Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH FIQH JINAYAH TENTANG GABUNGAN HUKUMAN

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Fiqh Jinayah


Dosen Pengampu : Muhammad Husni Arafat, Lc., M.S.I.

Disusun oleh :

Muhammad Ihsan Nur Hanif (191410000644)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


ISLAM FAKULTAS SYARI’AH DAN
HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NAHDLATUL ULAMA JEPARA

i
DAFTAR ISI

MAKALAH .................................................................................................................... i

DAFTAR ISI..................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

Latar Belakang ........................................................................................................... 1

Rumusan Masalah ...................................................................................................... 1

Tujuan Penulisan ........................................................................................................ 1

BAB II PEMBAHASAN ............................................................................................... 2

Metode Penelitian ....................................................................................................... 2

Pengertian Gabungan Hukuman................................................................................. 2

Dasar Hukum Gabungan Hukuman ......................... Error! Bookmark not defined.

Macam-macam Gabungan Hukuman dan Teorinya................................................... 5

Perbedaan teori gabungan hukuman antara hukum pidana, hukum pidana Indonesia,
dan hukum pidana Islam ........................................................................................... 7

BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 11

Kesimpulan............................................................................................................... 11

Saran ................................................................................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 12

ii
BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hukum pidana atau fiqih jinayah merupakan bagian dari syari’at islam yang
berlaku semenjak diutusnya Rosulullah, yang berdasarkan al-qur`an dan hadist
atau lembaga yang mempunyai wewenang untuk menetakan hukuman. Oleh
karenanya pada zaman Rosululah dan Khulafaur Rasyidin, hukum pidana islam
berlaku sebagai hukum publik. Yaitu hukum yang diatur dan diterapkan oleh
pemerintah selaku penguasa yang sah atau ulil amri.

Hukum pidana menurut syari’at islam merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam kehidupan setiap muslim dimanapun ia berada. Syari’at islam merupakan
hukum yang harus dilaksanakan oleh setiap muslim, karena syari’at islam
merupakan bagian ibadah kepada Allah SWT.

Gabungan melakukan tindak pidana dalam hukum Islam sebenarnya tidak


terdapat istilah khusus. Namun dalam pengertian ini terdapat dua hal yang perlu
diperhatikan yaitu tentang pengertian delik gabungan dan tentang rentetan
pelanggaran yang mana keduanya bagaikan dua sisi mata uang, artinya adanya
delik gabungan dikarenakan adanya rentetan pelanggaran.

2.1 Rumusan Masalah


1. Apa yang dimaksd dengan gabungan hukuman ?
2. Bagaimana dasar hukum terkait gabungan hukuman?
3. Apa saja macam-macam teori gabungan?
4. Bagaimana perbedaan teori gabungan hukuman antara hukum pidana, hukum
pidana Indonesia, dan hukum pidana Islam?

3.1 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan kami dalam menyusun makalah ini adalah agar kami mampu
memahami tantang pengertian gabungan hukum, dasar hukumnya, serta macam-
macam teori terkait gabungan hukuman.

1
BAB II PEMBAHASAN

1.2 Metode Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif deskriptif di mana
peneliti mencoba menggambarkan pemahaman atas suatu fenomena tertentu,
dalam hal ini mengkaji tentang gabungan hukuman fiqh jinayah.

Karena fenomena yang menjadi perhatian peneliti memerlukan


pencarian jawaban yang mendalam dan menekankan makna yang ditimbulkan
dari fenomena itu sendiri, maka penulis memutuskan untuk menggunakan
metode kualitatif dalam melaksanakan penelitian ini.

2.2 Pengertian Gabungan Hukuman


Istilah gabungan hukuman tersusun dari dua kata, yaitu kata gabungan
dan hukuman. Istilah gabungan merupakan bentuk derivatif dari kata gabung
ikat atau mengikat, berkas.1 Kata gabung kemudian membentuk beberapa
bentukan istilah lainnya salah satnunya seperti gabungan (ikatan, himpunan,
perserikatan terjadi atas beberapa perkumpulan atau gabungan dua zat atau
lebih yang membentuk zat baru).2

Kata gabungan sebagaimana tersebut menunjukkan makna ikatan atau


himpunan, artinya himpunan dari sesuatu, baik dalam bentuk himpunan suatu
benda, kejadian ataupun peristiwa. Dengan begitu, kata gabungan ini
memerlukan istilah lain yang mengikutinya, seperti gabungan hukuman. Oleh
sebab itu, yang dimaksud gabungan di sini ialah gabungan hukuman atau
sanksi sebab melakukan beberapa tindak kejahatan.

