Anda di halaman 1dari 31

MAKALAH FIQH MUNAKAHAH

MEMAHAMI POLIGAMI DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Dosen Pengampu : Miftahus Sholehuddin, M.HI

Disusun oleh kelompok 5 :

(220201110010) Pangky Fauz Firjatullah

(220201110033) Hilma Nurul Latifah

(220201110036) Lu’lu Yuliana

KELAS HKI-F

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA ISLAM

FAKULTAS SYARIAH UINERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK


IBRAHIM MALANG TAHUN 2022/2023
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
nikmat yang telah dilimpahkan kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “Memahami Poligami Dalam Perspektif Hukum Dasar Islam ” .

Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas dari Bapak
Miftahus Solehuddin, M.HI pada mata kuliah Fiqih Munakahah. Selain itu, makalah ini juga
bertujuan untuk menambah wawasan tentang Memahami Poligami Dalam Perspektif Hukum
Islam.

Terselesainya makalah ini tidak lepas dari dukungan beberapa pihak yang telah
memberikan kepada kami berupa motivasi, baik materi maupun moril. Oleh karena itu, kami
bermaksud mengucapkan banyak terimakasih kepada :

1. Bapak Miftahus Solehuddin, M.HI selaku dosen pengampu Fiqh Munakahah yang
telah memberikan bimbingan dan pengarahan penulisan yang baik dan benar,
sehingga kami sebagai penulis dapat menyusun makalah ini.
2. Dan pihak – pihak yang telah membantu kami dalam menyusun makalah ini

Kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini belum mencapai kesempurnaan sehingga
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat kami harapkan dari berbagai pihak demi
kesempurnaan makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Malang, 11 Maret 2023

Kelompok 5

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................ii

DAFTAR ISI......................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

A. Latar Belakang....................................................................................................1

B. Rumusan Masalah...............................................................................................1

C. Tujuan Penulisan.................................................................................................1

BAB II PENGERTIAN POLIGAMI...............................................................................2

A. Definisi Poligami................................................................................................2

B. Sejarah dan Perkembangan Poligami..................................................................3

C. Tujuan Poligami Dalam Islam............................................................................6

BAB III DASAR HUKUM DAN HUKUM POLIGAMI DALAM ISLAM.................8

A. Dasar Hukum Poligami dalam Al-Quran............................................................8


B. Dasar Hukum Poligami dalam Al-Hadits...........................................................9
C. Hukum Poligami dalam Fiqih.............................................................................10

BAB IV ALASAN, SYARAT DAN PROSEDUR POLIGAMI.....................................12

A. Alasan Poligami dalam Islam.............................................................................12


B, Syarat-Syarat Poligami dalam Islam...................................................................13

BAB V HIKMAH POLIGAMI DALAM PERNIKAHAN............................................19

BAB VI PENUTUP DAN KESIMPULAN......................................................................21

BAB VII DAFTAR PUSTAKA........................................................................................22

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Poligami merupakan perkawinan yang sesuai dengan fitroh manusia dan
memiliki status perkawinan yang sah dan bertujuan membangun rumah tangga
sakinah, mawaddah dan warahmah. Al-Quran mengatur perkawinan poligami
secara tegas dalam surat An-Nisa ayat 3 sebagai dasar bagi seorang suami yang
hendak melakukan poligami. Tugas seorang suami yang berpoligami ialah adil
kepada setiap anggota keluarganya. Dalam hal ini kami penulis akan memaparkan
bagimana hukum poligami dalam prespektif hukum Islam disertai dengan sejarah,
prosedur, hikmah, dan dasar hukumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Poligami?
2. Bagaimana Hukum Poligami dalam Islam ?
3. Apa saja Dasar-Dasar Poligami dalam Al-Qur’an dan Hadist ?
4. Apa saja Syarat, Prosedur, dan Kriteria Adil bagi Seorang Muslim
diperbolehkan untuk Poligami?
5. Apa maksud Tujuan dan Hikmah dari Poligami ?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui tentang definisi dari Poligami.
2. Untuk mengetahui Hukum dari Poligami dalam Islam.
3. Untuk mengetahui Dasar-Dasar Hukum Poligami dalam Al-Qur’an dan Hadist.
4. Untuk mengetahui tentang Syarat, Prosedur, dan Kriteria Adil bagi Seorang
Muslim diperberbolehkan Poligami.
5. Untuk mengetahui apa Tujuan dan Hikmah dari Poligami.
6. Untuk memenuhi tugas Fiqh Munakahah.

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Poligami
Menurut bahasa Poligami terdiri dari kata “poli” dan “gami”. “Poli”
memiliki arti banyak “gami” memiliki arti istri, jadi jika digabungkan memiliki
arti beristri banyak atau seorang laki-laki yang memiliki istri lebih dari satu.1
Menurut KBBI poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak
memiliki atau mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu bersamaan.
2
Secara umum Poligami bisa dipahami dengan suatu ikatan suci yang salah satu
pihak (suami) mengawini beberapa atau lebih dari satu istri dalam waktu yang
bersamaan. Bukan saja ijab qabul melainkan dalam menjalani hidup berkeluarga.
Dalam Islam, poligami memiliki makna perkawinan yang dilakukan laki-
laki yang menikahi lebih dari satu perempuan, dengan batasan umumnya
dibolehkan hanya sampai empat wanita.3 Allah SWT berkalam dalam Al-Qur’an.
Surat Ar-rum ayat 21 :

Artinya: “Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan


untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan
merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih
saying. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benat terdapat
tanda- tanda bagi kaum berfikir”. (QS. Ar-Rum 30:21)

Ketentraman menurut ayat diatas merupakan tujuan disatukan dua manusia


yang memiliki rasa kasih sayang dalam membentuk keluarga yang sakinah,
mawadah, dan warahmah.

1
Rusdaya Basri, Fiqh Munakahat 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah, (Sulawesi Selatan: CV Kaaffah Learning
Center, 2019), hlm. 196.
2
KBBI
3
Muhamad Arif Mustofa, Poligami dalam Hukum Agama dan Negara, Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan
Politik Islam, 2017, hlm. 48.

