Anda di halaman 1dari 19

FIQIH JINAYAH

DISUSUN OLEH:

SILFIA

YOLANDA TRISYIA

DOSEN PENGAMPU: ARIF MARSAL Lc., MA.

JURUSAN TEKNIK INFORMATIKA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2019
2

KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha
Penyayang, kami panjatkan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah
melimpahkan rahmat, dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami bisa
menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya. Shalawat beserta salam semoga
selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW.
Penulisan makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Fiqih.
Makalah ini membahas tentang “Fiqih Jinayah”.
Dalam penyusunan makalah ini tidak terlepas dari bantuan, bimbingan
serta dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima
kasih kepada:
1. Bapak Arif Marsal Lc., MA. selaku dosen pembimbing mata kuliah Fiqih
Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.
2. Teman-teman yang telah memberikan dorongan, semangat, dan bantuan baik
secara moril maupun materil demi lancarnya penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata
sempurna, baik dari segi penulisannya serta materinya. Oleh karena itu, kami
sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 21 September 2019

Tim penulis
3

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................ i

DAFTAR ISI............................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang................................................................................ 1


1.2 Rumusan Masalah........................................................................... 2
1.3 Tujuan Pembelajaran....................................................................... 3

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fiqih Jinayah................................................................. 4

2.2 Dasar Hukum Fiqih Jinayah Dalam Islam...................................... 5

2.3 Asas-asas Fiqih Jinayah.................................................................. 6

2.4 Macam-macam Fiqih Jinayah......................................................... 10

2.5 Sebab-sebab Dihapusnya Hukuman Jarimah.................................. 10

BAB III PENUTUP

3.1 Simpulan......................................................................................... 14

3.2 Saran............................................................................................... 14

DAFTAR PUSTAKA
4

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Islam adalah suatu agama yang disampaikan oleh nabi-nabi
berdasarkan wahyu Allah yang disempurnakan dan diakhiri dengan wahyu
Allah pada nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul terakhir.1
Syari’at secara harfiah adalah jalan ke sumber (mata) air yakni jalan
lurus yang harus di ikuti oleh setiap Muslim. Dilihat dari segi ilmu hukum,
syariat merupakan norma hukum dasar yang ditetapkan Allah, yang wajib
diikuti oleh orang Islam berdasarkan iman yang berkaitan dengan akhlak,
baik dalam hubungannya dengan Allah maupun dengan sesama manusia dan
benda dalam masyarakat.2
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dari dan menjadi bagian
dari agama islam.3 Secara umum sering dirumuskan bahwa tujuan hukum
Islam adalah kebahagiaan hidup manusia didunia ini dan akhirat kelak,
dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan mencegah atau
menolak yang mudharat, yaitu yang tidak berguna bagi hidup dan kehidupan.
Dengan kata lain, tujuan hukum Islam adalah kemaslahatan hidup
manusia, baik rohani maupun jasmani, individual dan sosial. Menurut Abu
Ishq al Shatibi (m.d. 790/1388) merumuskan lima tujuan hukum Islam, yakni
memelihara: (1) agama, (2) jiwa, (3) akal, (4) keturunan, dan (5) harta, yang
kemudian disepakati oleh ilmuwan lainnya. Kelima tujuan hukum Islam itu
didalam kepustakaan disebut al-maqasid al-khamsah atau al-maqasid al-
syari’ah (tujuan hukum Islam).4
Hukum pidana Islam merupakan terjemahan dari kata fiqh
jinayah.Fiqh Jinayah adalah segala ketentuan hukum mengenai tindak pidana
atau perbuatan kriminal yang dilakukan oleh orang-orang mukallaf (orang
1
Syaidus Syahar, Asas-asas Hukum Islam, (Bandung : Alumni, 1983), hal. 6.
2
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam, (Jakarta : Rajawali Pers Citra Niaga Buku Perguruan
Tinggi, 1990), hal. 46.
3
Ibid, hal. 42.
4
Ibid, hal. 61.
5