Istilah kedua adalah hukuman. Kata hukuman ini juga merupakan


bentuk derivatif, yaitu dari kata hukum. Secara bahasa, kata hukum diambil
dari bahasa Arab, yaitu dari kata dasar ha-ka-ma ( ‫ )حكم‬maknanya memimpin
atau memerintah, menetapkan, memerintahkan, memutuskan, mengadili,
mencegah atau melarang, putusan atau ketetapan.3 Hukum juga diartikan

1
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: Lembaga Bahasa & Budaya,
1954), hlm. 203.
2
Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 422.
3
AW. Munawwir dan M. Fairuz, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka Progressif, 2007), hlm. 952.
2
sebagai aturan, ketentuan, norma dan dalil, patokan, pedoman, peraturan
perundang-undangan, atau putusan hakim.4

Mencermati uraian pemaknaan kata gabungan dan hukuman di atas,


maka istilah gabungan hukuman secara sederhana dapat dimaknai sebagai
ikatan atau himpunan beberapa sanksi hukum yang dapat dikenakan
(dijatuhkan) pada pelaku tindak pidana lantaran beberapa tindak pidana yang
dilakukan pelaku. Gabungan hukuman dalam istilah Belanda disebut
meerdaadsche samenloop yaitu seseorang melakukan beberapa perbuatan.5
Dengan begitu, gabungan hukuman ialah sejumlah tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang, di mana tiap-tiap tindak pidana yang dia lakukan
belum satupun yang divonis.

3.2 Dasar Hukum


Gabungan tindak pidana merupakan perbuatan pidana yang sangat
merugikan kepentingan hukum, dimana pelakunya harus dihukum lebih berat
dari pelaku yang hanya melakukan satu tindak pidana. Adapun dasar hukum
dapat dipidananya pelaku tindak pidana gabungan adalah berdasarkan
rumusan Pasal 63 sampai dengan Pasal 71 KUHP, yang secara sistimatis dapat
diuraikan sebagai berikut:

Dasar hukum gabungan dalam satu perbuatan (corcursus idealis)

Adapun dasar hukum mengenai gabungan dalam satu perbuatan ini


adalah diatur dalam Pasal 63 dan 64 KUHP yang rumusannya sebagai
berikut:Bunyi rumusan Pasal 63 KUHP :

1. Jika sesuatu perbuatan termasuk dalam beberapa peraturan ketentuan


pidana, maka hanyalah dikenakan satu saja dari ketentuan itu, jika
hukumannya berlainan, maka yang dikenakan ialah ketentuan yang terberat
hukuman pokoknya.

4
Jonaedi Efendi, dkk., Kamus Istilah Hukum Populer, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2016),
hlm. 182.
5
Monang Siahaan, Korupsi Penyakit Sosial yang Mematikan (Jakarta: PT Gramedia Elex Media
Komputindo, 2013), hlm. 217.
3
2. Jika bagi sesuatu perbuatan yang terancam oleh ketentuan pidana umum
pada ketentuan yang istimewa, maka ketentuan pidana istimewa itu saja yang
akan digunakan

Dasar Hukum Tindakan berlanjut

Adapun dasar hukum tentang pembarengan tindakan berlanjut terdapat


dalam Pasal 64 KUHP,yang rumusannya sebagai berikut :

1.Jika beberapa perbuatan perhubungan, sehingga dengan demikian harus


dipandang sebagai satu perbuatan yang diteruskan, maka hanya satu ketentuan
pidana saja yang digunakan walaupun masing-masing perbuatan itu menjadi
kejahatan atau pelanggaran; jika hukumannya berlainan, maka yang digunakan
ialah peraturan yang terberat hukuman utamanya.

