), Maka wajiblah atasnya
berfid-yah, Yaitu: berpuasa atau bersedekah atau berkorban. apabila kamu telah
(merasa) aman, Maka bagi siapa yang ingin mengerjakan 'umrah sebelum haji (di
dalam bulan haji), (wajiblah ia menyembelih) korban yang mudah didapat. tetapi
jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), Maka wajib
berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah
pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna. demikian itu (kewajiban
membayar fidyah) bagi orang-orang yang keluarganya tidak berada (di sekitar)
Masjidil Haram (orang-orang yang bukan penduduk kota Mekah). dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah sangat keras siksaan-Nya.
197. (Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi[122], Barangsiapa
yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, Maka tidak
boleh rafats[123], berbuat Fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa
mengerjakan haji. dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah
mengetahuinya. Berbekallah, dan Sesungguhnya Sebaik-baik bekal adalah
takwa[124] dan bertakwalah kepada-Ku Hai orang-orang yang berakal.
198. tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezki hasil perniagaan) dari
Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari 'Arafat, berdzikirlah kepada

57
Allah di Masy'arilharam[125]. dan berdzikirlah (dengan menyebut) Allah
sebagaimana yang ditunjukkan-Nya kepadamu; dan Sesungguhnya kamu sebelum
itu benar-benar Termasuk orang-orang yang sesat.
199. kemudian bertolaklah kamu dari tempat bertolaknya orang-orang banyak
('Arafah) dan mohonlah ampun kepada Allah; Sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang.
200. apabila kamu telah menyelesaikan ibadah hajimu, Maka berdzikirlah dengan
menyebut Allah, sebagaimana kamu menyebut-nyebut (membangga-banggakan)
nenek moyangmu[126], atau (bahkan) berdzikirlah lebih banyak dari itu. Maka di
antara manusia ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan Kami, berilah Kami
(kebaikan) di dunia", dan Tiadalah baginya bahagian (yang menyenangkan) di
akhirat.

2. Asbabun Nuzul
Para ulama sepakat bahwa ayat ini turun pada tahun keenam hijriah
sebelum stabilnya keadaan keamanan di Mekkah dan sekitarnya Mengenai
ayat yang menjelaskan tentang masalah bercukur, Dari Ka’ab bin Ujrah
bercerita, “ ketika sedang melakukan umrah saya kepayahan karena di
rambut dan muka saya bertebaran kutu. Dan Rasulullah melihat ini maka
turunlah ayat ini. Ayat ini berlaku untukku dan untuk semua orang” .
Rasulullah bersabda :” apakah kamu punya biri-biri untuk fidyah?” aku
menjawab: “ aku tidak memilikinya”. Rasulullah berkata: “berpuasalah
kamu tiga hari atau beri makan orang miskin setiap orang setengah sha’
(30 real) satu hari, selama enam hari. dan bercukurlah kamu” (H.R.
Bukhari dari Ka’ab bin Ujrah)
3. Munasabah ayat
Ayat ini dapat dihubungkan dengan ayat sebelumnya yang sama-
sama berbicara tentang upaya jihad. Peperangan adalah jihad keluar demi
memelihara kesatuan ummat dan agama, sedangkan haji adalah jihad ke
dalam jiwa untuk memelihara kepribadian dan menjalin persatuan ummat.
Jadi ayat-ayat sebelumnya tentang perintah berjihad di maksudkan agar
kaum muslimin terhindar dari hal-hal yang menyebabkan mereka tidak
dapat menunaikan haji. Maka sangat wajar jika ayat-ayat setelahnya
berbicara tentang hukum-hukum haji dan umrah
4. Tafsir ayat

58
- Kata ‫ اَت ُّم ْوا‬mempunyai makna “sempurnakanlah”. Namun para ulama
mempunyai pendapat yang berbeda mengenai makna lafadz ini.
pertama ada yang mengartikanya dalam arti perintah melaksanakan
haji dan umrah, sebagaimana ditetapkan syariat dan dengan demikian
hukum haji dan umrah adalah wajib. Kedua mengartikan bahwa
penyempurnaan itu bukan tentang hukum wajib atau sunnahnya tetapi
kesempurnaan keduanya dengan memenuhi rukun dan syaratnya
sebaik mungkin. Namun yang pasti adalah bahwa ibadah haji wajib
sekali seumur hidup bagi setiap muslim yang mampu dan yang
dimaksud dengan “menyempurnakan” adalah menunaikan dan
melaksanakan ibadah haji dengan sempurna sampai tuntas dalam
melaksanakan semua rukun dan syarat-syaratnya. Baik lahirnya
maupun batinnya.
- Kata ‫( ِل‬karena Allah) bermakna bahwa ibadah haji dan umrah harus
dilaksanakan karena allah. Ini disebabkan karena pada masa jahiliyyah,
kaum musyrik melaksanakannya untuk aneka tujuan yang tidak sesuai
dengan tuntutan Allah. Dan hal ini masih terjadi hingga saat ini, karena
itu pesan itu menjadi sangat penting dan berarti.
- Kalimat ‫ اُحْ ص ْرت ُ ْم‬mempunyai arti “terkepung”. Adapun maksud dari
terkepung ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama. Pertama
Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dimaksud terkepung adalah
semata-mata oleh musuh. Hal ini dipahami karena ayat ini turun pada
masa di mana keadaan keamanan Mekkah belum stabil dan masih ada
peperangan, maka ayat ini memberi petunjuk bagaimana melaksanakan
haji jika dalam keadaan terhalang atau terkepung. Kedua, ulama lain
berpendapat bisa juga dihalangi oleh sakit, atau kekurangan biaya.
Pendapat ini dikemukakan oleh Imam Abu Hanifah.
- َ ‫ فَ َماا ْست َ ْي‬Jika sudah berniat,dan ternyata terkepung dan
‫س َر منَ ال َهدْي‬
mendapat halangan untuk menunaikannya, maka untuk
membatalkannya dan terbebas dari larangan-larangan ihram maka
ُ ْ‫ َهد‬atau hewan kurban yang mudah didapat.
sembelihlah seekor ‫ي‬

