Anda di halaman 1dari 13

SIYASAH DUSTURIYAH

Diajukan Untuk Memenuhi salah Satu Tugas Mata Kuliah Fiqih Siyasah
Dosen Pengampu : Rahmi Nurtsani, S.Sy., M.H

Di Susun Oleh :
Abib Habibudin
Wawat Rahmawati
Deden Nurhidayat

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSIYYAH


FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT AGAMA ISLAM DARUSSALAM
CIAMIS – JAWA BARAT
TAHUN 2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Alloh SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah tentang “Siyasah Dusturiyah”. Makalah ini telah kami
susun dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga
dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan
banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam
pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada
kekurangan, baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena
itu, dengan tangan terbuka kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca
agar kami dapat memperbaiki makalah ini. Akhir kata, kami berharap semoga
makalah tentang “Siyasah Dusturiyah” ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap kami semua. Aamiin.

Ciamis, September 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah .........................................................................1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................1
1.3 Tujuan Penulisan ...................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Persoalan dan lingkup pembahasan.......................................................2
2.2 Imamah, hak dan kewajiban ...................................................................4
2.3 Rakyat, status, hak dan kewajibannya ....................................................7
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan............................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Siyasah dusturiyah merupakan bagian fiqh siyasah yang membahas


masalah perundang-undangan negara. Dalam bagian ini dibahas antara lain
konsep-konsep konstitusi (undang-undang dasar negara dan sejarah lahirnya
perundang-undangan dalam suatu negara), legislasi (bagaimana cara perumusan
undang-undang), lembaga demokrasi dan syura yang merupakan pilar penting
dalam perundang-undangan tersebut. Tujuan dibuatnya peraturan perundang-
undangan adalah untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dan untuk memenuhi
kebutuhan manusia.

Permasalahan di dalam fiqh siyasah dusturiyah adalah hubungan


antara pemimpin di satu pihak dan rakyatnya di pihak lain serta
kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam masyarakatnya. Oleh karena itu, di
dalam fiqh siyasah dusturiyah biasanya dibatasi hanya membahas pengaturan
dan perundang-undangan yang dituntut oleh hal ihwal kenegaraan dari
segi persesuaian dengan prinsip-prinsip agama dan merupakan realisasi
kemaslahatan manusia serta memenuhi kebutuhannya .

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa persoalan dan lingkup pembahasan siyasah dusturiyah?
2. Apa itu imamah, hak dan kewajibannya?
3. Apa itu rakyat, status, hak dan kewajibannya?
1.3 Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui apa persoalan dan lingkup pembahasan siyasah
dusturiyah
2. Untuk mengetahui imamah, hak dan kewajibannya
3. Untuk mengetahui rakyat, status, hak dan kewajibannya

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Persoalan dan Lingkup Pembahasan Siyasah Dusturiyah


Fiqh siyasah dusturiyah mencakup bidang kehidupan yang sangat luas dan
kompleks. Sekalipun demikian, secara umum disiplin ini meliputi hal-hal sebagai berikut:

1. Persoalan dan ruang lingkup pembahasan


2. Persoalan imamah, hak dan kewajibannya
3. Persoalan rakyat, statusnya dan hak-haknya
4. Persoalan bai‟at
5. Persoalan waliyul ahdi
6. Persoalan perwakilan
7. Persoalan ahlul halli wal aqdi
8. Persoalan wizarah dan perbandingannya
Persoalan fiqh siyasah dusturiyah umumnya tidak dapat dilepaskan dari dua
hal pokok: pertama, dalil-dalil kulliy, baik ayat-ayat Al-Qur‟an maupun Hadis,
maqosidu syariah, dan semangat ajaran Islam di dalam mengatur masyarakat,
yang tidak akan berubah bagaimanapun perubahan masyarakat. Karena dalil-dalil
kulliy tersebut menjadi unsur dinamisator di dalam mengubah masyarakat. Kedua,
aturan-aturan yang dapat berubah karena perubahan situasi dan kondisi, termasuk
di dalamnya hasil ijtihad ulama, meskipun tidak seluruhnya Apabila dilihat dari
sisi lain fiqh siyasah dusturiyah dapat dibagi kepada:
1. Bidang siyasah tasyri‟iyah, termasuk di dalamnya persoalan ahl al-hall
wa al ‟aqd, perwakilan persoalan rakyat. Hubungan muslimin dan non-
muslim di dalam suatu negara, seperti Undang-Undang Dasar, undang-
undang, peraturan pelaksanaan, peraturan daerah dan sebagainya.
2. Bidang siyasah tanfidhiyah, termasuk di dalamnya persoalan imamah,
persoalan bai‟ah, wuzarah, waliy al-ahdi, dan lain-lain.
3. Bidang siyasah qadha‟iyah, termasuk di dalamnya masalah-masalah
peradilan.
4. Bidang siyasah idariyah, termasuk di dalamnya masalah-masalah
administratif dan kepegawaian