2. Begitu juga hanya digunakan satu ketentuan pidana saja, bila orang
dipersalahkan memalsu atau merusakkan uang dan memakai benda untuk
melakukan perbuatan memalsu atau merusakkan uang

Dasar hukum gabungan beberapa perbuatan pidana (Concursus realis)

Adapun dasar hukum mengenai gabungan dalam beberapa tindak


pidana diatur dalam Pasal 65 KUHP yang bunyi rumusannya sebagai berikut:

1. Dalam gabungan dari beberapa perbuatan, yang masing-masing harus


dipandang sebagai perbuatan tersendiri-sendiri dan yang masing-masing
menjadi kejahatan yang diancam dengan hukuman utama yang sejenis, maka
satu hukuman saja yang dijatuhkan.

2. Maksimum hukuman ini ialah jumlah hukuman yang tertinggi. Ditentukan


untuk perbuatan itu, akan tetapi tidak boleh lebih dari hukuman maksimum
yang paling berat ditambah dengan sepertiganya.

4
4.2 Macam-macam Gabungan Hukuman dan Teorinya
1. Gabungan anggapan (concurcus idealis)

Gabungan jarimah itu karena hanya bersifat anggapan, sedang


pelakunya hanya berbuat satu jarimah. Contoh: Seorang memukul petugas, ia
diaggap melakukan jarimah ganda, walaupun pelakunya menganggap
melakukan jarimah tunggal, hal ini dikarenakan yang dipukul adalah petugas
sehingga oleh hukum dianggap berbuat jarimah ganda yaitu memukul orang
dan melawan petugas.

2. Gabungan nyata (concurcus realis)

Yaitu seorang melakukan perbuatan jarimah ganda secara jelas, baik


berkenaan dengan jelas atau berbeda. Contoh: si A lakukan pemerkosaan
terhadap si B sebelumm dijatuhi hukuman, si A melakukan pembunuhan
terhadap si C (contoh jarimah ganda berbeda). Adapun jarimah sejenis adalah
si A melakukan pembunuhan terhadap si D sebelum dihukum dia melakukan
pembunuhan lagi terhadap si E.

Pertimbangan fuqaha tentang eksistensi gabungan hukuman yang


berdasarkan atas dua teori :

1. Teori saling memasuki atau melengkapi

Teori saling melengkapi dalam istilah fikih jinayat disebut tadakhhul atau
ditulis dengan ‫ تدخل‬,secara bahasa berarti masuk atau memasuki dan
melengkapi. Maksudnya yaitu bahwa pelaku jarimah dikenakan suatu
hukuman, walaupun melakukan tindakan kejahatan ganda, karena perbuatan
satu dengan yang lainnya dianggap saling melengkapi atau saling memasuki.
Teori ini ada dua pertimbangan.

a Bila pelaku hanya melakukan tindakan kejahatan sejenis sebelum


diputuskan oleh hakim, maka hukumannya dapat dijatuhkan satu macam saja,
jika satu hukuman dianggap cukup. Akan tetapi jika ia belum insaf atau jera
dan mengulangi lagi, maka ia dapat dikenakan hukuman lagi.

5
Contoh: si a mencuri di tempat b kemudian mencuri ditempat c, lalu ia
dikenakan hukuman dan ia mencuri lagi.

b. Bila jarimah yang dilakukan oleh seorang secara berulang-ulang dan terdiri
dari bermacam-macam jarimah, maka pelakupun bisa dikenakan satu
hukuman, dengan syarat bahwa penjatuhan hukuman itu melindungi
kepentingan bersama dan untuk mewujudkan tujuan yang sama.

Perspektif Islam cenderung lebih luas lagi di mana bahwa


penghukuman bagi satu tindak kejahatan bertujuan agar bisa mendatangkan
kemaslahatan, atau dalam terminologi hukum Islam disebut dengan
mashlahah. Istilah mashlahah secara sederhana mempunyai makna bermanfaat
atau terlepas dari kerusakan.6

2. Teori Penyerapan

Para ulama masih berbeda pendapat tentang teori ini. Jumhur ulama
dari kalangan Hanafiah, Malikiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa pelaku
tindak pidana yang melakukan kejahatan lebih dari satu dapat dihukum dengan
satu janis hukuman saja sepenjang menyerap jenis hukuman lain. Sementara
itu, kalangan ulama Syafi‟iyah tidak setuju dengan teori tersebut, dengan
alasan bahwa semua kejahatan memiliki hukumannya, maka tiap tindak pidana
yang dilakukan pelaku secara keseluruhan harus dihukum, sebab semua
hukuman harus dijatuhkan.7

Contoh kasus seperti bergabungnya tindak pidana mencuri dengan


tindak pidana zina muhsan (zina yang dilakukan oleh orang yang sudah
menikah) yang pelakunya satu orang. Dalam kasus ini, maka penerapan teori
penyerapan adalah dengan merajam pelaku saja sebagai hukuman zina
muhsan, sementara hukuman potong tangan tidak lagi diterapkan sebab
hukuman rajam (mati) sudah menyerap hukuman potong tangan.