59
- ُ ‫ ( َو َالتَحْ لقُ ْو‬dan janganlah kamu mencukur rambut kamu).
‫ار ُء ْو َس ُك ْم‬
Sebagian ulama mengatakan bahwa redaksi perintah pada ayat ini
berlaku untuk semua umat, namun ada pula yang berpendapat bahwa
perintah ini hanya bagi yang terhalang atau terkepung, karena konteks
ayat ini tidak bisa dilepaskan dari kalimat sebelumnya.
- ُ‫ْي َمحلَّه‬
َ ‫ ( َحتَّى َي ْبلُ َغ ال َهد‬sampai al-hadyu sampai ke tempatnya). Kata ُ‫َمحلَّه‬
berarti tempat penyembelihan. Imam Malik dan Syafi’i berpendapat
bisa di mana saja tempat ketika dia terhalang, maka di sanalah ia
menyembelih dan bertahalul. Namun Imam Abu hanifah berpendapat
walaupun terhalang, al-hadyu harus sampai ke masjidil haram.
Pendapat ini kurang tepat jika ditujukan kepada yang terhalang atau
tertawan, karena tidak mungkin dia bisa sampai ke masjidil haram,
berbeda halnya dengan haji secara normal dan tidak ada halangan.
- َ ‫فَ َم ْن َكانَ م ْن ُك ْم َمر ْيضًاا َ ْو به اَذَى م ْن َرأسه فَفدْيَة م ْن صيَ ٍام اَ ْو‬. Jika sakit
ٍ‫صدَقَ ٍة ا َ ْو نُسُك‬
seperti luka atau ada penyakit di kepalanya semacam kutu atau yang
lain yang mengharuskan ia bercukur, maka wajib baginya berpuasa
selama tiga hari atau bersedekah dengan memberi makan enam orang
miskin atau berkurban dengan menyembelih satu ekor kambing. Kata
ُ ُ‫ ن‬yang berarti sembelihan binatang bersifat ‘am, sehingga dapat
‫سك‬
dilakukan kapan saja.
- Kata ‫ ام ْنت ُ ْم‬yang bermakna aman menerangkan bahwa setelah Allah
menjelaskan cara menyelesaikan haji dalam keadaan terkepung atau
terhalang, lalu selanjutnya Allah melanjutkan cara menyelesaikan haji
dalam keadaan aman atau normal.
- ‫س َرمنَ ال َهد ِْۚي فَ َم ْن َل ْم َيج ْد فَص َيا ُم ثَالَثَة ا َي ٍَّام‬ َ ‫فَ َم ْن ت َ َمت َّ َع باالعُ ْم َرة ا‬
َ ‫لى ال َح ّج فَ َماا ْست َ ْي‬
‫س ْب َع ٍة اذَا َر َج ْعت ُ ْم‬َ ‫ فى ال َح ّج َو‬Bagi siapa yang bertamattu ( mengerjakan
umrah sebelum haji dalam satu bulan haji) maka wajib baginya
menyembelih satu hewan kurban. Namun jika tidak mampu, maka ia
wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji. Sebaiknya tanggal 6,7 dan 8
Dzulhijjah ditambah lagi dengan tujuh hari ketrika sudah pulang ke
kampung halaman

60
- ‫ذَالكَ ل َم ْن لَ ْم يَ ُك ْن ا َ ْهلُهُ َحاضرى ال َمسْجدال َح َرام‬. Ada perbedaan pendapat mengenai
lafadz َ‫ ذَالك‬Abu Hanifah dan Ibnu Abbas mengatakan bahwa lafadz itu
memberikan isyarat bahwa haji tamattu hanya boleh dilakukan oleh
orang-orang yang bukan penduduk masjidil haram. Sedangkan Imam
Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hambali berpendapat bahwa lafadz
dzalika ditujukan pada wajibnya kurban atau puasa bagi yang
bertamattu’ sehingga boleh saja bagi orang Mekkah untuk bertamattu’
- ‫واتَّقُوهللااَ َوا ْعلَ ُموا اَ َّن هللااَ شَد ْيد ُالعقَاب‬.
َ (bertakwalah kepada allah dan ketahuilah
bahwa Allah Maha keras siksaan-Nya). Perintah bertakwa yang disusul
dengan perintah untuk mengetahui mengisyaratkan bahwa takwa dapat
diperoleh melelui pengetahuan. Dan ini menuntut calon-calon jemaah
haji untuk berbekal pengetahuan tentang tata cara haji. Karena tujuan
akhir dari haji adalah memantapkan takwa.
5. Kandungan Hukum
Kandungan hukum dari ayat ini antara lain adalah:
- Pelaksanaan haji ada tiga macam, yaitu:
- Haji dikerjakan terlebih dahulu baru umrah (haji ifraad). Ini adalah
cara yang paling baik, oleh karena itu tidak ada denda karena
dilaksanakan sesuai dengan perintah aslinya.
- Mendahulukan umrah dulu kemudian haji (haji tamattu’) Mengerjakan
umrah terlebih dahulu yaitu ihram dari miqat, thawaf-sa’i, dan tahallul.
Maka ia telah bebas dari larangan selama ihram sampai waktu haji tiba
( 8,9 dan 10 Dzulhijjah). Haji ini dikenakan denda dengan
menyembelih seekor domba atau berpuasa 10 hari. tiga hari di Mekkah
dan tujuh hari di kampung halaman.
- Haji dikerjakan bersama umrah sekaligus dari miqat ( haji qiraan).
Barang siapa menhgerjakan haji inipun wajib membayar denda.
- Rukun haji ada enam, yaitu ihram, wukuf, thawaf, sa’i dan tahallul
yang kesemuanya wajib dipenuhi.
- Jika dalam keadaan tertawan atau terkepung oleh musuh dan tidak
dapat menyempurnakan haji, maka diwajibkan menyembelih hadyu