2
Sesuai dengan tujuan negara menciptakan kemaslahatan bagi seluruh
manusia, maka negara mempunyai tugas-tugas penting untuk merealisasikan
tujuan tersebut. Ada tiga tugas utama yang dimainkan oleh negara dalam hal ini
Pertama, tugas menciptakan perundang-undangan yang sesuai dengan
ajaran Islam. Untuk melaksanakan tugas ini, maka negara memiliki kekuasaan
legislatif (al-sulthah al-tasyri‟iyyah). Dalam hal ini, negara memiliki kewenangan
untuk melakukan interpretasi, analogi dan inferensi atas nash-nash Al-Qur‟an
dan Hadis. Interpretasi adalah usaha negara unttuk memahami dan mencari
maksud sebenarnya tuntutan hukum yang dijelaskan nash. Adapun analogi
adalah melakukan metode Qiyas suatu hukum yang ada nash-nya, terhadap
masalah yang berkembang berdasarkan persamaan sebab hukum. Sementara
inferensi adalah metode membuat perundang-undangan dengan memahami
prinsip-prinsip syari‟ah dan kehendak syar‟i (Allah). Bila tidak ada nash sama
sekali, maka wilayah kekuasaan legislatif lebih luas dan besar, sejauh tidak
menyimpang dari prinsip-prinsip ajaran Islam tersebut.
Dalam realitas sejarah, kekuasaan legislatif ini pernah dilaksanakan oleh
lembaga ahl al-hall wa al ‟aqd. Kemudian dalam bahasa modern sekarang,
lembaga ini biasanya mengambil bentuk sebagai majelis syura (parlemen).
Kedua, tugas melaksanakan undang-undang. Untuk melaksanakannya,
negara memiliki kekuasaan eksekutif (al-sulthah al-tanfidziyah). Di sini negara
memiliki kewenangan untuk menjabarkan dan mengaktualisasikan perundang-
undangan yang telah dirumuskan tersebut. Dalam hal ini, negara melakukan
kebijakan baik yang berhubungan dengan dalam negeri, maupun yang
menyangkut dengan hubungan dengan negara lain (hubungan internasional).
Pelaksana tertinggi kekuasaan ini adalah pemerintah (kepala negara) dibantu oleh
para pembantunya (kabinet atau dewan menteri) yang dibentuk sesuai kebutuhan
dan tuntutan situasi yang berbeda antara satu negara dengan negara Islam lainnya.
Sebagaimana halnya kebijaksanaan legislatif yang tidak boleh menyimpang
dari semangat nilai-nilai ajaran Islam, kebijaksanaan politik kekuasaan eksekutif
juga harus sesuai dengan semangat nash dan kemaslahatan.
Ketiga, tugas mempertahankan hukum dan perundang-undangan yang telah
diciptakan oleh lembaga legislatif. Tugas ini dilakukan oleh lembaga yudikatif

3
(al-sulthah al-qadha‟iyah). Dalam sejarah Islam, kekuasaan lembaga ini
biasanya meliputi wilayah al-hisbah (lembaga peradilan untuk menyelesaikan
perkara-perkara pelanggaran ringan seperti kecurangan dan penipuan dalam
bisnis, wilayah al-qadha‟ (lembaga peradilan yang memutuskan perkara-perkara
antara sesama warganya, baik perdata maupun pidana) dan wilayah al- mazhalim
(lembaga peradilan yang menyelesaikan perkara penyelewengan pejabat negara
dalam melaksanakan tugasnya, seperti pembuatan keputusan politik yang
merugikan dan melanggar kepentingan atau hak-hak rakyat serta perbuatan
pejabat negara yang melanggar HAM rakyat.
2.2 Imamah, hak dan kewajibannya
Al- Mawardi menta’rifkan bahwa Imamah adalah suatu kedudukan atau
jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian di dalam memelihara
agama dan mengendalikan dunia. Pendapat lain dikemukakan oleh Yusuf Musa
dengan mensitir pendapat Ibn Kholdun menjelaskan bahwa khalifah atau imamah
adalah yang membawa atau memimpin masyarakat sesuai dengan kehendak
agama dalam memenuhi kemaslahatan akhirat dan dunianya yang kembali kepada
keakhiratan itu, karenanya hal ihwal keduniaan kembali seluruhnya menurut Allah
untuk kemaslahatan akhirat. Dari penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa
nabi Muhammad SAW mempunyai dua fungsi sekaligus dalam menjalankan misi
dakwahnya, yaitu menyampaikan risalah dari Allah dan menegakkan peraturan-
peraturan duniawi berdasarkan risalah yang dibawanya. Sedangkan imam yang
menjalankan tugas kepemimpinan atau kekhilafan tersebut. Kata-kata imam
menunjukkan kepada bimbingan yang menuju ke arah kebaikan. Oleh karena itu,
seperti yang dikenal Islam, imam adalah seorang khalifah yang mengatur umat,
sebagai pengganti dari Rasulullah SAW dalam menegakkan agama dan mengatur
dunia dengan agama itu. Dia adalah pemimpin tertinggi daulah Islam yang
bersatu.
Al-Mawardi menyebutkan ada dua hak imam, yaitu hak untuk di ta'ati dan
hak untuk di bantu. Akan tetapi, apabila kita pelajari sejarah ternyata ada hak lain
bagi imam, yaitu hak untuk mendapat imbalan dari harta Baitul Mal untuk
keperluan hidupnya dan keluarganya secara patut, sesuai dengan kedudukanya
sebagai Imam.