6
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Teori ke Aplikasi, Edisi Kedua, Cet. 2,
(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2018), hlm. 117.
7
Mardani, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2019., hlm. 61.
6
5.2 Perbedaan teori gabungan hukuman antara hukum pidana, hukum
pidana Indonesia, dan hukum pidana Islam
Dalam hukum positif terdapat tiga teori mengenai gabungan jarimah,
yaitu:

1.Teori berganda. (cumulatie)

Menurut teori ini pelaku mendapat semua hukuman yang ditetapkan


untuk tiap-tiap jarimah yang dilakukannya. Kelemahan teori ini terletak pada
banyaknya hukuman yang dijatuhkan. Hukuman penjara misalnya adalah
hukuman sementara, tetapi apabila digabung-gabungkan maka akan berubah
menjadi hukuman seumur hidup.

2. Teori penyerapan. (absorptie)

Menurut teori ini hukuman yang lebih berat dapat menyerap


(menghapuskan) hukuman yang lebih ringan. Kelemahan teori ini adalah
kurangnya keseimbangan antara hukuman yang dijatuhkan dengan banyaknya
jarimah yang dilakukan, sehingga terkesan hukuman demikian ringan.

3. Teori campuran.

Teori merupakan campuran antara berganda dan penyerapan. Teori ini


dimaksudkan untuk melemahkan teori yang ada dalam kedua teori tersebut.
Menurut teori campuran hukuman-hukuman biasa digabungkan, asal hasil
gabungan tidak melebihi batas tertentu, sehingga dengan demikian akan
hilanglah kesan berlebihan dalam penjatuhan hukuman.

Dalam hukum pidana Indonesia, ketentuan mengenai gabungan


tercantum dalam pasal 63 sampai dengan 71 KUHP pidana. Dari pasal tersebut
dapat diketaui bahwa dalam hukum pidana Indonesia ada beberapa teori yang
dianut berkaitan dengan gabungan hukuman ini. Teori-teori tersebut adalah
sebagai berikut.

1) Teori penyerapan biasa

Menurut teori ini hanya satu pidana yang diterapkan pada pasal 63
KUHP, yaitu yang paling berat hukuman pokoknya, apabila suatu perbuatan
7
pidana diancam dengan beberapa aturan pidana. Contohnya: orang membunuh
dengan menembak dibelakang kaca, jadi tindakkanya adalah membunuh (pasal
339) dan merusak barang (pasal 406) maka yang diterapkan adalah pasal 339.

2) Teori penyerapan keras

Menurut teori ini dalam hal gabungan perbuatan yang nyata yang
diancam dengan hukuman pokok adalah yang sejenis, hanya satu hukuman
saja yang dijatuhkan dan hukuman tersebut bisa diberatkan dengan sepertiga
dari maksimum hukuman yang seberat-bratnya.

3) Teori berganda yang dikurangi

Teori ini hampir sama dengan teori yang bersumber dari pasal 65 dan
66 KUHP. Menurut teori ini, yang tercantum dalam pasal 65 ayat (2), semua
hukuman dapat dijatuhkan, tetapi jumlah keseluruhannya tidak melebihi
hukuman yang paling berat, ditambah dengan sepertiganya.

4) Teori berganda biasa

Menurut teori ini, semua hukuman dijatuhkan tanpa dikurangi. Ini di


anut oleh pasal 70 ayat (1) yang berbunyi: “ Jika ada gabungan secara yang
termaksud dalam pasal 65 dan 66 antara pelanggaran dengan kejahatan, atau
antara pelanggaran maka dijatuhkan hukuman bagi tiap-tiap pelanggaran itu
dengan tidak dikurangi”.