yang dapat dibebani kewajiban), sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-dalil
hukum yang terperinci dari Al-qur’an dan hadist.
Tindakan kriminal adalah tindakan-tindakan kejahatan yang
mengganggu ketentraman umum serta tindakan melawan peraturan
perundang-undangan yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadist. Hukum
Pidana Islam merupakan syari’at Allah yang mengandung kemaslahatan bagi
kehidupan manusia di dunia maupun akhirat.5
Jarimah ialah larangan-larangan Syara’ yang diancamkan oleh Allah
dengan hukuman had atau ta’zir. Para Fuqoha sering memakai kata-kata
“Jinayah” untuk “jarimah”. semula pengertian “jinayah” ialah hasil
perbuatan seseorang, dan biasanya dibatasi kepada perbuatan seseorang, dan
biasanya dibatasi kepada perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan
itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta-benda ataupun lain-lainnya. Akan
tetapi kebanyakan fuqoha memakai kata-kata “Jinayah” hanya untuk
perbuatan yang mengenai jiwa orang atau anggota badan, seperti membunuh,
melukai, memukul, menggugurkan kandungan dan sebagainya.6

1.2 Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah yang dibahas pada makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Apakah pengertian Fiqih Jinayah?
2. Bagaimana dasar hukum Fiqih Jinayah dalam islam?
3. Apa saja asas-asas Fiqih Jinayah?
4. Apa saja macam-macam Fiqih Jinayah?
5. Bagaimana sebab-sebab dihapusnya hukuman Jarimah?

1.3 Tujuan Pembelajaran


Adapun tujuan pembelajaran dari makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian Fiqih Jinayah.
2. Untuk memahami dasar hukum Fiqih Jinayah dalam islam.
3. Untuk mengetahui asas-asas Fiqih Jinayah.
5
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal. 1.
6
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hal.1
6

4. Untuk memahami macam-macam Fiqih Jinayah.


5. Untuk memahami sebab-sebab dihapusnya hukuman Jarimah.
7

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Fiqih Jinayah

Secara etimologis, fiqih berasal dari kata yang berarti faham


atau memahami ucapan secara baik, secara terminologis, fiqih didefisinikan
oleh wahab al-Zuhali dan Umar Sulaiman dengan mengutip definisi Al-
Syafi’i yaitu ilmu tentang hukum-hukum syariah yang bersifat amaliah yang
digali dan ditemukan dari dalil-dalil yang terperinci. Kata hukum dalam
definisi ini menjelaskan bahwa hal-hal yang beradadi luar apa yang dimaksud
dengan kata “hukum” seperti zat, tidaklah termasuk kedalam pengertian fiqih.
Penggunan kata syari’yyah atau syari’ah dalam definisi ini menjelaskan
bahwa fiqih itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’i yaitu segala
sesuatu yang berasal dari kehendak Allah. Jadi, fiqih adalah ilmu tentang
hukum-hukum syari’ah yang bersifat praktis dan merupakan hasil mujtahid
terhadap dalil-dalil yang terperinci baik yang terdapat dalam Al-Qur’an
maupun hadist.

Adapun istilah Jinayah yang juga berasal dari bahasa arab dari kata

yang berarti melakukan dosa, itulah arti kata


jinayah secara etimonologis. Sedangkan secara terminologis jinayah
didefinisikan dengan semua perbuatan yang dilarang dan mengandung
kemadaratan terhadap jiwa atau terhadap selain jiwa, dan wajib dijatuhi
hukum qishash atau membayar denda. Jadi fiqih jinayah adalah segala
ketentuan hukum mengenai tindak pidana atau perbuatan criminal yang
dilakukan oleh orang-orang mukalaf sebagai hasil dari pemahaman atas dalil-
dalil hukum yang terperinci dari Alqur’an dan hadist.7