61
atau sembelihan dan dilarang mencukur rambut sebelum hewan
disembelih. Jika terpaksa mencukur rambut dikarenakan sakit maka
diwajibkan berpuasa tiga hari atau bersedekah dan berkurban.
- Jika dalam keadaan aman dan tidak dapat menyempurnakan haji
dikarenakan ada hakangan seperti sakit dan sebagainya, maka
diwajibkan menyembelih kurban atau berpuasa tiga hari di Mekkah
dan tujuh hari di kampung halaman.

C. Al-Hajj 27-29
1. Ayat dan terjemahan

  


 
  
   
  
 
  
  
  
  
  
 
 
  
 
 
 

27. dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji,
niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan
mengendarai unta yang kurus[984] yang datang dari segenap penjuru
yang jauh,
28. supaya mereka menyaksikan berbagai manfaat bagi mereka dan
supaya mereka menyebut nama Allah pada hari yang telah
ditentukan[985] atas rezki yang Allah telah berikan kepada mereka
berupa binatang ternak[986]. Maka makanlah sebahagian daripadanya

62
dan (sebahagian lagi) berikanlah untuk dimakan orang-orang yang
sengsara dan fakir.
29. Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran[987] yang ada
pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar
mereka[988] dan hendaklah mereka melakukan melakukan thawaf
sekeliling rumah yang tua itu (Baitullah).

2. Tafsir
Penjelasan Mufradat Ayat
‫ َوأَذّ ْن‬Berasal dari kata Al-Adzan yang berarti mengumumkan. Maknanya
adalah: Umumkan dan sampaikanlah kepada manusia bahwa: “Hendaklah
kalian menunaikan ibadah haji ke Baitullah Al-Haram, wahai sekalian
manusia.” Al-Hasan bin Abil Hasan dan Ibnu Muhaishin membacanya dengan
lafadz ‫( َوآذ ْن‬wa aadzin).
ً‫ ر َجاال‬Merupakan bentuk jamak dari raajil ‫راجل‬,
َ yang berarti orang-orang
yang berjalan dan bukan jamak dari rajul ‫(ر ُجل‬seorang
َ laki-laki). Ibnu Abi
Ishaq membacanya: rujaalan ً‫ ُر َجاال‬dengan men-dhammah-kan huruf ra’.
Sedangkan Mujahid membacanya: rujaalaa ‫ر َجا َلى‬.
ُ Didahulukannya
penyebutan orang berjalan daripada orang yang berkendaraan disebabkan rasa
letih yang dirasakan orang yang berjalan lebih besar dibanding yang
berkendaraan. Demikian yang disebutkan oleh Al-Imam Al-Qurthubi
rahimahullah dan Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah. ‫ضام ٍر‬
َ Maknanya unta
ٍ ‫ فَ ّج َعم ْي‬Al-Faj bermakna jalan yang luas,
kurus yang letih disebabkan safar. ‫ق‬
jamaknya fijaaj. ‘Amiq bermakna jauh. ‫“ َمنَاف َع َل ُه ْم‬Manfaat bagi mereka.” Ada
yang mengatakan bahwa manfaat di sini mencakup manfaat dunia dan akhirat.
Ada pula yang mengatakan maknanya adalah manasik. Ada yang mengatakan
bahwa maknanya adalah ampunan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ada
pula yang mengatakan bahwa maknanya perdagangan. ‫ بَه ْي َمة اْأل َ ْن َعام‬Yang
dimaksud adalah hewan ternak berupa unta, sapi, dan kambing. ‫س ْال َفقي َْر‬ َ ‫ْال َبائ‬
Yang sangat miskin. Disebutkan kata “faqir” setelahnya dengan tujuan
memperjelas. ‫ تَفَث َ ُه ْم‬Asal makna tafats adalah setiap kotoran yang menyertai
manusia. Maknanya adalah hendaklah mereka menghilangkan kotoran berupa
panjangnya rambut dan kuku. ‫ نُذُ ْو َر ُه ْم‬Yakni, mereka menunaikan nadzar