Dalam hukum pidana Islam, teori tentang bergandanya hukuman sudah


dikenal di kalangan fuqaha, tetapi teori tersebut dibatasi pula dengan dua teori
yang lain, yaitu teori saling melengkapi (At-Tadakhul) dan teori
penyerapan (Al-Jabbu).

a. Teori saling melengkapi ( At-Tadakhul)

Menurut teori ini, ketika terjadi gabungan jarimah, maka hukuman-


hukumannya saling melengkapi, sehingga oleh karenanya itu semua perbuatan
tersebut dijatuhi satu hukuman, seperti kalau ia memperkuat perbuatan. Teori
ini didasarkan atas dua pertimbangan, yaitu:

8
Pertama Meskipun perbuatan jarimah berganda, sedang semuanya
adalah satu macam, seperti pencurian yang berulang kali atau fitnahan yang
berulang kali, maka sudah sepantasnya kalau hanya dikenakan satu macam
hukuman, selama belum ada keputusan hakim. Beberapa perbuatan dianggap
satu macam selama objeknya adalah satu, meskipun berbeda-beda unsurnya
serta hukumannya, seperti pencurian biasa dan gangguam
keamanan (Hirabah). Alasan penjatuhan satu hukuman saja adalah bahwa pada
dasarnya suatu hukuman dijatuhkan untuk maksud memberikan
pengajaran (ta’dib)dan pencegahan terhadap orang lain (zajru), dan kedua
tujuan ini dapat dicapai dengan satu hukuman selama cukup membawa hasil.
Namun, kalau diperkirakan pembuat akan kembali melakukan perbuatan-
perbuatannya, maka kemungkinan ini semata-mata tidak cukup, selama belum
jadi kenyataan bahwa hukuman tersebut tidak cukup menahannya. Baru
setelah mengulangi perbuatannya sesudah mendapat hukuman, maka ia
dijatuhi hukuman lagi, karena hukuman yang pertama ternyata tidak
berpengaruh.

Kedua Meskipun perbuatan-perbuatan yang dilakukan berganda dan


berbeda-beda macamnya, namun hukuman-hukumannya bisa saling
melengkapinya dan cukup untuk satu hukuman yang dijatuhkan untuk
melindungi kepentingan yang sama. Seseorang misalnya makan bangkai,
darah dan daging babi, maka atas ketiga perbuatan ini dijatuhi satu hukuman,
karena hukuman-hukuman tersebut dijatuhkan untuk mencapai satu tujuan,
yaitu melindungi kesehatan perseorangan dan masyarakat.

b. Teori penyerapan (Al-Jabbu)

Yaitu menjatuhkan suatu hukuman, dimana hukuman-hukuman yang


lain tidak dapat dijatuhkan. Hukuman tersebut dalam hal ini tidak lain adalah
hukuman mati, dimana pelaksanaannya dengan sendirinya menyerap
hukuman-hukuman lain. Teori ini dikemukakan oleh beberapa ulama
diantaranya Imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad. Menurut Imam Malik,
apabila hukuman had berkumpul dengan hukuman mati karena Tuhan, seperti
hukuman mati Karena jarimah murtad, atau berkumpul dengan hukuman mati

9
karena qisash bagi seseorang lain, maka hukuman had tersebut tidaj dapat
dijalankan karena hukuman mati tersebut menyerapnya, kecuali hukuman
memfitnah saja(qadzaf) yang tetap dilaksanakan, dengan cara di-jilid dahulu
delapan puluh kali, kemudian dihukum mati.

Menurut Imam Ahmad, apabila terjadi dua jarimah hudud, seperti


mencuri dan zina bagi orang-orang muhshan, atau minum dan mengganggu
keamanan (hirabah)dengan membunuh, maka hanya hukuman mati saja yang
dijalankan, sedang hukuman-hukuman lain gugur. Kalau hukuman hudud
berkumpul dengan hak-hak adami, dimana salah satunya diancam hukuman
mati, maka hak-hak adami tersebut harus dilaksanakan terlebih dahulu, dan
hak-hak Allah diserap oleh hukuman hukuman mati.