Jinayah bentuk jamak (plural) dari jinayah. Menurut bahasa, jinayah


bermakna penganiayaan terhadap badan, harta, jiwa. Sedangkan menurut
7
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal. 1.
8

istilah, jinayah pelanggaran terhadap badan yang didalamnya diwajibkan


qisas atau diyat. Jinayah juga bermakna sanksi-sanksi yang dijatuhkan atas
penganiayaan atas badan. Dengan demikian, tindak penganiayaan itu sendiri
dan sanksi yang dijatuhkan atas penganiayaan badan disebut jinayah.8

Jinayah secara garis besar dibedakan menjadi dua kategori, yaitu


sebagai berikut:

a. Jinayah terhadap jiwa, yaitu pelanggaran terhadap seseorang dengan


menghilangkan nyawa, baik sengaja maupun tidak sengaja.
b. Jinayah terhadap organ tubuh, yaitu pelanggaran terhadap seseorang
dengan merusak salah satu organ tubuhnya, atau melukai salah satu
badannya, baik sengaja maupun tidak sengaja.

Tujuan disyari’atkan Fiqih Jinayah adalah dalam rangka untuk


memelihara akal, jiwa, harta dan keturunan. Dan ruang lingkup jinayah
meliputi pencurian, perzinahan, homoseksual, menuduh seseorang berzina,
minum khamar, membunuh atau melukai orang lain, merusak harta orang dan
melakukan gerakan kekacauan dan lain sebagainya. Dikalangan para fuqaha’
perkataan jinayah berarti perbuatan-perbuatan yang terlarang menurut syara’.
Selain itu terdapat fuqaha’yang membatasi istilah jinayah kepada perbuatan-
perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan qishash tidak termasuk
perbuatan-perbuatan yang diancam dengan hukuman ta’zir. Istilah ini yang
sepadan dengan istilah jinayah adalah jarimah, yaitu larangan – larangan
syara’ yang diancam oleh Allah dengan hukuman had dan ta’zir.9

2.2 Dasar Hukum Fiqih Jinayah Dalam Islam

Artinya : Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu,
Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa. (Al-Baqarah 179).10
8
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika,
2004), hal. 45.
9
Jazuli, Fiqih Jinayah cet 3, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2010), hal. 3.
10
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahannya, ( Surakarta : PT. Qomari Prima, 2014).
9

Artinya : Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman


hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’ 65).11

Artinya : Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Al Quran, dan


sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya. (Q.S Al-Hijr 9)12

Artinya : Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim


secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan
mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka). (Q.S An-
Nisa’ 10)13

2.3 Asas-asas Fiqih Jinayah

Asas mempunyai beberapa pengertian, salah satu diantaranya adalah

kebenaran yang menjadi tumpuan berpikir atau berpendapat. Selain itu juga

menjadi alas keterangan atau landasan. Asas hukum berarti kebenaran yang

dipergunakan sebagai tumpuan berpikir dan alasan dalam mengemukaan

suatu argumentasi, terutama dalam penegakan dan pelaksanaan hukum. Asas

hukum islam berasal dari Alqur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saw, baik
11
Ibid, hal. 88.
12
Ibid, hal.262.
13
Ibid, hal. 78.
10

bersifat rinci maupun yang bersifat umum. 14 Asas-asas hukum pidana islam

adalah asas-asas hukum yang mendasari pelaksanaan hukum pidana islam

diantaranya :

a. Asas Legalitas
Asas legalitas adalah tiada delik tiada hukuman sebelum ada
ketentuan terlebih dahulu. Asas ini merupakan suatu jaminan dasar bagi
kebebasan individu dengan memberi batas aktivitas apa yang dilarang
secara tepat dan jelas. Asas ini melindungi dari penyalahgunaan kekuasaan
atau kesewenangan-wenangan hakim, menjamin keamanan indivdu
dengan informasi yang boleh dan yang dilarang. Setiap orang harus diberi
peringatan sebelumnya tentang perbuatan-perbuatan illegal hukumnya.
Jadi berdasarkan asas ini, Asas legalitas adalah suatu asas yang
menyatakan bahwa tidak ada pelanggaran dan tidak ada hukuman sebelum
ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan tersebut dan
mengancamnya dengan hukuman.15

Asas legalitas dalam islam bukan berdasarkan akal manusia tetapi


dari ketentuan Tuhan. Dalam kitab suci Alqur’an, Allah SWT berfirman :

Artinya: dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus


seorang rasul. (QS. al-Israa’ : 15).

