Anda di halaman 1dari 23

NIKAH POLIGAMI

Diajukan untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah


Tafsir Ayat Hukum Keluarga

Dosen Pengampu:
M. Faisal Hamdani, Dr. M.Ag

Disusun Oleh:
Ayu Azizah Zulfanisa (0201182119)
Hijriah Syahfitri Panjaitan (0201182116)
Jam’an Arya Rambe (0201182117)
Muhammad Fadli (0201182118)
Samril Harahap (0201182021)

JURUSAN AL- AHKWAL AL SYAKHSIYYAH


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2021
KATA PENGANTAR

Assalamualikum Wr.Wb
Puji syukur senantiasa selalu kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah
memberikan limpahan Rahmat,Taufik dan hidayah-Nya sehingga kami dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini. Shalawat beserta salam tak lupa kita
curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menunjukan jalan kebaikan
dan kebenaran di dunia dan akhirat kepada umat manusia.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Tafsir Ayat Hukum
Keluarga dan juga untuk khalayak ramai sebagai bahan penambah ilmu
pengetahuan serta informasi yang semoga bermanfaat.
Makalah ini kami susun dengan segala kemampuan kami dan semaksimal
mungkin. Namun, kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini tentu
tidaklah sempurna dan masih banyak kesalahan serta kekurangan. Maka dari itu
kami sebagai penyusun makalah ini mohon kritik, saran dan pesan dari semua yang
membaca makalah ini terutama Dosen Mata Kuliah Tafsir Ayat Hukum Keluarga
yang kami harapkan sebagai bahan koreksi untuk kami.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Medan, 4 Januari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengatar ................................................................................................... I


Daftar Isi........................................................................................................... II
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................ 1
A. Latar Belakang .............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ......................................................................... 2
C. Tujuan ........................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................. 3
A. Nikah Poligami ............................................................................... 3
B. Dasar Hukum Poligami .................................................................. 4
C. Penjelasan Mufassir Tentang Nikah Poligami ............................... 8
D. Asbabunnuzul Ayat poligami ......................................................... 17
E. Muhasabah Ayat Tentang Poligami ............................................... 18
BAB III PENUTUP ......................................................................................... 19
A. Kesimpulan..................................................................................... 19
B. Saran ............................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 20

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Perkawian poligami ialah perkawian yang lebih dari satu istri. Menurut Hukum
Islam poligami diatur dalam Al-Qur’an surah An-Nissa’ ayat 3 yang maksudnya,
‘Dan jika kamu takut tidak dapat beraku adil terhadap (hak-hak) wanita yatim (jika
kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi;
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja’. Kata adil dimaksudkan dapat memenuhi kebutuhan istri
dan anak-anaknya, sandang pangan, tempat kediaman, giliran mengunjungi,
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak, budi pekerti dan agama mereka tanpa ada
kericuhan secara terus menerus.
Hukum perkawinan yang baik seharusnya adalah hukum perkawinan yang bisa
menjamin dan memelihara hakekat perkawinan yaitu untuk menghadapi segala
keadaan yang terjadi atau mungkin akan terjadi nantinya. Kesepakatan antara suami
istri untuk saling setia dan menjaga keharmonisan rumah tangga yang utuh adalah
dambaan dan keinginan untuk kesempurnaan rohani tiap individu. Akan tetapi,
kesempurnaan rohani tidak dapat dipaksakan oleh kekuatan hukum.
Keutamaan disini bukan dimaksudkan bahwa suami mencukupkan diri untuk
beristri satu, karena ketidakmampuannya untuk beristri dua atau tiga, keutamaan
disini maksudnya adalah bahwa apabila seorang suami yang mampu untuk beristri
lebih dari satu akan tetapi Ia tidak mau berpoligami, dengan demikian Ia
mempunyai kesadaran bahwa kebahagiaan spiritual atau keimanan yang baik dalam
cara pandangnya yaitu terletak dari sikapnya yang berusaha menjauhkan diri dari
poligami. Perkawinan poligami menurut hukum islam adalah monogami, yaitu
seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai seorang istri, akan tetapi tidak
menutup kemungkinan dengan adanya suatu sebab tertentu maka laik-laki
diperbolehkan untuk mempunyai istri lebih dari satu, tentunya harus dengan syarat-
syarat yang ada dalam syari’at Islam dan peraturan perundangundangan.
Sedangkan poligami dalam hukum Perdata adalah dalam pasal 27 (dalam
waktu yang sama seorang laki-laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang

1
perempuan sebagai istrinya, dan seorang perempuan mempunyai satu orang laki-
laki sebagai suaminya) dan dalam pasal 28 ( asas perkawinan menghendaki adanya
kebebasan kata sepakat antara kedua calon suami-istri). KUH Perdata tempaklah
bahwa asas perkawinan adalah monogami serta menganut adanya asas kebebasan
kata sepakat diantara para calon suami istri melarang adanya poligami.

B. RUMUSAN MASALAH
a) Apa itu nikah poligami?
b) Apa dasar hukum poligami?
c) Bagaimana penjelasan mufassir tentang poligami?
d) Apa asbabunnuzul ayat poligami?
e) Apa munasabah ayat poligami?