63
mereka yang tidak mengandung unsur kemaksiatan. Ada pula yang
mengatakan bahwa yang dimaksud nudzur dalam ayat ini adalah amalan-
َّ ‫“ َو ْل َي‬Hendaklah mereka thawaf.” Yang dimaksud thawaf di
amalan haji. ‫ط َّوفُوا‬
sini adalah Thawaf Ifadhah. Sebab thawaf dalam amalan haji ada tiga macam:
Thawaf Qudum, Thawaf Ifadhah, dan Thawaf Wada’. ‫‘ ْال َعتيْق‬Atiq artinya tua,
dikuatkan dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala: ‫ت‬ ٍ ‫… إ َّن أ َ َّو َل َب ْي‬
“Sesungguhnya rumah yang pertama…” (Ali ‘Imran: 96). Adapula yang
mengatakan ‘atiq artinya yang dibebaskan, sebab Allah Subhanahu wa Ta’ala
membebaskan rumah ini dari kekuasaan orang-orang yang sombong. Adapula
yang mengatakan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskan orang-
orang yang berdosa dari siksaan. Adapula yang mengatakan ‘atiq, artinya yang
mulia.
Penjelasan Ayat
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menjelaskan:
“Sampaikan kepada manusia untuk mengerjakan ibadah haji.
Umumkanlah, ajaklah manusia kepadanya. Sampaikan kepada yang jauh dan
yang dekat tentang kewajiban dan keutamaannya. Sebab jika engkau
mengajak mereka, maka mereka mendatangimu dalam keadaan menunaikan
haji dan umrah, dengan berjalan di atas kaki mereka karena perasaan rindu,
dan di atas unta yang melintasi padang pasir dan sahara serta meneruskan
perjalanan hingga menuju tempat yang paling mulia, dari setiap tempat yang
jauh.
Hal ini telah dilakukan oleh Al-Khalil (Nabi Ibrahim) ‘alaihissalam,
kemudian oleh anak keturunannya yaitu Muhammad shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Keduanya mengajak manusia untuk menunaikan haji di rumah ini.
Keduanya menampakkan dan mengulanginya. Dan telah tercapai apa yang
Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan kepadanya. Manusia mendatanginya
dengan berjalan kaki dan berkendaraan dari belahan timur dan barat bumi.
Allah Subhanahu wa Ta’ala lalu menyebutkan beberapa faedah menziarahi
Baitullah Al-Haram, dalam rangka mendorong pengamalannya. Yaitu agar
mereka menyaksikan berbagai manfaat untuk mereka, dengan mendapatkan

64
berbagai manfaat dari sisi agama di Baitullah berupa ibadah yang mulia.
Ibadah yang tidak didapatkan kecuali di tempat tersebut. Demikian pula
berbagai manfaat duniawi berupa mencari penghasilan dan didapatnya
berbagai keuntungan duniawi. Ini semua merupakan perkara yang dapat
disaksikan. Semua mengetahui hal ini.
Dan agar mereka menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala pada hari-
hari yang tertentu atas apa yang (Allah Subhanahu wa Ta’ala) telah rizkikan
kepada mereka berupa hewan ternak. Ini merupakan manfaat agama dan
duniawi. Maknanya, agar mereka menyebut nama Allah Subhanahu wa Ta’ala
ketika menyembelih sembelihan kurban sebagai tanda syukur kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala atas rizki yang Dia limpahkan dan mudahkan untuk
mereka.
Jika kalian telah menyembelihnya, maka makanlah darinya dan berilah
makan kepada orang yang sangat miskin. Kemudian hendaknya mereka
menyelesaikan manasik haji dan menghilangkan kotoran serta gangguan yang
melekat pada diri mereka selama ihram. Hendaklah mereka juga menunaikan
nadzar yang mereka wajibkan atas diri mereka berupa haji, umrah, dan
sembelihan.
Hendaklah mereka thawaf di rumah tua (Ka’bah), masjid yang paling
mulia secara mutlak, yang diselamatkan dari kekuasaan orang-orang yang
angkuh. Ini adalah perintah untuk thawaf secara khusus setelah disebutkan
perintah untuk bermanasik haji secara umum, karena keutamaan (thawaf)
tersebut, kemuliaannya, dan karena thawaf adalah tujuan. Sedangkan yang
sebelumnya adalah sarana menuju (thawaf) tersebut. Mungkin juga –wallahu
a’lam– karena faedah lain, yaitu bahwa thawaf disyariatkan pada setiap waktu,
baik mengikuti amalan haji ataupun dilakukan secara tersendiri.”

65
AYAT IDUL ADHA

A. Surah Al-Hajj Ayat 34


1. Ayat dan Terjemah
ِ ‫علَى َما َر َزقَ ُه ْم ِم ْن بَ ِهي َم ِة ْاأل َ ْنعَ ِام فَ ِإلَ ُه ُك ْم إِلَهٌ َو‬
‫اح ٌد‬ َ ِ‫َّللا‬ ْ ‫سكًا ِل َي ْذك ُُروا ا‬
َّ ‫س َم‬ َ ‫َو ِلك ُِل أ ُ َّم ٍة َجعَ ْلنَا َم ْن‬
ْ َ ‫فَلَهُ أ‬
َ‫س ِل ُموا َوبَش ِِرا ْل ُم ْخ ِبتِين‬
Artinya: Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan
(kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak
yang telah direzekikan Allah kepada mereka, maka Tuhanmu ialah Tuhan
Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya. Dan berilah
kabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah). (Al-
Hajj:34)
2. Kosa Kata Inti
َ ‫ َم ْن‬Kata tersebut merupakan bentuk isim maf‟ul yang
‫سكًا‬
berasal dari kata nasaka-yansuku-nuskan-nusuukan-mansakan yang
َ ‫ م ْن‬diartikan
berarti beribadah. Sedangkan didalam kamus al-kautsar ‫سكًا‬
sebagai tempat penyembelihan kurban.
Dijelaskan juga dalam kamus Lisânul Arab sebagai berikut:
Menurut Abu Ishaq, lafadz “Nusuk” pada ayat ini (al-Hajj ayat 34)
menunjukan atas makna menyembelih, gambarannya seperti kami jadikan
bagi setiap umat itu agar mendekatkan diri kepada Allah dengan
menyembelih hewan karena Allah.
‫ بَ ِهي َم ِة‬yaitu binatang ternak. Kata tersebut merupakan bentuk mufrad,
dari kata bahaaimyang menyatakan bahwa hewan ternak tersebut lebih
dari dua. Ada juga yang mengartikan bahaaim sebagai binatang yang
berkaki empat. Dijelaskan dalam kamus Lisânul „Arab sebagai berikut:
Setiap hewan ternak yang berkaki empat, yang berada di pegunungan, di
tanah yang tandus, dan di air, maka bentuk jamak kata tersebut
ialahbahaaim
‫ ْاأل َ ْنعَام‬merupakan bentuk jamak dari ‫النعم‬. yang mempunyai arti
hewan ternak.