Prinsip legalitas ini diterapkan paling tegas pada kejahatan-


kejahatan hudud. Pelanggarannya dihukum dengan sanksi hukum yang
pasti. Prinsip tersebut juga diterapkan bagi kejahatan qishas dan diyat
dengan diletakkannya prosedur khusus dan sanksi yang sesuai. Asas
legalitas ini dalam hukum pidana islam terdapat keseimbangan. Hukum

14
Zainudin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2007), hal. 2.
15
Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika,
2004), hal. 29.
11

islam menjalankan asas legalitas, tetapi juga melindungi kepentingan


masyarakat.

b. Asas Tidak Berlaku Surut Dalam Hukum Pidana Islam

Asas tidak berlaku surut merupakan kelanjutan dari asas legalitas


dalam hukum pidana Islam. Dalam asas ini, mengandung arti bahwa setiap
aturan pidana yang dibuat terkemudian tida dapat menjerat perbuatan
pidana yang dilakukan sebelum aturan itu dibuat. Asas ini melarang
berlakunya hukum pidana kebelakang kepada perbuatan yang belum ada
peraturanya. Hukum pidana harus berjalan kedepan. Pelanggaran terhadap
asa ini mengakibatkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Hal
tersebut didasarkan atas beberapa firman Allah berikut:

Artinya :dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini


oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau. Sesungguhnya
perbuatan itu Amat keji dan dibenci Allah dan seburuk-buruk jalan (yang
ditempuh). (Q.S. An-Nissa’ 22).

Ayat-ayat diatas menunjukkan bahwa Allah memaafkan perbuatan-


perbuatan yang dilakukan umat-Nya sebelum adanya aturan baru yang
menyatakan bahwa perbuatan-perbuatan tersebut termasuk perbuatan
jarimah atau maksiat. Hal ini menunjukkan bahwa hukum itu tidak berlaku
surut. Selain itu, dari ayat di atas menggambarkan suatu contoh kasus
penerapan asas tidak berlaku surut, yaitu menikahi bekas istri ayah
yang telah disetubuhi Perbuatan tersebut yang dilakukan sebelum datang
ayat yang melarangnya (menghramkan) tidak dapat dikenai sanksi,
melainkan dimaafkan. Oleh karena itu, aturan-aturan yang datang
terkemudian tidak dapat menjerat perbuatan-perbuatan yang dikategorikan
sebagai perbuatan jarimah oleh aturan tersebut, yang dilakukan sebelum
datang aturan tersebut.
12

Bahwa asas tidak berlaku surut dalam hukum pidana yang dimuat
dalam pasal 8 dari The Declaration of thr Right of Men and the Citizan
(1789), dan diikuti oleh beberapa konstitusi serta kitab undang-undang
modern ini, telah dikenal dan diterapkan berabad-abad sebelumnya dalam
syar’at islam. Para ahli fiqih modern menyimpulkan bahwa larangan
berlaku surut adalah satu prinsip dasar dari syari’at. “Tidak ada hukuman
untuk perbuatan sebelum adanya suata nash. “secara singkat tiada
kejahatan dan pidana, kecuali ada hukumannya lebih dahulu.