C. TUJUAN PENULISAN
a) Untuk mengetahui apa itu nikah poligami
b) Untuk mengetahui apa dasar hukum poligami
c) Untuk mengetahui bagaimana penjelasan mufassir tentang poligami
d) Untuk mengetahui apa asbabunnuzul ayat poligami
e) Untuk mengetahui apa munasabah ayat poligami.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Nikah Poligami


Secara etimologis, istilah poligami berasal dari bahasa yunani terdiri dari dua
pokok kata, yaitu Polu dan Gamein. Polu berarti banyak, Gamein berarti kawin.
Jadi Poligami berarti perkawinan yang banyak. Pengertian etimologis tersebut
dapat dijabarkan dan dipahami bahwa poligami merupakan perkawinan dengan
salah satu pihak (suami) mengawini lebih dari seorang isteri dalam waktu yang
bersamaan. Artinya isteri- isteri tersebut masih dalam tanggungan suami dan tidak
diceraikan serta masih sah sebagai isterinya. selain poligami ada juga istilah
poliandri. Poliandri adalah suatu bentuk perkawinan dengan ciri salah satu pihak
(isteri) memiliki lebih dari seorang suami dalam waktu bersamaan.
Dibandingkan poliandri, poligami lebih banyak di praktekkan
dalamkehidupanmasyarakat. Adapun dalam istilah kitab-kitab fiqih poligami
disebut dengan ta’addud al-zaujat yang berarti banyak isteri, sedangkan secara
istilah diartikan sebagai kebolehan mengawini perempuan dua, tiga, atau empat,
kalau bisa berlaku adil. Jumhur ulama membatasi poligami hanya empat wanita saja.
Kendatipun banyaknya poligami pada masyarakat kita ini belum pernah diselidiki
secara research apa sebenarnya motif dan sebabnya, namun pada kenyataan nya
kebanyakan poligami dilakukan oleh masyarakat kita tidak sesuai dengan segala
ketentuan, sehingga poligami yang dilakukan itu sangat jauh dari hikmah-hikmah
dan rahasianya yang terkandung didalamnya.
Kebolehan untuk melakukan poligami menurut islam dalam banyak kenyataan
sering diterapkan dengan cara membabi buta, maksudnya seperti sekehendak hati
saja layaknya, dengan tanpa memperhatikan dan mengindahkan syaratsyarat yang
harus dipenuhi. Poligami kebanyakan dilakukan mereka dengan cara yang begitu
mudah, bahkan pada kenyataan tertentu poligami dilakukan mereka semata-mata
untuk kepentingan pribadi, yakni untuk memuaskan hawa nafsu (nafsu birahi).
Maka tidaklah heran jika saja poligami yang dilakukan seperti ini akan
menimbulkan mala petaka dan bencana yang tragis, yang melanda dirinya dan
masyarakat.

3
B. Dasar Hukum Poligami
Islam membolehkan poligami dengan jumlah wanita yang terbatas dan tidak
mengharuskan umatnya melaksanakan monogamy mutlak dengan pengertian
seorang laki-laki hanya boleh beristeri seorang wanita dalam keadaan dan situasi
apapun, Islam, pada dasarnya, menganut sistem monogami dengan memberikan
kelonggaran dibolehkannya poligami terbatas, pada prinsipnya, seorang laki-laki
hanya memiliki seorang isteri dan sebaliknya seorang isteri hanya memiliki seorang
suami.1
Sabda Rasulullah SAW :

‫َْش ِن ْس َو ٍة ِِف الْ َجا ِه ِل َّي ِة‬ ‫َع ِن ا ْب ِن م َُع َر َأ َن غَ ْي َال َن ْب َن َسلَ َم َة الث َّ َق ِف َّى َأ ْس َ ََل َو َ مَل ع ْ م‬
‫ َأ ْن ي َ َت َخ َّ ََّي َأ ْرب َ ًعا‬-‫صىل هللا عليه وسَل‬- ‫فَأَ ْسلَ ْم َن َم َع مه فَأَ َم َر مه النَّ ِ ُِّب‬
‫ رواه الرتمذي‬.‫ِم ْْنم َّن‬
“Dari ibnu Umar, bahwa Ghailan bin Salamah Ats-Tsaqafi masuk Islam,
sedangkan ia mempunyai sepuluh orang istri pada zaman jahiliyah, lalu mereka
juga masuk Islam bersamanya, kemudian Nabi SAW memerintahkan Ghailan untuk
memilih (mempertahankan) empat diantara mereka”. (HR. Tirmidzi).

Dan juga hadist tentang Qais Ibnu Al-Harits yang diriwayatkan oleh Abu Daud dan
Ibnu Majah:

‫صىل‬- ‫َع ْن قَيْ ِس ْب ِن الْ َح ِار ِث قَا َل َأ ْسلَ ْم مت َو ِع ْن ِدى ثَ َم ِان ِن ْس َو ٍة فَأَتَيْ مت النَّ ِ َِّب‬
‫ رواه أبو داود و ابن ماجة‬.‫ اخ َ ْْرت ِم ْْنم َّن َأ ْرب َ ًعا‬:‫ فَ مقلْ مت َذ ِ َِل َ مَل فَ َقا َل‬-‫هللا عليه وسَل‬

1 Bibit Suprapto, Liku-Liku Poligami (Yogyakarta : Al Kautsar, 1990), h. 11

4
Artinya :
“Dari Qais Ibnu Al-Harits ia berkata: Ketika masuk Islam saya memiliki delapan
istri, saya menemui Rasulullah dan menceritakan keadaan saya, lalu beliau
bersabda: “Pilih empat diantara mereka”. (H.R. Ibnu Majah)

Tetapi, islam tidak menutup diri adanya kecenderungan laki-laki beristeri


banyak sebagaimana yang sudah berjalan dahulu kala, dan islam tidak menutup
rapat kemungkinan adanya laki-laki berpoligami.2
Praktek poligami sudah menjadi fakta yang terjadi di masyarakat lama sebelum
diutusnya Nabi Muhammad SAW. Seperti sudah diketahui bahwa Nabi Ibrahim a.s
beristerikan Siti Hajar disamping Siti Sarah dengan alasan karena isteri pertama
belum memberikan keturunan kepada Nabi Ibrahim a.s.
Dalil yang dijadikan landasan kebolehan poligami sesuai Firman Allah pada
surat An-Nisa’ ayat 3.