2
Poligami dalam pandangan ulama empat madzhab sepakat bahwa seorang
suami boleh melakukan poligami dengan seorang perempuan lain yang memiliki
hubungan mahram dengan istrinya setelah terjadi perpisahan yang diakibatkan
oleh kematian. Ulama empat mazhab tersebut juga sepakat tidak membolehkan
melakukan poligami terhadap perempuan lain yang memiliki hubungan mahram
dengannya pada masa idah talak raj’i.
Dasar peraturan poligami di Indonesia menurut Undang–Undang No.1
Tahun 1974 pada Pasal 3 Ayat 2 yang berbunyi “Pengadilan dapat memberikan
izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki
oleh pihak–pihak yang bersangkutan.4 Undang–Undang di Indonesia berupaya
memberikan payung hukum sebagai langkah untuk mengatur perkawinan
poligami yang sebelumnya begitu longgar menjadi dipersulit dengan syarat
kumulatif seperti kewajiban suami untuk meminta izin ke pengadilan, mampu
memenuhi kebutuhan istri – istri, adanya jaminan suami dapat berlaku adil, serta
syarat-syarat tambahan yang lainnya dengan maksud memperkecil terjadinya
poligami.

Dalam hukum Islam, poligami bermakna seseorang yang menikahi wanita


lebih dari satu dengan batasan yang diperbolehkan hingga empat orang saja.
Dengan demikian, poligami merupakan sistem pernikahan yang membolehkan
seorang laki-laki memiliki istri lebih dari satu (maksimal empat) dengan ketentuan
dan syarat yang telah digariskan oleh agama (Al-Qur’an) dan Negara.5

B. Sejarah dan perkembangan hukum Poligami

Pada abad terdahulu sebelum Islam diwahyukan, manusia di berbagai


belahan dunia telah mengenal dan mempraktekan poligami. Poligami dipraktekan
secara luas dikalangan masyarakat Yunani, Persia, dan Mesir kuno. Di Jazirah
Arab sendiri jauh sebelum Islam, masyarakatnya telah mempraktekan poligami
yang tak terbatas. Sejumlah riwayat menceritakan bahwa rata-rata pemimpin suku
ketika itu memilki puluhan istri, bahkan tidak sedikit kepala suku yang memiliki
istri ratusan. Hal ini juga bertentangan dengan naluri seorang wanita yang tidak
memiliki tempat untuk fitrahnya tersebut.

4
(Mutakabbir, 2019) (Trigiyanto, 2011)Undang-Undang Republik Indonesia No.1 Tahun 1974 tentang
perkawinan.

3
5
Abdul Mutakabbir,”Menapak Jejak Poligami Nabi saw.”,Sanad THK Makassar(Yogyakarta,1 Juli 2019),hlm 2

4
Dalam sejarah kenabian sekitar abad lima belas Sebelum Masehi saat itu Nabi
Ibrahim sudah mempraktekan poligami karena istri pertamanya sudah lama belum
memberikan keturunan dan akhirnya membolehkan untuk menikah lagi dengan wanita
lain yang mampu memberikan keturunan kepada Nabi Ibrahim. Pada masa Rasulullah
SAW, beliau ketika menikah dengan Sayyidah Khadijah tidak pernah poligami.
Barulah ketika Sayyidah Khadijah wafat kemudian beliau menikahi Saudah dan
setelah beberapa tahun kemudian baru beliau menikahi Aisyah ra. dan seterusnya.
Maksud dari tujuan beliau berpoligami lebih dari empat karena adanya faktor
kemanusiaan, kepentingan dakwah untuk menyebarkan agama Islam dan merupakan
khususiyah yang dimiliki Nabi saw.

Sejarah poligami di Indonesia pada masa penjajahan Belanda sangat


memprihatinkan kaum wanita terjadi karena mudahnya orang melakukan poligami
tanpa mengindahkan syarat – syarat yang dituntunkan oleh agama.6 Bahkan ada
seorang suami memaksa istrinya supaya diizinkan untuk berpoligami dengan cara
membuat surat – surat palsu sehingga pada akhirnya berdampak pada perpecahan dan
kebencian dalam rumah tangga. Tercatat dalam sejarah gerakan perempuan dari masa
ke masa sebagai penolakan terhadap poligami di Indonesia antara lain :

a. Kesadaran kaum hawa yang memiliki harkat dan martabat terdapat dalam jiwa
perempuan telah lantang menolak poligami pada tahun 1910.
b. Kartini menulis penolakannya tentang bentuk perkawinan poligami pada tahun 1911.
c. Konferensi perempuan di Yogyakarta tanggal 22-26 September 1928 dihadiri oleh 30
organisasi perempuan sebagai salah satu bentuk penolakan terhadap perkawinan
poligami.
d. Pemerintah Kolonial Belanda, menyebarkan ordinansi (kanun) tentang perkawinan
yang menganut asas monogami pada tahun 1937.
e. Unjuk rasa yang dipimpin Perwari terhadap kebijakan peraturan pemerintah No. 19
Tahun 1952 yang memberikan biaya pensiun bagi pegawai negeri yang memiliki istri
lebih dari satu.
f. Aksi Gerakan perempuan sebagai penolakan sebagai penolakan poligami yang
dilakukan oleh Aa Gym pada tahun 2006.

6
Ali Trigiyanto, “Perempuan dan Poligami di Indonesia”, Jurnal Muwazah,Juli 2011,hlmn 339

5
Indonesia sebagai negara dengan memiliki jumlah penduduk mayoritas
muslim memiliki sejarah perkawinan yang belum mempunyai hukum dan tidak
diperhatikan oleh penjajah Belanda dengan maksud supaya penduduk muslim pribumi
tunduk pada hukum adat yang tidak dikodifikasikan. Pokok-pokok yang
melatarbelakangi munculnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dalam hal
perkawinan antara lain :

1. Banyaknya terjadi kawin paksa.


2. Maraknya perkawinan anak-anak (pernikahan dini).
3. Perkawinan yang terjadi karena kurangnya perencanaan dan persiapan yang kurang
matang, sehingga terjadi perceraian.
4. Poligami yang dilakukan tanpa mengindahkan syarat-syarat yang dibolehkan oleh
agama.