66
ْ َ‫ أ‬merupakan fiil amr dari kata ‫ أسلم‬yang berarti memeluk Islam
‫س ِل ُموا‬
atau berserah diri.
َ‫ ا ْل ُم ْخبِتِين‬merupakan bentuk isim fail, yang berasal dari
kata ‫ أخبت‬yang berarti khusyu`, tawadhu` atau merendahkan diri.
3. Munasabah Ayat
Didalam surat al-Hajj ayat 34 ini terdapat perintah melaksanakan
ibadah kurban. Tetapi jika dilihat dari ayat-ayat sebelumnya dan
selanjutnya, yaitu dari ayat 32 sampai dengan ayat 37 semua itu
berhubungan, membahas tentang ibadah kurban. Pada ayat 32 dijelaskan
bahwa orang yang melaksanakan ibadah kurban berarti dia telah
melaksanakan syi‟ar-syi‟ar Allah, hal itu disebabkan timbul dari
ketakwaan di dalam hati dan diri mereka sehingga mereka
melaksanakannya. Lalu pada ayat 33 kita harus memilih binatang
persembahan (hewan kurban) yang baik dan gemuk lalu pergunakanlah
dan ambil manfaatnya sampai waktunya ditentukan, dan dijelaskan tempat
penyembelihan disekitar tanah haram Mekah[8]. Kemudian pada ayat
selanjutnya yaitu 35 dijelaskan orang yang tunduk dan taat kepada Allah,
ialah orang-orang yang :
a. Apabila disebut nama Allah dihadapan mereka gemetarlah hatinya
b. Mereka sabar dan tabah menghadapi segala macam cobaan Allah.
c. Mereka selalu mendirikan sholat tepat waktu.
d. Mereka menginfakkan sebagian rezeki yang telah dianugerahkanAllah
kepada mereka.
Pada ayat 36-37 Allah telah menjadikan unta yang telah diciptakan
untuk mereka sebagai salah satu syiarnya dimana manusia memperoleh
kebaikan dan saat kamu menyembelih kurban sebutlah nama Allah serta
ada yang disembelih dalam keadaan berdiri dan berbaring. Kemudian jika
sudah selesai dikuliti maka ambilah sebagian untuk orang yang berkurban
dan sisanya bagikan kepada fakir miskin dan yang lainnya.

67
4. Asbabun Nuzul
Surat al-Hajj berisi tentang bagaimana dijelaskannya ibadah haji,
kurban, beserta tata caranya. Tetapi selain itu surat al-Hajj mempunnyai
kandungan yang lainnya seperti bertaqwa, menerangkan tentang hari akhir,
berperang dan yang lainnya. Surat ini mempunyai keunikan tersendiri
yaitu sebagian ayatnya turun di Mekkah sebagian lagi di Madinnah. Jika
kita membahas turuNnya ayat al-Qur`ân tentulah kita tidak bisa terlepas
dari asbabun nuzul (sebab-sebab turunya ayat) tetapi pada ayat 34 ini tidak
diketemukan asbabun nuzul dari ayat tersebut.
Menurut Teungku Muhammad Hasbi ash-Shiddieqy ayat-ayat
alQur`ân dibagi menjadi dua yaitu “ayat-ayat yang ada sebab nuzulnya dan
ayat-ayat yang tidak ada sebab nuzulnya”.
Maka dapat disimpulkan bahwa terdapat ayat-ayat al-Qur`ân yang
diturunkan tanpa di dahului oleh sebab dan ada ayat yang diturunkan di
dahului oleh suatu sebab. Sebagaimana dalam surat al-Hajj ayat 34 yang
pemakalah kaji, di turunkan tanpa di dahului oleh sebab dengan kata lain
surat al-Hajj ayat 34 tidak mempunyai asbabun nuzûl.
5. Tafsir dan Penjelasan
Surat al-Hajj ayat 34 ini membahas tentang pensyariatan kurban.
Setelah ayat yang sebelumnya menjelaskan tentang syari‟at Allah
menyangkut penyembelihan binatang dalam rangka mendekatkan diri
kepada Allah, ayat ini menegaskan bahwa hal tersebut bukan hanya khusus
bagi umat Islam. Ayat ini menyatakan bahwa tuntunan di atas merupakan
salah satu bentuk ibadah kepada Allah dan memang bagi tiap-tiap umat
sebelum kamu telah kami syariatkan mansak, yakni syariat kurban dan
tempat penyembelihannya. Tujuan syariat tersebut adalah untuk
mendekatkan diri kepada Allah.
M. Quraish Shihab menjelaskan dalam buku Tafsir Al-Misbah
bahwa “Katamansakan terambil dari kata nasaka yakni menyembelih”.
Jika dibaca mansakan adalah mashdar dan apabila dibaca minsakan adalah
isim makan atau nama tempat, maksudnya tempat penyembelihan[11].