ْ ‫َو ِا ْن ِخ ْف م ُْت َا ََّّل تم ْق ِس مط ْوا ِِف الْ َي ٰت ٰمى فَا ْن ِك مح ْوا َما َطا َب لَ م‬
‫ـُك ِم َن ِالن َسا ٓ ِء َمث ْٰن‬
‫َۗ وثم ٰل َث َو مربٰ َع ۚ فَ ِا ْن ِخ ْف م ُْت َا ََّّل تَ ْع ِدلم ْوا فَ َوا ِحدَ ًة َا ْو َما َملَـ َك ْت َايْ َما نم م ُْك‬
‫ۗ  ٰذ ِ َِل َاد ٰىْٰن َا ََّّل تَ مع ْولم ْوا‬
Artinya :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja,atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Q.S AN-
NISA :3)
Ayat ini merupakan kelanjutan tentang memelihara anak yatim, yang kemudian
disebutkan tentang kebolehan beristeri hanya empat isteri saja, karena eratnya

2
Departemen dan Kebudayaan RI, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1998),
h. 693

5
hubungan pemeliharaan anak yatim dan beristeri lebih dari satu sampai empat yang
terdapat dalam ayat ini, maka akan dipaparkan secara singkat asal mula turunnya
ayat ini.3
Menurut tarsir Aisyah r.a, ayat ini turun karena menjawab pertanyaan Urwah
bin Zubair kepada Aisyah isteri Nabi Saw, tentang ayat ini. Lalu beliau
menjawabnya, “Wahai anak saudara perempuanku, yatim disini maksudnya adalah
anak perempuan yatim yang berada dibawah asuhan walinya mempunyai harta
kekayaan bercampur dengan harta kekayaannya serta kecantikannya membuat
pengasuh anak yatim itu senang kepadanya, lalu ia ingin menjadikannya sebagai
isteri, tetapi tidak mau memberikan maskawin dengan adil, karena itu pengasuh
anak yatim yang seperti ini dilarang menikahi mereka, kecuali jika mau berlaku adil
kepada mereka dan memberikan maskawin kepada mereka lebih tinggi dari
biasanya, dan jika tidak dapat berbuat demikian, maka mereka diperintahkan untuk
menikahi perempuan-perempuan lain yang disenangi.
Begitu juga dengan Surat An-Nisa’ Ayat 129

‫ُك الْ َم ْي ِل فَتَ َذ مر ْوهَا‬


َّ ‫َول َ ْن ت َ ْس َت ِط ْي مع ىْوا َا ْن تَ ْع ِدلم ْوا ب َ ْ َْي ِالن َسا ٓ ِء َول َ ْو َح َر ْص م ُْت فَ َال تَ ِم ْيلم ْوا م‬
‫اّلل ََك َن غَ مف ْو ًرا َّر ِح ْي ًما‬ ۗ ‫ََك لْ مم َعل َّ َق ِة‬
َ ٰ ‫ ۚ َوِا ْن ت ْمص ِل مح ْوا َوتَتَّ مق ْوا فَ ِا َّن‬
Artinya :
“ Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat Berlaku adil di antara isteriisteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lainterkatung-
katung. dan jika kamu Mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”

Berlaku adil yang dimaksud adalah perlakuan yang adil dalam meladeni isteri,
seperti, pakaian, tempat, giliran, dan lain lain yang bersifat lahiriyah, islam memang

3
Departemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemah dan Asbabun Nuzul, Cetakan Kesepuluh (Banjar Sari
Surakarta : CV. Al Hanan, 2009), h. 77

6
memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu. Dari dua ayat diatas dapat
diambil kesimpulan bahwa seorang laki-laki muslim boleh mengawini hanya empat
wanita saja. Namun, bila ternyata ia tidak bisa berbuat adil bahkan berbuat zalim
bila mempunyai beberapa orang isteri, hendak nya ia mengawini hanya seorang
isteri saja.
Ketidakmungkinan manusia untuk bisa berlaku adil secara materi dan cinta
walaupun ia sangat ingin dan sudah berusaha semaksimal mungkin. Kalau ayat
tersebut seolah-olah bertentangan dalam masalah berlaku adil, pada ayat 3 Surat
An-Nisa’, diwajibkan berlaku adil, sedangkan ayat 129 meniadakan berlaku adil.
Pada hakikatnya, kedua ayat tersebut tidaklah bertentangan karena yang dituntut
disini adalah adil dalam masalah lahirian bukan kemampuan manusia, berlaku adil
yang ditiadakan dalam ayat diatas adalah adil dalam masalah cinta dan kasih sayang.
Sebab, Allah Swt. sendiri tidak memberi manusia beban kecuali sebatas
kemampuannya, sebagaimana firman-Nya dalam Q.S Al-Baqarah ayat 286.

ۗ ‫َا ۚ لَهَا َما َك َسبَ ْت َوعَلَ ْْيَا َما ا ْكت َ َسبَ ْت‬
‫ ۚ َربَّنَا ََّل‬ ‫ََّل يم َ ِك مف ٰ م‬
ۗ ‫اّلل ن َ ْف ًسا ِا ََّّل مو ْس َعه‬
‫ْصا َ َمَك َ ََحلْ َت ٗه عَ َىل‬
ً ْ ‫تم َؤا ِخ ْذَنَ ى ِا ْن ن َّ ِسيْنَ ىا َا ْو َاخ َْطأَْنَ  ۚ َربَّنَا َو ََّل َ َْت ِم ْل عَلَ ْينَ ىا ِا‬
ۗ َّ‫َّ ِاَّل ْي َن ِم ْن قَ ْب ِلنَا ۚ َربَّنَا َو ََّل م ََت ِملْنَا َما ََّل َطا قَ َة لَنَا بِه ۚ َوا ع مْف َعن‬
‫ا ۚ َوا‬
‫ُْصَنَ عَ َىل الْ َق ْو ِم ْال ٰك ِف ِرْي َن‬
ْ ‫ا ۚ َان َْت َم ْو ٰلٮنَا فَا ن م‬ ۗ َ‫ْغ ِف ْر لَن‬
ۗ َ‫ا ۚ َوا ْر َ َْحن‬
Artinya :
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupan nya. ia
mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari
kejahatan) yang dikerjakannya. (mereka berdoa): "Ya Tuhan Kami, janganlah
Engkau hukum Kami jika Kami lupa atau Kami tersalah. Ya Tuhan Kami,
janganlah Engkau bebankan kepada Kami beban yang berat sebagaimana Engkau
bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan Kami, janganlah Engkau
pikulkan kepada Kami apa yang tak sanggup Kami memikulnya. beri ma'aflah kami;

7
ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah penolong Kami, Maka tolonglah
Kami terhadap kaum yang kafir."