4
Hak yang lain ini pada masa Abu Bakar, diceritakan bahwa 6 bulan setelah
diangkat jadi khalifah, Abu Bakar masih pergi ke pasar untuk berdagang dan dari
hasil dagangannya itulah beliau memberi nafkah keluarganya. Kemudian para
sahabat bermusyawarah, karena tidak mungkin seseorang khalifah dengan tugas
yang banyak dan berat masih harus berdagang untuk memenuhi nafkah
keluarganya. Maka akhirnya diberi gaji 6.000 dirham setahun, dan menurut
riwayat lain digaji 2.000 sampai 2.500 dirham.
Bagaimanapun perbedaan-perbedaan pendapat di dalam jumlah yang di
berikan kepada Abu Bakar satu hal adalah pasti bahwa kaum muslimin pada
waktu itu telah meletakkan satu prinsip penggajian (member gaji) kepada
khalifah. Hak-hak imam ini erat sekali kaitannya dengan kewajiban rakyat. Hak
untuk di taati dan di bantu misalnya adalah kewajiban rakyat untuk mentaati dan
membantu.
Selain itu Dhafir Al-Qasimy menyebutkan lagi hak Imam dalam
melaksanakan tugas Negara:
1. Hak mendapat penghasilan (Al-Qasimy). Hal ini terang adanya. Sebab
imam telah melakukan pekerjaan demi kemaslahatan umum, sehingga tak
ada waktu lagi baginya memikirkan kepentingan pribadinya. Hal ini jelas
sekali jika di lihat dari ukuran sekarang, meskipun lain halnya
dibandingkan di masa-masa awal dahulunya, Khalifah Abu Bakar ra, atas
desakan beberapa Sahabat juga mendapatkan penghasilan dari jabatan
khalifahnya.
2. Hak mengeluarkan peraturan (Haq Al-Tasyri'). Seorang imam juga berhak
mengeluarkan peraturan yang mengikat warganya, sepanjang peraturan itu
tidak terdapat dalam Al-Qu'an dan mengikuti Al-Sunnah. Dalam
mengeluarkan peraturan-peraturan imam mestilah mengetahui kaedah-
kaedah dan pedoman-pedoman yang terdapat dalam Nash. Yang terpenting
di antaranya ialah musyawarah (Al-Syura) yakni bahwa dalam
mengeluarkan suatu peraturan, imam tidak boleh bertindak sewenang-
wenang, ia harus mempertimbangkan fikiran dari para ahli dalam masalah
yang bersangkutan. Selain itu peraturan tersebut juga tidak boleh