Bagi Imam Abu Hanifah, pada dasarnya apabila terdapat gabungan hak
mannusia dengan hak-hak Allah, maka hak manusialah yang harus
didahulukan, karena ia pada umumnya ingin lekas mendapatkan haknya.
Kalau sesudah pelaksanaan hak tersebut hak Allah tidak bisa dijalankan lagi,
maka hak tersebut hapus dengan sendirinya. Bagi Imam Syafi’i tidak ada teori
penyerapan (al-jabbu), melainkan semua hukuman harus dijatuhkan selama
tidak saling melengkapi (tadakhul). Caranya ialah dengan mendahulukan
hukuman bagi hak-hak adami yang bukan hukuman mati, kemudian hukuman
bagi hak Allah yang bukan hukuman mati kemudian lagi hukuman mati.

c. Teori Percampuran (al Mukhtalath)

Teori percampuran ini dimaksudkan untuk mengatasi kelemahan-


kelemahan dari dua metode sebelumnya yaitu teori al jabbu (penyerapan) dan
teori al tadaahul (saling memasuki), yaitu dengan cara menggabungkan
keduanya dan mencari jalan tengahnya. Sebagaimana yang telah disebutkan di
awal bahwa hukum Islam dalam menggunakan kedua teori tersebut tidak
secara mutlak. Dalam teori percampuran ini langkah yang dilakukan yakni
dengan membatasi kemutlakan dari dua teori sebelumnya. Penggabungan
hukuman boleh dilakukan namun tidak boleh melampaui batas tertentu.
Tujuan daripada pemberian batas akhir ini bagi hukuman ialah untuk
mencegah hukuman yang terlalu berlebihan.
10
BAB III PENUTUP

1.3 Kesimpulan
Dalam islam mempunyai berbagai syari’at yang tidak dapat
dipisahkan dari diri seorang muslim, dimanapun ia berada. Salah satunya
gabungan hukuman yang artinya serangkai saksi yang diterapkan kepada
seseorang apabila ia benar-benar telah melakukan tidakan pidana secara
berulang-ulang diantara perbuatan perbuatannya tersebut antara yang satu
dengan yang lain belum ada keputusan.

Dalam hukum pidana, hukum pidana indonesia, dan hukum pidana


islam memiliki teori yang berbeda-beda. Seperti dalam teori hukum pidana
terdapat tiga teori mengenai gabungan hukuman, yaitu teori berganda,
penyerapan, dan campuran. Dalam hukum pidana Indonesia terdapat empat
teori mengenai gabungan hukuman yaitu, teori penyerapan keras, penyerapan
biasa, berganda yang dikurangi, berganda biasa. Sedangkan dalam hukum
pidana Islam, teori gabungan hukuman ada tiga, yaitu teori saling melengkapi,
teori penyerapan dan pencampuran.

Dalam gabungan hukuman terdapat perbedaan pendapat antara para


fuqaha diantaranya pendapat imam maliki, hanafi, dan ahmad menyatakan
apabila gabungan hukuman itu berupa hukuman mati, maka dengan sendirinya
jarimah-jarimah yang telah di lakukannya terhadanya dihapus, berbeda dengan
pendapat imam syafi`i yang mengemukakan semua jarimah di hukum satu-
persatu, dan cara pelaksanaan hukumannya didahulukan hak adami kemudian
baru hak Allah.

2.3 Saran
Demikianlah makalah yang kami berisikan tentang Gabungan
Hukuman. Makalah inipun tak luput dari kesalahan dan kekurangan
maupun target yang ingin dicapai. Adapun kiranya terdapat kritik, saran
maupun teguran digunakan sebagai penunjang pada makalah ini. Sebelum
dan sesudahnya kami ucapkan terima kasih.
11
DAFTAR PUSTAKA

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta:


Lembaga Bahasa & Budaya, 1954).
Tim Redaksi, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008).
AW. Munawwir dan M. Fairuz, Kamus al-Munawwir, (Surabaya: Pustaka
Progressif, 2007).
Jonaedi Efendi, dkk., Kamus Istilah Hukum Populer, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2016).
Monang Siahaan, Korupsi Penyakit Sosial yang Mematikan (Jakarta: PT
Gramedia Elex Media Komputindo, 2013).
Moh. Mufid, Ushul Fiqh Ekonomi dan Keuangan Kontemporer Teori ke
Aplikasi, Edisi Kedua, Cet. 2, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2018).
Mardani, Hukum Pidana Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group,
2019.

12

Anda mungkin juga menyukai