Ayat terbut jelas bahwa allah swt, tidak membebankan suatu urusan kepada
4
hamba kecuali urusan itu yang sanggup dipikulnya.

C. Penjelasan Mufassir Tentang Nikah Poligami.


1. Pendapat Ibnu Kasir tentang poligami
Hafidz bin Kasir mengatakan: Apabila dalam salah satu kamar kalian
terdapat perempuan yatim dan kalian takut tidak akan memberinya mahar misli
maka berbuat adillah dengan memberikan mahar yang sama dengan
perempuan yang lainnya, karena jumlah mereka banyak dan Allah Swt tidak
akan mempersulit baginya (laki-laki). Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra
Ada orang laki-laki yang menikah dengan perempuan yatim dan dia memiliki
istri yang lain, iapun menggaulinya dan tidak memberikan apa-apa kepadanya
(perempuan yatim), maka turunlah ayat: Apabila kalian takut tidak akan
berlaku adil5. Jadi Ibnu Kasir memahami surat an-Nisa’ ayat 3 dalam konteks
perlakuan terhadap anak-anak yatim dan perempuan, Ibnu Katsir menafsirkan
ayat tersebut sebagai keharusan seorang laki-laki untuk membayar mahar dan
hendaklah ia berlaku adil terhadap wanita-wanita lain yang bisa dinikahinya.
Kalimat (‫ )مثنى و ثالث و رباع‬nikahilah oleh kalian wanita-wanita yang
kalian sukai selain mereka. Jika kalian suka silahkan dua, jika suka silahkan
tiga, dan jika suka silahkan empat. Kedudukan ayat ini adalah posisi pemberian
nikmat dan mubah. Seandainya dibolehkan menggabungkan lebih dari empat
wanita, niscaya akan dijelaskan.6
Imam asy-Syafi’i berkata: Sunnah Rasulullah yang memberikan
penjelasan dari Allah menunjukkan bahwa tidak diperbolehkan bagi seseorang
selain Rasulullah menghimpun lebih dari empat wanita. Pendapat yang

4
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2011), h.87
5
Muhammad Ali As-Sabuni, Mukhtasar Tafsir Ibnu Kasir, (Kairo: Dar As-Salam, 2000), jilid I, h. 355.
6
Abi ‘Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi, Al-Jami’ li Ahkam AlQur’an, (Kairo:
Dar al-Hadis, 2002), jilid V, h. 13. Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Nailu al- Maram, (Kairo: Dar al-
Turas, 1999), jilid I, h. 233. Lihat juga Arij binti Abdur Rahman As-Sanan, Adil terhadap Para Istri
Etika dalam Berpoligami, (Jakarta Timur: Dar as- Sunah Press, cet. 1, 2006), h. 40.

8
dikemukakan oleh asy-Syafi’i ini telah disepakati oleh para ulama kecuali
pendapat dari sebagian Syi’ah yang menyatakan bolehnya menggabung wanita
lebih dari empat orang hingga sembilan orang. Sebagian ulama berpendapat,
tanpa batas. Sebagian lain berpegang pada perilaku Rasulullah yang
menggabungkan empat wanita hingga sembilan orang, sebagaimana yang
tersebut dalam hadis shahih. Adapun (pendapat yang mengatakan hingga) 11
orang adalah sebagaimana terdapat dalam sebagian lafaz yang diriwayatkan
oleh al-Bukhari. Sesungguhnya al-Bukhari, memuallaqkannya, telah kami
riwayatkan dari Anas bahwa Rasulullah kawin dengan 15 orang wanita. Di
antara mereka yang telah digauli adalah 13 orang dan yang dihimpun beliau
adalah 11 orang. Sedangkan di saat wafat, beliau meninggalkan 9 orang istri.
Menurut para ulama, hal ini merupakan kekhususan-kekhususan beliau, bukan
untuk umatnya, berdasarkan hadis-hadis yang menunjukkan pembatasan 4 istri
yang akan kami sebutkan. Di antaranya: Imam Ahmad meriwayatkan dari
Salim, dari ayahnya bahwa Ghilan bin Salamah as-Saqafi masuk Islam, saat
itu ia memiliki 10 orang Istri. Maka nabi bersabda: pilihlah 4 orang di antara
mereka. Begitu pula yang diriwayatkan oleh asy-Syafi’i, at-Tirmizi, Ibnu
Majah, ad-Daruqutni, al-Baihaqi dan yang lainnya. Dan itu pula yang
diriwayatkan oleh Malik dari az-Zauhri secara mursal. Abu Zur’ah berkata:
Inilah yang lebih shahih7.
Keistimewaan Rasulullah saw dalam mengawini lebih dari empat orang
istri, Allah berfirman:

‫ـك َا ْز َوا َج َك ٰال ِ ىْت ٰاتَيْ َت ما مج ْو َره َّمن َو َما َملَـ َك ْت ي َ ِم ْي من َك‬ َ َ ‫ٰى َٰي ُّيُّ َا النَّ ِ ُِّب ِا َّ ىَن َا ْحلَلْنَا ل‬
‫اّلل عَلَ ْي َك َوبَنٰ ِت َ ُِع َك َوبَنٰ ِت َ ُٰع ِت َك َوبَنٰ ِت خَا ِ َِل َوبَنٰ ِت ٰخ ٰل ِت َك‬ ‫ِم َّم ىا َافَا ٓ َء ٰ م‬
‫ ۚ َوا ْم َر َا ًة ُّم ْؤ ِمنَ ًة ِا ْن َّو َه َب ْت ن َ ْف َسهَا ِللنَّ ِ ِِب ِا ْن َا َرا َد‬ ۗ ‫ٰال ِ ْت هَا َج ْر َن َم َع َك‬
ۗ ‫ـك ِم ْن د ْمو ِن الْ مم ْؤ ِم ِن ْ َْي‬
‫ ۚ قَ ْد عَ ِل ْمنَا َما فَ َرضْ نَا‬ َ َّ ‫النَّ ِ ُِّب َا ْن ي َّْستَـ ْن ِك َحهَا خَا ِل َص ًة ل‬