Menurut pakar tafsir kontemporer Indonesia, M.Quraish Shihab menjelaskan


bahwa tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ia hanya berbicara tentang
bolehnya poligami itu merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh orang
yang sangat membutuhkannya dengan syarat yang tidak ringan. Dengan demikian,
pembahasan tentang poligami dalam Al-Qur’an hendaknya ditinjau dari segi ideal,
atau baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum
dalam berbagai kondisi yang mungkin terjadi.7

Sayyid Qutb menjelaskan bahwa keringanan yang diperbolehkan dalam agama


itu selalu identik dengan hal yang mendesak (dharurat). Hal ini juga berlaku bagi
hukum diperbolehkannya poligami disertai dengan syarat-syarat tertentu seperti
bersikap adil dalam memberi nafkah dan lainnya. 8 Perintah yang ada di dalam Al-
Qur’an terkait dengan poligami itu bukan mutlak, melainkan anjuran yang
menunjukkan bahwa itu dilakukan dengan memprioritaskan nilai sosial yang ada di
dalamnya. Karena itu, Baqir Al-Habsyi berpendapat bahwa di dalam Al-Qur’an tidak
ada satu ayat pun yang memerintahkan atau menganjurkan poligami, sebutan tentang
hal itu dalam surat An-Nisa ayat 3 hanyalah sebagai informasi sampingan dalam
kerangka perintah Allah agar memperlakukan sanak keluarga terutama anak yatim
dan harta mereka dengan perlakuan yang adil.9

7
M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati,2002)
8
Sayid (Qutub, 1961) Qutub, Fi Dzilal Al-Qur’an (Dar Al-Kutub Al-Jamiah, 1961),hlm 92
9
(Al-Habsyi, 2002), Fiqh Praktis (Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah dan Pendapat Para Ulama),Bandung: Mizan

6
Oktober 2002

7
C. Tujuan Poligami dalam Islam

Adanya poligami pasti ada maksud tujuan tertentu. Banyak kaum awam yang
masih belum memahami tentang tujuan dari poligami itu sendiri. Dalam Islam
membolehkan umatnya berpoligami bukan tanpa alasan dan tujuan tertentu. Syariat
yang dituntun oleh agama dan rasul tidak mungkin tidak memberikan kebaikan dan
kemaslahatan bagi manusia. Hal ini juga berlaku bagi praktik poligami yang memang
sudah dibolehkan menurut hukum agama. Dalam perkembangan tentang pemahaman
terhadap syariat sudah berubah dengan adanya berbagai macam kepentingan ideologi,
politik, dan pribadi. Disini tujuan syariat sudah terlihat jelas diperbolehkan menjadi
kehilangan ruh dan makna yang sebenarnya sehingga mempunyai arti sebaliknya.

Tujuan praktik dari poligami menurut Islam terdapat beberapa manfaat dan
hikmah sebagai berikut :

1. Secara biologis, wanita mempunyai tiga halangan yaitu haid, nifas, dan
keadaan yang belum sehat selepas melahirkan anak. Ketika dalam keadaan
seperti ini, Islam membolehkan berpoligami sampai empat orang isteri dengan
tujuan kalau tiap-tiap isteri ada yang sedang berhalangan, maka masih ada
yang sedang bebas. Dengan demikian dapatlah menyelamatkan suami dari
terjerumusnya ke jurang perzinaan pada saat isteri berhalangan.
2. Mendapatkan keturunan karena isteri mandul atau sudah putus haidnya. Islam
menyukai wanita yang dapat memberikan keturunan daripada yang mandul,
walaupun sifat jasmaniahnya lebih menarik. Hal ini juga dijelaskan oleh
Rasulullah dengan sabdanya yang bermaksud, “Perempuan hitam yang
mempunyai benih lebih baik dari wanita-wanita cantik yang mandul.”
3. Untuk memberi perlindungan dan penghormatan terhadap kaum Wanita dari
keganasan serta kebuasan nafsu kau madam yang tidak dapat menahannya.
Andaikan poligami tidak diperbolehkan, kaum lelaki akan menggunakan
wanita sebagai alat untuk kesenangannya semata-mata tanpa dibebani
tanggung jawab. Akibatnya kaum Wanita tidak mendapatkan hak
perlindungan untuk dirinya.

8
4. Untuk menghindari kelahiran anak-anak yang tidak sah agar keturunan
masyarakat terpelihara dan tidak disia-siakan kehidupannya. Dengan demikian
dapat pula menjamin sifat kemuliaan umat Islam.10

Menurut Alhamdani dalam bukunya Risalah Nikah :Hukum


Perkawinan Islam, jika para wanita dibiarkan dalam hidup kesendirian mereka
akan labil dan mudah diombang-ambingkan sehingga mudah terjerumus ke
dalam perbuatan nista yang merusak moral. Jika diperhatikan rasio dari jumlah
laki- laki dan wanita yang tidak seimbang, maka bisa dikatakan praktik
poligami ini merupakan solusi untuk menjaga dan melindungi wanita.

10
Muhammad Arif Mustofa, Poligami dalam Hukum Agama dan Negara, Bengkulu

9
BAB III

Dasar Hukum dan Hukum Poligami dalam Islam

Di dalam islam diharamkan bagi seorang suami untuk melakukan poligami


lebih dari empat wanita dalam satu waktu, karena hukum melakukan poligami ini
sudah ditetapkan batasan-batasan dalam syariat oleh allah swt. hukum ini juga sudah
di nash dalam alquran bahwa seorang suami memiliki batasan dalam melakukan
poligami yaitu dibatasi sampai dengan empat istri dalam satu waktu. Hal ini
ditetapkan oleh allah sebagai kemaslahatan dalam berumah tangga.