c. Asas Praduga Tak Bersalah


Suatu konsekuensi yang tidak bisa dihindarkan dari asas legalitas
adalah asas praduga tidak bersalah ( principle of lawfulness ). Menurut
asas ini, semua perbuatan dianggap boleh kecuali dinyatakan sebaliknya
oleh suatau nash hukum. Jadi asas praduga tak bersalah yaitu asas yang
mendasari bahwa seseorang yang dituduh melakukan suatau kejahatan
harus dianggap tidak bersalah sebelum hakim dengan bukti-bukti yang
meyakinkan menyatakan degan tegas kesalahan tersebut.16 Empat belas
abad yang lalu Nabi Muhammad saw. Bersabda: “Hindarkan bagi muslim
hukuman hudud kapan saja kamu dapat menemukan jalan untuk
membebaskannya, jika imam salah, lebih baik salah dalam membebaskan
dari pada salah dalam menghukum”.

d. Asas Kesalahan
Seseorang yang dikenai pidana dalam hukum islam adalah orang
yang telah terbukti melalui pembuktian, telah melakukan suatau tindakan
yang dilarang syar’i. Terpidana adalah orang yang benar-benar memiliki
kesalahan, dan kesalahan itu bukan sekedar praduga, tetapi harus
dibuktikan sehingga tidak ada lagi keraguan. Keraguan hakim terhadap
kasus yang dihadapinya dapat berakibat pada keputusannya. Para sarjana
muslim sepakat bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan hukuman had dan
qisas ada keraguan, tetapi mereka berdeda dalam kejahatan ta’zir.

16
Zainudin, Hukum Pidana Islam, hal. 7.
13

Pandangan mayoritas adalah asas ini tidak meliputi kejahatan-kejahatan


ta’zir.

e. Asas Kesamaan di Hadapan Hukum


Prinsip kesamaan telah dikenal sejak 14 abad silam, jauh sebelum
bangsa barat mengadopsi menjadi asas “ equality before the law “. Hukum
modern baru mengenal asas ini pada akhir abad ke 18, itu pun dalam
bentuk yang kurang lengap. Bukti dari ketidak lengkapan asas persamaan
di hadapan hukum yang dianut oleh sistem hukum modern adalah adanya
keistimewaan terhadap orang-orang tertentu. Sistem hukum modern dan
hukum pidana islam sangat berbeda, hal ini dibuktikan dengan sabda
Rasulullah SAW “Seandainya Fatimah binti Muhammad mencuri, ikatan
ke keluarganya tidak dapat menyelamatkan dari hukuman hadd “.
Dengan demikian, kejahatan dalam kategori ini dapat didefinisikan
sebagai kejahatan yang diancam dengan hukuman hadd, yaitu hukuman
yang ditentukan sebagai hak Allah. Dalam definisi, hukuman yang
ditentukan, berarti bahwa baik kuantitas maupun kualitas yang ditentukan
dan ia tidak mengenal tingkatan. Menurut Mohammad Ibnu Ibrahim Ibnu
Jubair yang tergolong kejahatan huddud ada tujuh kejahatan yaitu riddah
(murtad), al-baghy (pemberontakan), qadzaf (tuduhan palsu), zina,
sarriqah (pencurian), hirabah (perampokan), shrub al-khamar (meminum
khamar).
Kategori berikutnya adalah qishash. Ia jatuh pada posisi di tengah
antara kejahatan huddud dan ta’zir dalam hal beratnya. Kejahatan-
kejahatan dalam kategori qishash kurang serius dibanding yang pertama
(huddud), namun lebih berat dari pada yang berikutnya (ta’zir). Sasaran
dari kejahatan ini adalah integritas tubuh manusia sengaja atau tidak
sengaja. Jadi pembunuhan dengan sengaja, pembunuhan menyerupai
sengaja, pembunuhan karena kelaparan, penganiayaan, menimbulkan luka
atau sakit karena kelalaian, masuk dalam kategori tindak pidana qishash.
Kategori terakhir adalah kejahatan ta’zir. Landasan dan penentuan
hukumnya didasarkan pada ijma’ (consensus) berkaitan dengan hak negara
14

muslim untuk melakukan kriminalisasi dan menghukum semua perbuatan


yang tidak pantas, yang menyebabkan kerusakan fisik, sosial, politik,
finansial, atau moral bagi individu atau masyarakat secara keseluruhan.17