7
Abi Ja'far Muhammad Ibn Abi Al-Hasan At-Thusi, Al-Mabsut fi Fiqhi Al-Imamiyah (Beirut: Dar at-
Turas, tt.), jilid II, h. 155. Lihat juga: As-Sanan, Adil, h. 42-44

9
ۗ ‫عَلَ ْ ِْي ْم ِ ىْف َا ْز َوا ِ ِِج ْم َو َما َملَـ َك ْت َايْ َما ُنم م ْم ِل َك ْي َال يَ مك ْو َن عَلَ ْي َك َح َرج‬
‫ ۚ َو ََك َن‬
‫اّلل غَ مف ْو ًرا َّر ِح ْي ًما‬
‫ٰم‬
Artinya:
“Hai Nabi, sesungguhnya kami telah menghalalkan bagimu istri-istrimu
yang telah kamu berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu
miliki yang termasuk apa yang kamu peroleh dalam peperangan yang
dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-anak
perempuan dari saudara laki-laki bapakmu dan anak-anak perempuan
dari saudara perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
laki-laki ibumu dan anak-anak perempuan dari saudara perempuan
ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan perempuan mukmin yang
menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau nabi mau mengawininya,
sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang mukmin.
Sesungguhnya kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada
mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki
supaya tidak menjadi kesempitan bagimu. Dan adalah Allah maha
pengampun lagi maha penyayang.” ( QS. Al-Ahzab: 50 )

Ibnu Kasir berkata: Allah berfirman kepada Nabinya bahwa Dia telah
menghalalkan bagi Beliau dari wanita: para istri Beliau yang telah Beliau
berikan mahar. Ubai bin Ka’ab, Mujahid, Al-Hasan, Qatadah, dan Ibnu Jarir
berkata tentang firman Allah

‫قد علمنا ما فرضنا علهيم ىف أزواهجم و ماملكت أمياهنم‬


Artinya:
“Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada
mereka tentang istri-istri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki.”
Berupa kewajiban mereka (yaitu umat Islam ) untuk membatasi empat
istri dari wanita merdeka dan semaunya dari budak wanita, serta
disyaratkannya wali, mahar, dan saksi. Sedangkan untukmu Kami tidak
membebanimu dengan sesuatupun dari hal tersebut: supaya tidak menjadi

10
kesempitan bagimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi Maha
penyayang.8
Masalah ini sangat penting untuk dijadikan bahasan, agar setiap orang
tidak terlalu mudah mengatakan perbuatan itu boleh dilakukan sesuai dengan
ajaran Rasul. Sebagai manusia biasa mesti menyadari bahwa praktek yang
dilakukan Rasulullah dalam hal poligami lebih cenderung sebagai suatu fakta
historis, ketimbang tindakan teologis yang bertujuan untuk menjalankan misi
sosial kemanusiaan, pemberdayaan dan politik peradaban. Oleh karena itu,
praktek poligami yang dilakukan Rasulullah dalam sejarahnya dipandang
sebagai suatu kekhususan bagi nabi sendiri. Zaman sekarang, tidak akan
ditemukan lagi seseorang yang bisa menteladani Rasulullah dengan sempurna,
hal yang sombong apabila seseorang mengatakan bahwa dirinya bisa berbuat
seperti yang diperbuat Rasul. Rasulullah adalah sosok yang dimuliakan Allah,
standar ketakwaan kita dengan beliau sangat jauh sekali. Bisa dikatakan
bahwasanya praktek poligami yang dilakukan masyarakat muslim saat ini
belum sampai ketahap misi dari kesadaran kemanusiaan seperti yang
dilakukan oleh Nabi. Apabila alasan seseorang dalam mempraktekkan
poligami adalah untuk menyalurkan hasrat libido yang tinggi dan takut
terjerumus pada hal yang diharamkan atau zina dan perselingkuhan. Alasan ini
tidak pernah dijadikan alasan Rasulullah untuk melakukan poligami.
Ulama yang menukilkan bahwa hal tersebut termasuk kekhususan Nabi
Muhammad saw di antaranya: Al-Qurtubi (6/17), Ibnu Kasir (1/450), Al-
Hafiz} Ibnu Hajar dalam al-Fath (9/173) dan Al-Qasimi dalam Mahasin at-
Ta’wil (2/227)
Dari pendapat Ibnu Kasir tadi penenulis berpendapat bahwa poligami
ini ditujukan untuk maslahat anak yatim, akan tetapi umat Islam berpendapat
bahwa hal ini merupakan tuntunan syariat agama Islam, Ayat ini
membicarakan tentang pembatasan terhadap jumlah laki-laki yang
berpoligami, bukan kebolehan cuma-cuma yang diberikan Allah kepada
lakilaki begitu saja, akan tetapi untuk memberikan solusi yang baik dari
keadaan buruk yang terjadi terus menerus kepada wanita. Kebolehan beristri

8
Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, terj. Abdul Ghaffar h. 450

11
lebih dari empat hanya diberikan kepada Nabi Muhammad saw, dan tidak
untuk umatnya, melihat realita yang ada, sangat sulit sekali ditemukan seorang
laki-laki yang benar-benar adil dalam melaksanakan poligami, bagaimana pula
apabila pembolehan tersebut lebih dari empat, dari sisi yang lain, tidak
ditemukan lagi seseorang yang bisa meneladani betul-betul ibadah dan
perbuatan Rasul dengan baik, apalagi hal ini berkaitan dengan hasrat diri
seseorang, sangat mustahil poligami yang dilakukannya benar-benar
disebabkan karena ingin menolong wanita yatim.