5
bertentangan dengan nash syara' atau dengan ruh-tasyri' dalam al-qur'an
dan sunnah.
Adapun suatu kewajiban-kewajiban seorang pemimpin dapat kita lihat
dalam berbagai macam profektif, yang mana dalam Islam, Islam sebagai agama
amal adalah sangat wajar apabila meletakkan focus of interest-nya pada
kewajiban. Hak itu sendiri datang apabila kewajiban telah dilaksanakan secara
baik. Bahwa kebahagiaan hidup di akhirat akan di peroleh apabila kebajiban-
kewajiban sebagai manifestasi dari ketaqwaan telah dilaksanakan dengan baik
waktu hidup di dunia.
Demikian pula halnya dengan kewajiban-kewajiban imam. Ternyata di
tidak ada kesepakatan di antara ulama terutama dalam perinciannya sebagai
contoh akan dikemukakan, kewajiban imam menurut al-Mawardi adalah:
1. Memelihara agama, dasar-dasarnya yang telah di tetapkan dan apa yang
telah di sepakati oleh ulama salaf.
2. Mentafidzkan hukum-hukum di antara orang-orang yang bersengketa, dan
menyelesaikan perselisihan, sehingga keadilan terlaksana secara umum.
3. Memelihara dan menjaga keamanan agar manusia dapat dengan tentram
dan tenang berusaha mencari kehidupan, serta dapat berpergian dengan
aman, tanpa ada gangguan terhadap jiwanya atau hartanya.
4. Menegakkan hukum-hukum Allah, agar orang tidak berani melanggar
hukum dan memelihara hak-hak hamba dari kebinasaan dan kerusakan.
5. Menjaga wilayah batasan dengan kekuatan yang cukup, agar musuh tidak
berani menyerang dan menumpahkan darah muslim atau non muslim yang
mengadakan perjanjian damai dengan muslim (mu'ahid).
6. Memerangi orang yang menentang islam setelah melakukan dakwah
dengan baik tapi mereka tidak mau masuk islam dan tidak pula menjadi
kafir dzimmi.
7. Memungut Fay dan shadaqah-shadaqah sesuai dengan ke tentuan syara'
atas dasar nash atau ijtihad tanpa ragu-ragu.
8. Manatapkan kadar-kadar tertentu pemberian untuk orang-orang yang
berhak menerimanya dari Baitul Mal dengan wajar serta membayarkanya
pada waktunya.

6
9. Menggunakan orang-orang yang dapat di percaya dan jujur di dalam
menyelesaikan tugas-tugas serta menyerahkan pengurusan kekayaan
Negara kepada mereka. Agar pekerjaan dapat dilaksanakan oleh orang-
orang yang ahli, dan harta Negara di urus oleh orang yang jujur.
10. Melaksanakan tugas-tugasnya yang langsung di dalam membina umat dan
menjaga agama.
Yusuf Musa menambahkan kewajiban lain, yaitu: Menyebarluaskan ilmu
dan pengetahuan, karena kemajuan umat sangat tergantung kepada ilmu-ilmu
agama dan ilmu-ilmu keduniawian.
Apabila kita kaitkan kewajiban ini dengan maqasyid syari'ah, maka
kewajiban imam tidak lepas dari hal-hal:
1. Yang dharuri yang meliputi hifdh al-din, hifdh al-nafs, hifdh al-nasl/iridl,
dan hifdh al-mal serta hifdh al-ummah, dalam arti yang seluas-luasnya,
seperti di dalam hifdh al-mal termasuk di dalam mengusahakan kecukupan
sandang, pangan dan papan, di samping menjaga agar jangan terjadi
gangguan terhadap kekayaan.
2. Hal-hal yang bersifat haji, yang mengarah kepada kemudahan-kemudahan
di dalam melaksanakan tugas.
3. Hal-hal yang taksini, yang mengarah kepada terpeliharanya rasa keindahan
dan seni dalam batas- batas ajaran Islam.
Adapun poin penting penting di ketahui oleh Ulil Amri harus menjaga dan
melindungi hak-hak rakyat dan mewujudkan Hak Asasi Manusia, seperti hak
milik, hak hidup, hak mengemukakan pendapat dengan baik dan benar, hak
mendapatkan penghasilan yang layak melalui kash al-halal, hak beragama, dan
lain-lainnya.
2.3 Rakyat, Status, hak dan kewajibannya
Rakyat ialah semua orang yang berada pada suatu wilayah Negara dan taat
pada kekuasaan pemerintahan tersebut. Rakyat juga yang mulai merencanakan
merintis, mengendalikan dan menyelenggarakan pemerintahan negara. Rakyat
juga merupakan salah satu unsur yang penting dalam sebuah negara karena tanpa
ada rakyat maka negara juga tidak akan dapat terbentuk. Didalam suatu rakyat