A. Dasar hukum Poligami dalam al-Qur'an


Allah berfirman dalam surat An nisa ayat 3 :

˚‫اَّل َت ۡع ِدل‬ ‫فى ا ۡل َي ٰت فا ْن ح ۡوا َلـ ˚ك ۡم ال ِن’ سا ٰنى وث˚ و ˚ر ِا‬ ‫ۡ م اَـ َّال سط‬ ‫وِا ۡن‬
‫ۡوا خ ۡفت˚ ۡم ا‬ ‫طاب ’من ِء م ٰلث ٰب َع ۚ ۡن‬ ‫ما‬ ‫ٰمى ِك‬ ‫ت˚ـ ۡق خ ۡوا‬
‫ف‬ ˚‫ۡفت‬
‫ۡث‬
‫ۡت اَـ ۡي ذ لك اَـ ۡد ٰنٓى اَـ َّال تـَـع˚ ۡول˚ ۡوا‬ ‫َك‬ ‫ف َوا ِح ًَدة َا ۡو ما‬
ؕ ‫َمان˚ ˚ك ۡم‬
‫مَلـ‬

Artinya : “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan
(lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu khawatir tidak
akan mampu berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja, atau hamba sahaya
perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak
berbuat zhalim.”
AIIah swt tidak pernah mempersulit hamba-hamba-Nya Allah menghalalkan
bagi seorang laki-laki untuk menikahi satu hingga empat orang Perenpuan. tapi,
apabila laki-laki tersebut khawatir akan terjerurmus pada perbuatan dosa (karena tidak
dapat berbuat adil), maka lebih baik dia menikahi satu perempuan saja atau menikahi
budak yang dimilikinya11

Perlu digaris bawahi bahwa ayat ini, tidak membuat peraturan tentang
poligami, karena poligami telah dikenal dan dilaksanakan oleh penganut berbagai
syariat agama, serta adat istiadat masyarakat banyak yang sudah melakukan praktik
poligami sebelum turunnya ayat ini. Sebagaimana ayat ini tidak mewajibkan poligami
atau menganjurkannya, ayat ini hanya berbicara tentang bolehnya poligami dan itu

1
pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat dilalui oleh yang sangat amat
membutuhkan dan dengan syarat yang berat. Dengan demikian, pembahasan tentang
poligami dalam

11
Sayid Sabiq. Fiqih Sunnah 3. JakartaSelatan: Republika Penerbit hal 344

1
pandangan al-Qur’an, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal, atau baik dan
buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka
kondisi yang mungkin terjadi12

Tidak dapat juga dikatakan bahwa Rasulullah saw. nikah lebih dari satu, dan
pernikahan semacam itu hendaknya diteladani, karena tidak semua apa yang
dilakukan Rasul perlu diteladani, sebagaimana tidak semua yang wajib atau terlarang
bagi beliau, wajib dan terlarang pula bagi umatnya. Bukankah Rasulullah saw. antara
lain wajib bangun shalat malam dan tidak boleh menerima zakat? Bukankah tidak
batal wudhu beliau bila tertidur? Bukankah ada hak-hak bagi seorang pemimpin guna
menyukseskan misinya? Apakah mereka yang menyatakan benar-benar ingin
meneladani Rasul dalam pernikahannya? Kalau benar demikian, maka perlu mereka
sadari bahwa semua wanita yang beliau nikahi, kecuali ‘Aisyah ra. adalah janda-
janda, dan kesemuanya untuk tujuan menyukseskan dakwah, atau membantu dan
menyelamatkan para wanita yang kehilangan suami itu serta pada umumnya bukanlah
wanita-wanita yang dikenal memiliki daya tarik yang memikat.13

B. Dasar Hukum Poligami dalam al-Hadist


Banyak hadits-hadits nabi yang membicarakan poligami, namun banyak
terjadi kontradiktif diantara hadits-hadits tersebut, sebagian riwayat ada yang
memperbolehkan poligami dan sebagian riwayat melarang poligami. Hadits dibawah
ini merupakan kisah dari Ghailan bin Salamah.

‫ع ْن ا ْب ِن‬
ِ ِ ‫ع ْن ال ي ْ سا ب‬ ‫ حَّدث ع ْ ِع ب ِن أ ع ُرو ْ َم‬:‫نَا هن ال‬WَW‫حدَّث‬
‫ال‬، ‫ ن ِل ِم ِن د‬،Wِ ‫ُّز ْه ِر‬ ،‫ ن ٍر‬،َ‫َبة‬ ‫ِب ي‬ ‫ ن ي‬،Wُ‫نَ ا ْبَدة‬ ‫اد‬
‫ع‬ ‫م‬ ‫ِد‬
‫ْب‬ ‫ع‬ ‫ْع‬ ‫ع‬ ‫س‬ ‫ع‬
‫ىا علَ وسلَّ َم‬Wَّ ‫صل‬ ‫ َم َرُه الن‬Wَ‫سلَ َ أ‬Wَ‫أ‬ ‫عش َ ي ال جا ِه‬ W ‫سلَ َمةَ أ سلَ ول‬ ‫َ ن‬ ‫ َّن‬W‫ َأ‬،‫ع َم َر‬
‫هلل ْي‬ ‫ِب ي‬ ،ُ‫ْمن عه‬ ،‫ِل َّي ِة‬ ‫ُ ر ِن و‬ ‫قَ ِف ي َم ه‬Wَّ‫الت‬ ‫ل بن‬
‫ِه‬ ‫م‬ ‫ٍة‬ ‫غ‬
‫س‬ ‫ْي‬
‫ ْر م ْن ُهن‬Wَ‫خ َّي َر أ‬Wَ‫أَ ْن ت‬
‫َب ًعا‬

Artinya : “Hannad telah meriwayatkan hadis kepada kami, ia berkata: ‘Abdah telah
meriwayatkan hadis kepada kami dari Sa’id bin Abi ‘Arubah, dari Ma’mar, dari al-
Zuhri, dari Salim ibn ‘Abdullah, dari Ibn ‘Umar, sesungguhnya Ghailan ibn Salamah
al-Tsaqafi telah masuk Islam dan ia memiliki sepuluh istri pada zaman jahiliyah,
1
mereka pun masuk Islam bersamanya, lalu Nabi saw. menyuruhnya untuk memilih
empat orang saja di antara mereka.”