2. Pandangan Quraisy Syihab tentang poligami


Surat An-Nisa’ ayat 3 ini berbicara tentang bolehnya berpoligami, turun
berkaitan dengan sikap sementara pemeliharaan anak yatim perempuan yang
bermaksud menikahi mereka karena harta mereka, tetapi enggan berlaku adil.
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam memaknai ayat tersebut
yaitu:
a. Ayat di atas ditujukan kepada pemeliharaan anak-anak yatim yang
hendak menikahi mereka tanpa berlaku “adil”. Secara redaksional, orang
boleh jadi berkata, jika demikian, izin berpoligami hanya diberikan
kepada para pemelihara anak-anak yatim, bukan kepada setiap orang.
Kendati konteksnya demikian, karena redaksinya bersifat umum dan
karena kenyataannya sejak masa Nabi Muhammad saw dan sahabat,
beliau menunjukkan bahwa yang tidak memelihara anak yatim pun
berpoligami, dan itu terjadi sepengetahuan Rasul saw, tidaklah tepat
menjadikan ayat tersebut hanya terbatas kepada para pemelihara anak-
anak yatim.9
b. Kata (‫ )خفتم‬Khiftum yang biasa diartikan takut, yang juga dapat berarti
mengetahui, menunjukkan bahwa siapa yang yakin atau menduga keras
atau bahkan menduga tidak akan berlaku adil terhadap istri-istrinya yang
yatim maupun yang bukan, maka mereka itu tidak diperkenankan oleh
ayat di atas melakukan poligami, yang diperkenankan hanyalah yang

9
M. Quraish Shihab, Perempuan, (Ciputat: Lentera Hati, cet. 4, 2007), h. 162

12
yakin atau menduga keras dapat berlaku adil, yang ragu, apakah bisa
berlaku adil atau tidak, seyogyanya tidak diizinkan berpoligami.
c. Ayat tersebut mengguakan kata (‫ )تقسطوا‬tuqsitu dan (‫ )تعدلوا‬ta’dilu yang
keduanya diterjemahkan berlaku adil. Ada ulama yang mempersamakan
maknanya, dan ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa
Tuqsitu adalah berlaku adil antara dua orang atau lebih, keadilan yang
menjadikan keduanya senang. Sedangkan ta’dilu adalah berlaku baik
terhadap orang lain maupun diri sendiri, tapi keadilan itu bisa saja tidak
menyenangkan salah satu pihak. Jika makna kedua ini difahami, itu
berarti izin berpoligami hanya diberikan kepada mereka yang menduga
bahwa langkahnya itu diaharapkan dapat menyenangkan semua istri
yang dinikahinya. Ini difahami dari kata tuqsithu, tetapi kalau itu tidak
dapat tercapai, paling tidak ia harus berlaku adil, walaupun itu bisa tidak
menyenangkan salah satu di antara mereka.10
d. Firman-Nya: ( ‫ )ما طاب‬Maka nikahilah apa yang kamu senangi bukan
siapa yang kamu senangi, bukan dimaksudkan seperti tulisan ulama
lama yang memiliki bias untuk mengisyaratkan bahwa perempuan
kurang akal, dengan alasan pertanyaan yang dimulai dengan apa adalah
bagi sesuatu yang tidak berakal dan siapa untuk yang berakal. Sekali lagi
bukan itu tujuannya. Pemilihan kata itu bertujuan untuk menekankan
sifat perempuan itu, bukan orang tertentu, nama atau keturunannya.
Bukankah jika anda berkata: siapa yang dia nikahi? Maka, Maka
seseorang akan menanti jawaban tentang perempuan tertentu, namanya
dan anak siapa dia? Sedangkan bila anda bertanya dengan menggunakan
kata apa, maka jawaban yang anda nantikan adalah sifat dari yang
ditanyakan itu, misalnya janda, atau gadis, cantik atau tidak dan
sebagainya.11
e. Huruf “waw” pada ayat di atas bukan berarti dan, melainkan berarti atau
sehingga dua-dua, tiga-tiga, atau empat empati bukan izin menjumlah
angkaangka tersebut sehingga dibolehkan berpoligami dengan Sembilan

10
Ibid., h. 163.
11
Shihab, al-Misbah, h. 339.

13
atau bahkan delapan belas perempuan. Di samping secara redaksional
ayat tersebut tidak bermakna demikian, Rasul saw pun secara tegas
memerintahkan Gilan Ibnu Umayyah as-S|aqafi yang ketika itu memiliki
sepuluh istri agar mencukupkan dengan empat orang dan menceraikan
selainnya.
Redaksi ayat ini mirip dengan ucapan seseorang yang melarang orang
lain memakan makanan tertentu, dan untuk menguatkan larangan itu dia
berkata: Jika anda khawatir akan sakit bila memakan makanan ini,
habiskan saja makanan selainnya yang ada dihadapan anda. Tentu saja,
perintah menghabiskan makanan lain itu hanya sekedar menekankan
perlunya mengindahkan larangan untuk tidak makan makanan tertentu
itu. Perlu digaris bawahi bahwa ayat poligami ini tidak membuat
peraturan baru tentang poligami karena poligami telah dikenal dan
dilaksanakan oleh penganut berbagai syariat agama serta adat istiadat
masyarakat sebelum turunnya ayat ini. Ayat ini tidak juga menganjurkan
apalagi mewajibkan poligami, tetapi ia hanya berbicara tentang
bolehnya poligami, dan itupun merupakan pintu kecil yang hanya dapat
dilalui oleh siapa yang sangat amat membutuhkan, dan dengan syarat
yang tidak ringan. Dengan demikian, pembahasan poligami dalam
pandangan Al-Qur’an hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal atau baik
dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum
dalam aneka kondisi yang mungkin terjadi sertamelihat pula sisi
pemilihan aneka alternative yang terbaik. Adalah wajar bagi satu
perundangan, apalagi agama yang bersifat universal dan berlaku untuk
setiap waktu dan tempat, mempersiapkan ketetapan hukum yang boleh
jadi terjadi pada suatu ketika, walaupun kejadian itu baru merupakan
kemungkinan.
Pada kenyataannya ketika kita melihat disekeliling kita, menunjukkan
bahwa jumlah lelaki bahkan binatang jantan lebih sedikit dari pada
betina, usia perempuan lebih panjang dari usia laki-laki sedangkan
potensi masa subur lelaki lebih lama dari pada potensi masa subur
wanita disebabkan perempuan mengalami manopouse sedangkan lelaki