68
Dalam buku Tafsir Al-Misbah dijelaskan bahwa “Pola kata yang
digunakan dalam ayat ini menunjuk pada tempat sehingga ia bernama
tempat penyembelihan. Sementara ulama memperluas maknanya sehingga
memahaminya dalam arti ibadah dan ketaatan secara umum”. Pensyariatan
ibadah kurban disini ialah dimana seseorang menyembelih hewan kurban
pada waktu-waktu tertentu semata-mata untuk beribadah kepada Allah.
Potongan ayat tersebut menjelaskan bahwa telah disyariatkan kepada
umat-umat terdahulu untuk melaksanakan ibadah kurban yang
dipersembahkan hanya kepada Allah SWT. Seperti kisah nabi Ibrahim
dengan putranya nabi Ismail yang melaksanakan perintah Allah untuk
berkurban. Bahkan nabi Ibrahim rela mengorbankan anaknya sendiri
sebagai ujian dalam ketakwaannya. Ketika nabi Ibrahim melaksanakan
perintah tersebut kemudian Allah mengganti nabi Ismail dengan kibas
yang besar pada saat menyembelihnya. Kisah itulah yang menjadi salah
satu latar belakang perintah berkurban.
Melaksanakan ibadah kurban, merupakan salah satu tanda rasa
syukur manusia kepada Allah atas nikmat yang telah diberikan kepadanya.
Dalam ayat ini Allah menyuruh kepada manusia agar bersyukur dengan
cara berkurban, yaitu dengan menyembelih hewan ternak dan menyebut
Asma Allah pada saat penyembelihannya sebagai tanda bahwa hewan
tersebut dipersembahkan hanya kepada-Nya. Jika kita memahami maksud
dan tujuan mengapa harus menyebut nama Allah pada saat menyembelih
hewan kurban, karena ditakutkan hewan kurban tersebut bukan ditunjukan
untuk Allah SWT, tetapi untuk yang lainya. Maka tentulah hal te rsebut
sangat penting didalam melaksanakan ibadah kurban.
Ayat diatas menjelaskan bahwa penyembelihan kurban telah
dikenal oleh umat-umat yang lalu. Ini dapat dibuktikan melalui Al-Qur`ân
dan sejarah. Hanya saja, sebagian dari umat-umat itu menyelewengkan
ajaran kurban sehinggga bertentangan dengan tuntunan Allah swt., baik
pada cara, tujuan, maupun jenis binatang yang disembelih sebagai kurban.

69
6. Pokok-pokok Isi Kandungan Surat Al-Hajj Ayat 34:
a. Allah telah mensyariatkan kurban kepada umat Nabi Muhammad
sebagaimana yang telah dilakukan oleh nabi-nabi terdahulu beserta
umatnya.
b. Ayat ini menegaskan bahwa tiada Tuhan selain Allah yang berhak
disembah dan menerima persembahan kurban tersebut, maka ketika
menyembelih kurban, diwajibkan menyebut nama Allah dalam
pelaksanaannya.
c. Orang yang melaksanakan Ibadah kurban, merupakan salah satu tanda
bahwa ia bertaqwa dan bersyukur kepada Allah SWT.

B. Surah Al-Kautsar Ayat 1-3


1. Ayat dan Terjemah
)3( ‫) إِنَّ شَانِئ َكَ ه َُو ْاألَ ْبت َ ُر‬2( ‫) فَص َِل ِل َر ِبكَ َوا ْنح َْر‬1( ‫إِنَّا أ َ ْع َط ْينَاكَ ا ْلك َْوث َ َر‬
Artinya:
1. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak.
2. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah
3. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu Dialah yang
terputus.
2. Kosa Kata Inti
َ‫أَع َط ْينَك‬: memberikan kepadamu. Kalimat ini terdiri dari kata kerja
yaitu ‫ اع َطى‬yang disandingkan dengan fail berdhomir ‫ نحن‬yang kemudian
dilengkapi dengan maf`ul bih berdhomir ‫ أنت‬.
‫ا ْنح َْر‬: menyembelih. merupakan fiil amr atau kata perintah yang
berasal dari kata ‫ َنح ََر‬.
Munasabah Ayat
Pada surat sebelumnya yaitu surat al-Mâ`ûn, Allah telah
memberikan penjelasan tentang ciri-ciri orang yang tidak percaya kepada
kebenaran Dinul-Islam. Ciri-ciri tersebut adalah:
a. Bersifat bakhil,
b. Berpaling dari shalat yang sebenarnya

70
c. Berlaku riya
d. Tidak pernah memberi pertolongan.
Kemudian dalam surat al-Kautśar ini, Allah menjelaskan tentang
berbagai anugerah yang dikaruniakan kepada Rasulullah SAW., yakni
berbagai kebaikan dan barakah. Karenanya, Allah menjelaskan telah
memberikan al-Kautśar yang banyak mengandung nilai kebaikan.
Sementara itu hubungan dengan surat yang selanjutnya, dalam surat al-
Kauśar Allah memerintahkan agar memperhambakan diri kepada-Nya,
sedangkan dalam surat al-Kâfirûn perintah tersebut dipertegas lagi.
3. Asbabun Nuzul
Ketika Ka`ab bin Asyraf, seorang pembesar kaum yahudi, datang
ke kota Mekkah, kaum kafir Quraisy menyambutnya dengan penuh
hormat. Orang-orang kafir Quraisy berkata: “Tuan adalah pembesar orang
Madinah, Bagaimanakah pendapat tuan tentang Muhammad yang berpura-
pura menjadi orang yang sabar yang diisolasikan kaumnya. Ia
beranggapan bahwa dirinya lebih mulia daripada kita semua. Padahal kita
selalu menyambut orang yang beribadah haji: memberi makan dan minim
kepada mereka, Asyraf: “kamu lebih mulia dari Muhammad”. Mendengar
kata-kata yang demikian Rasulullah SAW. gelisah resah, merasa susah.
Untuk menangkan hati Rasulullah SAW. yang gundah gulana, maka Allah
SWT. menurunkan ayat-ayat yang terkandung dalam surat al-Kauśar.
Yakni sebagai bantahan terhadap ucapan Ka‟ab bin Asyraf.
Lalu pada ayat yang kedua, turun pada peristiwa Hudaibiyyah,
ketika itu Malaikat Jibril datang kepada Rasulullah, Jibril membawa
wahyu yang memerintahkan menyembelih kurban dan melaksanakan
sholat, maka Rasulullah melaksanakan sholat „ied dua raka‟at disertai
khutbah. Setelah melakukannya Rasulullah pergi ke tempat
penyembelihan kurban untuk melaksanakan penyembelihan hewan kurban.
Pada ayat yang ke tiga ini, asbabun nuzulnya adalah tentang
wafatnya salah satu anak laki-laki nabi Muhammad SAW. Dalam tafsir al-
Azhar ada beberapa riwayat yang menjelaskan turunnya ayat ini, yaitu :