2.4 Macam- macam Fiqih Jinayah


Para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya
hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-quran dan al-hadits, atas
dasar ini mereka membagi menjadi tiga macam, yaitu :
a. Jarimah hudud, yang meliputi :
Hudud, jamaknya “had”. Arti menurut bahasa ialah : menahan
(menghukum). Menurut istilah hudud berarti: sanksi bagi orang yang
Jarimah hudud ini dalam beberapa kasus di jelaskan dalam al-Qur’an salah
satu diantaranya surah An-Nur ayat 2, melanggar hukum syara’ dengan
cara didera/ dipukul (dijilid) atau dilempari dengan batu hingga mati
(rajam). Sanksi tersebut dapat pula berupa dipotong tangan lalu sebelah
atau kedua-duanya atau kaki dan tangan keduanya, tergantung kepada
kesalahan yang dilakukan. Hukum had ini merupakan hukuman yang
maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum.

Artinya : perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,


Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan
janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk
(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari
akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh
sekumpulan orang-orang yang beriman (Q.S An-Nur : 2)

Jenis Jenis Jarimah Hudud diantaranya :

a) Perzinaan
b) Qadzaf (menuduh berbuat zina)

17
Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hal. 71.
15

c) Meminum minuman keras


d) Pencurian
e) Perampokan
f) Pemberontakan
g) Murtad
b. Jarimah qishas/diyat, yang meliputi :
Hukum qishash adalah pembalasan yang setimpal (sama) atas
pelanggaran yang bersifat pengerusakan badan. Atau menghilangkan
jiwa, seperti dalam firman Allah SWT.
Diat adalah denda yang wajib harus dikeluarkan baik berupa
barang maupun uang oleh seseorang yang terkena hukum diad sebab
membunuh atau melukai seseorang karena ada pengampunan,
keringanan hukuman, dan hal lain. Pembunuhan yang terjadi bisa
dikarenakan pembunuhan dengan tidak disengaja atau pembunuhan
karena kesalahan (khoto’). Jenis-jenisnya diantaranya :
a) Pembunuhan sengaja.
b) Pembunuhan semi sengaja.
c) Pembunuhan tersalah.
d) Pelukaan sengaja.
e) Pelukaan semi sengaja.18

c. Jarimah Jarimah ta’zir


Hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak di
tetapkan hukumannya dalam al-Quran dan Hadist yang bentuknya
sebagai hukuman ringan.menurut hukum islam, pelaksanaan hukum
ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada hakim islam hukum ta’zir
diperuntukkan bagi seseorang yang melakukan jinayah/ kejahatan yang
tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak
memenuhi syarat membayar diyat sebagai hukum ringan untuk
menebus dosanya akibat dari perbuatannya. ta’zir ini dibagi menjadi
tiga bagian :

18
Ibid, hal. 11.
16

a) Jarimah hudud atau qishah/diyat yang syubhat atau tidak memenuhi


syarat, namun sudah merupakan maksiat, misalnya percobaan
pencurian, percobaan pembunuhan, pencurian dikalangan keluarga,
dan pencurian aliran listrik.
b) Jarimah-jarimah yang ditentukan al-quran dan al-hadits, namun
tidak ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, tidak
melaksanakan amanat dan menghina agama.
c) Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh ulul amri untuk
kemashlahatan umum. Dalam hal ini, nilai ajaran islam di jadikan
pertimbangan penentuan kemashlahatan umum. persyartan
kemaslahatan ini secara terinci diuraikan dalm bidang studi Ushul
Fiqh, misalnya, pelanggaran atas peraturan lalu-lintas. Sedangkan
jarimah berdasarkan niat pelakunya dibagi menjadi menjadi dua,
yaitu:
- Jarimah yang disengaja (al-jarimah al-maqsudah).
- Jarimah karena kesalahan (al-jarimah ghayr al maqsudah /
jarimah al-khatha’).19