14
tidak. Begitu juga masalah peperangan yang hingga kini tidak kunjung
dapat dicegah yang banyak merenggut nyawa laki-laki. Begitu juga
masalah kemandulan dari si istri sedangkan suami mendambakan
sebuah keturunan dan banyak hal lain yang menjadi penyebab
dibolehkannya laki-laki berpoligami.
Akan tetapi, ayat ini hanya memberi wadah bagi mereka yang
menginginkannya ketika menghadapi kondisi dan kasus tertentu dan masih
banyak alasan logis lainnya untuk tidak menutup rapat atau mengunci mati
pintu poligami yang dibenarkan oleh ayat ini dengan syarat yang tidak
ringan. Kita juga tidak dapat membenarkan siapa yang berkata poligami
adalah anjuran dengan alasan bahwa Rasul saw menikah lebih dari satu
perempuan dan pernikahan semacam itu hendaknya diteladani karena tidak
semua apa yang dilakukan Rasul saw perlu diteladani, sebagaimana tidak
semua yang wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi
umatnya. Bukankah Rasul saw antara lain wajib bangun shalat malam dan
tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak batal wudhu beliau bila
tertidur? Bukankah ada hak-hak bagi seorang pemimpin guna menyukseskan
misinya?
Selanjutnya wajar dipertanyakan kepada mereka yang menyebut
dalih itu. Apakah mereka benar-benar ingin meneladani Rasul saw dalam
pernikahannya? Kalau benar demikian, perlu mereka sadari bahwa Rasul saw
baru berpoligami setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama setelah
meninggalnya istri beliau, Khadijah ra kita ketahui bahwa Nabi Muhammad
saw menikah dalam usia 25 tahun. Lima belas tahun setelah pernikahan
beliau dengan Khadijah ra beliau diangkat menjadi Nabi. Istri beliau ini
wafat pada tahun ke-9 kenabian. Ini berarti beliau bermonogami selama 25
tahun. Lalu setelah tiga atau empat tahun sesudah wafatnya khadijah ra baru
beliau menggauli Aisyah ra yakni pada tahun kedua atau ke-3 H sedangkan
beliau wafat pada tahun ke-11 H dalam usia 63 tahun. Ini berarti beliau
berpoligami hanya dalam waktu sekitar delapan tahun, jauh lebih pendek
daripada hidup bermonogami beliau. Baik itu dihitung berdasar pada masa
kenabian, lebih-lebih jika dihitung seluruh masa pernikahan beliau.

15
Mengapa bukan masa yang lebih banyak itu yang diteladani?
Mengapa mereka yang bermaksud meneladani Rasul saw itu tidak
meneladaninya dengan memilih calon-calon istri yang telah mencapai usia
senja. Perlu juga diingat bahwa semua yang beliau nikahi, kecuali Aisyah ra
adalah janda-janda yang sebagian di antaranya dalam usia senja atau tidak
lagi memiliki daya tarik yang memikat. Dengan demikian, pernikahan beliau
kesemuanya untuk tujuan menyukseskan dakwah atau membantu dan
menyelamatkan para perempuan yang kehilangan suami itu.12
Penulis sendiri berpandangan bahwasanya poligami memang
ditujukan untuk anak yatim, akan tetapi izin berpologami tidak bisa
dikhususkan kepada anak yatim saja, karena kebiasaan ini telah ada sejak
zaman pra Islam. Rasul sendiri tidak membantah perbuatan para sahabat
dalam hal berpoligami, akan tetapi beliau hanya membatasi dan
meminimalisir jumlah wanita yang dinikahi, sehingga pernikahan tidak
menjadi permainan bagi setiap laki-laki. Sangat sulit ditemukan keadilan
dalam sebuah perkawinan (poligami) dapat menyenangkan kedua belah
pihak. Adil bisa saja terlihat mudah secara zahir, akan tetapi setiap orang
memiliki makna keadilan tersendiri.
Apabila istri masih merasa kebutuhan materi dan biologisnya tidak terpenuhi
dengan sempurna, berarti kebahagiaan belum bisa didapati oleh kedua belah pihak.
Quraish Shihab adalah salah satu mufassir yang membolehkan poligami secara
ketat dan hanya boleh di lalui oleh seseorang yang amat membutuhkan saja.
Apabila ayat Alquran bisa diambil dari baik dan buruknya, penulis berpendapat
bahwasanya poligami untuk kondisi saat ini lebih benyak mengarah kepada hal
yang buruk disebabkan karena minimnya pengetahuan seseorang dalam bidang
agama dan kecendrungan seseorang yang lebih mengedepankan nafsu belaka,
tanpa memusingkan dampak yang buruk dari perbuatannya. Menurut penulis
undang-undang Negara boleh menetapkan sebuah hukum baru, sekiranya hukum
tersebut lebih dianggap sesuai untuk keadaan saat ini tanpa mengesampingkan
hukum agama.