71
“Menurut suatu riwayat dari „Atha`, paman Nabi sendiri, Abu Lahab yang
sangat memusuhi Nabi, setelah mendengar bahwa anak laki-laki Nabi
telah meninggal, dia pergi menemui kawan-kawanya sesama musyrikin
dan berkata: sudah putus turunan Muhammad malam ini!” Maka turunlah
ayat ini: “Sesungguhnya orang-orang yang membenci engkau itulah yang
akan putus”. Dari ketiga sebab-sebab turunya ayat tersebut yang berbeda-
beda, hal ini menjelaskan bahwa surat al-Kauśar bukanlah surat yang
diturunkan secara bersama-sama, tetapi ayat demi ayat. Kalau kita pahami
surat al-Kauśar mempunyai satu kesatuan yang berkaitan erat antara ayat
yang satu dengan yang lainya yang menjelaskan nikmat Allah, cara
mensyukurinya dan ancaman bagi orang-orang yang menghina nabi
Muhammad.
4. Tafsir dan Penjelasan
Dalam ayat ini Allah menerangkan bahwa Dia telah memberi Nabi-
Nya nikmat dan anugerah yang tidak dapat dihitung banyaknya dan tidak
dapat dinilai tinggi mutunya, walaupun (orang musyrik) memandang hina
dan tidak menghargai pemberian itu disebabkan kekurangan akal dan jalan
yang lurus, yang membawa kepada kebahagiaan hidup di dunia dan di
akhirat. Ayat ini menerangkan bahwa Allah telah memberikan nikmat
yang banyak kepada manusia terutama kepada para Nabi dan Nabi
Muhammad SAW. Semua itu ditunjukan kepada manusia agar mereka
sadar bahwa Allah-lah Tuhan segala-galanya yang memberikan apa yang
selama ini dinikmati oleh manusia.
Pada Surat ini Allah menyandingkan dua ritual ibadah yaitu ibadah
sholat dan kurban. Padahal kita telah mengetahui, bahwa ibadah sholat
adalah ibadah yang vertikal, ibadah seorang hamba kepada Allah di dalam
bermunajah, menyembah, dan berdo‟a kepada-Nya. Sedangkan ibadah
kurban adalah ibadah yang vertikal dan horizontal dimana terdapat dua
aspek ibadah yaitu kepada Allah dan sesama manusia. Ketika ayat tersebut
menyandingkan dua aspek ibadah, pemakalah memahami disini bahwa
inilah salah satu tolak ukur keimanan manusia, jika mereka rajin di dalam

72
sholatnya dan Allah memberikan rizki yang cukup dalam kehidupanya,
maka lakukanlah ibadah kurban sebagai tanda syukur kepada Allah dan
mematuhi perintah-Nya.
5. Pokok-pokok Isi Kandungan Surah Al-Kautsar:
1. Allah menjanjikan kepada Nabi Muhammad untuk memberikan
nikmat yang tidak ternilai harganya dan janji itu ditepati-Nya.
2. Allah memerintahkan Nabi Muhammad agar mengerjakan shalat dan
menyembelih hewan kurban sebagai tanda syukur terhadap nikmat
tersebut.
3. Orang yamg mencaci dan mencela Nabi Muhammad tidak akan
disebut-sebut kecuali kejahatanya saja.

C. Surat Al-Kautsar ayat 2


1. Ayat dan Terjemahan
)2( ‫ص ّل ل َربّكَ َوا ْن َح ْر‬
َ َ‫ف‬
Artinya: “Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu; dan berkorbanlah."
2. Tafsir dan Penjelasannya
Di ayat sebelumnya Allah menganugerahkan sedemikian banyak
anugerah kepada Nabi Muhammad saw. di dunia dan akhirat antara lain
ialah sungai, wajar sekali jika ayat selanjutnya Allah memerintahkan
beliau bahwa: Jika demikian, maka shalatlah demi Tuhan Pemelihara-mu
dan sembelihlah binatang untuk kamu sedekahkan kepada yang butuh dan
jangan menjadi seperti yang Allah kecam pada surah yang lalu, yang
menghardik anak yatim yang meminta sedikit daging sembelihan.
Kata shalli adalah bentuk perintah dari kata shalâh yang dari segi
bahasa berarti doa. Sementara ulama mengemukakan satu riwayat yang
disandarkan kepada Ibn ‘Abbâs bahwa maksud kata tersebut adalah
perintah melaksanakan shalat lima waktu. Riwayat lain dari beberapa
murid Ibn ‘Abbâs yaitu Qatadah, Atha’ dan Ikrimah memahaminya dalam
arti perintah shalat, tetapi shalat ‘Îdul Adha. Ayat kedua surah al-Kautsar
ini, menurut riwayat tadi, turun untuk menuntun Nabi agar melakukan