12
Sihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati hal 341

13
Sihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati. hal 342

1
Dari kisah Ghailan ibn Salamah dapat disimpulkan bahwa memiliki banyak
istri merupakan suatu hal yang lumrah bahkan orang yang memiliki istri banyak
merupakan suatu tradisi yang kuat pada saat itu. Praktik poligami ini sudah terjadi
sebelum ada ajaran islam. Pada hal ini perlu ditegaskan bahwa poligami bukan ajaran
islam yang pertama melakukan praktik poligami, justru ajran islam lah yang mengatur
praktek poligami dalam masyarakat. Karena sebelum kedatangan islam poligami ini
dilakukan secara bebas tanpa aturan sehingga hal ini sangat merendahkan derajat
wanita14
Selain itu ada juga hadits dalam Sunan Abu Daud, diriwayatkan dari Harits
bin Qais. Dia berkata : “Aku masuk Islam dan ketika itu aku sudah beristri delapan.”
Lantas aku menceritakan hal itu kepada Rasulullah saw. Kemudian beliau berkata,
"Pilihlah enpat dari mereka."
Dalam kitab As-Siyar al-Kabir, Muhamad bin Hasan meriwayatkan bahwa
yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah Qais bin Harits yang dikenal di kalangan
ulama fiqh. Adapun pengecualian diperbolehkannya Rasulullah saw menikahi lebih
dari en- rpat perempuan adalah sebuah keistimewaan yang berikan Allah swt. hanya
untuk Rasulullah saw.15

C. Hukum Poligami dalam Fikih


1. Menurut Mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali

Poligami diperbolehkan oleh semua mazhab dengan syarat suami harus


bisa adil terhadap istri-istrinya (hamba sahaya maupun yang merdeka) kecuali
dalam madzhab syafi’i hanya boleh menikah dengan orang yang sudah merdeka.
Jika suami ragu untuk bisa berbuat adil dalam nafkah batin maupun lahir maka
Allah menganjurkan untuk menikahi satu istri saja. Dalam pemberian nafkah lahir
dan batin seorang suami harus bisa membagi sama rata tanpa pengecualian,
misalnya dalam hal berhubungan badan dengan empat istrinya, suami tidak
memiliki alasan untuk tidak berhubungan badan dengan empat istrinya tersebut.
Karena dalam nafkah batin ini tidak dapat digantikan dengan nafkah lahir,
misalnya ketika sang suami tidak bisa meakukan senggama kemudian ia memberi
uang kepada istrinya

14
Fathonah. (2015). TELAAH POLIGINI: PERSPEKTIF ULAMA POPULER DUNIA . Al-Hikmah, 24.

1
15
Sayid Sabiq. Fiqih Sunnah 3. JakartaSelatan: Republika Penerbit hal 344

1
sebagai ganti nafkah batin. Begitu pula untuk sang istri juga tidak boleh
memberikan uang kepada suaminya untuk mendapatkan nafkah batin lebih dari
sang suami16

Dalam kitab Fathul Qorib juga dijelaskan bahwa boleh melakukan


poligami

‫َ ج ِة‬
‫عل ى ا‬ ‫م َّما َيت‬ ِ ‫ك ِن ْي و‬ ِ ُ‫ا ْل َوا ِحدَة‬ َ‫ْن َتت‬ ‫ِئ‬ ‫َب ن أ‬ ‫) َو َي ْ ْ أ ْن‬
‫ْل حا‬ ‫َوقَّف‬ ‫َكا ِه ن و‬ ’‫ي ن ق‬ ‫َع‬ (‫َ ر‬ ‫ْي ْر َب‬ ‫و ل َي ح‬
‫ِه‬ ‫ح س‬ ‫ِه‬ َّ ‫ح‬ ‫ِع‬ ‫ج‬ ‫’ر‬ ‫ُز‬
ِ
‫ح‬ ‫ِف‬ ‫ح‬ ‫ي ِإ‬ ‫َرا‬ ‫َم‬ ‫ج ل‬
‫َع‬
‫ِإ‬ ‫َّّل‬

Bagi laki-laki merdeka hanya boleh untuk mengumpulkan (dalam


pernikahan) empat wanita merdeka saja.) Kecuali jika haknya hanya satu saja
seperti nikahnya lelaki idiot dan sesamanya, yaitu pernikahan yang tergantung
pada kebutuhan saja.17

1
16
Fathonah. (2015). TELAAH POLIGINI: PERSPEKTIF ULAMA POPULER DUNIA . Al-Hikmah, hal 24.

17
Musthofa, M. Y. (2015). Terjemah Fathul Qarib Al-Mujib fi Syarhi Alfazh Al-Taqrib. Kediri: ANFA' Press. hal 40

1
BAB IV

Alasan, Syarat, dan Prosedur Poligami

A. Alasan Poligami dalam Islam

Jika dilihat dari sudut pandang yang lain, poligami terbebas dari kepentingan
pribadi, dari sikap ego atau keinginan yang mengikuti hasad dan kedengkian akan
memiliki sisi amal kebaikan. Bahkan bisa menjadi alternatif dan solusi bagi sebagian
persoalan yang mungkin timbul di masyarakat. Islam mengantisipasi kemungkinan
terjadinya masalah tersebut dengan membuka pintu untuk poligami dan menutup
pintu ke arah perzinaan. Mahmud Halim, dalam tulisannya mengatakan bahwa Islam
membolehkan perkawinan poligami dengan alasan-alasan sebagai berikut:

1. Jumlah wanita melebihi jumlah laki-laki. Pada saat itulah poligami menjadi
sebuah solusi untuk mengatasi masalah wanita yang belum bisa menikah, yaitu
untuk mencegah dampak negatif yang mungkin muncul karena banyaknya wanita
yang hidup tanpa menikah. Poligami juga bisa menjadi cara untuk mengatasi
banyaknya kasus penculikan terhadap kaum wanita oleh kaum laki-laki ketika
jumlah laki-laki sangat minim. Karena kasus penculikan ini maka dapat
menyebabkan dan menimbulkan keresahan serta kegoncangan bagi keluarga.
2. Nafsu biologis laki-laki sangat besar, yang mungkin tidak dapat dipenuhi oleh satu
orang istri, atau istrinya sendiri memang sedang tidak ingin memenuhi kebutuhan
biologis sang suami. Agar tidak terjadi penyimpangan dan terjerumus ke dalam
perbuatan zina, saat itulah poligami bisa menjadi pengganti. Atau apabila istri
memang sudah tidak mampu lagi melayani kebutuhan biologis suaminya. Maka
saat itu poligami bisa menjadi pengganti dari talak (perceraian).
3. Masa kesuburan laki-laki dapat berlangsung hingga 70 tahun atau lebih, sementara
kesuburan pada wanita umumnya hanya sampai umur 50 tahun atau lebih. Itulah
ketetapan Allah SWT terhadap kaum laki-laki dan wanita. Bila kemakmuran bumi
ini tergantung pada banyaknya manusia, maka meyia-nyiakan masa-masa subur
selama 20 tahun bagi kaum laki-laki tersebut bisa menjadi kendala untuk
memakmurkan bumi ini. Maka di sini poligami dapat menjadi solusi untuk
mengatasi permasalahan tersebut. Dengan catatan tetap memegang prinsip bahwa
proses kelahiran seseorang sesungguhnya identik dengan lahirnya kemampuan
produktivitas manusia.