12
Shihab, Perempuan, h. 166-167.

16
D. Asbabun Nuzul Ayat Poligami
Surah An-nisa 3 :

ْ ‫َو ِا ْن ِخ ْف م ُْت َا ََّّل تم ْق ِس مط ْوا ِِف الْ َي ٰت ٰمى فَا ْن ِك مح ْوا َما َطا َب لَ م‬
‫ـُك ِم َن ِالن َسا ٓ ِء َمث ْٰن‬
‫َۗ وثم ٰل َث َو مربٰ َع ۚ فَ ِا ْن ِخ ْف م ُْت َا ََّّل تَ ْع ِدلم ْوا فَ َوا ِحدَ ًة َا ْو َما َملَـ َك ْت َايْ َما نم م ُْك‬
‫ۗ  ٰذ ِ َِل َاد ٰىْٰن َا ََّّل تَ مع ْولم ْوا‬
Artinya :
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil, Maka (kawinilah) seorang saja,atau budak-budak yang kamu
miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (Q.S AN-
NISA :3)

Sebab turunnya ayat:


Dari Urwah bin Az-Zubair, dia bertanya kepada Aisyah tentang firmannya,
“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya)”. Aisyah berkata, “wahai
keponakanku, anak yatim ini berada dalam perawatan berada dalam perawatan
walinya, yang hartanya bergabung dengan harta walinya, lalu walinya tertarik
terhadap kecantikan dan hartanya. Kemudian walinya ingin mengawininya tanpa
berlaku adil dalam maharnya, maka memberikan kepadanya tidak seperti dia
memberikan kepada yang lainnya. Maka menikahi mereka terlarang, kecuali jika
dia berlaku adil kepada mereka dalam menyempurnakan maharnya, lalu mereka
disuruh untuk menikahi wanita-wanita yang disenangi para lelaki selain wanita.13

13
Ali as-Sabuni, Safwatut tafasir., hal. 591

17
E. Munasabah Ayat Poligami
Ayat ini masih berhubungan erat dengan ayat sebelumnya, yaitu An-nisa
ayat 2 yang menjelaskan tentang kewajiban memberikan harta anak yatim jika dia
sudah dewasa dan larangan memakan atau mengunakan hartanya dengan cara yang
tidak sah. Pada ayat 3 ini lalu dijelaskan secara spesifik bahwa jika seorang wali
merasa tidak mampu berbuat adil andaikan dia menikahi anak yatim yang berada
dibawah asuhannya, maka lebih baik dia menikahi wanita lain selain anak yatim
tersebut.
Muhammad Ali Sabuni menjelaskan bahwa letak munasabah dalam
penyebutan anak yatim dan menikahi perempuan adalah bahwa kedua-duanya
sama-sama dalam keadaan lemah, dan juga karena keduanya berada dibawah
lindungan walinya. Oleh karena itu Allah melarang menikahi keduanya jika tidak
bisa berlaku adil.

18
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Poligami merupakan perkawinan dengan salah satu pihak (suami) mengawini
lebih dari seorang isteri dalam waktu yang bersamaan. Artinya isteri- isteri tersebut
masih dalam tanggungan suami dan tidak diceraikan serta masih sah sebagai
isterinya.
Jika seseorang ragu untuk berperilaku adil dan memberikan perlakuan yang
sama untuk memenuhi hak-hak mereka sebagai istri, maka sebaiknya seorang suami
memiliki istri satu dan ia tidak diperkenankan menikahi perempuan yang kedua dan
seterusnya. Namun, bila seorang suami mampu berlaku adil dan memberikan hak
yang sama kepada dua orang istri atau lebih, maka ia diperbolehkan untuk menikahi
istri yang ketiga. Dalam kondisi tertentu seseorang diperbolehkan untuk
berpoligami apabila istrinya memiliki penyakit yang berbahaya, istri terbukti tidak
mempunyai keturunan (mandul), tabiat kemanusiaan suami yang menginginkan
untuk beristri lebih dari satu, serta dimana jumlah kaum hawa lebih banyak dari
pada adam.
Ada beberapa cara yang perlu kita tempuh agar dapat terhindar dari poligami,
antara lain: Sebelum menikahi seseorang wanita yang kita cintai, lebih baik kita
adakan sebuah penelitian, bagaimana karakter seseorang yang mau kita nikahi
tersebut, baik dari segi agama, keturunan, kecantikan dan kekayaan, kita sebagagai
kepala rumah tangga, harus memaklumi tentang kekurangan yang kita miliki, harus
memahami apa tujuan dari sebuah pernikahan tersebut, dan bagi setiap orang sangat
sangat diperlukan kepada ilmu pengetahuan agama, agar dapat terhidar dari
perbuatan-perbuatan yang melenceng dengan norma agama.

B. Saran

Kami harapkan saran dan kritik dari dosen pengampu dan rekan-rekan sekalian
demi kesempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi yang
membacanya.

19
Daftar pustaka

1. Abdullah Bin Muhammad. Tafsir Ibnu Katsir. Terj. Abdul Ghaffar.


2. Abi Ja'far Muhammad Ibn Abi Al-Hasan At-Thusi. Al-Mabsut fi Fiqhi Al-
Imamiyah. Beirut: Dar at-Turas
3. Abi ‘Abdillah Muhammad Ibnu Ahmad Al-Anshari Al-Qurtubi. 2002. Al-
Jami’ li Ahkam Al-Qur’an. Kairo: Dar al-Hadis
4. Departemen dan Kebudayaan RI. 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta : Balai Pustaka.
5. Departemen Agama RI. 2009. Al-Qur’an Terjemah dan Asbabun Nuzul.
Surakarta : CV. Al-Hanan.
6. Mardani. 2011. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern.
Yogyakarta : Graha Ilmu.
7. Muhammad Ali As-Sabuni. 2000. Mukhtasar Tafsir Ibnu Kasir. Kairo: Dar
As-Salam.
8. M. Quraish Shihab. 2007. Perempuan. Ciputat: Lentera Hati.
9. Suprapto, Bibit. 1990. Liku-Liku Poligami. Yogyakarta : Al Kautsar.

20

Anda mungkin juga menyukai