73
shalat ‘Îdul Adha terlebih dahulu, baru menyembelih kurban. Sementara
Ibnu Katsir mengungkapkan dalam tafsirnya bahwa yang dimaksud adalah
perintah mengerjakan shalat fardhu dan sunat dengan ikhlas karena Allah
dan juga dalam gerakannya.
Yang dimaksud disini adalah perintah menyembelih binatang, baik
dalam rangka Kurban maupun ‘Aqîqah. Tetapi, ada riwayat lain yang
disandarkan kepada Sayyidinâ ‘Ali ra. yakni bahwa yang dimaksud oleh
kata ini adalah “meletakkan tangan ketika shalat pada an-nahr, yakni dada,
atau di atasnya sedikit lebih kurang pada posisi hiasan kalung yang
digantung di leher.” Ayat kedua, bila dipahami demikian, diterjemahkan
dengan: “Shalat-lah demi karena Tuhanmu dan letakkanlah tanganmu di
dada.” Riwayat yang disandarkan kepada Sayyidinâ ‘Ali ra. itu berbunyi:
“Letakkanlah tanganmu di atas tangan kirimu sejajar dengan dada sewaktu
melaksanakan shalat.” Ada pula yang berpendapat bahwa wanhar artinya
mengangkat kedua tangan di saat membuka shalat.
Dari perbedaan pendapat tentang makna shalli wanhar, maka disini
penulis memilih bahwa shalli disitu adalah shalat idul adha yang
kemudian setelah shalat idul adha dilakukanlah penyembelihan hewan
Kurban. Sebagaimana yang diungkapkan Imam Taqiyuddin Abu Bakar
ibn Muhammad al-Husaini dalam kitabnya kifayatul akhyar, beliau
mengungkapkan bahwa yang dimaksud dengan shalat pada ayat diatas
adalah shalat hari raya idul adha, dan tidak diragukan lagi bahwasannya
Rasulullah saw shalat idul adha Bersama para sahabat kemudian selesai
shalat berkurban. Yaitu Rasulullah saw setelah selesai shalat idul adha
segera menyembelih kurbannya, sebagaimana diriwayatkan Al-Bukhari
dalam Shahihnya:

َّ ‫صلَّى‬
ُ‫َّللا‬ َ ‫ي‬ ُّ ‫ُّوب َع ْن ابْن سيرينَ َع ْن أَنَس بْن َمالكٍ قَا َل قَا َل النَّب‬ َ ‫علَيَّةَ َع ْن أَي‬ ُ ُ‫صدَ َقةُ أ َ ْخ َب َرنَا ا ْبن‬
َ ‫َحدَّثَنَا‬
‫َّللا إ َّن َهذَا يَ ْوم‬
َّ ‫سو َل‬ َ َ‫ص َالة فَ ْليُعدْ فَق‬
ُ ‫ام َر ُجل فَقَا َل يَا َر‬ َّ ‫سلَّ َم يَ ْو َم النَّحْ ر َم ْن َكانَ ذَبَ َح قَ ْب َل ال‬َ ‫َعلَيْه َو‬
‫ص لَهُ في ذَلكَ فَ َال أ َدْري‬
َ ‫عة َخيْر م ْن شَات َ ْي لَحْ ٍم فَ َر َّخ‬ َ ‫يُ ْشت َ َهى فيه اللَّحْ ُم َوذَك ََر ج‬
َ َ‫يرانَهُ َوع ْندي َجذ‬

74
‫اس‬ َ ‫سلَّ َم إلَى َك ْب‬
َ َ‫شيْن فَذَبَ َح ُه َما َوق‬
ُ َّ‫ام الن‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْيه َو‬ ُّ ‫صةُ َم ْن س َواهُ أ َ ْم َال ث ُ َّم ا ْن َكفَأ َ النَّب‬
َ ‫ي‬ َ ‫الر ْخ‬
ُّ ‫َت‬ ْ ‫بَلَغ‬
‫غنَ ْي َم ٍة فَت ََو َّزعُوهَا أ َ ْو قَا َل فَت َ َج َّزعُوهَا‬
ُ ‫إلَى‬
Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Shadaqah telah
mengabarkan kepada kami Ibnu 'Ulayyah dari Ayyub dari Ibnu Sirin dari
Anas bin Malik dia berkata; pada hari raya kurban, Nabi shallallahu
'alaihi wasallam pernah bersabda: "Barangsiapa menyembelih binatang
kurban sebelum shalat (ied), hendaknya ia mengulangi lagi." Lalu ada
seorang laki-laki yang berdiri sambil bertanya; "Wahai Rasulullah,
Sesungguhnya hari ini adalah hari di bagi-bagikannya daging kurban, -
lalu ia menyebutkan sebagian para tetangganya- sementara aku hanya
memiliki jad'ah (anak kambing yang berusia dua tahun) yang lebih banyak
dagingnya daripada dua ekor kambing biasa." Maka beliau memberi
keringanan kepadanya untuk berkurban dengan kambing tersebut, aku
tidak tahu apakah keringanan tersebut juga untuk yang lain atau tidak.
Setelah itu Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pergi menuju dua ekor
kambing dan menyembelihnya, lalu orang-orang pun pergi menuju
sekumpulan kambing dan membagi-bagikannya."(HR. AL-Bukhari)

75
AYAT IBADAH KURBAN

AYAT IBADAH NIKAH

AYAT IBADAH AQIQAH

AYAT IBADAH WASIAT

76

Anda mungkin juga menyukai