1
4. Poligami juga melahirkan perilaku pengayoman bagi anak-anak yatim yang
berada dalam tanggungan seorang ibu yang kurang mampu. Sedangkan orang
yang mengurus dan memelihara anak yatim sesungguhnya ingin meraih
persahabatan dengan Rasulullah SAW di surga sebagaimana yang telah dikatakan
dalam banyak hadist.18

B. Syarat-syarat Poligami dalam Islam


Dari segi agama Islam, kita telah mengetahui bahwa praktik poligami itu
diperbolehkan. Tetapi banyak yang tidak tahu bahkan tidak mau tahu dengan syarat-
syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan poligami. Pada dasarnya tujuan
sebuah pernikahan adalah ketenangan, dengan adanya poligami ini tentu membuat
fitrah perempuan atau istri menjadi tidak lagi nyaman dan membuat tujuan pernikahan
di atas tidak lagi terwujud bahkan akan muncul gejolak dalam rumah tangga.
Diperbolehkannya poligami dalam Islam didasarkan pada ayat Al-Quran
dalam Surah An-Nisa’, akan tetapi banyak dari kita yang kurang mengerti dan
memahami bahkan tidak mau mencari tahu alasan turunnya ayat ini atau yang dikenal
dengan asbab al-nuzul. Para ahli fiqh mengatakan bahwa ayat yang menunjukkan
tentang diperbolehkannya poligami ini dikaitkan dengan ayat sebelumnya.
Ayat sebelumnya menjelaskan bahwa para pengelola harta anak yatim berdosa
besar jika mereka menukar dan memakan harta itu dengan cara tidak benar.
Sedangkan ayat setelahnya mengingatkan kepada para wali wanita yatim yang ingin
menikahi anak yatim tersebut agar dia memiliki tekad dalam dirinya untuk berlaku
adil dan baik. Hal ini harus dibuktikan dengan kewajiban memberikan mahar dan hak-
hak wanita yatim yang dinikahinya. Oleh karena itu, dilarang bagi mereka untuk
menikahi wanita yatim dengan tujuan menguasai harta yang dimilikinya atau
menghalanginya menikah dengan orang lain.

Dalam pandangan Ilham Marzuq, syarat diperbolehkannya poligami dalam


Islam bagi seseorang antara lain:

18
Hariyanti, Konsep Poligami dalam Hukum Islam, Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, Vol. 4, No. 2, 2008,
hlm. 108.

1
1. Akhlak Mahmudah
Akhlak sebagai budi pekerti yang dapat menunjukkan apakah seseorang
itu memiliki nilai yang mulia atau tidak adalah hal yang sangat mendasar.
Akhlak bisa berbeda bentuknya tergantung kepada sikap yang dihadapi.
Dalam rumah tangga, tentu hal ini sangat diperlukan. Tujuan menikah
untuk menjadikan ketenangan dan rasa kasih sayang tidak mungkin dapat
terwujud tanpa adanya akhlak yang baik. Oleh karena itu, bagi setiap
orang yang ingin melakukan poligami haruslah memiliki akhlak atau budi
pekerti yang luhur sehingga tujuan pernikahan itu bisa tetap terwujud.

2. Iman Kuat
Iman sebagaimana kita ketahui adalah kepercayaan yang tertanam di
dalam hati dan direalisasikan dalam kehidupan dapat menjadi kunci
kesuksesan dalam berumah tangga. Iman kuat yang dimiliki seseorang
akan menjadikannya kuat juga dalam menghadapi kesulitan dalam
kehidupan. Terlebih dalam poligami, yang secara naluri dapat
menimbulkan kecemburuan dan gejolak dalam rumah tangga tentu
membutuhkan keteguhan iman. Dengan keteguhan iman itulah seorang
suami dapat mengkontrol dirinya dan dengan terkontrolnya diri dapat lebih
mudah dalam membentuk keluarga yang tentram. Oleh karena itu, sangat
tidak dianjurkan bagi seorang lelaki yang memamng belum memiliki
keteguhan iman untuk melakukan poligami.

3. Harta yang Cukup


Suami sebagai pemimpin dalam rumah tangga harus dapat melindungi dan
menciptakan ketentraman. Melindungi istri dan anak-anaknya tidak hanya
dari gangguan orang lain melainkan juga dari sandang, pangan, dan
papan. Seorang suami harus mampu memenuhi kebutuhan keluarga. Oleh
karena itu, sangat penting adanya kecukupan materi dalam berumah tangga
terlebih bagi seorang suami yang melakukan poligami. Ia harus mampu
berlaku adil dan memberikan hak bagi setiap istrinya dengan proporsional,
sehingga sangat diperlukan kecukupan materi bagi yang ingin berpoligami.

4. Uzur (dharurat)

2
Seperti yang kita ketahui bahwa manusia butuh terhadap adanya penerus
atau generasi. Dari fitrah manusia inilah agama mengatur bagaimana
manusia dapat memiliki keturunan secara sah dengan cara melaksanakan
pernikahan. Meskipun demikian, tidak semua orang bisa memiliki
keturunan dengan mudah. Hal ini yang terkadang menjadi pemicu
pertengkaran dalam rumah tangga. Dengan demikian sangat wajar jika
poligami dibolehkan bagi keluarga yang mengalami demikian demi untuk
menjaga nasab maupun keturunan.