7
dapat dibedakan menjadi dua yakni, penduduk dan bukan penduduk dan warga
negara dan bukan warga negara (Warga Negara Asing).
Rakyat terdiri dari muslim dan non muslim, yang non muslim ini ada yang
disebut kafir dzimi dan ada pula yang disebut musta'min. Kafir dzimi adalah
warga non muslim yang menetap selamanya, serta dihormati tidak boleh diganggu
jiwanya, kehormatannya, dan hartanya, sedang musta'min adalah orang asing yang
menetap untuk sementara, dan juga harus dihormati jiwanya, kehormatannya, dan
hartanya. Kafir dzimi memiliki hak-hak kemanusiaan, hak-hak sipil, dan hak-hak
politik. sedangkan musta'min tidak memiliki hak-hak politik, karena mereka itu
orang asing. Persamaannya, kedua-duanya adalah non muslim. Adapun mengenai
hak-hak rakyat, Abu A’la al-Maududi menyebutkan bahwa hak-hak rakyat itu
adalah:
1. Perlindungan terhadap hidupnya, hartanya dan kehormatannya.
2. Perlindungan terhadap kebebasan pribadi
3. Kebebasan menyatakan pendapat dan berkeyakinan.
4. Terjamin kebutuhan pokok hidupnya, dengan tidak membedakan kelas dan
kepercayaan
Abdul Kadir Audah menyebutkan dua hak, yaitu: Hak- persamaan dan hak
kebebasan berpikir, beraqidah, berbicara, berpendidikan, dan memiliki. Abdul
Karim Zaidan menyebutkan dua hak politik dan hak-hak umum. Hak umum ini
mirip dengan apa yang disebut Abdul Qadir Audah.
Dari uraian di atas tampak bahwa masalah hak ini adalah masalah
ijtihadiyah. Hanya yang penting, hak itu berimbalan kewajiban. Oleh karena itu,
apabila kita sebut kewajiban imam tidak lepas dari maqasidu syari'ah, maka hak
rakyat pun tidak lepas dari maqasidu syari'ah dalam arti yang seluas-luasnya.
Apabila kita sebut hak imam adalah untuk ditaati dan mendapatkan
bantuan serta partisipasi secara sadar dari rakyat, maka kewajiban dari rakyat
untuk taat dan membantu serta berperan serta dalam program-program yang
digariskan untuk kemaslahatan bersama.

8
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Siyasah dusturiyah merupakan bagian fiqh siyasah yang membahas
masalah perundang-undangan negara. Permasalahan di dalam fiqh siyasah
dusturiyah adalah hubungan antara pemimpin di satu pihak dan rakyatnya
di pihak lain serta kelembagaan-kelembagaan yang ada di dalam
masyarakatnya.
Fiqh siyasah dusturiyah mencakup bidang kehidupan yang sangat luas dan
kompleks. Sekalipun demikian, secara umum disiplin ini meliputi hal-hal sebagai
berikut: Persoalan dan ruang lingkup pembahasan, Persoalan imamah, hak dan
kewajibannya, Persoalan rakyat, statusnya dan hak-haknya, Persoalan bai‟at,
Persoalan waliyul ahdi, Persoalan perwakilan, Persoalan ahlul halli wal aqdi,
Persoalan wizarah dan perbandingannya
Al- Mawardi menta’rifkan bahwa Imamah adalah suatu kedudukan atau
jabatan yang diadakan untuk mengganti tugas kenabian di dalam memelihara
agama dan mengendalikan dunia. Al-Mawardi menyebutkan ada dua hak imam,
yaitu hak untuk di ta'ati dan hak untuk di bantu. Adapun kewajiban imam adalah
harus menjaga dan melindungi hak-hak rakyat dan mewujudkan Hak Asasi
Manusia.
Rakyat ialah semua orang yang berada pada suatu wilayah Negara dan taat
pada kekuasaan pemerintahan tersebut. Rakyat terdiri dari muslim dan non
muslim. Hak rakyat Hak- persamaan dan hak kebebasan berpikir, beraqidah,
berbicara, berpendidikan, dan memiliki. kewajiban dari rakyat untuk taat dan
membantu serta berperan serta dalam program-program yang digariskan untuk
kemaslahatan bersama.

9
DAFTAR PUSTAKA

A.Djazuli, Figh Siyasah Implementasi kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu


Syari’ah,Prenada Media, Bogor, 3003
Rusjdi Ali Muhammad, Fiqih Siyasah, percetakan Ar-Raniry Press, Banda Aceh,
1999
Rusjdi Ali Muhammad, Politik Islam, percetakan BDI PT Arun, BDI Pim dan
Yasat,Yogyakarta,2000
A.Djazuli, Figh Siyasah Implementasi kemaslahatan Umat dalam Rambu-rambu
Syari’ah,Prenada Media, Jakarta, 3007
Prof.H.A.Djazuli.MA,Fiqh Siyasah, Bandung 2003
Drs. Ghufron A.Mas’adi. M.Ag, Fiqh Muamalah, Jakarta 2002

Anda mungkin juga menyukai