2.5 Sebab- sebab Dihapusnya Hukuman Jarimah

Secara umum ada empat sebab yang menyebabkan hapusnya hukuman


jarimah yaitu :

a. Paksaan
Yakni pelaku dipaksa melakukan perbuatan jarimah yang tidak
dikehendaki.
b. Mabuk
Orang mabuk adalah orang  yg mengigau dalam percakapannya.
Menghilangkan cakapnya bertindak, oleh karena itu tidak sah akad,
ucapan dan perbuatannya. Jika ia dipaksa untuk mabuk, kemudian dia
melakukan jarimah, maka ia tidak dikenakan pidana. Namun, jika ia
mabuk  atas  kemauannya  sendiri,kemudian ia melakukan jarimah,
19
Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal. 248-249.
17

maka ia dikenakan pidana. Karena sengaja menghilangkan


kesadarannya sendiri.
c. Gila
Gila dapat diartikan sebagai hilangnya atau terlepasnya akal.
d. Belum Baligh
Yakni anak yang belum tamyis belum memiliki kemampuan berpikir
dan belum mengerti akibat dari perbuatan yang dilakukan.
Namun  ada  beberapa  sebab  lain  dalam  kasus  tertentu  yang  menye
babkan  gugurnya sanksi jarimah, yaitu:
a) Pelaku jarimah meninggal.
b) Pelaku jarimah  bertobat.
c) Tidak terdapat bukti dan saksi serta tidak ada pengakuan.
d) Terbukti bahwa dua orang saksinya itu dusta dalam persaksiannya,
e) Pelaku menarik kembali pengakuannya,
f) Mengembalikan harta yang dicuri sebelum diajukan ke sidang hal
ini terjadi pada  pelaku pencurian dan hirabah, (Menurut Imam Abu
Hanifah).
g) Dimilikinya harta yang dicuri itu dengan sah oleh pencuri
sebelum diajukan kepengadilan. (Menurut Imam Abu Hanifah).
18

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Secara bahasa kata jinayah adalah bentuk jama’ dari kata jinayah yang
berasal dari janaa dzanba yajniihi jinaayatan yang berarti melakukan dosa.
Sekalipun isim mashdar (kata dasar), kata jinaayah dijama’kan karena ia
mencakup banyak jenis perbuatan dosa. Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan
anggota badan, baik disengaja ataupun tidak. Jinayah terdiri atas dua macam,
yaitu jinayah terhadap jiwa dan jinayah terhadap badan. Sebab-sebab jinayah
yaitu membunuh, meminum khamar, berzina, qadzaf, mencuri, muharobah
dan lain-lain.

3.2 Saran
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini banyak
kekurangan terutama mengenai tata bahasa dan juga referensi. Maka, penulis
berharap apabila terdapat kesalahan mohon dimaklumi dan dimaafkan karena
keterbatasan penulis. Juga kritik ataupun saran, sangat diharapkan agar di
kemudian hari dapat menghasilkan makalah maupun karya tulis yang lebih
baik.
19

DAFTAR PUSTAKA
Buku:

Ali, Muhammad Daud. 1990. Hukum Islam. Jakarta : Rajawali Pers Citra Niaga
Buku Perguruan Tinggi.
Ali, Zainudin. 2007. Hukum Pidana Islam. Jakarta : Sinar Grafika.
Departemen Agama. 2014. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Surakarta : PT.
Qomari Prima.
Hanafi, Ahmad. 1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Bulan Bintang.
Jazuli. 2010. Fiqih Jinayah cet 3. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
Muslich, Ahmad Wardi. 2004. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Sinar Grafika.
Syahar, Syaidus. 1983. Asas-asas Hukum Islam. Bandung : Alumni.

Anda mungkin juga menyukai