5. Adil
Adil menjadi sifat yang harus dimiliki oleh seseorang yang ingin
berpoligami, tanpa keadilan tentu akan menimbulkan kecemburuan dan
rasa iri dari pasangan yang lain sehingga mengakibatkan pertikaian dalam
keluarga. Rasa adil memang akan sangat susah diwujudkan terlebih dalam
poligami. Bahkan mayoritas ulama fiqh menyebutkan bahwa keadilan
kualitatif adalah sesuatu yang mustahil bisa diwujudkan. Sebagai manusia
biasa akan sangat berat bahkan tidak akan mampu berbuat adil dalam
membagi kasih sayang yang sebenarnya manusiawi. Oleh karena itu,
praktik poligami ini dibatasi secara mutlak dengan jumlah 4 orang istri.
Wahbah Az-Zuhaili memberikan pendapat yang mengatakan mengapa
dibatasi dengan jumlah 4 istri. Beliau mengatakan bahwa terdapat 4
minggu dalam 1 bulan memberikan kemudahan laki-laki dalam membagi
waktu terhadap istri-istrinya. Dalam satu minggu seseorang dapat
mencurahkan cinta dan kasih sayangnya terhadap satu istri dan begitu
dengan minggu-minggu selanjutnya.19

C. Prosedur Poligami di Indonesia


Pada Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan,
“Apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang, maka ia wajib
mengajukan secara tertulis kepada pengadilan”, seperti apa yang telah disebutkan

19
Muhamad Arif Mustofa, Poligami dalam Hukum Agama dan Negara, Al-Imarah: Jurnal Pemerintahan dan
Politik Islam, Vol. 2, No. 1, 2017, hlm. 52.

2
dalam Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan. Selain pasal tersebut, seorang suami yang
akan melakukan poligami juga harus memenuhi Pasal 4 dan 5 UU Perkawinan, Pasal
41 PP No. 9 Tahun 1975 serta Pasal 55, 56, 57, 58, dan 59 KHI.

Pasal 4 UU Perkawinan:
(1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut
dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka ia wajib mengajukan
permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
(2) Pengadilan yang dimaksudkan dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin
kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Pasal 5 UU Perkawinan:

(1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan sebagaimana


dimaksudkan dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-
syarat sebagai berikut:
a. Adanya persetujuan dari istri atau para istri yang lain;
b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup
istri-istri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-
anak mereka.
(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya
dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

Izin Pengadilan Agama tampaknya menjadi sangat menentukan. Apabila


keputusan hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap, dan izin tidak diperoleh
maka menurut ketentuan Pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975 dijelaskan bahwa Pegawai
Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan

2
beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan seperti yang dimaksud
dalam Pasal 43 PP No. 9 Tahun 1975.

Ketentuan hukum yang mengatur pelaksanaan poligami seperti telah diuraikan


di atas mengikat semua puhak, pihak yang melangsungkan poligami dan pegawai
pencatat perkawinan. Apabila mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan
pasal-pasal di atas maka dikenakan sanksi pidana, masalah ini diatur dalam PP No. 9
Tahun 1975:

(1) Kecuali apabila telah ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan


yang berlaku, maka:
a. Barangsiapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 3, 10 ayat
(3), 40 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan hukuman denda
setinggi- tingginya Rp. 7500,- (tujuh ribu lima ratus rupiah)
b. Pegawai pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam pasal 6, 7,
8, 9, 10 ayat 1, 11, 12, 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan
hukuman penjara selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-
tingginya Rp. 7500,- (Tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas merupakan pelanggaran.

KHI seperti yang terlihat tidak berbeda dengan Undang-Undang perkawinan


dalam masalah poligami ini. Khusus yang beragama Islam peaksanaan poligami
diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Buku I tentang Hukum Perkawinan Bab IX
Pasal 55 sampai dengan pasal 59.

Pasal 55 KHI:

(1) Beristri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai
empat orang istri,
(2) Syarat utama beristri lebih dari satu orang, suami harus berlaku adil terhadap
istri dan anak-anaknya,
(3) Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi,
suami dilarang beristri lebih dari satu orang.

Pasal 56 KHI:

(1) Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapatkan izin dari
Pengadilan Agama,

2
(2) Pengajuan permohonan izin yang dimaksudkan pada ayat 1 dilakukan menurut
tatacara sebagaimana diatur dalam Bab VIII PP No. 9 Tahun 1975,
(3) Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga atau keempat tanpa izin
dari Pengadilan Agama, tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pada Pasal 57 Kompilasi Hukum Islam, Pengadilan Agama hanya


memberikan izin kepada suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila terdapat
alasan-alasan sebagaimana disebut daam Pasal 4 UU Perkawinan. Jadi pada dasarnya
pengadilan dapat memberikan izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari
seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.

Selanjutnya pada pasal 59 juga digambarkan betapa besarnya wewenang


Pengadilan Agama dalam memberikan perizinan. Sehingga bagi istri yang tidak mau
memberikan persetujuan kepada suaminya untuk berpoligami, persetujuan itu dapat
diambil alih oleh Pengadilan Agama. Pengadilan dapat menetapkan pemberian izin
setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan
Agama dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau
kasasi (Pasal 59 KIII). Pada sisi lain peranan Pengadilan Agama untuk mengabsahkan
praktik poligami menjadi sangat menentukan bahkan dapat dikatakan satu-satunya
lembaga yang memiliki otoritas untuk mengizinkan poligami.20

20
Surjanti, Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami di Indonesia, Jurnal Universitas Tulungagung
BONOROWO, Vol. 1, No. 2, 2014, hlm. 17.

2
BAB V

Hikmah Poligami dalam Pernikahan

Berpoligami ini bukanlah hal yang wajib maupun sunnah, tetapi oleh Islam
diperbolehkan. Karena tuntutan pembangunan, undang-undang diperbolehkannya
poligami tidak dapat diabaikan begitu saja. Dengan menyimak hikmah-hikmah yang
terkandung dalam poligami, hendaknya ada kemauan dari pihak pemerintah untuk
turut memerhatikan masalah ini. Di antara hikmah-hikmahnya adalah:

1. Poligami merupakan karunia Allah SWT dan rahmat-Nya yang diberikan kepada
manusia, yaitu diperbolehkannya berpoligami dan membatasinya hanya sampai empat
saja.
2. Islam, sebagai agama kemanusiaan yang luhur, mewajibkan kaum muslimin untuk
melaksanakan pembangunan dan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia.
Mereka tidak akan sanggup memikul tugas risalah pembangunan ini, kecuali bila
mereka mempunyai Negara yang kuat dalam segala bidang. Hal ini tidak akan dapat
terwujud apabila jumlah penduduknya hanya sedikit, karena untuk tiap bidang
kegiatan hidup manusia diperlukan jumlah ahli yang cukup besar. Jalan untuk
mendapatkan jumlah yang besar hanyalah dengan adanya perkawinan dalam usia
subur atau alternatif lain dengan berpoligami.
3. Negara merupakan pendukung agama, sering kali negara menghadapi bahaya
peperangan yang mengakibatkan banyak penduduknya yang meninggal. Oleh karena
itu, haruslah ada badan yang memperhatikan janda-janda para syuhada dan tidak ada
jalan lain yang baik untuk mengurusi janda-janda itu kecuali dengan menikahi
mereka, disamping untuk menggantikan jiwa yang telah tiada. Hal ini hanya dapat
dilakukan dengan memperbanyak keturunan dan poligami merupakan salah satu
faktor yang dapat memperbanyak jumlah ini.
4. Ada kemungkinan seorang istri mandul atau sakit keras yang tidak memiliki harapan
untuk sembuh, padahal ia masih berkeinginan untuk melanjutkan hidup berumah
tangga dan suami masih menginginkan lahirnya anak yang sehat dan pintar, ia juga
menginginkan seorang istri yang bisa mengurus rumah tangganya. Bagaimana akan
mendapatkan anak jika istrinya mandul. Dan bagaimana seseorang yang beristri dapat
mengurus rumah tangganya dengan baik, sedangkan istrinya menderita penyakit yang
tidak mungkin sembuh. Solusi dan pemecahan terakhirnya yang terbaik adalah dengan

2
adanya persetujuan antara suami istri untuk memperbolehkan sang suami untuk
menikah lagi dan istrinya tetap berada di sampingnya sehingga kepentingan kedua
belah pihak dapat dijamin dengan baik.
5. Ada segolongan laki-laki yang memiliki dorongan seksual tinggi, yang merasa tidak
puas dengan hanya seorang istri, terutama bagi mereka yang tinggal di daerah tropis.
Oleh karena itu, daripada orang-orang semacam ini ,hidup dengan teman perempuan
yang rusak akhlaknya tanpa ikatan pernikahan, lebih baik diberikan jalan yang halal
untuk memuaskan nafsunya dengan cara berpoligami.21

21
H.M.A. Tihami, Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), hlm. 370.

2
BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan

Pada hakikatnya poligami merupakan perkawinan yang dilakukan oleh laki-laki


dengan menikahi lebih dari satu wanita, dengan batasan umumnya dibolehkan hanya sampai
empat dan tidak diwaktu yang bersamaan. Sejarah adanya poligami sudah lama ada sebelum
diwahyukannya Islam. Pada saat itu belum ada syariat yang mengatur tentang batasan
poligami, sehingga harkat martabat perempuan saat itu terbilang rendah. Setelah datangnya
Islam timbulah peraturan mengenai ketentuan tentang poligami. Karena tidak semua laki-laki
bisa melakukan poligami tanpa dasar tertentu.

Di Indonesia juga terdapat Undang-Undang No.1 Tahun 1974 Pasal 3 Ayat 2 yang
membahas tentang poligami. Berbagai macam peristiwa yang melatar belakangi terbentuknya
peraturan tersebut seperti maraknya pernikahan secara paksa, pernikahan usia dini, hingga
poligami yang dilakukan tanpa mengindahkan syarat-syarat yang dibolehkan oleh agama.

Dasar hukum mengenai poligami terdapat dalam Al-Qur’an Surah An-Nisa’ Ayat 3
yang berisi bahwa ayat ini tidak mewajibkan poligami atau menganjurkannya, ayat ini hanya
berbicara tentang bolehnya poligami dan itu pun merupakan pintu kecil yang hanya dapat
dilalui oleh yang membutuhkan dengan syarat yang berat. Dengan demikian, pembahasan
tentang poligami dalam pandangan al-Qur’an, hendaknya tidak ditinjau dari segi ideal, atau
baik dan buruknya, tetapi harus dilihat dari sudut pandang penetapan hukum dalam aneka
kondisi yang mungkin terjadi. Jika dilihat dari dasar hukum hadist, sebagian riwayat ada yang
memperbolehkan poligami dan sebagian riwayat melarang poligami.

Salah satu alasan poligami dalam Islam bisa menjadi alternatif dan solusi bagi
sebagian persoalan yang mungkin timbul di masyarakat. Islam mengantisipasi kemungkinan
terjadinya masalah tersebut dengan membuka pintu untuk poligami dan menutup pintu ke
arah perzinaan. Dalam Islam sudah menjelaskan rinci mengenai syarat dan prosedur
poligami. Hikmah poligami dalam pernikahan merupakan suatu karunia Allah kepada
manusia dan dengan batasan tertentu agar terhindar dari perbuatan dosa.

2
DAFTAR PUSTAKA

Al-Habsyi, M. B. (2002). Fiqih Praktis. Bandung: Mizan.

basri, R. (2019). Fiqih Munakahat 4 Mazhab dan Kebijakan Pemerintah. Sulawesi Selatan: CV. Kaffah
Learning.

Fathonah. (2015). TELAAH POLIGINI: PERSPEKTIF ULAMA POPULER DUNIA . Al-Hikmah, 24.

Hariyanti. (2008). Konsep Poligami Dalam Hukum Islam. Risalah Hukum Fakultas Hukum Unmul, 7.

Musthofa, M. A. (2017). Poligami dalam Hukum Agama Dan Negara. Jurnal pemerintahan dan Politik
Islam, 48.

Mutakabbir, A. (2019). Menapak Jejak Poligami Nabi SAW. Yogyakarta: Sanad THK Makasar.

Muzamil, I. (2019). Fiqih Munakahat Hukum Pernikahan Dalam Islam. Tangerang: Tira Smart.

Qutub, S. (1961). Fi Dzilal Al-Quran. Darul Kutub A-Jamiah.

Sabiq, S. (2017). Fiqih Sunnah 3. JakartaSelatan: Republika Penerbit.

Sahrani, T. D. (2009). Fiqih Munakahat. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Sihab, M. Q. (2002). Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.

Surjanti. (2014). Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligai di Indonesia. JurnalUniversitas
Tulungagung Bonoworo, 10.

Trigiyanto, A. (2011). Perempuandan Poligami Di Indonesia. Junal Muwazah, 339.

Anda mungkin juga menyukai